Vampire Bride - Epilog
Aku terbangun tanpa sedikit pun
mengetahui siapa diriku. Satu-satunya hal yang kutahu adalah aku bangun, aku
hidup, aku berhasil melalui sesuatu yang besar, tanpa tahu sesuatu itu apa. Aku
merasa lega sekaligus sedih. Merasa puas sekaligus kecewa. Dan aku sama sekali
tak tahu alasannya. Jika aku menyingkirkan semua perasaan itu, aku baru bisa
merasakan perasaan yang lain, yang lebih jasmaniah. Aku bisa merasakan rasa sakit
secara merata di sekujur tubuhku. Aku bisa merasakan sesuatu mengentak-entak di
kepalaku.
Aku membuka mata dan menemukan
diriku berada di gedung tua yang nampak sudah bertahun-tahun diabaikan. Aku
baru sadar bahwa saat ini aku tengah berdiriāberjinjit tepatnya, telapak kakiku
tak mampu menjejak di lantai. Punggungku menempel pada dinding bermaterial
papan dan tanganku merentang ke atas, diikat dengan tali di kedua sisi.
āKau mimpi indah?ā tanya seorang
pria sepuluh meter di depanku. Dia menghadap meja, membelakangiku. Aku tak mau
repot-repot berpikir bagaimana bisa ia mengetahui aku sudah bangun. Kepalaku
sudah cukup sakit tanpa harus ditambah-tambah beban pikiran lagi.
Setelah berkata demikian, pria
itu berbalik sambil menyesap kopi yang baru dibuatnya. Dalam perjalanannya
menghampiriku, ia menyeret serta sebuah kursi kayu dan menghelanya setengah
jalan, lantas mendudukkan diri di sana. Menyesap kopinya lagi dan memandangku seolah
aku adalah guci antik di pameran seni.
āJadi,ā mulainya, meletakkan
gelasnya di lantai semen di sebelah kaki kursi. āSiapa kau dan apa yang kau
inginkan dariku?ā
Aku tak tahu. Aku tak tahu siapa
aku dan aku tak tahu apa aku bahkan menginginkan sesuatu darinya. Aku cuma
ingin entakkan rasa sakit di sekujur tubuhku pergi. Aku inginā¦ tunggu, aku
mungkin memang menginginkan sesuatu darinya. Ya, aku ingin dia melepasku.
Karena nampaknya setengah dari rasa sakit yang kurasakan ini disebabkan oleh
posisiku sekarang.
āAku mau kau melepasku,ā kuberi tahu dia.
āAku akan melepasmu kalau kau
menjawab pertanyaanku,ā balasnya ketus, kemudian mengulangi pertanyaannya. āSiapa
kau? Dan kenapa kau ada di halamanku?ā
āAku tak tahu.ā
āJangan main-main dengan
kesabaranku!ā hardiknya. āSiapa kau!ā
āSudah kubilang aku tak tahu!ā
Aku balas berteriak.
Dia menatapku dengan pandangan
mencela sebelum berdiri dan melangkah ke salah satu sudut. Mengambil sebuah
kotak kayu lalu membukanya sambil bersiul.
āHeh, kau!ā seruku padanya. āKenapa
kau mengikatku? Kenapa aku ada di tempat ini? Apa yang terjadi? Apa aku sedang
diculik?ā
āKenapa aku mengikatmu?ā ulangnya,
kemudian menjawab dengan tenang, ākarena kau berani masuk ke teritoriumku,
tentu saja.ā
āTeritorium?ā
āYeah, jadi siapa namamu?ā Dia
menanyaiku sembari menatap isi kotaknya seolah sedang memilih.
āYa ampun, aku sudah bilang
padamu. Aku tak tahu.ā
Dan persis setelah itu sebuah
pisau melesat dari tangannya dan menancap persis di samping kepalaku. Aku
terkesiap syok, nyaris terkena serangan jantung, lantas membelalak dan menjerit
ke arahnya, āAPA KAU SUDAH GILA!!!ā
Suiiiing!!
Pisau kedua menancap di samping
kepalaku yang lain.
āHentikan!!!ā
āAku akan berhenti jika kau menjawab
pertanyaanku!ā
āAku bersumpah padamu aku tak
tahu.ā
Pria itu bersiap-siap melempar
pisau ketiganya. āTungguuuuuuu!ā jeritku panik. āBerikan aku waktu untuk
berpikir.ā
Dan untungnya dia berbaik hati
memberiku waktu. Sebenarnya āberbaik hatiā sama sekali bukan kalimat yang
tepat untuk diberikan kepada psikopat ini, tapi aku tak bisa menemukan kata
yang lain.
āSiapa namamu?ā
Aku memejamkan mataku kuat-kuat.
Memaksa otakku untuk mengais-ngais informasi. Tapi demi Tuhan aku tak mampu
menemukan apa pun. Ada kabut tebal di pikiranku. Aku sungguh tak mampu menemukan informasi apa pun.
āWaktumu habis,ā katanya dingin.
Aku membuka mata dan melihat pisau yang lain sedang melesat menuju keningkuāralat,
maksudku nyaris, yeah nyaris menuju
keningku. Saat aku membuka mata, aku terkejut karena aku masih hidup dan baru
sadar bahwa pisau itu menancap hanya seinci saja jaraknya dari kepalaku.
