Let Love Lead part 8 (Jin Ah -Mino)




“Sudahlah. Nanti juga dia pulang sendiri,” ucapku sambil mengoleskan selai kacang pada roti.
“Benar-benar ya anak itu! Tidak ada otaknya!” Yu Jin masih mondar-mandir sambil memegang wireless. Tadinya ia sudah heboh ingin menghubungi seluruh teman Hyo Jin di kampus, tetapi jemarinya langsung berhenti setelah menekan angka 0, ia baru ingat kalau Hyo Jin tak pernah terlihat memiliki teman akrab selama di kampus. Lagi pula pelakunya sudah jelas. Hyo Jin pasti dibawa pergi L.Joe.


“Aku akan menyuruh James tanggung jawab.” Dengan keras, Yu Jin meletakkan wireless itu ke meja makan, kemudian berlalu pergi begitu saja. Tak sampai lima detik setelahnya, terdengar suara pintu yang berdebum. Gadis itu hanya butuh waktu sekejap untuk menghilang. Aku tak tahu harus bertepuk tangan kagum atau malah memanggil pembasmi jin, dia benar-benar tidak normal.


Aku menghela napas. Sebenarnya sudah berapa lama mereka tinggal seatap? Ini bukan kali pertama Hyo Jin kabur-kaburan. Aku berani bertaruh dia akan pulang nanti siang. Yu Jin benar-benar hobi mendramatisasi keadaan.


Setelah selesai sarapan, aku mengunci semua pintu dan berangkat ke kantor. Aku berjalan dengan langkah berat, dengan perasaan terganjal, dengan hati tak tenang. Mungkin perasaan seperti ini akan terus menghantuiku selama bekerja. Rasanya aku ingin bersungkur dan berdoa pada Tuhan, aku tidak minta yang macam-macam, aku hanya berharap hari ini bisa kulalui dengan damai, tanpa teror dari Hani, tanpa pembulian dan tanpa kejadian buruk lain. Aku tidak masalah diberi tugas sebanyak apa pun, aku yakin bisa menyelesaikan semua itu asalkan tidak di bawah tekanan seperti ini.


Jika boleh jujur, sebenarnya aku mudah sekali stres. Yu Jin tak pernah tahu kalau desakannya soal mencari kerja sering membuatku menangis. Aku stres berat karena hal sesepele itu. Sepele? Ya… ayolah, Yu Jin adalah saudara kandungku, sebenarnya aku hanya tinggal bicara baik-baik padanya untuk berhenti mendesakku dan aku yakin sebagai kakak dia akan mengerti. Tapi aku diam, aku tidak melakukannya. Dan sekarang, setelah aku mendapat pekerjaan, Seo Hani malah muncul dan menjadi sumber masalahku selanjutnya. 



**********



“Ada yang bisa mengendarai motor di sini?” Aku baru meletakkan tas di meja saat suara panik itu terdengar. Seisi divisi marketing hanya memerhatikan pria berdasi itu sekilas lalu langsung kembali ke kegiatan awal mereka, sibuk sendiri-sendiri.


“Tolong, dong! Seluruh kurir kita mogok kerja dan demo di luar. Sedangkan kita harus mengirimkan surat pernyataan aktivasi kartu kredit untuk para nasabah sekarang juga. Kumohon, siapa pun.”


“Kita ini divisi marketing. Tak ada hubungannya dengan itu.” Suara lantang seorang pria muda berkacamata terdengar memenuhi ruangan, beberapa orang—termasuk aku—mengangguk setuju.


“Aku mengerti. Aku hanya meminta perwakilan satu orang dari setiap divisi. Ini benar-benar masalah gawat. Ayolah, satu orang saja.” Mukanya terlihat pucat karena panik.


“Aku mohon,” sambungnya lagi, dengan nada yang lebih memelas.
“Kurasa anak baru ini bisa.” Salah satu dayang Hani yang sedang berjalan di belakangku tiba-tiba saja berucap tanpa dasar. Konyol! Apa-apaan dia? Kapan dia melihatku mengendarai motor? Bukan artinya dia salah, sebenarnya aku memang bisa mengendarai motor, tapi tetap saja dia harus menjaga mulutnya itu! Aku menoleh pada perempuan tidak tahu diri tersebut, lalu menoleh lagi pada pria berdasi di ambang pintu. Ia menatapku penuh harap, dan itu membuatku merasa benar-benar tidak enak.


“Benar kau bisa?” Kalaupun aku bisa, kenapa harus aku? Aku berani jamin 80% pegawai di divisi ini adalah pengendara motor, tapi semua orang mendadak tuli di saat-saat seperti ini. Lagi pula pria di sini kan lumayan banyak, kenapa tidak mereka saja? Memangnya dia pikir pekerjaanku kurang banyak ya sampai harus ditambah-tambah?


“Biar aku saja.” Hani yang sejak tadi sibuk bercermin itu tiba-tiba saja berdiri. Semua mata seketika tertuju padanya. Gadis ini benar-benar tahu bagaimana caranya menjadi pusat perhatian.


“Sejak kapan dia bisa naik motor?” Aku bisa mendengar desis-desis tak percaya dari kanan kiri. Bahkan pria berdasi itu pun terlihat tidak yakin.


“Jin Ah kan masih baru, tidak etis ah kalau disuruh-suruh melulu,” sahut gadis itu sambil melirikku lembut. Tumben sekali. Aku terus memerhatikannya dengan waspada. Setengah dari tubuhku menolak untuk percaya, dia pasti hanya mencari muka, atau jangan-jangan merencanakan sesuatu yang buruk, seperti mendominasi dunia bersama Alien dari Mars atau semacamnya. Hani keluar mendahului pria berdasi itu sambil tersenyum penuh percaya diri. Apa pun rencananya, kuharap korbannya bukan aku.



**********



Tak lama kemudian, Hani kembali masuk ke ruangan sambil membawa sebuah map. Aku meliriknya tanpa berniat menoleh. Gadis itu berjalan ke arahku.


“Jin Ah~ya.” Ia memanggil dengan suara yang manis. Baru saat itu aku menoleh dan pura-pura terkejut dengan kehadiranya.


“Loh, bukannya eonnie mau mengantar surat?”
“Tadinya begitu. Tapi di bawah aku bertemu kepala bagian. Dan dia memberiku ini.” Hani mengangkat mapnya. “Jadi bagaimana?”


