Fight For The Light




Cast: Kim Jongin, Kim Minhee (OC), Han Jieun(OC)
Genre: Angst, Family
Length : Oneshoot - 3027 words



Selama kebencian itu masih ada, ia akan tetap tinggal dalam kegelapan
~ Fight For The Light ~




****





Banyak orang bilang batupun akan hancur jika terus disirami air, tapi kenapa mengubah persepsi seorang Kim Jongin terasa mustahil? Nyatanya memang begitu, memang tak semudah  menghancurkan sebuah batu yang disirami air setiap hari. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu begitu keras kepala. Bukan perkara mudah mempengaruhi pikirannya.



“ –tapi ia tetap ibumu. Kau masih ingat itu, kan? Kau bisa ada di dunia ini karena wanita itu telah bersusah payah melahirkanmu.”



Memang tak mudah mengubah keputusan Jongin, namun bukan berarti Jieun akan menyerah begitu saja. Ia sudah mengenal Jongin sejak kecil, ia memahami dengan baik bagaimana Jongin dan egonya, serta bagaimana Jongin dengan kekerasan hatinya ketika itu berkaitan dengan masalah ibunya. Ia sudah paham betul bahwa mengubah apa yang ada di dalam kepala Jongin tidaklah mudah, ia dan Jongin bahkan sering bertengkar karena hal tersebut. Namun mencoba bukanlah sebuah kesalahan.




**** 




Kamis minggu lalu dua orang pria bertubuh besar dengan penampilan garang mendatangi rumahnya. Ia sama sekali tak tahu apa tujuan mereka. Ia memandang keduanya dengan santai, tak terpengaruh dengan ekspresi bengis yang diperlihatkan oleh keduanya.




“ Kau yang bernama Kim Jongin?”




Saat itu ia mengangguk sambil menjawab pelan. Tak tahu bahwa jawaban sederhana itu membawanya pada pertanyaan lain yang membuatnya agak kesal.




“ Jadi benar kau Kim Jongin, putra dari Kim Minhee?”




Ia tak menjawabnya, namun tidak juga menunjukkan indikasi pembantahan. Ada sesuatu di dalam dadanya yang membuatnya enggan memberi tanggapan.




“ Katakan saja apa tujuan kalian datang kemari.”




Kedua orang itu menatapnya serius, kemudian salah salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat kecil dari saku celananya. Pria itu mengangsurkan kertas itu padanya. Jongin langsung menerimanya tanpa banyak berpikir. Semakin cepat ia menerimanya, semakin cepat pula kedua orang itu enyah dari hadapannya.




“ Ibumu terlilit utang dalam jumlah besar. Ia sudah kehilangan banyak hartanya untuk menutupi utang yang ia miliki. Kini ia sudah tidak memiliki apapun lagi, tak ada yang bisa ia berikan kepada bos kami untuk membayar utangnya,” ungkap pria yang tadi memberinya kertas.



Lagi. Untuk kesekian kalinya wanita itu membuat masalah. Apa waktu tak membuatnya berubah? Apa yang wanita itu lakukan selama delapan tahun belakangan? Berjudi? Menginvestasikan uangnya pada bisnis ilegal, kemudian menjadi korban penipuan karena semua uangnya dibawa kabur? Ia mendesah begitu berbagai ingatan yang satu persatu muncul dan memenuhi pikirannya.


“ Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menyerahkan dirinya. Membiarkan kami menjualnya dalam pasar perdagangan manusia di Eropa.”




Jongin mendengus. Ia tak peduli sebesar apa utang wanita itu kali ini, yang membuatnya terganggu adalah kenapa wanita itu menyeretnya dalam masalah ini? Setelah semuanya berakhir, setelah apa yang wanita itu lakukan padanya. Wanita itu benar-benar menakjubkan.




Dipandanginya kertas dalam genggamannya. Kertas yang nampak lusuh dan berwarna kecokelatan. Perlahan ada perasaan ngilu yang mencengkeram dadanya. Ini tidak adil. Ia merasakan sesuatu yang harusnya tak ia rasakan. Wanita itu telah mencampakkannya. Wanita itu telah membuangnya seperti barang rongsokan yang tak lagi diinginkan, ralat, wanita itu memang tak pernah menginginkannya.





**** 





Delapan tahun yang lalu..