Bilahnya menarik serta beberapa helai rambutku dan membuatnya terpotong.
āBekerja untuk siapa kau? Kenapa
sebegitu susahnya menyebutkan namamu?ā
āAku tak bekerja untuk siapa
pun,ā jawabku. āDan ya, rasanya susah. Susah karena aku memang tidak ingat.ā
āKau pikir aku bodoh, huh?ā
āKau idiot!ā
Aku seharusnya tidak mengatakan
itu.
Dia menggeram tersinggung dan
detik selanjutnya pisau keempat sudah mendarat di samping perutku. Aku merasa
mual sekali membayangkan bagaimana jika lemparannya meleset sedikit.
Orang gila itu sedang memicing,
berusaha memusatkan lemparan berikutnya agar bisa menyerempet pas pada salah
satu bagian tubuhku yang lainābagian perutku yang satunya, jika aku boleh
menebak. Aku berusaha mengingat sekuat tenaga, tapi rasanya cerebrumku sudah
tenggelam di aspal panas. Aku tak bisa menemukan ingatan apa pun di mana-mana.
āAku mohon. Jika kau melepasku
dan mengizinkanku berada di posisi yang layak, mungkin aku bisa berpiā¦ā
Ucapanku terpotong oleh pisaunya,
yang sesuai perkiraanku, mendarat di sisi perutku yang satunya. Entah apa
lemparannya sedikit meleset atau memang dia sengaja, pisaunya menancap lebih
dekat dengan pinggangku, terlalu dekat sampai membuat kemejaku bolong, terlalu
dekat sampai aku bisa merasakan betapa dinginnya bilah besi yang tipis nan
tajam itu menyerempet persis di kulitku. Tenggorokanku rasanya sudah membengkak hingga aku tak
bisa mengeluarkan suara apa pun. Hanya megap-megap tersendat dan nyaris
menangis. Aku memohon padanya dengan mata meratap dan semua tanda ketidakberdayaan
yang mampu kutunjukkan. Tapi psikopat berengsek, sinting, berhati batu itu
malah menunduk lagi pada kotak pisaunya. Tak tergugah. Aku tak tahu ada berapa
jumlah pisau di kotak itu. Tapi sepertinya masih banyak.
Ia baru saja mengeluarkan pisau
yang lain saat seseorang datang menginterupsi kegiatannya, āKim Doyoung!ā
Cowok psikopat berengsek,
sinting, berhati batu itu ternyata bernama Kim Doyoung. Dia dan cowok yang baru
masuk itu berdebat selama beberapa saat sebelum Doyoung tiba-tiba menggerung
kesal dan melemparkan pisaunya ke arahku tanpa melihatku. Pisau itu memotong
tali yang mengikat tangankuānyaris serta memotong jemariku yang sedang
meregangādan membuat tubuhku menggelantung di satu sisi. Aku berusaha membuka
ikatan yang membelit tanganku yang satunya, lantas jatuh terenyak di lantai.
āHei, kau baik-baik saja?ā Cowok
yang baru datang (yang bukan psikopat) berlari menghampiriku, menyambar botol air di meja dan
menyodorkannya padaku. āNamaku Jaehyun,ā katanya seraya berlutut.
Aku mendongak padanya dengan napas
tersengal, merebut botol di tangannya dan meminum seluruh isinya seperti maniak,
seolah itu pertama kalinya aku minum air seumur hidupku.
Aku mengusap bekas air di mulutku
dengan punggung tangan lalu mengangguk sambil mengulurkan botol yang sudah
kosong itu ke tangannya. āNamaku Yuta.ā
Doyoung yang baru memungut gelas
kopinya dari lantai langsung berbalik murka dan tanpa basa-basi langsung menyiramkan
cairan kental di dalamnya ke mukaku.
āYAHHH!!ā Aku sontak menjerit.
Jaehyun menjauhkan dirinya darikuāyang basah, dan hitam, dan penuh ampas kopi.
āKenapa kau tak menjawab saat
kutanya!ā
āAku tak tahu! Aku tak tahuuu!!
Astaga kenapa kau menyiramku!!ā
Dan itulah awalnya. Awal dari
pertemuan kami. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku bisa mengucapkan nama itu.
Aku hanya mengucapkannya begitu saja, lalu baru kaget sendiri setelahnya. Aku
bahkan tak berpikir. Aku berusaha menjelaskannya pada Doyoung tapi Doyoung tak mau
mengerti, sementara Jaehyun cuma mengangguk memaklumi.
Dua jam kemudian, datang lagi
seseorang untuk menambah kombinasi pertemanan mereka menjadi semakin unik.
Doyoung yang psikopat, Jaehyun yang lembut, dan anak ini.. namanya Mark, dia
berpakaian seperti anak sekolahan kutu buku dengan jaket parasut, kacamata
kotak dan snapback. Dia menyapaku
dengan ramah, lalu menawarkanku lolipopālolipop yang ada di mulutnyaāyang
langsung kutolak. Dia tidak seburuk Doyoung tetapi aku tetap tidak menyukainya.
