JOURNEY OF LOVE THE SERIES : Mysterious Sight Chapter 3
Cast :
- Kim Sora ( OC )
- Huang Zitao ( Tao )
- Kim Jong Dae ( Chen )
- Park Gyuri ( OC )
- Cho Nayoung ( OC )
- Lee Hara ( OC )
- Han Ji Eun ( OC )
- Jung Cheonsa ( OC )
- Park Chanyeol ( Chanyeol )
Sora POV
At Sora’s House
Aku berjalan gontai memijaki tiap-tiap anak tangga yang
tengah ku lewati. Rasanya seperti melayang, atau lebih tepatnya perasaanku
sedang mati untuk sesaat. Hingga sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan
tubuhku di atas ranjang. Ku pandangi langit-langit kamar yang dilapisi cat berwarna
putih.
“ Tadi Fei ahjumma dan Tao oppa datang kemari, tidak begitu
lama, yah…setidaknya cukup untuk omma dan ahjumma melepas rindu mereka.” aku
langsung terduduk saat tiba-tiba ada suara yang terdengar sangat tenang. Ku
palingkan pandanganku dan menemukan sosok Soobin yang sedang berkutat di depan
laptop kesayangannya, tepat di sudut ruangan ini. aigoo….sejak kapan manusia
itu ada disini? Mengagetkan saja!.
Aku masih terperangah memandangi sosoknya yang sama sekali
tak berpaling dari layar laptopnya, “ Sejak kapan kau disini?”. Tanyaku tanpa
melepas fokus darinya.
“ Sejak tadi, bahkan
aku sudah disini jauh sebelum kau masuk ke kamar ini.”
“ Benarkah?” aku tercengang, tapi aku berusaha tetap tenang
tanpa ingin memperlihatkan ekspresi berlebihan di depannya. “ Ckk!! Aneh sekali
kau ini!” decaknya tanpa berekspresi.
Tapi abaikan dengan sikap menyebalkan anak itu, tadi apa
katanya? Tao dan ibunya datang kesini? Ke rumah ini? tapi kenapa di sekolah
tadi Tao tidak mengatakan apapun?.
“ Pasti eomma sangat senang bertemu dengan Fei ahjumma.”
Ucapku sengaja untuk memancing minat Soobin menimpalinya dengan menceritakan
kejadian tadi. Sebenarnya aku sangat ingin tahu apa saja yang dilakukan Tao dan
ibunya selama berada di rumah ini, tapi rasanya sangat tidak memungkinkan jika
aku bertanya terang-terangan pada Soobin.
Aku hampir saja melebarkan senyumku saat Soobin menanggalkan
segala aktivitasnya dan membalikkan posisi duduknya. “ Tentu eomma sangat
senang! Eummm…” jawabannya terhenti saat kurasa ia sedang berpikir sejenak.
“ Huft…” ia menarik nafasnya kemudian menghelanya sambil
menutup mata, “ Kau tahu eonnie? Aku sangat senang!!! Akhirnya aku bisa bicara
lebih banyak dengan Tao oppa!!! Aigoo….dia semakin tampan saja!!!
AKKHHH….rasanya aku hampir sesak napas saat melihatnya tersenyum, karena saat
itu aku sulit sekali mengendalikan sistem pernafasanku. Yah…meskipun pertemuan
tadi tidak cukup lancar karena ada Soyeon, si perusuh handal. Bagaimana bisa
dia terus mengungkit masalah suami di depan Tao oppa? Rasanya aku benar-benar
kehilangan muka saat itu, tapi untung saja Tao oppa sangat baik. ia tak
menganggap serius ucapan bocah itu. haaah… sepertinya aku harus mengunci bocah
itu di dalam gudang saat Tao oppa datang, akh!! Atau tidak ku perban saja
mulutnya.”
Aku terperangah hebat, bisa dibilang aku sudah kehilangan
kata-kata untuk menimpali ucapannya. Aku benar-benar tak menyangka ekspresinya
akan seheboh ini, apalagi saat ia beranjak dari kursinya kemudian berjalan
menghampiku, lalu mengguncang-guncang tubuhku dengan antusias.
“ Ah!! hampir saja aku lupa!” Soobin berjalan menuju mejanya kembali, ia seperti sedang mencari sesuatu. Tak lama ia kembali menghampiriku dengan membawa sebuah kotak berukuran sedang. Aku menatapnya bingung saat ia mengangsurkan kotak itu padaku.
“ Ini dari Tao oppa, ambilah!” ku terima kotak itu dan
membukanya perlahan. Diary? Lagi-lagi buku diary. kenapa dia memberikan benda
yang tidak mungkin ku gunakan?.
“ Awalnya aku merasa jengkel saat Tao oppa mengatakan benda
itu untukmu, tapi setelah itu aku tidak kesal lagi karena ia memberiku sebuah
boneka beruang ini. manis bukan?” aku menatap Soobin yang begitu antusias
memeluk boneka beruang cokelat dengan pita di lehernya. Manis…tentu sangat
manis. Beda sekali dengan apa yang ku dapatkan.
******
Author POV
At Cafetaria, Chung
Ang University.
Breaktime
Seperti biasanya, suasana kantin universitas Chung Ang
selalu ramai, bahkan di saat sore seperti ini. atmosfer kantin yang begitu
bersahabat dan akrab dengan jiwa kaula muda, menjadikan tempat ini layaknya
Café elit. Secara bergantian pengunjung datang dan pergi, ada juga yang sengaja
menghabiskan waktu santai bersama teman-teman dengan berbincang santai, atau ada
yang memang sekedar untuk menemui orang tertentu.
Di tengah - tengah keramaian di dalam kantin itu, duduk lima
orang gadis di satu meja yang sama. Secara bergantian lima gadis itu saling
bertukar pandang, ketika seorang pemuda tampan datang menghampiri meja mereka.
tanpa membiarkan gadis-gadis itu meredam rasa heran mereka, pemuda itu langsung
menarik salah satu kursi di meja itu, kemudian duduk di atasnya. Pemuda itu hanya
tersenyum menanggapi tatapan-tatapan serius di depannya.
“ Apa kau baik-baik
saja?” pemuda itu, Tao terkekeh pelan saat sebuah pertanyaan meluncur dari
mulut Cheonsa yang tengah memandangnya dengan intens, sama seperti empat gadis
lainnya. Tao memajukan posisi duduknya, “ Tentu, aku sangat baik. memang ada
yang aneh?”.
Cheonsa memundurkan badannya, menyenderkan punggungnya pada
kepala kursi sambil menggelangkan kepalanya. ekspresi yang sangat kontras Tao
hari ini sungguh membuatnya tak habis pikir dengan makhluk di depannya. Manusia
macam apa dia? Kemarin dia begitu muram, sekarang dia terlihat sangat
sumringah! Pikir Cheonsa dalam benaknya.
