Let Love Lead part 9
“Terima kasih,” ujarku sembari membungkukkan badan, melihatnya
melalui kaca. James cuma tersenyum, mengangguk seadanya.
Karena sudah terlalu sore, James memutuskan untuk langsung
mengantarku pulang. Aku baru saja membuat seorang CEO bolos kerja seharian dan mengantar sekretarisnya pulang. Prestasi.
“Aku benar-benar minta maaf.”
“Kau sudah minta maaf berkali-kali. Sudahlah,” katanya,
“sejujurnya yang tadi tidak buruk.”
“Tentu.” Aku mencibir.
“Tidak, aku serius. Aku.. menikmatinya,” ujar si CEO skeptis.
Aku mengangguk-angguk sambil mengulum senyum, berusaha menyembunyikan ekspresi
‘yang benar saja’. Namun sayang sekali sepertinya ekspresi itu tidak
tersembunyi dengan baik, karena James langsung menggelengkan kepala.
“Kau tak mengerti, aku hanya butuh waktu di luar kantor. Sudah
lama sekali aku tidak meliburkan diri.”
“Tapi tetap saja, seharusnya kau bisa liburan ke tempat yang lebih layak.”
“Makanannya enak. Aku tidak menyesal.”
“Kopinya?”
“Bisakah kita tidak membicarakan itu?” Aku langsung tertawa.
James melirikku dengan tampang terganggu yang dibuat-buat sebelum akhirnya ikut
tertawa.
“Well, aku harus
masuk dan menghajar Hyo Jin. Selamat malam.” Aku tersenyum, lalu menegakkan
badan dan berjalan memasuki rumah.
“Tunggu!” teriak James. Aku berbalik. “Sampai jumpa… besok,…
maksudku di kantor, bekerja… jangan telat.”
**********
Oh tidak, Yu Jin pulang! Aku langsung meraih remot TV dan
mematikannya. Lantas melompat melewati sofa dan berlari menuju kam…
“Puas jalan-jalannya?”
Terlambat.
“Eh? Eonnie? Jadi… kau ke Suwon?”
Gadis itu melempar tasnya ke sofa dan berjalan mendekatiku
sambil bersedekap.
“Kau harus berhenti kabur ke sana kemari setiap kali kita
punya masalah. Lagi, apa yang kau lakukan bersama anak tengik itu?”
“Aku tidak kabur.”
“Lalu apa namanya?”
“Mencari udara segar,” jawabku asal, tak berharap dia akan
percaya.
“Hyo, serius, ini demi kebaikanmu. Bisakah kau mendengarku?
Aku tidak berbohong, aku benar-benar mengenal L.Joe. Dia adiknya atasanku dan…”
“...dan dia tidak baik, aku mengerti,” selaku. “Aku tak akan
menemuinya lagi. Kau tak perlu khawatir.”
Yu Jin terdiam selama beberapa saat sebelum mengangkat alisnya dengan ragu. “Jadi kalian sudah putus?”
“Kami tidak pernah pacaran.”
“Pasti ada sesuatu yang terjadi.”
“Aku tak mau menceritakannya. Intinya kau benar. Dia bukan
pria baik.”
Yu Jin terdiam lagi. Ya, aku mengerti. Ini pasti kedengaran
sangat aneh di telinganya. Kemarin malam aku berteriak di depan mukanya, membela
L.Joe mati-matian, dan sekarang aku malah bilang ‘dia bukan pria baik’ begitu
saja. Dan yang lebih mengejutkan adalah, aku mengikuti ucapannya dengan patuh.
Park Hyo Jin patuh pada Yu Jin. Itu gila.
“Oke, aku tak tahu apa yang terjadi tapi itu bagus.”
“Sangat bagus.” Aku tersenyum kecut membayangkan muka L.Joe.
Dia bilang semua pria, bahkan pria-pria bejat sekalipun pasti menginginkan
gadis baik-baik. Aku tidak akan melupakan kalimatnya itu. Cih.. seolah ada
gadis baik yang mau dengannya!
“Di mana Jin Ah?”
“Hei, kau pulang! Pas sekali, makan malam sudah siap!”
teriak si pemilik nama, dengan suara ceria yang berlebihan. Aku bahkan bisa
merasakan senyum lebarnya dari sini.
“Dia terus tersenyum semenjak pulang. Sepertinya saraf
wajahnya terjepit,” bisikku pada Yu Jin. Gadis itu meringis sambil menoleh pada
Jin Ah, lalu mengangguk-angguk paham.
*********
“Wow, keluarganya terdengar
berantakan,” respon Yu Jin setelah aku bercerita panjang lebar. Hyo Jin
meliriknya tidak senang.
“Semua orang punya masalah.”
Gadis itu bersuara.
“Aku tak bilang itu buruk. Hanya berantakan, warisan, anak
tiri, pneumonia.” Aku bahkan belum menceritakan soal Hani, dan respon Yu Jin
sudah begini. Sepertinya sampai kapan pun aku akan menyimpan masalah Hani ini
sendiri. Tapi tidak juga, aku punya Mino—dan Seunghoon.
