Let Love Lead part 8 (Hyo Jin - L.Joe)



Aku dan L.Joe belum sempat bereaksi apa-apa setelah mendengar teriakan Yu Jin, namun kejutan lain malah muncul tiba-tiba. L.Joe yang berada persis di depanku—masih dengan sebelah tangan di dinding— dihantam dengan pemukul baseball dan juga sapu lidi yang sudah pasti kotor. Pria itu terpelanting ke depan dan nyaris menubrukku. Untungnya aku bisa mempraktekkan jurus Yu Jin dan menyingkir dengan cepat.


“Astaga eonnie! Apa yang kalian lakukan?”
“Memberi pelajaran pada setan kecil ini tentu saja!” jawab Yu Jin berapi-api.
“Berhenti! Ada apa dengan kalian semua? Apa salahku? AHH YAK Park Hyo Jin jangan diam saja! Lakukan sesuatu!”


Kenapa jadi aku yang harus melakukan sesuatu? Dan kenapa dia malah berputar-putar di teras rumahku? Lari ke mobilmu dan pulang saja sana, aish dasar. Kan sudah aku peringatkan sebelumnya! Kalau sudah begini aku tidak bisa berbuat apa-apa selain meringis panik di sisi pintu. Tak ada yang bisa menghentikan Yu Jin dan Jin Ah yang sedang kumat. L.Joe, kau bukan orang pertama.


“Jin Ah eonnie! Jangan pakai sapu! Dia paling tidak suka yang kotor-kotor.” Aku meraih lengan Jin Ah dan berusaha menghentikannya, tapi sia-sia. Mendadak manusia anggun ini menjadi sangat perkasa.


“Tidak suka yang kotor, ya? Pisau dapur kita bersih, mau?” balasnya sengit, lantas kembali melanjutkan aksi brutalnya.


Astaga! Ini tidak bisa dibiarkan. Bisa-bisa L.Joe yang rapuh seperti sarang laba-laba itu pingsan. Aku segera merangsek menembus barikade Yu Jin - Jin Ah dan merentangkan tangan di depan L.Joe dengan napas tersengal seperti di film action. Tapi Yu Jin yang lebih kuat dari Thor itu mendorongku ke samping begitu saja. Laksana kapas, aku terhuyung-huyung sampai menabrak pintu.


“BERHENTI SEBENTAR SAJA AKU AKAN JELASKAN!” L.Joe mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua gadis itu berhenti, tapi sia-sia…… “YAH NOONA! KAU BAHKAN MENDORONG ADIKMU SENDIRI! INI YANG DISEBUT MELINDUNGI?” Gertakan kedua L.Joe membuat Yu Jin berhenti, Jin Ah yang melihat Yu Jin berhenti pun ikut berhenti.


“Apa kau bilang? Heh, anak kecil! Benar-benar tidak tahu sopan santun! Mau kulaporkan James?” seru Yu Jin garang.


“James? Dari mana kau ta…. Hei! Aku mengingatmu!” Mata L.Joe sedikit melebar saat akhirnya ia mengenali Yu Jin.


“Tentu saja kau harus mengingatku, orang yang sudah kau kerjai.” Yu Jin menggeram sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Dan sekarang beraninya kau mendekati adikku!” Yu Jin melirik Jin Ah seolah memberikan kode sebelum BRAK BRUK BRAK BRAK BRUK


“Astaga! Eonnie! Cukup! Dia tidak melakukan apa-apa.” Aku segera merebut pemukul baseball dan sapu lidi itu, namun mereka berdua berhasil merebutnya kembali sedetik kemudian.


“L.Joe! Sudah sana pulang! Kau mau mati di sini, ya?”


L.Joe yang meringis kesakitan akibat pukulan bertubi-tubi itu mengangguk pada Hyo Jin, “Selamat malam,” ucapnya, tak lupa menyelipkan senyum di sela-sela wajahnya yang meringis.


“Selamat malam,” balas Hyo Jin manis.
“Apa, sih? Kalau mau pulang ya pulang! Selamat malam selamat malam,” gerutu Jin Ah sambil melempar sapunya ke lantai sementara Yu Jin memutar-mutar pemukul baseball-nya seperti preman.


“Bagus! Pergi sana! Yang jauh! Dasar bocah tak tahu sopan santun! Bertamu ke rumah orang malam-malam, dulu menggodaku lalu sekarang mencoba mencium adikku juga? Benar-benar sialan! Awas kalau sampai aku melihat batang hidungmu lagi! Akan kupatahkan!” teriak Yu Jin sekuat tenaga, tak peduli kalau Lamborghini Huracan milik L.Joe sudah melaju.  Jin Ah pun sama saja, ia ikut berteriak-teriak mengusir L.Joe—yang jelas-jelas sudah pergi. Benar-benar!


“Kalian berdua sinting,” umpatku tak percaya, lantas segera memasuki rumah. Dua gadis itu dengan gesit mengejar, menghalauku masuk ke kamar.


“Informasi penting untukmu! Aku mengenal pria tadi. Dia adiknya James. Dia manusia serampangan, urakan, tak tahu aturan, yah… pokoknya dia sama sekali tidak baik.”


“Sepertinya putra zeus yang satu itu bukan anak baik-baik, Hyo. Saranku lebih baik carilah titisan zeus yang lain. Mencari pria sejenis itu pasti bukan masalah untukmu, kan?” Jin Ah menambahkan.


Aku membuang napas keras dari hidung. Memandang mereka dengan tatapan mencela, dasar manusia-manusia sok tahu! “Dengar ya! Aku jauh lebih mengenalnya dari kalian. Dan bagiku dia baik,” kataku final, lantas menarik gagang pintu kamarku sampai terbuka. Namun, Yu Jin segera menarik tanganku lagi.


“Berarti kau belum mengenalnya.” Gadis itu menatapku tajam. “Kau sering sekali pulang larut akhir-akhir ini. Kalian ke mana?”


