Vampire Bride - Part 4
Setelah 20 menit mencari, Yuta akhirnya berhasil menemukan Ye Eun di atap, tengah tidur meringkuk di sebelah
pot-pot tanaman. Seorang tetangga takut-takut memberi tahu mereka berdua (Yuta dan Edawn)—yang
tanpa malu-malu menggeledah semua lantai apartemen—bahwa ia melihat gadis itu
naik ke atap pukul 4 dini hari tadi, tak diragukan lagi bermaksud bersembunyi
sebelum akhirnya ketiduran sendiri.
Meski sudah ketemu, kedua pria
itu tak langsung membangunkannya. Mereka hanya berdiri, dengan sabar menunggu
sang gadis bangun.
“Sudah puas tidurnya eh, putri
tidur?” cemooh Yuta begitu Ye Eun akhirnya membuka mata. Gadis itu mengerjap
sekali, mengedarkan pandangannya pada dua pria di sekelilingnya sebelum
terperanjat dan refleks berdiri. Napasnya tercekat. Dia berdiri merapat di
jeruji logam sambil menatap mereka berdua dengan mata membelalak ketakutan.
“A-aku tidak bisa.”
“Tidak bisa apa?”
“Tidak bisa. Pokoknya tidak bisa.
B-biarkan aku berpikir lagi!”
Edawn memutar mata. Bak hilang
akal, ia mengayun kakinya, hendak menendang pot bunga yang tergantung di
samping kepala Ye Eun—yang untungnya digagalkan oleh Yuta.
“Edawn, apa yang kau lakukan!”
hardik pria itu.
“Harusnya kau tanya pada dia! Manusia
ini benar-benar….”
“Sudah, tenanglah!” sergah Yuta,
kemudian kembali menatap Ye Eun penuh pengertian. “Aku mengerti. Tapi bisakah
kau berpikir sambil ikut aku?”
Ye Eun membuat gerakan antara
mengangguk dan menggeleng. Tak mau bilang iya tapi juga terlalu takut untuk
menolak karena Edawn terus memelototinya.
“Aku janji tak akan ada yang
menyakitimu,” tambah Yuta. “Kau boleh ajak temanmu yang galak itu jika kau tak
percaya padaku. Aku akan suruh Yanan menjemputnya.”
**********
Ye Eun berjalan di sebelah Yuta
dengan gelisah. Mereka berdua melangkah dalam diam, menyusuri trotoar yang sepi nan
panjang sebelum akhirnya masuk ke toko baju pengantin yang baru buka.
“Pilihlah yang kau mau,” suruh
Yuta.
“P-pilih katamu? Bukankah kau
bilang aku boleh berpikir dulu?”
“Ya. Silahkan berpikir sambil
lihat-lihat.”
Saat itu, pintu toko berdenting
lagi dan Yanan pun masuk bersama teman Ye Eun satu-satunya. Ji Won berteriak
kencang, Ye Eun menyambutnya dengan teriakan yang tak kalah kencang, mereka
terkesiap satu sama lain dan saling bergenggaman tangan dengan dramatis seolah
sudah terpisah ribuan tahun. Keduanya berdiri di belakang tirai dan mulai
berbisik-memekik.
“Ji Won! Astaga aku senang sekali
melihatmu!”
“Kau baik-baik saja?”
“Ya. Aku baik. Tapi coba kau
bayangkan bagaimana bisa dia sudah ada di sini!” Ye Eun melirik Yuta dari celah
tirai. “Aku memikirkannya semalaman sampai tak bisa tidur. Aku sudah telepon
ibuku dan dia kedengaran gembira sekali. Dia bahkan minta maaf karena tak bisa
datang ke pernikahannya. Ayahku juga bilang kalau aku beruntung karena
menemukan Yuta. Apa-apaan! Dia bilang cowok astral itu pria yang hebat dan
bertanggung jawab! Kau paham apa maksudnya itu?”
“Dia mengerjakan ladang?”
“Benar!! Ayahku cuma akan memberi
pujian semacam itu pada orang yang sanggup mengerjakan ladangnya dengan
sempurna.”
“Itu gila.”
“Aku tahu! Bagaimana bisa dia
pergi ke Jeonnam, mencuri hati ibuku, mengerjakan ladang lalu pulang lagi ke
Seoul dalam waktu kurang dari 9 jam? Aku yakin 100% dia bukan manusia.”
