Good Criminals #4
Keesokan harinya, saat jam
kerjanya usai, Hwa Min langsung datang ke gedung proyek tempat ia bertemu
Doyoung kemarin. Karena pesan sembunyi-sembunyi Doyoung di kertas alumunium
foil itu sudah terhapus sebelum sempat dibaca, Hwa Min jadi tak tahu kapan dan
di mana tepatnya Doyoung mengajaknya bertemu—lagi, kali ini tanpa sepengetahuan Jaehyun.
Alhasil, karena sama sekali tak
punya bayangan, Hwa Min pun mencoba peruntungannya dengan datang ke sini. Dia berpikir, memangnya tempat mana lagi yang mungkin untuk dijadikan lokasi bertemu? Kampus
lama mereka? Terlalu riskan. Tempat kerjanya? Mau mati?! Lalu di mana? Benar-benar
tidak ada tempat lain, kan? Yah, kecuali jika Doyoung mencetuskan tempat baru
yang sama sekali asing buatnya.
Hwa Min duduk di tangga semen, di
antara lantai lima dan enam. Menunggu dari matahari terbenam sampai benar-benar
larut. Bingung, khawatir, getir. Perasaannya benar-benar kalang kabut. Ia harap
ia tak salah langkah. Jangan sampai Doyoung berpikir ia tak mau bertemu
dengannya.
Seiring dengan semakin pekatnya
malam, kegetiran di dada Hwa Min menjadi semakin besar. Apa bukan hari ini?
Atau apa jangan-jangan pria itu ada di tempat lain, sedang menunggu sama
seperti dirinya?
Akhirnya, saat jam digital di ponselnya
sudah menunjukkan pukul sepuluh, Hwa Min pun menyandang tas tangannya di bahu
dan berdiri menuruni tangga dengan perasaan terganjal luar biasa. Selama
berjalan pulang, ia tak henti-hentinya mendumel dalam hati, mengutuk Doyoung
yang sudah menuliskan instruksi sepenting itu di kertas pembungkus rokok yang
rentan terhapus. Kalau sudah begini, apa yang harus ia lakukan? Minta tolong
pada Jaehyun? Ampun, setelah diancam sampai sebegitunya, ia tak mungkin menemui
si CEO Jung Corp itu lagi. Lagi pula, pertemuan kedua ini dirancang supaya
menghindarinya.
Sesampainya di rumah, karena
sudah amat larut, Hwa Min berjalan berjingkat-jingkat menuju kamarnya di lantai
dua supaya tidak membangunkan orangtuanya. Ia membuka pintu kamarnya dengan
gerakan teramat pelan, kemudian menutupnya lagi sama pelannya. Setelah itu,
barulah ia bernapas lega.
Gadis itu baru meloloskan tali
tasnya dari bahu saat tiba-tiba saja seseorang mengejutkannya.
“Apa setiap hari kau pulang
selarut ini?”
Hwa Min terkesiap keras dan
langsung menoleh.
“Kim Doyoung!” bisiknya terkejut.
“Apa yang kau lakukan di sini!”
Doyoung yang duduk di sofa santai
kuning milik Hwa Min itu cuma mengangkat bahu. “Entahlah, menurutmu kenapa?”
“Aku serius.”
“Kukira kita sudah janji untuk
ketemuan di sini?”
“Maksudmu di kamarku?”
“Ya. Apa kau tak baca kertas
dariku?”
Mendengar kata ‘kertas’, mendadak
emosi Hwa Min jadi terpancing. Ia mendengus keras, mendekati Doyoung dan duduk
di hadapannya seraya mengeluarkan kertas alumunium foil yang sudah berkerut terkepal
dari sakunya. “Lihat ini dan katakan padaku apa yang harus kubaca!” Ia melempar
kertasnya pada Doyoung. “Tulisanmu sudah terhapus! Aku benar-benar bingung
harus menunggumu di mana, tahu tidak!”
Doyoung terlihat tak peduli. Ia
cuma melirik kertas itu terjatuh ke pangkuannya, lalu kembali menaikkan
pandangannya pada Hwa Min. “Ya, my
dear. Aku sudah memikirkan kemungkinan itu. Tidakkah menurutmu aku brilian
karena memilih tempat yang mudah kaudatangi?”