“Bukan urusanmu. Sekarang lepas tanganku!” Aku menatapnya tepat di mata. Yu Jin balik menatapku dengan emosi. “Tidak.”


“Heh, dengar ya, L.Joe itu—“
“TIDAK! Kau yang dengar aku! Aku adalah kakakmu! Lebih dari itu! Aku kepala rumah tangga di sini! Jika kubilang tidak baik ya tidak baik! Jika kubilang jauhi ya jauhi!”


“OKE! Jika menurutmu dia tidak baik, anggap saja aku sudah menemukan pria yang sesuai denganku. Menurutmu aku juga bukan gadis baik-baik, kan? Aku tidak seperti Jin Ah yang anggun dan penurut itu! Aku rubah betina! Aku pembuat masalah! Benar, kan?” balasku lantang. Aku bisa melihat Jin Ah yang perlahan-lahan menarik diri dari ruang tengah yang mencekam, juga kepalan tangan Yu Jin yang gemetaran di samping badan. Matanya terbelalak marah, emosinya membuncah tidak keruan dan aku tahu sebentar lagi dia akan berteriak padaku. Seperti biasa.


“YAH! Park Hyo Jin! Bagaimana bisa kau bicara seperti itu?” Persis. Ia membentakku dengan suaranya yang menggelegar. Aku cuma tertawa. Walau sebenarnya aku sendiri takut dan mau menangis, aku tetap menangguhkan diri menatap bola mata Yu Jin yang berkaca-kaca dengan berani.


“Tentu saja bisa. Aku punya mulut,” repetku langsung. “Park Yu Jin-ssi, pasti lelah kan jika setiap hari harus menarik urat memarahi aku? Aku kasihan melihatmu begini, jadi sebaiknya kau tak perlu mengatur hidupku lagi, aku sudah dewasa sekarang. Kau lelah dengan sifatku? Bagus! Aku juga lelah, kok! Bagaimana kalau mulai hari ini anggap saja tanggung jawabmu atasku sudah selesai? Supaya kita berdua sama-sama senang.”


Yu Jin pasti sangat terkejut dengan ucapanku barusan, cengkramannya mengendur. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku segera menarik tanganku dan memasuki kamar. Namun tentu saja Park Yu Jin yang super cekatan itu adalah pemenangnya. Ia berhasil mendorong pintu kamarku sebelum sempat kukunci. Tangannya bergerak lihai menarik kunci dari panel dan ceklek. Aku cuma bisa terbengong melihat betapa kilatnya Yu Jin bergerak. Ia baru saja mengunciku dari luar.


“Ucapanmu semakin tak terkontrol, Park Hyo Jin. Kau tak bisa mengatakan hal seperti itu padaku. Orangtua kita sudah tidak ada dan suka tak suka kau harus mendengarkan aku. Kau tidak boleh keluar dari sini sebelum minta maaf padaku,” ucap Yu Jin dari balik pintu. Aku mengerang, melompat dan menendangi udara untuk meredam marah. Gadis itu benar-benar! Untuk apa aku minta maaf padanya? Aku tidak bersalah. Sama sekali.


“Yah! Park Yu Jin buka pintunya!”
“Kau tuli, ya? Buka pintunya!! Hehhhh!”
“Aku tidak menganggapmu sebagai kakakku lagi! Kita berdua orang asing! Jadi jangan lancang padaku!!!”


“Yah! Kau mendengarku, kan? Jangan bertingkah seenak jidatmu! Buka pintunyaaaa.”
“Buka sekarang atau kutelepon polisi!”
“Park Yu Jin-ssi!”
“YAH PARK YU JIN!”


Aku sudah berteriak sambil menggebrak-gebrak pintu selama setengah jam. Senada dengan tenagaku yang terus berkurang, teriakan dan dobrakan yang kulakukan pun makin lama makin pelan. Aku sudah kelelahan dan fakta bahwa tak ada satu pun dari mereka yang menggubrisku membuatku benar-benar marah. Saat itu, tiba-tiba saja ponselku mengeluarkan bunyi singkat. Aku yang masih belum berpindah dari lantai mengambilnya susah payah.


Apa kau baik-baik saja? Haruskah aku ke sana?
Sepertinya aku menyebabkan chaos di rumahmu.
 -L.Joe-


Kalau dia bukan orang baik-baik, kenapa dia harus mengkhawatirkanku begini? Dia baik bagiku, dan sepertinya aku mulai menyukainya—sungguhan.



Rumah ini neraka. Eonnie mengunciku di kamar.
Jangan, kau tak perlu ke sini. Aku bisa mengatasinya sendiri.



Neraka? Ha?… aku yakin tidak seburuk itu.



Oh ya? Lalu bagaimana aku menyebutnya?



Omong-omong yang mana jendela kamarmu?



Apa? Jangan bilang kau ke sini!



Yang mana?



Ada di bagian kiri rumah.
Jendela pertama itu ruang tamu, Jendela kedua baru kamarku.



Aku mengetik pesan itu sambil setengah berlari menjangkau jendela, lantas menyibak gordennya. Saat itu juga aku langsung bisa melihat L.Joe yang muncul dari balik tembok depan. Ia menunduk menatap layar ponselnya selama beberapa saat sebelum menoleh ke deretan jendela dan bertemu pandang denganku. Aku lekas mendorong jendela kamarku namun…. Sial! Pasti ada benda yang menghalanginya dari luar. Sepertinya karena terlalu emosi menggedor-gedor pintu, aku sampai tak sadar kalau Yu Jin mengganjal jendela kamarku juga. Aku benar-benar tak habis pikir dengannya. Dia menganggap adiknya sendiri penjahat, ya? Saat aku mengangkat kepala, L.Joe sudah berdiri tepat di hadapanku. Tersenyum. Aku benar-benar terharu melihatnya seperti ini.