“Akhirnya kepalamu berfungsi
juga.”
“Ji Won serius!”
“Aku juga serius! Ingat tidak? Terakhir,
kau bilang padaku, kau tak peduli dia makhluk macam apa yang penting dia kaya
raya.”
“Tapi sekarang aku takut.”
“Memang seharusnya begitu.”
“Pokoknya kau harus membantuku
kabur dari sini. Aku akan pindah ke Norwegia dan memalsukan identitas.”
“Dasar sinting! Lebih baik kau
cepat pilih gaunnya.”
“A-apa?”
“Yuta itu manusia.”
“Eh?”
“Yanan cerita padaku kalau dia
pergi dengan pesawat pribadi,” jelas Ji Won, menanggalkan raut panik
dibuat-buatnya lalu tersenyum semringah menatap Ye Eun yang mengernyit. “Shin
Ye Eun, sahabatku yang paling kucinta, cecunguk yang mau menikahimu itu
ternyata kaya sekali. Tebak tadi aku dijemput ke sini naik apa?” Ji Won
mengumbar senyum penuh gairah sebelum menjawab sendiri dengan pekikan tertahan,
“Limosin!!”
“Apa? Bagaimana bisa kau naik
limosin sedangkan aku jalan kaki?”
“Tch, sudahlah, ayo kubantu
memilih gaunnya. Jangan biarkan tuan muda Nakamoto Yuta menunggu.”
“Ya ampun! Kau memanggilnya tuan
muda!”
“Nah, lihat gaun yang itu!”
**********
“Terima kasih,” kata Yuta begitu
Yanan duduk di sebelahnya.
“Tidak masalah.”
“Apa yang kau katakan pada
asosiasi sampai mereka mau mencairkan uang manusia sebanyak itu dalam waktu
semalam?”
Yanan mendenguskan senyum, lalu
menepuk-nepuk dadanya sok penting. “Asosiasi tunduk padaku.”
“Cih, serius. Apa yang kau
katakan? Aku tahu seberapa susahnya mengubah peraturan asosiasi. Aku sudah
bolak-balik ke sana untuk minta keringanan tapi tak pernah digubris. Apa kau
menjanjikan sesuatu?”
“Umm, yeah, tidak banyak.”
“Apa yang kau janjikan?”
“Waktu mencari pengantinku hanya
akan dikurangi.”
“Apa? Berapa lama?”
“Setengahnya.”
“HAH!!”
“Yuta, pelankan suaramu!”
“Tolol! Kau selalu butuh 12 bulan
penuh untuk…”
“Pelankan suaramu!” Yanan
menyela, menarik duduk Yuta yang berdiri melotot di hadapannya.
“Dasar idiot! Kau harusnya….”
“Dengar,” lagi-lagi Yanan
menyela. Ia mengubah posisi duduknya dan menatap Yuta meminta pria itu tenang,
“Aku masih punya 60 tahun lebih sebelum waktu mencari pengantinku dimulai.
Sedangkan kau hanya punya 15 jam sebelum jadi debu. Aku mengerti yang mana yang
harus kuprioritaskan. Lagi pula,” Yanan mengangkat bahu, “Aku tidak sendirian.
Aku punya kau dan Edawn, dan aku tahu kalian pasti akan membantuku nanti. Jadi
serius, apa yang harus kutakuti?”
Yuta terenyuh sekali. Ia
memandang temannya itu sambil menghela napas. “Kau seharusnya jadi malaikat
bukan vampir.”
Yanan kontan menyemburkan tawa.
“Nah, gunakanlah teknik merayumu yang kampungan itu untuk mengambil hati Nona
Pengantin,” cemoohnya, “kurasa dia masih takut padamu.”
Ekspresi Yuta langsung berubah
keruh lagi. “Memang,” jawabnya jengkel. “Aku tak mengerti. Apa sih yang
kulakukan sampai dia setakut itu? Kau yakin dia tak tahu apa-apa soal vampir
dan ritual kita untuk hidup abadi, kan?”
“Tentu saja tidak.”
“Kalau begitu kenapa dia harus
segemetar itu saat berjalan denganku?”
“Mungkin auramu membuatnya
terintimidasi? Entahlah,” Yanan mengangkat bahu.
