The Scoundrel, Heartbreaker Part 3




Side story :




Previous story :


Teaser  I  Part 1  I  Part 2





*   *   *   *




Dari balik dinding, Jiyeong mengatur napasnya. Sesekali ia memunculkan kepalanya untuk mengamati keadaan dimana teman-teman Mark berada. Ia kini menyesal karena telah memilih arah yang salah.



Ia menyesal karena harus berakhir pada sisi belakang gedung yang mau tidak mau jika ia ingin menuju tempat parkir, ia harus melewati Jackson dan kelima teman lainnya. Ia seharusnya mengikuti langkah Dongri yang melewati tangga bagian kiri, karena akan membawanya melewati kerumunan pria itu tanpa harus bertemu dengan mereka.



Ponselnya berdering. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan benda itu. Sebuah pesan singkat telah ia terima dengan nama Minhyo tertera pada layar.



From: Sensitif Minhyo

Aku sudah di tempat parkir. Dimana kalian? Dan dimana kau Jiyeong??!



Napasnya kembali terhela dengan berat sebelum menyimpan benda tersebut ke dalam sakunya. Ia ingin membalasnya dan meminta bantuan Minhyo. Tapi ia tidak bisa karena ketiga sahabatnya tidak mengetahui perihal perjodohannya, dan sejujurnya ia juga tidak ingin mereka tahu bahwa ia telah bertunangan dengan pria incaran mahasiswi seantero kampusnya.



Gadis itu kembali memantau keadaan dimana Jackson, Jaebum, Jinyoung, Youngjae, Yugyeom, serta Bambam berada. Tidak ada yang berubah. Semua masih tetap sama. Keenam pria itu tengah berdiri seakan menghalangi jalannya. Mereka seperti membuat pagar pembatas dengan tubuh mereka yang tinggi.



Jiyeong kembali menyenderkan tubuhnya. Ia tidak mungkin kembali menaiki tangga karena tangga itu sudah ditutup karena tengah dibersihkan. Tadi saja ia bisa melewati tangga tersebut karena memohon pada petugas kebersihan.



Tidak ada jalan lain. Ia harus bisa melewati keenam teman Mark untuk bisa sampai ke tempat parkir.



Jiyeong kembali menarik napasnya. Kemudian berjalan keluar dari balik dinding. Gadis itu dengan memasang wajahnya yang keras berusaha untuk tidak bertemu pandang dengan salah satu dari keenam pria itu.



Saat langkahnya hampir berhasil membawa dirinya melewati pagar pembatas tersebut, ia tersentak saat seseorang menghentikan langkahnya. Sosok itu menahan pundaknya dan temannya yang lain berdiri tepat di depannya. Menghalangi jalan yang akan ia lewati.



Jiyeong menghela dengan kasar. Tamat sudah! Tidak ada ruang untuknya melarikan diri dari keenam pria tinggi ini.



“Ku mohon.. biarkan aku pergi. Aku sudah ada janji dengan teman-teman ku.” Pinta Jiyeong. Ia menggunakan suara terlemahnya sebagai cara terakhir, berharap bahwa mereka akan membiarkannya pergi. Namun perkiraan yang memang tidak sepenuhnya ia yakini ternyata berakhir sia-sia karena Jinyoung yang menggelengkan kepalanya.



“Ini bukan hak kami. Kami hanya membantu Mark untuk menahan mu.”



Jiyeong menundukkan kepalanya. Sepertinya memang tidak ada jalan lain selain menunggu pria itu dan memohon padanya.



Saat wajahnya masih menunduk, seseorang datang dan langsung menggenggam pergelangan tangannya erat. Jiyeong lantas mengangkat kepalanya. Walau sebenarnya ia sudah tahu siapa sosok itu tanpa perlu melihat wajahnya. Namun yang membuat ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya adalah saat melihat wajah Mark yang terlihat begitu marah dengan rahang yang mengeras.



Hanya karena aku berbicara dengan Dongri dan membuat ia lari ke atas dan ke bawah, ia sampai marah seperti itu?, batinnya yang tidak habis pikir dengan sikap Mark.



Jiyeong menelan salivanya sebelum membuka suaranya. “Bisakah kau melepaskan tangan mu?” Pintanya.



“Tidak.”



Jiyeong memejamkan matanya dan menghela pelan. Ia mencoba meredam kembali emosi yang sebelumnya ingin meledak. Bersamaan dengan itu, ponselnya kembali berdiring akibat panggilan masuk yang berasal dari Eun Ra.



“Apa?”


“...”