“Jadi bagaimana apa?”
“Masa harus dijelaskan juga sih?” Gadis itu terkekeh dibuat-buat sambil menyibak rambutnya. “Kau kan bisa naik motor, jadi yah, antarkan surat-suratnya!” sambungnya ketus. Padahal kedudukan kami di sini setara, sama-sama pegawai. Tapi gaya bicaranya membuatku terlihat seperti bawahan.


“Aku?”
“Tentu saja kau. Lihat sekelilingmu, dong! Yang lain sedang sibuk semua.” Hani melirik komputerku yang masih menyala, menampilkan Microsoft excel yang 10 baris awalnya sudah terisi. Aku menoleh pada layar komputerku itu dan Hani bergantian, seolah-olah sedang menegaskan bahwa ‘aku juga sedang sibuk’.


Hani berdeham sembari membuang muka, “Kau kan anak baru, pekerjaanmu tentu tidak sebanyak kami semua.”


“Tapi…”
“Sudah ya, aku benar-benar sibuk. Ini kuncinya.” Ia meletakkan kunci motor kantor di hadapanku, lantas berlalu begitu saja. Aku masih belum beranjak. Masih kesal bukan main melihat perempuan yang mengaku sibuk itu malah menarik kursi ke antara dua dayang-dayangnya dan berbisik-bisik senang. Sambil mengembuskan napas marah, aku berdiri dan menyambar kunci dari meja. Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak bisa melawan siluman ular.



**********



“Hei, mau ke mana?” Aku menoleh sambil memasang helm. Seunghoon berjalan menghampiriku.
“Mengantar surat.”
“Surat untuk nasabah? Memangnya kurir kita ke mana?”
“Katanya mogok kerja! Memangnya kau tidak lihat demo di depan?” tanyaku sembari menaiki motor dan menstarternya.


“Tidak tuh. Kalaupun benar, kenapa harus kau yang mengantar?”
“Mino ke mana sih?” Seunghoon yang pertanyaannya tidak dijawab itu mendengus. Maaf, tapi pertanyaanku barusan benar-benar harus ditutur sekarang juga. Aku sangat kesal dan penasaran, dan sangat-sangat kesal, dan super penasaran… di mana anak itu?


“Sebentar lagi juga datang,” jawab Seunghoon tanpa minat.
“Selama bekerja di sini aku belum pernah bertemu dengannya. Dia sesibuk apa, sih?”
“Hei, kau bicara seolah sudah bekerja sebulan saja. Kalau boleh kuingatkan, ini hari keduamu di sini. Sabar sedikit. Dia kan baru naik jabatan, tentu saja lebih sibuk.”


“Iya, tapi kan—“
“Kau benar bisa mengendarai benda ini?” sela Seunghoon skeptis.
“Maksudmu motor?”
“Ya.”
“Aku selalu pulang-pergi dengan motor sewaktu kuliah.”
“Oh ya? Lalu kenapa sekarang malah naik bus?” 
“Motorku sudah dijual.”
“Oh..”
“Ya sudah aku jalan. Hati-hati.”
“Maaf. Aku yang harusnya bilang hati-hati.”
“Begitu? Tapi menurutku gedung ini tak kalah mengerikan dengan jalanan di luar, jadi kau perlu hati-hati juga.”


Seunghoon tersenyum mendengus, “Tenang, aku bisa jaga diri. Ya sudah sana pergi.”


“Aku pergi“ seruku, berbarengan dengan roda motor yang mulai melaju.





**********



Ini sama sekali bukan hari keberuntunganku. Selang sepuluh menit meninggalkan kantor, tiba-tiba saja motor ini mengeluarkan suara-suara aneh, sebelum akhirnya berhenti begitu saja. Aku segera menepi dan turun dari motor itu. Ini pasti ulah Hani. Harusnya aku sudah bisa menduga hal ini akan terjadi. Hani yang tidak bisa naik motor malah menawarkan diri untuk menjadi kurir? Tidak masuk akal! Aku benar-benar bodoh karena tidak memikirkan ini sebelumnya. Aku benar soal ‘dia pasti merencanakan sesuatu yang buruk’ tapi ternyata ini lebih buruk daripada menguasai dunia bersama alien dari Mars. Ya Tuhan dia benar-benar kejam.


Hani pasti mengutak-atik, ralat, dia pasti menyuruh orang untuk mengutak-atik mesin motor ini, lalu menyuruhku memakainya. Daebak! Ular berbisa yang satu itu sungguh tak ada duanya! Aku tak mengerti kenapa selalu aku yang menjadi target bullying-nya. Kenapa tidak yang lain saja? Karena aku anak baru? Karena Mino yang merekomendasikanku? Tolong beri tahu aku kenapa! Apa Yu Jin mengalami hal-hal seperti ini juga saat awal-awal bekerja? Kenapa dia tidak memperingatkanku? Tapi tidak, sepertinya rekan kerjanya normal semua, manusia tulen semua, tidak ada yang setengah siluman seperti Hani! Ahhh!


Aku yang sama sekali tak tahu harus apa hanya duduk di samping motor. Sesekali berdiri bila ada kendaraan yang mendekat. Kalau aku tidak salah menghitung, sudah ada 8 kendaraan yang lewat. 2 sedan, 1 minibus dan 5 motor. Tapi dari semua itu tak ada satu pun yang memiliki hati nurani. Benar-benar!


Akhirnya, karena sudah tidak sanggup bersabar lagi, aku menuntun motor itu di sepanjang jalan yang lengang—sambil mengumpat hebat pada Seo Hani si ratu ular. Aku bahkan tak butuh bukti untuk tahu dialah pelakunya. Di kantor, selain Seo Hani, memangnya siapa lagi yang hobi merusak hidup orang lain?


Lalu ke mana sih Mino? Sebenarnya apa maunya manusia itu? Kenapa mendadak tak ada kabarnya? Harusnya kan dia datang, banyak yang harus dia klarifikasi padaku, terlebih soal Hani! Sebenarnya apa hubungan mereka? Walaupun Seunghoon sudah mengatakan mereka hanya tetangga—yang merangkap sebangai mantan tunangan—tapi tetap saja aku tidak bisa tenang sebelum mendengarnya langsung dari mulut Mino. Dan yang paling penting dari yang terpenting, dia seharusnya menyuruh Hani untuk berhenti menggangguku!!