“Buka jendelanya,” ucap L.Joe tanpa suara.
“Tidak bisa. Ada yang mengganjal dari luar.” Aku mengerahkan seluruh kemampuan bahasa tubuhku untuk berkomunikasi. Dan entah bahasa tubuhku yang sangat bagus atau L.Joe yang memang cerdas, ia langsung mengerti dan menarik silinder besi yang ia temukan di sudut-sudut jendela. Aku buru-buru mendorongnya sampai terbuka. Padahal belum ada satu jam aku dikurung di sini, tapi tetap saja rasanya lega bisa menghirup udara luar lagi. Aku tak pernah dan tak mau masuk penjara, tapi sepertinya perasaan ini sama dengan perasaan para narapidana yang baru dibebaskan dari sel.


“Apa yang kau lakukan di sini? Tapi uh, bagus! Ayo pergi!” Aku menyurukkan sneakers-ku pada L.Joe sambil bersiap-siap memanjat.


“Ke mana?”
“Ke mana saja asal jangan di sini! Aku mau memberi mereka pelajaran.”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?” Aku menurunkan sebelah kakiku yang sudah menggantung di jendela lalu merajuk menatapnya. “Lalu apa yang kau lakukan di sini jika tidak mau mengajakku kabur?”


“Aku cuma mau memastikan keadaanmu, dan ternyata kau memang baik-baik saja. Dan kau tahu? Ternyata aku dan kakakmu saling kenal. Park Yu Jin adalah pegawai James, kakakku. Dan yang lebih buruk, aku pernah mengerjainya satu kali. Dia yang membuat logo restoran dan…. Yah setelah kupikir-pikir, sepertinya wajar jika eonnimu membenciku.” Aku sudah tahu.


“Lalu? Aku tak lihat masalahnya. Jangan bilang kau takut Yu Jin mengadu pada James! Astaga L.Joe, aku bersumpah padamu aku yang akan menanggung semua risikonya, sekarang bantu aku keluar dari sini.” L.Joe berdecak, namun tetap mengulurkan tangannya. Ia menarikku sambil terus menoleh waspada ke kanan kiri.


“L.Joe! Cepat!” Aku menggerutu tak sabar. Pria itu menghela napas berat dan menarik badanku keluar dengan ekspresi tertekan, wajahnya memucat.


“Serius, Hyo! Lebih baik kita bilang kakakmu dulu kalau mau pergi.”
“Ini pertama kalinya kau membawa kabur perempuan, ya?”
“Apa? Membawa kabur katamu? Bukankah kau yang memaksa dibawa kabur?”
“Iya, iya, terserah. Sudah kubilang kan, aku yang akan menanggung semua risikonya! Jadi kau tak perlu takut!”


“Kalau James tahu, dia bisa memblokir ATM-ku! Cih, dasar. Aku benar-benar menyesal sudah sok manis dan sok khawatir begini! Ujung-ujungnya jadi aku yang repot, kan!”


“Tidak ada gunanya menyesal. Keputusanku untuk kabur sudah bulat. Lagi pula kalau alasannnya hanya karena itu, sebelum diblokir kita bisa ke ATM sekarang untuk mengambil uang yang banyak, Iya kan?”


Seketika wajah L.Joe berubah. “Kau benar.”


Pria itu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu.


“Jangan bilang kau sedang minta izin kakakmu!”
“Tidak. Aku menyuruh penjaga villa untuk bersih-bersih.” Pria itu berhenti mengetik dan memandangku ragu, “kalau ke villa-ku tidak apa-apa, kan?”


“Kau gila! Tentu saja tidak apa-apa!”



**********



Pukul dua dini hari. Villa L.Joe berada di Suwon, tak terlalu jauh dari Seoul sebenarnya. Kami hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai. Tetapi karena L.Joe menyetir seperti siput –nyalinya benar-benar ciut untuk ukuran pemilik Lamborghini, dia bisa saja melesat 300km/jam tapi…. tch— dan karena kami baru jalan tengah malam, maka apa boleh buat.


Aku turun dari mobil dan berjalan sempoyongan mengikuti L.Joe. Dua orang penjaga menyapanya dengan hormat, yang satu membukakan pintu villa sementara yang satu lagi memberikan sebuah kunci. Lantas keduanya membungkuk lagi sebelum akhirnya berlalu.


“Yang mana kamarku?” tanyaku, langsung begitu ia menutup pintu. Aku benar-benar mengantuk dan butuh tempat tidur detik ini juga. Mataku sudah tidak bisa terbuka lagi. Aku bertanya padanya dengan sisa kesadaran sekitar 5% dan mata yang sudah tertutup rapat, dan jangan lupakan posisi badanku yang sudah meliuk ke depan seperti tak punya tulang.


“Lihat kamar yang di sana?” Aku memaksa kelopak mataku yang sudah merekat kuat ini untuk membuka, lantas menoleh mengikuti arah telunjuknya. Ada sebuah pintu kayu berwarna putih.


“Ya. Mana kuncinya?” Aku menodongkan tangan. L.Joe beranjak dari tempatnya berdiri dan membuka laci. “Nih! Cari sendiri!” L.Joe tiba-tiba saja berbalik dan melempar serenceng kunci yang gilanya berhasil kutangkap. Tapi tunggu! Apa-apaan ini!


“Heh, kau mau ke mana?”
“Ke kamar.” L.Joe yang sudah berbalik pergi itu mengacungkan sebuah kunci yang tadi diberikan penjaga villa-nya.


“Yah! Lalu aku bagaimana? Tolong carikan kuncinya untukku! Jangan tinggalkan aku sendiri!”
“Kalau kau mau, kau boleh tidur di sini,” ujar L.Joe sambil memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya sampai terbuka. Suara pintu yang terbuka itu terdengar sangat merdu.