Anak haram, begitulah orang-orang menyebutnya. Dalam lingkungan yang begitu menjunjung tinggi nilai dan norma, keberadaannya dianggap sebagai kutukan. Semua orang memandangnya dengan mata memicing, mencemooh keberadaannya. Semua orang membencinya, mereka menjauhinya sebisa mungkin. Kalau bisa mereka pasti tidak akan menghirup udara yang sama dengannya.




Ia tak mengerti kenapa orang-orang membencinya hanya karena ia tidak memiliki seorang ayah. Bukan maunya ia terlahir tanpa ayah. Tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang menginginkan hal tersebut. Pernahkah mereka berpikir bahwa ibunya juga tak bersalah dalam hal ini? Pernahkah mereka memikirkan perasaan ibunya setiap kali mereka mencibir sambil memutar bola matanya? Bukan mau ibunya semua ini terjadi. Bukan mau ibunya jika ia menjadi seorang korban pemerkosaan. Tak ada yang menginginkan semua ini terjadi. Tak ada, bahkan nenek dan kakeknya yang memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan menanggung malupun tak menginginkannya.




Ia membenci hidupnya karena catatan kelam yang merusak masa lalu, masa sekarang, dan masa depannya. Ia mencoba untuk tak menghiraukan cibiran dari orang-orang di sekitarnya, ia menjalani hidupnya seolah matanya buta, telinganya tuli, dan perasaannya beku. Seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan hal itu, namun sayangnya semua itu membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang memandang rendah dirinya.




“ Kudengar ibunya pulang dengan pria yang berbeda malam ini.”



“ Yah…ibuku bilang wanita itu pulang bersama seorang pria kaya bermobil mewah.”





Obrolan semacam itu sudah menjadi hal lumrah untuk Jongin dengar. Ia sudah terbiasa mendengar hal-hal buruk mengenai ibunya. Ia dimusuhi semua orang karena tingkah laku ibunya. Lucu sekali bukan? Karena hal itu ia pun membenci ibunya sama seperti ia membenci hidupnya.




Ia tak mengerti kenapa ibunya membiarkannya hidup. Padahal wanita itu bisa saja membunuhnya saat ia masih berada dalam kandungan. Bukankah itu akan jauh lebih baik?




Namun pikiran-pikiran itu sirna setiap kali ia menemukan ibunya yang tergeletak di ruang tamu. Wanita itu kelihatan lelah dan tak sadarkan diri. Dari tubuhnya menguar bau alkohol yang menyengat. Kebencian itu juga memudar saat ia tak sengaja menemukan ibunya menangis melalui pintu kamarnya yang tak tertutup rapat. Ia pikir ia hanya akan memperburuk segalanya jika ia terus menghakimi ibunya, menyalahkan semua yang telah terjadi pada wanita itu.



“ Kau akan pergi lagi?”




Itulah yang akan ia tanyakan setiap kali wanita itu keluar dari kamarnya lengkap dengan baju pesta serta riasan wajah yang mencolok. 




“ Urus saja urusanmu sendiri. Jangan pedulikan aku seolah aku akan peduli padamu.”




Dan itulah yang akan ibunya katakan. Selalu hal yang sama, dan sialnya masih menyisakan efek menyesakkan yang sama. Ia tak mengerti kenapa ia harus merasa demikian. Bukankah sudah jelas bahwa kehadirannya hanya menjadi momok memalukan bagi ibunya? Lalu kenapa ia terus berharap ibunya akan berubah?





Kenapa? Bahkan ibunya bukanlah manusia yang baik. Wanita itu benar-benar pembuat masalah. Tak jarang orang-orang asing mendatangi rumahnya hanya untuk memaki, menjambak rambut ibunya, dan menagih utang. Kasusnya berbagai macam, mulai dari seorang istri yang murka karena suaminya ‘bermain’ dengan ibunya sampai penagih utang yang mengamuk karena ibunya tak juga melunasi utangnya. 





Ibunya bukanlah orang baik-baik dan Jongin mengetahui hal itu. Namun entah apa yang mendorongnya untuk menarik lengan ibunya pada malam itu. Wanita itu ingin pergi, kabur bersama seorang pria kaya yang istrinya sempat datang ke rumah. 





“ Pria itu sudah memiliki istri. Apa kau gila?” 





Suaranya menggema, membangkitkan kemarahan ibunya. Wanita itu menatapnya. Tak lama berselang suara decakkan terdengar. Wanita itu mendengus kemudian memiringkan kepala.




