JOURNEY OF LOVE THE SERIES - Painfully Smile Part 2
Setebal apapun dinding yang membentenginya, tetap saja ia dapat
mendengar semuanya. Mendengar rintihan hati yang entah kenapa berangsur menjadi
raungan yang menyayat hati.
~ Painfully Smile ~
Musim gugur hampir memasuki masa akhir, membuat banyak
dedaunan berjatuhan, menjadikan jalan-jalan memiliki hiasan tersendiri.
Keindahan warna-warni daun kering seakan menjadi magnet tersendiri sebagai
objek pemandangan yang menarik untuk disaksikan. Tapi…seindah-indahnya daun
kering, daun kering tetaplah daun kering. Tetap daun yang telah memasuki fase
rapuh kemudian hancur dan tersapu oleh tebalnya salju di musim dingin nanti.
Namun itu tak perlu menjadi pemikiran berat, karena begitulah roda kehidupan. Ada
waktunya tumbuh, berkembang, menjadi besar, menua, kemudian pergi.
Itulah yang sedang dipikirkan seorang pria yang tengah
berdiri di depan sebuah foto besar yang terpajang di dinding ruang keluarga di
rumahnya. Sepasang suami istri beserta seorang wanita yang umurnya jauh lebih
tua dan tak ketinggalan seorang lelaki remaja tersenyum bahagia dalam foto
tersebut. Jika dilihat, foto itu menggambarkan potret keluarga yang bahagia.
Tapi foto hanyalah foto, sesuatu yang tak bisa menjelaskan kebenaran dengan
konkrit. Itulah kenapa ada pepatah yang mengatakan jangan percayai matamu
sepenuhnya, karena apa yang kita lihat belum tentu apa yang sebenarnya terjadi.
Dan hal itu diyakini oleh pria muda yang masih terdiam di
depan foto besar berfigura emas itu. dalam benaknya, ia sedang berandai jika
keluarganya bisa berfoto seperti foto itu lagi. Ada ayah, ibu, serta neneknya.
Tapi ia segera menepis semua angannya, karena sampai kapan pun hal itu tak akan
bisa terjadi lagi. Tak akan bisa sama persis seperti foto itu, karena nyatanya
sang ayah, lelaki gagah yang tersenyum di foto itu telah tiada. Pergi ke tempat
yang sangat jauh hingga ia sendiri tak bisa menggapainya, meninggal.
“ Kau baik-baik saja nak?” suara lembut terdengar membuat
pria muda itu terkesiap dan berbalik. Sesosok wanita paruh baya telah berdiri
di sampingnya sambil tersenyum, membuat kerutan di sekitar matanya semakin
terlihat. Wanita itu mengelus punggung pria itu, kemudian ikut terlarut
memandangi foto besar di depannya.
“ Tak terasa sudah enam tahun ayahmu pergi.” Ujar wanita itu
masih menerawang jauh pada foto itu, seolah ada dunia tersendiri yang bisa ia
masuki melalui foto itu.
“ Ibu…”
Wanita yang dipanggil ibu itu menoleh pada orang di
sampingnya yang sedang memandanginya dengan pandangan prihatin. Tapi ia malah
tersenyum kemudian mengelus pria muda yang tak lain adalah anak semata
wayangnya. “ Ibu baik-baik saja. sudahlah..kau tidur sana. Ini sudah malam
Luhan.” Lagi-lagi pria muda itu hanya bisa menerima kasih sayang yang begitu melimpah
dari ibunya. Meski tak ada lagi sosok ayah, tapi kasih sayang dari ibu serta
neneknya sudah cukup rasanya.
“ Ibu juga tidur..jangan tidur larut terus. Kalau seperti
itu, aku akan membantu di toko.” Sahut pria itu dengan nada rendah namun
menuntut. Kentara sekali ia sangat menyaingi ibunya.
Sang ibu hanya terkekeh pelan memandangi wajah anaknya yang
terlihat lucu saat mengomelinya. “ Tidak perlu…kau sekolah saja yang benar.
Lagipula ada nenek yang membantu ibu.”
“ Mana mungkin aku membiarkan dua wanita tua bekerja
sendirian huh? Ibu harusnya menambah karyawan lagi.”
“ Aissh…kau meremehkan ibu dan nenek? Biar sudah tua kami
masih sangat kuat. Masalah karyawan, sepertinya tidak perlu. Toko ibu hanya
toko kecil yang tidak membutuhkan banyak pekerja. Sudah…kau tidak perlu
khawatir.”
Pria itu, Luhan menghela nafasnya kemudian menatap baik-baik
sang ibu. “ Baiklah…kita lihat seberapa lama dua wanita tua itu bertahan tanpa
bantuanku.” Guyon Luhan yang membuat ibunya meringis sebal, namun tetap
tersenyum setelahnya. “ Ya sudah..aku ke kamar dulu bu.” Wanita yang ia sebut
ibu mengangguk pelan.
Luhan pun berjalan menjauhi ibunya, melangkah menghampiri
kamarnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang saat baru saja
memasuki ruangan pribadinya. Untuk sejenak ia memejamkan matanya, berpikir
dalam kebisuan. “ Maaf aku tak bisa membantumu bu…” gumamnya seraya membuka
kedua matanya.
******
At Cafetaria, Chung Ang University
“ MWO?” di tengah ramainya suasana kantin, salah satu gadis
dari enam gadis yang sedang berkumpul menikmati waktu istirahatnya menambah
keramaian pada tempat itu. dari enam gadis itu, hanya ia yang memiliki respon
begitu heboh, sampai-sampai matanya melotot penuh.
“ Ishh…biasa saja kenapa sih.” Protes gadis lainnya sambil
memandang gadis tadi dengan kesal.