“Tempat yang mudah kudatangi?”
Hwa Min mengulangi perkataan sang pria untuk menekankan betapa bodohnya itu. “Kim
Doyoung, astaga ini kamarku!”
“Tepat sekali.”
“Bagaimana bisa kau
masuk ke sini?”
Doyoung mengedikan kepalanya ke
arah jendela sebagai jawaban.
“Jendelanya terkunci.”
“Lalu?”
“Bagaimana kau masuk?”
“Kau lupa siapa aku, ya?” tanya
Doyoung sok. “Biasanya aku membobol bank, atau rumah pejabat yang hanya bisa
dibuka dengan sidik jari. Jadi coba kau pikir, apa menurutmu membuka jendela
dengan kunci murahan begitu sulit bagiku? Aku bisa melakukannya sambil menutup
mata.”
“Apa kau bangga dengan itu?”
“Tentu saja,” jawab Doyoung
cepat. Raut congkaknya semakin menjadi-jadi. “Tidak sembarang orang bisa
melakukannya.”
“Begitu?”
“Begitu. Dan kurasa sudah cukup basa-basinya.”
Hwa Min bersedekap kesal melihat
betapa pongahnya Doyoung saat ini. Ia melirik jendelanya yang sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda habis dibobol, kemudian kembali mengarahkan
pandangannya pada Doyoung.
“Jadi,” kata sang pria, “kau
berubah pikiran?”
“Apa maksudmu?”
“Kau mencariku. Bukankah itu
artinya kau berubah pikiran?” tanyanya mengangkat alis. “Kau mau ikut denganku
sekarang?”
“Ke pulau?”
“Ya. Hanya kau dan aku.”
“Di mana letaknya?”
“Akan kujelaskan detailnya
setelah kau setuju.”
Hwa Min tak menjawab. Rencana
awalnya memang begitu. Ia akan ikut Doyoung lalu menjebaknya saat pria itu
lengah. Menelepon polisi dan membiarkannya dihukum atas perbuatannya. Namun saat
ini, entah mengapa ia malah ragu untuk mengangguk. Bagaimana jika ia setuju dan
tak bisa keluar dari cengkeraman Doyoung? Bagaimana jika rencananya tak
berjalan sesuai keinginannya? Bagaimana jika ia terkurung di pulau itu
selamanya? Bagaimana….
“Kau mengerti situasi ini, kan?”
Doyoung menyela pikirannya. “Aku sedang memberimu kesempatan kedua.”
“Aku tahu,” sambar Hwa Min jengkel.
“Kau baru bilang sekarang dan bukannya kemarin karena takut pada Jaehyun, kan?
Kau takut dia mendengar pembicaraan kita, entah bagaimana caranya. Kau takut
dia tak percaya padaku sebagaimana kau percaya padaku.”
Doyoung tersenyum sinis sembari
mendecakkan lidahnya, kemudian mendebat dengan ekspresi terhina, “Pertama-tama,
my dear, aku tak takut pada Jaehyun.
Aku tak takut siapa pun. Aku cuma merasa dia belum siap dengan sedikit
perubahan. Dan kedua, aku belum percaya padamu. Aku hanya memberimu kesempatan
sekali lagi. Jika kau kembali mengacaukannya, maka persetan dengan perasaanku.”
“Perasaanmu?”
“Yeah,” Doyoung mencondongkan
wajahnya hingga persis ke depan wajah Hwa Min. “Cuma alasan klise, kau tahu.
Tapi siapa sangka empat tahun lalu aku benar-benar jatuh cinta?” bisiknya,
menelengkan kepala dan menatap lawan bicaranya dari balik bulu matanya yang
lentik dan tebal. “Dan siapa sangka aku masih memilikinya? Pada gadis yang
sama? Yang kebetulan sudah bertransformasi menjadi jaksa yang bisa menikamku
kapan saja?”
Rahang Hwa Min mengeras. Wajah
Doyoung persis ada di depannya dan udara tiba-tiba terasa panas.