“Iya.. aku segera ke sana.”



Gadis itu menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia kemudian menatap Mark dengan tatapan aku harus pergi, jadi lepaskan tangan ku.



Mark mengerti maksud tatapan Jiyeong. Tapi ia juga tidak ingin melepaskan gadis itu begitu saja setelah membuat dirinya harus berlari menuju lantai tiga dan kemudian turun kembali untuk mengejarnya.



Mark menampakkan seringainya. Walau tidak jelas, tetapi senyum menyebalkan itu disadari oleh Jiyeong.



“Kau akan pergi? Kalau begitu aku yang akan mengantar mu.”



Jiyeong membelalakkan matanya. Ia terkejut dengan ucapan pria itu. Mengantarnya? Memangnya siapa dia? Ia sudah besar, jadi tidak perlu ada yang mengantarnya jika ia memang ingin pergi. Selain itu, ia juga pergi bersama dengan temannya.



“Kau gila? Aku pergi bersama teman-teman ku. Jadi lepaskan Mark Tuan.” Titah Jiyeong dengan emosi yang lepas dari kendalinya.



“Teman-teman mu? Ah.. kalau begitu perkenalkan aku dengan mereka.”



Jiyeong semakin tersentak saat mendengar ucapan Mark. Matanya semakin membulat dan tubuhnya terasa semakin panas.



“Tidak.” Jawab Jiyeong dengan memutar wajahnya. Ia benar-benar kesal dan tidak ingin menatap wajah pria yang sudah membuatnya merasa sangat muak dalam kurun waktu kurang dari 1 jam.



“Kalau begitu aku tidak akan melepaskan tangan mu.” Refleks gadis itu kembali menatap Mark yang tetap menatapnya dengan memasang senyum andalannya yang selalu bisa membuat banyak wanita memohon untuk bisa bersama dengannya.



Jiyeong hendak memaki prai itu, namun lagi-lagi dering ponslenya membuat ia mengurungkan niatnya. Gadis itu tahu siapa yang menghubunginya, dan karena itu, ia tidak akan menghiraukannya.



“Iya Seulbin..”


“...”


“Ini aku sedang menuju ke sana. Tunggulah..”



Sambungan mereka kembali terputus. Jiyeong tidak lantas menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Ia malah menatap Mark dengan menaikan sebelah alisnya.



“Tidak. Sekali tidak tetap tidak.”



Jiyeong mengacak rambutnya. Sementara keenam teman pria itu masih terus memerhatikan keduanya dengan pandangan penuh rasa penasaran dan tentunya terhibur.



Selama beberapa saat Jiyeong diam dan membiarkan Mark terus menatapnya. Tidak peduli karena ia tengah berusaha mencari cara untuk melepaskan diri dari pria itu. Selama waktu diamnya, ia terus memaksa otakynya untuk berpikir dan mencari cara. Namun otaknya hanya berhasil melahirkan cara yaitu dengan membuat kesepakatan. Pada awalnya batin Jiyeong menolak karena ia tahu bahwa kesepakatan hanya akan merugikan dirinya. Namun otaknya menyerah untuk mencari cara lain sehingga ia memutuskan untuk menggunakan cara tersebut.



Jiyeong menarik napasnya dan berkata. “Baik, kita buat kesepakatan.”



“Kesepakatan?” Beo Mark dengan salah satu sudut bibirnya yang semakin tertarik ke atas. Antusias.



“Kesepakatannya adalah....” Jiyeong memberikan jeda. Dari suaranya terdengar keraguan untuk menyampaikannya. Namun ia berusaha untuk menghilangkan keraguan tersebut dan memberanikan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi setelahnya, yang terpenting ia bisa bebas dan segera bertemu dengan ketiga sahabatnya.



“Kau bisa meminta apa pun dari ku, jika kau melepaskan tangan ku dan membiarkan ku pergi.” Lanjutnya.



Pria itu menaikan sebelah alisnya. Mempertimbangkan isi kesepakatan yang diajukan Jiyeong. Bukan mengenai ia akan setuju atau tidak, tetapi lebih kepada mempertimbangkan permintaan apa yang bisa ia minta pada gadis itu.



“Baik, aku setuju.”



“Kalau begitu apa permintaan mu?”



Mark mendekatkan wajahnya dan berhenti tepat beberapa inchi dari wajah Jiyeong. Pria itu semakin menunjukkan seringainya sebelum memberikan jawabannya pada gadis itu.



“Kencan..”



“Kencan? Kau melepaskan tangan ku dan membiarkan aku pergi dengan kau meminta kencan? Kau gila?!”