“ Aku tak habis pikir denganmu. Kenapa kau pergi begitu saja
huh? Sekarang aku tanya, apa kau sudah menemukan buku tertentu yang bisa kau
jadikan bahan acuan sebagai laporanmu?” bukannya semakin diam setelah diprotes,
ia malah semakin menggebu. Rentetan kalimat logis terus ia orasikan.
Melihat tindakan luar biasa dari gadis itu, lima gadis
lainnya mengganggap jika gadis itu salah minum obat atau mungkin habis
terbentur. Masalahnya gadis itu tak biasa mengomel atau bersikap serius seperti
sekarang, biasanya ia lebih sering bergurau atau bertingkah konyol.
“ Tidak ada! Isshh…kenapa kau mengomeliku, huh? Kau malah
membuatku semakin panik Ji Eun-aa!” protes seorang gadis yang menjadi alasan
kenapa seorang Han Ji Eun bisa seserius tadi.
“ Aigoo…apa sih yang kau pikirkan Park Gyuri? Kalau begitu
kejadiannya lebih baik dari awal kau tidak usah ikut ke pameran!.
aissh…Jinjja!” kesal Ji Eun yang membuat suasana malah semakin mengeruh.
“ Tenang dulu... pasti ada solusinya. Gyuri-aa, apa kau
masih ingat dengan beberapa buku yang kau lihat di pameran kemarin?.” Lerai
Nayoung. Ia memandang gadis bernama Gyuri dengan intens seperti benar-benar
menunggu jawaban yang terlontar dari mulut gadis itu.
“ Obseyeo..” jawab Gyuri lemah. Ia menundukkan kepalanya,
tak berani menatap mata kawan-kawannya. Jelas…ia merasa bodoh sekarang ini.
posisinya benar-benar tak menguntungkan, karena kesalahan sepenuhnya berada di
pihaknya.
Mendengar pernyataan Gyuri tadi, Ji Eun semakin frustasi.
Entah kenapa dalam kasus ini ia merasa perlu marah dengan tindakan temannya
itu. padahal jika dipikir lagi, kesalahan yang diperbuat temannya itu sama
sekali tak merugikan kelangsungan hidupnya.
“ HUH?? Apa kau bilang? Tidak ada? Aigooo…lalu apa yang kau
lakukan selama berada di sana Park Gyuri??”
Jika Ji Eun semakin bergejolak, empat gadis lainnya lebih
memilih diam. Mereka tak ingin menambahkan apa-apa, mereka tahu jelas kalau
dalam masalah ini Gyuri-lah yang bersalah, tapi hal itu tak lantas membuat
mereka menginginkan suasana semakin kacau jika mereka ikut angkat bicara.
“ Kau…”
Drtdrtrrtdrtt
Suara Gyuri tertahan saat dering ponsel terdengar. Matanya
mengedar seraya dengan tangannya yang bergerilya mengaduk isi tas miliknya.
Dapat. Akhirnya gadis itu menemukan benda kecil yang dari tadi berdering, benda
yang menyebabkan dirinya harus menahan diri untuk berdebat dengan Ji Eun.
Matanya memicing, perasaan ragu berkecamuk dalam dadanya kala nomor penelepon
yang memanggilnya tak ia kenal. Haruskah ia mengangkatnya.
“ Angkatlah! Siapa tahu penting.” Saran Sora.
Gyuri menatap baik-baik layar ponselnya sebelum hatinya
yakin untuk menjawab panggilan tersebut. Gadis itu langsung menekan tombol
hijau. Ia berdehem pelan kemudian mencurahkan segala fokusnya pada penelepon
itu.
“ Yeobseyeo.., Nde?.... Ahhh..Jinjjja??.... Arraseo..”
Sambungan telepon pun putus, lebih tepatnya orang di ujung
sanalah yang memutusnya. Gyuri terdiam sambil mengeratkan genggamannya pada benda
kecil berwarna hitam itu. Sedetik kemudian ia melirik teman-temannya yang
sedang memandangnya dengan tatapan –Siapa-yang-menelponmu?-. iapun langsung
meraih tas selempangnya kemudian menyampirkannya di bahu kanan, sejenak ia berbalik
memandangi teman-temannya.
“ Ada apa?” tanya Hara.
“ Jongdae…dia ada di depan.” jawab Gyuri pelan kemudian
melangkah meninggalkan kawan-kawannya.
Selepas kepergian Gyuri, lima gadis yang masih setia dengan
tempat duduk masing-masing hanya bisa pusing dengan pemikirannya masing-masing.
Kurang lebih mereka memikirkan alasan Jongdae datang kesini. Dan kenapa harus
Gyuri?. Maksudnya…semua juga tahu, kalau Jong Dae menyukai Sora, kenapa ia
malah mencari Gyuri.
Setelah berkutat dengan akal sehatnya, Ji Eun merangkai
segala pemikirannya. Matanya langsung melebar ketika sebuah jawaban ia temukan.
Ia langsung memutar duduknya menghadap Sora, gadis yang sekarang tengah sibuk
dengan ponselnya.
“ Sora…kau tahu sesuatu?”
Ji Eun memasang tampang serius membuat gadis-gadis lainnya
ikut serius, meski sebenarnya mereka tak mengerti. Tapi…dengan begini mereka
akan segera tahu maksud dari Ji Eun.
“ Heuh? Apa?” Sora yang tak mengerti hanya bisa melempar
pandangan heran, terlebih sekarang lebih dari tiga orang sedang menatapnya
dengan serius. Membuat orang takut saja.
“ Eiyy…kau pasti tahu sesuatu. Jongdae…Gyuri…” jawab Ji Eun
dengan menggantung kalimatnya.
Sora memutar bola matanya, sekarang ia mengerti maksud
temannya itu. ia pun menghela nafas panjang kemudian memutar duduknya untuk
mulai bercerita.