Dia berisik. Dia tertawa terlalu keras dan mendebat apa pun dengan argumen
konyol yang tak masuk akal.
Awalnya Doyoung ingin mengusirku,
tapi Jaehyun bilang mungkin aku bisa memperkuat tim mereka. Aku tak tahu tim
apa yang mereka maksud, tapi Jaehyun menekankan bahwa ketidakjelasan asal-usul
hidupku (tak ada kartu penduduk, tak ada dompet, tak ada ponsel, tak ada apa
pun, cuma seonggok daging berbalut kemeja pink dan jins) justru bagus untuk
kelangsungan kerahasiaan kelompok mereka.
Hanya dalam beberapa menit
menghabiskan waktu dengan mereka, aku sudah bisa memahami bahwa Doyoung
merupakan semacam ketua di sini, tapi entah mengapa ia selalu menuruti ucapan
Jaehyun. Jadi Doyoung memutuskan bahwa ia tidak akan mengusirkuābukan artinya
dia mengizinkanku bergabung, dia bilang dia akan melihat potensiku dulu. Mark
bertanya apa aku bisa memanjat, dan aku bertanya-tanya kenapa aku harus bisa
memanjat? Kelompok macam apa sebenarnya mereka?
Sejak hari itu, Doyoung pun
melatihku. Rasanya seperti sedang wajib militer. Doyoung menyuruhku masuk ke
jeep abu-abu rongsoknya setiap pagi, menurunkanku di pinggir jalan lalu
menyuruhku lari mengejar mobilnya. Benar-benar sinting. Aku jelas kalah, akan
kalah, selalu kalah. Maksudku, bagaimana bisa aku menang melawan mobil? Tapi
sekalipun tahu aku tak akan menang, Doyoung tetap memaksaku mengejarnya, dan
aku tak punya pilihan lain selain menurutinya. Yeah, maksudku, aku tahu aku
bisa saja kabur dari sini, tak ada yang akan menghalangiku. Tapi aku tak punya
apa pun di luar sana, aku tak tahu siapa diriku, di mana aku tinggal, di mana
keluargaku, seluruh hidupku tertutup kabut. Jika aku tidak bersamanya, aku tak
tahu harus apa. Aku tak bisa makan dan minum, tak punya uang maupun tempat
tinggal. Aku tak mau seperti itu. Ibaratnya, sekalipun ini bukan kehidupan yang
kuinginkan, aku tak punya pilihan lain.
Selain berlari, Doyoung juga hobi
menyuruhku memanjat. Saat kami sedang berkendara, jika dia melihat pagar tinggi
atau pohon bercabang atau apa pun yang bisa dipanjat, dia akan tiba-tiba
meminggirkan mobilnya dan berkata āpanjat itu!ā sambil mengeluarkan stopwatch. Dia juga senang sekali
mengunciku di sebuah ruangan dan menyuruhku membuka pintu itu dengan āotakā-ku.
Di hari pertama ia melakukan pelatihan itu, aku terkurung di kamar kosong di
gedung teater tuanya (yang ia sebut rumah) selama delapan jam, nyaris putus asa
dan berusaha mendobraknya. Namun Doyoung menggebrak pintunya dari luar dan
melarangku menghancurkan pintunya.
āGunakan otakmu!ā
āBagaimana caranya aku membuka
pintu dengan otak!! Aku butuh kunci!ā
āRogoh saku celanamu, lihat sekelilingmu!
Apa yang kau punya?ā
āTidak ada apa-apa!ā
āGunakan otakmu!ā
āDoyoung, astaga! Aku belum makan
dari pagi!ā
āTemukanlah peniti! Atau jepit
rambut! Klip kertas! Sesuatu semacam itu!ā
āAku tidak pakai jepit rambut!ā
āAku tahu. Cari sesuatu untuk
mengeluarkanmu dari sana! Pasti ada sesuatu. Di sekelilingmu.ā
Aku mencari, tapi benar-benar tak
ada apa pun yang Doyoung sebutkan tadi. Aku berteriak merana sambil merosot
dramatis di daun pintu. āTolong buka pintunya! Aku bisa mati.ā
āJangan melebih-lebihkan!ā
āTolong buka saja pintunya!
Sebenarnya aku dilatih untuk apa, eh!ā
āApa yang kau temukan di sana?ā
āTidak ada,ā balasku frustrasi.
āCuma ada sofa.ā
āKau bisa gunakan itu.ā
āKau ingin aku melemparkan
sofanya ke pintu?ā seruku tak percaya.
āBukan, idiot. Di dalam sofa ada
kawat. Gunakan kawat itu.ā
Aku benar-benar tak habis pikir.
Tapi Doyoung serius menyuruhku menghancurkan sofanya demi kawat. Suara Doyoung
terdengar dari luar, menuntunku membobol kunci.
āBenar, lalu tarik kawatnya
searah jarum jam,ā suruhnya setelah hampir sepuluh menit kami berkutat pada
lubang kunci. Dan ceklek. Pintunya terbuka. Dan aku nyaris menangis karena
terlalu bahagia. Doyoung bilang padaku bahwa ia bisa melakukannya dalam sepuluh
detik. Tapi pria itu salah. Ternyata dia bisa melakukannya dalam enam detik.