“ Ya, aku memang sudah gila! Aku sudah gila semenjak aku membiarkanmu hidup!”




Cengkeraman Jongin mengendur setelah itu. Kekuatannya menguap begitu suara tajam itu terlontar.




“ Kau adalah kesalahan terbesar dalam hidupku! Aku tak bisa menikah dengan pria manapun karena dirimu! Aku dihina, diasingkan, dan diperlakukan seperti sampah! Kau tahu kenapa? Itu semua karenamu!”



Malam pada musim gugur delapan tahun yang lalu itu menyisakan luka yang hingga kapanpun tak dapat mengering. Luka itu terlalu dalam hingga Jongin tak yakin waktu mampu menyembuhkannya.




“ Kenapa? Kenapa harus aku? Aku tak bisa menikmati hidupku, aku tak bisa menjalani hidupku dengan layak hanya karena anak sepertimu! Seharusnya aku langsung menghilang saat tahu aku tengah mengandung. Seharusnya aku mengasingkan diri dan membunuhmu! Tapi sial! Han Jinwoo si pendeta sok suci itu malah membawaku ke panti! Orang-orang di sana membuaiku, membuatku lupa akan tujuanku untuk membunuhmu!” 




Jongin mundur beberapa langkah. Ia menggeleng beberapa kali, menyadarkan dirinya yang hampir tenggelam bersama kenyataan pahit yang didengarnya. Saat itu ia hanya seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Tidakkah pernyataan ibunya terlalu menyakitkan? Pandangannya memburam, mulai tak jelas begitu cairan hangat mendesak keluar.




“ Kalau bukan karena Han Jinwoo yang bolak-balik memastikan keadaanmu setiap bulan, aku pasti sudah membunuhmu.” 




Setelah beberapa saat menundukkan kepalanya, Jongin akhirnya memberanikan diri untuk menatap ibunya. Menatap wanita yang begitu membenci keberadaannya.




“ Aku tak pernah meminta apapun darimu, tapi kali ini aku mohon padamu untuk membiarkanku pergi. Biarkan aku bahagia. Hidupku tidak akan bahagia selama ada kau di dalamnya.” 





****




Setelah penampilannya usai, Jongin memasukkan gitarnya ke dalam tas. Ia lantas melambaikan tangan pada rekan-rekannya yang masih sibuk berbincang. Sudah tiga tahun ia bekerja di kafe itu. Ia bekerja sebagai salah satu personil band yang tiap malamnya menghibur para pengunjung di kafe tersebut. 





Setelah sampai di luar, Jieun menghalangi jalannya. Ia mendesah lelah, kemudian meninggalkan gadis itu di belakang. Ia terus berjalan, melangkah seolah ia tak menginginkan gadis itu. Yah..seolah, karena sesungguhnya ia amat menginginkannya. Gadis itu, seseorang yang membuatnya berpikir bahwa Tuhan tidak sejahat itu padanya. Gadis yang membuatnya mau tersenyum dan sedikit melihat kebaikan dalam hidup. Gadis itu tak sempurna, namun tetap saja terlalu baik untuknya. Tidak..orang seperti dirinya tidak pantas bersanding dengan siapapun.




“ Jadi kau masih berkeras tak mau menolong ibumu?”




Jieun mendesah sambil membenarkan letak tas selempangnya. Jongin tak menjawab, entah karena suara bising dari kesibukan lalu lintas atau karena pria itu tak mau menjawabnya. Iapun memutuskan untuk menyimpan pertanyaannya.




Begitu mereka sampai di depan rumah Jongin, Jieun menarik napas dalam. Bersiap untuk melontarkan pertanyaannya. Namun belum sempat semuanya terucap, Jongin berbalik menghadapnya.




“ Pulanglah, sudah malam.”





Jongin menatap ke jalanan lengang di samping kanannya. Jalan menuju rumah Jieun. Setelahnya ia beranjak, mengabaikan Jieun dan membuka pagar rumahnya.




“ Pengecut! Apa yang delapan tahun ini kau dapatkan? Apa waktu selama itu tidak mengajarkanmu sesuatu?” 




Langkah Jongin terhenti. Sekejap segalanya menjadi sulit, bahkan menelan ludahnya saja sulit. Ia mencengkeram pegangan pada pagarnya. Ia hanya berharap Jieun tak mengungkit sesuatu yang membuatnya tidak tenang.