“ Kalian tahukan siapa yang membuat Gyuri tak mengikuti
pameran sampai selesai?” lontar Sora yang langsung diangguki empat orang yang
masih serius menyimak setiap kata yang keluar dari mulutnya. “ Yah…karena ia
tidak enak, makanya ia membuatkan laporan buku untuk Gyuri.” Lanjutnya dengan
santai.
Meski informasi yang disampaikan Sora bukanlah informasi
mengenai kebakaran atau gempa bumi, tapi keempat gadis itu langsung melebarkan
matanya dengan mulut terbuka. Aigoo…begitulah
yang mereka serukan seusai mendengar uraian Sora. rasanya takjub, tidak
percaya, dan…kagum.
******
Gyuri POV
Mataku terus mengedar, bergerilya mencari seseorang. Rasanya
sedikit lelah, apalagi sekarang nafasku
tersengal karena habis berlari dari kantin hingga tempat parkir. Alisku
terangkat kala melihat seseorang tengah melambaikan tangannya dari kejauhan.
Dia sedang melambai padaku?. Aku tak bergeming, kini aku sadar siapa orang itu.
entah kenapa aku merasa begitu gugup, segera ku telan air liur ku sendiri.
tanganku meremas tas, seolah dengan begitu bisa menghilangkan rasa gugup ini.
akal sehatku kembali mengumpul, aku harus segera menghampiri orang itu. huft…ku
hirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum melangkah menuju orang yang tengah
bersandar pada badan depan mobilnya.
Rasanya cepat sekali, padahal ku rasa aku sudah memelankan
langkahku. Tapi kenapa cepat sekali aku sampai di depannya?. Aigoo…tenang
Gyuri… dia bukan makhluk berbahaya yang akan memakanmu. Jadi tenang saja, tidak
perlu gugup, ok?.Aku menatap orang di depanku dengan kaku, aku tak tahu harus
melakukan apa. tapi ia malah menyambutku dengan senyumnya seperti
sebelum-sebelumnya.
“ Maaf mengganggu waktumu, tapi…”
Aku segera menyelaknya. “ Ah…tidak apa-apa. sungguh tidak
apa-apa, aku juga sedang istirahat.” Ucapku sambil menggelangkan kepala serta
menyilangkan kedua tanganku.
Ia menatapku kemudian tersenyum, yah…walau dari tadi ia
memang tak berhenti tersenyum. “ Ini..” aku menatapnya dengan bingung, terlebih
saat ia menyerahkan dua buku ke arahku. Tapi ia melirikku, menyuruhku untuk
menerima benda-benda tersebut. Aku pun menerimanya dengan ragu seolah menerima
pemberiannya sama saja seperti menerima uang korupsi.
Dua buku kini sudah berada di tanganku, tak pelak aku
mengamati kedua barang tersebut kemudian menelitinya satu persatu. Jadi biar ku
jelaskan, orang di depanku, maksudku Jong Dae memberiku dua buah buku. Yang
satu buku tulis dan satu lagi buku cerita, yah…lebih tepatnya novel. Tapi..
untuk apa ia memberikan semua ini?. aku mendelik ke arahnya, meminta penjelasan
darinya.
“ Itu laporan buku, aku sudah merangkumnya sedikit, yah…tapi
itu sudah cukup. Namun kalau masih perlu dilengkapi, kau bisa membaca novel
itu. itu salah satu novel best seller yang ada di pameran buku kemarin.” Aku terperangah
mendengar pemaparannya. Entah perasaan semacam apa yang harus kurasakan
sekarang ini. haruskah senang, tidak enak, atau malu?.
Aku kembali memandangi buku-buku ini dengan miris, kemudian
kembali menatap Jong Dae . ingin sekali mengucapkan sesuatu tapi mulutku
tiba-tiba kaku, rasanya sulit sekali untuk digerakkan. Dan lebih parahnya aku
gemetar. Gemetar! Bayangkan. Di saat seperti ini mestinya aku mengucapkan
terimakasih dan embel-embelnya, tapi ini apa? aku malah gemetar.
“ ah..he…kamsahamnida.” dengan sedikit terbata akhirnya
kalimat itu keluar. Akupun langsung membungkuk, menunjukkan padanya bahwa aku
sangat berterimakasih. Cukup lama aku membungkuk, entah karena ingin
berterimakasih atau menutupi rasa malu.
“ Hei…jangan seperti itu. oh…ayolah jangan seperti ini.” ia
menegakkan tubuhku dengan memegangi kedua sisi tubuhku. aku langsung terkesiap
karena ketika aku mengangkat kepala, wajahnya langsung terlihat dalam jarak
yang begitu dekat. Membuatku ingin berteriak, meloncat atau lari. Apa sajalah
yang penting bisa menjauhkanku dari nya.
“ Sekali lagi kamsahamnida.”
“ Aku tidak lebih tua darimu, jadi jangan gunakan bahasa
formal seperti itu.” ia terkekeh membuatku semakin merasa tidak enak. Ah…apa
orang ini tak bisa menunjukkan ekspresi lain?.
“ Gomawo..” ujarku lirih.
Kedua tangannya yang mencengkram sisi tubuhku, perlahan
mengendur dan terlepas. Aku bisa melihat tangannya yang sekarang tengah
terselip pada saku celananya. Memang aku sengaja menunduk, tak berani
menatapnya. Bukan karena apa-apa, hanya
merasa tidak enak saja.
“ Jangan seperti itu. Anggap saja itu hadiah pertemanan
dariku.”
Dengan cepat kepalaku terangkat, benar-benar tak percaya
dengan apa yang baru ku dengar dari mulutnya. Aku menatapnya, mungkin dengan
mata yang melebar. Yah….mungkin.
“ Tapi…”
“ Sudahlah..terima saja. aku sudah mengerjakannya untukmu
jadi aku harap kau mau menerimanya, ok?” ia memajukan kepalanya,
menginstruksikanku untuk mengangguk.
