#2 On The Way - Produce 45






Cast:


Mark Tuan  ~  Nam Chaerin (OC)




Genre:


Romance (AU - Alternate Universe)





o  O  O  O  o





Menghabiskan waktu sepanjang hari di sekolah selama satu semester sudah cukup membuat aku menyadari bahwa ada perasaan berbeda yang aku rasakan setiap kali Mark berada di dekatku. Bukan.. bukan Mark Lee si ketua kelas, tetapi Mark Tuan. Anak laki-laki yang selalu menghabiskan waktu istirahat keduanya dengan bernyanyi dan bermain gitar di belakang kelas.



Kebiasaannya itu membuat aku menjadi ikut terbiasa untuk mendengar suaranya setiap kali kembali dari kantin bersama Cheonsa, Sora, dan Hara. Aku segera menarik kursi untuk membaurkan diri dengan teman laki-laki ku demi mendengarkan dia bernyanyi. Terkadang tanpa sadar, aku ikut menyenandungkan lagu yang ia tengah nyanyikan dengan diiringi petikan gitar oleh salah satu teman ku yang lain.



Namun, kebiasaan itu perlahan memudar saat ia memutuskan untuk pindah karena permasalahan pribadi. Tidak ada lagi suara berat khasnya setiap kali aku kembali dari kantin bersama ketiga sahabatku, walau kebiasaan bernyanyi bersama di belakang kelas masih terus berlanjut. Walaupun begitu, aku masih tetap membaurkan diri ku bersama yang lain dan mendengarkan mereka bernyanyi hingga waktu istirahat berakhir.



Kepergiannya membuat perasaanku tiba-tiba mendingin. Aku tidak lagi merasakan rasa hangat dan berdebar setiap kali tanpa sengaja mata kami bertemu di saat ia tengah bernyanyi. Ya.. aku merasa kehilangan. Kehilangan sosoknya yang setiap istirahat selalu berada pada kubikel paling belakang dengan salah satu kaki yang ia letakkan di atas kakinya yang lain, menyenandungkan bait-bait lagu, tawanya yang pecah setiap kali teman kami salah memainkan kunci gitar, hingga keterburuannya saat tiba-tiba saja guru datang ke kelas untuk mengajar.



Semua itu ternyata tanpa sadar telah menjadi candu bagi diri ku yang lambat laun mulai menyadari bahwa aku mulai jatuh hati pada laki-laki Tuan itu. Hahaha.. lucu sekali bukan. Nam Chaerin kembali mendeklarasikan bahwa dirinya menyukai seorang laki-laki. Dan parahnya laki-laki itu adalah teman sekelasnya yang lain.



Namun memang perumpamaan yang mengatakan bahwa orang baik selalu mendapatkan kebaikan itu ternyata benar. Setelah kepindahannya, kami sempat tidak berkomunikasi untuk beberapa bulan. Sampai akhirnya salah satu temanku mengajak untuk pergi ke sebuah mini market dimana tersedia meja dan jaringan internet yang menjadi tempat bagi kaula muda seperti kami berkumpul. Ajakan itu akhirnya melahirkan sebuah kebaikan untuk ku karena akhirnya aku bisa kembali bertemu dengannya. Ya.. laki-laki Tuan itu, Mark Yi-En Tuan.



Seakan dunia menjadi milik kami berdua, kami menghabiskan sore menjelang malam itu dengan berbincang bersama. Bermula dari saling menanyakan kabar, membagi cerita selama di sekolah, saling melempar lelucon, dan semua itu terus berlanjut melalui sebuah room chat. Setiap hari.. ya, kami selalu berkomunikasi setiap hari. Mark selalu menjadi yang pertama untuk mengirimi ku pesan, baik itu mengucapkan selamat pagi atau menanyakan bagaimana keadaanku.



Namun entah kenapa setelah tiga bulan berlalu, hal itu berubah. Kebiasaan untuk saling memberi kabar berubah saat tiba-tiba saja Mark menjadi jarang mengirimi ku atau membalas pesan yang aku kirim.



Marah.



Kesal.



Tentu saja!



Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi semuanya. Menghapus satu demi satu memori mengenai kebersamaan kami selama ini. Membiasakan diri ku lagi tanpa dia. Mengembalikan kebiasaan hidup ku agar ingatan mengenai sosok Mark dapat memudar.



Namun ternyata semua itu sangatlah sulit. Tidak semudah itu untuk membuang bayangan Mark dari hidupku. Setiap kali aku berusaha, setiap kali itu juga aku merasa merindukannya. Merindukan ia yang setiap pagi selalu memberikan ucapan semangat, setiap jam sekolah berakhir selalu menanyakan bagaimana keadaan dan kabar ku, dan setiap malam yang selalu kami habiskan dengan berbincang hal kecil yang membuat tawa kami pecah.