“Berantakan itu kata yang negatif. Kau harus berhenti mencap
semua orang sesuka hatimu. Ini cuma cerita dari satu sisi, kau tak tahu apa
yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka. Keluarga kita juga berantakan
jika kau tanya pendapatku.” Hyo Jin berusaha mengontrol nada bicaranya, tapi untuk
beberapa alasan intonasinya tetap terdengar tidak sopan. Yu Jin meletakkan
sendoknya dan duduk bersandar. Perang saudara akan dimulai.
“Kau jelas tidak mendengarkan dengan baik,” kata Yu Jin
sambil bersedekap. “Jin Ah diperalat. Dia menikahi Jin Ah demi warisan dan…”
“… dan itu untuk berobat ibunya.” Aku dan Hyo Jin memotong
ucapannya dengan kompak.
Yu Jin menghela napas panjang. “Aku tahu. Mulia sekali.” Ia
mengeluarkan senyum dibuat-buat. “Masih ada waktu untuk menolak, maksudku, apa
kau mau menikah karena alasan seperti itu?”
“Kenapa tidak?” Aku balik bertanya dengan cepat. Aku
mengerti kekhawatiran Yu Jin, yang tidak kumengerti adalah bagaimana bisa ia
tak melihat Mino dari sisi ‘pemuda itu sangat berbakti’. Ia ingin menolong
ibunya yang sakit dengan uang warisan itu, dan Mino juga bilang akan
mengembalikan sisanya pada keluarga ayahnya. Dia tidak mencuri, itu ada di
surat wasiat, itu haknya.
“Tapi Mino tidak—“
“Eonnie, dia manusia. Dia punya kekurangan, semua orang
punya. Kalau kau mencari pria sempurna maka kau tak akan menikah seumur hidup.”
Hyo Jin menyela lagi. Dan kali ini dia benar-benar terlihat marah.
“Aku tidak bilang dia harus sempurna, kan?”
“Ya. Tapi kau membuatnya terdengar seperti itu. Aku bisa
terima jika menurutmu L.Joe tidak baik atau apalah,” kata Hyo Jin sambil
memutar mata. “Tapi Mino oppa! Dia… sangat baik,” lanjutnya dengan penekanan berlebihan.
Aku mengangguk menyetujui kalimat terakhirnya, lalu
memerhatikan reaksi Yu Jin.
“Entahlah.” Dan cuma itu reaksinya. Hyo Jin mengembik
seperti kambing sembari menggoyangkan badan sampai kursinya menabrak kaki
meja. Pemikirannya dan pemikiran Yu Jin
benar-benar bertolak belakang. Aku mengerti sefrustasi apa Hyo Jin sekarang.
“Oke terserah,” ucap Hyo Jin tiba-tiba, kembali duduk
tenang. “Tapi ingat, hanya karena Mino oppa tak memenuhi kriteria kakak kita bukan
berarti pria itu salah. Lanjutkan saja! Kau mendapat restuku seratus persen.”
Hyo Jin mengangkat jempolnya, lalu melirik Yu Jin dengan sinis.
Aku memimikkan kata ‘terima kasih’, lalu tersenyum pada anak
itu.
“Kau juga mendapat restuku kok. Ayolah… jangan membuatku
terdengar seperti ibu tiri di sini. Aku hanya berpikir orang seperti Jin Ah berhak
mendapat seseorang yang lebih baik dari Mino. Mino baik tapi pasti ada yang
lebih baik.”
Hyo Jin mengembik lagi. Yu Jin menirunya dengan suara yang
lebih keras.
Aku terkekeh melihat mereka berdua. “Dengar! Aku benar-benar
berterima kasih kalian mau mendengarkan aku, bahkan memberi saran—“
“Dan restu.” imbuh Hyo Jin.
“Benar. Dan restu. Tapi masalahnya bukan itu saja.” Aku
menghela napas. “Ibu Mino sepertinya tidak menyukaiku.”
“Apa? Tidak mungkin! Kau idola ibu-ibu!” teriak Hyo Jin.
“Benar. Kau bisa masak, bisa bersih-bersih. Kau telaten, kau jago
dalam segala hal tentang mengurus rumah.”
“Ini berbeda. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya,” kataku
sambil menggeleng.
“Aku yakin ini hanya masalah waktu.”
“Aku setuju. Tapi jika masih tidak direstui juga, kau bisa
mencari pria lain.”
“EONNIE!!” Hyo Jin berteriak.
“Kenapa??” balas Yu Jin tak kalah kencang.
“Kurasa kita tak perlu membahas ini dulu untuk sekarang. Oh
iya, Hyo! Aku masuk ke kamarmu tadi pagi, saat kau masih kabur.” Aku langsung
mengganti topik. Mata Hyo Jin sedikit membesar, raut panik langsung terdeteksi.
“Kenapa kau masuk ke kamarku?”
“Tentu saja kami masuk. Kau hilang!” racau Yu Jin.
“Aku masuk lagi saat kau sudah jalan, eonnie,” kataku.
