Good Criminals #3
Cerahnya langit di kota Seoul
sama sekali tak mampu mencerahkan suasana hati Hwa Min saat ini. Bagaimana
tidak? Semua orang tak ada yang memercayainya. Alih-alih dipercaya,
kesaksiannya justru dijadikan bahan olok-olok.
Yeah, jadi Kim Doyoung mengunjungi kamar motelmu lalu menghilang tepat
saat dua unit mobil polisi datang? Kebetulan sekali. Harusnya kau sekalian menulis
novel.
Kau ini benar-benar butuh perhatian ya sampai-sampai membohongi polisi
Busan segala? Bikin malu kejaksaan saja!
Inilah sebabnya kita tidak diperbolehkan mabuk siang-siang. Apa yang
kau pikirkan sampai memborgol diri sendiri di tempat tidur begitu? Memangnya
tidak malu?
Hwa Min sudah muak meladeni
pertanyaan-pertanyaan konyol dari rekan kerjanya. Jadi untuk seharian itu, dia
memutuskan untuk pura-pura bisu saja. Jin Ah yang duduk di meja sebelahnya
jelas berusaha menahan diri untuk tidak ikut-ikutan mengejeknya dan bersusah payah
menunjukkan simpati. Namun sikapnya itu malah membuat emosi Hwa Min makin
meluap.
Baru sekitar pukul dua siang,
atasannya, Baek Seongjoon datang ke kantor. Hwa Min tanpa basa-basi langsung
bangkit dari mejanya dan mengikuti pria itu ke ruangannya.
“Dengar, aku sama sekali tak
peduli jika kau berpikir ucapanku cuma omong kosong, tapi aku mohon tolong
libatkan aku jika kabar keberadaan Doyoung terdengar lagi. Bagaimanapun aku masih bagian dari tim.”
Seongjoon menatapnya datar. Mengingat
kejadian kemarin, Hwa Min praktis mendesah penuh dendam dan melanjutkan, “Aku
tahu apa yang harus kulakukan, sungguh. Dia bilang dia akan mempertimbangkan
untuk menemuiku lagi jika aku tidak mengkhianatinya. Aku punya kesempatan. Dia
bahkan memintaku untuk ikut dengannya.”
Seongjoon masih tak mau bicara.
Namun sorot matanya kali ini tidak lagi datar. Ia menatap Hwa Min seolah sedang
menyuruhnya minum obat.
“Aku tahu kau tak percaya
padaku.”
“Baguslah kalau sadar. Kau bisa keluar sekarang.”
“Aku bersumpah aku tidak bohong.
Kalau saja orang-orang berhenti menghakimiku dan memeriksa sidik jari di
borgolnya, aku…”
“Hwa Min, sudahlah,” sela
Seongjoon muak. “Ini bukan tugas utama kita. Kasus Kim Doyoung belum jadi
tanggung jawab kejaksaan, ini masih sepenuhnya hak polisi. Aku punya pekerjaan
sungguhan yang harus kuselesaikan dan aku akan sangat menghargai kemurahan
hatimu jika kau bersedia meninggalkanku.”
“Ini jelas tugas kejaksaan juga,
kejaksaan punya hak dari penyelidikan sampai penuntutan, maksudku...”
“Dengar, aku mengerti kau baru
lulus tahun lalu, aku mengerti jiwa mahasiswamu masih menggelora, dan maaf nak,
tapi persetan,” Seongjoon mengulum senyum dan melirik pintu menyuruhnya keluar.
“Sebagai jaksa kita harus, kau tahu.. menyadari prioritas. Kasusku sudah
menumpuk dan aku malah berlibur seminggu di Busan.”
“Kalau begitu biarkan aku
menyelidikinya.”
“Lakukan sesukamu.”
“Kau tak mengerti sebenci apa aku
pada Doyoung sekarang. Dia membuatku benar-benar tak punya muka di depan semua
orang,” kata Hwa Min berapi-api seraya berdiri. “Aku bersumpah akan
menemukannya. Aku akan melakukan segala cara.”
“Yeah.”
“Aku benar-benar bersumpah. Aku
akan menyeretnya ke sini jika perlu. Aku akan…”
“Son Hwa Min-ssi.”
“Ya?”
“Buatkan aku kopi.”