“Bolehkah? Ya ampun, terima kasih.” Mataku yang mengantuk luar biasa ini seketika berbinar.
“Sama-sama.” L.Joe tersenyum manis dan menyandarkan punggungnya di pinggir pintu. “tapi bersamaku,” sambungnya.


Mataku langsung membulat maksimal.


“Oh, lupakan! Aku akan mencari kuncinya sendiri.” Sial! Aku langsung berbalik dan dengan cepat mencoba kunci-kunci itu satu per satu.


“Ada-ada saja! Orang tolol mana yang menggabungkan kunci kamar dengan kunci sebanyak ini? Sebenarnya ini kunci satu kecamatan atau bagaimana? Ini semua kunci apa? Kapan aku bisa tidur kalau begini caranya! Benar-benar tidak punya otak. Harusnya sekalian saja gabungkan dengan kunci Inggris.” Aku menggerutu tak putus-putus, L.Joe tertawa cekikikan dari pintu kamarnya sendiri.


“Apa yang kau lakukan di situ? Sudah sana masuk!”
“Iya, iya, ternyata kau makin malam makin galak, ya.”
“Berisik.”
“Kalau berubah pikiran, aku tak mengunci kamarku.” L.Joe berkata dengan nada jahil, lengkap dengan senyum dan kerlingan mata sensual yang membuatku bergidik.


“Aku lebih baik mati kedinginan daripada masuk ke sana dan tidur bersamamu. Mengerti?” Lagi-lagi L.Joe tertawa. Dia terlihat sangat kelelahan tapi masih bisa-bisanya saja menggodaku begini. Dasar!


L.Joe menggeleng sambil mengibaskan tangannya, kemudian masuk ke dalam kamar yang hangat dan menyenangkan itu sendirian. Dasar! Aku juga mau masuk ke kamarku.



**********



Sinar matahari yang menelusup di balik tirai tipis jendela kamar sukses membuat kedua kelopak mataku terbuka. Aku mendengus. Rasanya aku baru memejam setengah detik dan JRENG matahari bersinar. Aku menolak untuk bangun. Lebih memilih berganti posisi untuk menemukan spot ternyaman untuk meneruskan tidur. Berbalik kanan. Berbalik ke kiri. Menarik selimut lebih tinggi. Lalu menurunkannya lagi dan begitu seterusnya sampai tiba-tiba saja sesuatu membuat kesadaranku langsung terkumpul. Mataku seketika terbuka penuh. Suara lenguhan perempuan. Hyo Jin.


“Kau?” Aku segera bangkit ke posisi duduk.
“Kenapa kau berisik sekali? Iya, ini aku. Lalu kenapa?” Perempuan itu menjawab setengah hati, tanpa repot-repot membuka mata.


“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Tidur,” jawabnya, meringkuk lebih dalam.
“Aku tahu, tapi kenapa? Kunci yang semal—“
“Jangan ungkit-ungkit kunci itu lagi!” Tiba-tiba saja Hyo Jin yang sedang meringkuk seperti ulat bulu itu bangkit dan melempar bantal yang ia pakai ke mukaku. Wajahnya terlihat kesal sekali.


“Jujur saja ya, Joe! Pasti kau sengaja memberikan kunci sebanyak itu padaku. Jangan-jangan memang tidak ada kunci yang benar ya? Kau sudah merencanakan ini, kan? Kau memang sengaja membuatku tidur di sini. Ayo mengaku!” cecar Hyo Jin tanpa ampun, lengkap dengan ekpresi menuduh dan jari menuding.


“Heh! Tahan mulutmu! Kenapa malah jadi kau yang marah-marah? Yang masuk ke dalam sini siapa? Yang memutuskan untuk tidur di sebelahku siapa? Sekalipun kau tidak bisa menemukan kuncinya, rumah penjaga villa ada persis di belakang kita, kau tinggal ke sana dan minta tolong baik-baik. Lagi pula di luar banyak sofa.”


“Tunggu! Apa? Kau menyuruhku ke luar malam-malam? Tidur di sofa? Sakit jiwa!”
“S-sakit jiwa katamu? Heh aku ini.. ah sudahlah terserah kau saja! Apa gunanya marah-marah sekarang? Lagi pula aku tidak keberatan kau tidur di sebelahku, aku cuma terkejut karena dugaanku ternyata tidak meleset. Kau ini agresif sekali, ya. Jadi bagaimana rasanya tidur denganku? Kau harusnya membangunkanku semalam! Malam pertama kita jadi terlewat begitu saja, deh.”


“Tutup mulutmu!” Teriak Hyo Jin. Aku tersenyum geli melihat betapa cepatnya wajah gadis itu memerah.


“Jadi mana morning kiss-ku?” Aku berjalan mendekat dengan lututku sambil merebut guling di tangannya dengan penuh gairah. Sontak membuat Hyo Jin semakin panik.


“Jangan dekat-dekat! Aku pernah belajar hapkido,” katanya, buru-buru memperingati. Aku semakin tak bisa menahan tawa melihat wanita yang selalu mengaku-ngaku berpengalaman ini terlihat gugup setengah mati. 


Aku menarik dagunya dan menatapnya lembut. Hyo Jin balik menatapku takut-takut. Dia seharusnya tidak terlihat secantik ini saat bangun tidur. Rentetan kata pujian menyerbu kepalaku detik ini juga. Aku mendekatkan wajahku sampai benar-benar dekat. Hyo Jin menelan ludahnya, kemudian perlahan-lahan memejamkan mata.


“Kau memakai lensa kontak saat tidur?” Matanya langsung terbuka lagi.
“Apa?”
“Itu bahaya.”
“Oh..”
“Kau tak memiliki rabun apa pun, kan? Kenapa pakai lensa kontak? Lepas saja.”
“Y-ya, nanti...... kulepas.” Dengan canggung, Hyo Jin menarik wajahnya menjauh dan turun dari tempat tidur. Nampak kecewa karena tak mendapat morning kiss-nya.