Hingga setelah beberapa minggu menghilang, akhirnya ia kembali lagi. Ia kembali menghubungiku. Melakukan kebiasaan kami yang sempat terhenti karena dirinya. Dan aku senang, sampai membuat aku lupa pada perasaan ku yang terasa seperti tergores benda tajam karena perubahannya itu.



Sayangnya, perasaan senang yang kami berdua rasakan tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja hadir sebuah masalah dan membuat aku menjadi sangat marah padanya. Jika boleh jujur, masalah antara aku dan Mark adalah masalah kecil yang hanya perlu dibicarakan dengan kepala dingin. Namun karena sikapnya yang suka berubah, kadang hangat dan kadang dingin, serta kami yang sulit sekali bertemu membuat masalah itu lama-lama membesar hingga kami tidak dapat mengatasinya.



Amarahku akhirnya sampai pada sebuah keputusan untuk berhenti mengindahkannya. Tidak peduli jika ia kembali menadi sosok Mark yang hangat. Jika perlu aku berhenti membalas pesannya, walau kenyataannya aku  tetap membalas pesan itu tapi tanpa antusiasme seperti sebelumnya.



Usahaku pun berhasil hingga satu tahun lamanya. Selama satu tahun belakangan ini, aku berhasil menunjukkan sisi dingin ku padanya. Aku menjadi jarang membalas pesannya. Jika pun membalas itu terjadi 2 sampai 3 hari setelah ia mengirimi ku pesan itu. Tidak hanya itu saja, aku juga sama sekali tidak menunjukkan reaksi yang berlebih setiap kali ia menelpon ku. Datar saja. Hanya sekedar menjawab setiap pertanyaan yang dia ajukan.



Hingga akhirnya Mark seakan menyerah. Ia mulai jarang mengirimi ku pesan dan bahkan ia sudah tidak lagi menelpon ku saat malam.



Bagus!



Setelah pergulatan yang cukup panjang dengan sekolah, dan jangan lupakan pergulatan dengan hatiku, akhirnya aku bisa menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan begitu hari libur telah tiba. Aku dan beberapa teman kelas ku yang lain telah membuat rencana untuk berlibur bersama mengunjungi desa dimana nenek Joon, salah satu teman kelasku, tinggal. Dan di sinilah kami sekarang. Berdiri menunggu bus yang akan kami tumpangi datang dan tentunya dengan tas agak besar bertengger di punggung kami.



“Oh iya, Mark akan menyusul kita. Busnya akan berangkat nanti sore, jadi kemungkinan ia akan sampai malam nanti.”



Kepalaku langsung tertoleh pada Chanyeol yang baru saja menyebutkan nama Mark. Baiklah, aku tahu siapa Mark yang ia maksud. Bukan Mark Lee karena laki-laki itu telah memiliki janji dengan keluarganya. Jadi, aku berani menyimpulkan bahwa Mark yang ia maksud adalah Mark Tuan. Ya.. laki-laki yang entah dimana keberadaannya.



Nara berdeham. “Sepertinya ada yang merasa sangat senang, benarkan Nam Chaerin?” Aku tahu ia tengah menggoda ku, tetapi tetap saja aku meladeninya sampai-sampai membuat aku sendiri tanpa sadar menghujaminya dengan pandangan sengit.



“Berisik kau Kim Nara!” Desisku. Beruntung setelah itu bus kami datang dan langsung saja aku melenggangkan kaki menuju bus, meninggalkan yang lain termasuk Nara yang tengah mencoba menahan tawa walau gagal.



“Yah.. tunggu aku Nam Chaerin.” Panggil Nara sembari mengikuti ku masuk ke dalam bus.




*  *  *  *




Malam telah datang dan perasaan khawatir malah semakin mendominasi diri ku. Aku telah berusaha untuk tidak memikirkannya, tetapi melihat jam yang telah menunjukkan tengah malam membuat aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya.



Ya.. Mark Tuan. Laki-laki itu belum juga sampai padahal seharusnya ia sudah sampai sejak 1 jam yang lalu. Hal itulah yang membuat ku akhirnya duduk di depan rumah nenek Joon dengan setiap 5 menit sekali melirik ke ponsel.



Hampir 30 menit aku berada di luar, sampai akhirnya dari kejauhan aku melihat seseorang tengah berjalan ke arah rumah. Buru-buru aku melesat masuk kembali ke rumah, bergabung dengan beberapa temanku yang tengah bernyanyi bersama diiringi alunan gitar oleh Chanyeol.



“Hai..”



Suara itu.. suara berat itu.



“Darimana saja kau? Kenapa baru sampai?” Yongil yang berdiri di depan pintu guna menyambut ke datangannya bertanya.



“Maaf, aku tadi sempat tersesat.” Jawabnya dengan menggaruk tengkuk yang ku yakini tidak gatal.