“Terserah.. tapi itu permintaan ku. Jika kau setuju, maka aku akan membiarkan mu pergi. Tapi jika tidak, itu berarti kau pergi bersama ku dan bukan dengan teman-teman mu.”



Mark kembali menjauhkan wajahnya. Tubuhnya kembali berdiri tegak di hadapan Jiyeong. Melihat wajah Jiyeong yang tekejut membuat ia merasakan perasaan senang yang menyenangkan. Entah mengapa ia menyukai raut wajah gadis itu saat ia tengah terkejut pada suatu hal. Menurutnya Jiyeong lucu saat ia tengah terkejut.



Jiyeong menghela kasar. Tidak ada pilihan lain., pikirnya. “Baiklah, aku setuju. Tapi dengan satu permintaan.”



Mark memiringkan wajahnya. Ia menatap gadis itu dengan bingung dan penasaran.



“Bersihkan nama ku dari masalah yang kau buat tadi. Kau tahu bukan, jika seorang wanita merasa tersakiti, ia akan lebih kejam dari para pembunuh di  muka bumi ini.”



Mark menganggukkan kepalanya. Membersihkan nama gadis itu, maksudnya menyelesaikan masalahnya dengan Dongri bukanlah perkara yang sulit untuknya.



“Baik, tapi dengan syarat kau harus memperkenalkan ku dengan teman-teman mu.”



“Apa?! Kenapa? Kenapa kau menambahkan syaratnya?”



“Ya sudah kalau kau tidak mau.”



Jiyeong mendesis kesal. “Baik.. baik. Aku setuju. Jadi sekarang lepaskan tangan ku, karena teman-teman ku sudah menunggu.”



Jiyeong mengangkat tangannya yang masih pria itu genggam. Dengan tersenyum seperti seorang malaikat, pria itu melepaskannya. Namun ia kembali menahan langkah Jiyeong saat gadis itu hendak pergi meninggalkannya.



“Ada ap-”



Belum juga Jiyeong merampungkan kalimatnya, Mark telah membungkam mulutnya dengan kecupan singkat pada tepat di bibir ranum gadis itu. Jiyeong membulatkan matanya namun tidak mengatakan apa pun.



“Hati-hati Jiyeongie..” Mark mengusap puncak kepala Jiyeong yang membuat ia semakin terkejut.



Jiyeong mengerjapkan matanya dan kembali memasang wajah kesal pada Mark, setelah sebelumnya ia sempat kehilangan kontrol dirinya karena ulah Mark. Tanpa mengatakan apa pun, ia memutar tubuhnya dan segera berlari pergi meninggalkan Mark yang telah mengubah senyum malaikatnya menjadi sebuah senyum miring syarat akan makna.



“Wow Mark Tuan. Kau benar-benar...” Jaebum memukul pundak pria itu. Mereka masih terus memerhatikan kepergian Jiyeong sampai tubuh gadis itu benar-benar sudah menghilang di depan sana.



Jiyeong sampai di tempat parkir dengan napas yang memburu. Kakinya kemudian kembali melangkah menghampiri Seulbin yang tengah menunggunya di depan kendaraannya sendiri.



“Darimana saja? Bukankah kamu yang menyelesaikan urusan mu pertama kali?”



Jiyeong menyekah keringatnya. Ia tidak langsung menjawabnya karena napasnya yang masih memburu.



“Ada kendala ketika aku selesai, jadi aku mengatasinya terlebih dulu.”



Masih dengan mengatur napasnya, ekor matanya menangkap kehadiran Mark beserta keenam temannya tidak jauh dari dirinya. Ia memutar kepalanya dan benar aja, pria itu beserta teman-temannya tengah berjalan ke arahnya. Mark masih dengan tersenyum bahagia mengerlingkan matanya pada Jiyeong. Hal itu membuat Jiyeong langsung memutar kepalanya.



“Ayo kita pergi.”



“Baiklah.. kamu yang menyetir. Aku lelah.”



Jiyeong menganggukkan kepalanya. Ia bergegas menuju kursi pengemudi sementara Seulbin menuju kursi penumpang. Setelah keduanya telah berada di dalam, Jiyeong segera mengendarai mobil tersebut keluar dari area kampus menuju tempat menarik yang ia dan teman-temannya telah sepakati.




*  *  *  *




Matahari senja perlahan mulai tenggelam. Langit yang sebelumnya cerah kini berubah menggelap dengan berhiaskan warna jingga di beberapa bagian. Sangat cantik. Angin yang berhembus hangat mulai berubah dingin. Jalan di luar mulai ramai dipenuhi para pejalan kaki yang baru saja menyelesaikan aktivitas mereka.