**********



Aku meletakkan dua cangkir teh dan sebungkus rokok di atas meja, lantas duduk menyandar di bangku teras. Hyo Jin masih belum keluar dari sarangnya, oke.. kamarnya. Gadis itu baru berhasil masuk ke dalam setelah ahjussi penjaga villa datang membantunya mencarikan kunci.


Sambil mengangkat sebelah kaki ke atas kaki yang lain, aku melamun memandangi pemandangan di depan. Ini kali pertama aku menempati villa di Suwon. Jika aku tahu suasana dan udaranya sebagus ini, aku pasti akan sering-sering datang. Pemandangannya memang tidak semenakjubkan villa yang lain, tapi tetap saja keasrian lingkungan di sini rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Aku berdecak puas dalam hati. Tak rugi rasanya menjual toko roti dan sepatu J’S demi ini. Aku merasa sangat damai.


Semilir angin pagi berembus meniup anak rambutku, membuatnya semakin berantakan. Aku mengambil sebatang rokok dari kotak dan menyelipkannya di bibir. Tanganku yang lain bergerak mengambil pemantik.


"Ini teh untukku? Woah, terima kasih.” Mendengar suara gaduh itu, pemantik yang belum sempat kunyalakan terjatuh ke lantai. Aku melirik seorang gadis yang sudah mengambil posisi duduk di sebelahku, lengkap dengan secangkir teh yang baru disambar dari meja. 


Seketika aku membatu.


Jika saja tadi ia tak bersuara, mungkin aku tak akan mengenalinya. Maksudku, seorang Park Hyo Jin. Seorang Park Hyo Jin benar-benar bersih dari segala jenis riasan. Tak ada kulit wajah mengkilap atau bola mata besar berwarna turquoise. Ia bahkan menggulung rambut cokelat panjangnya yang selalu tergerai itu dalam satu cepolan tinggi di puncak kepala. Dandanan natural seharusnya tidak terlihat sememukau ini.


“Rokok lagi?” Hyo Jin mendecak tak suka. Aku tak menjawab, tak bereaksi, tak bernapas,… sepertinya ia habis merapal mantra pembius. Aku memang menyuruhnya memakai bajuku –yang memang selalu tergantung beberapa helai di setiap lemari pakaian seluruh villa— tapi aku sama sekali tak menyangka baju semacam itu bahkan terlihat menarik akut di badannya. Menyedihkan rasanya mengetahui fakta bahwa, Park Hyo Jin, hanya dengan kaos putih polos dan celana katun saja, sanggup meniup akal sehatku sampai keluar dari kepala. Ini benar-benar pemandangan langka, dandanan seperti ini terlalu sederhana bagi seorang Park Hyo Jin. Ia  tidak akan lepas dari riasan jika sudah di Seoul. Aku benar-benar ingin mengabadikannya.


“Kenapa kau suka sekali merokok? Memang bagaimana rasanya?” tanya Hyo Jin, tangannya bergerak cepat menyambar rokok di mulutku. Euphoriaku menghilang seketika. Ternyata dandanannya saja yang berubah, sifatnya masih sama. Hyo Jin memutar rokok itu di sela-sela jarinya dengan ekspresi penasaran, lalu menyelipkannya di bibir. “Mana pemantiknya?”


“Itu bukan mainan. Berikan padaku!” ujarku dingin. Demi Tuhan aku benar-benar tak suka melihat benda itu di sela jarinya, apalagi di bibirnya.


“Ajari aku merokok!” sahut Hyo Jin setelah mengeluarkan rokok itu dari mulutnya.
“Apa? Tidak!” Hyo Jin mendengus dan mengeluarkan senyum sinis. “Kenapa kau boleh dan aku tidak boleh? Kenapa laki-laki boleh kesal melihat wanita memegang rokok, sementara perempuan tidak?” tanyanya dengan senyum sedih yang dibuat-buat, bola matanya yang hitam pekat menyorotku tajam.


“Oke, aku tidak merokok!” Aku mengangkat kedua tangan dan berhenti mengemis padanya. Sebenarnya ia tak perlu melakukan ini, jika boleh jujur aku sudah kehilangan selera untuk mengisap batang tembakau itu sejak mataku berjibaku dengan sosoknya.


“Nah.. itu maksudku!” Hyo Jin mematahkan batang rokok di tangannya, lantas membuangnya ke dalam asbak keramik di tengah meja. Ia bahkan mengambil semua batang rokok yang masih tersisa di dalam kotak dan melakukan hal yang sama, mematahkan dan menyurukkan semuanya ke dalam asbak. Mungkin jika situasinya lain, aku akan benar-benar marah, masalahnya itu bukan rokok sembarangan, aku selalu memesan rokok dari Virginia, dengan tar dan nikotin seminimal mungkin. Tentu saja tetap tidak sehat, tapi setidaknya risikonya tidak sebesar rokok di pasaran. Dan kabar buruknya, itu bungkus terakhir yang kupunya. Tapi di situasi seperti ini, aku sama sekali tak bisa marah. Gilanya aku bahkan memerhatikan gadis itu mematah-matahkan rokokku sambil tersenyum terpesona. Mantra yang ia rapal pasti bukan mantra biasa.


Setelah melakukan tindakan bodoh itu, Hyo Jin meraih cangkir tehnya kembali seperti tak terjadi apa-apa. Aku membenarkan posisi dudukku dengan kaku, persetan dengan rokok dan segala zat adiktifnya, gadis ini ternyata lebih berbahaya dari nikotin, aku benar-benar kecanduan menatapnya. Aku menahan diri agar tidak terus menerus mencuri pandang dan bertanya dengan datar. “Jadi begini Hyo Jin tanpa make up?”