“Dia bilang masih mau berpikir
lagi.”
“Kalau begitu tidak ada cara lain,”
kata Yanan. “Kita harus buat perjanjian tertulis dengannya. Manusia selalu
merasa lebih aman dengan adanya ‘hitam di atas putih’.”
“Cih, perjanjian macam apa lagi,
eh? Aku sudah melakukan banyak sekali hal bodoh kemarin demi tanda tangan
orangtua gadis itu!”
“Aku mengerti, tapi kau harus
sadar bahwa pernikahanmu saat ini berbeda dengan pernikahanmu di abad-abad
sebelumnya. Pernikahan ini tidak didasari rasa suka sama sekali, dia bisa
menolakmu kapan saja, jadi.. hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah membuat
gadis itu tenang,” jelas Yanan. “Tujuan kita saat ini adalah nikahi dia. Soal
ritual bisa kita pikirkan nanti.”
“Ini benar-benar merepotkan.”
“Aku tahu, tapi kau masih mau
hidup, kan? Tidak mau mati muda, kan?”
Yuta mendecih lagi.
“Ikuti saja kata-kataku!”
**********
Ji Won muncul dari balik tirai
kira-kira tiga jam kemudian. Wajahnya berseri-seri, berbanding terbalik dengan
dua pria di hadapannya yang nampak kusut sekali karena terlalu lama menunggu.
“Apa Nona Pengantin sudah
menemukan gaun yang dia suka?” tanya Yanan seraya menegakkan posisi badannya.
Ji Won mengangguk-angguk,
kemudian bertanya dengan suara kelewat antusias. “Kalian sudah siap?”
“Siap apa?” tanya Yuta.
“Melihatnya.”
“Kenapa kami harus siap?” sahut
pria itu muak. “Suruh dia segera keluar!”
“Ya ampun! Baru saja aku mulai
menyukaimu, sekarang kau sudah bertingkah menyebalkan lagi.”
Yuta memutar mata. “Bukan kau
yang harusnya menyukaiku, jadi aku tak peduli.”
Ji Won terlihat begitu terhina.
Yanan mendesah melihat situasi ini dan segera berdiri untuk menengahi.
“Kami tak sabar menunggu temanmu dengan baju pengantinnya. Kami sudah menunggu 3 jam jadi.. yeah, kami jelas
agak kelelahan, kan? Apalagi Yuta. Dia baru saja pulang dari Jeonnam kemarin
malam.”
“Aku minta dia sekalian dirias
karena kau bilang pernikahannya hari ini. Jadi wajar kan kalau agak lama
sedikit?” ujar Ji Won sewot, tak lupa melirik Yuta penuh kebencian. Yuta balas
meliriknya, lantas membuang muka.
“Oh, benar. Tentu saja dia harus
dirias. Maaf tak terpikir olehku,” kata Yanan, “kurasa aku dan Yuta sudah siap
melihatnya. Jadi bisakah ia keluar sekarang?”
“Yeah, bisakah aku keluar
sekarang?” teriak Ye Eun dari balik tirai.
Setengah hati, Ji Won meleret
ring logam penutup tirainya ke samping dan seketika itu juga tampaklah Ye Eun
dengan gaun putih gadingnya yang elegan. Wajahnya memerah dan dia tampak
malu-malu. Gadis itu merasa (dan sesungguhnya memang terlihat) cantik sekali
tapi Yuta cuma menatapnya dengan datar lalu berkata, “Nah, jika kau sudah
selesai, bisakah cepat duduk di sini? Ada yang mau kubicarakan lagi.”
Ji Won dan Ye Eun saling pandang,
kemudian menggelengkan kepala tak habis pikir. Dengan langkah perlahan, mereka
lantas duduk di hadapan Yuta sambil sama-sama menahan diri untuk tidak
melempari muka heksagon menyebalkannya itu dengan sesuatu. Apa sih salahnya memuji sedikit?, batin Ye Eun, masih tak terima.
Saat itu, Yanan memulai
dialognya, “Aku tahu kau masih menyimpan keraguan soal pernikahan ini. Maka
dari itu, untuk memastikan kalau Yuta akan menunaikan janjinya untuk memberimu
uang, menyekolahkan adikmu, mengurus kebutuhan finansial keluargamu dan
sebagainya, kupikir sebaiknya kita menuangkan ini dalam perjanjian tertulis,”
kata Yanan sembari menyodorkan selembar kertas kosong pada Ye Eun. “Kau bisa
tulis apa-apa lagi yang kau inginkan dari Yuta dan kalian akan
menandatanganinya bersama.”