Jiyeong baru saja sampai di rumah bersama dengan ketiga sahabatnya. Mereka berencana untuk melakukan hal-hal unik selama semalam serta menonton habis semua film yang baru saja mereka beli. Ketika ketiga sahabatnya memasuki rumah dan hendak menuju kamarnya, seorang pria muncul dan memberikan senyuman termanisnya kepada ketiga gadis itu.



Ketiganya saling menatap. Mereka tidak menyangka akan bertemu sang pria terlebih di rumah di Jiyeong. Yang membuat ketiganya semakin terkejut sekaligus bingung adalah, pria itu tengah duduk di ruang keluarga dengan sebuah kotak di atas meja yang mereka yakini milik pria tersebut.



“Hai.. aku Mark.” Pria itu memperkenalkan dirinya. Masih dengan bibir yang melengkung sempurna, ia menghampiri ketiga gadis itu dan menjabat tangan mereka.



“Iya kami tahu. Oh iya, aku Minhyo, ini Seulbin, dan ini Eun Ra.”



Mark menganggukkan kepalanya. Jadi mereka adalah sahabat Jiyeong, pikirnya. Sangat tidak terduga.



Eun Ra berdeham membuat seluruh atensi kini mengarah padanya. “Kenapa kau bisa ada di sini?” Tanya gadis itu yang merasa aneh dengan pria di depannya.



Mark tampak terkejut. Lebih tepatnya berpura-pura terkejut. Dahinya mengerut dengan mata yang mengerjap cepat. “Apakah Jiyeong belum menceritakan mengenai kami pada kalian?”



Kini ketiga sahabat Jiyeong yang terkejut saat mendengar pertanyaan balik Mark. Minhyo, Seulbin, dan Eun Ra saling melempar pandang. Mereka tidak mengerti dengan ucapan pria itu. Mengenai mereka berdua? Memangnya ada apa? Namun ketiganya yakin bahwa sesuatu yang tidak beres baru saja terjadi.



Melihat kebingungan yang terpampang jelas di wajah Minhyo, Seulbin, dan Eun Ra, Mark pun memutuskan untuk menyampaikan apa yang seharusnya Jiyeong sampaikan. Bermaksud baik untuk membantu Jiyeong menyampaikan berita bahagia ini pada ketiga sahabatnya.



“Jadi begini, aku dan Jiyeong sudah dijodohkan dan kami juga sudah bertunangan. Ini cincinnya. Dan Jiyeong, ia menggunakan cincin pertunangan kami sebagai bandul kalung yang ia kenakan.”



Seperti tersambar petir di tengah siang yang terik. Terkejut. Ketiganya tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut yang telah melebihi ambang maksimal mereka. Mata mereka membelalak dengan kata ‘APA’ terlontar dari bibir mereka dalam waktu yang sama. Dijodohkan? Bertunangan? Bagaimana bisa terjadi? Kenapa Jiyeong tidak menceritakan kepada mereka? Bukankah mereka teman?



“Hei! Kenapa kalian di sana? Ayo ke-” Jiyeong tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya saat matanya menemukan sosok Mark di antara ketiga sahabatnya. Rasa khawatir pun langsung menyergapnya saat ia menemukan Mark tengah memasang senyum miring padanya serta dirinya yang menyadari raut terkejut pada wajah Minhyo, Seulbin, dan Eun Ra.



Hi babe.. kamu belum menceritakan tentang hubungan kita pada sahabat mu?” Mark menghampiri Jiyeong yang masih mematung di tempatnya dan memberikan kecupan manis pada bibir gadis itu. Menyebabkan matanya membulat dan tubuhnya refleks melangkah mundur.



“Apa yang kau lakukan di sini Mark?!” Jiyeong menggemertakkan giginya. Menatap sosok pria itu dengan tajam walaupun yang ditatap hanya membalas tatapan itu dengan tetap menyunggingkan senyumnya.



“Aku ingin memberikan ini untuk mu, ini gaun yang harus kau kenakan besok saat aku menjemput mu.”



“Gaun?”



Mark menganggukkan kepalanya. “Ya.. besok adalah perayaan ulang tahun nenek ku. Nenek ingin kau hadir. Jadi bersiaplah karena besok aku akan menjemput mu sebelum pukul 7.” Mark menyunggingkan senyumnya dan kemudian kembali dengan gerakan tercepatnya mengecup bibir Jiyeong sebelum mengusap puncak kepala gadis itu.