Dan rasanya daguku langsung merosot ke lantai. Dia mengajariku untuk melepaskan
diri dari borgol, tapi sebelum aku sempat menguasainya, Jaehyun bilang pada
kami semua bahwa aku sudah siap untuk misi pertama. Dan Doyoungāwalau
kelihatannya tak sukaāmenyetujui ucapan Jaehyun.
Tak ada yang memberitahuku apa
āmisiā itu. Tapi aku benar-benar merasa bersemangat sampai tak bisa tidur.
Keesokan harinya, aku akhirnya
tahu kelompok macam apa mereka. Mereka adalah penjahat, maling, pencuri, sebangsanya.
Mereka kelompok kriminal. Aku baru menyadari itu saat Doyoung menyuruhku
memanjat tembok tinggi sebuah museum, dan rasanya sudah terlambat bagiku untuk
mundur. Jadi aku mengikuti kata-katanya, aku mencuri salah satu lukisan yang
baru datangāyang bahkan belum sempat dipajangādan keluar dari sana dengan dada
bertalu-talu dan tangan gemetar yang tak kunjung hilang sampai tiga hari.
Jaehyun menjual lukisan itu di pasar gelap dan kami mendapat tiga puluh juta
won. Tapi uang itu bukan untuk kami. Nyatanya, keuntungan dari segala yang kami
curi tak pernah untuk kami. Melainkan untuk sesuatu yang lain. Sesuatu yang
membuatku bertahan di sini. Sesuatu yang membuatku merasa kami bukanlah
penjahat yang jahat, kami adalah penjahat yang baik, jika itu masuk akal. Doyoung cuma mengambil secukupnya, untuk
kebutuhan pokok dan bensin. Mark mengambil untuk keperluan kuliahnya dan
Jaehyun tidak mengambil sama sekaliāsebab ternyata dia adalah anak miliarder.
Jaehyun adalah anak tunggal pemilik Jung Corp dan aku benar-benar tak mengerti
apa yang dia lakukan di sini.
Bulan demi bulan berlalu dan aku
mulai terbiasa dengan hidupku yang luar biasa absurd ini. Aku ikut Doyoung ke mana pun. Kami hidup nomaden,
berpindah dari gedung kosong ke gedung kosong lain di sekitaran provinsi
Gyeonggi selama tiga bulan sekali, atau lebih cepat jika keberadaan kami mulai
dicurigai. Rasa bersalah masih timbul tenggelam tiap kali aku harus terjun
langsung untuk mencuri. Tapi sudah tidak separah di bulan-bulan awal. Dan Markāyang
menyebut dirinya sebagai hacker geniusādengan soknya mengatakan bahwa rasa
bersalah itu suatu hari akan hilang. Aku tak memercayainya.
Seiring berjalannya waktu, aku
menjadi lebih nyaman bergaul dengan mereka semua, bahkan dengan Doyoung si
psikopat sinting. Jika sedang tidak ada misi, jika Mark tidak kuliah, jika Jaehyun
punya waktu untuk meninggalkan perusahaannya (sebenarnya dia selalu punya
waktu, takkan ada yang memarahinya di perusahaannya sendiri), mereka akan
datang ke tempat tinggal ilegal kami untuk bermain Final Fantasy XIV dan
mengobrol tentang tempat mana lagi yang layak untuk ādikunjungiā. Jaehyun akan
membawa banyak sekali kudapanābegitu banyak ayam goreng dan tteokpokkiādan kami
akan membuang-buang waktu seharian, mengobrolkan omong kosong, mengobrolkan hal
penting, mengobrolkan omong kosong yang terdengar penting, dengan kudapan di
mana-mana dan sesuatu di layar.
Semua kegiatan itu membuatku lupa
diri, aku lupa bahwa aku hilang ingatan, aku lupa aku memiliki kehidupan yang
lain sebelum ini. Jika aku tiba-tiba memikirkannya, satu-satunya hal yang ingin kutahu hanyalah apa kehidupanku sebelumnya lebih absurd dari ini. Tapi serius, sekarang itu tidak penting lagi.
Sejujurnya aku sudah berada di fase tak peduli. Aku tak peduli siapa aku
sebelum mereka. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa
mereka.
Hingga hari itu tiba, hari di
mana aku dan Doyoung pindah dari sebuah rumah kosong di Suwon ke rumah kosong
yang lain di Seoul. Misi pertama kami di ibu kota negara adalah menjarah habis
semua isi brankas rumah Xavier Evans, seorang pengusaha mebel asal Perancis,
tepat saat acara pertunangan anak bungsunya digelar. Semuanya berjalan normal
di awal, hingga akhirnya aku bertemu dengannya. Dengan Shin Ye Eun. Saat itu
tiba-tiba saja muncul gelombang kerinduan yang meledak di paru-paruku.
Tiba-tiba saja, segala apa yang sudah tak kupedulikan di masa lalu menjadi
berarti kembali.