“Kau paham betapa aku
menggantungkan segala yang kupunya hanya demi kau?” lanjutnya dengan suara
pelan. “Aku lebih dari nekat, my dear.
Aku sudah…. hilang akal.”
Hwa Min sepenuhnya kehilangan
kemampuan untuk bicara. Doyoung mengulas senyum putus asa di bibir tipisnya sebelum
melanjutkan, “Dan kuharap kau sama hilang akalnya denganku. Kuharap… kau rela
berkorban sedikit demi aku. Aku mohon padamu ikutlah denganku.”
“D-doyoung-ssi, a-aku…”
Doyoung tiba-tiba berdiri. Hwa
Min mendongak dan menatapnya keheranan.
“Lusa jam satu pagi. Aku akan
menunggumu di depan. Pikirkanlah baik-baik.” Doyoung mengulurkan tangannya dan
mengambil bulu mata yang terjatuh di pipi kiri Hwa Min, kemudian meniupnya ke
samping. Gerakannya begitu lembut, begitu anggun dan elegan. Hwa Min tak bisa
berhenti menatap semua pergerakan sederhana itu sambil menahan napas. “Kalau
kau mau berkhianat lagi, lebih baik langsung saja dari awal. Sekalian ajak
polisi dan suruh mereka membuntuti kita diam-diam. Buatlah skenario bagus untuk
menjebakku. Itu lebih baik ketimbang membuang waktuku. Aku tidak mau kau
merusak sesuatu yang sudah berjalan. Akan menyakitkan, pastinya. Dan aku tak
begitu pandai berurusan dengan rasa sakit.”
Hwa Min merasa pikirannya baru
saja dibaca dan refleks mengalihkan pandangannya dari mata Doyoung.
“Tapi kuharap kau tidak serendah
itu sampai mencampurkan urusan pribadi kita dengan pekerjaanmu,” lanjutnya,
seraya berjalan mundur dan menjangkau bingkai jendela. “Kalau begitu,” Doyoung
menaikkan alisnya, “Sampai ketemu besok lusa.”
“Yeah.”
“Yeah?”
“Maksudku, ya, aku akan
memikirkannya.”
**********
Sementara Hwa Min menyusun draf
dakwaan untuk sidang minggu depan, suara gelegar guntur yang dahsyat bergema di
langit di luar jendela. Jin Ah yang duduk di sampingnya berjengit dan langsung
menutupi telinganya.
“Astaga, ada apa sih dengan
langit? Ini sudah yang ketiga, dan suaranya makin kencang saja. Padahal
langitnya cerah loh. Aneh, deh.”
Hwa Min meliriknya dan
mengangguk.
Saat itu, Seong Joon keluar dari
ruangannya dan mendatangi meja Hwa Min sambil membawa segulung kertas. “Kau
sudah menelepon polisi?” tanyanya sembari menyodorkan gulungan kertasnya,
rancangan dakwaan yang lain, yang wajib ia ketik sebelum pulang.
“P-polisi?”
“Ya, berkas penyelidikan yang mereka
kirimkan kemarin lusa kutolak. Buktinya kurang, dia tak akan dapat hukuman
apa-apa kalau cuma dari pengakuan saksi begitu.”
“Ah, yang itu.”
“Apa yang kau lakukan sekarang?”
“Aku mengetik apa yang kau
suruh.”
Seong Joon berjalan di antara
mejanya dan meja Jin Ah lalu mencondongkan badannya memeriksa layar komputer
Hwa Min. “Apa kau serius?” Nadanya amat menghina. “Kau mengerjakan ini dari
pagi. Apa kau tak bisa mengetik lebih cepat?”
“A-aku…”
“Aku mau sepuluh menit lagi
drafnya sudah dikirim ke emailku. Dan Jin Ah-ssi,” Ia berbalik pada Jin Ah yang
sedang menguping, yang langsung membelalak panik karena tertangkap
basah, “telepon polisi Seoul dan kirimkan balik berkas penyidikan mereka. Aku yakin
kau sudah tahu berkas mana yang kumaksud. Telingamu tajam, kan?”
“Eh, i-iya baik.”