“ Hatimu penuh kebencian. Lalu apa bedanya kau dengan ibumu? Kalian hidup dalam kebencian! Kalian hanya bisa menyalahkan tanpa berpikir untuk menyudahi omong kosong ini!” ujar Jieun dengan emosi meluap-luap.




Spontan Jongin membalikkan tubuhnya, menatap Jieun yang juga menatapnya. Ia merasa kepalanya pening, seluruh anggota tubuhnya bergetar. Ia merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan pada malam itu, malam saat sang ibu meninggalkannya.




“ Tutup mulutmu dan pergilah!”




Ia berdecak kemudian mengulas senyum mengejek. “ Omong kosong? Seseorang yang tumbuh dengan gelimangan kasih sayang tidak akan mengerti betapa omong kosong ini menyiksaku bahkan sejak hari pertama aku bernapas.”




“ Putri seorang Han Jinwoo tidak akan mengerti bahwa kebencian ini terlalu besar. Bahkan membuatku malu untuk menatap pantulan diriku sendiri. Bisa kau bayangkan betapa mengerikannya itu?” tutur Jongin.




Ia menggelengkan kepala. “ Kau pasti tidak bisa.”




“ Aku memang tidak bisa dan kaupun tak pernah membiarkanku untuk bisa melakukannya. Namun aku tahu bahwa semua ini melukaimu, dan kau harus menyudahi semua ini. Kau pernah mengatakan padaku, bahwa ibumu kerap kali hadir dalam mimpimu. Ia bahkan bisa mengusikmu dalam kesunyian malam. Kau tidak akan bahagia selama kebencian itu mengikatmu. Kebencianmu seperti belenggu yang akan terus menghantuimu jika kau tak berusaha untuk melepasnya.”





**** 






Aku membutuhkan uang. Hanya itu yang ingin kukatakan padamu. Aku jahat? Ya..itulah aku. Aku masih wanita yang sama, kuharap kau tidak berharap berlebihan. Aku membutuhkan uang sebanyak lima juta won. Aku tahu kau pasti terkejut, tapi memang sebesar itu yang kubutuhkan. Meski kecil kemungkinannya kau akan memberikan uang sebanyak itu, tapi aku sedikit berharap kau mau melakukannya. Biar bagaimanapun aku tidak ingin dijual dan menjadi barang koleksi orang-orang putih. Aku tahu kau pasti enggan, tapi pertimbangkanlah. Pertimbangkan penderitaanku selama ini karena dirimu, pertimbangkan rasa sakitnya diriku saat melahirkanmu. Meski kau membenciku, aku tetaplah wanita yang melahirkanmu. Jika kau tidak mau melakukannya karena merasa jijik, lakukanlah untuk membayar utangmu. Rasa sakit saat melahirkanmu, penderitaanku selama ini, anggaplah kau membayar semuanya dengan uang itu.  



~Kim Minhee







Ia meremukkan kertas dalam genggamannya hingga menjadi gumpalan kecil yang kemudian ia lempar ke sudut ruangan. Air mata mengalir deras tak tertahankan. Detik itu juga Jongin merasa kepalanya pening bukan main. Kedua tangannya mencengkeram rambutnya erat. Berusaha mengeyahkan rasa pening di kepalanya.




Napasnya terhela berat, menyiratkan kepiluan yang terlalu besar untuk ia tangani seorang diri. Ditengadahkan kepalanya, menatap langit-langit kamarnya. Kemudian dilihatnya gumpalan kecil di sudut ruangan. Cih..apa yang harus ia lakukan?




****  





Beragam pertanyaan terus menyesaki pikirannya. Apa ia sudah gila? Apa ia benar-benar sadar dengan apa yang ia lakukan? Ia baru saja mengambil hampir seluruh uang di tabungannya. Apa ia benar-benar akan membantu wanita itu? Bahkan setelah tahu wanita itu hanya memandangnya tak lebih dari seseorang yang berutang nyawa?




Meski berulang kali berniat untuk menghentikan ide gilanya, namun ia tak benar-benar berhenti. Kakinya terus melangkah seolah lebih tahu kemana ia harus pergi. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Apa ia benar-benar berpikir dengan melakukan semua itu kehidupannya akan terlepas dari belenggu seperti yang Jieun katakan? Ia sendiri tidak yakin, tapi ada hal lain yang mendorongnya untuk melakukan semua itu. Ia ingin membuktikan bahwa ia berbeda dengan wanita itu. Ia ingin membuktikan bahwa tidak seburuk itu menjadi anak haram.