Ya Tuhan, ubun-ubunku panas! Bukan karena matahari. Faktanya matahari di langit justru tertutup awan sejak aku masih di rumah. Ubun-ubunku panas karena emosi yang semakin tak terbendung. Aku punya sejuta alasan untuk marah, dan semuanya meluap bersamaan saat ini. Rasanya, jika aku tidak mencelupkan kepala ke dalam air sekarang juga, kepalaku ini bisa terbakar.


Tes tes tes…


Langkahku seketika terhenti. Aku mendongak. Rintik-rintik air berjatuhan tepat di wajahku. Tunggu, tunggu ada apa ini? Tuhan, aku cuma bercanda soal ‘kepalaku terbakar’ sekarang kumohon hentikan hujannya.


Testestestes


Doaku kali ini sepertinya tak mampu menembus barikade hujan dan terjatuh begitu saja ke aspal, terabaikan. Alih-alih berhenti, hujan yang tadinya cuma rintik-rintik berubah menjadi deras. Dan lebih deras. Lalu lebih deras lagi. Sial.


Karena sudah terlanjur basah semua, aku akhirnya meneruskan langkahku tanpa berani berkomentar apa-apa lagi. Kalian tahu rasanya kesal sampai tak sanggup marah-marah? Itulah yang kurasakan sekarang. Rasa panas yang menjalar di ubun-ubun itu pindah ke mata. Aku sudah tidak berhasrat untuk memaki-maki siapa pun lagi, termasuk Hani dan Mino. Kalau bisa, aku lebih memilih mengutuk mereka menjadi batu saja. Dasar! Dua anak itu benar-benar serasi, sama-sama menyebalkan. Jika aku ini hasil reinkarnasi, sepertinya aku sudah berbuat dosa besar di kehidupan yang lalu. Aku merasa seperti semua orang sedang membalaskan dendamnya padaku.


Mungkin karena terlalu emosional, aku sampai tak mendengar suara mesin motor yang mendekat. Tiba-tiba saja seseorang sudah menghadangku. Aku menghela napas. Sekarang apa lagi? Dia mau merampok barang-barangku atau apa? Mau mengambil motor ini? Berarti dia siap menuntunnya, ya? Daebak! Ambil saja! Aku sudah muak. Siapa lagi yang mau membalas dendam pada Park Jin Ah? Ayo semua hadapi aku sekarang!


“Kau mau apa?” tanyaku pasrah. Aku bahkan sudah bersiap-siap mengambil tas untuk memberinya uang.


“Kenapa kau begini?” Ia malah balik bertanya. Suaranya tak terdengar jelas karena terhalang helm—dan hujan yang berisik.


“Apa? Aku tak dengar kau bilang apa.” Pria itu menarik helmnya ke atas.
“Kenapa kau di sini? Dan begini? Maksudku kenapa? Ada apa?” Ternyata pria yang sedang menghadangku ini adalah Song Mino. Rambutnya yang sudah tertata keren itu ikut basah karena hujan. Aku jadi merasa bersalah.


“Harusnya aku yang bertanya padamu! Kenapa kau di sini? Dan begini? Maksudku, kenapa tiba-tiba peduli? Ada apa?” Aku membalik pertanyaannya dengan marah. “Dasar pahlawan kesiangan!” Mino mengernyit mendengar julukan itu. Dia lebih baik berhenti berpura-pura polos seperti anak bayi atau aku akan membanting motor ini ke arahnya. Kesabaranku sudah habis.


“Aku baru sampai di kantor dan Seunghoon bilang—“
“Diam! Aku tak peduli! Tak ada gunanya kau datang sekarang, Minggir!” Aku mendorongnya dengan keras dan kembali berjalan menuntun motor kantor tak berguna ini. Mino menarik tanganku.


“Kau marah? Tunggu, kau menangis juga?”
“Tidak.” Aku segera menarik tanganku dan menatapnya dengan tajam. Tapi sepertinya keputusanku untuk menatap matanya adalah sebuah kesalahan besar. Mino yang diserbu hujan terlihat sangat seksi. Dan aku nyaris meleleh di tempat karena itu. Aku yakin dia bahkan tak sadar kalau dirinya ini seksi.


“Lalu—“
“Aku kecewa padamu,” potongku lirih. Mino kembali mengeluarkan ekspresi mengernyit andalannya. Lupakan soal betapa seksinya Song Mino yang diguyur hujan, tiba-tiba saja aku ingin menamparnya.


“Kecewa kenapa?”
“Kau tak merasa punya salah padaku?” Dengan ekspresi kebingungan, ia menggeleng.
“Bagaimana soal Hani?”
“Kenapa dengan Hani?” tanyanya balik.
“Kau tak tahu perlakuannya padaku?”
“Aku tahu.”
“Kau tahu dan kau diam saja? Daebak! Aku tak mengerti sebenarnya hubungan kita berdua itu apa, oh bodoh, kita memang tidak punya hubungan apa-apa, iya kan?”


“Jin Ah, cukup!”
“Tentu saja kau tidak akan menolongku jika pelakunya adalah gadis itu. Walau aku dibully habis-habisan oleh satu divisi sekalipun, kau pasti tak akan peduli. Karena apa? Karena di matamu, aku hanyalah perempuan malang yang kau temukan di situs perjodohan, sementara Hani yang cantik itu adalah mantan tunanganmu. Aku pasti sudah gila jika berharap—“


“Yah Park Jin Ah! Cukup!” Mino berteriak sambil mengguncang bahuku. Matanya berkilat marah di antara hujan.


“Lebih baik kita berteduh dulu. Setelah itu aku akan menjawab semua pertanyaanmu satu per satu.”



**********



Satu-satunya bangunan umum yang bisa dibuat berteduh hanyalah gedung TK yang kecil ini. Kami duduk di dinding rendah yang membatasi lapangan dengan koridor sambil menatap lurus pada salah satu ruang kelas yang riuh. Jam belajar mengajar masih berlangsung. Seolah tak mau kalah dengan suara bising hujan, anak-anak di dalam sana bernyanyi dengan semangat. Ketimbang ‘bernyanyi’, menurutku kegiatan mereka lebih tepat disebut ‘berteriak’, melodi lagunya terdengar tak begitu jelas, mereka hanya berlomba-lomba mengeluarkan suara paling keras. Tanpa sadar aku tersenyum simpul. Ada rasa damai yang menelusup.