Rasa aneh, takjub, dan heran tak hanya dirasakan oleh
Cheonsa seorang, tapi ada empat gadis lain yang merasakan hal serupa.
Berbeda dengan gadis-gadis di sekitarnya yang tengah
berlarut dengan pemikiran mereka masing-masing, Tao sedang sibuk mengedarkan
pandangannya. “ Sora…dimana dia?”
“ Dia sudah pulang duluan.” Jawab Hara cepat. Tao mengangguk
pelan, meski ia merasa sedikit aneh dengan berbagai ekspresi yang
dipertontonkan oleh gadis-gadis di depannya.
Tapi tak lama, sesuatu yang harusnya tidak dikatakan, malah
terucap. “ Bukannya tadi ia pergi bersama Jong Dae?” ungkap Ji Eun. Langsung
saja gadis-gadis lainnya, memeloti Ji Eun memberikan kode pada gadis itu untuk
segera menutup mulutnya. “ Yak! Kalian ini kenapa sih?” protes Ji Eun.
Nayoung, seseorang yang duduk di sebelah Ji Eun langsung
menyenggol kaki Ji Eun. “ Yak! Kenapa kau menendang kakiku?” racau Ji Eun.
Menangkap gelagat aneh dari orang-orang di depannya, Tao
mulai curiga dan menerka-menerka, terlebih gadis-gadis itu terus menerus
mengintimidasi Ji Eun. “ Jadi Sora pergi bersama Jong Dae? Hmm…orang yang tempo
hari lalu datang kesini? Pria itukah?” Ucap Tao menyudahi pertengkaran
terselubung diantara gadis-gadis itu.
Mereka mengangguk pelan ketika mendengar Tao dengan begitu
tepatnya mengungkapkan apa yang memang terjadi.
Suasana hening, Tao bergulat dengan pikirannya sedangkan
lima gadis itu sibuk memperhatikan gerak-gerik Tao. “ Baiklah..aku duluan! Oh
ya! Aku ambil satu.” Kursi yang diduduki Tao bergeser, ia pun beranjak dari
kursinya sambil mengambil satu potong cheese cake yang terdapat diatas meja.
“ Apa kau berpikiran yang sama denganku?” Gyuri mengangguk
cepat menjawab pertanyaan Nayoung. Mereka berdua mendadak seperti orang
kehilangan akal sehat, tersenyum sendiri.
“ Berpikiran kalau Tao menyukai Sora?” ulang Hara
memperjelas maksud Nayoung.
Kedua orang yang terdiri dari Gyuri dan Nayoung hanya
mengangguk antusias sambil tersenyum lebar, membuat tatapan jijik menguar dari
raut Hara.
******
Di saat yang sama, Sora memandang takjub pamandangan di
depan matanya. Sepiring chocolate waffle ice cream tersaji di depannya, membuat
selera gadis itu meningkat sepuluh kali lipat. Kemudian ia menatap Jong Dae
yang duduk di hadapannya dengan terus tersenyum. Untuk kali ini, Sora tersenyum
senang, mensyukuri keberadaan dirinya di dekat makhluk riang itu.
“ Ah..ini untukku? Gomawo..”seru Sora riang. Gadis itu
tersenyum senang, membuat matanya yang tak terlalu besar menyipit, serta
membentuk lengkungan indah di bibirnya.
“ Tentu. Makanlah, ku harap kau menyukainya.” Balas Jong
Dae.
“ Pasti!” ujar Sora mantap, sebelum akhirnya menyuapkan satu
sendok ke dalam mulutnya.
Senyumnya kembali merekah, saat ice cream cokelat yang manis
meleleh lembut di dalam mulutnya. Tak puas dengan satu suapan, ia kembali
menyantap makanan lezat itu secara terus menerus.
Sampai akhirnya senyuman puas dengan mata berbinar terlihat
saat Sora berhasil menghabiskan makanan di piringnya, tentu ia tak membutuhkan
waktu lama untuk menghabiskan sesuatu yang merupakan makanan kesukaannya.
“ Bagaimana? Enak?”
Seperti baru mendengar sebuah seruan yang mengembalikan
kesadarannya, Sora sedikit terkejut saat Jong Dae tiba-tiba saja bertanya
padanya. “ Kau sedang bertanya atau sedang mengejekku, hah? Aku sudah
memakannya tanpa meninggalkan sisa sedikitpun, tentu sangat enak rasanya.”
Jawab Sora terkekeh.
Melihat paras cantik Sora saat tertawa lepas, membuat hati
pria itu tergugah. Bukannya karena selama ini ia menganggap seorang Kim Sora
itu buruk rupa, malah sebaliknya, tapi untuk hari ini, kecantikkan gadis di
depannya benar-benar sudah di luar batas wajar. Mungkin kalau ada kata yang pantas memiliki arti lebih dari cantik,
ia akan menggunakannya sebagai pujian.
“ Ah…pasti aku terlihat sangat rakus saat makan, ku harap
kau memakluminya, aku akan selalu bersemangat menyangkut apapun yang
berhubungan dengan cokelat.”
“ Tidak! Itu manusiawi.” Balas Jong Dae. Tentu tidak, kata
rakus sama sekali tidak terlintas dalam pikirannya, malah yang ada ia begitu
senang dan bahagia melihat Sora seperti itu.
“ Jinjja? Tidak usah sungkan!”
Tanpa terasa waktu terus berjalan, kedua orang itu telah
menghabiskan banyak waktu dengan membicarakan obrolan-obrolan ringan. Hingga
rasanya begitu berat untuk menyudahi pertemuan kali ini, terlebih untuk Jong
Dae.
“ Benar tidak perlu ku antar?” Sora tersenyum seolah
meyakinkan lawan bicaranya, “ Ne! aku akan naik bus dari sini.”
Meski merasa sedikit keberatan, namun Jong Dae akhirnya
hanya bisa membiarkan gadis itu pergi tanpa kembali berkomentar. “ Baiklah!
Hati-hati di jalan!”
******
Sora POV
Aku memasukkan buku-buku yang tergeletak di atas meja ke
dalam tasku. Benar-benar ingin keluar dari ruangan ini, kemudian menghirup
udara segar di luar. Sekitar satu setengah jam aku berada di ruangan ini, duduk
dan mendengarkan kuliah dari Park seosangnim yang begitu membosankan. Sepanjang
pelajaran tidak ada satupun yang berani untuk bersuara, semuanya diam
memperhatikan apa yang dikatakan Park seosangnim dengan seksama, meski
sebenarnya tidak menjamin kalau mereka mengerti dengan apa yang mereka dengar.
Karena aku pun begitu.
“ Yak! Kau masih berhutang pada kami.” Aku menoleh cepat ke
arah Gyuri yang berjalan beriringan di sebelah kananku. Hutang apa?. “ Aku
bukan Nayoung yang suka berhutang.”