“Jadi kau dua kali masuk ke kamarku?” Hyo Jin berteriak tak
terima.
“Hei, aku benci nada suaramu. Dan kau tahu, kami boleh masuk
ke kamarmu kapan saja. Kami kakakmu!” ucap Yu Jin.
“Apa hubungannya dengan ‘kami kakakmu’? Itu disebut
‘kamarku’ bukan tanpa alasan. Itu milikku, daerah kekuasaanku.”
“Kau juga sering masuk kamarku tanp—“
“Oke, kami minta maaf.” Aku menyela ucapan Yu Jin dengan
suara yang lebih keras, sambil mengulurkan tangan ke arahnya—tanda ‘bisakah kau
berhenti’. Apa jadinya bila mereka hidup tanpa aku? Serius, pasti akan ada
perang saudara gila-gilaan setiap saat. “Tapi aku menemukan ini.” Aku
mengeluarkan secarik kertas yang sudah terlipat-lipat kecil dari saku.
“TIDAK.” Hyo Jin langsung merebutnya.
“Apa isinya?” tanya Yu Jin tenang, sambil melirik adik
bungsu kami yang sibuk menyembunyikan kertas itu. Sia-sia, aku sudah membaca
semuanya.
“Itu surat dari kampusnya. Dia tidak lulus dalam lima mata
kuliah di semester ini.”
“APA?”
“Bukan itu saja, ternyata bulan kemarin dia cuma masuk satu kali di setiap mata kuliah. Dia terancam drop
out jika tidak ikut semester pendek. Dan tiga hari lagi daftar ulangnya akan
ditutup. Aku tak tahu apa anak ini sudah daftar apa belum.” Aku mengarahkan
tatapanku pada Hyo Jin—yang mengeluarkan ekspresi dikhianati.
“Jadi ini yang kudapat setelah membela hubunganmu dengan
Mino? Wah, terima kasih.”
“Aku sedang membela masa depanmu,” jawabku, tak merasa
berkhianat.
“Kau keluar rumah setiap hari, ke mana saja kau?”
“Tak ada gunanya membahas ini. Hasil semesternya sudah
keluar.” Hyo Jin berdiri.
“Kau pikir aku senang membahas ini? Sekarang jawab aku, apa
kau sudah daftar?”
“Untuk apa? Aku tak mau kuliah lagi. Dosennya payah.”
“Lalu kau mau jadi apa tanpa ijazah sarjana?”
“Aku bisa jadi apa pun dengan wajah secantik ini.” Hyo Jin
menunjuk wajahnya sendiri. Aku setengah setuju, namun tersadar sendiri dan
langsung menggeleng-geleng. Situasinya semakin kacau. Pada akhirnya aku hanya
memerhatikan mereka saling berteriak sambil berpangku tangan, menyuap beberapa
brokoli.
“Aku tak mau daftar. Uang dari mana? Kau pikir semester
pendek murah?”
“Nah… kenapa kau tak memikirkan itu saat membolos?”
Skak mat. Hyo Jin terdiam.
“Lima mata kuliah, kalau dihitung-hitung kira-kira totalnya 250.000
sampai 300.000 WON.” Setelah sekian lama diam, aku baru mulai bersuara lagi
sambil membuat hitungan tak kasat mata di meja makan.
“Apa? Uang dari mana?” semprot Yu Jin.
“Kalian tak usah memikirkannya. Aku tak mau kuliah.”
“Kita bisa menjual sesuatu, atau menggadaikan TV pada bosmu,
atau pinjam uang dari Yesung oppa.” Aku melontarkan ide apa pun dari kepalaku,
mengabaikan Hyo Jin dan ucapan konyolnya.
“Menggadaikan barang pada James? Meminjam dari Yesung?
Tidak. Itu memalukan. Sudahlah, biarkan saja dia tidak kuliah.”
“Tidak bisa seperti itu, eonnie. Dia harus.”
“Tidak, aku tidak mau,” teriak Hyo Jin.
“Ya, bagus. Tidak usah. Anak ini harus diberi pelajaran.” Yu
Jin berdiri dan menatap Hyo Jin sengit. “Apa gunanya paras cantik tanpa otak? Tanpa attitude? Kau akan menyesal
nanti saat surat drop out-mu keluar,
lihat saja. ”
“EONNI!” Aku menarik lengan Yu Jin, mukanya benar-benar merah
dan dia bicara dengan gigi bergemelatuk. Pandangan Hyo Jin yang awalnya keras kian
melunak, matanya terlihat berair.
“Biar saja! Biar dia rasakan sendiri! Aku tak mengerti lagi
apa maunya.” Yu Jin menepis tanganku dan segera meninggalkan ruang makan.
BRAK.
Itu adalah suara pintu kamar Yu Jin.
“Aku akan membantumu,” ucapku. Hyo Jin mulai menangis. Dan
biar kutebak, Yu Jin pasti juga sedang menangis.
**********
Aku baru saja memasuki lobi bank saat seseorang menarik
tanganku. Mino.
