Suddenly Daddy (1st story)
Main Cast = 1. Henry Lau
2. Shin Hyejeong
3. Daniel Hyunoo Lachapelle
Genre
= Romance
Length
= Series
Author
= Salsa
Satu persatu semua masalah itu seolah berbalik padaku.
Mungkin ini sudah saatnya bagi dunia beserta segala perabotnya untuk membenci
seseorang. Satu orang paling berandal,
paling tak tahu diri, paling kurang ajar, dan paling tak bisa menghargai hidup.
Sebuah tragedi yang bahkan tak pernah terbayang dalam benakku terjadi dengan
sangat cepat. Sebuah tragedi luar biasa yang membuatku tiba-tiba saja terjebak
dalam satu hal paling kuhindari seumur hidup. Aku…. Henry Lau, pria manis yang
masih sangat muda, tiba-tiba saja dipaksa menjadi seorang pria sesungguhnya
oleh keadaan.
***********
Suara mesin mobil yang baru saja berhenti terdengar. Seorang
pria keluar dari sana dan berjalan sempoyongan menuju pintu masuk. Ia berulang
kali tersenyum dan melanturkan beberapa kata tanpa makna, berulang kali juga
nyaris terjatuh menubruk pot-pot tanaman yang berjejer di halaman rumahnya.
Namja itu benar-benar beruntung karena tidak mengalami kecelakaan saat
menyetir.
Pria itu, Henry, membalikkan badan dan membuka pintu rumahnya
yang tidak dikunci dengan punggungnya. “AKU PULANG” Pria itu berteriak setengah
sadar. Dan tepat setelah itu, kerah kemeja bagian belakangnya ditarik oleh
seseorang. Ia tak mampu melawan mengingat kondisinya yang sedang mabuk berat. “darimana
saja kau? kenapa baru pulang jam segini?” teriak seorang perempuan, kira-kira
lebih tua 5 tahun darinya. Henry tertawa tanpa alasan, lalu…… “noonaaaaa, ah~
apa kabar noona?” sahut namja itu asal, lalu tertawa lagi.
“kutanya kau dari mana?”
“aku? tenang saja noona sayang. Aku tidak bermain perempuan
seperti yang suamimu lakukan kok”
PLAAKK……
Henry memegang pipinya yang baru saja ditampar keras, lalu
menyeringai kepada kakak perempuannya. “wae? kenapa menamparku? Memangnya ada
yang salah dengan ucapanku?” wanita itu terengah menahan marah, sementara Henry
makin berani menatapnya. “kau benar-benar adik yang tidak berguna” desisnya.
“dan kau sendiri? Kau pikir kau berguna?” balas Henry tak
mau kalah. Wanita didepannya menggeleng takjub sambil membuang muka.
“Ya! kau menumpang di rumahku. Aku hanya minta bantuanmu
untuk menjemput Danny tadi siang, tapi kau tak menjemputnya. Kau tahu? dia
menunggu 4 jam di sekolahnya!”
“itu bukan kewajibanku. Kau pikir aku tak punya urusan lain
huh? Aku juga harus kuliah! Kenapa kau tak menyuruh suamimu yang tak berguna
itu untuk menjemputnya? Bukankah Danny itu anaknya?”
“HENRY”
“WAE?” Henry balas menyahut dengan keras, mengangkat dagunya
dan menatap wanita itu berapi-api.
“Aku mem-ben-ci-mu,
noona”
Henry berujar, penuh penekanan. Membuat sang lawan bicara tertohok.
Henry membalik badan dan lekas masuk ke dalam kamarnya. Sesaat kemudian suara
pintu yang berdebum terdengar dari dua arah. Dari kamar Henry dan pintu keluar.
Sang noona yang tak tahan akhirnya mengikuti amarahnya dan keluar begitu saja.