“ Ok…kuanggap kau sudah menerimanya. Baiklah kalau begitu
aku pulang.” Ucapnya dengan semangat.
“ Tapi…novelnya?” aku
mengacungkan novelnya.
“ Untukmu.”
“ Annio! Baiklah…untuk sementara aku pinjam dulu, nanti aku
akan mengembalikan padamu jika aku sudah selesai membacanya. Arra?”
“Hmmm…..baiklah.” ia pun mengangguk dan untuk kesekian
kalinya ia tersenyum. Mengulas lengkungan indah yang ia miliki, aigoo…kenapa
pria ini mudah sekali tersenyum? Coba saja Luhan sunbae bisa seperti dia.
Aishh…ckk..Park Gyuri apa yang kau pikirkan.
******
Author POV
At Economic class
Suasana kondusif mengiringi jalannya kegiatan belajar
mengajar di ruang ekonomi, beberapa murid sedang mencatat apa yang baru saja
Park seosangnim jelaskan, namun ada beberapa yang masih melemparkan pertanyaan
pada gurunya tersebut. Dan Gyuri, Nayoung serta Sora berada di golongan
pertama, mereka sedang sibuk mencatat. Kegiatan mereka hanya menoleh pada layar
proyektor kemudian beralih untuk
menuliskan catatan penting ke buku mereka. sebenarnya mereka ingin sekali
berbincang satu sama lain, tapi mengingat siapa yang sedang berada di depan,
mereka hanya menyimpan keinginan itu dalam-dalam. Lebih baik diam dari pada
dicerca dosen galak semacam Park seosangnim.
“ Jadi…itu Investasi global. Ku kira sudah cukup. Oh ya…ada
satu hal lagi, aku akan mengumumkan nilai ujian kemarin.” Tutur pria setengah
abad berkumis tebal yang memimpin jalannya kelas pada hari ini.
Semua murid jelas hanya memperhatikan pria buncit yang
sekarang tengah mencari-cari sesuatu di mejanya. Pria itu berdehem pelan, tapi
membawa ketegangan bagi semua penghuni kelas. Terlebih saat mereka mengingat
apa yang sebentar lagi akan mereka dengar. Nilai ujian. Siapa yang tidak
gemetar jika nilai ujian keluar?. Terlebih jika mendapat nilai yang tidak
mencapai ketentuan, pasti harus mengulang. Mungkin jika berhadapan dengan dosen
yang manusiawi mereka tidak perlu takut akan remedial, tapi yang ini beda, ini
Park seosangnim. Dosen yang nuraninya enyah hanya bersisa sedikit, batas
toleransinya pun begitu tipis, membuat para mahasiswa harus mengelus dada jika
sudah berhadapan dengan dosen yang satu itu.
Aura mencekam perlahan datang ketika pria tua itu mengumumkan
satu persatu nilai anak didiknya. Ada yang mendesah frustasi namun ada juga
yang bernafas lega ketika mendengar nilainya. Sudah pasti ada yang mendapat
nilai memuaskan dan ada pula yang mendapat nilai buruk. Begitu juga dengan Gyuri,
gadis itu tengah menghembuskan nafas berat. Kepalanya tertunduk, benar-benar
kenyataan yang buruk untuknya. Lagipula siapa juga yang senang mendapat nilai
buruk?.
“ Park Gyuri.” Panggil Park seosangnim dengan tegas. Pemilik
nama itu langsung mengangkat kepalanya dengan cepat, ia kaget saat namanya
dipanggil.
“ Kau ini…ada apa denganmu? Kenapa nilaimu seperti ini?
akhir-akhir ini kulihat kau tidak belajar dengan baik. tugasmu tak ada yang
jelas, semuanya serba kekurangan. Perbaiki time management-mu.” Tutur Park
seosangnim yang begitu mengintimidasi gadis yang mulanya sudah berkecil hati
karena nilainya yang tidak memuaskan.
Tak ada jawaban dari Gyuri, ia hanya menunduk. Semangatnya
bagai menguap. Benar kata Park seosangnim. Beberapa waktu belakangan ini memang
tak satupun pekerjaan yang dapat ia
kerjakan dengan baik. Pasti hanya dikerjakan sampai setengah. Entah kenapa
pikirannya begitu bercabang, di saat ia sedang mengerjakan sesuatu pasti ada
tugas lain yang harus ia kerjakan. Tapi parahnya tidak ada yang terselesaikan
sampai tuntas.
******
Gyuri POV
Rasanya bosan sekali, apalagi mataku yang mulai penat
melihat deretan huruf pada buku yang sedang kubaca. Setiap kata terasa sulit
untuk ku cerna. Ahh…sepertinya aku memang sudah sangat lelah. bagaimana tidak?
aku menghabiskan waktu pulangku untuk berdiam diri di perpustakaan. Bayangkan.
Hampir satu setengah jam aku berhadapan dengan buku-buku tebal penuh teori dari
pakar ekonomi. Belum lagi beberapa
grafik yang menyita penglihatanku dan tak ketinggalan angka-angka rumit terus
saja ku temui di setiap lembarnya. Ah…pokoknya sangat memusingkan.
Sebenarnya aku juga ingin mengakhiri kegiatan menyebalkan
ini, cuma aku tak bisa. Yah…tak bisa. Kalau tidak seperti ini kapan tugasku mau
selesai?. Sudah satu minggu aku mengerjakannya dan sekarang tinggal bagian terakhir.