Hyo Jin melirik sinis. “Sudah diam saja kau! Anggap tidak melihat apa-apa! Seharusnya aku membawa paling tidak BB Cream semalam. Sial,” umpatnya sambil meletakkan cangkir. Anggap tidak melihat apa-apa dia bilang? Kau bercanda? Bahkan detik ini aku masih kesulitan mengalihkan mata. Tangan dan kakinya yang kurus itu menjulur panjang dari celana dan lengan kaosnya yang digulung. Aku benar-benar ingin menyuruhnya memakai baju compang-camping dan melihat apakah ia masih bisa terlihat seperti boneka hidup. Lagi, kurasa ini tidak cukup adil untuk perempuan-perempuan lain, kan? Maksudku, bagaimana bisa semburat merah di pipi itu terbentuk secara alami? Lalu apa gunanya blush on?


Aku memejam sebentar sembari mengatur napas. Ini tidak benar. Aku pasti sudah gila. Sejak kapan aku memuji seorang perempuan sebanyak ini? Bahkan membanding-bandingkannya dengan nikotin? Aku mengusap wajahku yang tiba-tiba saja terasa gerah, lalu langsung mengalihkan pandang ke arah lain dan memutar otak mencari topik obrolan, apa pun itu asalkan tidak membahas penampilannya.


“Jadi menurutmu bagaimana ukiran meja ini?”
“Apa?” Hyo Jin menoleh padaku dengan bingung lalu memerhatikan meja kayu di depan kami dengan ekspresi yang jauh lebih bingung. Oh Pintar! Brilian! Pertanyaan macam apa itu? Rasanya aku ingin meninju wajahku sendiri.


“Yah… aku suka ukirannya, makanya aku menanyakan pendapatmu,” ujarku sambil mengusap ukiran-ukiran itu salah tingkah. "A-atau cuacanya, cuacanya bagus, kan?"


Hyo Jin menoleh ke langit, mendengus, lalu kembali menatapku.


“Kau aneh sekali pagi ini,” katanya sambil menggeleng, menyesap tehnya lagi.


Dan kau cantik sekali pagi ini.



**********



Aku mengetuk-ngetuk ujung pulpen ke permukaan meja, lalu mengangguk pelan, setengah yakin.


“Kalau tidak ada yang merek BLAC, kau boleh membeli produk J’S.” Akhirnya setelah berbagai pertimbangan, aku menyodorkan kertas berisi rangkaian produk perawatan kulit pada L.Joe –yang terlihat bosan setengah mati sampai nyaris pingsan.


“Ttunggu dulu! Kenapa ya aku merasa ada yang tertinggal?” L.Joe yang baru berdiri itu menatapku dengan ekspresi datar, dingin, kesal, marah, mengajak perang, semuanya. Aku mengabaikan ekspresi itu dan berpikir dengan serius, “oh benar, untuk baju dan jeans! Kau harus belikan 5 pasang. Dan pastikan warnanya sesuai. Aku tidak suka warna oranye jadi jangan belikan apa pun yang ada warna oranye-nya.”


“Aku mengerti.”
“Tunggu, tunggu!”
“Apa lagi?” Nada bicaranya jelas naik. Ia memandangku tak sabar.
“Kalau J’S juga tidak ada, Loreal tidak apa-apa, deh. Dan ingat, kau juga harus membeli kapas. Aku tidak bisa pakai hapus make up tanpa kapas.” L.Joe memutar matanya, tangannya sudah bergerak gemas di pinggiran kertas. Aku sudah mencatat daftar kosmetik dan keperluan-keperluanku yang lain dengan susah payah, awas saja jika dia berani meremasnya.


“Oke, aku paham. Ada lagi eh, tuan putri?” tanyanya dengan senyum manis dibuat-buat.
“Sepertinya tidak, tapi kenapa ya aku tetap merasa ada yang…. ASTAGA!” Mataku seketika terbelalak. Bagaimana bisa aku lupa? Pakaian dalam!


“Apa?” L.Joe bertanya sewot.
“Kurasa lebih baik aku ikut denganmu,” ucapku sambil berdiri pelan-pelan. L.Joe mengembuskan napas keras sambil menggerakkan kepalanya, marah. Kertas yang dia pegang sudah diremas dan melayang ke belakang.


“Kenapa tidak dari tadi, hah? Kau membuatku menunggu satu jam! Tadi diajak tidak mau.”
“Mukaku sepolos ini bagaimana bisa keluar? Tapi mau bagaimana lagi ada sesuatu yang harus kubeli sendiri.”


“Apa, huh? Benda sespesial apa yang harus kau beli sendiri!” 
“Rahasia.”
“Apa pun itu, kau akan membelinya dengan uangku! Jadi lebih baik bilang saja mau beli apa!”
“Ini urusan perempuan! Kenapa sih apa-apa mau tahu! Sifatmu itu seperti perempuan.”
“Ya sudah berarti cocok, kan? Itu urusan perempuan dan kau bilang sifatku seperti perempuan, jadi… oh....” Tiba-tiba saja L.Joe terdiam seperti mengetahui sesuatu. Lalu detik kemudian menggeleng-geleng sambil tersenyum kecil.


“Ya sudah kutunggu di mobil,” ucapnya sambil berbalik. Aku benar-benar benci dengan sifatnya. Dasar! Membuat malu saja. Walau ia tidak mengucapkannya dengan gamblang tapi tetap saja dia pasti sudah memikirannya di kepala. Aku tak mau menemuinya di mobil. Aku mau berteleportasi ke kamarku saja. 


Setelah berputar-putar di ruang makan selama beberapa saat, aku akhirnya berhasil meyakinkan diri untuk menemuinya di mobil. Seperti biasa, pemandangan pertama yang kulihat saat memasuki mobilnya adalah L.Joe yang sedang mengangguk-angguk mengikuti dentuman musik hip hop barat. Selalu seperti ini, sambil memasang kacamata hitamnya, pria itu terlihat sangat seru dengan musik pilihannya sendiri.