**********
Pukul 3 dini hari, manusia bodoh mana yang berani mengganggu
tidurnya? Henry mengerang keras mendengar Handphone-nya yang terus-terusan
berdering. Jika ia tak salah menghitung, ini sudah deringan ke 8. Henry menutup
mukanya dengan bantal, sesaat sebelum “YAAAKK! MWOYA?” Mengangkat panggilan itu
sambil berteriak.
Namun tidak lama. Karena wajah kantuk bercampur kesal itu
menghilang hanya dalam waktu sekian detik, berganti dengan ekspresi syok.
Genggaman tangan pada handphone-nya langsung terlepas. Pria itu menyibak
selimutnya dengan mata terbelalak dan segera berlari keluar.
Ini sungguh tidak bisa diterima akal sehat. Sekeras apapun aku mencoba
mengerti, tetap saja ini tidak bisa
dimengerti. 2 jam yang lalu kami bahkan masih terlibat pertengkaran hebat di
ruang tamu. Tapi sekarang….. dia meninggal? Dia kecelakaan karena melajukan
mobil dengan kecepatan diatas 100 Km/Jam.
Dia kecelakaan karena emosi? Atau dengan kata lain, ia meninggal karenaku? hei…
tapi…. entahlah. Mungkin ini memang salahku. Oh.. tidak! ini 100% salahku. Dan
gilanya….. kalimat terakhir yang kukatakan padanya adalah….. ‘aku membencimu?’
Semua orang yang memakai baju serba hitam saling bergantian
menghampiriku. Mengucapkan ucapan belasungkawa dan segalanya. Aku tak tahu
harus apa, malah balik menatap mereka semua dengan tatapan kosong. Demi Tuhan,
bagaimana bisa semua ini terjadi? Tidakkah ini terlalu mendadak? Harusnya aku
diberi waktu dulu untuk bersiap-siap. Noona-ku adalah satu-satunya keluarga
yang kupunya. Dan BOOM tiba-tiba saja dia meninggal. Meninggalkanku sendirian.
Tidak. Berdua lebih tepatnya. Berdua dengan Danny, anak lelaki noona-ku yang
masih berumur 5 tahun. Tapi… YA! Apa gunanya dia? Aku tak mungkin menyuruh anak
umur 5 tahun membuatkanku sarapan kan?
“Henry” aku menoleh dan menatap Danny dengan lemas.
“kalau eomma dimasukkan ke dalam tanah begitu, bagaimana
bisa ia pulang?”
“dia tak akan pulang”
“wae?”
“karena dia masuk ke tanah”
“kalau begitu keluarkan, Henry”
“YA! Mana bisa dikeluarkan?” Tanpa sadar aku berteriak.
Membuat semua orang menatapku dengan heran. Oh.. Jinjjayo! Apa anak umur 5
tahun belum mengerti apa itu meninggal? Bodohnya.
“sudahlah! Ayo pulang”
“astaga Henry, kita tak boleh meninggalkan eomma”
“astaga kecil, eomma-mu tidak bisa pulang lagi sekarang”
“tck… kau hanya tinggal menggali tan-hmmmmphhh” aku langsung
membekap bocah kritis ini dan menggendongnya menuju mobil. Mwoya? Dia
menyuruhku menggali tanah? Aigoo!
Sesampainya di rumah, aku langsung memasukkan Danny yang tak
berhenti bertanya ke dalam kamar dan menutup pintunya. Demi Tuhan, aku tak bisa
menjawab seluruh pertanyaan konyol itu satu persatu jika masih ingin waras.
Aku pun segera masuk ke kamarku sendiri dan langsung
melempar badan di atas ranjang. Air mataku mengalir, air mata yang sejak pagi
kutahan kini mengalir tanpa bisa dikontrol lagi. Rasanya masih sulit untuk
percaya. Noona meninggal? Jangan-jangan ini hanya mimpi. Tapi…. kenapa aku tak
bangun-bangun? Kenapa lama sekali? Noona kumohon kembalilah. Bagaimana bisa aku
hidup tanpamu? Siapa yang akan membayar uang kuliahku? Siapa yang akan memasak?