“ Yak!” aku hanya terkekeh pelan saat Nayoung berdecak kesal
saat aku menyebut namanya.
“ Kau belum bercerita tentang kencanmu dengan Jong Dae
kemarin.” Jawab Gyuri sambil menyikut lenganku. Aisshh…ada apa dengan gadis
ini? kenapa dia jadi menyebalkan?.
“ Ciishhh…harus berapa kali aku katakan, kalau itu bukan
kencan? Kemarin tidak seperti yang kalian bayangkan.” aku memutar bola mataku,
saat mereka berdua, maksudku Gyuri dan Nayoung mengangguk sambil tersenyum
aneh. “ Terserah jika kalian tidak percaya!”
******
Dari kejauhan, tepatnya dari lantai atas bisa kulihat
berbondong-bondong orang tengah dikumpulkan di lapangan utama, beberapa
diantaranya ada yang berdiri paling depan sambil terus berkeliling mengawasi
orang-orang yang berada dalam barisan. Pemandangan mirip seperti pemandangan
saat masa orientasi, hanya bedanya tidak ada yang memakai atribut aneh atau mendapatkan
perlakuan memalukan dari para senior.
“ Itu dia!” pandanganku beralih pada tiga makhluk di
sampingku yang tengah antusias menunjuk seseorang. “ Siapa?” ku ikuti arah
tangan Nayoung, tapi aku hanya mendapati seorang pria gendut berkaca mata
dengan kumis tebal. Aigoo!! Bukankah itu Park seosangnim? Jadi…orang yang dari
tadi membuat mereka bersikap tidak wajar itu seorang dosen galak dan
menyeramkan itu?. aisshh….sepertinya mereka sudah tidak waras.
“ Dia memang selalu tampan dalam kondisi apapun, bahkan saat
di bawah terik mataharipun ia tetap tampan.” Aku hanya bisa menggelang, atau
lebih tepatnya kehabisan kata-kata. Aku tahu Cho Nayoung adalah fans berat
pria, tapi haruskah Park seosangnim termasuk di dalamnya?.
“ Walaupun menyeramkan, tapi kuakui dia memang tampan.”
Tambah Cheonsa yang membuatku semakin geger. Mungkin jika hanya Nayoung yang
berkata seperti itu aku masih maklum, tapi ini Cheonsa. Seorang Jung Cheonsa penilaian
tampan dalam hidupnya begitu tinggi, tapi kenapa sekarang bisa berubah begitu
dramatis.
Aku sudah berusaha untuk menutup telinga kanan dan kiriku,
tapi sekuat apapun aku melakukannya, tetap saja suara pembicaraan mereka masih
bisa terdengar olehku. Ini sungguh menggelikan, aku seperti sedang berada di
dalam kawasan penderita katarak. Dari tadi mereka tak kunjung berhenti
membicarakan ‘ketampanan’ Park seosangnim.
“ Kalian sudah tidak normal? Orang seperti itu kalian bilang
tampan, pria ideal, calon suami idaman, salah satu makhluk tuhan paling
sempurna? Cihh…di nilai dari sisi apanya? Dimana mata kalian?” racauku penuh
emosi, hingga aku sendiri merasa terengah setelah mengatakannya. Mereka
menatapku bingung, heran, dan aneh?.
“ HAH!! Sudahlah!”
aku kembali mengarahkan pandanganku ke arah lapangan.
“ Kau bilang kami tidak normal? Sepertinya kenormalanmu yang
perlu dipertanyakan.” Aku berbalik memandang mereka bertiga, terutama Nayoung,
orang yang baru saja mempertanyakan kenormalanku. Cihh…untuk apa gadis itu
mempertanyakan kenormalan orang lain, jika kenormalannya sendiri masih jauh di
bawah ambang normal?.
Aku sedikit terhuyung ke samping, ketika Nayoung mengamit
lenganku dan menariknya secara paksa. Mau tak mau membuat lenganku berhimpitan
dengan lengannya, ditambah dengan Cheonsa yang ikut menghimpit sisi kananku,
membuatku terjepit.
Tangan Cheonsa memutar paksa kepalaku ke depan, tepat ke
arah lapangan. Aku hanya bisa menghembuskan nafas pasrah, karena percuma saja
aku berontak. “ Lihat!” aku mendecak kesal saat Gyuri dengan sok-nya
memerintahku. “ Perhatikan! Apa manusia seperti itu tidak pantas dibilang
tampan?” lanjut Gyuri.
Sejauh ini aku tak menemukan seseorang dengan wajah kelewat
tampan, semua namja yang tertangkap oleh mataku terlihat biasa saja. jadi siapa
yang mereka maksud dengan salah satu
makhluk tuhan paling sempurna itu?.
“ Biasa saja, semuanya terlihat sangat biasa. Tidak ada yang
istimewa!” lenguhan frustasi tertangkap oleh telingaku, kentara sekali kedua
orang yang tengah mengapitku ini sedang berancang-ancang untuk menelanku.
“ Yak!” aku mengerang kesal saat untuk kedua kalinya,
Cheonsa memutar kepalaku seenak dengkulnya. Benar-benar tidak sopan! Setidaknya
aku itu tiga bulan lebih tua darinya! Harusnya ia menghormatiku, bukan malah bertingkah
seenaknya begini.
“ LIHAT!! Lihat orang itu, bodoh!” tegas Cheonsa yang sukses
memekakkan telingaku. Rasanya setelah ini aku perlu memeriksakan kondisi
telingaku. Pandanganku mengarah sejurus ke tempat tangan Cheonsa mengarah.
Mataku hampir saja keluar dari kelopaknya saat melihat sosok
yang dari tadi menjadi topik pembicaraan ketiga temanku. Sosok itu berdiri
diantara sekian banyak manusia di lapangan, namun ia terlihat begitu istimewa.
Padahal tidak ada yang ia lakukan kecuali berdiri sembari memasang ekspresi
diam, tidak ada hal khusus yang ia lakukan untuk membuat dirinya tampak
bersinar, tapi bagiku ia begitu bersinar. rasanya aku ingin sekali berkedip
untuk menghindari pancaran cahaya dari sosok itu, tapi sayangnya hatiku tidak
ingin melewatkan wajahnya barang sedetikpun. Apa yang harus kulakukan?. Kenapa
wajah itu tak bisa ku lewatkan? Kenapa aku malah semakin menginginkan waktu
yang lebih lama untuk memandanginya? Memandangi Tao…
“ Bagaimana? Apa orang itu tidak pantas mendapat predikat
tampan?” tak kuindahkan pertanyaan Nayoung barusan, batinku sedang sibuk memuji
kesempurnaan sosok itu. tapi sedetik kemudian, aku kembali tersadar dari
pikiran-pikiran aneh yang dari tadi menjalar dalam benakku. Ku putar tubuhku,
menutup akses bagiku untuk melihat sosok itu kembali.