Restoran tempatnya bekerja
dipercaya untuk mengurus bagian makanan dan minuman di acara itu, dan otomatis
ia ditarik untuk menjadi pelayannya. Itu pertemuan yang singkat, namun kuat,
teramat kuat. Ada sesuatu yang membuatku merasa harus kembali lagi padanya. Dan
aku melakukannya. Aku kembali ke rumah Xavier Evans. Aku bertanya padanya
tentang ākamiā, jika memang pernah ada ākamiā. Namun dia kukuh mengatakan bahwa
dia tidak mengenalku, tapi saat kuberi tahu namaku, ekspresinya langsung
berubah kaku dan dia serta-merta mengajakku bertemu.
**********
Shin Ye Eun POV
Aku tak benar-benar mengerti apa
yang terjadi, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang diambil dariku, sesuatu
yang besar, namun aku tak tahu apakah sesuatu itu. Aku tak bisa mengingat satu
kejadian pun sepanjang Agustus sampai November. Seolah tiga bulan itu tak
pernah ada, seolah aku melongkapinya begitu saja.
Ji Won kukuh meyakinkanku bahwa
tidak ada yang aneh, bahwa aku tidak mati suri, aku bekerja, aku kuliah, aku
hidup, persis seperti biasa. Dia bilang mungkin aku merasakan kekosongan itu karena
sedang stres saja. Ji Won bisa jadi benar, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk
meyakini ucapannya. Namun itu sulit sekali.
Aku tahu aku memenangkan kuis
berhadiah besar di salah satu hari yang kosong itu. Aku menyewa apartemenku
sampai bertahun-tahun ke depan, aku memberikan sebagian besar uang tersebut
pada keluargaku, dan beberapa pada Ji Won. Aku tahu itu. Ji Won tahu itu.
Keluargaku tahu itu. Tidak ada yang membantah bahwa aku benar-benar memenangkan
jackpot. Tapi anehnya aku tak pernah
mengingat kejadian riilnya. Aku tak pernah ingat kuis apa tepatnya yang
kumenangkan. Aku tak pernah mengingat bagaimana rasanya saat aku diberi tahu
aku memenangkannya. Apa aku pingsan? Itu uang yang sangat banyak jadi
seharusnya aku memang pingsan.
Bulan demi bulan berlalu. Aku
berusaha melepaskan semua rasa penasaran itu, berusaha merelakannya menjadi
misteri, berusaha tak mencari tahu lagi, demi menjaga kewarasanku sendiri.
Sebab semakin dipikirkan, semua kekosongan itu semakin membuat gila.
Namun saat akhirnya aku berhasil
berdamai dengan akal sehatku, aku malah menemukan sesuatu yang membuat saraf-saraf
sinapsku serasa tenggelam di lahar panas. Sebuah surat perjanjian.
Aku mengambil koperku dari atas
lemari saat berniat pulang ke Jeonnam. Aku bermaksud memberi keluargaku kejutan
dengan datang tiba-tiba. Namun malam itu, justru akulah yang dikejutkan. Saat
sedang menyelipkan obat-obatan di selipan koper, aku menemukan secarik kertas
yang terlipat rapi di sana. Dengan dua buah tanda tangan di bawahnya, milikku
dan milik seseorangāNakamoto Yuta. Gilanya, perjanjian itu dibuat tanggal 26
Agustus tahun lalu dan ada kata āpernikahanā di sana. Aku membaca perjanjian
itu berulang-ulang dan semakin dibaca segalanya semakin tidak masuk akal.
Aku membawa surat itu ke restoran
dan menunjukkannya pada Ji Won.
Perjanjian
Kami yang bertanda tangan di bawah ini, sepakat dan berjanji bahwa, selama pernikahan berlangsung, Tuan Nakamoto Yuta akan mematuhi hal-hal yang ditulis oleh Nona Shin Ye Eun sebagai berikut:
- Tidak boleh menyentuh
- Tidak boleh melarangku bertemu Ji Won (atau temanku yang lain, jika suatu saat temanku bertambah)
- Tidak boleh melarangku kuliah
- Tidak boleh mengatur hidupku (dalam artian luas)
- Tidak ada jam malam (aku bebas pulang kapan pun aku mau, atau bahkan tidak pulang sekalipun)
- PRIVASI!!!
- Aku tidak punya kewajiban untuk bangun pagi apalagi memasak sarapan untukmu
- Aku tidak punya kewajban untuk mencuci atau menyetrika baju-bajumu
- Tepati janjimu untuk membiayai sekolah Yeon Ju
- Tepati janjimu untuk membantu perekonomian keluargaku (berikan aku uang kapan pun aku minta)
- Tidak boleh mengomel apalagi memukulku
- Tidak boleh jatuh cinta padaku
Seoul, 26 Agustus 2018
Nakamoto Yuta - Shin Ye Eun
Aku tahu Ji Won tak berbohong
saat ia bilang ia tidak tahu. Ji Won berusaha membantuku mencari nama itu di
SNS, bahkan kami mendatangi kantor catatan sipil juga, tapi nihil. Tak ada satu
akun pun yang muncul atas nama Nakamoto Yuta. Tak ada pernikahan yang tercatat
atas namaku. Tak ada apa pun.