“Soal Hani....” Senyum simpul di wajahku mendadak hilang. Setelah sekian lama diam memandangi tembok, akhirnya ia membuka mulut. “Apa yang ingin kau tanyakan soal Hani?”


“Tidak ada,” jawabku dingin. Aku tak mau bertanya, aku mau kau menceritakan semuanya dari A sampai Z tanpa harus kutanya.


“Ya, kau benar. Kami memang pernah tunangan, tapi dibatalkan.” Bagaimana bisa kalian tunangan? Apa sebelumnya kalian pacaran? Lalu siapa yang membatalkan? Kenapa batal? Song Mino, bicaralah yang lengkap! Aku mulai tidak sabar.


“Aku sudah tahu kalau hanya itu.”
“Seunghoon yang memberitahumu, iya kan?”
“Tidak penting siapa yang memberitahuku. Intinya aku sudah tahu.”
“Oke.” Mino mengedikan bahu. “Lalu apa lagi yang mau kau tahu?” Semuanya.
“Aku tidak mau tahu apa-apa lagi. Sudah, lebih baik kau diam saja! Aku sedang mendengarkan anak-anak itu bernyanyi.”


“Ibuku sakit. Pneumonia.” tepat setelah aku selesai bicara, Mino langsung berujar dengan napas tertahan. “Dan ayahku sudah meninggal sejak aku kecil.” aku menoleh. Tatapannya terlihat benar-benar kosong. Dengan rambut kuyu, kemeja abu-abu setengah basah dan jaket motor yang tergulung asal di tangan, pria ini terlihat sedang menyimpan segudang masalah. Hatiku terenyuh. Aku tak bisa mempertahankan sikap acuh tak acuh lagi dan mengembuskan napas berat.


“Aku butuh uang untuk operasi. Adikku juga masih harus kuliah. Sebagai pengganti ayah, sudah kewajibanku untuk membiayai semuanya, tapi…. ini mulai… kau tahu, di luar kesanggupanku. Kondisi ibu terus memburuk, sementara aku hanya bisa membelikan obat biasa. Hingga akhirnya tahun lalu, ada hal besar yang terjadi di keluarga ayah.” Mino menghela napas panjang dan menatapku. Bola matanya yang hitam legam itu entah bagaimana terlihat seperti memancarkan sinar. “Kakek meninggal dunia.”


“Ayah adalah anak laki-laki pertama dan satu-satunya, seharusnya dia mendapat warisan terbesar. Tetapi ayah sudah meninggal, jauh sebelum kakek.”


“Tapi kau dan adikmu adalah ahli waris pengganti. Jadi tidak ada masalah.”
“Sayangnya tidak begitu,” bantahnya.
“Secara hukum, kami bukan ahli waris.” Kini ekpresinya semakin serius. “Aku dan adikku tak memiliki hubungan darah dengan ayah. Dia ayah tiriku.”


Aku menelan ludah. Aku sama sekali tak tahu menahu soal sistem pewarisan. Tetapi fakta bahwa Mino dan adiknya adalah ‘anak tiri’ dan betapa sendunya Mino mengatakan ‘kami bukan ahli waris’  mulai terdengar seperti masalah di telingaku. Tidak, ini masalah besar.


“Tapi ternyata aku masih punya kesempatan. Ternyata ada cara instan untuk mendapat uang itu.” Mino menjeda cukup lama sebelum… “Kakek meninggalkan surat wasiat.”


“Dan isi surat wasiat itu adalah?” Aku mulai terbawa suasana dan mendekatkan wajahku padanya.
“Aku bisa mendapat seluruh hak waris ayah apabila aku…” Mino menggantung ucapannya.
“Apabila kau?” ulangku penasaran dengan sebelah alis terangkat.
“Menikah.”
“Menikah?”
“Ya, itu alasan kenapa aku dan Hani bertunangan. Aku tak punya kekasih untuk diajak menikah, sementara warisan itu benar-benar kubutuhkan. Semua adik-adik ayah sudah mulai memperebutkan harta itu, aku harus bergerak cepat. Jadi aku meminta Hani untuk…. yah, menjadi istriku.” Mino menatapku sekilas dan buru-buru menjelaskan.


“Kami tetangga dekat dan aku mengenalnya dari kecil, jadi Hani adalah gadis paling tepat saat itu.” Ia berujar cepat sembari terus menatap ke arah lain, ke semua arah kecuali aku. Aku juga tak bisa menatapnya. Sejujurnya aku malah tak bisa memikirkan apa-apa karena terlalu terkejut.


“Namun tiba-tiba Hani membatalkannya. Dia bilang dia tidak bisa menikah tanpa cinta dan sudah menganggapku sebagai kakak kandungnya sendiri.”


“Hani bilang begitu?”
“Ya, setelah itu dia baru bilang padaku kalau sebenarnya dia punya pacar.”
“Dia punya pacar tetapi malah menyetujui pertunangan itu? Benar-benar!” Aku mendecak, namun Mino segera menggelengkan kepalanya.


“Walaupun hanya setengah jalan, tapi tetap saja dia sudah berusaha membantuku.” Mino membela gadis itu dengan yakin. “Aku tidak bisa menyalahkannya. Ini masalah perasaan.”


“Lalu bagaimana dengan perasaanmu? Kau menyukainya?”


Mino tersenyum pahit. “Aku tak sempat lagi memikirkan perasaan. Masalah waris ini sudah menyita seluruh isi kepalaku. Lagi pula, kau tahu? Kita teman sejak kecil. Aku marah jika ada yang menganggunya, atau mengatakan hal buruk tentangnya. Dia teman yang ingin kulindungi.”


Mungkin lebih baik aku tidak usah bertanya. Jawaban Mino barusan terasa sangat dalam, terdengar begitu tulus, dan membuat dadaku sesak bukan main. Jika dia tahu betapa bencinya aku pada Hani, mungkin dia juga akan membenciku.


Suara anak-anak TK yang riang terdengar semakin riuh, kali ini mereka menyebutkan nama-nama buah berurutan sesuai alfabet.


“Lalu apa rencanamu sekarang?” tanyaku dengan tatapan menerawang, dengan latar belakang suara cempreng anak TK yang meneriakkan kata ‘J untuk Jeruk’.


“Kau.”
“Aku?”
“Tujuanku mengikuti situs perjodohan itu adalah menikah.” Mino mengacak rambutnya yang kuyu itu sampai berantakan, lalu berdiri dan mengambil posisi setengah berlutut di hadapanku. Aku menatapnya dengan bingung.