“Hei,” sapaku, tak bisa menahan senyum.
“Hei, mau ikut ke kantin?”
“Tentu.”
Sekarang masih pagi, karyawan yang datang ke tempat ini
belum banyak—paling hanya mereka yang melewatkan sarapan di rumah. Mino dan aku
duduk di ujung terluar kantin dan mengobrol tanpa memesan apa-apa. Sungguh
keajaiban melihat anak ini ada di kantor.
“Tak biasanya seorang bos datang sepagi ini.”
“Jangan salah, aku selalu datang pagi.”
“Yeah.. dulu. Sebelum naik jabatan,” cibirku.
Mino tertawa, lalu menggeleng membela diri. “Tidak, sungguh.
Aku masih rajin datang pagi sampai sekarang.”
“Lalu kenapa susah sekali menemuimu di kantor?”
“Makanya usaha. Ruanganku cuma beda satu lantai denganmu.
Lagi pula aku selalu duduk di sini dengan Seunghoon saat makan siang. Kau
harusnya ke sini.”
“Dan mengganggu kencanmu dengan Seunghoon?” Mino sampai
tersedak mendengar ucapanku, namun lantas tertawa. Apakah aku pernah bilang
kalau pria dengan tipe suara bariton punya tawa yang menawan? Mino salah
satunya. Senyumnya juga sangat menawan. Aku selalu ingin berdiri dan menciumnya
tiap kali melihat senyum itu. Beruntung pengendalian diriku bagus.
“Kenapa harus Seunghoon? Dengar ya...,” Mino mencondongkan
badannya dan berbisik, “sekalipun anak itu tiba-tiba berubah jadi wanita, aku
tetap tak mau dengannya.” Aku meliriknya sambil tersenyum skeptis. Itu
pernyataan yang meragukan, Seunghoon pasti akan terlihat sangat manis bila
menjadi wanita. Lagi, apa yang membuatnya harus berbisik. Ini bukan topik yang
sangat sensitif, aku ingat pernah membicarakan soal menstruasi dengan
Seunghoon.
“Aku yakin kau akan menyesal jika itu benar-benar terjadi.”
“Ini masih pagi, bisakah kita membicarakan sesuatu yang
normal?” tanyanya dengan ekspresi tak percaya. “Omong-omong, parfummu enak,”
katanya lagi.
“Parfum? Eiii~” Aku langsung memukul bahunya. Pria itu
memegangi bahunya sambil mengeluarkan ekspresi ‘aku salah apa’ yang polos
seperti anak bayi. Ekspresi bodoh andalannya. Dasar! Dia mencondongkan badan,
pura-pura berbisik atau apalah tadi untuk membaui parfumku.
Sejujurnya ini menyenangkan, maksudku fakta bahwa kami
semakin dekat. Dan fakta bahwa beberapa kebiasaannya mulai terasa familier. Dia
selalu melipat tangannya seperti anak sekolah dasar setiap mendengarkanku
bicara, lengkap dengan tatapan fokus dan senyum kecil yang berefek tidak
kecil—dia adalah salah satu pria paling murah senyum yang kukenal. Dia selalu
menyentuh rambutnya setiap kali menjeda ucapan. Dia suka menjilat bibir
bawahnya, atau membuat wajah polos seperti anak bayi seperti tadi. Aku menyukai
semua kebiasaan itu, dan secara tidak sadar mulai menduplikatnya juga. Contohnya
sekarang, aku sudah berkali-kali menemukan diriku sedang melipat tangan. Aku
tak bilang itu buruk, hanya saja… ini konyol. Untuk apa aku menirunya?
“Bagaimana hari-hari awalmu di sini?”
“Bagus. Tapi akan lebih bagus lagi kalau temanmu yang super
cantik itu tak menggangguku,” ucapku sembari meliriknya. Mino tersenyum meledek.
“Maksudmu Hani?”
“Siapa lagi?! Aku sudah menyebutkan kata kuncinya, ‘super cantik’.
Jelas maksudku dia.”
“Tapi kata kunci itu juga berlaku untuk Park Jin Ah.”
“Ha..lucu sekali. Semua orang tahu aku tak cantik seperti
Hani.”
“Kau tak perlu cantik seperti Hani. Kau bisa cantik
sepertimu,” katanya. “Memangnya kau mau secantik apa lagi hah? Jangan egois, Nona Park.”
Oke, itu adalah kalimat paling indah yang pernah orang
katakan tentang aku. Sejak kecil aku sudah terbiasa mendengar semua orang
memuji Hyo Jin. Setiap kali mendengar ‘Astaga! Cantiknya’ aku akan langsung
mengambil langkah mundur dan membiarkan adik bungsuku itu dikerubungi orang,
menjadi spotlight—ini terjadi setiap
saat, di supermarket, di mall, pinggir jalan, taman, depan rumah. Itu bukan
sesuatu yang buruk, sejujurnya itu membanggakan, kau punya adik yang sangat
cantik, yang bisa membuat banyak orang jatuh hati tanpa harus tersenyum sampai
rahangnya sakit.