Makanya aku ingin segera menyelesaikannya, aku sudah muak dengan semuanya. Lagipula
jika aku tidak segera menyelesaikannya, Park seosangnim akan kembali
berkhutbah. Membayangkannya saja sudah menyeramkan, apalagi kalau sampai
terjadi sungguhan?. Pasti dia akan mengomel atau mencaciku karena belum
menyelesaikan tugas remedial darinya. Remedial. Salah satu fenomena paling menyeramkan
yang ku temui di bangku perkuliahan. Dan yang lebih parahnya, aku mengulang
pada mata kuliah Park seosangnim. Rasanya seperti jatuh tertimpa tangga.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, kemudian meregangkan saraf
leherku yang mulai menegang. Kembali ku salami setiap kata, rentetan kalimat,
serta ribuan paragraf yang masih belum ku baca. Sesekali aku menanggalkan buku
tebal itu lalu beralih pada sebuah laptop berwarna ungu yang terletak tak jauh
dari lenganku. Jemariku bergerak lincah pada papan keyboard, mengetikkan
hal-hal penting yang telah ku kutip dari buku tadi.
Drrtdrrtdrttt
Kegiatanku berhenti ketika suara dering ponselku menggema.
Dengan cepat ku ambil benda kecil yang tergeletak diantara buku-buku yang
berjejer sembarangan. Aku hanya meringis pelan kala semua mata mengintrupsiku,
memerintahku untuk segera menghentikan suara berisik yang berasal dari
ponselku. Dengan cepat ku tekan tombol hijau.
“ Ne…ada apa?” tanyaku to the point pada penelpon di ujung
sana. Jelas aku tak ingin berbasa-basi pada manusia bernama Han Ji Eun. Untuk
apa? membuang waktu saja.
“ MWO??? Ckk…tidak bisa nanti saja?” ujarku menanggapinya.
“ Ya sudahlah! Pergi saja!” ucapku dengan berteriak kemudian
menutup panggilan. Aku kesal sekali. Ah…. kenapa sih mereka harus pergi
sekarang?. apa tidak ada hari lain? setidaknya bukan hari ini. Jinjja…!.
“ Kau tahukan peraturan di sini tidak boleh berisik?”
Kepalaku langsung menoleh ke asal suara secepat pemilik
suara tadi terduduk di sebelahku. Ia tak mengindahkanku, ia duduk sambil serius
membaca bukunya. Aigoo….bagaimana ada manusia sekeren ini?. bahkan tanpa seulas
senyum pun ia sudah sangat tampan. Aku termangu mengagumi keindahan tuhan yang
kini berada di depanku.
Aku menggelangkan kepala, mengusir pikiran aneh yang terus
saja memenuhi otakku. Kini kesadaranku mulai berkumpul, begitu juga dengan akal
sehatku. Akupun langsung menegang, tak mengerti harus berbuat apa. haruskah aku
menyapanya? Atau tetap diam seolah tak melihatnya?. ARGGGH…aku bingung!!.
“ Matikan ponselmu saat berada di perpustakaan dan jangan
bicara terlalu keras. Itu mengganggu yang lain.”
Aku yang dari tadi belum beralih memandangnya, kini hanya
bisa tercenung mendengar ucapannya barusan. Ia sama sekali tak menatapku saat
bicara, yang ia lakukan adalah terus berkutat dengan bukunya. Sungguh! Kenapa
ada manusia sedingin ini?.
“ Jeosonghamnida sunbae..” ucapku sambil menundukkan
kepalaku.
Aku menghembuskan nafas berat saat tahu ia tak menghiraukanku.
Huftt…daripada semakin sakit hati, lebih baik aku melanjutkan pekerjaanku
kembali.
Ku mulai menghadap ke laptop, sejenak ku baca kembali
tulisan terakhir yang ku telah tulis. aku mengerinyit heran, kenapa aku tak
bisa berkonsentrasi? Aigoo… sekarang, sekarang aku malah gugup. Serba salah.
Ayolah Park Gyuri…fokuskan dirimu. Tugas ini harus selesai sekarang juga. Tapi tidak
bisa. Sekuat apapun aku mencoba tetap saja aku tak bisa. Sepertinya berada di
dekat orang yang ku sukai membuatku tak bisa beraktivitas dengan benar. Yah…orang
yang ku sukai, Luhan sunbae.
Kepalaku kembali menoleh ke samping, seperti ada magnet yang
menarik kepalaku untuk bergerak. Rasa kecewa memenuhi hatiku saat mendapati
Luhan sunbae yang telah beranjak dari duduknya, kemudian pergi begitu saja. aku
hanya bisa menghela nafas pelan saat melihat punggungnya yang kian menjauh.
Semudah itukah ia datang dan pergi? Datang dengan cara mengejutkan, pergi pun
tanpa berpamitan. Terserahlah…yang penting sekarang aku harus menyelesaikan
tugasku hari ini.
******
Aku merentangkan tanganku lebar-lebar ketika tugas
menyebalkan ini akhirnya terselesaikan. Ah…terimakasih tuhan… akhirnya aku bisa
menuntaskannya. Jadi besok aku tinggal menyerahkannya pada Park seosangnim.
Senangnya. Segera ku benahi segala barang-barang yang terhampar di atas meja.
Ku matikan sistem operasi pada laptopku, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Mataku beralih pada dua-tiga buku yang dari tadi menemaniku selama dua jam
lebih berada di tempat ini . ku tutup buku-buku itu, kemudian menumpuknya
menjadi satu. Setelah semuanya selesai ku kerjakan, aku pun beranjak dari kursi
yang kini terasa hangat. Ku sambar tas selempang berwarna hitam milikku, tanpa
lupa membawa semua buku yang ada di meja. Setelahnya aku mengembalikan
buku-buku itu ke bagian administrasi.
Aku melangkah dengan pelan keluar dari perpustakaan,
yah…sebenarnya tidak terlalu pelan. Aku ingin menikmati setiap langkah,
menikmati setiap pemandangan yang ku lihat. Tubuh ini begitu kaku, dua jam
lebih duduk tanpa jeda sukses membuatku pegal-pegal.