Ji Won berulang kali menanyaiku
apa aku tidak berhalusinasi dan membuat surat itu sendiri, sebab kami sama-sama
tahu kalau seluruh poin yang terdapat dalam perjanjian itu merupakan tulisan
tanganku. Aku bilang padanya aku tidak mungkin berhalusinasi. Namun
sesungguhnya aku sendiri pun tak tahu. Ya ampun, akan sangat konyol jadinya jika
pada akhirnya semua ini terbukti cuma karanganku. Tapi aku merasa aku tak
mungkin sesinting itu sampai-sampai mengarang surat perjanjian pernikahan
lengkap dengan nama dan tanda tangannya sendiri.
Hari demi hari berlalu tanpa
insiden berarti. Aku tak percaya kekosongan bisa terasa sebegini membebani. Aku
berusaha tak menghiraukan segalanya hingga akhirnya malam itu tiba.
Jasa restoran tempatku bekerja
disewa oleh seorang pengusaha asal Perancis bernama Xavier Evans. Untuk
semalam, semua pekerja di restoranku menjadi pelayan di acara pertunangan anak
bungsunya yang digelar di halaman rumah keluarga Evans yang bukan main
besarnya.
Aku sedang mengambil istirahat
sebentar saat seseorang jatuh dari lantai dua dan menyerempetku. Seorang pria.
Wajahnya runcing dan rambutnya hitam berantakan. Itu pertemuan yang singkat,
tapi amat membekas. Aku terus memikirkannya selama aku berlalu lalang
membawakan koktail dan salad.
Dan seolah cowok runcing itu
memikirkan hal yang sama, dia kembali datang. Satu setengah jam dari pertemuan
pertama, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di sana, di sebelah mobil box restoranku,
menungguku.
Dia menanyaiku apa kita saling
kenal, dan walau rasanya aku mengenalnya, tapi aku tahu aku tidak mengenalnya.
Jadi kuberi tahu dia terus terang, bahwa aku tidak mengenalnya. Dia menunjukkan
tato di pergelangan tangannya. Dia bilang itu mungkin inisial namaku. Aku
bilang ada banyak orang berinisial S.Y.E di dunia ini.
Kami nyaris berpisah begitu saja
malam itu. Hingga akhirnya ia menyerukan namanya kepadaku. Dan aku bersumpah dadaku
tersentak kencang sekali sampai-sampai aku berpikir aku terkena serangan
jantung. Namanya Yuta. Dia tak tahu nama panjangnya, dia hilang ingatan, dan
semua fakta itu membuat segalanya makin aneh lagi.
Pada akhirnya aku memberinya
kartu nama restoranku, memintanya datang keesokan harinya, sebelum restoran
buka.
Dan dia datang.
Kutunjukkan surat perjanjian itu
padanya. Yuta mengernyit tak tahu menahu. Dia mengembalikan kertas itu padaku
sambil meminta maaf karena tidak mengingat apa-apa. Dia juga bilang bahwa jika
dia adalah āNakamoto Yutaā, dia tak mungkin meninggalkanku untuk alasan apa pun.
Dia terus menggodaku sampai hari semakin siang dan terpaksa harus pergi.
Intinya, pertemuan kami sia-sia. Tidak ada informasi berarti yang kudapat. Tidak
ada yang berubah sama sekali.
Atau mungkin ada.
Restoranku jadi memiliki satu
tambahan pengunjung.
Sejak hari itu, ia selalu datang.
Baik untuk benar-benar memesan atau hanya sekadar menyapaku, seolah harinya tak
akan lengkap tanpa melakukan itu. Jika aku sedang tak ada di restoran, dia akan
menghampiri meja kasir, mencondongkan badannya untuk mengambil kertas Post-it
dan bolpoin dari saku apron Donghyuck lalu menggambar hati di sana. Lantas menitipkannya
untukku. Kadang dia menggambar emotikon senyum, kadang dia menggambar
wajahkuāgambarnya jelek sekali sampai-sampai aku merasa sedang dihina. Dia lebih
sering menggambar hati, tapi jika pria itu sedang ingin menggambar wajahku,
keesokan harinya aku akan protes padanya, aku akan bilang bahwa apa pun makhluk
yang ia coba gambar itu sama sekali tidak mirip denganku, dan dia akan tertawa,
dia akan meyakinkanku kenapa gambarnya yang di bawah pas-pasan itu sangat mirip
denganku. Bahwa dia memang menggambarnya sambil memikirkanku.
Dan perlahan-lahan, secara
natural, kami melupakan alasan awal dari pertemuan ini. Aku melupakan surat
perjanjian itu dan dia melupakan tato di pergelangan tangannya. Kami murni
bertemu karena kami ingin bertemu. Karena dia orang menyenangkan dan enak
dipandang. Karena dia memperlakukanku dengan amat manis dan senantiasa menatapku
seolah aku pusat dunia. Karena aku merasa waktuku tak pernah terbuang sia-sia
jika dilewatkan bersamanya.
Seiring berjalannya waktu,
intensitas pertemuan kami otomatis membuat kami berdua menjadi semakin dekat
lagi. Namun walaupun begitu aku masih merasa harus menjaga jarak darinya. Aku
tak pernah mengizinkannya mengantarku sampai apartemen. Aku juga tak pernah
membiarkannya menyentuh tanganku. Ya, aku tahu dia menyukaiku, tapi aku tak
tahu apa aku menyukainya. Hanya karena dia menyenangkan dan menarik dan tahu cara
memperlakukan perempuan, bukan berarti aku ingin jadi kekasihnya. Aku sama
sekali tak tahu apa aku menginginkannya lebih dari sekadar
entah-hubungan-macam-apa-yang-sedang-kami-jalani-ini.
Hingga suatu hari, tiba-tiba saja
ia menghilang bak ditelan bumi. Dan aku tak bisa melakukan apa pun untuk memperbaikinya.
Aku tak tahu di mana rumahnya. Aku tak tahu nomor ponselnya. Aku bahkan tak
tahu apa dia punya ponsel. Jika memang punya, dia jelas bukan tipe orang yang
suka mengecek ponselnya, karena selama enam minggu semenjak kami bertemu, aku
tak pernah sekalipun melihatnya memegang ponsel.
Saat itu aku baru menyadari
sesuatu. Aku baru sadar bahwa aku mengetahui segala hal sepele tentang Yuta;
aku tahu jumlah tindikan di masing-masing telinganya, ukuran sepatunya, es krim
favoritnya, genre film yang ia benci, pemikiran politiknya, kebiasaan-kebiasaan
kecilnyaādia suka mendorong lidahnya ke rongga mulut, memainkan jari, menggigit
kuku, menyentuh rambut, aku tahu semua itu. Aku tahu betapa menularnya suara
tawanya, aku tahu betapa buruk kemampuan menggambarnya dan aku tahu kemampuan
menyanyinya bahkan lebih buruk lagi, aku tahu itu. Namun aku justru tak tahu
hal-hal mendasar yang seharusnya aku tahu. Dan perasaan itu pun memenuhi
dadaku. Kehampaan dan rasa takut. Aku takut kehilangannya. Dan ketakutan itu
terasa terlalu besar dan terlalu familier untuk ditujukan pada orang asing yang
baru kukenal enam minggu. Seolah aku pernah kehilangan dia sebelum ini dan
sekarang aku takut kehilangannya lagi.
Selagi hari demi hari berlalu,
ketidakhadirannya mulai berefek besar bagiku. Aku mulai menemukan diriku
sendiri menoleh ke pintu masuk restoran tiap kali ada yang membukanya. Aku
datang terlalu pagi dan pulang terlalu malam. Dan di antara kegiatan ādatangā
dan āpulangā itu, aku bekerja tanpa sedikit pun mampu untuk fokus; aku
memasukkan piring-piring yang masih penuh busa ke rak. Aku membuang dua tas plastik
berisi botol saus, mengiranya sampah. Lalu memasukkan dua tas plastik berisi sampah
ke gudang penyimpanan, mengira itu saus. Aku benar-benar kacau sampai Ji Won
menyuruhku mengambil cuti saja.
Aku berpikir sampai kapan aku akan
begini? Apa Yuta sungguh tak akan menemuiku lagi? Tapi kenapa? Apa ada ucapanku
yang menyinggung hatinya? Apa sesuatu terjadi padanya? Semua pikiran itu
mengisi relung hatiku sampai tak ada lagi ruang kosong yang tersisa. Jika aku
diberikan pilihan antara menemukan āNakamoto Yutaā dari surat perjanjian itu
atau bertemu lagi dengan Yuta yang terjun menepakku dari lantai dua rumah
Xavier Evans, aku tanpa ragu akan memilih pilihan kedua. Sejujurnya aku bahkan
tak peduli lagi pada hidupku yang hilang di sepanjang bulan Agustus sampai
November itu. Aku tak peduli lagi pada Nakamoto Yuta. Entah dia memang ada,
atau benar cuma halusinasiku saja. Kurasa ini saatnya melepasnya. Melepas si
āNakamoto Yutaā. Biarlah yang hilang tetap hilang. Aku cuma ingin hidup di masa
ini.
Di hari ke-64 sejak Yuta berhenti
menemuiku di restoran, aku membuat janji pada diriku sendiri. Aku berjanji akan
mengizinkannya menggenggam tanganku.
Di hari ke-65, aku berjanji akan
mengizinkannya memelukku, jika ia mau.
Di hari ke-66, aku berjanji akan
mengizinkannya mengantarku sampai apartemen.
Di hari ke-67, aku berjanji akan
bilang padanya āsenang bertemu denganmu jugaā, sebab walaupun aku selalu senang
bertemu dengannya, aku tak pernah mengizinkan diriku untuk mengucapkannya.
Sebagian dari diriku berkata bahwa aku terlalu gengsi untuk mengucapkannya,
sementara sebagian yang lain ketakutan. Takut jika aku mengucapkannya, maka mantranya
akan berakhir, semuanya akan berakhir. Takut Yuta akan berhenti menemuiku lagi karena akhirnya cita-citanya untuk membuatku berkata āsenang bertemu denganmu jugaā
sudah tercapai.
Di hari ke-68, aku mulai
merasakan kemarahan. Jika aku diizinkan bertemu dengannya lagi, aku berjanji
akan menamparnya sambil bilang āKE MANA SAJA KAU SELAMA INI!ā
Di hari ke-69, kemarahanku mereda
dengan sendirinya. Aku berjanji akan bilang āaku tak peduli apa yang membuatmu
berhenti menemuiku dua setengah bulan ini. Aku akan melupakan segalanya asal
kau tidak pergi lagiā.