**********
Sepulang kerja, Hwa Min
menggeledah tumpukan kardus di gudang untuk mencari buku wisudanya. Doyoung
tentu tak ada di sana. Namun teman-temannya mungkin ada. Hwa Min membalik
lembar demi lembar, menatap satu per satu foto wisudawan yang seperiode
dengannya sambil mencoba mengingat-ingat apa ada di antara mereka yang pernah
dilihatnya tengah berinteraksi dengan Doyoung. Hwa Min menandai beberapa orang.
Tak banyak.
Ada Kun dari kelas Ekonomi Pembangunan,
angkatan setahun di atasnya, Hwa Min ingat pria itu dan Doyoung sempat menjadi partner presentasi untuk satu semester.
Yeah, dia ingat Doyoung menceritakan soal koleksi prangko Kun saat mereka
terpaksa harus bermalam di rumah Kun demi menyelesaikan powerpoint. Mungkin Kun
tahu sesuatu soal Doyoung yang tak diketahui Hwa Min.
Dia juga menandai Irene. Hanya
karena teringat bahwa tempat kos gadis itu berada di komplek yang sama dengan
tempat kos Doyoung. Irene menggembar-gemborkan betapa buruk lingkungan kosnya
saat mereka di perpustakaan. Hwa Min cuma mendengarkan ocehannya sambil lalu
saat itu, tapi sekarang, ia amat bersyukur tidak menyumpal telinganya dengan earphone.
Selain itu ada juga Seolhyun,
Chanwoo dan beberapa anak lain yang bahkan namanya kurang familier di telinga
Hwa Min. Alasannya sederhana, gadis itu mengingat interaksi-interaksi kecil di antara
mereka. Saling pinjam modul, misalnya. Atau bertukar obrolan singkat sembari
Doyoung menungguinya di lobi kampus. Tapi mungkin saja itu penting. Sebagai penyelidik,
sekecil apa pun bahan penyelidikan, asalkan itu bisa diselidiki maka itu jelas
hal yang penting.
Malam sudah terlalu larut saat
Hwa Min sampai di halaman terakhir. Ia tak mungkin menghubungi nomor Kun—yang
tertera di buka wisuda beserta alamat dan judul skripsinya—pukul satu lewat
sebelas malam. Itu tidak etis. Jadi ia terpaksa harus bersabar dan menunggu
sampai pagi.
Hwa Min mulai menghubungi semua
orang di daftar kecilnya sejak pagi-pagi sekali. Kun menjawab panggilan Hwa Min
dan bicara padanya dengan suara tersengal karena sedang lari pagi. Pria itu
berkali-kali bersumpah dengan nada terganggu bahwa ia sama sekali tak tahu apa
pun soal Doyoung.
“Apa pun? Tempat dia biasa
nongkrong? Atau seseorang yang ia percaya?” pancing Hwa Min putus asa. “Satu
nama saja. Kalian kan sekelompok berdua selama satu semester, itu waktu yang
lama untuk mengenal kepribadian seseorang.”
[Well, dia memang menyebut satu nama.]
“Bagus!” pekik Hwa Min girang.
“Siapa?”
[Son Hwa Min.]
“Itu namaku.”
[Tepat sekali. Setelah UTS dia
bilang padaku dengan begitu bangganya bahwa dia berhasil mengencani cewek yang
ditaksirnya sejak ospek.]
Muka Hwa Min seketika bersemu.
“D-dia bilang begitu?”
[Yeah, dengar, aku bersumpah
padamu aku tak menutupi apa pun. Aku tahu Kim Doyoung menjadi buronan sekarang
dan kau sudah mendengar semua informasi yang kutahu. Jangan coba-coba mengirim
surat perintah padaku untuk menjadi saksi di kantor polisi atau apa. Aku sedang
berjuang menyelesaikan tesisku dan aku tak mau beban masalahku ditambah-tambah
lagi, kau mengerti?]
“Yeah, terima kasih.”
[Sama-sama.]
Hwa Min hendak menutup teleponnya
saat suara Kun tiba-tiba menyela, [Tunggu. Aku sedang melewati danau sekarang
dan tiba-tiba ingat sesuatu.]
“Apa?”
[Dia sempat menginap di rumahku
untuk menyelesaikan diagram penelitian, lalu keesokan harinya seperti biasa aku
keluar untuk lari pagi dan dia ikut denganku. Saat melewati danau ini, dia
bilang padaku kalau track lari di
sini sama persis dengan track lari
kesukaannya.”]
“Apa dia bilang di mana
lokasinya?”