Ku perhatikan setiap pemandangan yang tersuguh di depanku. Area
kampus sudah sangat sepi. Sebagian besar orang sudah pulang, hanya aku dan
beberapa orang saja yang masih di sini. Bahkan teman-temanku saja sudah pulang
dari tadi. Oh ya…membicarakan mereka aku jadi teringat sesuatu. Tadinya mereka
mengajakku untuk pergi ke Café, tapi yah…karena aku tidak bisa, terpaksa aku
tidak ikut. Itulah yang membuatku tadi berteriak sampai Luhan sunbae menegurku.
Gara-gara mereka.
******
Author POV
At Music Studio -
Korea national university of arts
Dentingan melodi piano terdengar hingga ke seluruh penjuru ruangan.
Bunyinya yang indah, membuat orang-orang yang mendengarnya merasa tenang.
Begitu juga dengan seorang pemuda yang tengah memainkan alunan indah itu. ia
sampai memejamkan matanya, membiarkan setiap nada merasuki jiwanya.
Tempo melodi yang ia mainkan perlahan melambat seiring
dengan lagu yang sebentar lagi akan berakhir.
Pria itu melambatkan jemarinya, membiarkan setiap nada yang keluar
terdengar dramatis. Tak lama lagupun berakhir, pria itu hanya menatap deretan
tuts pada piano di hadapannya. Helaan nafas menjadi penutup dari penampilan
sempurna tadi, tapi mungkin akan lebih sempurna jika lagu yang ia mainkan tadi disertai
dengan lirik. Tapi sayangnya sampai sekarang ia belum bisa membuatnya,
jangankan satu lirik utuh, sebait saja belum ada.
Ia tersenyum puas kemudian bangkit dari duduknya. Namun
betapa kagetnya pria muda itu ketika ia membalikkan badannya, ia melihat
seorang pria paruh baya berdiri cukup jauh darinya. Pria berjas lengkap itu
berdiri penuh dengan karisma, tegas dan bijaksana. Lelaki tua itu memandangnya
dengan tatapan tenang, terlebih setelah mendengar alunan melodi tadi.
Hembusan nafas panjang keluar, menandakan bahwa pria muda
itu tak begitu senang dengan kedatangan lelaki tua di sana. tapi mau tak mau,
ia harus tetap berhadapan dengan lelaki itu, lelaki tua yang tak lain adalah
ayah kandungnya, Kim Jung Il. Pria itu melangkah tenang menghampiri ayahnya yang
masih setia di tempatnya.
“ Penampilanmu sangat bagus. Charanda..” ucap lelaki tua itu
lengkap dengan aksen berwibawanya. Ia menepuk-nepuk bahu pria muda yang tak
lain adalah darah dagingnya, anak tunggalnya, putra mahkota yang nantinya akan
mewarisi tahtanya di kerajaan bisnis JoVho Corp, ialah Kim Jong Dae.
Pria muda itu, Kim Jong Dae hanya mendesah jengah. Sungguh
ia bukannya tak tahu cara bersopan santun, tapi hubungannya dengan sang ayah
memang tak terlalu baik, membuatnya bingung harus bersikap seperti apa. “ Ada
sesuatu yang pentingkah sampai appa datang ke sini?” tanya Jong Dae tentu
dengan penuh penekanan. Ia heran dengan kelakuan sang ayah yang tiba-tiba
datang mengunjunginya, terlebih ke tempatnya sekarang, kampusnya. Bukankah dulu
untuk berbincang di telepon saja sangat sulit? Kenapa sekarang ayahnya begitu
baik hingga meluangkan waktunya yang berharga hanya untuk mengunjungi dirinya?
Rindukah? Cihh…tidak mungkin.
Kim Jung Il, pria yang masih gagah meski usianya tak muda lagi
itu tertawa miris. Menyedihkan ketika tahu buah hati yang begitu ia cintai tak
terlalu senang dengan kedatangannya. “ Hhhhh….tidak perlu ada hal penting untuk
menemuimu Jong Dae. Kajja…kita keluar bersama.” meski sedikit sedih, namun pria
itu tak sedikit pun menaruh kesal terhadap anaknya, karena ia tahu, perilaku
Jong Dae sekarang memang karena ulahnya sendiri, kesalahan lebih tepatnya.
Bagai mendengar ajakan damai dari pihak musuh, Jong Dae
mengerinyit heran. Ia tak salah dengarkan? Orang yang selama ini begitu sulit
untuk ia temui, kini mengajaknya pergi bersama? apa jangan-jangan orang di
depannya ini bukan appanya melainkan orang lain?. Tapi…itu mustahil. Lalu
kenapa? Ada apa dengan appanya?.
“ Jong Dae-aa… appa mohon, bisakah kita pergi sebentar? Appa
sungguh merindukanmu, nak…” ucap Jung Il lirih.
Hati Jong Dae miris saat mendengar suara appanya yang
terdengar begitu memohon. Belum lagi ketika tangan hangatnya menggenggam erat
kedua tangannya. Ia merasa kehangatan. Rasa yang begitu familiar untuknya. Rasa
yang sering ia rasakan ketika ia berkumpul dengan keluarganya, berbagi tawa
bahagia, saling menyayangi….aissh…kenapa ingatan itu kembali?. Harusnya ia
sudah terbiasa dengan dinginnya dunia, mestinya ia sudah akrab dengan kesepian
yang mendekamnya setiap saat. Tapi…kenapa perasaan seperti ini muncul lagi?.
Tak bisa dibohongi ia juga amat merindukan ayahnya, rindunya bahkan lebih besar
dari apa yang dirasakan sang ayah.