“Kau belum berpikir untuk pulang?” L.Joe bertanya di tengah-tengah perjalanan.
“Belum.”
“Mereka pasti mengkhawatirkanmu.”
“Biar saja.”


Pria itu tak bicara lagi setelahnya. Cuma helaan napas pelan saja yang terdengar. Aku ikut menghela napas dan membuang pandanganku ke luar jendela. Bukannya aku tak memikirkan Yu Jin dan Jin Ah, tapi... entahlah... aku ingin menikmati waktu bersama L.Joe dulu. Sebenarnya ini bukan saat yang tepat untuk memikirkannya, seharusnya aku memikirkan bagaimana respon Yu Jin dan Jin Ah saat tahu aku kabur dulu, tapi bayangan L.Joe semalam menghampiriku begitu saja. Pria itu tidur memakai jins dan kaos bergambar mickey mouse yang lucu. Ia tidak melepas sweter Coure Giem abu-abunya sama sekali kemarin, jadi aku tak tahu kalau ada gambar semacam itu di balik penampilan luarnya yang maskulin. Aku memerhatikannya selama beberapa saat sebelum akhirnya mengantuk sendiri dan terlelap di sebelahnya.


Aku sudah cukup terkejut dengan kaos mickey mouse itu, tetapi ada hal lain yang membuatku semakin terkejut. Penampilan L.Joe di pagi hari. Oke, bagaimana cara menjelaskannya? Rambut hitamnya yang berantakan terlihat sangat seksi, dan secara mental aku sudah ratusan kali menampar pipi sendiri—upaya kecil untuk menghentikan imajinasiku yang terlalu liar. Jujur saja, aku merasa benar-benar kecewa karena ia tidak menciumku. Aku tak tahu apa yang salah, apa mungkin dia kasihan melihatku terlalu gugup? Intinya, melihat L.Joe pagi ini membuatku sangat ingin mengulang waktu, tidak, aku ingin pria itu ada di masa depanku, aku ingin bangun tidur di sampingnya setiap hari.


“L.Joe.”
“Apa?”
“Aku mendengar gosip tentangmu.” pria itu melirikku dengan senyum asimetris, jelas tidak terlalu senang dengan arah pembicaraan ini. “Aku punya banyak gosip, bicaralah lebih spesifik.”


Aku menggigit bibir dan menatapnya hati-hati. “Tentang kau yang sering bergonta-ganti pasangan… tidur,” kataku lambat-lambat. Alih-alih menjawab, pria itu bahkan tak bereaksi. Ekpresi wajahnya datar sehingga aku tak tahu apa yang dia pikirkan.


“Yah, aku mengerti. Kau tak perlu menjawabnya.” Bagaimana pun itu urusan pribadinya. Aku menanyakan hal ini karena fakta yang kutemukan tadi pagi. Kalau dia benar-benar sering bergonta-ganti teman tidur, kenapa ia terlihat kaget sekali melihatku di sebelahnya? Dan kenapa ia belum menciumku juga?


“Kalau aku bilang itu cuma gosip, kau percaya?” Tiba-tiba saja ia bertanya.
“Aku percaya.”
“Kenapa?”
“Karena kau orang baik.”
“Apa? Hahaha. Ini pertama kalinya aku mendengar pujian seperti itu. Terima kasih.” Bagiku tawanya barusan malah terdengar menyedihkan.


“Kalau tidak benar, kenapa tidak kau klarifikasi saja?”
“Siapa yang tidak mengklarifikasi?” repetnya langsung. “Biasanya aku marah setiap kali orang menanyakan ini.”  L.Joe melirikku seolah berkata ‘kau beruntung’.


“Bukan hanya aku saja yang mempunyai gosip, seluruh teman-temanku juga memiliki gosip mereka masing-masing. Sudah dua tahun kami memainkan permainan ‘kencani gadis kesepian’ di Lafrein, semakin hari semakin banyak yang mengenal kami dan akhirnya takut untuk datang ke kafe itu. Awalnya setiap ada yang bertanya, aku selalu menjawabnya dengan jujur, tapi gadis-gadis bodoh itu tak terlihat percaya, jadi kubilang saja iya, supaya mereka puas. Kadang orang-orang hanya ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar, kan? Siapa yang peduli dengan kenyataan?


“Tapi lama-lama aku emosi juga, siapa yang tidak kesal jika terus-terusan dituduh melakukan perbuatan yang tak pernah kulakukan? Anak Lafrein sudah terlalu sering dicap negatif, jadi sekarang kami sudah tidak peduli lagi.”


“Mungkin karena caramu bermain terlalu ekstrim?”
“Kau tahu, permainan ini didasari prinsip suka sama suka, contohnya kau, jika kau menolakku sejak awal kita tak mungkin ada di sini sekarang.”


“Jadi aku bagian dari permainanmu?” Aku bertanya dengan kesal. Tapi seharusnya aku tak perlu merasa kesal, toh fakta ini sudah kuketahui dari pertemuan pertama. Aku memang bagian dari permainan konyol mereka.


“Apa aku bisa bilang 'tidak'? Kau memang salah satu gadis kesepian di lafrein. Kau datang sendiri. Lagi, sudah kubilang, kan? Harusnya Jin yang mengencanimu, ini giliran dia, tapi aku mendengarmu menyebut namaku, jadi aku yang datang. Mungkin ini pertanda permainan kami akan berakhir.”


“Oh ya? Kenapa? Karena kau menemukanku, begitu?”
“Kurang lebih.”
“Cih, tiba-tiba aku penasaran bagaimana gadis-gadis lain merespon gombalanmu yang seperti ini”
“Aku terlalu keren untuk menggombal. Serius, aku tulus. Mungkin permainanku akan berakhir.”
“Ew.. kau semakin menggelikan, Joe.”
“Yeah, karenamu,” candanya. Kami saling melirik dan tertawa kecil.