“Terima kasih. Kau tak tahu betapa senangnya aku mendengar kalimat itu.” Aku tersenyum memandangnya, Mino mengangguk, lalu mengalihkan tatapannya padaku. Dan kami tak mengalihkan pandang selama hampir lima detik. Saling menatap selama lima detik adalah waktu yang sangat lama. Aku benar-benar merasa nyaris hilang dalam legamnya bola mata Mino. Kami tersadar di saat yang bersamaan, aku segera melirik jam tangan dengan kikuk. “Kepala bagianku mungkin sudah datang, aku pergi.”
“Jin Ah, tunggu!” Mino menangkap tanganku.
“Ada apa?”
“Aku membuat ini.” Ia melingkarkan sesuatu di tanganku.
“Be Brove?”
“Be Brave. Itu
huruf A,” ralat Mino sambil mengikat talinya.
“Kau membuatnya sendiri?” Aku menatap gelang itu tak
percaya. Bandulnya terbuat dari kayu persegi panjang dengan ukiran ‘be brave’ yang huruf A-nya terlihat
seperti O, lengkap dengan tali kepang merah muda. Sederhana, tapi benar-benar
bermakna. Maksudku, WOW. Ada yang membuatkan sesuatu untukku.
“Jika Hani mengganggumu lagi,…” Mino mengusap kepalanya
dengan ragu. “Aku tak yakin ini bisa membantu, tapi… yah..”
“Terima kasih.”
“Hani tak semenyeramkan itu, sungguh. Dia memang sedikit bossy, manja, egois, tapi dia tetap
punya sisi baik. Aku percaya kau bisa mengatasinya sendiri. Kau lebih kuat dari apa yang kau bayangkan, kau hanya perlu sesendok teh bubuk keberanian.” Mino membuat gerakan seperti sedang memercikkan bubuk tersebut di atas kepalaku.
“Bolehkah aku memukulnya?”
“Hanya jika dia memukulmu duluan.” Hanya jika APA? Jadi aku
harus kena pukul dulu baru… “Well,
aku mengenalnya, dia tak akan melakukan kekerasan fisik. Jangan khawatir,”
imbuhnya, seolah bisa membaca pikiran.
Aku melihat gelang itu lagi, mengusap ukirannya dan
mengangguk.
“Keadaan tak akan pernah berubah kalau kau diam saja,
keadaan juga tak akan pernah berubah jika aku yang turun tangan, nyatanya itu
akan memburuk, percayalah. Aku juga ingin semuanya berakhir. Aku juga merasa
sangat bersalah melihat Hani bertindak semena-mena padamu. Tapi satu-satunya
cara untuk membuat gadis itu berhenti adalah kau sendiri. Tunjukkan padanya
kalau kau bukan orang yang bisa ditindas. Tunjukkan padanya kalau kau kuat.”
**********
Aku berjalan lebih cepat menuju ruanganku. Atmosfer J’S hari
ini benar-benar aneh, entah kenapa semua orang menatapku dengan sinis. Saat aku
baru sampai di lobi, sekitar 4 atau 5 karyawan yang sedang mengobrol seru
tiba-tiba menjadi hening, mereka semua bertolak pinggang dan bersedekap
menatapku dengan tatapan tidak bersahabat. Resepsionis yang biasanya tersenyum ramah
padaku pun langsung membuang muka begitu aku menyapanya.
Aku segera menutup pintu ruanganku dan bersandar di
belakangnya, setengah terengah. Mereka semua membuatku takut. Apa yang terjadi?
Apa ini semua karena aku membolos seharian kemarin? Apa karena aku pergi
bersama James? Yang benar saja! Mereka semua marah karena aku membawa pergi bosnya?
Itu tidak masuk akal.
Baiklah, lupakan. Banyak sekali yang harus aku kerjakan hari
ini. Semua jadwal meeting James kacau karenaku, dan sekarang aku harus menyusun
jadwal baru. Aku segera menempati kursi dan menghidupkan komputer, hanya
berpikir dan mengetik untuk berjam-jam berikutnya. Sesekali menoleh ke kaca
besar di sebelah, Yesung bilang dia sering memergoki James memerhatikanku dari
balik kaca ini. Apa dia sedang memerhatikanku juga sekarang? Aku tertawa
pendek, merasa konyol.
“Hei.”
Aku tersentak dan menoleh ke depan. Seorang pria sedang
berjalan santai menghampiriku dari arah pintu. Yesung.
“Cih, lain kali tolong ketuk pintunya dulu,” ujarku risih.
Yesung sudah duduk di hadapanku, seperti biasa memutar-mutar kursi, membuat
suara berdecit-decit yang mengganggu. Dia cuma mengangguk. Untuk sepuluh menit
lebih yang terdengar hanyalah suara ketikan keyboard dan decitan kursi, itu
bagus, sejujurnya aku berharap dia tidak mengatakan apa-apa karena aku memang
sedang tidak ingin bicara dengannya.
“Sebenarnya tujuanku ke sini adalah untuk mengatakan bahwa...”