Ia menegaskan pandangannya begitu menemukan sosok Jieun berada di depan kafe tempatnya bekerja. Ia memang sudah meminta Jieun untuk menunggunya di sana. Mungkin setelah ini ia tidak akan mampu menemui gadis itu. Memang pria mana yang masih sanggup menemui gadis yang meminjamkan uang dengan jumlah besar padanya?





“ Kau sudah siap?”




Ia hanya mengangguk. Kemudian mengikuti Jieun yang sudah masuk ke dalam taksi yang sudah dipesannya. Ia masih tidak sepenuhnya yakin dengan keputusannya, namun sekali lagi, ia tak ingin menghentikannya.





****






Dadanya sesak manakala mobil berhenti, ia telah sampai di depan sebuah rumah berpagar tinggi yang di depannya dijaga oleh dua orang penjaga bertubuh besar. Jongin bergeming, tak tahu apakah ia harus keluar dari mobil atau tidak. Namun sentuhan hangat di tangannya menyadarkannya.




“ Pergilah, selesaikan semuanya.”




Pandangannya merangkak turun ke arah tangan Jieun yang tengah mengenggam tangannya. Kemudian ia beralih menatap tas berisi uang sebesar lima juta won di pangkuannya. 




“ Aku akan kembali.”




Itulah janjinya sebelum meninggalkan Jieun dan berjalan mendekat ke arah pagar tinggi di depan sana. Kedatangannya disambut dengan tatapan waspada kedua penjaga.




“ Aku datang untuk melunasi utang Kim Minhee. Aku putranya.”




Kedua penjaga itu masih menyimpan kecurigaan padanya. Jongin tahu dari tatapan mata mereka yang menyangsikan ucapannya.




“ Namaku Kim Jongin, aku membawa uang sebesar lima juta won. Bolehkah aku masuk?” 




Tepat setelah pernyataannya, kedua penjaga itu membukakan pagar tinggi di hadapannya. Pemandangan luar biasa menyambutnya. Sebuah rumah megah lengkap dengan taman luas yang ditumbuhi banyak tanaman cantik. Beberapa penjaga terlihat mondar-mandir di beberapa lokasi.




“ Aku akan menunjukkanmu jalannya,” ucap salah satu dari penjaga yang tadi ia temui di luar.




Ia tak mengatakan apapun saat pria bertubuh besar itu menuntun jalannya. Ia hanya mengikuti kemana pria itu pergi, dan sesekali menaruh rasa ingin tahu begitu pria itu berhenti untuk sekedar membisikkan sesuatu pada temannya yang ia temui di sepanjang perjalanan.




Ia telah memasuki bagian dalam rumah. Benar-benar rumah yang megah dengan perabotan mahal yang menghiasi tiap sudutnya. Ia mengalihkan pandangannya begitu penjaga menunjuk pintu jati di depannya.




“ Kebetulan Tuan Shin ada di dalam sana. Kau bisa langsung menemuinya.”





Ia melangkah masuk setelah penjaga mendorong pintu itu. Ia melangkah tak yakin. Ia mempertaruhkan banyak hal untuk sampai di tempat ini, tak ada yang tahu apakah ia bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup.





“ Lihat siapa yang datang Kim Minhee,” ucap seorang pria berjas yang kini menatapnya dengan mengejek. Pria itu duduk di kursi putar tak jauh dari tempat Jongin berdiri.




Tak jauh dari pria itu, ia melihat ibunya yang kedua tangannya diikat ke belakang kursi. Wanita itu memandangnya dengan cara yang sama seperti dulu, benar-benar tidak ada yang berubah.




“ Duduklah anak muda. Jangan setegang itu, aku punya banyak hal yang ingin dibicarakan denganmu,” ungkap pria berjas tadi.





Jongin tak menghiraukannya, ia menatap tas dalam genggamannya. “ Aku datang ke sini hanya untuk menyerahkan uang. Setidaknya aku harus membalas kebaikan seseorang karena telah melahirkanku.” Ia maju ke depan, meletakkan tas itu di atas meja.




“ Kau memberikan uang sebanyak ini untuk seorang wanita yang telah menelantarkanmu?”




“ Aku harus melunasi utangku pada wanita itu.”




Pria berjas itu beranjak dari kursinya, menatap Jongin dengan heran. “ Kau yakin dengan keputusanmu?” pria itu bertanya selagi memeriksa isi tasnya.