“Apa kau juru bicaranya?” tanya
Ji Won seraya melirik Yuta sinis. Gadis itu benar-benar tak tahan melihat Yuta hanya bersandar
di kursinya sambil bersedekap angkuh selama Yanan bicara. “Lalu di mana si muka mabuk itu? Biasanya
kalian selalu bertiga.”
“Pertama-tama,” Yanan mendesah.
“Aku bukan juru bicaranya, tapi temannya. Dan seperti yang kubilang, Yuta
sedang sangat lelah karena perjalanannya ke Jeonnam kemarin. Dia melakukan
banyak sekali hal melelahkan di sana dan kau tak mengerti kondisinya sekarang.”
Ji Won teringat perkataan Ye Eun soal Yuta yang sedang sekarat dan tiba-tiba
saja jadi merasa bersalah. Mungkin seharusnya dia tak perlu sekasar itu pada
orang yang sebentar lagi mati.
Yanan melanjutkan, “Dan yang kau
sebut si muka mabuk itu,” dia mendesah lagi, “Dia juga temanku dan dia punya nama.
Edawn. Kita sebaiknya sepakat mulai sekarang untuk menyebutnya begitu.”
“Wah, baru kali ini aku bertemu
seorang ‘teman’ yang begitu protektif. Luar biasa,” balas Ji Won dengan nada
mencela. “Oke, ke mana Edawn?”
“Dia sedang mengurus gedung
pernikahannya.”
“Tunggu, apa katamu! Apa kalian
menyiapkan segalanya cuma bertiga? Dalam waktu sehari? Di hari pernikahan itu
sendiri?” Ji Won terperangah.
Yanan tersenyum dan mengangguk,
yakin sekali kali ini ia akan menerima pujian.
“Pantas saja semuanya
berantakan,” sambung Ji Won, membuat kebanggaan di wajah Yanan luntur seketika.
Gadis itu lantas mengalihkan pandang pada Yuta dengan ekspresi tak habis pikir.
“Apa kau sepelit itu sampai tak mau menyewa event
organizer?”
“Kami secakap itu sampai tak butuh event
organizer,” balas Yuta sengit.
“Aku sudah selesai.” Tiba-tiba
saja Ye Eun berkata. Semua orang menoleh dan terkejut melihat kertasnya sudah
terisi penuh. Tak ada yang sadar kapan gadis itu mulai menulis.
Yuta segera menyambar kertas itu
dan membacanya dengan wajah datar. Lantas membubuhkan tanda tangannya begitu
saja. “Nah, ayo,” katanya.
“Ayo apa! Dasar muka heksagon!”
teriak Ji Won sewot. Yuta yang sudah setengah berdiri menoleh padanya sambil
mengernyit. “Kau akan menikah dengan kaos belel begitu?”
Yuta langsung menunduk menatap
bajunya—kaos hitam berlengan pendek yang jauh dari kesan belel—lalu menoleh lagi
pada Ji Won dengan defensif seolah menantang ‘mana yang kau sebut belel, huh?’.
Gadis itu mendengus frustasi sebelum berdiri, menghampiri seorang pekerja di
sudut ruangan yang lantas mengangguk ramah dan menggiringnya memasuki tirai.
Beberapa saat kemudian, gadis itu
kembali dengan beberapa setelan tuxedo. Semuanya didominasi warna hitam
(dengan tingkat kelegaman yang berbeda), juga silver (yang berkilau
berlebihan), atau putih (yang sama sekali tidak disukai Yuta). Yuta langsung
menyambar jas hitam yang paling sederhana bahkan sebelum Ji Won menyuruhnya
memilih.
“Bagus. Sudah kuduga seleramu
seperti itu. Kau memilih yang paling cocok untuk dipakai ke pemakaman,” hina Ji
Won. “Tapi terserah, lebih baik kau cepat pakai. Aku akan meminta pekerja di
sini untuk menata rambut kusutmu itu.”
“Tunggu, menata rambut? Ya ampun,
kita tidak punya waktu untuk itu.”