Siapa yang akan mengurus bocah itu?
Noona……. Maafkan aku.
“Henry”
“eh?” aku menoleh dan mendapati Danny yang tengah menatapku
sambil menangis. Mataku refleks beralih ke pintu yang ternyata memang sudah
terbuka. Kapan anak ini masuk? Ya Tuhan.
“bisakah kau telfon eomma? Suruh dia pulang”
“Daniel Lachapelle! Begini…. Eomma-mu tidak bisa pulang
lagi” aku berusaha menjelaskan baik-baik.
“apa eomma marah karena Danny nakal?”
“apa?”
“dua hari yang lalu Danny tidak mau sekolah. Apa eomma marah
karena itu?”
“eh?”
“kumohon Henry, bilang eomma, Danny akan rajin sekolah
selamanya. Danny akan masuk setiap hari. Tapi eomma harus pulang dulu” bocah
kecil ini menangis terisak-isak dihadapanku. Ottokhae?
“eomma-mu akan pulang. Tapi tidak hari ini. Sekarang, kau
tidur bersamaku saja ya..”
“Besok eomma pulang?”
“kau mau susu kotak hmm?” Danny mengangguk. Aku
menggendongnya dan mendudukkannya di sampingku.
“besok eomma pulang, Henry?”
“yang cokelat kan?”
“ne..” aku lekas berdiri dan membuka kulkas. Menghindari
pertanyaannya. Aku tak bisa terus-terusan berbohong dan berbohong. Kukira dengan
melihat peti berisi eommanya yang tengah dikebumikan bisa membuat namja ini
mengerti, tapi ternyata ia tetap saja tak bisa memahaminya.
Saat pintu kulkasnya terbuka, belasan susu kotak beraneka
rasa terlihat memenuhi balok kecil nan dingin itu. Aku mengambil dua kotak
dengan rasa yang sama dan segera kembali duduk di samping Danny.
“kau janji eomma akan pulang?”
“cepat diminum Danny, atau aku yang minum”
“kau kan punya sendiri, Henry” sungut bocah kecil itu sambil
menusuk lingkaran alumunium di kotak susunya dengan sedotan.
**********
Saat Henry terbangun, anak disampingnya sudah menghilang.
Namja itu panik, -tentu saja-. Ia lekas keluar dari kamarnya dan berteriak
memanggil sang keponakan. Selama beberapa saat tak ada jawaban, Henry makin
kewalahan berlari-lari di setiap sudut rumah. Hingga tiba-tiba saja….
“Henry, ada apa?” anak itu –secara ajaib- sudah berdiri di belakangnya dengan ekspresi heran.
“YA! Kemana kau?”
“aku di kamarku. Kau tahu tidak ini hari apa? kenapa kau
tidak mengantarku sekolah?”
“molla”
“di handphone-mu tak ada kalender, Henry?”
“tch” Henry langsung mengambil handphone-nya dan mengecek
hari. Dan….. Rabu.
“apa kau masuk sekolah di hari rabu?” tanya Henry sambil
menggaruk kepalanya.
“geuraeeee!!! Henry eotte? aku tak mau terlambat”
“ya cepat mandi sana”
“seragamku. Siapkan seragamku” teriak Danny sambil berlari
menuju kamar mandi.
“eh? Aku?” gumam Henry tak terima. “YA! DANIEL LACHAPELLE,
KAU BISA MANDI SENDIRI?”
“AKU SUDAH LIMA TAHUN, HENRY!”
**********
“Ya! Henry, mau kemana kau?”
“aku harus menjemput keponakanku” ucap namja itu dengan
malas. Ia menarik napas dalam-dalam dan melambaikan tangan.
“jadi kau tak bisa ikut kita lagi hari ini?”