“Aku kira kalian memiliki acara lain setelah ini, jadi aku akan pergi sekarang.” Mark menjeda ucapannya dan memutar tubuhnya menghadap ketiga sahabat Jiyeong.



“Senang berkenalan dengan kalian..” Sambungnya yang ditujukan untuk Minhyo, Seulbin, dan Eun Ra.



Mark meninggalkan keemapat gadis tersebut dalam keadaan terkejut. Keempatnya hanya diam menatap kepergian Mark. Saat suara daun pintu yang tertutup menggema ke dalam telinga mereka, baik Eun Ra, Seulbin, dan Minhyo langsung menghampiri Jiyeong yang hanya mendesah kasar di posisinya.



“Jadi kalian bertunangan?”



“Jangan katakan, kalau liburan kemarin mu ke Jepang adalah liburan mu bersama dengan Mark?”



“HEI HWANG JIYEONG?!”



Jiyeong kembali menghela napas kasar. Ia tidak habis pikir dengan pria itu. Kenapa ia selalu melakukan sesuatu yang membuat dirinya menggila?



Jiyeong menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan. Kepala yang sebelumnya ditundukkan kembali diangkat hingga matanya bertemu dengan 3 pasang mata di depannya.



“Baik, aku akan menceritakan semuanya.” Napasnya kembali tertarik bersamaan dengan kakinya yang melangkah menuju sofa. Mendudukkan tubuhnya di sana yang diikuti oleh Minhyo, Seulbin, dan Eun Ra sebelum kembali membuka suaranya untuk mulai bercerita.



“Pertama, aku juga tidak tahu kenapa orang tua ku dan orang tua Mark saling mengenal. Bagaimana caranya atau sejak kapan, aku tidak tahu dan sejujurnya tidak mau tahu. Kedua, pertunangan itu diselenggarakan satu minggu setelah pertemuan pertama kami. Mengenai liburan, itu adalah hadiah dari orang tua Mark.”




Jiyeong mengakhiri ceritanya dengan menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya. Sudah cukup lelah dirinya hari ini karena baru saja tiba dari liburan bak neraka kemudian harus mengurus proposal kuliahnya, setelah itu berurusan dengan Mark, teman-temannya, serta gadis bernama Dongri, dan kini ia harus kembali berurusan dengan Mark yang membawa masalah baru untuknya.



Oh sepertinya ia harus berterimakasih kepada Mark karena telah merusak malam yang seharusnya tidak awali dengan cerita mengenai pertunanangan mereka, kemudian berakhir dengan dirinya yang akan mendapatkan sindiran dari Minhyo.



“Lalu dimana cincin pertunangan mu? Katanya-”



Jiyeong melepaskan kalung yang ia kenakan dan memberikannya pada Seulbin sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Ia tidak ingin mengatakan apa pun karena tubuhnya benar-benar lelah. Akan semakin lelah jika ia harus membahas mengenai Mark setelah berusuan dengan pria itu sepanjang hari.




*  *  *  *




Setelah menghabiskan malam bersama untuk mendengarkan seluruh cerita Jiyeong. Ketiga sahabatnya pun berpamitan pulang setelah mereka menghabiskan pizza yang dipesan sebagai makan siang. Kepergian sahabatnya sedikit melegakan untuk Jiyeong karena ia ingin sekali kembali beristirahat. Rasa lelah karena kemarin belum juga sirna terlebih karena sejak kepergian Mark ia yang menjadi objek dari Minhyo, Seulbin, dan Eun Ra. Karena itulah ia tidak bisa menikmati malamnya karena terus mendapatkan tatapan penuh tanda tanya dari sang sahabat. Namun kehadiran Jonghyun yang tiba-tiba saja membuka pintu dan ikut mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang merusak semuanya.



Jonghyun adalah kakak Jiyeong yang baik dan perhatian tetapi terkadang bisa menjadi sangat menyebalkan. Tidak ada yang pernah tahu kapan Jonghyun berubah menyebalkan. Namun Jiyeong percaya bahwa saat itu Jonghyun telah berubah menjadi sosok kakak menyebalkan yang akan mengusik kehidupannya. Hal itu dapat diketahui Jiyeong dari bagaimana Jonghyun masuk ke dalam kamarnya dan menatap dirinya.



“Ada apa?” Tanya Jiyeong malas sembari menarik kembali selimut hingga menutupi sebagian tubuhnya.



“Bukankah kau sudah ada janji dengan Mark?”