[Yeah, di Guro. Tidak banyak track lari di sana. Cari saja di
internet jika kau benar-benar butuh letak persisnya. Aku tak yakin apa
informasi itu bisa berguna bagimu tapi itu satu-satunya yang kuingat sekarang.
Jika aku mengingat hal lain lagi aku pasti akan langsung meneleponmu.]
“Baiklah, terima kasih banyak.”
Hwa Min lanjut menelepon Irene,
namun gadis itu tak kunjung menjawab. Jadi ia melongkapinya dan mencoba
menelepon yang lain. Hasilnya nihil. Beberapa dari mereka tak bisa dihubungi—nomornya
sudah tidak aktif dan sebagainya—sedangkan sisanya hanya mampu bilang maaf
dengan nada bersalah karena satu-satunya momen yang mereka miliki hanyalah
meminjaminya pulpen.
Setelah mencoba menghubungi Irene
dan masih tidak diangkat, Hwa Min pun menghabiskan waktu luangnya untuk mencari
track lari yang dimaksud Kun di
internet. Ia sendiri tak yakin apa informasi itu bisa berguna, tapi apa
salahnya mencoba.
Kun benar, memang tak banyak track lari di Guro. Dan satu-satunya track lari yang memiliki danau sebagaimana
yang digambarkan Kun terletak persis di pusat distrik, nampak asri dengan
pohon-pohon besar dan juga taman yang difasilitasi dengan outdoor gym, letaknya diapit oleh dua gedung pencakar langit yang
megah. Jung corp dan SK Hynix. Hwa Min mengamati gambar-gambar itu di mesin
pencari sebelum ibunya memanggil untuk turun ke bawah dan makan siang.
Hwa Min baru berhasil menghubungi
Irene setelah jam satu, persisnya setelah ia mengirimi sms ‘hei aku Son Hwa Min
teman seangkatanmu di Universitas Hongik. Please
jawab teleponku’ sebab nampaknya ia merupakan tipikal orang yang tak suka
menjawab telepon dari nomor tak dikenal.
[Sebenarnya kosanku ada di gedung
yang sama dengan miliknya. Dia di lantai dua sementara aku di lantai satu,
persis depan pagar, jadi kalau ada apa-apa selalu aku yang direpotkan. Nah
waktu dia sakit, ada cowok seumuran kita yang datang untuk membawanya pergi.
Itu terakhir kalinya aku melihat Kim Doyoung.]
“Bisa kau jelaskan ciri-cirinya?”
[Kau hanya butuh ciri-cirinya?
Aku tahu namanya. Dia bahkan memberiku nomor handphone-nya.]
“Apa?! Boleh aku minta nomor
handphone-nya?”
[Aku akan dengan senang hati
memberinya padamu tapi sori, tidak kusimpan. Dia memberi kertas berisi nomor
handphone dan langsung kubuang setelah dia pulang, namanya Jaehyun dan dia
benar-benar tampan, bersih dan tampan. Tapi sayang sekali saat itu aku masih
pacaran dengan Bogum sunbae dan kau tahu kan aku anaknya sesetia apa?]
“Jaehyun?”
[Ya. Aku tak tahu Doyoung sakit
apa tapi sepertinya benar-benar parah, entahlah, kau pasti lebih tahu, kau
pacarnya,] Hwa Min justru tak tahu-menahu Doyoung sakit keras sebelum
menghilang, namun ia tak mau mengakuinya di depan Irene, lagi pula gadis itu
terus bicara, [Dia membunyikan bel tapi tak ada yang buka, jadinya terpaksa
akulah yang harus keluar dan membukakan pagar untuknya. Dia bilang ‘aku sudah
menelepon temanku tapi tidak diangkat. Anak itu sedang sakit’ lalu aku tanya
temannya tinggal di kamar nomor berapa dan dia bilang persis di atasku, lalu
aku bilang aku mengenal temannya, aku kenal Kim Doyoung, kami satu angkatan di
fakultas hukum dan blablabla, lalu anak itu mulai flirting dan menuliskan nomornya di kertas bekas struk parkir dan
memberinya padaku. Lalu kubilang padanya aku sudah punya pacar dan dia bilang
‘jaga-jaga kalau kalian putus’. Wah, aku benar-benar nyaris menamparnya.
Dia mendoakanku putus—dan terkabul.]
“Lalu bagaimana dengan Doyoung?”
[Dia mendobrak masuk ke kamar kos
Doyoung lalu memapahnya ke mobilnya. Setelah itu Doyoung tak pernah kembali
lagi ke kosan sampai kita lulus. Dan sekarang, tahu-tahu dia sudah jadi maling
hebat. Impresif.]
Itu adalah informasi besar. Dalam
berkas tebal kasus Doyoung di kejaksaan sama sekali tak ada nama
Jaehyun—tak ada nama siapa pun, tepatnya, tapi sekarang dia punya satu nama.
Hal pertama yang Hwa Min lakukan
setelah memutus sambungan teleponnya dengan Irene adalah mencari nama Jaehyun
di internet. Detik pertama setelah ia menekan tombol enter, gambar beserta sederet artikel mengenai aktor senior Yoon
Jaehyun langsung saja menghiasi layar komputernya. Hwa Min menggulirkan
jemarinya ke sana kemari sebelum mendesah putus asa, mustahil rasanya menemukan
‘Jaehyun’ dengan cara seperti ini. Hwa Min pun menutup laptopnya dan menyudahi
investigasi kecil-kecilannya untuk hari itu.
Seminggu berlalu, Hwa Min sudah
mencoba mengumpulkan lebih banyak bukti di sela-sela rutinitasnya di kejaksaan.
Dia mendatangi tempat kos lama Doyoung sepulang kerja dan bertanya langsung
pada pemilik kosnya, bahkan ia juga menyambangi warung-warung makan kecil di
sekitar lokasi itu. Namun alih-alih informasi, satu-satunya hal yang didapat Hwa
Min hanyalah rasa lelah yang menyiksa.
Siang itu, setelah menyelesaikan
kerjaan dari Seong Joon dan atasannya yang lain, Hwa Min membuka laman baru di
mesin pencari dan mengetikkan nama Jaehyun lagi. Hasil yang sama terpampang di
hadapannya. Gambar Yoon Jaehyun di mana-mana. Hwa Min sudah menggeser kursornya
dengan tampang bosan sampai ke pertengahan laman saat ia menemukan satu wajah
asing terselip di antara gambar-gambar sang aktor. Dengan cepat, ia meng-klik
fotonya.
Menyelesaikan studi di Stanford
School of Business, Jung Jaehyun resmi diangkat sebagai Direktur Utama Jung
Corp menggantikan sang ayah.
“Jung Corp?” gumam Hwa Min, entah
mengapa merasa tak asing begitu membaca tajuk beritanya. Semula ia berpikir
pernah membaca nama perusahaan itu di antara berkas-berkas di ruang arsip
kejaksaan, namun kemudian ia teringat bukan itu alasannya. Entah mengapa wajah
Kun terngiang-ngiang selama beberapa saat sebelum akhirnya lampu tak kasatmata menyala terang di kepalanya. Benar. Lokasi track
lari di Guro—yang tempo hari sempat ia cari di internet—terletak di antara dua
perusahaan besar, salah satunya adalah Jung Corp. Hwa Min terdiam memandangi
foto Jung Jaehyun. Ia tak percaya bisa menemukan korelasi antara informasi dari
Kun dan Irene seperti ini. Namun walaupun begitu, Hwa Min tak bisa buru-buru
merasa senang. Sejujurnya ia sama sekali tak bisa menebak apa penemuannya ini
hanya sekadar kebetulan atau memang bukti sungguhan. Lagi pula Jung Jaehyun ini
terlihat begitu mahal dan berkelas untuk berteman dengan Doyoung.
Tak mau terjebak dalam situasi
stagnan, Hwa Min pun mengirim foto itu pada Irene—bertanya apa itu orangnya. Irene baru menjawab pesan Hwa Min
setelah ia sampai di rumah dan jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan.
Rupanya, kita benar-benar tak boleh menilai segala sesuatu hanya dari luarnya
saja. Jung Jaehyun ternyata benar-benar berteman dengan Doyoung.
**********
Daun-daun kering beterbangan
berputar-putar terbawa angin sebelum menerpa jendela-jendela kaca di ruangan
megah milik Jung Jaehyun. Sekertarisnya yang luar biasa cantik baru saja keluar
dari ruangan itu setelah menyuruh Hwa Min menunggu—tuan Jung sedang memimpin rapat di atas, sebentar lagi selesai, katanya,
dengan nada panik yang masih terdengar jelas walau sudah berusaha ditutupi.
Wanita itu terus saja meremas-remas tangannya setelah Hwa Min memaksa masuk
sambil menunjukkan kartu pegawai kejaksaannya. Hwa Min hanya perlu mengatakan
‘jika kau tak mengizinkanku masuk, maka urusannya akan panjang’ sebelum
akhirnya diantar ke sini.
Jaehyun masuk sepuluh menit
kemudian dengan langkah tergesa dan wajah murka. Sekertarisnya menyusul di belakangnya
dengan tampang sedih—jelas-jelas baru dimarahi. Ia seorang diri membawa nampan
berisi dua gelas cangkir teh dan sepiring kecil cheesecake.
“Dia masih baru, seharusnya tak
ada tamu asing—apalagi yang belum buat janji denganku—tiba-tiba dibawa masuk ke
sini, terlebih ditinggal sendiri.” Jaehyun memandang geram pada sekertarisnya
yang sedang memindahkan cangkir-cangkir ke meja, tangannya gemetaran kencang
sekali sampai-sampai cairan di dalamnya nyaris tumpah.
“Dan aku tak peduli kau dari
kejaksaan. Tak ada pengecualian bagi jabatan apa pun, presiden sekalipun harus
menunggu di lobi sampai kuizinkan masuk,” tegas Jaehyun lagi, kali ini matanya
memandang Hwa Min—yang tengah membisikkan terima kasih seramah mungkin pada si
sekertaris malang sebelum akhirnya bangkit dari duduknya dan memandang Jaehyun.
“Maaf sudah lancang, tapi saya
benar-benar harus segera bertemu dengan Anda. Saya sedang mencari seseorang,”
kata Hwa Min tenang, “Kim Doyoung.”
Nama itu sukses membuat baik Jaehyun
maupun sang sekertaris terkejut. Namun Jaehyun jelas lebih mampu menguasai
diri.
“Aku tak kenal siapapun dengan
nama itu,” sahut Jaehyun defensif. “Kim Jisoo-ssi, kau bisa meninggalkan
ruanganku.”
Si sekertaris yang diketahui
bernama Jisoo itu membungkuk sedikit pada Jaehyun dan berbalik pergi sambil
memeluk nampannya.
“Kau tak perlu repot-repot
berbohong,” kata Hwa Min begitu Jisoo menutup pintu. “Serius, simpanlah
energimu! Aku sudah melakukan investigasiku sendiri. Kurang lebih tiga tahun
lalu, kau menjemput Doyoung di tempat kosnya dan memberikan nomor ponselmu pada
tetangga perempuannya. Apa aku benar?”
Jaehyun kukuh menampilkan
ekspresi bingung yang harus Hwa Min akui cukup meyakinkan. Tapi gadis itu tak
mau begitu saja mengalah.
“Namaku Son Hwa Min, aku teman
dekat Doyoung waktu kuliah dan aku benar-benar harus bertemu dengannya. Aku
butuh informasi tentang Doyoung. Apa pun itu. Aku tahu kau memilikinya.”
“Aku benar-benar tak kenal
siapapun yang kau bicarakan itu. Lebih baik kau keluar.”
“Ya ampun, tahu tidak sih,
melihat sikapmu ini aku jadi yakin kalau kau memang mengetahui keberadaan Doyoung.
Dengar, salah satu rekan jaksaku sudah bilang ke forum bahwa Doyoung tak
mungkin kerja sendiri. Dia berpendapat bahwa Doyoung pasti punya orang yang
berkuasa di belakangnya, dan rasanya aku punya kandidat kuat untuk diajukan ke tim
penyelidik,” ancam Hwa Min. “Aku benar-benar harus bertemu Doyoung. Satu kali
saja dan semuanya selesai. Aku tak akan pernah mengganggu kalian. Terserah dia
mau membobol perusahaan mana lagi, aku tak peduli.
“Kau boleh menentukan waktu dan
tempatnya, sungguh. Ini urusan pribadi, aku tak akan menangkapnya atau apa.”
Jaehyun tetap diam.
“Jung Jaehyun,” tegur Hwa Min
geram. “Aku bersumpah saat kakiku melangkah keluar dari gedung ini, aku akan
menelepon rekan jaksaku dan menyuruh mereka menyelidikimu. Kalau kau memang
tidak menyembunyikan apa-apa maka kau tak perlu panik, tapi kalau memang
dugaanku benar, maka habislah semuanya. Doyoung, kau, perusahaan ini, semuanya
akan hancur. Kalau kau memang pintar seharusnya kau tahu apa yang harus kau
pilih.”
Jaehyun berjalan mendekat pada
Hwa Min dan berdiri menjulang persis di depannya. Tangannya ia letakkan di
kedua bahu Hwa Min dan membuat gadis itu tampak amat kerdil dan tak berdaya di
hadapannya. Tatapan Hwa Min yang semula berkobar penuh amarah kini padam,
nyaris menunjukkan tanda-tanda ketakutan. “Ya, Nona Son, lakukan apa maumu. Silahkan
kabari rekan-rekan jaksamu dan selidiki aku,” bisik Jaehyun sementara matanya
tegas menatap mata Hwa Min. Tubuh pria itu lantas condong semakin dekat hingga
membuat Hwa Min harus menyingkir ke kiri sedikit. Ia membungkuk melewati pundak
Hwa Min untuk mengambil tas yang tergeletak pada sofa di belakangnya dan
menyurukkannya ke dada sang gadis. “Sekarang, dengan segala hormat, Nona Jaksa,
aku ingin kau keluar dari ruanganku.”
**********
Hwa Min memeras otak sepanjang
langkahnya di pelataran Jung Corp, mencari akal bagaimana membujuk Jaehyun
untuk memberinya informasi tentang Doyoung. Walaupun sudah berkoar-koar
mengancam akan memberi tahu kejaksaan, namun nyatanya Hwa Min tak mau
melibatkan Seongjoon dulu, tidak sampai ia benar-benar mengetahui secara pasti
keberadaan Doyoung. Gadis itu tak mau malu dua kali.
Saat itu, tiba-tiba saja
seseorang memanggilnya. Hwa Min menoleh dan menemukan Jisoo tengah berlari-lari
ke arahnya.
“Ponsel Anda ketinggalan, Nona
Son,” sengalnya seraya tersenyum menyodorkan ponsel.
Hwa Min refleks merogoh saku
blazernya dan terperanjat mendapati kantongnya yang kosong. “T-terima kasih.”
Ia mengambil ponselnya itu dengan kening berkerut dalam, bingung luar biasa.
“Aneh sekali. Seingatku aku tidak mengeluarkan ponsel sama sekali.”
“Tadi tuan Jaehyun menemukannya
di sofa, pasti tak sengaja terjatuh.”
“Ya, pasti begitu. Terima kasih.”
Jisoo mengangguk ramah sekali
lagi sebelum pamit dan kembali ke gedung perusahaannya.
Hwa Min terdiam cukup lama. Dia
benar-benar merasa ada yang ganjil di sini. Apa Jaehyun sengaja membungkuk
serendah itu untuk mengambil ponselnya dari blazer? Mungkin pria itu memeriksa
ponsel Hwa Min untuk meyakinkan diri bahwa ia tak bohong, bahwa ia tidak
diam-diam merencanakan ini semua bersama anggota kejaksaan yang lain, bahwa ia
tidak merekam pembicaraan mereka dan sebagainya, entahlah.
Saat Hwa Min membuka kunci
layarnya, aplikasi memonya terpampang di layar. Jaehyun menulis sesuatu.
Gedung proyek di seberang LAZONE
Lantai Sembilan
Pukul sepuluh malam ini
Hwa Min bisa merasakan hatinya
mencelos. Gadis itu tersenyum membaca memonya sebelum mendongak pada salah satu
jendela besar di Jung Corp. Terkesan sekaligus terharu karena usahanya ternyata
tidak sia-sia.
**********
Mobil Jaehyun sudah memasuki
halaman bangunan proyek saat Doyoung kembali membuka mulut, “Jadi intinya kau
ingin aku mengancamnya untuk tidak mendatangi kantormu lagi?”
“Yeah, walau aku sudah memastikan
keterhubungan kita tersembunyi dengan baik, aku tetap tak mau perusahaanku
diacak-acak oleh penyidik, skandal sekecil apa pun akan membuat harga sahamku
anjlok.”
“Oke.”
“Aku sudah periksa handphone-nya.
Dia bersih.”
“Dia membiarkanmu memeriksa
handphone-nya?”
“Mana mungkin?”
“Jadi?”
“Aku ‘meminjamnya’.”
Doyoung mendengus terkesan. “Sekarang
kau sudah menguasai keterampilan tangan, eh?”
Jaehyun cuma mengangkat bahu.
Doyoung menopangkan sikunya di kaca sementara jemarinya bergerak cemas di
sekitar mulut. Pria itu sudah terlalu lama mengenal Jaehyun sampai ia yakin
seribu persen bahwa Jaehyun sudah memasang alat penyadap di ponsel Hwa Min. Itu
artinya ia harus sangat hati-hati dengan ucapannya jika tak mau Jaehyun murka
lagi.
Mobil mereka pun berhenti.
“Kalau dalam lima belas menit kau
tak kembali, aku akan naik ke atas dan menyeretmu pergi.”
“Aku mengerti.”
“Dan katakan padanya ini terakhir
kali kalian bertemu,” kata Jaehyun saat Doyoung membuka pintu.
“Ya.”
**********
Hwa Min bisa mencium bau terbakar
dan mendengar gemuruh suara klakson dari jalan raya di bawahnya. Dia sudah
berada di lantai Sembilan gedung proyek sebagaimana yang dijanjikan Jaehyun. Gedung
itu terbengkalai karena insiden kebakaran empat bulan lalu dan sampai sekarang
masih belum ada tanda-tanda pembangunannya akan dilanjutkan. Angin dingin
sepoi-sepoi memburai rambutnya ketika dia memandang kota yang bercahaya dan
langit yang bertabur bintang. Dia berdiri di atas kerangka baja yang bertumpuk
tinggi di pinggiran bangunan konstruksi. Menunggu.
“My dear.”
Hwa Min menoleh dan terperanjat
melihat Doyoung muncul dari tangga. Bukan pria itu yang ia tunggu. Ia datang ke
sini dengan keyakinan akan bertemu Jaehyun lagi, gadis itu mengira Jaehyun
sengaja mengajaknya bertemu di luar kantor untuk memberi informasi tentang
Doyoung di tempat yang jauh dari penglihatan orang-orang. Ia sama sekali tak
menyangka akan dipertemukan dengan Doyoung dalam situasi seperti ini dan seketika
otaknya serasa membeku.
Doyoung berdiri menyandar di
tiang, di sebelah lusinan pipa yang hangus tak berbentuk. Hwa Min melompat dari
baja tempatnya berdiri dan hendak mendekati Doyoung, namun pria itu mengangkat
tangannya menyuruhnya berhenti.
“Kita bicara begini saja,”
katanya dengan suara rendah yang amat lembut, nyaris seperti dia sedang
berbisik.
“Aku bersumpah padamu aku tidak
bawa borgol. Aku tidak akan memborgolmu lagi.”
“Sekalipun kau bawa, aku pasti
bisa melepasnya lagi.” Doyoung tersenyum. “Bukan itu alasannya. Sudahlah. Percaya
padaku, ini jarak aman, baik untukmu maupun untukku.”
Hwa Min tak punya pilihan lain
selain menurut.
“Jadi langsung saja, apa yang mau
kau katakan padaku?”
Karena membayangkan masih akan
bertemu Jaehyun, Hwa Min jadi belum mempersiapkan kata-kata yang harus diucapkan
pada Doyoung. Hwa Min berusaha keras agar tetap tenang, menjaga raut wajahnya
agar tidak terlihat seperti sedang berpikir sebelum akhirnya memulai
sandiwaranya, “Aku minta maaf padamu.”
“Minta maaf?”
“Ya, waktu di motel aku…”
“Dengar, itu bukan masalah
bagiku. Yeah, tentu aku kecewa tapi toh itu memang tugasmu sebagai penegak
hukum? Jadi mau bagaimana lagi. Lagi pula kau juga sudah memperingatkanku
untuk tidak menemuimu, salahku karena tidak mendengarkan,” sela Doyoung tenang,
masih dengan nada suara yang sama. “Hanya itu yang mau kau bicarakan?”
“Tidak.”
“Apa lagi?”
“Aku mau bilang aku juga… masih
suka padamu.” Hwa Min menggigit bibirnya, “dan aku sudah mempertimbangkan
tawaranmu.”
“Tawaranku?”
“Ya, soal ikut denganmu.”
“Jadi apa keputusannya?”
“Aku ingin bersamamu seperti
dulu, tentu saja, tapi itu tidak mungkin. Kau sudah berubah terlalu banyak.”
“Aku tidak memutuskan jalan hidup seperti ini dalam semalam. Aku menjadi kriminal karena alasan.”
“Alasan apa?” tanya Hwa Min segera.
“Tidakkah kau berpikir aku berhak tahu? Kita tidak pernah benar-benar putus, kan?