Setelah itu aku kembali menoleh ke luar jendela dan menghela napas. Aku merasa terikat secara spiritual dengan apa yang L.Joe katakan barusan. Dari A sampai Z, sebenarnya kehidupan kami tidak jauh beda. “Orang-orang asing cuma bisa menilai dari luar dan berspekulasi sendiri. Mereka mengategorikan orang baik-baik dan yang tidak baik dengan sangat mudah. Aku benci pengkategorian sosial seperti ini. Jadi kalau aku memakai rok mini artinya aku habis melayani seorang ahjussi di hotel? Kalau pria memakai tindik berarti dia suka main perempuan? Kan tidak begitu,” keluhku terbawa emosi.  


“Iya, tapi itu konsekuensi.” Aku menoleh padanya dengan ekspresi tidak setuju.
“Kenapa harus ada konsekuensi? Kenapa aku tak bisa memakai apa pun yang kumau tanpa mendengar komentar orang?”


“Karena kita makhluk sosial, tentu saja,” jawabnya lancar.
“Iya, tapi mereka seharusnya tahu, seseksi apa pun cara wanita berpakaian tidak serta merta membuatnya menjadi seorang pelacur.”


“Benar. Hanya karena seseorang berpakaian seperti A tidak menjadikan seseorang itu adalah A.”
“Itu dia. Akhirnya kau menangkap maksudku.” aku menjentikkan jari dengan girang. L.Joe yang sedang fokus menyetir itu tersenyum mendengus. “Aku selalu ingin memakai baju polisi karena menurutku itu keren, tapi aku tak pernah memakainya karena takut orang-orang akan salah sangka dan mengiraku polisi, tapi setelah mendengar ucapanmu yang menggebu itu… sekarang aku tahu harus melakukan apa.”


“Apa?” Sekarang justru aku yang tak mampu menangkap maksudnya.
“Jika aku sedang memakai baju polisi dan seseorang lari ke arahku, menangis minta tolong mengatakan tasnya dicuri, aku akan mengingat kata-katamu. Aku akan bilang, ‘oh maaf nona, hanya karena aku berpakaian seperti polisi tidak membuatku serta merta menjadi polisi’.” Aku terdiam. L.Joe melirikku dengan tatapan lembut kemudian mengangguk dengan senyum tipis.


“Kau tak bisa seperti itu, Hyo,” sambungnya lemah.


Aku memerhatikan lampu merah yang menyala terang tepat saat Lamborghini yang kami tumpangi mendekat. L.Joe menginjak pedal rem dan memindahkan persneling, lantas menyerongkan badannya menghadapku.


“Jadi untuk kasusmu tadi, ya, mereka memang bukan pelacur, tapi mereka memakai baju pelacur.” Aku bersedekap dan meliriknya tak senang. Aku ingin mendebatnya, tapi mau dilihat dari sisi mana pun, ucapannya memang benar.


“Aku berkata begini bukan untuk mempermalukanmu, tapi untuk membenahi cara pikirmu.” ia kembali ke posisi mengemudi sembari mendorong rambut yang menutupi keningnya ke belakang, “Orang-orang memandangku negatif karena salahku sendiri. Walaupun kesal, aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Kami menganggap ini sebagai konsekuensi orang keren dan tidak pernah membahasnya.” 


“Kau tahu? Pada akhirnya, pria sebejat apa pun akan memilih wanita baik-baik sebagai istrinya. Wanita yang tidak memakai baju pelacur.”


Ia berkata saat lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau, sejumlah klakson berbunyi. Aku tersenyum pahit. Secara tersirat, aku baru saja ditolak. Kami habis membicarakan tentang cara berpikir konservatif dan sekarang ia malah mengeluarkan istilah ‘wanita baik-baik’ dalam ucapannya. Aku tak mengerti sebenarnya ke arah mana dia memihak. Yang pasti ucapan L.Joe barusan membuatku merindukan Yu Jin. Aku salah karena tidak mendengarkannya. Ternyata pria yang kubela mati-matian ini menganggapku tidak baik juga. Oke, dia tidak salah. Mana ada gadis baik-baik sepertiku? Kabur dari rumah, menginap di villa orang, tidur sekamar dengan pria asing, dan semuanya. Aku jelas jauh dari kata baik. L.Joe melakukan ini semua hanya untuk bermain-main. Dan pada akhirnya dia tidak akan memilihku.


“Kita tidak usah beli baju.”
“Huh? Kenapa?”
“Aku mau pulang.”
“Sekarang?”
“Ya.”


TBC


Anyyeong, jadi gini kawan-kawan, part 8-nya aku bagi 3 (masing-masing couple punya part sendiri).  Kenapa? Karena kalo g kaya gini mungkin let love lead bisa abis di part 15 atau 20 atau 200 dan bisa jadi tak terhingga… kalian g mau kan? Sama, saya juga. Aku bakal publish entah bagian Yu Jin ato Jin Ah akhir bulan ini. Abis itu part 9 kita kembali ke konsep biasa (satu part 3 pasangan). Kapan endingnya? Bisa jadi part 10, atau malah part 9.. yang pasti g lebih dari itu..


 Udah setengah dua, kuharus tidur gengs...  babay

Comments

  1. Aaaaaa aku paling suka sama couple ini ,. >.<
    duh thor mereka lucu sekali tingkah mereka bikin ketawa terus lho,. :D
    feelnya dapet apa lagi ketika hyojin melarikan diri dengan LJoe,. hohoho
    Akhirnya hyojin sadar ya dia melakukan kesalahan,. Ljoe juga sebenarnya baik, walau jail,. :D hoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. aww... makasih!! aku juga seneng ko bikin couple ini ^_^

      Delete

Post a Comment

Popular Posts