“Kau pasti sangat kecewa padaku. Maaf. Setelah kau tahu semuanya, kau boleh memilih. Oke, kau pasti akan meninggalkan aku, aku tahu itu, tapi….”


“Jadi kau mau aku meninggalkanmu?” potongku sembari beralih menatap matanya yang frustasi. Ia menyentuh rambutnya lagi—mungkin untuk yang kesepuluh kali. Aku mulai hapal dengan kebiasaan yang satu ini.


“Tentu saja tidak. Tapi kau tahu sendiri aku tidak tulus.”
“Kau tulus. Kau ingin menolong ibumu. Lagi pula aku masih punya banyak waktu untuk membuatmu benar-benar jatuh cinta padaku.” Ini pertama kalinya aku berujar sepercaya diri ini. Sejujurnya ucapanku sendiri membuatku terkejut. Dari mana aku mendapat kalimat itu? Bagian otak yang mana yang memerintahkan hal semacam itu keluar dari mulutku? Logikanya, kalau Hani saja tidak bisa membuat Mino jatuh cinta, bagaimana mungkin aku bisa?


“Jadi?” Mino memiringkan kepalanya. Aku sengaja mengulur waktu dan berpura-pura berpikir, seolah ucapanku tadi belum cukup jelas. “Yes,” ucapku sambil pura-pura memencet tombol. Mino mengembuskan napas sembari tersenyum lega. Aku ikut tersenyum.


“KYAAA!!....... ahahahaha! Ayo kejar aku!” Tiba-tiba saja pintu di belakang Mino menjeblak terbuka, anak-anak di dalam kelas berhamburan keluar. Aku segera menarik tangan Mino hingga berdiri. Kalau tidak, pria ini benar-benar akan ditubruk oleh segerombolan anak TK super aktif yang sedang bermain kejar-kejaran.


“Enak ya mereka,” kataku begitu berhasil mengevakuasi Mino.
“Anak TK itu?”
“Ya. Pasti menyenangkan bisa tertawa selepas itu.” Hujan sudah berhenti turun sekitar lima menit yang lalu. Mino menaikkan kedua kakinya dan duduk bersila. Diam. “Entahlah, sepertinya aku sudah lupa rasanya tertawa. Aku ingin berlari dan teriak seperti mereka, tanpa beban.”


“Kau bicara seperti nenek tua saja.”
“Memangnya kau tidak ingin?”
“Aku sudah pernah.”
“Cih.. aku juga sudah pernah. Tapi aku mau mengulangnya, aku mau kembali ke fase anak-anak lagi. Ke masa di mana masalah terbesar yang kumiliki hanyalah PR matematika, aku muak menjadi orang dewasa. Aku ingin tertawa hanya karena hal-hal sederhana, nyaris tidak penting malah, persis seperti mereka,” ucapku sambil memerhatikan anak-anak itu. Tak ada wajah murung. Semuanya ceria. Langit sehabis hujan pun terlihat ceria. Aku benar-benar iri.


“Tapi kau bisa tertawa selepas itu tanpa harus menjadi anak TK lagi, kau tahu?”
“Oh ya? Caranya?” Aku meliriknya sengit.
“Mudah. Lakukan hal yang kau suka, dengan orang yang kau suka. Bercanda dengan kedua saudaramu. Makan ice cream royal choco sundae atau green tea lemon mint apalah, aku masih ingat caramu tertawa saat itu. Kau bohong jika bilang apa yang kulihat saat itu bukanlah tawa lepas. Lagi, kau bisa menonton variety show. Apa di rumahmu ada TV? Coba tonton running man atau—“


“Iya iya aku mengerti. Terima kasih sarannya. Tapi aku akan lebih berterima kasih jika kau diam.” Mino malah tertawa.


“Aku tak mengerti kenapa kau senang sekali mengomel padaku.”
“Mengomel?" ulang Jin Ah senewen. "Kapan aku melakukannya?”
“Kau sedang melakukannya.” Mino menekankan kalimatnya, kata per kata.
“Tidak, kok. Omong-omong hujannya sudah reda. Ayo kembali ke kantor.” Aku berdiri sambil menyampirkan tas. Mino menengadahkan tangannya  ke luar.


“Sepertinya masih gerimis. Lihat!” Mino menunjukkan tetesan air di telapak tangannya. “Lebih baik kita menunggu di sini sebentar lagi.”


“Itu air dari genting, Song Mino. Kau tak bisa membodohiku.” Aku memutar mata. Dia benar-benar kekanakan. Rasanya aku ingin mendaftarkannya di TK ini.


“Kalau begitu, daripada ke kantor, ayo ikut aku!”
“Tidak mau. Kau lupa ya aku baru kerja dua hari. Jangan membuatku terlihat seperti pegawai yang buruk, deh.” Saat aku menoleh, Mino sudah menghilang dari tempatnya. Tak lama kemudian ia keluar kelas dan menarik tanganku.


“Motor kantor sudah kutitipkan di sini,” ucap Mino sambil naik ke atas motornya, lantas menyodorkan helm. Dia memutuskan segalanya sendiri. Siapa yang bilang aku mau ikut? Aku mau ke kantor.


“Tidak, terima kasih. Aku tidak akan memakai itu.”
“Kenapa? Ayolah.. aku jamin kau tidak akan dipecat hanya karena—“
“Bukan. Bukan karena itu. Helmmu bukan standar nasional. Aku akan ambil helm kantor saja.” Aku merangsekkan helm proyek berwarna merah kumal itu ke dada sang pemilik. Lalu mengambil helm yang kumaksud, yang tergantung di motor kantor.


“Sebenarnya kita mau ke mana? Aku belum mengantar surat-suratnya, satu pun.”
“Suratnya kan sudah basah, nanti aku akan menyuruh Seunghoon membuat surat permohonan maaf untuk nasabah dan menyuruh kurir mengantarnya besok.” Itu ide bagus. Aku mengangguk senang.


Motor Mino melaju di jalanan yang sepi. Mungkin karena ini baru jam setengah sebelas siang—belum lagi habis hujan—dan semua orang sedang berada di kantor atau sekolah atau rumah, maka jalanan hari ini menjadi benar-benar lengang. Mino meliukkan motornya dengan santai sambil sesekali mengajakku bercanda.