Aku mendengar Nara berdeham.



“Kau tahu Mark, Chaerin begitu mengkhawatrikan mu sampai-sampai ia menunggu mu sedari tadi di luar. Seharusnya kau memberi kabar pada kami.”



“Yah shut up Kim Nara!” Desis ku. Tidak peduli dengan Nara atau Mark atau yang lainnya, aku langsung meninggalkan ruang tengah menuju kamar dimana tengah tertidur Luna dan juga Juyeon.




*  *  *  *




Kebersamaan singkat di rumah nenek Joon akhirnya harus disudahi. Kami yang telah membeli tiket untuk kembali ke kota segera berpamitan kepada wanita paruh baya itu dan mengucapkan terima kasih karena sudah mau direpotkan. Bermodalkan angkutan desa biasa, kami bergerak menuju terminal dimana bus yang akan membawa kami pulang berada.



Liburan singkat kali ini membuat sebuah perubahan berarti bagi diri ku dengan Mark. Ya.. sejak malam saat ia tiba, dinding tinggi yang ku bangun untuknya seakan runtuh diterjang badai. Aku seperti kembali menjadi sosok Nam Chaerin tanpa misi untuk menjauhi Mark. Kami kembali menjadi seperti Chaerin dan Mark sebelum masalah kecil itu berubah menjadi permasalahan yang sedikit rumit. Dalam hati aku bersyukur, walau jujur ada rasa sangsi akan sikap Mark yang suatu saat dapat berubah tanpa bisa ku cegah.



Setelah menuruni angkutan desa, aku segera mengenakan tasku dan melangkah menuju bus yang tengah menunggu para penumpangnya untuk berangkat. Kakiku melangkah menaiki pijakan di depan pintu dan kemudian merajutnya menuju kursi yang berada di belakang. Tidak.. bukan di paling belakang, tetapi dua baris sebelum deretan kursi paling belakang.



Aku mengangkat tas ku dan meletakannya pada ruang penyimpanan di atas. Lantas mengeluarkan ponsel dan memasang headset. Pemandangan di luar bus yang begitu tenang serta alunan musik lembut yang ku dengar berhasil membuat pikiranku sempat melayang pergi dari raga. Membuat aku seperti berada dalam dunia lain. Hingga aku tidak menyadari kehadiran seseorang di sebelah ku yang tengah sibuk memfokuskan atensinya pada ku.



Aku terkesiap begitu merasakan genggaman pada tangan ku. Kepala ku langsung tertoleh pada pelaku yang berada di samping dan hendak memaki. Namun begitu melihat siapa sosok yang tengah memandang ku dengan lengkungan tipis di bibirnya, niatan itu memudar begitu saja.



“Mark..” Aku bergumam pelan yang terdengar lebih untuk diri ku sendiri.



Aku berusaha untuk melepaskan tangan kami. Namun ia malah semakin mengeratkan genggamannya.



“Bagaimana kalau yang lain melihat Mark?”



Mata ku menatap tajam padanya. Namun Mark malah tergelak singkat sebelum melepaskan jaket yang ia pakai dan menutupi tangan kami dengan kain tebal berwarna hitam itu.



“Selesai.” Mark berujar dengan santai dan pandangannya pun beralih ke depan, melihat ke arah dimana teman-teman kami yang lain datang.



“Wahhh...” Nara yang baru saja menyimpan tasnya berseru senang dengan mata yang membulat sempurna, seperti baru melihat badut yang sedang beratraksi.



Menjengkelkan!



“APA?!” Tanya ku sengit. Ku tatap dirinya dengan tajam seperti seorang pembunuh yang siap untuk menghabisi targetnya.



Nara lantas berdeham. Kepalanya kemudian bergerak ke arah jaket yang separuh berada di atas pangkuan ku dan separuh lagi berada di atas pangkuan Mark.



Ah sial! Gadis ini benar-benar menyebalkan.



“Jika ingin berpegangan tidak usah ditutupi, kami semua paham kok.” Ujarnya dengan senyum yang mengembang sempurna. Jika boleh jujur, senyumnya lebih terlihat seperti seringai kemenangan karena telah berhasil membuat diri ku langsung merasakan panas di sekujur tubuh.



Bagus! Aku yakin kini wajahku telah berubah memerah karena ucapannya dan juga tangan Mark yang masih dengan setianya menggenggam tangan ku. Laki-laki ini seakan tidak peduli dengan kejailan teman-teman kami karena ia tetap bersikukuh untuk saling berpegangan. Perjalan sore itu pun dimulai dengan suara teman-teman kami yang mulai menggoda karena wajah ku yang memerah serta Mark yang dengan setianya menggenggam tangan ku dengan memasang senyumnya yang membuat aku tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum.




E . N . D





감사합니다 ^^ 

Comments

Popular Posts