“Kata siapa? Tentu saja kita
punya.”
“Heh, kau sadar tidak sih Edawn
sedang menunggu di..”
“Menata rambut cowok itu cuma
sebentar,” sela Ji Won geram. Hidungnya kembang kempis. “Justru dengan kau
masih berdiri di sini, melotot dan menentang semua ucapanku, dan bukannya
cepat-cepat mengganti pakaianmu, itulah yang membuang-buang waktu.”
Yuta bisa merasakan napas penuh
emosi keluar dari hidungnya. Ia melirik Yanan (yang cuma mengangguk dengan
tampang pasrah seolah berkata ‘ikuti saja permintaannya’), kemudian melirik Ye
Eun yang nampak sibuk dengan dunianya sendiri, gadis itu sedang melipat surat
perjanjian mereka dengan telaten lalu menyelipkannya ke dalam pinggiran tas.
Yuta mendengus, sadar kalau ia memang sedang membuang-buang waktu. Pria itu
kembali mengarahkan pandangannya pada Ji Won, matanya menyipit dengan dengki
sebelum berbalik, masuk ke bilik dan menutup tirainya kasar.
Seperti yang dikatakan Ji Won,
menata rambut cowok tidaklah lama. Hanya dalam waktu 20 menit, Yuta sudah
kelihatan seperti pengantin sungguhan. Seolah ikut merasakan aura gelap dalam
diri sang calon pengantin, si perias menggunakan make up yang begitu kuat untuk
mata Yuta. Membuat aura mengerikannya semakin menjadi-jadi. Namun untuk alasan
tertentu, alih-alih takut, Ji Won dan Ye Eun justru amat menyukai hasil
akhirnya. Mereka tertegun dan memandangi Yuta seolah baru pertama kali
melihatnya. Ye Eun agak tersinggung karena seharusnya inilah reaksi yang ia
dapat dari Yuta dan bukan sebaliknya. Bukankah
kemarin dia lah yang berkata ‘aku melihatmu dan serta-merta jatuh cinta’ dengan
mata sendu? Tapi kenapa pria sial ini justru bersikap seolah tak menyukaiku
sama sekali? Bahkan bisa-bisanya dia memandangku dengan muka datar di saat aku
berpenampilan secantik ini?
“Nah,” Yanan berdiri. “Ayo kita
berangkat sebelum Edawn mengamuk dan merubuhkan gedungnya.”
**********
Kaki Ye Eun menyentuh lantai
altar dan lututnya langsung gemetar. Gedung itu luas dan tinggi sekali,
dekorasinya didominasi warna putih dengan bunga-bunga Lily dan Edelweis asli.
Di kanan kirinya ada puluhan orang tak dikenal yang langsung berdiri dan
menatapnya dengan kagum.
Sembari berjalan pelan bersama Ji
Won di sebelahnya, Ye Eun memandang berkeliling. Rasanya benar-benar seperti
mimpi. Yuta yang sudah menunggu di panggung altar bersama seorang pendeta
setengah botak menoleh padanya dan tersenyum, dan Ye Eun merasa hatinya
ketumpahan cairan hangat. Yuta entah bagaimana terlihat lebih bersinar di sana,
di antara lilin-lilin dan bunga lily, dengan tuxedo hitam dan senyum yang tidak
seperti seringaian. Ye Eun balas tersenyum, sesaat terbersit di benaknya,
menikahi seorang Nakamoto Yuta mungkin tidak seburuk perkiraannya.
Saat itu, tiba-tiba saja Ji Won
berhenti berjalan dan menarik tangannya dari tangan Ye Eun. Ye Eun terkejut dan
menoleh padanya. Ji Won nampak begitu syok, jarinya menunjuk-nunjuk
ke belakang seperti melihat hantu. Ye Eun menoleh ke belakang dan seketika air mukanya berubah. Dari ambang
pintu, ia melihat ayahnya datang bersama Edawn dan Yanan, semuanya memakai
setelan jas hitam dengan bunga mawar di saku. Ji Won mengambil langkah mundur
dan ayah Ye Eun tergopoh-gopoh menggantikan posisinya sambil menahan tangis.
Wajah keriputnya nampak begitu berseri-seri.
“Ayah bilang tak bisa datang,”
kata Ye Eun setengah merajuk.