“Sebenarnya aku mau membawamu ke rumah, bertemu eommaku.”
“Apa?”
“Ya, dan aku minta kau mengingat ini.” Mino mengencangkan volume suaranya agar bisa kudengar.
“Makanan kesukaanku adalah takoyaki, aku juga sushi atau spaghetti dan semua yang berbau daging.”
“Termasuk daging manusia?”
“Jin Ah!”
“Kau membuatku tegang! Kenapa tiba-tiba bertemu ibumu?”
“Tolong fokus! Dengarkan aku dan ingat semuanya,” tegasnya sambil menoleh beberapa kali. “Aku selalu membeli menu yang sama saat ke coffee shop, americano dan croissant. Lalu fobia, aku punya fobia aneh pada lift, aku tak pernah menaikinya lagi semenjak SMA. Dan futsal, olahraga favoritku, setiap sabtu malam aku pasti bermain dengan anak-anak kantor, termasuk Seunghoon. Oh! Tanggal lahirku, 30 Maret. Kemudian—”


“Tunggu tunggu! Mana mungkin aku bisa mengingat semua itu? Dan kenapa juga aku harus mengingatnya?” Dia membuat kesan seolah ibunya akan menyodorkanku kertas ujian. Dan aku benci ujian.


“Hanya jaga-jaga saja bila eomma bertanya.”
“Kenapa eommamu bertanya?” Aku bicara dengan nada tak habis pikir, dan panik. Ini semua terlalu tiba-tiba. Aku merasa seperti sedang disetrum dengan alat kejut jantung.


“Karena dia pasti curiga. Eomma tak mau aku menikah hanya karena warisan itu. Jadi kita harus bisa meyakinkan eomma kalau kita berdua sudah saling kenal dan benar-benar jatuh cinta.”


“Baikah, itu masuk akal,” kataku mengerti. “Lalu sejak kapan ‘ceritanya’ kita sudah saling kenal?”
“3 bulan?”
“3 bulan." Jin Ah mengangguk. "Bisakah kau ulang yang tadi? Makanan favoritmu apa? Yakiniku?”



**********



Aku tak tahu apa hal ini bisa dikategorikan sebagai ‘berbohong demi kebaikan’, yang pasti aku akan tetap melakukannya. Cita-citaku untuk menikah muda sudah di depan mata dan aku tak akan melepaskan kesempatan emas ini begitu saja. Benar-benar egois. Dan Mino pun sama egoisnya denganku. Tapi biarlah, walaupun punya kepentingan yang berbeda, toh tujuan kami sama, menikah. Kami berdua adalah contoh sempurna dari simbiosis mutualisme.


Rumah Mino ternyata tidak sebesar yang kukira –jabatannya di kantor persis di bawah direktur, jadi wajar jika aku memikirkan rumah dua lantai, atau lebih— ukurannya mungkin sama dengan rumah yang kutempati, hanya saja halamannya luas, benar-benar luas. Namun sayang kondisinya benar-benar memprihatinkan. Jika sebuah halaman bisa dibawa ke rumah sakit, mungkin halaman rumah Mino sudah dalam keadaan koma di UGD. Mereka gersang, rumputnya tidak tersebar rata, dan ada batang pohon kurus tanpa daun—aku benar-benar ingin menguburnya. Selama aku melihat seluruh pemandangan itu, Mino berkutat dengan kunci pintu rumahnya sendiri.


“Tidak ada yang merawat halaman rumahmu, ya?”
“Kelihatannya bagaimana?”
“Tidak.” Mino melirikku dengan ekspresi ‘kenapa masih bertanya?’. Bertepatan dengan itu, pintu di hadapan kami berhasil terbuka. Seketika hawa senyap menyergap. Rasa percaya diriku menghilang, aku benar-benar ketakutan. Aku berjalan lambat-lambat di belakang Mino. Perasaanku tidak tenang, sangat amat tidak tenang, segala macam badai, tsunami, halilintar dan sebangsanya berkecamuk dahsyat di perutku. Aku mual. Bagaimana pun kami akan memulai sandiwara. Aku merasa…. kejam.


“Sepertinya latihan kita tadi belum cukup. Bagaimana kalau ibumu bertanya—“
“Mengarang saja,” potong Mino, “tapi yang masuk akal,” sambungnya, dengan tangan yang siap memutar kenop pintu. Aku yakin ini kamar eommanya. Bagaimana ini? Aku semakin mual, dan lemas, dan gugup, dan mendadak ingin ke toilet. Bagaimana ini?


“Tunggu, di mana adikmu?” tanyaku sembari menarik lengannya, bermaksud mengulur waktu.
“Kuliah, mungkin.” Mino meladeni pertanyaanku seadanya. Lalu mendorong pintu di depan kami sampai terbuka lebar. Kesempatan mengulur-ngulur waktunya sudah selesai. Ini waktunya pementasan. Aku menggigit bibir dan melangkah masuk dengan kaki gemetar.


“Eomma….” Sang ibu sedang duduk di ujung ranjang, merajut. Sejujurnya hal ini malah membuatku semakin takut. Aku menonton film horor dengan Hyo Jin dua minggu yang lalu dan ada satu adegan di mana hantu perempuannya meraj— Lupakan! Ini bukan situasi yang tepat untuk story-telling.


“Kau sudah pulang? Atau jangan-jangan bolos kerja?” Ia mungkin sudah mendengar suara pagar dan pintu yang terbuka, jadi nada bicaranya tidak terdengar terlalu terkejut. Wanita itu meletakkan rajutannya di meja dan berbalik menghadap kami. Aku langsung menahan napas—seharusnya aku tersenyum sambil memperkenalkan diri dengan manis, tapi percayalah itu susah.


Pandangan kami berjibaku sedetik, karena detik berikutnya aku sudah menunduk. Perlahan-lahan aku kembali memberanikan diri menatapnya, sembari mencoba tersenyum. Namun wanita itu malah terlihat tidak senang. Ia kembali mengarahkan seluruh fokusnya pada sang anak, meminta penjelasan.


“Oh, perkenalkan ini Park Jin Ah.” Mino meletakkan tangannya di bahuku, membuatku mau tak mau maju selangkah—sejajar dengannya. “Pacarku,” sambung Mino, merekahkan senyum. Lagi-lagi ibunya tidak terlihat terkejut. Malah aku yang terkejut.


“Kapan kalian bertemu? Kemarin sore?” Tanya sang ibu dengan nada meledek, lalu tertawa kecut. “Sudah berapa kali eomma bilang kau tak perlu melakukan ini?”