“mungkin lain kali aku akan ikut”
“awas kalau besok-besok kau tak ikut lagi” Henry mengangkat jempolnya, tersenyum tipis, dan
kembali berjalan menuju parkiran. Sementara teman-teman kuliahnya sudah
menggerutu sambil menatap namja itu.
**********
Danny menghampiri Henry di meja makan. “wae?” kata Henry
langsung.
“boleh aku menelfon eomma?”
“Danny, eomma-mu sudah…… tch…….” Pria itu meletakkan
sumpitnya dan membuka kunci layar ponsel.
“ini. Kau katakan apapun yang kau mau. Eomma-mu bisa mendengarmu,
tapi ia tidak bisa menjawab. Tak apa-apa kan?” walau merasa bingung, Danny
tetap mengangguk dan mengambil ponsel yang Henry sodorkan.
Ia menatap ponsel itu sebentar, “kau yakin ini sudah
tersambung, Henry? Kenapa tidak ada gambar telfon di layarnya?”
“sudah bicara saja”
Akhirnya Danny menempelkan layarnya di telinga dan memasang
ekspresi sedih. Henry kembali memegang sumpitnya sambil melirik pria kecil itu
dengan penasaran. “eomma…… kapan eomma pulang? Bukannya aku tidak menyukai
Henry, tapi…..” Danny melirik sang paman sambil mengecilkan volume suaranya. “geuneun
baboibnida” Henry yang masih bisa mendengar ucapan Danny sontak mendecakkan
lidah geram. Bagaimana mungkin anak berumur 5 tahun yang bahkan masih tak bisa membedakan
mana yang kiri dan mana yang kanan mengatainya bodoh?
“dia memakaikanku seragam hari selasa pada hari rabu. Dia
tidak menyuruhku mandi saat sore. Dan yang paling parah, dia tidak memberiku
makan sejak tadi pagi. Aku bisa mati jika tinggal bersamanya saja, eomma”
“astaga! Aku lupa. Anak umur 5 tahun juga harus diberi makan
ya..” Henry bergumam pada dirinya sendiri. Lalu kembali menoleh pada Danny yang
sudah berjalan menjauh sambil terus mengadu lewat handphone –yang bahkan tidak menyala-
Akhirnya, setelah menghabiskan makanannya sendiri. Namja itu
beranjak menuju dapur dan berkacak pinggang menatap set kompor listrik.
Napasnya tertarik dengan sangat emosional, tangannya mengambil beberapa telur
dan menarik napas lagi. Ini pertama kalinya dalam hidup ia memasak sesuatu.
Semoga rumah ini tidak ikut-ikut terbakar.
“Henry, apa yang kau lakukan?” pria yang disebut namanya itu
menoleh, Danny tengah menatap kompor listrik yang baru saja menyala dengan ekspresi
terancam.
“memasak telur untukmu”
“kurasa lebih baik kau menelfon pizza, Henry”
“pizza apa huh? Kita harus berhemat, aku belum punya
pekerjaan dan kita harus mengatur pengeluaran seketat mungkin agar bisa hidup
dengan baik selama sebulan ke depan”
“jika eomma kembali, dia akan memberikan kita uang”
“tapi sayangnya noona tak akan kembali” gumam Henry pelan.
“apa?”
“anio. Ambillah susu kotak di kulkas kamarku”
“kau sudah menghabiskan semuanya semalam. Kau hanya
memberiku satu dan kau sendiri meminum 7 kotak. Kau bilang kau sedang dalam
masa pertumbuh……”
“oke! Berhenti. Kau ini pria, seharusnya jangan bawel” Henry mendengus sambil memecahkan telurnya
persis di atas kompor dan GLUP!
“Henry kau belum menaruh penggorengannya”
“astaga” namja itu menggaruk rambutnya. “ini karena kau
mengajakku bicara, DANIEL”
**********
“Danny! Telurnya siap” Henry kembali ke ruang makan dan
berteriak senang sambil menyodorkan piring berisi telur yang bentuknya –euh- kepada Danny. Danny terdiam,
menatap telur itu dengan ekspresi takjub. Itu adalah bentuk telur paling unik
sedunia, dan Danny yakin kalau rasanya pasti tidak kalah unik. Henry pantas
mendapat penghargaan.