“Kukira begitu, tapi tadi ada
yang menjemput kami.”
“Kami?”
Sebagai jawaban, Ye Eun melihat
ibunya dan Yeon Ju (sang adik) tengah berlari-lari kecil mengitari aula gereja
yang luas untuk duduk di kursi paling depan. Hatinya mencelos luar biasa.
Semua keluarganya ada di sini.
“Ayo,” ajak sang ayah. Ye Eun
tersadar sejak tadi mereka hanya berdiri di tengah-tengah. Piano pengiring pun
kembali dimainkan. Altarnya panjang sekali. Rasanya Ye Eun sudah berjalan lama
tapi ia bahkan belum setengah jalan menuju Yuta.
Yanan dan Edawn duduk di kursi
paling belakang dan saling mengadu kepalan tangan mereka dengan wajah puas.
“Kerja bagus.”
“Yeah, kerja bagus.”
“Bayangkan kalau kita tak bisa
teleportasi.”
Yanan mendengus dan menggeleng,
“aku bahkan tak bisa membayangkannya.”
“Yeah. Atau bayangkan jika uang
dari asosiasi belum cair. Menikah di abad ini benar-benar luar biasa. Aku sudah
memakai setengah dari yang diberikan asosiasi hanya untuk hari ini.”
“Apa? Jangan sinting!” Yanan
terbelalak. “Kita menghabiskan uang sebanyak itu?”
“Ya ampun, aku serius. Rasanya
seperti habis dirampok. Sewa gedung, dekorasi, katering. Aku juga harus
membayar para tamu bayaran itu, masing-masing 40.000 Won. Belum lagi pesawat
pribadi yang ditumpangi keluarga Ye Eun.”
“Kenapa kau menyewa pesawat
pribadi, dasar bodoh!”
“Tak ada penerbangan ke Seoul
sebelum jam 2!” balas Edawn tak mau kalah. “Dengar, aku sudah banting tulang untuk
menyiapkan semua ini. Aku benar-benar tak sudi disebut bodoh, apalagi olehmu.
Sejak tadi apa yang kau lakukan, eh? Kau cuma jemput Ji Won untuk temani Ye Eun
beli gaun pengantin, dan gaunnya bahkan tak bagus-bagus amat.”
“Itu pilihannya sendiri, aku tak ikut
andil,” Yanan membela diri. “Dan sekadar mengingatkan, akulah otak dari ini
semua. Kau hanya menjalankan instruksiku, jadi lebih baik tutup mulutmu.”
“Woah, si idiot ini sudah
berani…”
“Aku juga yang mendatangkan
pendeta terbaik dari asosasi,” Yanan menyela, mengedikan kepalanya pada pendeta
vampir di depan.
“Memangnya kau pikir aku tidak
tahu cuma ada 2 pendeta di asosiasi dasar sialan!” Edawn memukul kepala
belakang Yanan dan saat itulah Ji Won yang—entah sejak kapan—duduk di sebelah
mereka melotot lebar sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir.
“Mereka sedang mengucapkan janji
pernikahan, aku tak mau ketinggalan bagian ini,” bisik Ji Won bersungut-sungut.
“Berani bicara lagi aku akan meninju kalian berdua sampai gigi-gigi kalian
meluncur keluar dari batok kepala.”
Yanan terbeliak dan langsung
memegangi kepalanya, sementara Edawn mendenguskan tawa menghina, “Woah, untuk
ukuran manusia yang tingginya tidak sampai 5 kaki, nyalimu besar juga ya.”
“Tinggiku 5’2’’ dasar brengsek!”
Saat itu, tiba-tiba saja semua
orang berdiri dan bertepuk tangan. Yuta dan Ye Eun sudah sah menjadi pasangan
suami-istri dan Ji Won ketinggalan bagian favoritnya kerena membahas tinggi
badan.
“Ini semua gara-gara kau,”
tuduhnya pada Edawn.
“Siapa yang mengajakku bicara
duluan?” balas sang pria enteng, sembari berdiri dan bertepuk tangan seperti
yang lain.
Ji Won jengkel setengah mati,
namun tetap memaksa dirinya untuk berdiri. Sambil bertepuk tangan, ia mengamati
wajah Ye Eun yang nampak begitu bahagia, dan tiba-tiba saja rasa kesalnya luruh
begitu saja. Ia tersenyum, bertepuk tangan lebih keras dan seketika merasa dua
kali lipat lebih bahagia.