“Melakukan apa?”
“Song Mino.” Nadanya terdengar seperti ‘sudah cukup!’
“Jadi aku tak boleh punya pacar?”
“Semua orang juga tahu kau mengajak Hani menikah karena warisan itu, dan sekarang… tiba-tiba… astaga! Dari mana kau menemukan gadis ini?” Ia menunjukku seperti menunjuk kardus kosong di dalam gudang. Aku merasa seperti barang temuan yang menyusahkan.


“Namanya Jin Ah dan dia pacarku. Bisakah eomma menghargainya sedikit? Ya, alasan aku melamar Hani memang karena itu, tapi sekarang berbeda. Aku tak memikirkan harta itu lagi. Sungguh.”


“Jangan mengemis pada keluarga ayahmu. Eomma baik-baik saja. Eomma sudah sehat.”
“Aku tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Kami saling cinta, dari hati, bukan karena yang lain.” Bukan. Semuanya bohong. Kami berkenalan lewat situs perjodohan, lalu mengikuti kencan buta, dan tiba-tiba begini. Kami tidak saling cinta, belum.


“Apa itu benar?” Mataku terbelalak. Tiba-tiba saja tatapan tajamnya berpindah padaku.
“Y-ya.” Aku mengangguk kikuk.
“Jadi sejak kapan kalian pacaran?”
“3 bulan,” jawab kami kompak.
“Oh ya? Kalau begitu kenapa aku tak pernah melihatmu sebelumnya?”
“Karena eomma pasti akan berpikir kalau aku berkencan demi warisan itu,” jawab Mino langsung, padahal mata ibunya jelas-jelas tertuju padaku. Aku tak berani melakukan kontak mata terlalu lama dan menunduk. Mino kembali bicara. “Tapi ini sudah 3 bulan. Dan aku ingin serius. Aku ingin eomma mengenalnya lebih dalam.”


“Berapa umurmu?”
“23.”
“Dan kau sungguh sudah berpikir untuk menikah?”
“Ya,” jawabku mantap. Aku harus bisa terlihat semeyakinkan Mino. Lagi, aku sudah berpikir untuk menikah sejak 3 tahun lalu, jadi tidak ada alasan untuk menjawab pertanyaan barusan dengan ragu.


“Apa yang membuatmu menyukai anakku?”
“Apa?” Kami belum latihan untuk pertanyaan ini. Mino melirikku. “Tentu saja karena aku sangat—“
“Eomma bertanya pada perempuan ini,” potong wanita itu. Mino menahan mulutnya, lalu melirikku lagi.
“Aku hanya...“ Aku hanya apa? Persendianku melemas. Bagaimana cara menjawab pertanyaan ini dengan cerdas bila nyatanya aku memang sama sekali tak punya alasan, “… mencintainya begitu saja.”



**********



“Itu jawaban yang bagus.”
“Berhentilah.”
“Berhenti untuk?” Mino duduk di kursi meja makan, di sisi yang lain—sambil mengerutkan kening dan menyodorkan mug cokelat yang mengepulkan asap.


“Menghiburku,” jawabku muram. Mino malah tertawa. “Aku serius. Eommamu tak akan percaya dengan kita, dan itu semua karena jawaban konyolku. Aku harusnya mengatakan alasan yang bagus, karena kau pria yang baik, yang bertanggung jawab, karena kau perhatian, atau apalah…”


“Tapi aku bisa merasakan betapa jujurnya jawabanmu. Dan aku menyukainya.”
“Itu konyol.”
“Kau menyukaiku begitu saja… itu keren.”
“Ei! Aku tidak menyukaimu, itu hanya jawaban spontan karena kepalaku benar-benar kosong.”
“Yeah, apa pun katamu. Bagiku itu terdengar tulus, dan kurasa jatuh cinta pada gadis sepolos kau bukan perkara sulit. Aku sudah mulai merasakan debaran di sini.” Mino menumpukkan kedua tangannya di dada dengan ekspresi aneh yang biasanya hanya kulihat pada Seunghoon—mungkin ini efek dari pertemanan selama 7 tahun. Pria itu melemparkan senyum jahil lalu tersenyum lebih lebar. Polos? Aku gadis polos katanya?


“Dan soal Hani...” Hani lagi? Secara spontan aku langsung menyandar ke kepala kursi, lalu memalingkan muka pada mug di hadapanku. Suasana hatiku langsung berantakan karena nama itu. Aku tak peduli mereka teman kecil, teman besar, tetangga, atau siapa pun, aku benar-benar membencinya.


“Bukannya aku tak mau membantumu, tapi aku benar-benar mengenal Hani.”
“Ya. Kau sudah mengatakannya tadi. Bisakah kita berhenti membicarakan dia?”
“Dengarkan dulu.”
“Apa lagi?”
“Jika aku membelamu, aku berani jamin Hani justru akan semakin menjadi-jadi. Kau bisa mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi. Dan aku tak mau itu terjadi.”


“Dengan kata lain aku harus menghadapinya sendiri.”
“Ya, kecuali jika dia sudah benar-benar kelewatan.”
“Apa? Apa katamu? Ya ampun, Song Mino! Apa menurutmu tindakannya kemarin dan hari ini belum tergolong kelewatan? Apa semua karyawan baru harus melewati fase ‘dibully Hani’ sebelum merasa tenang? Bahkan semua karyawan di divisiku juga sangat jahat, mereka—“


“Jangan mengelak, kau boleh menamparku dengan sepatumu setiap hari mulai hari ini.” Mino menyela, berbisik cepat dengan bibir nyaris terkatup. Lalu detik berikutnya bibir itu sudah menyentuh permukaan bibirku. Semua organ dalam tubuhku tersentak, terutama jantung. Ini terlalu tiba-tiba. Saking tiba-tibanya aku sampai lupa menutup mata.


“Ehem…” Suara dehaman wanita terdengar dari belakang. Mino menjauhkan wajahnya dengan cepat. Aku mengerti, ia menciumku karena ada ibunya di belakangku. Ini pencitraan. Ini bukan karena ‘Ya Tuhan, kau sangat cantik dan aku tak bisa menahan diri’.