Di hari ke-70, perasaanku semakin
tak terkendali. Aku berjanji akan bilang āaku menyukaimu jugaā.
Di hari ke-71, dia muncul di
taman di sebelah restoran. Duduk di ayunan kayu dengan pakaian serba hitam,
rambut berantakan yang semakin panjang, dan wajah bodoh yang kurindukan.
Dia berdiri dengan cepat begitu
menyadari keberadaanku. Dia melambaikan tangannya. Dia melambaikan tangannya
sambil tersenyum dan aku merasakan gumpalan emosi yang begitu kuat, begitu
campur aduk, di dalam dadaku. Lututku mendadak lemas dan aku langsung
menjatuhkan diri. Aku berjongkok. Tanganku terlipat di atas lutut dan aku
menyembunyikan wajahku di sana, menangis.
Aku bisa merasakan kemarahan,
kerinduan, serta perasaan-perasaan lain yang tak bisa kujabarkan. Semuanya meluap,
membeludak menjadi satu.
Yuta berjongkok di hadapanku. Aku
tak melihatnya tapi aku merasakannya. Aku merasakan bayangan seseorang dan
angin yang dihasilkan dari gerakannya.
āHei,ā katanya.
Aku menghapus air mataku dengan
punggung tangan dan mendongak sedikit padanya, āHei.ā
Dia tak bertanya apa yang
membuatku menangis. Dia tahu aku merindukannya.
āAku baru saja dari restoran,
tapi ternyata sudah tutup. Aku tak yakin apa kau masih di dalam atau sudah pulang,
jadi aku menunggu di sini,ā katanya. āSyukurlah kau belum pulang.ā
Aku menatapnya dan dia menatapku.
Kami saling menatap dan rasanya tepat. Pertanyaan ākenapa kau baru datang sekarang?ā sudah ada di ujung lidahku. Namun entah kenapa susah
sekali menuturkannya.
āShin Ye Eun-ssi?ā
āAku menyukaimu,ā kataku, dan
seketika dadaku bergemuruh. Rasanya aku semakin menyukainya saat aku bilang aku
menyukainya.
Yuta tersedak. āEh?ā
āAku menyukaimu,ā ulangku.
āKumohon jangan tiba-tiba menghilang begini.ā
Yuta tersedak lagi. Ia menatapku
syok hampir lima detik penuh, sebelum berdeham membersihkan tenggrokannya. āKau
suka aku?ā
āYa.ā
Senyuman lega tersungging perlahan-lahan
di bibirnya. āWah.ā Dia memalingkan wajahnya yang tersipu lalu kembali
menatapku. āAku minta maaf,ā mulainya, berusaha menguasai diri. Telinganya
memerah. Pipinya memerah. Dan rasanya gila bahwa aku bisa melihatnya semerona
ini hanya dengan bantuan lampu jalan temaram dan cahaya bulan.
āAda sesuatu yang terjadi, kami
harus pindah ke luar kota. Aku tidak bermaksud pergi tiba-tiba.ā
Aku cuma menatapnya. Yuta berdeham
lagi dan menambahkan, āAku tak yakin apa aku pernah mengatakannya padamu, tapi
aku dan Doyoung tak punya tempat tinggal tetap. Kadang aku tinggal sangat jauh
dari Seoul.ā
āAku menyukaimu.ā Aku tahu itu
bukan respon yang tepat untuk ceritanya tentang kehidupan nomadennya, tapi aku
benar-benar ingin mengucapkannya.
āKau sudah mengucapkannya tiga
kali.ā
āAku tahu,ā kataku. āAku tetap
menyukaimu.ā
Yuta tersenyum lebih lebar lagi,
telinganya lebih merah lagi. Aku menatap matanya dan jiwaku seakan menemukan
rumahnya. Kekosongan sepanjang bulan Agustus sampai November tiba-tiba terisi.
Hatiku terasa hangat. Udara terasa hangat. Malam itu terasa hangat.
āYeah, aku juga,ā katanya.
āAku tahu.ā
āYa.ā
āYa.ā
āMau jalan-jalan denganku?ā ajak
Yuta.
Aku tak bertanya ke mana dan
langsung mengangguk. Dia berdiri. Aku mengikutinya dan mengulurkan tanganku
padanya. Yuta menatap tanganku selama beberapa saat sebelum ragu-ragu
menggenggamnya. Tangannya terasa lembap dan hangat dan aku tidak melepasnya
sepanjang malam.
Aku menyukainya.
END
Haiiiiiiā¦..
Makasih banyak kalian yang udah berhasil sampai di garis finish T_T
Itās really the end yalllā¦ semoga ini tipe happy ending yg kalian suka ya
uwu..
Jadi, untuk series selanjutnya, aku bakal pake geng kriminal doyoung-jaehyun-mark
+ Yuta. Yuta POV di atas mungkin semacam prolog dari sudut pandang Yuta buat
series selanjutnya ini.. (karena seperti biasa aku bakal nulis semua part si
series baru dengan author povā¦)
Aku bakal publish part 1 nya bulan ini
Please look forward to it ^^
Makasih sekali lagi ya, have a nice year yall muahh
Comments
Post a Comment