“kau harus menghab…….” TING TONG
“PIZZA” Pekik Danny sambil berlari menuju pintu.
“Mwoya? Pizza mwo?” Setengah berlari namja itu berhasil
mencekal lengan Danny dan membuatnya berbalik.
“kau memesan pizza?” Tanyanya tak percaya.
“Ne.. aku menggunakan telfon rumah dan menelfon nomor pizza.
Eomma sudah sering mengajarkanku cara memesannya dan………….”
“bukan masalah itu. Sudah kubilang kan kita sedang berhemat?”
“aku punya tabungan, Henry. Aku bisa menggunakan uangku
sendiri”
“ah..” pria itu kehabisan kata. “bagus kalau begitu” dan
berucap dengan suara memelan.
“aku saja yang buka. Kau tunggu di meja makan” Danny
menurut. Ia kembali memutar langkahnya dan duduk manis menunggu pizza.
Saat Henry membuka pintu, ternyata bukan pizza yang ia
dapat, melainkan seorang gadis. Sambil mengernyit, Henry memperhatikan gadis
itu seolah sedang menilai.
“anyyeonghaseyo”
“ne..”
“aku Hyejeong. Dan aku mencari nyonya Lachapelle”
“dia tidak ada”
“aku akan menunggunya”
“huh?”
“maksudku tidak ada itu ya… tidak ada lagi”
“jadi nyonya Lachapelle pindah rumah?”
“YAAA!”
“baiklah…. Begini, begini saja. Katakan padanya, tadi
Hyejeong datang dan bilang tidak bisa bekerja lagi. Kuliahku semakin sibuk di
semester ke enam dan aku tidak bisa merawat Danny lagi. Terima kasih banyak”
“kau bekerja disini?”
“ne.. aku babysitter sementara disini. Aku baru bekerja satu
minggu di bulan Februari. Tapi belakangan, aku jarang masuk dan Nyonya
Lachapelle tak membalas pesanku. Sepertinya dia marah. Tolong ucapkan
permohonan maaf dan katakan aku tidak apa-apa jika dia tidak membayar gajiku”
Henry mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu.
“fiuh~ sepertinya banyak hal yang belum kau ketahui” gadis
itu mengernyit, sementara Henry bicara seperti seorang psikologis di tv-tv.
“Pertama, Nyonya Lachapelle sudah meninggal sejak beberapa
hari yang lalu, jadi dia tak mungkin membalas pesanmu. Kedua, terkutuklah kau
jika berhenti bekerja disaat suasana duka seperti ini. Ketiga, apapun yang kau
lakukan, aku tetap lebih sibuk darimu dan aku lebih tidak bisa merawat Danny.
Jadi…. Suka tidak suka, mau tidak mau, kau HARUS tetap bekerja disini”
“t..tapi” terlalu banyak kejutan dalam ucapan Henry.
Hyejeong pun hanya bisa tertegun sambil mengendalikan ekspresi wajahnya. Nyonya Lachapelle meninggal? Lalu…. Aku tak
boleh berhenti kerja? Dan…. Barusan dia habis mengutukku?
“ah.. dan satu lagi. Kau tak perlu khawatir, tidak ada yang
akan membayarmu. Jadi tidak perlu merasa bersalah”
“tapi aku benar-benar tida……”
“tidak usah sungkan. Besok pagi datanglah kemari. Jam
setengah 9 aku akan berangkat kulah, jadi pastikan kau datang sebelumnya. Oke? Senang
berkenalan denganmu Hyejeong-ssi” Henry mengambil tangan Hyejeong dan
menjabatnya.
“Henry Imnida” ucap namja itu tanpa diminta. Dengan senyum
lebar yang sangat mengerikan, ia melepas jabatan tangan mereka dan menutup
pintu. Dan……..