Yesung menarik napas, menghentikan gerakan kursinya dan menatapku seolah sedang
menguatkan. “Apa pun yang terjadi, aku
ada di pihakmu.”
“Huh?”
“Yeah, seisi J’S memang sedang membencimu setengah mati,
tapi tidak denganku. Menurutku kau pemberani, aku juga memikirkan hal yang
sama. Anak itu—” Yesung menunjuk kaca di sebelah kami, “—memang tidak sebaik apa yang
terlihat. Dia licik, curang.”
“Apa yang kau bicarakan?”
“Tak ada gunanya pura-pura polos begini, Yu Jin~a. Semua
orang sudah membacanya.”
“Membaca apa?”
“Postinganmu di sns J’S.”
“Postingan apa? Aku tidak pernah log in lagi sejak pindah ke ruangan ini.”
“Sungguh?”
“YA!”
“Lalu kalau bukan kau, siapa yang—”
“Apa isi postingannya?” desakku panik.
“Lumayan panjang. Yang pasti kau tidak senang bekerja
di sini, dan kau juga bilang bahwa seseorang berinisial ‘J’ membuatmu muak. Dia
sombong, dingin, palsu. Dan semua
orang tahu siapa yang kau maksud dengan ‘J’.” Ia mengarahkan dagunya ke kaca, ke ruangan James. JAMES.
“TIDAK! Dia baik, benar-benar manusia sempurna! Siapa yang membuat postingan
itu? Itu sungguh bukan aku. James memang dingin, sombong dan kaku pada awalnya
tapi setelah kau mengenalnya lebih dalam dia benar-benar... LUAR BIASA. Yesung,
kau harus percaya padaku! Itu bukan aku!” Aku berteriak, berdiri, bola mataku
sudah bergetar. Tidak. Ini gawat. Seluruh karyawan J’S terkenal akan
kesetiaannya pada CEO mereka, wajar jika mereka marah melihat ada yang menghina
James. Tapi yang lebih gawat lagi adalah apabila James mengetahui ini. Aku tak
mau dia salah sangka. Kami baru saja selangkah lebih dekat. Semuanya bisa
hancur karena sebuah postingan fitnah ini.
“Oke.” Yesung ikut berdiri. “Tenangkan dirimu!”
“Aku benar-benar ingin melihat isi postingannya!” seruku.
“Kau tinggal membukanya sekarang.” Yesung menunjuk
komputerku.
“Tidak bisa. Satu komputer satu akun, ingat? Ini kan dulunya komputer Maria, dan hanya ada akun Maria, aku tidak tahu passwo—tunggu, MARIA!
ASTAGA AKU TAHU! INI ULAH MARIA!”
“Kenapa Maria?”
“Dia menempati mejaku, kan? Mungkin aku lupa log out atau dia mengehack akunku atau... semacamnya.”
“Itu masuk akal.”
“Itu bukan cuma masuk akal, tapi kenyataan! Kau tahu kan dia benar-benar
membenciku? Ya Tuhan, bagaimana ini?”
************
Jonghwan menutup pintu rumahnya, lalu berjalan santai menuju
tangga.
“Ada info apa tentang L.Joe?” Tiba-tiba terdengar suara
perempuan. Jonghwan tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu.
“Tidak ada.” Pria itu hendak menaiki tangga, namun tertahan
karena ulah sang adik tiri, Jill. Gadis itu menangkap tangannya lalu memaksa
sang pria untuk duduk di sebelahnya, di sofa.
“Apa maumu? Aku sudah membantumu mendapatkan L.Joe, tapi
lihat kan? Kau tak bisa! L.Joe tak menyukaimu. Sudahlah, lepaskan dia!” Ya.
Jonghwan adalah orang yang memberikan info kapan giliran L.Joe tiba pada Jill.
Dengan begitu, gadis itu bisa datang ke kafe Lafrein di saat yang tepat, di
saat L.Joe mau tak mau harus menghampiri mejanya.
“Aku tak butuh komentarmu. Sekarang beri tahu aku bagaimana
perkembangan L.Joe dan Hyo Jin!” Jonghwan tersenyum menyeringai.
“Kau benar-benar bodoh, Jill. Menyuruh Hyo Jin masuk ke hidup L.Joe adalah
tindakan paling bodoh sedunia, aku tak pernah melihat L.Joe setergila-gila ini
pada perempuan. Terima kasih padamu.”
“Itu memang rencanaku. Hyo Jin akan mematahkan hatinya, dan
aku akan masuk untuk mengobati hati yang dipatahkan itu. Cemerlang, bukan?”
“Itu konyol. Besok L.Joe akan menyatakan cintanya di
peresmian restoran. Kita lihat saja siapa yang hatinya akan patah.”
“Dia akan… APA?” Jonghwan tersenyum semakin lebar.
“Ada banyak pria di luar sana. Jangan ganggu temanku!”
“Cih, teman kau bilang? Kalau kau tak punya ini—” Jill
menarik kunci mobil di saku jins Jonghwan, lalu menggantungnya di depan mata
pria itu. “—apa mereka masih akan mengganggapmu sebagai teman?”