*********
Selepas acara, Edawn dan Yanan
menunggu di luar sementara Yuta, Ye Eun dan keluarga gadis itu bicara di gedung
pemberkatan yang sedang dibersihkan.
Pembicaraan mereka hanya seputar
betapa bahagianya orangtua Ye Eun karena gadis kecil mereka menemukan ‘pria
baik’ yang mau menikahinya—seolah jika tidak ada Yuta, gadis itu tidak akan
menikah selamanya.
Pembicaraan penuh haru itu pun
akhirnya berakhir. Satu per satu, mereka memeluk Ye Eun dan menyalami Yuta
sebelum akhirnya keluar.
“Tolong jaga anakku baik-baik,”
bisik ayah Ye Eun, saat yang lain sudah setengah jalan menuju pintu. “Kau harus
tahu, aku sama sekali bukan orang yang mudah percaya pada orang lain, apalagi
jika itu menyangkut anakku. Tapi setelah melihat kesungguhanmu kemarin, aku
yakin kau orang yang tepat,” tutupnya sambil menepuk pundak Yuta. Ia tersenyum
tulus sekali sampai Yuta merasa terbebani.
Orang tepat apa? Apa dia bisa bicara seenteng ini soal ‘kepercayaan’
hanya karena aku mengerjakan ladangnya dengan cepat?
Yuta tak bisa membalas perkataan
itu dan hanya mengangguk tipis. Pria setengah baya itu lantas menepuk pundak
Yuta sekali lagi sebelum berjalan mengikuti yang lain ke pintu keluar.
*********
“Tapi kenapa kau tidak langsung
pindah ke rumahku malam ini saja?” tanya Yuta, mengernyit.
“Sudah kubilang,” Ye Eun
bergumam, “Aku masih ada waktu beberapa hari sebelum diusir dari apartemenku.”
“Satu hari,” ralat Ji Won.
“Yeah, tapi tetap saja. Pokoknya
aku akan memanfaatkan waktu sesedikit apa pun itu untuk jauh darimu.”
“Jauh dariku?” ulang Yuta,
tersenyum mencela. “Kau mencengkram tanganku sepanjang hari dan sekarang kau
bilang mau jauh dariku?”
Muka Ye Eun memerah, “Itu
karena…”
“Kau juga kelihatan bahagia
sekali dari tadi,” tambah Ji Won.
“MOON JI WON!”
Yuta menyunggingkan senyum tipis. “Baiklah, aku tak akan
memaksa. Datanglah ke rumahku kapan pun kau siap. Kau sudah tahu alamatnya,
kan? Jadi aku tak perlu menjemputmu lagi.”
“Yeah,” kata Ye Eun, tidak
memandangnya.
“Kalau begitu kalian berdua
naiklah ke mobil. Pulang dan istirahat.”
“Lalu kau dan anak itu bagaimana?” tanya Ji
Won, matanya memandang Edawn yang sudah tepar di anak tangga.
“Kami akan menunggu Yanan,” kata
Yuta, hanya beralasan. Sebenarnya, mereka sudah benar-benar lelah sampai tak
mau lagi naik mobil. Yuta akan langsung teleportasi ke rumahnya, Edawn akan
langsung kembali ke dunia vampir, begitu pun Yanan—yang saat ini masih
mengantar keluarga Ye Eun ke bandara.
“Baiklah. Sampai ketemu lagi.” Ji
Won dan Ye Eun melangkah menuruni tangga menuju mobil. Sebelum masuk, Ji Won
kembali menoleh pada Yuta, “Oh, Yuta-ssi, aku lupa bilang. Selamat padamu.
Acara ini hebat sekali. Aku benar-benar kagum, apalagi kalian mengerjakan
segalanya cuma bertiga.”
“Yeah, makasih.”
“Dan aku tak menyangka kau punya
teman sebanyak itu.”
“Teman? Oh, itu, ya, dan.. uh, kau tahu, karena
waktunya sangat singkat, maaf aku tak sempat mengundang teman-teman Ye Eun.”
“Kau sudah mengundang mereka
semua. Teman Ye Eun cuma aku. Serius, kalau tidak ada teman-temanmu yang banyak
itu, pesta ini akan menyedihkan sekali.”