Jiyeong hanya melirik singkat sebelum kembali memejamkan matanya. Ia tahu dan ia masih ingat akan ucapan Mark semalam. Tapi yang perlu diingat adalah ia tidak menyetujui untuk ikut pergi bersama dengan pria itu bukan.



“Hwang Jiyeong.. jangan seperti ini. Kau hanya akan merusak hubungan orang tua kita dengan orang tua Mark.”



Jonghyun kini meggoyangkan bahu adiknya bermaksud menarik atensi Jiyeong agar membuka mata dan mendengarkannya. Ia tahu kalau sang adik tidak menyetujui dan menyukai pertunangannya dengan Mark. Sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama. Bukan karena ia tidak menyukai Mark. Hanya saja menurutnya, pertunangan adiknya ini terlalu cepat untuk gadis berusia 19 tahun.



Jiyeong menghela napasnya dan bangkit dari ranjang kesayangannya itu. Ia menatap Jonghyun dengan tatapan lelahnya.



“Kenapa aku tidak pernah bisa mengatakan tidak pada mu Hwang Jonghyung?”



Jiyeong memutar tubuhnya menuju kamar mandi. Ia tinggalkan sang kakak untuk segera membersihkan dirinya sebelum Mark benar-benar datang menjemputnya.



Jiyeong keluar dari kamar mandi dengan mengenakan pakaian santai. Ia kemudian beralih pada meja riasnya, dan mulai memberikan sentuhan di wajahnya. Ia tidak suka dengan penggunaan make up yang berlebihan. Sehingga waktu yang ia butuhkan untuk menggunakan perlengkapan tersebut tidak selama banyak wanita lainnya, termasuk ibunya sendiri.



Setelah ia rasa cukup dengan bedak, lipstick, dan yang lainnya. Gadis itu kemudian beralih pada kotak yang semalam diberikan Mark padanya. Ia membuka kotak tersebut dan kemudian mengeluarkan gaun yang tersimpan di dalamnya.



“Seleranya tidak buruk juga.” Gumamnya pelan sebelum kembali memasuki kamar mandi untuk berganti pakaian.



Setelah beberapa menit, Jiyeong kembali dengan mengenakan gaun pemberian Mark. Kakinya kembali menghampiri meja rias untuk memberikan sentuhan terakhir pada rambutnya yang akan ia biarkan tergerai. Sedikit gelombang pada bagian bawah tidak buruk menurutnya.



Tidak lama setelah ia menyelesaikan tatatan rambutnya, seseorang mengetuk pintu kamarnya dan memberitahukan bahwa Mark telah tiba. Jiyeong yang mendengarnya segera bangkit dari duduknya menuju lemari ia menyimpan sepatu-sepatunya. Sebuah heels berwarna sedikit emas menjadi pilihannya untuk menemani gaun tersebut.




Merasa semua cukup, gadis itu pun keluar dari kamarnya dan menghampiri Mark yang tengah menunggunya di bawah. Entah kebetulan atau apa, kedua orang tuanya serta Jonghyun baru saja pergi, jadi ia tidak perlu mempersiapkan dirinya untuk mendengar ledekan menyebalkan yang pasti akan terlontar dari keluarganya.



Hi babe.. kamu sangat cantik dengan gaun itu.” Mark menyambut kedatangan Jiyeong dengan tatapan yang begitu memesona. Ia hendak merangkul pinggang Jiyeong tapi ia mengehentikannya.



“Berhenti memanggil ku babe, atau aku tidak akan pergi!” Ancam Jiyeong. Gadis itu menatap tajam Mark menunjukkan kesungguhan akan kata-katanya.



“Baik, aku mengalah. Tapi,”



Jiyeong menautkan kedua alisnya. “Tapi..?” Beonya.



“Tapi, kau harus memberikan ku sesuatu.”



“Apa?”



“Nanti kau akan mengetahuinya.” Mark kembali memasang senyum miringnya yang lagi-lagi membuat Jiyeong merasa tidak aman. Oh Tuhan.. sebenarnya apa yang sedang direncanakan pria ini?



“Kalau begitu ayo kita berangkat.”




*  *  *  *




Mark memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah dimana terparkir mobil-mobil lain dengan nilai jual tinggi. Pria itu mematikan mesin mobilnya sebelum meninggalkan kursi pengemudi. Ia hendak menghampiri pintu penumpang dan membukakan pintunya. Namun Jiyeong telah lebih dulu melakukannya karena ia tidak suka jika seseorang melakukan hal yang masih bisa ia lakukan dengan kedua tangannya.