“Eomma.” Mino berdiri. Pura-pura terkejut. Aku ikut berdiri dengan lemas.
“Kalian tidak kembali ke bank?”
“Kami berangkat sebentar lagi.”
“Jam istirahat kalian sudah lewat. Sekarang sudah hampir jam setengah 2.”
“Baiklah, kami jalan sekarang.” Mino menyampirkan jaketnya di bahuku lalu mengisyaratkan kata ‘ayo’.  Karena masih sangat terkejut dan malu, aku langsung berpaling setiap kali ia mencoba menatapku, atau melakukan kontak fisik apa pun. Bahkan sampai kami keluar rumah sekali pun.


Aku melewati ibu Mino sambil tersenyum canggung, dan ia masih menampakkan ekspresi tidak senang. Jadi ciuman tadi sia-sia?


“Kenapa diam saja? Ayo naik.” Mino sudah duduk di motor lengkap dengan helmnya, sementara aku masih tak mau naik juga. Bukan apa-apa, hanya setelah insiden ‘mencium’ tadi, aku jadi tak berani dekat-dekat dengannya. Bagaimana kalau tiba-tiba ia melakukan hal yang aneh-aneh lagi?


“Jin Ah, ya ampun, kenapa?” Ia membuka helmnya lagi, dengan ekspresi jengah yang membuatku ikut-ikutan jengah. Bagaimana bisa ia bersikap setenang itu setelah mencium perempuan? Bagaimana bisa ia bertingkah seperti tak terjadi apa-apa?


Aku melemparkan jaket di bahuku ke mukanya. Lalu segera melepaskan heels dan mengacungkannya tinggi-tinggi.


“Jangan pura-pura lupa! Ini konsekuensi dari menciumku!”
“Jangan bercanda! Kepalaku bisa bocor.” Aku sudah mengayunkan heels itu ke badannya saat Mino menahan tanganku dan membuat heels itu terjatuh. Helmnya ikut terjatuh. Aku yang tak terima langsung memukulinya dengan tangan kosong. Kepala, punggung, badan, semuanya, aku memukulnya sekuat tenaga sampai pria itu berteriak memohon ampun.


“Kau merebut indirect kiss-ku lalu sekarang menciumku sungguhan juga, dasar pria mesum tidak tahu diri! Besok mau apa lagi hah?”


Keributan kecil pun terjadi di halaman rumah yang gersang, di tengah matahari yang terik. Situasi seperti ini membuat emosiku semakin tersulut. Tak peduli mau sesakit apa, aku tetap memukulinya sampai puas.


“Astaga! Apa yang kalian lakukan?”


Tiba-tiba Mino yang tadi berteriak-teriak memanggilku ‘gadis barbar’ langsung tertawa lepas sembari menarik pinggangku, ia memelukku dengan erat. Ini pencitraan lagi. Sudah kubilang, kan? Dia pasti akan melakukan hal yang macam-macam jika kami dekat-dekat. Sialan!!


“Eomma. Masuklah! Kami jalan sekarang.”
“Mino, kau harus tahu batasan! Jangan menyentuhnya seenak jidatmu! Mencium, memeluk, kau juga nona, sebagai perempuan jangan mau disentuh-sentuh.”


Aku mendorong Mino dengan keras. Sampai pria itu sedikit terhuyung dari motornya.


“Dia yang memelukku tiba-tiba, demi Tuhan! Dia memang bajingan.” Aku membekap mulutku sendiri sambil terbelalak. Tolol! Aku baru saja mengumpat Mino di depan ibunya sendiri. Aku bisa mendengar suara Mino yang mendesah frustasi. Ia mendesiskan kata ‘terima kasih’ tepat di belakangku.


“Hahaha… dia memang bajingan. Makanya kau harus hati-hati, jaga dirimu baik-baik.”


Reaksinya sungguh di luar dugaan. Dia tersenyum. Dan tertawa. Bayangkan!


“A-apa?” Aku melirik Mino dengan kaget, lantas kembali menoleh pada sang ibu dan segera membungkuk berkali-kali sambil meminta maaf.


“Tidak apa-apa, kalau aku jadi kau, aku malah akan meninjunya.”
“Eomma.” Mino mengerang protes. Aku tersenyum kecil. Seharusnya aku memang meninjunya dengan heels, eomonim.


Mino tiba-tiba saja memakaikanku helm. “Sepertinya eomma senang dengan ejekanmu, mungkin itu kedengaran ‘sangat akrab’,” bisik pria itu sambil mengaitkan tali helm di bawah daguku. Aku mengerti sekarang, intinya aku harus menjadi diriku sendiri.


“Selamat siang,” ucapku sebelum menaiki motor, menyempatkan diri untuk membungkuk sekali lagi. Mino mulai menstarter motornya, suara mesin yang berisik pun terdengar. Wanita itu mengangguk padaku sambil tersenyum tipis. Dan entah bagaimana aku merasa benar-benar bangga dan damai, dan tenang, dan hebat, aku merasa…. luar biasa. Ini awal yang sangat bagus! Sangat sangat bagus.


“Ibuku akan menyukaimu, percayalah.”
“Aku tahu.”


TBC


Foto Nana-nya sama kaya di do you want some fluff 3 tapi hahihuheho aku suka banget sama foto dia yang ini, udah ngedit pake beberapa foto lain tapi tetep aja hasilnya paling kece yang ini !!! dia cantiknya suka g ngotak sih kzl! can we switch body please? and face


Ini lebih dari 5000 kata, lebih banyak dari HyoJoe, jauh! dari awal porsi mereka di let love lead emang selalu paling dikit sih jadi wajar aku banyakin disini… my fav couple in LLL tbh… gampang banget nyari foto Mino sama Nana, photoshootnya segambreng, merem juga ketemu… serius!


James-uee nyusul… selamat malam minggu! sleep tight!

Comments

  1. Akhirnya di post jugaa :") gatau mau ngomen apa lagi.. hm... tetap semangat dalam menulis yaa! Apapun update-an blog ini akan selalu ditunggu.. HWAITING!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya akhirnya...... Makasih komennya, yep semangat (ง^_^)ง

      Delete
  2. Aaaaa jin ah lucu yaachhh 😊😊.. Oo jadi ceritanya seperti itu to asal usul mino ingin menikah... Kasihan jin ah ya dia kena sial beberapa kali wkwkwk 😄😄

    ReplyDelete
    Replies
    1. yep begitulah motif dibalik 'Mino pengen nikah' wkwk

      makasih ya komennya<3

      Delete

Post a Comment

Popular Posts