“ Apa kau baik-baik saja, Sora-aa?” Tanya Gyuri.
“ Aishh…aku tahu, kau begitu terpesona, tapi tidak perlu
berlebihan seperti ini juga, kan?” ku lirik Nayoung yang tengah menatap dengan
tatapan mengejekku. Anak ini benar-benar menyebalkan, membuatku ingin menggaruk
wajahnya dengan scoop pasir.
“ Sejak kapan dia ada disitu?”
“ Sejak semua orang berada disitu.” Jawab Nayoung. Aku
mendelik ke arah Nayoung saking kesalnya dengan gadis itu. tapi sayangnya dia
tak begitu terpengaruh dengan amarahku, lihat saja bagaimana caranya terkekeh.
Benar-benar memuakkan.
“ Dia sudah berada di situ saat semua pengisi acara pentas
seni diperintahkan untuk berkumpul di lapangan.” Untung saja Gyuri cepat-cepat
menjawab dengan benar, kalau tidak aku tidak jamin kalau detik ini seorang
gadis bernama Cho Nayoung masih ada di muka bumi ini.
“ Jadi dia bersedia untuk tetap ikut?”
“ Kelihatannya seperti itu, memangnya kenapa?”
“ Aniya…” jawabku cepat dan juga melesat cepat memisahkan
diri dari mereka bertiga.
******
Tao POV
Semua mata tertuju padaku, beberapa diantaranya ada yang
menatapku dengan tatapan mengejek. Bisik-bisik beberapa orang terdengar, meski
tidak terlalu jelas, namun sedikit kurangnya aku bisa mengerti maksud dari
perbincangan mereka yang tengah mencemoohku.
“ Sehebat apa kemampuanmu, mahasiswa baru? Heuh? Apa kau
satu perguruan dengan Bruce Lee? Jackie Chen? Atau Jet Li? Hah?” salah seorang
anggota kesiswaan menghampiriku, ia menatapku seakan sedang meremehkanku. Ia
kira aku takut? Apa karena ia senior dan juga seorang kesiswaan, aku akan
takut? Tidak! selama aku tidak salah. Lagipula apa yang salah, jika aku menolak
untuk memperlihatkan kung fu-ku di depan banyak orang? Jelas aku tidak salah,
masalah aku mau atau tidak itu mutlak menjadi hakku bukan?.
Kembali lagi pada orang tengil di depanku ini, semakin lama
ia semakin merapat saja denganku. Dia terus menatapku dengan tatapan yang
mungkin selalu ia gunakan untuk mengintimidasi para juniornya selama ini, tapi
jika ia mencoba metode itu padaku, jangan harap berhasil. Karena ku rasa aku
punya yang lebih keren dari miliknya.
Pria berwajah mirip tokoh manga ini menaikkan salah satu
alisnya saat aku malah menatapnya balik
sambil mendesis pelan. “ Yak! Sedang apa kau? berani denganku?” mata pria ini
terbuka lebar beriringan denga suaranya yang semakin meninggi. Ia pikir dengan
meneriakiku seperti itu, membuatku takut padanya? Hah…jangan mimpi!
Jika dari tadi hanya ia yang terus merapat padaku, sekarang
giliran aku yang merapat padanya. Menatapnya lekat-lekat, tepat di bola matanya
yang kini hampir keluar dari kelopaknya. “ Kalau aku jawab iya, apa yang akan
kau lakukan? Berkelahi? Ah…jika itu, maaf…aku bukan tipikal pria bandit seperti
itu. mengerti?”
Aku lantas
memalingkan wajahku, lalu memutar tubuhku sejurus kemudian. Berjalan santai
melewati gerombolan orang yang dari tadi menjadikanku ‘tontonan gratis’ mereka.
mungkin mereka pikir, mereka akan mendapatkan tayangan menarik, seperti
perkelahian mungkin. Tapi sayangnya, aku tidak akan membiarkan itu terjadi
Aku terus berjalan meninggalkan lapangan hingga sekarang
berada di lorong-lorong sekitar gedung fakultas hukum. “ Bukankah kau sudah
bersedia? Lalu kenapa kau tidak mau menunjukkan kemampuanmu pada mereka?”
refleks, tubuhku berbalik ke belakang dan menemukan sosok gadis yang baru
saja…apa bahasa tepatnya? Menyapa? Bertanya? Atau menyindir?. Aissh…entah
termasuk ke dalam jenis apa ucapannya, yang penting dia sedang bicara denganku.
Dia menaikkan alisnya, memintaku untuk menanggapi ucapannya.
Aku pun berbalik ke depan dan kembali berjalan saat ia berada di sampingku.
Aku menoleh ke arahnya, pada saat yang sama ia juga sedang
menolehkan kepalanya. “ Mwoya?” sungutnya penuh penekanan, “ Apa kau lapar?”
tanyaku, ia hanya diam namun biji matanya terus bergerak entah kemana. Ah…sudah
terbaca jelas kalau jawabannya ‘iya’ tapi dia begitu gengsi untuk sekedar
mengatakan yang sebenarnya. “ Kajja!” seruku. Aku mengambil langkah cepat,
membiarkannya tertinggal di belakangku.
“ YAK!! Siapa bilang aku lapar!” teriaknya kesal. Cihh…kau
masih mau mengelak Kim Sora? Padahal sudah tertulis jelas ‘aku sangat lapar’ di
keningmu, dan kau masih mau mengelak? Ternyata tingkat gengsimu tidak pernah
berubah.
“ Hari ini aku traktir!” sahutku tanpa membalikkan badanku
sedikitpun, aku terus berjalan sambil berteriak seperti di hutan. “ Ba..baiklah
kalau kau memaksa!” terdengar sedikit ragu-ragu, tapi kurasa bukan karena ia
tidak lapar, melainkan ia terlalu gengsi untuk menerima ajakanku. Aku sangat mengenal bagaimana dirimu Kim
Sora.
******
At Cafetaria
Kami berdua terdiam saling menatap satu sama lain, tak
seorangpun berniat untuk menyentuh makanan yang sudah tersedia di atas meja.
Tentu aku sangat ingin memakannya sesegera mungkin, hanya saja aku ingin
menguji sampai mana kekuatan gadis ini dalam mempertahankan gengsinya.
Aku memajukan dudukku, “ Makanlah!” dia memalingkan wajahnya
ke arah lain, memasang wajah tak peduli. Baiklah kalau begitu Kim Sora, kita
lihat sampai mana batas pertahananmu.
Tak lama seorang pelayan kantin datang dengan membawa dua
piring pesananku, bisa dibilang senjata andalanku untuk menjebol pertahanan gadis
di depanku. Aku lantas berterimakasih pada pelayan itu, kemudian mengangsurkan
salah satu dari dua piring yang baru diantar tadi ke arah Sora.