“Ingat ya? Yang kaya itu ayahku! Kalau ibumu tidak mengemis
untuk menikahi ayahku, maka kau tak akan punya apa-apa.” Jill mengusap pipi
Jonghwan dengan ujung kunci, sambil menampilkan ekspresi prihatin yang
dibuat-buat.
Jonghwan mencoba merebut kunci mobilnya, namun kalah cepat
dengan Jill.
“Pertemanan kalian ada di bawah telapak kakiku. Aku bisa
menginjaknya kapan saja.”
“Tidak. Pertemanan kami lebih dari itu.” Jonghwan mengembuskan napas penuh emosi. Gadis ini benar-benar
menguji kesabarannya. Ia bisa bersabar jika Jill hanya mengolok-ngoloknya, tapi
jika dia sudah menyinggung teman-temannya maka lain cerita.
“Oh ya? Bagaimana jika aku meminta ayah untuk menarik semua
fasilitasmu? Lalu kita lihat bersama-sama apa yang akan terjadi dengan
pertemanan kalian? Ayo tonton bersama-sama, aku yang membeli popcorn.” Jill
tersenyum manis.
“Ayahmu berbeda darimu, Jill. Dia bukan psikopat.”
“Tapi setiap ayah pasti akan lebih percaya pada anak
kandungnya ketimbang orang lain. Bagaimana jika…” Jill mengambil tangan
Jonghwan dan meletakkannya di lututnya. “Ayah! Jonghwan melakukan menyentuhku seenaknya!” Pria itu segera menarik tangannya, lalu merebut kunci mobilnya dan
berdiri. Jill tertawa terbahak-bahak. Pria itu menatapnya dengan jijik dan
segera berjalan cepat menaiki tangga.
**********
Selamat malam
Sudah bangun? Jangan lewatkan sarapan! Mau jalan-jalan hari ini?
Kau sesibuk apa sampai tidak membalas pesanku?
Hei, keluar sekarang. Aku di luar.
Sepertinya kau tidak ada di rumah, aku pulang.
Bisakah sekali saja kau jawab teleponku? Ada apa, Hyo? Ada Chaos lagi di rumahmu? Atau jangan-jangan kau marah padaku?
Hei, selamat malam lagi….. dan tolong beri tahu aku apa salahku.
Besok peresmian restoran, kau bisa datang? Aku tidak bisa menjemputmu, ada beberapa hal yang harus kupersiapkan sendiri. Beri tahu aku jika kau bisa datang.
Please, jawab. Kau harus datang. Beri tahu aku kau akan datang. Ada sesuatu yang ingin kukatakan langsung.
Hyo, jawab teleponku.
Itu adalah sederetan pesan dari L.Joe sejak kemarin lusa.
Dan semuanya kuabaikan. Dia benar-benar manis dan sejujurnya berkali-kali
membuatku nyaris luluh— aku bahkan
sempat mengetik pesan balasan dan hampir mengirimnya.
Aku membaca deretan
pesan itu sekali lagi, satu per satu, dengan penuh penghayatan, lalu tersenyum
sedih. Aku tak bisa membayangkan apa yang pria itu rasakan sekarang. Dia
menungguku hampir dua jam kemarin, sambil melongok-longok di depan pagar.
Sementara aku cuma mengintip di balik gorden.
Saat sedang membayangkan itu, tiba-tiba saja ponselku
berbunyi. L.Joe menelepon untuk yang ke dua puluh satu kalinya. Aku tak menjawab, cuma
menggerakkan ibu jariku dua inci di atas kursor hijau. Aku benar-benar merindukan
suaranya.
Nada deringnya berhenti.
Aku menghela napas. Ini yang terbaik, Hyo. Percayalah ini
yang terbaik. Dia sendiri yang bilang kalau semua pria menginginkan gadis baik.
Carilah gadis yang baik, dasar payah! Lihat siapa yang mengemis padaku
sekarang!
Ponselku berbunyi lagi.
Lihat betapa gigihnya anak in—itu bukan L.Joe. Jill. Yang
meneleponku kali ini adalah Jill. Siapa Jill? Tunggu! Jill! Aku mengingatnya.
Dia yang sudah mempertemukanku dengan L.Joe. Dia menyuruhku balas dendam karena
dicampakkan L.Joe. Dia… hei, bagaimana bisa aku melupakan anak ini?
Aku segera mengangkatnya.
“Hyo Jin!!!” sapanya ceria.
“Kenapa?”
“Dingin sekali sih.”
“Aku tak punya waktu. Apa maumu?”
“Kudengar besok L.Joe akan menyatakan cintanya padamu ya?”
“Apa? Siapa yang bilang begitu?”
“Kau tak perlu berbohong padaku, sayang. Jangan bilang kau
berniat untuk menerimanya! Jangan bilang kau benar-benar jatuh cinta padanya!”
Suaranya meninggi. “Kau tidak melupakan kesepakatan kita kan?”
Jadi, L.Joe akan menyatakan cintanya padaku besok. Ya Tuhan.