Ye Eun yang sudah masuk mobil
mengulurkan badannya untuk mengeplak kepala Ji Won dan menariknya masuk ke
dalam mobil. Pintunya tertutup dengan gaduh. Detik setelahnya, Ji Won
menurunkan kaca mobil dan berteriak, “Pokoknya kutarik semua ucapan burukku, penilaianku padamu sudah
berubah, jadi please, kalau bisa
jangan membuatku membencimu lagi. Kau bahkan mendatangkan langsung orangtua Ye
Eun dari Jeonnam. Aku benar-benar terharu.”
Yuta tersenyum, mengucapkan
terima kasih dalam gumaman lelah lalu melambai sementara mobil itu mulai
melaju. Pria itu lantas mendekat pada Edawn dan menendang sisi tubuhnya sampai
bangun.
“Kau bisa kembali sekarang. Tak
ada siapa-siapa lagi di sini.”
“Di mana Yanan?” tanyanya sambil
mengerjap.
“Entahlah, coba kau panggil.”
Edawn yang baru bangun tidur itu
bersusah payah berkonsentrasi. “Yanan,” panggilnya. Mereka bertiga terhubung
dalam telepati. “Kau di mana?”
[Keluarga Ye Eun baru saja naik
pesawat. Aku sedang cari toilet supaya bisa teleportasi dengan aman.]
[Jadi,] lanjutnya, [Apa kita
harus berkumpul lagi atau….]
“Tidak, kau bisa pulang ke dunia
vampir,” kata Yuta.
[Oh, oke, baiklah kalau begitu.]
[Omong-omong, kerja bagus hari
ini.]
“Yeah, selamat kepada si dungu
ini karena tidak jadi debu,” gurau Edawn, sembari mendongak pada Yuta yang
langsung menendangnya.
[Coba periksa tanganmu.
Seharusnya angkanya sudah berganti dengan tiga titik kecil. Biasanya itu yang
terjadi padaku kalau tidak langsung melakukan ritual di malam pernikahan,]
suruh Yanan, sementara ia berbelok mengikuti plang menuju toilet.
Yuta mengangkat tangannya dan
tersenyum, menunjukkannya pada Edawn—yang turut bernapas lega. “Ya, aku sudah
dapat tandanya.”
[Syukurlah. Masing-masing dari
titik itu menandakan purnama. Mereka akan menghilang setiap kali kau melewatkan
satu purnama,] jelas Yanan, berusaha bicara tanpa menggerakkan mulutnya agar
tak ada manusia yang memergokinya sedang bicara sendiri. [Untuk seorang
Nakamoto Yuta, membuat Nona Pengantin jatuh cinta seharusnya sama sekali tidak
sulit, kan?]
“Tentu saja.”
[Bagus kalau begitu.] Yanan masuk
ke dalam bilik toilet. Sementara Edawn bediri dan menyandangkan jasnya di bahu.
Mereka semua sudah siap untuk teleportasi.
Sebelum semuanya menghilang, Yuta
menarik napas dalam dan bergumam, “terima kasih.”
Edawn menahan kakinya, memaksa
kepalanya untuk tidak menoleh pada Yuta yang saat ini berdiri persis di
sebelahnya. Sementara itu di bilik kamar mandi bandara, Yanan juga terdiam.
Yuta mengulangi, “Terima kasih
sudah berbuat sebanyak ini untukku. Jika tak ada kalian, persis jam segini,”
Yuta memandang jam tangannya yang menunjukkan bahwa hari sudah berganti, “aku
sudah tak ada lagi.”
Mereka semua merasa hatinya
mencelos hingga tak ada yang mampu menjawab. Edawn melirik Yuta sebentar lalu menghilang
duluan.
“Beri tahu kami jika kau butuh
bantuan,” kata Yanan, kemudian turut menghilang menyusul Edawn.
Yuta kembali memandang tiga titik
di tangannya. Perjuangannya untuk mendapatkan hidup abadi selama seratus tahun
ke depan belum selesai sampai di sini.
Pria itu menghela napas berat, sesaat sebelum wujudnya menghilang di tengah kegelapan.
Pria itu menghela napas berat, sesaat sebelum wujudnya menghilang di tengah kegelapan.
TBC
Comments
Post a Comment