Seong Joon mendengus dan
menyambar kembali kertas-kertas yang sebelumnya ia letakkan di meja Hwa Min,
jelas-jelas berpikir mengetiknya sendiri akan jauh lebih cepat. Ia kembali ke
ruangannya dengan tampang marah dan tiba-tiba saja guntur keempat bergema dengan
dahsyat. Hwa Min dan Jin Ah berjengit serempak dan saling memandang.
“Jangan-jangan dia dewa petir,
ya? Suasana hatinya sedang buruk jadi langitnya…” Tiba-tiba Seong Joon keluar
lagi dan Jin Ah refleks memalingkan muka dan mengangkat pesawat teleponnya. Menekan nomor kantor polisi Seoul sebagaimana perintah sang dewa petir.
Hwa Min lanjut mengetik, namun
ekor matanya memerhatikan pergerakan Seong Joon. Sepertinya pria itu sedang tak
bisa diajak bicara. Baguslah, tapi di
saat yang sama juga ‘bagaimana ini?’. Jika
bukan Seong Joon, lalu pada siapa ia bisa bicara? Tapi memangnya ada yang akan
percaya kalau Doyoung ada di kamarnya semalam? Memangnya ada yang mau datang ke
rumahnya jam satu pagi hanya untuk memastikan perkataannya benar? Hwa Min sudah
lelah dianggap mengada-ada.
Saat itu, Seong Joon kembali ke
ruangannya dengan segelas kopi dan Hwa Min refleks berdiri. Ia mengikutinya
setengah jalan sebelum tiba-tiba saja langkahnya terasa begitu berat hingga ia
harus berhenti, ragu sendiri. Hwa Min 100% yakin Seong Joon tak akan memercayainya.
Tapi ia tak mungkin tak mengatakan apa-apa dan tiba-tiba menghilang besok pagi.
Akhirnya, setelah pergulatan
panjang dengan diri sendiri, Hwa Min pun memberanikan diri dan berjalan masuk.
Seong Joon mengangkat pandangannya dari komputer dan menghela napas melihat Hwa
Min. “Sudah kau email?”
“Ah, belum.”
Seong Joon menghela napas lagi,
kali ini lebih dalam, seolah ia sedang berusaha mengosongkan udara di
paru-parunya.
“Apa kau masih peduli pada kasus
Kim Doyoung?”
Pria itu hampir tersenyum. “Apa
kerjaanmu kurang? Kukira kau sudah kewalahan.”
“Aku menemukannya. Aku bertemu
dengannya. Aku akan melakukan penyamaran besok dini hari. Dia mengajakku pergi
ke suatu tempat. Ke pulau, katanya.” Hwa Min bicara dalam satu tarikan napas,
sadar sepenuhnya bahwa ia sedang dianggap sinting. Selalu dianggap sinting.
“Aku akan sangat mengapresiasi
jika kau mau mengirimkan aparat untuk meringkusnya di depan rumahku nanti malam
jam satu pagi,” lanjut Hwa Min, berupaya menampilkan ekspresi serius sekalipun
Seong Joon menatapnya dengan pandangan muak luar biasa. “Tapi kau harus ingat
Doyoung selicin apa. Dia mungkin tak benar-benar menampakkan diri malam ini,
mungkin ia ingin memastikan dulu apa aku akan mengkhianatinya lagi, tapi
menurutku apa salahnya mencoba? Sebenarnya dia bahkan sudah menyuarakan rencana
peringkusan seperti itu. Dia bilang akan lebih baik jika aku menunjukkan
ketidaksetiaanku lebih cepat. Tapi…”
“Aku tak akan mengirim siapa pun,
Son Hwa Min-ssi,” sela Seong Joon bosan. “Silahkan menyamar sesukamu.”
“Aku tahu seharusnya aku membawa
bukti untuk mendukung pengakuan ini. Aku tahu kau tak percaya padaku.”
“Tidak apa-apa. Aku mulai
terbiasa dengan omong kosongmu.”
“Benar, ini terdengar seperti
omong kosong. Tapi setidaknya aku sudah memberitahumu. Jika Doyoung benar-benar
menjemputku malam ini, maka aku tak akan bisa masuk kerja mulai besok. Entah
sampai kapan.”