“ Ku bilang aku tidak lapar! Jangan memaksaku! Kalau kau
ingin makan, makan saja sendiri!” ia terus mengoceh, tapi ekspresinya langsung
berubah, seolah tertegun dengan piring di depannya. Seperti baru saja disihir
menjadi patung, Sora tak bergeming sedikitpun, mungkin bisa ku bilang, berkedip-pun
tidak. ia seperti terperangah, bagaimana tidak? salah satu makanan kesukaannya,
Choc Milk Cake tengah terpampang indah di depan matanya, membuatnya ingin
cepat-cepat melahap habis. Tapi sayangnya ia sudah terlanjur berkata tidak
lapar, yang pastinya membuat gadis ini ragu untuk menyentuh kue itu. pasti dia
sedang dilema memilih antara hasrat dengan harga dirinya.
Hanya bisa tertawa dalam hati, melihat bagaimana gadis itu membuat
ekspresi seperti sedang menelan air liurnya sendiri. aku kenal ia dengan baik,
cokelat, apapun yang terbuat dari buah itu adalah makanan kesukaannya. Dan aku
yakin, kali inipun begitu.
Berniat menggodanya, perlahan aku menarik kembali piring di
hadapapannya. Ekspresi tidak rela terpampang jelas di wajah Sora, ia
memandangku seolah menyuruhku untuk mengembalikan piring itu kembali.
“ Maaf..aku tak bermaksud memaksamu. Jika kau tidak mau
memakannya, aku akan membungkusnya untuk Soobin.” Ucapku dengan nada menyesal.
Dia sedang berakting tidak menginginkan kue ini, akupun akan mengimbanginya
dengan kualitas akting yang cemerlang.
“ Aisshh!!! Ah…aku tidak bermaksud seperti itu…a..”
Mulutnya tertahan kemudian mengatup perlahan, ketika aku
menyelaknya dengan nada menyesal. “ Tidak apa, aku mengerti.”
“ Sini! Biar aku makan, bagaimanapun juga aku harus
menghargai pemberian orang lain bukan?” ia merebut piring itu, dan menariknya
pelan hingga piring itu berhenti tepat di hadapannya. Perlahan ia menyentuh
sendok kecil untuk menyantap kue itu, namun sebelumnya ia memandangku ragu.
“ Tidak apa kalau kau tidak ingin memakannnya, jangan
paksakan dirimu.” Ucapku memperingatinya. Kemudian ekspresi wajahnya berubah,
aku tak terlalu paham untuk menjabarkan bagaimana ekspresinya, tapi
kelihatannya ia sedang meringis. “ haha…tidak…jangan seperti itu.” rasanya aku
ingin tertawa lepas sekarang juga, tapi sayangnya itu malah akan merusak
segalanya. Jadi lebih baik aku tertawa dalam hati saja.
Tak ingin terus mengganggunya, akupun menyantap makanan di
piringku. Sesekali sembari menyuapkan sesendok ke dalam mulut, aku meliriknya
sekilas. Sesenang itukah, orang yang makan dalam keadaan terpaksa? Begitu
ceria, lahap, dan sangat menikmati?. Hah…gadis ini! kenapa sulit sekali untuk
sekedar berkata ‘ ya! Aku mau!’, aku pun tak akan mengejeknya hanya karena ia
berkata begitu.
“ Ya…kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau menolak
untuk menunjukkan bakatmu?” aku menghentikan kegiatanku, lalu memandang orang
di depanku. Ia kelihatan begitu menantikan jawaban dari mulutku.
Berpikir sejenak, kemudian menarik nafas dalam-dalam “ Untuk
apa? pamer? Lagipula pentas seninya bukan hari ini, kan? Malah masih satu bulan
lagi, yang harus dipertanyakan, kenapa dari sekian banyak orang di lapangan
tadi, hanya aku yang ia suruh? Apa menurutmu itu tidak aneh?”.
“ Arraseo, tapi haruskah kau bersikap seperti itu? kau tidak
tahu siapa yang tadi kau hadapi? Dia Jaebum sunbae, senior paling populer,
tenar, ditakuti, dan berkuasa. Sebelumnya tidak ada yang berani menentangnya,
tapi kau yang notabenenya baru empat bulan bersekolah disini sudah begitu
berani padanya.”
Ku tatap baik-baik raut wajah Sora yang berubah serius
ketika menyinggung masalah bocah tengil itu, siapa? Ah…Jaebum.
“ Memangnya kenapa? Apa karena aku murid baru, aku harus
ikut-ikutan tunduk padanya? Selama aku tidak berbuat salah, untuk apa aku
takut? Harusnya etika bocah itu yang dipertanyakan, bagaimana bisa ia
memerintah orang lain seenaknya dan menghukum orang itu jika tidak melakukan
sesuai yang ia inginkan? Cihh…orang macam apa dia? Dia pikir junior itu
budaknya?”
Gadis di depanku hanya diam tak bergeming, bahkan tak
berkedip, mungkin dia terkesan dengan pendapatku yang sangat bijak barusan. Ia
menggelengkan kepalanya, kemudian menghela nafasnya secara dramatis. “ Terserah
kau saja!” ucapnya, kemudian menyeruput lemon juice miliknya.
“ Bagaimana kencanmu tempo hari?”
Tiba-tiba ia tersedak, kemudian menanggalkan sedotannya.
Pandangannya langsung mengarah padaku, sambil sesekali terbatuk. “
Kau…Isshh…pasti gadis-gadis itu yang mengatakannya. Harus ku bilang berapa kali
agar kalian berhenti menyebutnya sebagai kencan??. Jelas-jelas itu bukan
kencan. Menyebalkan sekali.” Cercanya tanpa jeda. “ Siapa tahu?.” Gumamku, lalu
kembali menyantap cheese cake milikku.
******
Author POV
Segerombol pria tengah berkumpul di taman belakang sekolah,
mereka tengah berkumpul membicarakan sesuatu. Nampaknya aura benci dan balas
dendam begitu kuat, dan melatar belakangi pertemuan dari lebih lima orang itu.
salah satu diantara mereka, yang nampak seperti pemimpin gerombolan bocah itu,
tengah mengangguk sembari menyeringai licik. Pikiran-pikiran buruk tengah
menguasai akal sehatnya, membuat pria usia duapuluh dua tahun itu nampak seperti
agen mafia yang sedang merangkai serangkaian strategi pembunuhan.
Ia berdiri dari duduknya, lalu berjalan beberapa langkah ke
depan. langkahnya berhenti, sejurus dengan matanya yang sedang menerawang ke
depan. salah satu bibirnya tertarik, “ Dia sudah merenggut harga diriku, dia
pula yang harus mengembalikannya.” Gumam orang itu sembari terkekeh pelan.