Mark hanya tersenyum mendapati tatapan tajam Jiyeong. Ia tidak ingin membuat neneknya menunggu lama hanya karena ia harus beradu argumen dulu dengan Jiyeong mengenai siapa yang membuka pintu tersebut.



“Ayo kita masuk. Sepertinya nenek ku sudah sangat menunggu mu.”



Mark melingkarkan tangannya pada pinggul Jiyeong. Gadis itu begitu terkejut dan hendak memukul lengannya, tetapi suara Bibi Tuan yang memanggil namanya terdengar dan membuat ia mengurungkan niatnya.



“Jiyeongie..” Wanita itu menghampiri Jiyeong dan memeluknya erat. Seperti memeluk anaknya sendiri, begitulah yang gadis itu rasakan.



Jiyeong menyunggingkan senyumnya. Ia merangkul wanita itu dan mengikuti langkahnya memasuki rumah besar dimana perayaan itu diadakan.



Pesta itu pun semakin meriah dengan kehadrian Mark dan Jiyeong. Semua orang memberikan selamat kepada keduanya atas pertunangan mereka. Jiyeong hanya mampu menyunggingkan senyumnya karena ia tidak tahu harus mengatakan apa pada orang-orang tersebut.



Pesta perayaan ulang tahun nenek Mark masih berlangsung. Awalnya Jiyeong mengira ia akan merasa bosan selama menghadiri acara tersebut. Namun dugaannya salah. Pesta itu tidak seburuk apa yang ia bayangkan. Memang banyak dari keluarga Mark yang tidak dirinya kenal, tapi bukan berarti mereka orang-orang yang menyeramkan. Selain itu ia juga bersyukur karena Mark tidak pernah meninggalkannya selama mereka berada di sana.



Hari semakin larut dan beberapa keluarga Mark telah meninggalkan pesta. Mark dan Jiyeong pun memutuskan untuk ikut pergi karena pria itu harus mengantar Jiyeong pulang. Awalanya sang nenek merasa keberatan. Ia masih ingin berbincang bersama Jiyeong, calon menantu keluarganya. Tapi karena bujukan Mark, akhirnya wanita paruh baya itu dengan berat hati mengizinkan cucunya dan tunangannya itu pergi.



Jiyeong memasuki mobil Mark begitu pun dengan pria itu. Gadis itu cukup merasa lelah. Sampai-sampai ia tidak peduli pada seatbelt yang seharusnya ia kenakan. Ia lebih memilih untuk menyandarkan tubuhnya dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.



Di lain sisi, Mark terus memerhatikan gadis itu dan tidak kunjung menghidupkan mesin kendaraannya. Mark masih tetap memfokuskan atensinya pada Jiyeong sampai saat gadis itu menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan pria itu.



“Ada apa? Kenapa kau tidak menghidupkan mesin mobilnya dan malah menatap ku?” Jiyeong membuak suaranya dan menatap pria itu bingung.



Salah satu sudut bibirnya kembali tertarik membentuk sebuah seringaian. Melihat bagaimana Mark menatapnya dan raut wajahnya membuat Jiyeong kembali teringat akan ucapan pria itu sesaat sebelum mereka meninggalkan rumahnya.



“Apa yang kau inginkan? Cepat katakan.” Perintah Jiyeong malas. Gadis itu terlalu lelah untuk meladeni permainan Mark. Ia sudah sangat tahu kalau dirinya tidak akan pernah bisa mengalahkan pria itu.



Masih tetap dengan seringainya, pria itu menunjuk Jiyeong sebagai jawabannya. Jiyeong hanya mampu mengerutkan dahi dan memandangnya dengan penuh tanya.



“Aku? Apa maksud mu?”



Jiyeong masih diselimuti dengan kebingungan saat Mark mulai mendekat kepadanya. Pria itu mulai menghapuskan jarak antara dirinya dengan Jiyeong. Sedikit demi sedikit jarak di antara keduanya mulai berkurang. Ketika itu juga, Mark mendaratkan bibirnya pada bibir Jiyeong.



Ia mengecupnya. Mengulumnya. Bahkan menggigitnya agar gadis itu mau membuka mulutnya dan membiarkan lidahnya masuk ke dalam.



Jiyeong tidak melawan. Karena ia tahu jika ia melawan, mobil yang ia tumpangi akan bergerak dan menarik perhatian orang-orang yang masih berada di pesta itu. Jika hal itu sampai terjadi, maka bukan tidak mungkin jika kedua orang tuanya akan merubah pikiran mereka untuk mempercepat tanggal pernikahannya dengan Mark.