“Sepanjang karirku di sini, itu adalah alasan paling unik untuk resign.”
“Aku tidak resign. Aku akan mengumpulkan bukti selama aku bersamanya dan
memastikannya mendapat hukuman setimpal.”
Seong Joon tertawa dan Hwa Min
cuma bisa mengepalkan tangannya dengan raut hampir terluka, hampir menangis.
“Baiklah, Son Hwa Min-ssi. Aku sudah mendengar pengakuanmu. Sekarang aku butuh
emailnya. Ada sidang sungguhan yang harus kuikuti besok pagi dan aku butuh
surat dakwaannya sekarang.”
Seong Joon jelas-jelas tak
peduli. Hwa Min benar-benar ingin menendang vas bunga di sebelahnya selama ia
membungkuk sedikit dan berbalik meninggalkan ruangan.
Amarahnya melesak ke seluruh tubuh
dan tekadnya untuk membuktikan kebenaran semakin besar. Ya, ia akan
melakukannya sendiri. Ia tak butuh bantuan kejaksaan. Ia tak butuh bantuan Seong
Joon sialan.
**********
Ini merupakan salah satu momen
dalam hidup Hwa Min di mana ia tidak bisa merasakan apa-apa. Ia tidak takut,
tidak marah, tidak gembira, tidak sedih, sama sekali tidak… apa-apa. Hwa Min sudah memasukkan
persediaan baju untuk seminggu ke dalam tas ranselnya, sudah menuliskan sepucuk
surat untuk ibunya yang isinya kurang lebih begini; maaf tidak mengabarimu, tapi aku pergi untuk berlibur. Jangan khawatir
aku akan pulang begitu stresku hilang.
Hwa Min menunggu di sofa
santainya sampai hampir ketiduran. Baru saat jendelanya dilempari batu,
kira-kira pukul satu lewat lima, Hwa Min terlonjak bangun dan segera berdiri.
Ia tergopoh-gopoh menghampiri jendela, memberikan isyarat pada si pelempar
batu—yang sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar batu yang lain—bahwa ia
akan segera turun. Lantas menyandang ranselnya, memakai topinya, dan mengendap-endap
turun.
Doyoung menurunkan maskernya ke
bawah dagu, mengumbar senyum tipis begitu melihat ransel penuh sesak bertengger
di punggung Hwa Min.
“Keputusan yang bagus, my dear,” katanya begitu Hwa Min
menghampiri. “Terima kasih sudah memercayaiku.”
Hwa Min memutar mata. “Lebih baik
kita pergi sekarang, sebelum aku sadar betapa bodohnya aku.”
“Tidak secepat itu.”
“Apa maksudmu?”
Doyoung tersenyum penuh arti.
“Mungkin kau memang memercayaiku, tapi siapa bilang aku percaya padamu?”
“Apa!” Hwa Min tanpa sadar
berteriak. Ia membekap mulutnya sendiri sebelum melanjutkan dengan suara pelan.
“Lalu apa yang harus….”
“Ponsel.”
“Ponsel?”
“Ya. Berikan ponselmu padaku!”
“Huh?”
“Kau mendengarku.”
Dengan bingung—dan enggan—Hwa Min
merogoh saku jinsnya dan memberikan ponselnya pada Doyoung. “Berjanjilah kau
tak akan—BRAKK.”
“KIM DOYOUNG!” Hwa Min berteriak
lagi. Membekap mulutnya lagi.
“Tak akan apa, my dear?” Doyoung memungut ponsel yang
baru ia banting sekuat tenaga ke aspal itu dengan santai.
“….merusaknya,” gumam Hwa Min lemas.
“Harusnya kau memperingatkanku
lebih cepat,” kata Doyoung dengan nada bersimpati dibuat-buat. Ia mengacungkan
ponsel Hwa Min yang layarnya sudah retak itu di antara wajah mereka, “kurasa
kita sudah tak membutuhkan ini lagi,” lanjutnya, kemudian melemparnya begitu
saja ke belakang.
Hwa Min nyaris berteriak untuk
yang ketiga kali. Ia terkesiap dan tangannya refleks
menggapai, namun ponselnya sudah melambung tinggi sampai melewati atap rumah di
belakang Doyoung.