******
At Library
17.15 KST
Seorang
gadis muda begitu gelisah, posisi duduknya terus berubah-ubah seiring dengan
rasa bosan yang menyergap batinnya. Ditatapnya jengah pria di depannya yang
masih sibuk membaca buku-bukunya, gadis itu, Cheonsa, berharap agar pria itu
cepat-cepat menyelesaikan kegiatannya supaya ia bisa segera keluar dari
perpustakaan itu.
Namun,
sepertinya pria di hadapannya masih sangat enggan untuk meninggalkan ruangan
itu, bisa terlihat jelas dari ekspresinya yang begitu antusias.
“ Kapan
aku boleh pulang?” tanya Cheonsa sinis. Tapi pria di hadapannya cuma menatapnya
sekilas kemudian menyibukkan dirinya dengan bahan bacaannya. “ Sampai kau
menemukan pemacahan masalah dari tugas ini.”
Cheonsa
memutar bola matanya, “ Aku sedang tidak ingin berpikir, jadi sampai kau
botakpun kalau aku memang tidak ingin, ya…artinya tidak. lagipula tugas itu
dikumpulkan satu bulan lagi.” Racau Cheonsa. Ia amat frustasi dengan makhluk di
depannya yang terus memaksa dirinya untuk berpikir dan tentunya orang yang
menyebabkannya terjerembab dalam perpustaskaan sekolah yang mulai sepi.
“ Ayolah
Park Chanyeol… ini sudah sore, aku ingin pulang!!” pinta Cheonsa dengan
memelas.
Seolah
sudah teguh dengan pendapatnya, pria bernama Park Chanyeol itu mengabaikan
ucapan Cheonsa. Dan terus bergelut dengan majalah-majalah games yang telah ia
ambil dari rak khusus majalah. “ Tenang saja aku akan mengantarmu nanti.”
Cheonsa mengerang frustasi sambil mengacak rambutnya pelan.
Bilang
saja kau ingin pulang bersamaku. Kau pikir aku bodoh? Aku tahu kau punya maksud
terselubung padaku bukan? Dumel
Cheonsa dalam benaknya.
Tiba-tiba
seorang pria lagi datang, kemudian menepuk pelan bahu Chanyeol, membuat pemilik
bahu itu menoleh dan tersenyum singkat pada orang itu. “ Sepertinya kau sedang
sibuk?” tanya orang itu seraya menempati bangku di samping Chanyeol.
Mendengar
pertanyaan itu, Cheonsa terus menggerutu sebal. Bagaimana bisa membaca majalah
games disebut sebagai kesibukan? Yah…kalaupun iya, mungkin itu merupakan
kesibukan orang-orang kurang kerjaan, seperti Chanyeol contohnya.
“
Tidak juga, aku hanya sedang membaca beberapa majalah sembari mendiskusikan
sesuatu dengan gadis bisu itu.” ucap Chanyeol sambil membalik lembar majalahnya
ke lembar selanjutnya.
Pandangan
pria itupun tertuju pada Cheonsa yang duduk di depannya, gadis itu nampak
begitu kacau, terlebih ia baru saja mendapat predikat baru dari Chanyeol yaitu
‘gadis bisu’. “ Kau belum pulang nona Jung?” tanya pria itu yang lebih
terdengar seperti ledekan, mendengar itu Cheonsa hanya bisa mencibir kesal, dua
pria di depannya begitu menjengkelkan.
“
Kalau aku sudah pulang, aku tidak mungkin berada di sini, bodoh!”
“
Keurae aku hanya bercanda. Tapi tidak biasanya kau masih di sekolah, biasanya
kau seperti kilat kalau sudah waktunya pulang.”
Gadis
itu menghela nafas sejenak, pikirannya kian kacau saja saat pria itu
menyinggung alasan kenapa dirinya masih di tempat ini. “ Hah…kalau bukan karena
domba itu, aku mungkin sudah pulang dari tadi.” Jawab Cheonsa sembari
mengarahkan kepalanya ke arah Chanyeol.
Pria
itu, atau lebih tepatnya Huang Zitao, hanya mampu menganggukkan kepalanya tanpa
ingin mengomentari dua orang yang dari tadi terus saja melemparkan
julukan-julukan aneh pada satu sama lain.
“
Apa yang lainnya sudah pulang?”
“
Ya…mereka sudah pulang dari tadi.” Jawab Tao. Seketika raut wajah Cheonsa melemas,
kini ia benar-benar tidak bersemangat, menyadari perubahan ekspresi pada gadis
itu, “ Oh..ayolah! kau sendirikan yang meminta mereka supaya pulang duluan?”
“
Benar…tapi aku menyesalinya sekarang.” seperti sudah kehilangan seluruh
semangatnya, Cheonsa menunduk lemas.
suasana
menjadi hening, semua sedang bergulat dengan kesibukan masing-masing. Chanyeol
sedang mengagumi game-game yang baru saja ia lihat di majalah, sedangkan
Cheonsa sedang termenung meratapi nasibnya, dan Tao, entah apa yang ia lakukan.
Raut
wajah pria bermata tajam itu berubah antusias, ia pun mulai membuka mulutnya, “
Coba tebak, bersama siapa tadi Sora pulang?”. Berharap mendapat respon yang
sepantasnya, namun pada kenyataannya Tao hanya bisa mengulas kesabaran , saat
wajah datar Cheonsa terpampang jelas, tanpa ekspresi. “ Nayoung.”
“
Bukan!! Tapi….”
“
Tapi apa?”
“
Sora pulang bersama pria bahagia itu, pria yang selalu tersenyum dimanapun,
kapanpun, dan pada siapapun.” Ungkap Tao dengan penuh ekspresi, benar-benar
berlawanan dengan kepribadiaannya.
Cheonsa
hanya menggaruk tengkuknya, ia heran pada Tao yang begitu ekspresif. Terlepas
dari itu, ia bingung dengan orang yang dimaksud oleh Tao. “ Pria bahagia?” Tao
mengangguk mantap.
“
AH! J..J…J..Jong Dae?” untuk kedua kalinya Tao mengangguk pasti, “ Tepat
sekali!”.
“
Kim Jong Dae? Aigoo…besar juga nyali bocah itu.” seru Cheonsa seperti sedang
berusaha meyakinkan dirinya sendiri. setelah kencan waktu itu, kini ia menjemput
Sora. Aku jadi penasaran, hubungan macam apa yang sedang terjalin diantara dua
orang itu pikir Cheonsa.
“
Tapi…sebenarnya siapa Jong Dae itu?” Tanya Tao sedikit ragu.
“
Seperti yang ia katakan, ia pernah satu kelas dengan Sora, aku, Hara , dan
Nayoung. Ia termasuk anak terpintar di kelas, dia rajin, disenangi banyak
orang, ramah, yah…salah satu pria idaman di sekolah. Suatu ketika ia menyatakan
perasaannya pada Sora, tapi Sora menolaknya hingga akhirnya mereka berdua
sepakat untuk berteman seperti sebelumnya, tapi nampaknya setelah kejadian itu,
Jong Dae malah semakin dekat dengan Sora. Hampir setiap hari, ia memberikan
Cokelat pada Sora. yah… sepertinya ia masih menyukai Sora, dan mungkin
sekarangpun begitu.” Jawab Cheonsa secara lengkap.