“ Appa…”
Jong Dae mengulas senyumnya menandakan ia setuju dengan
usulan sang ayah. Melihat hal itu Jung Il ikut tersenyum, lebih tepatnya sedang
mengekspresikan rasa bahagianya. Tidak terhitung berapa banyak usahanya yang
gagal hanya untuk bertemu dengan anaknya sendiri. jadi ketika saat itu tiba,
saat dimana akhirnya ia bisa benar-benar kembali pada sang putra, ia merasa
sangat senang, bahagia, dan terharu.
******
At Park Zoo
Dua pria yang umurnya terpaut jauh satu sama lain, sekarang
terlihat sedang jalan bersama. berdampingan dengan sangat bahagia, meski belum
banyak kata yang diucapkan. Namun me-reka ulang kenangan manis masa lalu lebih
penting untuk mereka saat ini. setiap objek pemandangan yang berhasil
tertangkap mata, membuat mereka mengingat akan banyak hal. Hal-hal yang pernah
mereka lalui bersama.
“ Appa.. apa aku bisa
setinggi jerapah?” tanya seorang bocah kecil yang tengah memandangi beberapa
ekor jerapah dari pagar pembatas. Sang ayah terkekeh mendengar pertanyaan
putranya.
Tak lama sosok ayah
itu mengangkat anaknya membiarkan anaknya duduk di kedua bahunya.
Menggendongnya di bahu. “ WOAAA…APPPA…” seru bocah itu kaget karena perlakuan
dari sang ayah. Tapi tak lama ia tertawa menikmati sensasi menjadi makhluk
bertubuh tinggi, maklum tingginya sekarang baru mencapai seratus duapuluh lima
senti.
“ Kau akan tumbuh
tinggi, tapi tak setinggi jerapah. Menyeramkan sekali kalau sampai uri Jong Dae
yang manis ini setinggi jerapah. Nanti appa bisa ketakutan melihatmu.” Ujar
sang ayah sambil terkekeh, kemudian putranya pun ikut terkekeh.
“ Bagaimana diganti
saja, bagaimana kalau cita-citamu saja yang setinggi jerapah? Ah…tidak!
cita-citamu mesti lebih tinggi dari jerapah kalau perlu cita-citamu lebih
tinggi dari Eiffel, ne?”
“ Kalau appa boleh
tahu jagoan kecil ini ingin jadi apa?”
“ Hemmmm…musisi.
Ya…aku ingin jadi musisi.”
Sekelebat ingatan itu tiba-tiba saja muncul, menggelitik
batin keduanya. ayah dan anak ini hanya terkekeh pelan ketika momen-momen itu
kembali terputar seperti nostalgia. Jong Dae masih ingat jelas bagaimana
dirinya waktu itu. kira-kira ia berumur delapan tahun kala itu. kalau tidak
salah itu ketika dirinya liburan musim panas, ayahnya mengajak dirinya pergi ke
kebun binatang.
Tanpa terasa keduanya telah berjalan cukup jauh, hingga
akhirnya mereka duduk di sebuah bangku panjang yang terletak tepat menghadap ke
sebuah area taman. Keduanya duduk bersebelahan, sang ayah di kanan dan putranya
di kiri.
“ Bagaimana keadaanmu? Apa jantungmu baik-baik saja?” tanya
Jung Il penuh perhatian. Dalam benaknya ia ingin sekali merawat serta menjaga
putranya, memastikan keadaannya setiap saat. Tapi apa daya? Ia tak bisa berbuat
banyak selain berdoa.
“ Gwenchana appa.. Semuanya baik-baik saja. emosiku
terkontrol dengan baik, aku juga melakukan pola hidup sehat seperti
makan-makanan yang bergizi serta berolahraga. Jadi appa tidak perlu khawatir,
aku baik-baik saja.” jawab Jong Dae memaparkan semuanya. Kini dirinya tak
seketus seperti di awal pertemuannya dengan sang ayah. Sekarang ia sudah mulai
mencair karena ia sadar, inilah yang ia butuhkan. Ia tak bisa membohongi
dirinya sendiri jika ia begitu merindukan ayahnya.
“ Lalu bagaimana dengan kuliahmu?”
“ Itupun berjalan dengan baik. setiap hari aku bertemu
dengan banyak alat musik, mendengarkan betapa indah dan menenangkannya suara
merdu alat-alat itu. setiap hari aku sangat senang karena bisa mendengarkan
semua bunyi indah itu. sepertinya hal itu merupakan alasan kenapa jantungku
baik-baik saja. Karena aku merasa tenang ketika mendengar dentingan piano,
merasakan getaran senar gitar, serta terhanyut pada tempo drum yang menggebu.
Semua bebanku hilang saat mendengar itu semua.”
Mendengar penjabaran anaknya, Jung Il tersenyum. Sebagai
orang tua, ia bahagia jika anaknya bahagia. Begitupun sekarang, ia merasa
sangat senang karena ada yang bisa membuat putranya merasa bahagia.
“ Kalau begitu lakukanlah dengan baik. kejar impianmu.
Menjadi musisi bukan?”
Jong Dae terkekeh melihat bagaimana cara ayahnya ketika
menasihati dirinya. Persis seperti appa-nya yang dulu. Saat ia masih kecil,
appa-nya sering sekali menasihatinya dengan cara seperti ini. Benar-benar sama,
bahkan tak ada bedanya. Membuat Jong Dae berharap waktu berjalan dengan lambat,
agar ia bisa lebih lama lagi bersama dengan sang ayah.
******
Gyuri POV
At Chung Ang University
Friday, 16.15 KST
Duduk dengan ketakutan tanpa bisa membaginya pada orang
lain, begitulah keadaanku saat ini. menghadiri kegiatan SarangBook tanpa Ji Eun
ataupun Sora. bayangkan. Hanya aku, yah…walaupun ada orang lain juga. Tapi
tetap saja, aku merasa sendiri. Aku seperti orang asing yang terdampar di
tengah-tengah keramaian. Meski ada beberapa orang yang ku kenal, tapi aku tak
begitu akrab dengan mereka.