“Dasar berengsek! Apa kau puas,
huh? Kau sudah percaya padaku sekarang!”
“Tentu saja belum.” Doyoung
mengeluarkan kain hitam dari sakunya, kemudian berjalan ke belakang Hwa Min
sembari menyentak kainnya hingga terurai.
“Apa lagi sekarang?” Hwa Min
secara refleks menyingkir, memicing menatap Doyoung dengan raut penuh amarah bercampur
waspada.
“Aku akan menutup matamu sepanjang jalan, sampai
kita tiba di tujuan.”
Hwa Min nampak tidak terima. “Apa
kau serius?”
“Ya. Ini tak akan lama, aku janji.
Mobilku ada di ujung jalan.”
“Kau bawa mobil?”
“Ya.”
“Mobil curian?”
Doyoung mendecak, “Bukan, tentu
saja. Sekarang jangan bergerak.” Ia mengulurkan tangannya dan mulai mengikatkan
kainnya menutupi mata Hwa Min.
“Kau siap?”
“Aku tak punya pilihan lain,
kurasa.”
“Benar.” Doyoung menyelipkan
jemarinya yang dingin di antara jemari Hwa Min. “Terima kasih banyak. Aku janji
kau tak akan menyesali ini.”
“Sejujurnya aku sudah menyesal.”
**********
Tidak sampai lima belas menit berkendara, Hwa Min merasakan mobil Doyoung memelan sebelum akhirnya berhenti. Mengingat tujuan yang dijanjikan Doyoung, Hwa Min mengira ia dibawa ke bandara atau stasiun, atau apalah. Namun perkiraannya salah besar.
“Selamat datang di rumah, my dear.”
Cahaya terang menerobos masuk
melalui retina Hwa Min, membuatnya refleks menyipitkan mata, lantas
mengerjap-ngerjap membiasakan diri. “Di mana kita?”
“Rumah,” jawab Doyoung antusias,
merentangkan kedua tangannya seraya tersenyum lebar.
“Rumah?” Hwa Min mengerutkan
dahi, menoleh ke sekeliling. Mereka jelas-jelas berada di bangunan tua, yang
semua furniturnya terlihat seperti didatangkan langsung dari 50 tahun lalu.
Mungkin satu-satunya hal yang masih baru di sini hanyalah lampunya, yang
berpijar kelewat terang sampai bola matanya serasa terbakar. “Ini lebih seperti
markas. Ini pasti tempat persembunyianmu, kan?”
“Sekarang jadi tempat
persembunyianmu juga.”
“Kau bilang kita akan ke pulau?”
“Memang benar. Tapi sebelum itu,
kita harus cari uang dulu.”
“Cari uang?”
“Ya. Butuh banyak uang untuk ke
pulau. Butuh banyak uang juga untuk bertahan hidup di sana.”
“Apa maksudmu!” teriak Hwa Min, tak terima sudah dibohongi. “Kau bilang kita akan ke pulau!”
“Kita memang akan ke pulau,”
balas Doyoung cepat, “aku janji. Tapi kita harus mengumpulkan uang dulu.”
“Maksudmu dengan mencuri?”
Doyoung mengangkat bahu. “Kau tak
perlu ikut jika kau tak mau,” suaranya merendah dan ia berjalan mengitari sofa
yang masih agak berdebu sambil melirik Hwa Min ragu, “tapi akan lebih
menyenangkan jika kau bersedia menjadi Bonnie-ku.”
“Kim Doyoung, aku jaksa,” kata
Hwa Min penuh penekanan. “Aku tak akan mencuri.”
“Kau dulunya jaksa,” Doyoung mengoreksi. “Bagaimana bisa kau masih
mengakui profesi itu setelah kau memutuskan untuk ikut denganku.”
Saat itu pintu terbuka dan
seorang pria berwajah runcing melenggang masuk sambil bersenandung nyaring. Langkahnya
penuh percaya diri dan ia berpenampilan seperti penyanyi rock dengan gaya
rambut mullet panjang. Kedatangan pria itu praktis membuat
percakapan Hwa Min dan Doyoung berhenti.