Tao
memundurkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Ia mengangguk
sambil terus mencerna kata-kata Cheonsa dengan baik. kepalanya sedikit berputar, seolah dengan seperti itu
ia akan lebih cepat memahami apa yang baru saja ia dengar.
******
Tao POV
Ku
sandarkan punggungku pada sandaran kursi yang berhadapan dengan meja belajar,
sesekali tanganku meraih apa saja yang ada di atas meja kemudian memainkannya.
Seluruh minatku tiba-tiba saja bangkit saat tanganku meraba suatu benda
berpenampang lebar, benda yang memiliki banyak kertas di dalamnya.
Ku
raih benda itu, untuk sesaat ku pandangi benda tersebut secara dramatis
kemudian membalik bagian depannya untuk melihat lembaran di baliknya.
Ini
pertama kalinya aku mencoba untuk menulis sesuatu di sini. Sebenarnya aku tak
tahu apa yang harus ku tulis, bahkan sampai sekarangpun aku bingung kenapa Tao
memberikanku diary ini sebagai hadiah ulang tahunku. Setiap kali ditanya ia
hanya menjawab ‘terima saja! kau itu benar-benar tidak tahu terimakasih!’ atau
‘kalau kau memang tidak menyukainya kau bisa membuangnya, anie! Berikan saja
pada Soobin.’ Atau mungkin ‘cobalah untuk membuat diary itu nampak berguna di
matamu, contohnya dengan menuliskan sesuatu.’ Ya begitulah dan alasanku menulis
pada hari ini yaitu karena jawaban Tao yang ketiga, mencoba untuk membuat benda
ini berguna.
Aku
terkekeh pelan, meski sebenarnya aku sudah membacanya ribuan kali. Tapi
begitulah, aku masih tetap merasa konyol dengan semua tulisannya. Hampir semua
lembar yang ia tulis pasti akan ada kalimat yang kurang lebih ‘karena Tao
menyuruhku untuk menuliskan sesuatu’, aku heran kenapa bisa ada manusia seperti
dirinya. Bukankah kebanyakan gadis suka menuangkan perasaannya dengan
menuliskan semuanya ke dalam buku diary? tapi kenapa dia…untuk menulis saja
harus karena suruhan orang lain?. ya…meskipun ada satu lembar dimana ia
benar-benar tak menuliskan note ‘karena Tao menyuruhku untuk menuliskan
sesuatu’.
Pada
awal tulisannya banyak sekali coretan, seperti menumpang tindihkan kata-katanya
yang salah. Tidak seperti biasanya, tulisannya pada lembar itu begitu
berantakan dengan ukuran yang besar-besar. Ia menuliskan Lalu
aku harus apa????? menangis? Berteriak? Atau mengadu? Kenapa harus seperti ini?
Isshh… aku menangis. Argghh…sepertinya aku mulai gila, bagaimana bisa aku
berpikir bahwa menulisnya di buku ini akan membuatku lebih tenang?
Setiap
kali mengingat tulisan itu, tulisan yang berada di pertengahan buku, meski ia
memang tak pernah menulis secara berurutan, aku jadi ingin tahu sesuatu.
Tulisan terakhir dalam buku yang masih tersisa ratusan lembaran kosong di
dalamnya, tulisan yang hingga kini belum ku ketahui maksudnya meski aku sudah
membaca berulang kali. Aku selalu berpikir, saat menuliskannya Sora sedang berada
dalam masalah yang aku tak ketahui apa itu.
Meski
aku berteman dengannya sejak kecil, tapi selama itulah aku bermain bersama
orang yang tak pernah ku kenal dengan baik. Payah, mungkin dan aku akui itu.
Sekalipun aku mengetahui beberapa kebiasaannya, tapi itu juga karena kami
sering bersama dan secara tak sengaja membuatku menemukan potongan-potongan
puzzle tentangnya, kemudian perlahan-lahan kurangkai potongan itu menjadi satu
meski tak sempurna. Karena ada saja celah dimana aku tak mengerti perilakunya,
seperti tiba-tiba ia mendadak pendiam, tidak banyak bicara. Atau saat aku
merasa dia sangat aneh padaku, terlebih saat kami beranjak kelas 6 sekolah
dasar dan seterusnya. Ia seperti membuat benteng pemisah denganku.
Yah…aku
tak sepenuhnya mengatakan kalau perilakunya menjadi aneh secara tiba-tiba,
karena memang pada dasarnya Sora bukan tipikal orang yang suka menceritakan
masalahnya pada orang lain.
Terlepas
dari semua pertanyaan yang berkelebatan di dalam benakku, buku ini lebih
tepatnya diary ini harusnya berada di tangan pemiliknya, Sora. saat ulang
tahunnya yang kesebelas, aku memberikan buku ini padanya. Aku masih sangat
ingat bagaimana ekspresi bingungnya saat ia mendapati diary sebagai kadonya,
dia mengerjap berulang kali, seolah baru pertama kali melihat benda bernama
diary.
Dia
juga selalu bertanya kenapa aku memberinya diary, ya…seperti yang ia tulis di
buku itu, aku menjawabnya persis seperti itu. Sebenarnya, aku sendiri juga tak
tahu kenapa aku harus memberinya benda itu, yang jelas aku merasa ia butuh
benda seperti itu.
Terus
kenapa benda ini bisa ada padaku sekarang? apakah ia membuangnya, kemudian aku
yang menemukannya? Tentu tidak. tepat beberapa hari setelah aku meninggalkan
Korea, ayahku mendatangi ku di China dan memberikan buku ini padaku. Tak banyak
yang ia katakan, ayah hanya mengatakan jika benda ini titipan dari Im ahjumma.
Meski
awalnya aku tak tahu apa yang harus kulakukan pada buku ini, tapi kemudian aku
memutuskan untuk menjaganya baik-baik, bahkan hingga kini.
******
At
Library, Chung Ang University
Ku
balik halaman yang telah usai ku baca, mataku kemudian berpindah pada halaman
berikutnya. Begitu banyak kata, bukan, tapi banyak sekali paragraf yang
membuatku pusing untuk membacanya. Tapi demi alasan untuk kabaikan sendiri, aku
bertahan dan meneruskan bacaanku.
Rasanya
semua kata, bahkan isi keseluruhan buku ini sangat mudah ditebak, buku ini tak
jauh berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang menuliskan semua berawal dari diri anda sendiri, jika anda memiliki keinginan yang
kuat, percayalah semuanya akan berhasil cihh…kalau semua buku berisi
seperti itu, untuk apa aku membacanya? Aku membaca buku karena aku memerlukan
saran lain yang setidaknya bisa membantuku. Bukan sesuatu yang telah ku coba berulang
kali, namun juga gagal berulang kali.