“Henry, mana pizzaku?” Danny berteriak, menyambutnya dari
meja makan.
“hei… kau kenal seseorang bernama Hyejeong?”
“ne.. dia pernah menyiapkan sarapan, mengantar sekolah dan
menjemputku. Tapi tidak banyak. Wae?”
“gadis cantik itu akan kembali melakukan semua yang kau
sebutkan tadi besok” ucap Henry dengan wajah berbinar. Ia merasa ada sayap yang
keluar dari punggungnya dan ingin menangis saking terharunya. Bagaimana tidak? HEI!
HENRY LAU TAK PERLU MENGURUS BOCAH INI LAGI.
**********
“YAA! Dimana gadis itu?” keluh Henry sambil berjalan
bolak-balik di teras. Danny yang duduk di belakangnya terus memperhatikan
pamannya itu dengan heran.
“lebih baik kau mengantarku ke sekolah sekarang. Aku tak mau
terlambat”
“tapi siapa yang akan menjemputmu nanti? Aku punya jadwal
sampai malam”
“jadwal apa? Kenapa kau belajar lama sekali tapi tidak
pintar-pintar?”
“YAA! Coba katakan lagi” Henry melotot.
“kau belajar lama sekali tapi tidak pintar-pin…………”
“YAAAA!”
“huh… benar kata eomma”
“apa?”
“percuma menyekolahkanmu”
“YAAA! Mulutmu harus disekolahkan yaa…..”
“ hanya mulut saja? Bagaimana caranya? Memang ada sekolah
seperti itu?”
“Oh. TUHAN! KAU!” tangan Henry terkepal erat menahan kesal. “Ayo
berangkat”
**********
Saat dosennya masih sibuk bicara di depan kelas. Henry sudah
gelisah menengok jam. Ini waktunya Danny pulang sekolah dan ia harus
menjemputnya. Namja itu berdecak tidak tenang sambil terus merubah posisi duduknya.
“shh….. kapan pelajaran dia selesai?”
“1 jam lagi kan?”
“jinjja? Aku tak bisa menunggu selama itu”
“kau mau kemana?”
“aku harus menjemput Danny”
“memangnya tidak ada orang lain?” Henry menggeleng cemas.
Lantas mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. “Oke, Mr. Lau. Kau bisa
menjawabnya?”
“a..aku? aku ingin ke toilet, bukan menjawab”
“tch…. Ya sudah sana, cepat” Henry menganggukkan kepalanya
dengan kaku dan langsung berlari saat sudah melewati pintu. Ia berlarian di
sepanjang koridor universitas sambil terus melirik jam tangannya. Danny adalah
bocah yang nekat –kadang-kadang-. Ia
benci menunggu dan sering mencoba pulang sendiri dengan kendaraan umum yang bahkan
belum benar-benar ia pahami. Namja itu sangat berani, tapi juga bodoh.
Dan saat hampir menjangkau mobilnya, mata Henry yang tidak
terlalu besar menangkap wajah seseorang yang terasa familiar. Ia mencoba
mengingat-ingat saat membuka pintu mobilnya, bahkan masih terus mencoba saat
mobil itu sudah melaju. Hingga, “Shin Hyejeong” desis Henry. Saat mendesiskan
nama itu, ia hampir saja menginjak rem dan memutar arah, ia harus menemui gadis
itu dan meminta pertanggungjawaban. Tapi tak mungkin sekarang rasanya, Danny bisa
bertindak ‘nekat’ jika ia tak datang dengan cepat.
Shin Hyejeong,
ternyata kita satu universitas ya, berarti semuanya akan lebih mudah kan?
TBC
wah, henry jadi ayah dadakan hahahaha..
ReplyDeletebakalan seru nih, lanjut!!!!!!
semoga seru beneran>///< sip! dilanjut. Makasih ya^^
Delete