“Ini kesempatan yang sempurna. Tolak dia, dan aku akan
memberimu uangnya. 300.000 WON sesuai perjanjian. Dari situ, biar aku yang
urus, aku akan membuat sang pangeran jatuh cinta lagi pada permaisuri yang
pernah dicampakkan ini.” Suaranya terdengar menyeramkan. Dan semakin buruk
karena aku tak dapat mengingat wajahnya sama sekali. Dia bilang kita pernah
sekelas dua kali waktu SMA.
“A..aku tidak tahu Jill, tapi…”
“TIDAK! JANGAN! Jangan bilang kau menyukai L.Joe-ku!
Jangan!” Dia berteriak di telingaku. Sinting. Bukankah dia bilang L.Joe sudah
mempermalukannya di depan orang-orang? Dia juga bilang L.Joe suka tidur dengan
sembarang perempuan. Lalu kenapa dia masih menginginkan pria itu sekarang?
Gadis aneh.
“Entahlah, Jill! Aku….” Saat itu tanpa sengaja mataku
menangkap secarik kertas lecak di nakas. Serta merta menghela napas. Benar. Uang pendaftaran untuk
semester pendek. Aku harus mendapat 300.000 WON sebelum lusa. Aku menggigit bibir, sebelum akhirnya…. “Baiklah,”
lanjutku lemas.
“Nah, begitu bar—“ Aku langsung menutupnya. Jill punya suara
serak yang menyeramkan, dan aku tak tahan bicara terlalu lama dengannya.
Aku menggenggam ponselku dan menutup mata, ini semua membuat
kepalaku sakit.
Ponselku berbunyi lagi. Aku mengintip dan meliriknya. L.Joe.
Mataku terbelalak. Aku segera meraih ponsel itu dan berdiri, menghela napas
panjang. Lalu perlahan-lahan menggeser kursor hijaunya.
[Nomor telepon yang anda panggil saat ini tidak bisa
menerima panggilan. Silahkan menelepon beberapa saat lagi.] L.Joe meniru suara
operator, lalu mendesah panjang dengan suara yang menjauh. Apa yang dia
lakukan? Dia tidak sadar aku sudah mengangkatnya? Sepertinya anak ini akan
mematikan sambungan. [YAH! YAH! Teleponku diangkat!] teriaknya samar, lalu
buru-buru menempelkan ponselnya ke telinga. [HALO HYO!] ucapnya, terdengar
lebih gembira daripada memenangkan lotre. Aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak tersenyum.
“Aku akan datang,” ucapku pelan.
[Ya tentu saja! Kau harus! Tapi aku tidak bisa menjemputmu.]
“Tidak apa-apa, aku bisa naik taksi.”
[Tidak! Salah satu temanku akan menjemputmu besok. Mungkin
Tao atau Myungsoo. Tunggu saja!]
“Baiklah, bye.”
“Baiklah, bye.”
[Tidak, jangan bye.
Aku masih ingin bicara denganmu. Apa saja.] Membayangkan apa yang akan kulakukan besok seketika membuat mataku memanas.
“Bye.” Aku
langsung mengakhiri sambungan, mengusap genangan air di pelupuk mata.
“Ini mudah. Aku hanya harus datang, melihatnya tersenyum
mengatakan betapa ia mencintaiku, lalu menolaknya dan mendapatkan uang dari
Jill. Kedengarannya sangat mudah.” Hyo Jin tak bisa menahan isakannya. “Mudah
Hyo, itu mudah. Bukankah Yu Jin bilang jauhi L.Joe? Bukankah L.Joe bilang dia
akan menikahi gadis baik-baik?” Hyo Jin terisak lebih dalam. Matanya berair,
beberapa butir terjatuh melewati pipinya.
“Jangan tergiur dengan hal-hal seperti ini.” Hyo Jin terus
bicara sendiri, sambil mengusap air matanya yang tak mau berhenti.
“Walaupun sekarang dia mengencani perempuan sepertimu, pada
akhirnya dia akan menikahi perempuan seperti Jin Ah. Betapa berengseknya.” Aku membenamkan kepalaku di bantal. Aku tak tahu sepenggal kalimat bisa
membuatku tersinggung sedalam ini. Aku benar-benar merasa tak ada artinya. Dan
itu adalah perasaan paling buruk selama 21 tahun hidup. Bodohnya, yang
membuatku tersinggung malah tak sadar sudah membuatku tersinggung.
TBC
Apapun yang terjadi.. next partnya akan selalu ditunggu.. cerita yg keren!! Semangat terus dalam menulis!! Hwaiting
ReplyDeleteSip makasih yaaaaaaaaaa ^^
Deleteditunggu lanjutannya min, segera ya
ReplyDeletengomong - ngomong mino disini itu mino winner kah?
trus aku juga gak tau yang mana james.
Iya pasti aku lanjut (tp g yakin bisa 'segera' hehe)
DeleteYep, bener Mino winner.
Kalo James, dia bassist-nya royal pirates~ (tp g papa bebas kamu mau bayangn james yg mana)