Oh ya, masalah ketakutanku. Aku sedang takut jika giliranku
nanti tiba. Giliran mengumpulkan laporan buku pada pameran kemarin. Padahal aku
sudah membaca apa yang Jong Dae tulis berulang kali tapi tetap saja aku tak
yakin. Yah…aku memang sama sekali tak merubah tulisan Jong Dae. Bukan karena
aku malas, tapi seminggu ini aku sedang disibukkan dengan tugas-tugasku, belum
lagi tugas remedial yang diberikan Park seosangnim. Semuanya sangat menguras
tenagaku, menghabiskan banyak waktu istirahat, hingga aku tidak sempat untuk
melengkapi laporan ini. ah….eottokhae??.
“ Park Gyuri…”
“ N..Nde??” aku terkesiap begitu namaku dipanggil. Langsung
saja aku berjalan ke depan, bermaksud mengumpulkan laporanku, ah tidak! lebih
tepatnya laporanku yang dibuat oleh Jong Dae.
Tangaku bergetar kala ketiga pasang mata senior tengah
tertuju padaku. Mereka itu merupakan pengurus organisasi SarangBook yang
diketuai Luhan sunbae. Aku terus menunduk tak berani memperlihatkan wajahku.
Dengan perlahan ku letakkan buku itu ke atas meja.
“ Gyuri…”
“ Nde sunbae?”
Aku menatap cemas pada seorang sunbae berperawakan tinggi
dengan kacamata tebal yang sering menemaninya, Im Seo Jin sunbae, wanita yang
umurnya satu tahun lebih tua dariku.
“ Saat pameran kemarin kau kemana? Kenapa menghilang tiba-tiba?”
“ Jeosonghamnida sunbae…waktu itu aku ada urusan mendadak,
makanya tidak sempat izin dulu.” Jawabku kemudian menundukkan kepala.
Aigoo….rasanya jantungku ingin lepas sekarang juga. Aku takut sekali.
“ Keurae…lain kali kau harus izin dulu. Ne?”
“ Arrasseo.”
“ Baiklah kau boleh duduk, selanjutnya! Im Yoo Kyung!”
Aku bernafas lega, ku kira mereka akan mencaciku,
menghajarku atau paling tidak memelotiku hingga aku tersudut. Tapi untungnya
itu tidak terjadi. ah melegakan.
******
Akhirnya sekarang aku bisa keluar dari perpustakaan karena
kegiatan SarangBook telah selesai. Oh ya….sepanjang kegiatan tadi, aku tidak
melihat Luhan sunbae. Jangankan melihat dirinya, mendengar namanya disebut saja
tidak. ah…kemana dia? Tumben sekali. Biasanya dia itu yang paling rajin.
“ Park Gyuri..”
Aku langsung membalik tubuhku ketika sebuah suara terdengar
tengah menyerukan namaku. Tiba-tiba saja nafasku tercekat kala melihat siapa
yang berada di depanku.
“ Kau hanya sendiri?” tanyanya sembari mengedarkan
pandangannya.
“ Ya…memangnya ada apa sunbae?”
Ia tak menjawabku, melainkan mengambil sesuatu dalam tasnya.
Aku hanya terdiam menunggunya kembali bicara. Aku begitu gugup untuk memulai
pembicaraan. Ah…rasanya aku mau meledak sekarang juga.
“ Igo…tolong berikan pada Sora.” ia mengeluarkan sebuah
amplop berwarna putih kecokelatan kemudian mengangsurkannya padaku. Tak ada
yang ku lakukan selain menatap amplop itu dengan bingung. Apa maksudnya semua
ini? dan kenapa ia memberikan ini untuk Sora?.
“ Tolong berikan padanya ya. Kau teman dekatnya kan?”
ujarnya yang membuatku mengangkat kepalaku, menatapnya dengan lemah. Entah
kenapa aku merasa lemas, aku ingin pergi dari sini sekarang juga.
Tapi tidak. aku bukan pengecut. Hal seperti ini tak
membuktikan apapun, belum tentu kalau Luhan sunbae menyukai Sora. Belum tentu.
“ Gyuri?”
“ Ne…ya…akan ku sampaikan.” Ucapku canggung. Dengan ragu ku ambil amplop yang ia angsurkan, kemudian menatapnya sebentar. Rasa gemetar dan takut menyelimuti hatiku ketika menatap amplop itu.
“ Oh ya.. kalau Sora menanyakan siapa yang memberikannya,
bilang saja dari pengagum rahasia. Otte?” aku mengangguk pelan tanpa
mengeluarkan suara sedikitpun.
Hatiku tersentak bak baru mendapat guncangan hebat. Aku
hanya bisa terdiam tak tahu harus berkata apa lagi, terlebih saat sosok itu,
Luhan sunbae beranjak meninggalkanku. Benarkah? Benarkah apa yang baru saja ku
dengar? Aku tidak salah dengarkan?. Orang yang kusukai…menyukai temanku
sendiri. ottokhae??....
Mataku memanas membuat penglihatanku memburam, tak lama
buliran hangat jatuh mengalir ke pipiku. rasanya begitu panas sepanas hatiku
yang terbakar. Helaan nafas berat ku buang bermaksud mencoba membuang pikiran
aneh yang dari tadi menyiksaku. Tidak boleh…aku tidak boleh seperti ini. apapun
yang terjadi, perasaan macam apapun yang ia miliki terhadap
Sora…..aku….Jinjja!...Argghh…
TBC
Welcome back to me!!!
Maaf publishnya telat, tpi semoga terbayar sama part ini ya. Oke itu
aja…bye…
No Mood, No Stress
GSB
Comments
Post a Comment