Seharusnya aku masih bisa menyebutmu sebagai pacarku.”
Doyoung tak bisa menahan diri
untuk tidak tersenyum. “Mungkin?”
“Kalau begitu ceritakan padaku.”
“Ceritanya panjang.”
“Aku punya waktu.”
“Aku tidak.”
Mata Doyoung menyisir sudut-sudut bangunan
suram itu dengan teliti—takut-takut Jaehyun memasang cctv—sebelum berjalan
mendekati Hwa Min dan bicara dengan suara dibesar-besarkan. “Kau bekerja di
Kejaksaan, jadi kuanggap kau pasti mengetahui reputasiku. Aku lebih licin dari
belut yang berenang di air sabun, jadi.. jika pertemuan ini dimaksudkan untuk
menjebakku, maka lakukanlah. Silahkan jebak aku sepuasmu, aku tak akan kalah. Dan
soal Jaehyun.” Doyoung memberikan tatapan penuh peringatan, “Jangan main-main
dengannya. Bahkan jika kau menggerakkan semua detektif di Negara ini untuk
menyelidiki dia, kujamin padamu kau tak akan menemukan bukti apa pun yang bisa
memberatkannya. Itu hanya akan membuatmu makin tak punya muka di instansimu. Jadi,
jangan berani-berani datang ke kantor Jaehyun apalagi mengancamnya lagi. Kau akan
menyesal, my dear, sungguh, hidupmu
akan menderita di tangannya dan sekalipun aku ingin menolong, aku tak akan bisa
berbuat apa-apa. Aku memperingatkanmu begini karena aku masih sayang padamu,
kau mengerti?”
Hwa Min terperanjat mendengar
semua perkataan itu dan mengangguk patah-patah.
“Dan satu lagi,” lanjutnya. Ia
melangkah makin dekat dan tangannya diam-diam bergerak menyentuh tangan Hwa
Min. “Aku tidak akan bertemu denganmu lagi. Aku tidak akan menceritakan
alasanku memilih hidup seperti ini. Aku bahkan tak sungguh-sungguh mengajakmu
ikut denganku.”
Pandangan mata Doyoung berbanding
terbalik dengan perkataannya, seolah-olah ia sedang memberi tahu Hwa Min bahwa
ia sedang berbohong, bahwa gadis itu harus menghilangkan semua kata ‘tidak’ di
kalimatnya barusan untuk dapat mengartikan kehendaknya. Dan saat itu, Hwa Min
merasakan sobekan kertas tajam di telapak tangannya. Doyoung berkata sambil perlahan
mengepalkan jari-jari Hwa Min agar menggenggam erat kertas tersebut, tanpa
melepas tatapan mata mereka sama sekali. “Kita tidak akan bertemu lagi,” Doyoung bicara penuh
penekanan, “kau paham maksudku? Tidak bertemu lagi.” Pria itu menggerakkan kepalanya dalam gelengan
tipis, berharap Hwa Min benar-benar menangkap maksudnya.
Dengan semua petunjuk itu, Hwa
Min sungguh idiot jika tidak mengerti juga. Gadis itu mengerjap dan
mengangguk pelan, sepenuhnya mengerti maksud sang pria.
Doyoung tersenyum tipis sebelum
akhirnya melangkah mundur. “Selamat tinggal,” katanya, lantas benar-benar
berbalik dan menghilang menuruni tangga.
Hwa Min memasukkan kepalan
tangannya yang memegang kertas ke dalam mantel, menjaganya baik-baik dengan
dada bergemuruh ribut dan baru berani membukanya saat di rumah.
Doyoung menulis pada sobekan
kardus pembungkus rokok yang sudah kotor, mungkin baru ia temukan saat sedang
berjalan naik ke lantai Sembilan bangunan proyek tadi. Hwa Min berusaha membaca
kalimat apa yang ditulis Doyoung di situ, tapi ia sama sekali tak mampu. Tintanya
sudah tergerus di kertas alumunium, yang terbaca hanya angka Delapan—atau Sembilan?
Hwa Min benar-benar tak tahu kapan dan ke mana tepatnya Doyoung menginginkannya
untuk datang dan itu membuatnya kalang kabut. Ia sungguh tak percaya ia harus
gagal persis di depan garis finis. Benar-benar bencana.
TBC
Gengs, I am taking a break from gigsent until may.
Dadah semuanya… peace, love and gaul^^
Comments
Post a Comment