Tapi Jiyeong tetap berusaha untuk menghentikan Mark. Ia menggunakan suranya yang tertahan untuk menghentikan pria itu. Walaupun suaranya terdengar kacau, saat ia memanggil nama Mark disela-sela cumbuan pria itu, tapi Jiyeong tidak menyerah. Ia terus mengulanginya sampai tiba-tiba saja tangan pria itu menyesap ke balik tubuhnya dan memberikan sentuhan pada punggungnya.



Hal itu membuat matanya terpejam kuat dan suaranya berhenti memanggil nama Mark.



Mark yang masih terus mencumbu habis bibir Jiyeong menyadari bahwa kini Jiyeong sudah mulai menerima setiap sentuhan yang ia berikan dengan matanya yang mulai terpejam. Ia semakin sadar bahwa tidak ada gadis manapun yang mampu menolak setiap sentuhan yang ia berikan. Begitupun dengan Jiyeong.



Walaupun ia mengakui bahwa sulit untuknya membuat Jiyeong terbuai dengan dirinya. Tapi toh nyatanya kini gadis itu telah benar-benar jatuh ke dalam buaiannya.



Cumbuan itu kian menjadi saat Mark mulai beralih pada rahang dan leher Jiyeong. Ia mulai menyesapi aroma tubuh gadis itu dan mulai bekerja pada leher jenjangnya. Perlahan ia mulai membuat tanda kemerahan di sana.



Dalam waktu singkat beberapa tanda telah berhasil ia torehkan. Tanda-tanda itu tidak membuat ia berhenti melakukan aksinya. Seperti yang sudah dialami oleh banyak gadis di luar sana, Mark akan terus menjelajahi setiap bagian wajah gadisnya sampai ia merasa puas.



Setelah membuat bibir Jiyeong sedikit membengkak dan menciptakan beberapa tanda merah di lehernya, ia masih belum merasa puas dengan apa yang tengah dirinya lakukan. Menurutnya membuat bercak kemerahan tersebut bukanlah perkara sulit. Itu seperti melakukan pemanasan sebelum mulai berolahraga.



Mark pun kembali kepada bibir Jiyeong. Ia kembali menikmati sensasi yang diberikan bibir itu untuknya. Rasa manis bibir itu membuatnya merasa ingin terus mengulumnya. Terlebih dengan lipstick berprisa stroberi yang membuat ia semakin ingin terus menikmati bibir itu.



Sementara bibirnya masih terus mencumbu bibir Jiyeong, tangan pria itu terus bergerak memberikan sentuhan pada punggungnya yang membuat Jiyeong tidak dapat membuka matanya. Sentuhan pria itu begitu memabukkan. Seperti mengandung alkohol yang membuat ia kehilangan kesadaran dan kendali akan dirinya.



“Ma-rk..”



Ia kembali memanggil nama Mark saat pria itu kembali memberikan ciuman pada rahangnya. Namun Mark tidak memberikan reaksi apa pun. Ia malah terus menciumi rahang gadis itu dari satu sisi ke sisi lainnya. Bahkan tangannya yang masih bebas ia gunakan untuk mengenyampirkan rambut Jiyeong yang menghalanginya.



Jiyeong benar-benar menjadi tidak terkendali saat Mark mulai membisikan kalimat-kalimat manis di telinganya dan setelah itu memberikan kecupan pada telinganya. Tubuhnya semakin menggelinjang saat Mark memberikan sengatan di sana.



Dan Mark tahu itu. Mark tahu bahwa ia baru saja sampai pada bagian tersensitif gadis itu. Mengetahui hal itu membuat ia semakin intens memberikan kecupan serta gigitan pada bagian tersebut.



Sementara Jiyeong, ia semakin merasakan hawa panas di seluruh tubuhnya hingga membuat dirinya tidak dapat menahan lenguhannya sendiri. Sial! Tidak seharusnya suara laknat itu keluar dari mulutnya.



Semakin intens Mark memberikan kecupan serta gigitan pada bagian sensitifnya, suara yang ia anggap laknat itu tidak bisa lagi ia tahan. Gadis itu beberapa kali melenguh saat pertahannya sudah benar-benar hancur karena sentuhan serta cumbuan yang pria itu berikan padanya.



Mark menjauhkan tubuhnya begitu ia mendengar lenguhan panjang setelah ia mengecup, menggigit, dan menjilat bagian tersensitif pada leher Jiyeong. Ia menatap Jiyeong yang tengah memburu napas dan kemudian tersenyum manis.



“Terima kasih.”




To be continued



감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts