Let Love Lead part 1
Ini sudah sepuluh menit sejak aku memasuki gedung perusahaan
J’S yang sangat luas. Aku berjalan pelan di belakang seorang pria berjas rapi
yang sibuk membicarakan betapa hebatnya CEO mereka. Apa setiap karyawan di sini
mempunyai mindset seperti dia? Jangan-jangan
mereka semua didoktrin agar berucap seperti itu. Aku jadi penasaran, sehebat
apa sih CEO muda kebanggaan J’S ini?
“Maaf, Pak. Bisakah saya diantarkan ke ruang CEO? Ada
beberapa hal yang ingin saya tanyakan langsung dengannya.”
“Kau sudah buat janji?”
“Belum, tapi aku adalah graphic designer yang
dipindahtugaskan langsung oleh CEO Anda.”
“Oh, Anda Designer Yu? Kalau begitu Anda memang harus
menemui CEO kami dulu. Ruangannya ada di lantai 4. Mari ikuti saya.” Aku
mengangguk dan kembali berjalan di belakangnya.
Gedung J’S lima kali lebih besar dibanding gedung kantor lamaku
beserta parkirannya. Aku semakin tak mengerti. Aku sudah berbuat kesalahan tapi
malah diberi pekerjaan di perusahaan sebesar ini. Kenapa tidak dari dulu saja
Hyo Jin menjual design-ku?
Sejak pertama melangkahkan kaki di gedung ini, aku sudah
berusaha keras untuk terlihat elegan dan berjalan anggun layaknya burung merak.
Namun naluri wanita norak yang tertanam dalam nadiku membuat semua usaha itu
sia-sia. Walau merasa sudah cukup anggun, pada akhirnya aku akan menemukan
diriku sendiri tengah berjalan dengan mulut menganga lebar dan mata berbinar-binar.
Gedung ini amat luas sampai rasanya aku bisa tersasar di dalam toilet.
Arsitekturnya juga bagus. Apa pahatan-pahatan di dinding itu diimport langsung
dari Eropa? Berapa harganya? Pasti sangat mahal. Sepertinya, walaupun aku
menjual Jin Ah sekalipun, aku belum bisa membeli sepetak pahatan marmer itu.
“Nona, Awas!”
“Apa?”
BUUKKK!!!!
Seketika itu juga bintang-bintang di langit melaju ke bumi dengan
kecepatan tinggi dan berputar di atas kepalaku.
“Anda tidak apa-apa, Nona?” Pria berjas yang sudah kuanggap
seperti pemandu wisata itu segera berlari menghampiriku.
“Tidak apa-apa. Aku sudah biasa, kok.” SUDAH BIASA? Jawaban
macam itu dasar bodoh. Aku meringis mendengar ucapanku sendiri. Pria itu
terlihat bingung, namun tetap memaksakan diri untuk tertawa.
“Hati-hati! Di sini memang banyak tiang besar. Tolong lihat
ke depan saat sedang berjalan.”
“Ya, aku akan lebih hati-hati. Maaf,” ucapku
sembari membungkuk. Benar-benar konyol. Aku menabrak tiang sampai terjatuh di
hari pertamaku.
“Ruangannya ada di sebelah sana.”
“Pintu putih itu?”
“Benar”
“Kenapa sekelilingnya diberi cermin?” Apa CEO-nya senang mematut
diri di cermin sambil bertanya ‘wahai
cermin, siapakah yang paling tampan?’
“Oh, itu bukan cermin, Nona. Itu kaca satu arah. Walaupun
dari luar terlihat seperti cermin, tapi sebenarnya orang di dalam bisa melihat
semua aktivitas di sini.”
“Licik,” desisku tanpa sadar.
“Maaf?”
“T-tidak... Haha.”
“CEO kami sangat disiplin. Dia tak ingin ada karyawan yang
tak tertib saat jam kerjanya, makanya dia mengamati dari dalam.” Ucapan pria
setengah baya ini terdengar lebih ketus. Apa dia marah karena aku menghina bosnya?
“Oh, begitu.”
“Kau bisa tunggu di dalam. Biasanya CEO kami datang pukul 8.
Kira-kira 20 menit lagi.”
“Baiklah. Terimakasih.” Aku membungkuk sekali lagi sebelum
berjalan menuju pintu yang ia tunjuk.
**********
“Kemarilah kau dokumen bodoh! Aku membutuhkanmu. James… di mana kau meletakkannya?” Tanganku bergerilya membuka dan menutup pintu
laci. Kenyataan bahwa aku sudah membuka laci-laci yang sama selama 12 kali dan
masih saja membukanya lagi membuat emosiku meluap. Aku tak bia menahan tanganku
yang bergerak panik, belum lagi rasa kesal yang melilit dadaku layaknya ular.
James…. Dasar!
“Cih... Dia pasti sudah mengganti tempat penyimpanannya,” desisku. Aku menendang rak-rak buku dan mengusap wajah kuat-kuat. Aku
benar-benar lelah dan pusing. Beraninya James mempermainkanku. Aku mengambil
jeda selama beberapa saat sebelum beralih ke lemari besar di sebelah rak itu.
Mencari di sela-sela holder dokumen yang berjejer dengan tempo gerak cepat
layaknya pencuri ulung.
Di saat genting seperti ini, pintu di belakangku tiba-tba
saja terbuka. Aku berbalik refleks sambil mengangkat kedua tangan.
“Hyung….. Maaf bukannya aku…..”
“Permisi…”
“SIAL! Kalau mau masuk ketuk pintu dulu!” bentakku kalap.
Aku benar-benar mengira James-lah yang datang. Dasar! Aku menghembuskan
napas lega, lantas berkacak pinggang menatap gadis yang terdiam syok di ambang
pintu itu.
“Cepat katakan apa maumu!” ucapku dingin. Karyawan ini pasti
akan mengadu pada James kalau aku memasuki ruangannya.
“Sebut saja! 100 ribu won? 200 ribu won?” Aku merogoh saku
belakang jinsku dan mengeluarkan dompet.
“Maaf? Apa maksud Anda? Kenapa memberi saya uang?”
“Tunggu, siapa kau?” keningku berkerut. Dompet yang baru
kubuka langsung kututup kembali.
“Aku pindahan dari……”
“Ah.. karyawan baru?” Aku tersenyum miring dan menjentikkan
jari.
“Ya.”
“Kalau begitu cepat tutup pintu itu dan duduklah.” Walau
terlihat ragu-ragu, ia tetap mengikuti perintahku. Gadis itu duduk pelan-pelan
sambil terus memandangku seolah sedang menilai. Melihatnya yang seperti itu,
aku segera duduk di hadapannya dan membalas tatapannya menantang. “Apa?”
sahutku.
“Jadi Anda CEO J’S?”
“James? di mana?” Aku refleks menoleh ke belakang. Namun
sedetik setelahnya langsung memejam merutuk kebodohanku sendiri.
“Oh, maksudmu aku, kan?” Aku memperbaiki kesalahan tololku
dengan kikuk. Gadis itu tersenyum paksa seolah berkata ‘memangnya ada orang
lain lagi di sini?’. Dia ini karyawan baru, tentu saja ia tak tahu bagaimana
wajah James. Kalau begitu aku mengerti apa yang membuat dia terus
memerhatikanku seperti sedang melihat alien, tentu saja karena dia heran. Dia
pasti heran setengah mati melihat CEO perusahaan barunya bekerja dengan memakai
jins dan kaos.
“Atau jangan-jangan kau ini bukan CEO, ya?”
“Heh, karyawan baru! Jadi kau sudah berani bicara banmal padaku? Mau dipecat, huh?”
“T-tidak! Jadi Anda benar-benar CEO-nya? Jadi Anda
benar-benar Tuan James?”
“Kau mendapat catatan merah dariku. Benar-benar tidak sopan.” Aku mengambil note kecil dan menuliskan nama ‘Park Yu Jin’ dengan pulpen merah.
Lalu menempelkannya di papan hitam berukuran sedang di sudut meja kebanggaan
James, kakakku. Bagi yang mengira-ngira
dari mana aku tahu namanya, sekedar info dia memakai nametag. Dan mataku masih
cukup jernih untuk membacanya.
“J-jangan! Ini hari pertamaku.” Gadis itu meringis tak
terima. Tapi nada suaranya terdengar seperti orang yang tak berdaya. Aku
menyeringai kecil, menang.
“Sekarang keluarlah dari ruanganku! Bekerja dengan serius.
Kalau kau membuat kesalahan lagi, siap-siaplah angkat kaki dari J’S.”
“Apa?”
“Kau itu benar-benar tak mengerti ucapanku—” Aku berdiri,
melangkah mengitari meja dan berhenti tepat di sampingnya. “—atau berpura-pura
tak mengerti?” tanyaku seduktif sembari memajukan wajah dan meletakkan kedua
tanganku di penyangga lengan di kursinya. Wajah kami berhadap-hadapan, dan
gadis itu sungguh terlihat gugup hingga membuatku ingin tertawa. Ya Tuhan!
Ternyata gadis polos seperti ini masih belum punah dari bumi.
“A-apa? Tapi Anda belum memberi t-tahu pekerjaan saya,
sajangnim. Juga, d-di mana meja kerja saya?”
“Apa menurutmu hal remeh seperti itu adalah tugas CEO?” Aku
menegakkan badan. Dan saat itu juga Yu Jin menelan ludahnya. Aku memutar
membelakanginya dan berjalan ke arah jendela sambil menahan senyum. Melihat
gadis polos seperti itu, aku jadi ingin bermain-main lagi.
“Tapi di perusahaan lamaku, CEO yang…..”
“Satu hal, Nona. Ini bukan perusahaan lamamu. Kalau kau tak
suka dengan caraku, lebih baik ambil kertas dan buatlah surat pembatalan kerja.
Aku akan menandatanganinya sekarang juga,” ucapku serius, walau nyatanya aku
bahkan tak tahu prosedur yang sebenarnya. Aku duduk kembali di meja James dan
menatap gadis di depanku sambil menyodorkan kertas berstampel J’S.
“Tidak, CEO-nim. Saya senang.” Aku terus-terusan menahan tawa
melihat ekspresi syok, heran dan kesal yang bercampur di wajahnya. Hingga
mataku tanpa sengaja melihat jarum-jarum di jam dinding. Astaga~ James pasti
datang sebentar lagi. Bermain-mainnya sudah cukup. Temukan dokumen itu!
“Kalau begitu berdirilah sekarang” suruhku tak sabar. Gadis
itu berdiri pelan-pelan.
“KELUAR DALAM
HITUNGAN 5 DETIK ATAU KAU KUPECAT!”
"Apa?"
"5-4-3..." Gadis itu langsung buru-buru berlari.
**********
Aku tak percaya CEO perusahaan sekelas J’S adalah seorang
bandit kecil seperti itu. Mungkin ia mengira dengan kekuasaannya, ia bisa
menggodaku dengan melakukan perbuatan tak bermoral dan bertingkah seenaknya.
Aku tak percaya aku memiliki pemikiran seperti ini, tapi tiba-tiba saja aku
merindukan perusahaan lamaku. Aku sama sekali tak sudi diatur oleh anak kecil
yang memakai jins dan kaos di tempat kerja. Sudah kubilang aku ini bergolongan
darah A. Dan menurut artikel golongan darah yang sering sekali kubaca,
orang-orang bergolongan darah A cenderung lebih merasa nyaman di situasi yang
mengikat dan lingkungan yang teratur. Padahal gedungnya sangat mewah dan
pegawai-pegawai di sini terlihat luar biasa disiplin, tapi kenapa CEO-nya
begitu? Padahal, tadi saat aku mendorong pintu masuk ruangannya, aku sudah
tersenyum membayangkan pria tampan berdasi biru dengan wajah serius yang
menenangkan. Tapi….
BRUUKKKK!
Bintang-bintang yang
kulihat tadi pagi kembali berputar-putar di atas kepalaku. Bersamaan dengan
itu, aku yang tergeletak menyedihkan di lantai ini diberikan hiburan oleh Tuhan.
Seorang pria berwajah menenangkan lengkap dengan dasi biru terlihat di
hadapanku. Mataku mengerjap beberapa kali. Walau denyutan di keningku terasa
semakin sakit, aku tetap tak bergerak dan menunggu pangeran berwajah tenang itu
mengulurkan tangannya dan membantuku. Astaga~ ini akan menjadi momen romantis
pertamaku sejak 10 tahun terakhir. Sepertinya aku harus membuat novel roman
setelah ini.
Tangan pria itu mulai bergerak dan terulur ke depan. Aku
menahan senyumku kuat-kuat.
“Astaga! Ada bekas make up di tiangnya!” Seketika
bintang-bintang yang sedang berputar di atas kepalaku jatuh menubruk muka. Aku
langsung terbelalak syok dan cepat-cepat berdiri.
“A..apa?” Aku pasti salah dengar.
“Tolong hati-hati! Tiang ini diimpor langsung dari Latvia.
Anda tahu di mana itu Latvia? Itu jauh!” Aku tak bisa berkata-kata selama
beberapa saat. Dia tidak serius, kan? Ya Tuhan!
“Heh, mana inisiatifmu? Keluarkanlah tisu dan bersihkan ini!"
“YAA! Kau menayakan inisiatifku? Sekarang kutanya di mana
sopan santunmu? Aku baru saja terjatuh menabrak tiang dan kau malah mengomel
karena bekas make up-ku tertinggal di sana.”
“Saya sedang memberi peringatan, bukan mengomel. Lagi pula
mana mungkin saya menyalahkan tiang? Dari tadi tiang ini tak bergerak, sudah
pasti Anda yang bermasalah.”
“B-bermasalah? Kau tahu apa yang bermasalah, huh? PERUSAHAAN
INI! TERUTAMA KAU, CEO-MU DAN TIANG INI! SEMUANYA BERMASALAH!” Aku mengakhiri
teriakanku dengan tendangan keras di tulang keringnya. Pria itu langsung menjatuhkan
tas kerja dan memegangi lututnya sambil mengaduh kesakitan. Sementara aku
berjalan cepat ke arah lift, mati-matian menahan diri untuk tidak menangis
histeris dan berteriak memaki seisi gedung –termasuk tiang terkutuk itu.
**********
Ruangan kebesaran CEO yang dikelilingi kaca satu arah
langsung terlihat begitu pintu lift terbuka. Beberapa karyawan yang berlalu
lalang di lantai 4 seketika berhenti dan membungkuk hormat memberiku salam.
Sudah berapa kali kubilang untuk tidak menunduk sedalam itu? Bukan apa-apa, aku
hanya jadi merasa tua karenanya.
Aku membalas semua sapaan itu dengan senyum bersahaja tanpa
mengurangi tempo langkah. Ketika itu, seorang karyawan yang belum pernah
kulihat sebelumnya berjalan dari arah ruanganku. Ia berjalan lambat dengan
tatapan kosong. Aku benar-benar membenci orang yang berjalan lambat
seperti itu, apa dia tak sadar kalau ia sedang menyia-nyiakan waktu? Kalau
karyawannya malas-malasan seperti ini, bagaimana perusahaan bisa
lebih maju? Aku akan menegurnya.
Tinggal beberapa langkah lagi dan kami akan berhadapan, tapi
dia bahkan tidak membungkuk sama sekali untukku, untuk CEO-nya. Di mana etikanya
sebagai seorang bawahan? Karyawan seperti ini benar-benar membutuhkan
peringatan. Dia masih berjalan lurus dengan ekspresi datar, sepertinya raga dan
ruh-nya sedang tidak bersatu.
Lihatlah! Di saat orang-orang normal mengambil langkah ke
kanan untuk menghindar, ia malah berjalan lurus dan tidak berbelok secenti
pun, padahal di depannya ada tiang besar berdiameter dua kali lipat dari
diameter kepalanya. Dan BRUKKK! Tepat seperti dugaan semua orang, ia jatuh
terlentang di depan tiang. Aku berhenti di depannya dengan pandangan iba,
hendak membantu—sebenarnya— tapi saat aku menoleh dan melihat tiang tak berdosa
yang ia tabrak seketika tanganku yang terulur berbelok ke tiang itu.
“Astaga! Ada bekas make up di tiangnya!” Aku menahan
telunjukku beberapa inci dari tiang itu, lantas mendesah. “Tolong hati-hati!
Tiang ini diimpor langsung dari Latvia. Anda tahu di mana itu Latvia? Itu jauh!” Saat aku menoleh, gadis yang satu detik lalu tengah terlentang di lantai kini
sudah berdiri dan menatapku berapi-api. Melihat tatapan matanya yang seperti
itu, tiba-tiba saja atmosfer di lantai 4 berubah seperti di gladiator.
“Heh, mana inisiatifmu? Keluarkanlah tisu dan bersihkan ini!“
“YAA! Kau menayakan inisiatiifku? Sekarang kutanya di mana
sopan santunmu? Aku baru saja terjatuh menabrak tiang dan kau malah mengomel
karena bekas make up-ku tertinggal di sana”
“Saya sedang memberi peringatan, bukan mengomel. Lagi pula
mana mungkin saya menyalahkan tiang? Dari tadi tiang ini tak bergerak, sudah pasti Anda yang bermasalah.”
“B-bermasalah? Kau tahu apa yang bermasalah, huh? PERUSAHAAN
INI! TERUTAMA KAU, CEO-MU DAN TIANG INI! SEMUANYA BERMASALAH!” Ia mengakhiri
teriakan brutalnya dengan tendangan tak terbaca yang mendarat tepat di tulang
keringku. Seketika nyawaku terangkat ke ubun-ubun. Aku refleks melepas tas kerjaku dan memegangi lututku sembari terus mengerang-ngerang kesakitan. Di gedung ini,
aku tak bisa mengeluarkan sumpah serapah atau umpatan apa pun walau kesal. Nama
baikku harum seperti minyak kasturi dan aku tak punya rencana untuk merusaknya.
Setelah menendang tulang keringku, ia berjalan menuju pintu
lift sambil menggerutu. Tidak salah lagi! Hanya ada dua kemungkinan di sini, dia
bukan karyawanku atau dia karyawanku yang sakit jiwa. Keduanya terdengar
cukup masuk akal. Tapi tunggu! Karyawan kubilang? Kalau dia benar
karyawanku, cih.. sudah bosan hidup, ya?
**********
“Begini... Aku bukannya tak tahu diri dengan menolak
pekerjaan menggiurkan ini tapi...” Aku menekankan maksudku sambil memindahkan
ponsel ke telinga kiri. Pintu lift terbuka.
[Sudah kubilang aku tak bisa berbuat apa-apa, kau sudah
bukan bawahanku. Yang berhak mengaturmu sekarang hanya CEO J’S itu.]
“Aku sedih sekali mendengar kau bicara seperti ini. Berarti
3 tahun kita bekerja bersama itu tidak ada artinya ya, Bos?” Aku tak percaya bisa
mengeluarkan pernyataan ini dari mulutku, tapi demi Tuhan aku merindukan bos
yang menjadi tumpuan hidupku selama 3 tahun ini. Walaupun mulutnya setajam
pedang, dan walapun ia sudah tua serta sebagian kepalanya botak, tapi
setidaknya bos-ku itu jauh lebih baik dari anak kecil berperilaku amoral yang
memakai celana jins yang ternyata merupakan CEO di perusahaan raksasa ini. Seketika aku merasa
mual. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya dipimpin oleh CEO sejenis
itu.
[Yu Jin Park, apa pun yang terjadi aku akan selalu
menganggapmu sebagai anakku yang paling penurut. Tapi apa boleh buat? Lagi pula
kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Pekerjaan itu kan bagus untuk
kesejahteraanmu dan kedua adikmu. Coba ambil sisi positifnya! Sadarlah, kau ini
sedang bekerja di perusahan besar dengan gaji yang wah. Kau hanya perlu
menyesuaikan diri.]
“Aku sudah menghancurkan harga diriku di hari pertama. Aku
sudah tak sanggup menyesuaikan diri.” Setelah mengucapkan dua kalimat itu dengan
nada putus asa, aku mengakhiri sambungan telepon dan berjalan menyusuri lobi
gedung yang sangat luas. Astaga~ sebenarnya tempat apa ini? Mana pintu
keluarnya? Saat sedang emosi begini, bisa-bisanya aku tersasar.
**********
Jam dinding di ruangan James sudah menunjukkan pukul 8 lewat
7 menit. Aku yang semakin tak sabar mulai bergerak liar membuka-buka laci.
Padahal aku sudah membukanya sebelum gadis itu ke sini, tapi tanganku secara
alami selalu bergerak ke sana dan membukanya lagi dan lagi seakan-akan apa yang
kucari bisa muncul secara tiba-tiba. Lalu lemari besar yang tadi tak bisa
kubuka pun tanpa sadar sudah kutendang dan kumaki-maki. Pajangan yang berjejer
di atasnya juga sudah jatuh berserakan di sekitar kakiku. Aku harus segera
pergi dari sini sebelum James datang dan mulai menginterogasiku dengan tatapan
dingin. Walaupun dia tak akan melakukan apa-apa, tetap saja aku malas berurusan
dengannya. Setiap kali dia bicara soal ketidakdisiplinanku, dia selalu
mengeluarkan aura aneh yang membuatku tak berdaya dan merasa bersalah. Dan aku
membenci perasaan itu setengah mati.
Saat aku sedang
berjinjit meraih sebuah folder, tiba-tiba suara gagang pintu terdengar.
Seketika itu juga konsentrasiku buyar. Aku benar-benar panik sampai sekujur
tubuhku terasa lemas. Holder dokumen yang tadi coba kuraih jatuh menimpa
kepalaku. Bersamaan dengan itu, James membuka pintu dan mengernyit melihatku
kesakitan.
“L.Joe?”
“Hei, Hyung! Kau terlambat 10 menit. Tumben sekali.” Aku
meraih salah satu buku di lantai dan meletakkannya di rak dengan gerakan kalem seolah ini adalah pertemuan yang normal.
Melihat semua kekacauan ini, James yang cerdas langsung
menghela napas. Pikiran kami tersambung begitu saja.
“Dari mana kau mendapat kuncinya?” James bertanya sambil
meringis memegangi lututnya. Dia habis menabrak sesuatu, ya? Tapi, mana
mungkin orang sehati-hati dia menabrak sesuatu? Mungkin lebih masuk akal jika
dia yang ditabrak.
“Dari mana?” ulang James sembari berjalan pelan-pelan dan
duduk di kursi kebangsaannya.
“Hyung, bukankah aneh jika aku tak mempunyai kunci ruangan
kakakku sendiri?”
“Cih... To the point
saja, sekarang dokumen cabang apa lagi yang sedang kau cari sampai
mengobrak-abrik ruanganku?” James meletakkan tasnya sembari memerhatikanku dan
kertas-kertas yang berserakan di lantai
bergantian.
Aku menggaruk kepala. “Hyung, ingat kan apa yang kuminta
kemarin?”
“kau juga ingat kan apa jawabanku kemarin?”
“Hyung!”
“Sudah kubilang, aku tak akan memberikan cabang J’S apa pun
padamu lagi”
“Apa kau tak tega melihat adikmu satu-satunya ini
menganggur?”
“Tentu saja aku tega. Aku sudah pernah memberikanmu J’S
shoes di pusat Seoul, J’S ace di Gangnam dan bakery J’S. Dan hasilnya apa? Bukannya
dikembangkan malah kau jual semua. Uangnya pun tak jelas masuk ke dompet siapa.
Berhentilah bermain-main!”
“Ah, Hyung! Makanya tolong berikan aku bisnis yang bagus.
Kau cuma memberiku toko sepatu, toko roti. Aku butuh yang lebih.”
“Bisnis seperti itu saja kau tak bisa urus, apa lagi yang
lebih besar?”
“Kalau bisnisnya lebih besar, tentu saja aku akan lebih
bersemangat mengurusnya. Ayolah Hyung, setelah ini aku janji tak akan meminta
apa pun lagi darimu.” Aku memelas.
“Jual saja apartemenmu!”
“YAA! Hyung, aku serius! Kudengar kau membuka restoran daging
baru minggu depan.”
“Mungkin.”
“Mungkin apanya? Jangan membohongiku, ya! Aku tahu kau sudah
membuat plang dan menyiapkan seragam pelayan. Ayolah, biarkan aku
mengurusnya!”
“Aku tak berbohong. Memang ada masalah dengan logonya.”
“Masalah apa? Kau tak suka logonya?”
“Bukan itu. Aku sangat menyukai logonya, tapi tiba-tiba
perusahaan design yang menangani logo ini menariknya kembali.”
“Benar-benar tidak profesional! Harusnya kau memakai
perusahaan yang lebih kompeten.”
“Aku memilih menggunakan perusahaan itu karena salah satu
graphic designer-nya. Aku menyukai logo-logo buatannya.”
James menarik slip kecil di mejanya dan menyodorkan sebuah
kliping tipis padaku. Aku membukanya dengan heran.
“Itu logo-logo karya designer Yu setahun terakhir. Sepertinya
kami berdua punya selera yang sama.”
“Eiii, kau men-stalk
nya?” Aku menatap Hyung-ku itu jahil.
James cuma tersenyum, tak menolak.
“Ternyata CEO J’S adalah seorang stalker. Lalu setelah ini apa yang akan kau...”
“Aku sudah mendapatkannya,” sela James mengejutkan.
“A-apa?”
“Perusahaan mereka menawarkan ganti rugi, tapi aku menolak
uangnya dan meminta designer itu bekerja untukku.”
“Kau mendapatkannya semudah itu?” Aku melotot mendengar
penuturan singkatnya. Dia mendapatkan apa yang ia inginkan semudah membalik
telapak tangan. Benar-benar tidak adil. Aku membuka halaman terakhir kliping
tadi sebelum meletakkannya kembali di meja.
“Oke, oke, selamat karena kau berhasil menjadikan designer
favoritmu sebagai bawahan. Sekarang, bisakah kau berikan restoran itu untukku?”
“Tidak.”
“Aku akan mengurus semuanya. Aku janji.”
“Mengurus apanya? Logonya saja tidak ada. Designer Yu akan
membuatkan logo baru. Walau harus rugi besar, sepertinya memang tak ada cara
lain selain menunda pembukaan.”
“Bagaimana kalau aku berhasil membuat pembukaannya tepat
waktu? Kau mau memberikan restoran itu padaku, kan?”
“Kalau kau berhasil, kan?”
“Jadi itu artinya iya?”
“Tentu.” Aku langsung menjentikkan jari dan berkata ‘yes’
tanpa suara. Walaupun ucapan ‘tentu’-nya terdengar seperti ‘mustahil kau bisa’ tapi aku tetap merasa
seperti setengah dari restoran itu sudah berada di tanganku.
“Kau tak akan menyesal, Hyung.”
“Kau sudah sering mengucapkan itu dan pada akhirnya aku
tetap menyesal.”
“Kali ini tidak.”
“Aku berusaha untuk yakin, Joe.” Aku tak memikirkan omongannya
itu dan segera berjalan ke luar.
“Tolong panggilkan orang ke ruanganku. Ada tikus besar yang
membuat semua barangku berserakan di lantai,” ucap James setelah menekan tombol
putih kecil di mejanya –tombol yang
terhubung langsung ke ruangan sekertarisnya. Aku memutar mata. Tikus besar katanya? Cih.
“Hyung.” Aku yang sudah berdiri di ambang pintu tiba-tiba
berbalik kembali padanya. James mengangkat kepala.
“Apa?”
“Aku harus menemui designer Yu untuk membicarakan hal ini.
Bisa kau beri tahu aku di mana mejanya?”
“Seharusnya dia datang hari ini. Sayang sekali aku juga
belum bertemu dengannya.”
**********
Jejeran merek dan jenis produk skin food di salah satu lorong pusat perbelanjaan sukses membuat
langkahku terhenti. Aku mengambil salah satu body butter, membuka tutupnya dan mencium aroma cokelat yang keluar
dari sana sambil tersenyum. Niatku untuk membelinya sudah mencapai 80%, namun
saat melihat nominal ’25.000 won’ tercetak kaku di samping barcode, tanganku secara natural meletakkan benda itu kembali.
Troliku sudah hampir penuh dan uang satu juta won yang kumenangkan kemarin lusa
tinggal tersisa 300.000 ribu saja.
“Ah, aku sudah mencobanya dan itu tidak bagus,” ujarku
tiba-tiba. Wanita yang sejak tadi berdiri di sebelahku tersenyum heran dan mengangguk-angguk.
Aku bicara begini bukan tanpa alasan. Bagaimana kalau dalam hati ia menganggapku
sebagai anak muda yang pelit? Dipergoki sedang mengembalikan barang setelah melihat
harga merupakan hal gawat bagi wanita.
Tak mau semakin pusing, aku segera berbalik dan bersiap
mendorong troli kembali. Namun, gerakanku tertahan karena suara potongan lagu irresistible milik One Direction mengalun kencang dari dalamnya. Aku segera mengambil
tas yang tertumpuk di antara barang belanjaanku itu dan mencari-cari handphone
sambil ikut bersenandung.
“Yaa! Angkat ponselmu! Berisik!” seru seorang wanita yang
tampak sebaya denganku. Aku mendelik ke arahnya dan sengaja bernyanyi lebih
kencang lagi. Enak saja mengaturku! Wanita itu meletakkan toner yang sedang ia pegang dengan kesal lalu pergi sambil
menyumpahiku.
“Bagus! Pergilah yang jauh! Dasar makhluk goa! Tak pernah
dengar lagu, ya?” cecarku tak mau kalah. Saat gadis itu sudah berbelok, aku baru
menggeser kursor jawab di bawah nama ‘Jill’ dan menempelkan layarnya di
telinga.
“Hallo?”
[Hey, Hyo Jin apa kabar?]
“Ini siapa? Aku tahu namamu Jill. Maksudku kita kenal
di mana?” tanyaku tanpa basa-basi.
[Kita satu SMA, loh! Kau tak ingat? Kita pernah sekelas dua
kali.”
“Begitu, ya? Ada urusan apa?” Aku menyandarkan tangan kiri di
troli dan mendorongnya pelan-pelan.
[Boleh aku minta bantuan?]
“Apa keuntungan yang kudapat jika aku membantumu?” Aku masih
memasang ekspresi tanpa minat. Kalau imbalannya tidak wah, jangan berharap aku
berkata ‘Ya’.
[Aku akan membayarmu.]
“Berapa?”
[300 ribu won.]
“500 ribu.”
[A-apa? Jangan, dong! Turunkan sedikit. Aku kan masih kuliah.]
“Oke, oke, bagaimana jika 300.000 ditambah 15 paket skin food komplit, termasuk body butter, body lotion, body mist dan BB cream.”
[Ya Tuhan!] gumamnya dari ujung telepon. Aku melihat layar
handphone-ku kembali untuk memastikan ia tidak langsung mematikannya.
“Kalau tidak mau, cari orang lain sa—“
[YAA Park Hyo Jin! Kau bahkan belum tahu aku minta bantuan
apa! Dasar!]
“Oh iya, ya! Hahaha. Memangnya soal apa? Tapi tunggu dulu,
imbalannya sudah deal, kan?”
[Iya, iya. Begini aku—]
“Untuk skin food
nya, aku cuma menerima Brand milik BLAC atau J’S. Kalau kau memberikanku merek di luar itu, maka perjanjian ini batal.”
[Cih, kau itu! Tenang saja, aku akan mengirimkan skin food itu hari ini juga! Sekarang
dengarkan masalahku dulu!” Aku tak bisa menahan senyumku saat dia bilang ‘akan
mengirimkan skin food itu hari ini juga’.
Kenapa aku bisa melupakan teman SMA sebaik ini? Harusnya aku berteman
dengannya terus sampai sekarang. Hidupku pasti lebih sejahtera! Ah~
Aku tak mendengarkan ucapannya karena membayangkan kamarku
akan penuh dengan produk perawatan kulit nomor 1 Korea. Rencananya, 4 box akan
kusimpan untuk persediaanku sendiri dan sisanya akan kujual online. Hebat!
Betapa jeniusnya kau Park Hyo Jin! Tanpa harus menjadi Yu Jin yang bekerja
siang malam di depan laptop, kurasa dengan pekerjaan serabutan begini aku sudah
bisa menyamai gajinya. Daebak!
Saat kesadaranku kembali, terdengar suara Jill yang mendesah
berat. Sepertinya ia sedang bersiap-siap untuk bercerita. Dia menggunakan
banyak sekali kalimat basa-basi yang membuatku ingin menutup teleponnya. Tapi
di sisi lain, aku juga merasa harus membeli popcorn karena bisa jadi ceritanya
ini akan panjang.
[Aku sedang dekat seorang pria kaya raya, Hyo~] Aku
mengangguk tanpa minat. Aku juga, kok. Malah bukan hanya satu. Sudah pasti
teknik berpacaran gadis ini jauh di bawahku.
[Selain kaya raya, belakangan aku mendengar kabar dari
teman-temanku bahwa dia juga seorang playboy brengsek yang membawa kenalan
wanitanya ke apartemen hanya untuk melakukan ‘itu’]
“Tentu saja, dia kan kaya! Apa untungnya kaya raya kalau tidak bejat?”
[YAA Park Hyo Jin! Dengarkan saja misimu, tak usah komentar!]
“iya, iya, lanjutkan!”
[Di hari ke delapan sejak kami kenal dan dekat, aku mulai
menanyakan kebenaran kabar burung itu. Kau tahu aku kan, Hyo? Aku tak bisa
menjalin hubungan yang tidak serius, aku tak mau dijadikan salah satu wanitanya
yang ditiduri lalu ditinggal.] Aku bahkan sangsi kami satu sekolah waktu SMA dan
sekarang dia bilang ‘kau tahu aku kan, Hyo’ dengan sangat emosional, seakan-akan kami adalah sahabat yang
mengubur time capsule bersama-sama
saat sekolah dasar. Maaf, sepertinya aku tidak mengenalmu sejauh itu. Aku
memutar mata.
[Setelah aku menanyakan itu, dia tersenyum sinis padaku
sambil bilang ‘benar! Sekarang kau takut padaku?’ Aku tak bisa menjawab
apa-apa, dia berdiri dan aku segera menahannya. Lalu dia berkata ‘memangnya kau
pikir kau siapa sampai mencampuri urusan pribadiku?’, aku benar-benar terkejut
kukira kami pacaran.]
“Tunggu jadi kalian tidak pacaran?”
[Nah, kau juga kaget kan, Hyo? Padahal kami sangat dekat,
sangat sangat dekat, dia juga membelikanku ini itu dan memanggilku Sayang.
Kukira kami berpacaran, tapi ternyata dia tidak menganggap begitu. Bahkan
terakhir aku meneleponnya, dia menyuruhku untuk tidak menelepon lagi, ia
bilang ia sudah bosan bermain denganku karena aku sangat jauh dari tipe idealnya. Astaga, Hyo! Aku
benar-benar mau menangis saat mengingatnya! Tolong jangan tanyakan mengenai hal
itu.] Aku hanya bisa mengangguk-angguk prihatin.
[Perasaanku sakit sekali. Aku tidak terima sudah
dipermalukan di dalam kafe yang ramai, bahkan ada teman-teman kampusku juga.
Sekarang aku jadi bahan olok-olokkan di kampus, semua orang mengenalku. Dia
bicara tanpa filter mengenai hal-hal pribadiku dan sekarang semuanya sudah tersebar
ke mana-mana.]
“Lalu? Sekarang apa kaitannya kisah cintamu yang mengenaskan itu dengan misiku?”
[Aku ingin kau membalas perasaan sakitku.]
“Membalas bagaimana?” Aku menanggapinya penasaran sembari
memindahkan barang-barang di troli ke meja kasir.
[Buat dia jatuh cinta denganmu lalu patahkan hatinya.]
“Katamu dia playboy, kan? Mendengar dari ceritamu tadi,
sepertinya pria sejenis itu tak punya perasaan pada wanita mana pun dan hanya
mau bermain-main saja.”
[Makanya dicoba dulu. Aku membayar mahal untuk ini. Lagi pula
kau kan Park Hyo Jin. Reputasimu bergonta-ganti 5 pria dalam 3 hari itu menjadi
catatan sejarah di angkatan kita saat SMA dulu. Aku yakin kau pasti bisa. Kau
kan dewi Gwangmun —nama sekolah— yang
bisa melelehkan hati pria dalam satu kedipan.” Mendengarnya memberiku pujian
seperti itu, aku malah merasa malu. Reputasi macam apa itu? Aish~
“Jadi goal-ku
adalah membuat seorang playboy kelas atas patah hati?”
[Patah hati, lalu buat dia menyesal sudah mencampakkanku dan
mengemis memintaku kembali.]
Aku memutar mata. “Kau pikir aku ini tukang sihir, ya? Mana bisa begitu?”
Aku memutar mata. “Kau pikir aku ini tukang sihir, ya? Mana bisa begitu?”
[Sekarang buat dia patah hati dulu saja, kalau perlu
lakukanlah di depan banyak orang. Buat dia malu! Aku ingin pria itu merasakan
apa yang pernah dia perbuat padaku. Nanti setelah kau membuat hatinya hancur,
biar aku yang maju, aku akan datang di saat yang tepat, menenangkannya dan
membuat dia jatuh cinta bukan main karena kebaikan hatiku.]
“Iya, iya, terserah kau saja. Jangan lupa transfer secepatnya!”
[Enak saja! Kau kerja dulu, lah! Kalau kau berhasil, aku akan
memberikan 300.000 Won-nya ditambah dengan bonus. Tapi kalau ternyata dia tidak
jatuh cinta padamu, aku hanya akan mentransfer 100.000.]
“Heh! Kesepakatan awalnya kan tidak begitu.” Aku menggebrak meja
kasir, membuat seisi pusat perbelanjaan hening. Hiperbol. Sebenarnya hanya penjaga kasir itu saja yang terkejut,
dan yang hening juga cuma orang-orang di sekitarku saja, bukan satu gedung. Walaupun
sebenarnya aku malu dilihat banyak orang begini, tapi ucapan Jill barusan mampu
menyita seluruh perhatianku dan mengabaikan orang-orang itu.
[Aku kan tak bisa percaya padamu begitu saja. Aku akan
mengirimkan skin food-nya hari ini,
tapi tidak dengan uangnya. Bagaimana jika setelah kau mendapat uangnya kau
kabur begitu saja? Aku tak bisa menyewa pengacara untuk kasus aneh seperti
ini. Nanti malah aku yang ditangkap.] Ternyata dia sudah berpikir jauh tentang
konsekuensi memberikan uang di muka, bahkan sampai berniat menyewa pengacara.
Benar-benar penuh persiapan.
“Oke, oke, aku paham. Sekarang bagaimana caranya aku bertemu
dengan pria itu? Dan hei, aku bahkan belum tahu namanya.”
“Datanglah ke Kafe Lafrein, tak jauh dari Universitas Yongdam. Dia
biasanya ada di situ bersama teman-temannya.]
“Oke, aku tahu kafenya. Lalu wajahnya bagaimana? Setidaknya beri tahu aku namanya,” kataku agak repot. Aku menjepit handphone di antara telinga dan bahu, tangan kananku menerima uang kembalian dan yang kiri sibuk dengan kantong plastik belanjaan.
[Namanya L.Joe.]
“L.Joe?” gumamku pelan, memaksa otakku untuk mengingatnya.
[Anak bungsu keluarga Lee, pemilik tunggal brand J’S.]
“SIAPA KAU BILANG? KELUARGA PEMILIK J’S? ASTAGA J’S?”
TBC
KL POV-nya g aku tulis, bikin bingung ga sih? Kalau bikin bingung nanti
part selanjutnya aku tulis deh ini pov siapa itu pov siapa.
Nah… udah tahu kan siapa aja cast-nya^_^ pemeran utama cowonya James
Lee aka James Royal Pirates. Siapa dia? Kenapa aku pake dia? Ga kenapa-napa
sih, aku cuma suka ngeliat dia waktu di LOTJ, awalnya nonton itu gara-gara ada
niel doang, eh setelah beberapa episode alesan buat nonton LOTJ jadi nambah
satu gara-gara dia. Selengkapnya cari di google aja ya.. Trus L.Joee~~ kan aku
pake Hyo Jin, ya berarti udah sepaket sama mas joe, right? Berarti tinggal Jin
Ah sama pasangannya nanti huhu…
Sekedar info, ff ini bakal kupublish sebulan sekali. Yang sabar ya
kawan-kawan:)
Anyyeong!
kasihan yu jin,. >.< wkwkwkwk kenapa dia tidak lihat tiang yang di depannya,. :D
ReplyDeleteAigooo hyo kau masih labil eoh,. >.< lucu bnget,. :*