Lagu
demi lagu berputar berganti dari satu ke yang lainnya, menemani kesendirianku
yang membosankan. Dari yang bergenre pop
hingga yang bergenre klasik sudah ku
dengar. Tapi hingga kini tak ada satupun dari isi buku ini yang bisa ku jadikan
solusi.
Aku
benar-benar jengah sekarang, kini dudukku mulai tak tenang, berulang kali
kepalaku menoleh ke sekitar.
“
KAU…” aku terkesiap kaget saat tiba-tiba saja ada yang mencengkram bahuku
dengan gemas.
Sosok
riang berdiri di belakangku, tangannya masih berada di bahuku. Ia tertawa
senang, kemudian duduk di sebelahku. Manusia ini baru saja datang, tapi
langsung merusuh, dengan rasa penasaran ia menarik paksa buku yang sedang
kubaca, kemudian meletakkannya ke atas meja, lalu ia mengambil beberapa keripik
kentang milikku dan memakannya dengan penuh minat. Ia terlihat sangat aneh,
bahkan sangat aneh, padahal saat pertama bertemu dia tak seperti ini.
Aku
kembali melanjutkan membacaku, aku tak tahu harus merespon anak ini dengan
ungkapan seperti apa. selagi aku membaca suara mengunyah orang di sampingku
terdengar nyaring, sepertinya ia sangat menikmati keripik kentang itu.
terserahlah.
“
Apa kau mempunyai masalah beradaptasi dengan lingkungan?” suara berat terdengar
di sela-sela kegiatan mengunyahnya. Aku langsung menatap orang sebelahku dengan
diam. Ia melemparkan isyarat, “ Tidak.” jawabku meyakinkannya. Dia mengangguk
pelan, tapi ekspresinya jelas sedang meragukanku.
“
Kalau begitu, untuk apa kau membaca Bersosialisi
Dengan Lingkungan Masyarakat? Untuk mengerjakan tugas? Hhh..” dia mendegus
pelan kemudian, “ Tidak mungkin bukan? Kau itu mahasiswa fakultas manajemen
bisnis, buku yang harus kau baca mestinya perhitungan kalkulus, bursa saham,
investasi dan sebagainya. Bukan buku seperti itu.” tuntasnya sambil menunjuk
buku yang sedang ku pegang.
Aku
menutup mata sejenak sambil menghirup udara kemudian membuangnya
perlahan-perlahan, lalu menatapnya kembali. Kini semua kata-kata telah
terangkai rapih, tinggal mengungkapkannya saja.
“
Ini ketiga kalinya aku menemukanmu sedang membaca buku serupa, pertama saat
kita pertama kali bertemu, kedua saat aku dan Cheonsa mewancaraimu, kemudian
hari ini yang ketiga.” Aku mendengus
pasrah, awalnya aku ingin melontarkan opiniku, tapi karena dia terlampau ‘pendiam’
, membuatku mau tak mau mengalah, karena lagi-lagi ia mengumbar pikirannya.
Ia
memandangku serius, tatapannya tegas, tampak sedang menyelidik. Gayanya persis
seperti seorang detektif yang sedang menyergap mangsanya, apalagi saat dagunya
bertumpu pada kedua tangannya yang merapat, semakin memperkuat kesan
penyelidikan, dan tentunya semakin membuatku seperti seorang yang sedang
dihakimi.
“
Membaca sesuatu di luar jurusanku, apa itu salah? Aku hanya ingin memperluas
pengetahuanku, oh..ayolah apa karena aku mahasiswa fakultas manajemen bisnis,
maka aku tidak boleh membaca sesuatu yang berkaitan dengan psikologi?”
Dia
menjetikkan jarinya, kemudian mencongdongkan tubuhnya ke depan, ke arahku.
Ayolah Park Chanyeol jangan mencoba untuk menebak apa yang terjadi padaku.
“
Kau…tidak bisa berbohong..” ia menggeleng sembari memainkan telunjuknya yang
berputar-putar.
“
Kalau memang tidak, harusnya kau tidak perlu panik begitu.” Ucapnya lagi.
“
Jangan mengada-ngada! Aku tidak panik! Apa ekspresi seperti ini bisa dianggap sebagai panik?” bantahku sambil
menunjuk wajahku sendiri.
“
Aishh…kau ini! kau tahu? Kau itu tidak pandai berbohong! Cepat katakan padaku
apa yang sebenarnya terjadi.”
“
Yak Park Chanyeol! Apa yang sedang kau katakan? Lagipula apa yang harus ku
katakan?”
“
Tao-ah..jebal marhaebwa!” ucapnya merajuk.
“
Ckk…itu bukan urusanmu!”
Aku
terkejut bukan main, saat tadi ekspresinya merajuk tiba-tiba saja ekspresinya
berubah begitu antusias, sama seperti sebelumnya. aku hanya menatapnya bingung,
lebih tepatnya tercekat saat ia memandangiku dengan mata bulat dan berbinar.
“
Kau bilang bukan urusanku? Ah…berarti kau memang memiliki masalah bukan? Ya
kan? Benar kan?” dia memegangi tanganku dengan mengguncangnya sesekali, membuatku
merasa pusing melihat ekspresinya yang berbagai macam rupa.
“
Kau bilang aku adalah temanmu, kenapa kau tidak mau menceritakan masalahmu
padaku? Siapa tahu aku bisa membantumu?”
Aku
menatapnya kemudian menghela nafas pelan, baiklah.
“
Dengarkan baik-baik, sebenarnya aku….”
TBC
Aku comeback!!!!
Wihh gilagila! Salsa gila! *opps! Salah ngomong!
Kekekek….gimana dengan part ini? serukah? Menarik gak? *todong readers
pake golok* atau malah biasa aja? Beneran biasa aja?*pasang muka melas*
Well…if you think so. But you have to know about something, that is ‘
In my imagination, this ff is so cool’, yeah…but I have to admit this ff isn’t
too interesting, right?*niru gaya ala kim dhira*
Walaupun aku udah teriak-teriak, banting otak berulang kali, jedotin
kepala puluhan kali*gaya lebeh salsa*, tapi tetep aja aku gak bisa bikin ff ini
ada gregetnya. Padahal aku mau bikin sesuatu yang menggemparkan, but in fact,
it’s so flat.
Aku gak…berharap banyak dari kalian, yah…kalo kalian emang enggan untuk
kasih komen, yah…apa boleh buat yah? Sebenernya sih aku berharap kalian mau
komen, tapi ya udah deh terserah kalian aja. Yah…seenggaknya kalo kalian emg
respek sama ff ini, tunggu terus lanjutan ff ini.
Ok deh, itu aja dari aku.
Thanks
GSB
Comments
Post a Comment