“ Aku tidak akan datang jika tak merasa begitu. Bisakah aku pergi sekarang?”




Pria itu menatapnya kemudian berpaling menatap ibunya yang nampak tidak bahagia. “ Baiklah, kau bisa pergi dengan membawa ibumu.”



“ Lagipula tak ada gunanya juga aku menyimpannya di sini,” tambah pria berjas itu.




****






Jongin tak mengerti apa yang tengah ia rasakan, segalanya terasa membingungkan hingga ia memutuskan untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia dan ibunya telah keluar dari rumah besar tadi. Sepanjang perjalanan menuju Gerang, keduanya tak terlibat percakapan, bahkan ibunya tak mengatakan apapun. Bahkan ucapan terima kasih pun tak terlontar dari bibir tipisnya yang nampak kering.





Begitu mereka keluar dari pagar rumah itu, Jieun menyambutnya dengan wajah cemas yang meluntur begitu melihat ibunya.





“ Kau memang manusia yang tahu diri.”




Jongin memundurkan tubuhnya, mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam taksi.




“ Setidaknya kau cukup mengerti bagaimana harus bersikap setelah apa yang kau lakukan pada hidupku. Tapi tenang saja, setelah ini aku tidak akan mengusik hidupmu lagi.” 




Jongin tak menanggapi. Ia terus menatap ibunya sebelum akhirnya merogoh saku celananya, mengambil sebuah amplop berisi uang yang ia ambil dari tabungannya. Ia menarik tangan ibunya, meletakkan amplop itu di telapak tangannya.




“ Aku sudah melakukan banyak hal untukmu hari ini, jadi biarkan aku melakukan sesuatu yang kuinginkan. Aku tahu kau pasti akan sangat membencinya, tapi sekali ini saja.”





Jongin melangkah maju, memangkas jarak yang memisahkan ia dengan ibunya. Tanpa ragu ia menarik wanita itu, merengkuhnya dengan perasaan rindu tak tertahankan.




Tak lama setelah itu ia menjauhkan tubuhnya. “ Hiduplah dengan baik. Aku tidak akan muncul dan merusak kebahagianmu,” tuturnya singkat.




Ia mengalihkan pandangannya begitu air mata mendesak keluar. Tangannya meraih pintu di depannya, mempersilahkan wanita itu masuk. Sebelum masuk, wanita itu menatapnya.




“ Pergilah kemanapun yang kau mau,” ucapnya sebelum menutup pintunya. Ia kemudian berbicara sebentar kepada pak supir yang nampak sabar mendengarkanya. Ia memberikan beberapa lembar uang pada pria tua itu, sebelum akhirnya mobil berjalan menjauh.




Setelah mobil menjauh dan menghilang perlahan, Jongin sadar ada sesuatu yang terangkat dari hatinya. Belenggu yang selama ini mengikatnya telah hancur, membebaskan dirinya dari kecemasan tak beralasan yang selama ini menghantuinya. Kini, ia mulai bisa mencintai dirinya. Kini ia tak lagi malu dengan siapa dirinya, karena kini ia tahu ia tidaklah seburuk itu. Ia berhak bermimpi, ia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.




Ia mengalihkan pandangannya begitu merasakan usapan di wajahnya. Jieun baru saja menyeka air matanya. “ Terimakasih.”



Jieun hanya mengangguk sambil mengulas senyum. Gadis itu benar. Jika ia tak mengakhiri kebencian ini maka selamanya ia tak akan bahagia, ia akan hidup dalam kegelapan. Dan jika itu terjadi, lalu apa bedanya ia dengan ibunya? 





END

Hmm..sebenernya aku bingung mau ngisi segmen cuap-cuap kali ini apa.. Ya udah deh itu aja yah..aku lagi bingung mau ngomongin apaan jdi sekian aja yah.. Makasih yg udah baca..


Thanks,


GSB




Comments

  1. Suka dengan tema story ini.. ditunggu ya story lainnya..hwaiting

    ReplyDelete
    Replies
    1. wihh..makasih ya udh suka..
      oke..semangat terus!!^^

      Delete
  2. Hebat chingu.., cerita nya bagus dan feel nya dapet...
    Doa jempol deh. ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wooahh...makasih jempolnya..
      mkasih juga udh baca^^

      Delete

Post a Comment

Popular Posts