Pemuda itu baru saja hendak
berbelok ke ruangan lain saat kepalanya tak sengaja menoleh dan langsung terlihat seperti hampir terkena serangan jantung saat melihat Hwa Min.
“Heh siapa kau!” gertaknya penuh
perlawanan. “Dari mana kau masuk?!”
“Yuta tenanglah, dia bersamaku!”
Yuta baru menyadari keberadaan
Doyoung dan otomatis melunak sedikit. “Dia bersamamu?”
“Ya, aku pernah bilang padamu
kita mungkin akan kedatangan anggota baru.”
“Anggota baru?” ulang Yuta, berharap
salah dengar. “Maksudmu ini?” Ia menunjuk Hwa Min yang mukanya langsung memerah
tersinggung. Bagaimana bisa dia menyebutku
dengan sebutan ‘ini’!
“Yeah, namanya Son Hwa Min.”
“Doyoung, dia cewek.”
“Aku tahu!”
Yuta menyibak rambut tebalnya
yang acak-acakan dengan wajah frustrasi. “Apa kau gila! Apa yang mungkin bisa
dia lakukan di sini! Apa dia hacker
seperti Mark?”
Hwa Min mengerutkan kening,
berpikir sebenarnya ada berapa orang yang terlibat dalam geng kriminal ini.
“Bukan, dia…”
“Aku tidak setuju,” Yuta
menyambar, cepat dan tegas, nampaknya jika Doyoung berbohong dan mengatakan Hwa
Min merupakan seorang hacker sekalipun,
reaksinya akan tetap sama.
“Apa Jaehyun tahu soal ini?”
lanjutnya masih dengan nada yang sama. “Pasti belum, kan? Aku yakin dia tak
akan setuju. Punya anggota cewek di tim sama sekali bukan ide bagus.
Mereka terlalu….” Yuta memikirkan kata lemah,
tapi ia melihat wajah Hwa Min yang sudah hampir meledak dan memutuskan untuk mengganti
kosa katanya menjadi lebih halus, “…emosional.”
“Heh, Tsubatsa!” bentak Hwa Min,
akhirnya meledak juga. Yuta yang semula berhadapan lurus dengan Doyoung terlonjak
dan menoleh padanya. “Kau pikir aku mau masuk kelompok kalian? Aku juga
terpaksa tahu tidak! Lebih baik kau berhenti meremehkanku atau kupotong habis
rambutmu!”
“Lihat bagaimana dia
mengancamku?” Yuta bicara pada Doyoung seraya mendenguskan tawa mencela, “dia
mengancam seperti wanita.”
“Aku memang wanita, bajingan!”
“Aku akan telepon Jaehyun.”
“Yeah,” sambar Doyoung, “telepon
dia dan Marmut. Aku ingin mereka kenalan dengan anggota baru.”
Yuta memicing tak senang pada
Doyoung, kemudian mengalihkan pandangannya pada Hwa Min, sinis,
seolah ingin mencabik-cabiknya, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan mereka,
tak lupa menendang kursi kayu yang dilaluinya. Hwa Min menatap belakang kepala pemuda itu dan menggeleng tak habis pikir. Dan dia pikir akulah yang emosional?
“Sambutannya lebih ramah dari
yang kupikirkan,” kata Doyoung begitu Yuta pergi.
“Sangat ramah,” balas Hwa Min
sarkastik. “Tapi dia benar, membawaku ke sini bukanlah ide bagus. Astaga, tahukah kau betapa inginnya aku melemparimu dengan bara
api?” Hwa Min mengusap mukanya frustrasi. “Kemarin kau berusaha menghindarkanku
dari Jaehyun, kau bilang dia berbahaya dan apalah. Lalu sekarang, tiba-tiba
saja kau malah ingin mempertemukan kami. Benar-benar tidak ada otaknya.”
“Kemarin statusmu masih jaksa.
Sekarang kau sudah setuju untuk ikut denganku. Itu berbeda,” Doyoung membela
diri. “Sudahlah, kalau kau memang percaya padaku ya percaya saja! Jangan
setengah-setengah! Aku tahu apa yang kulakukan.”
“Dan kuharap kau tahu di mana
harus menguburku jika Jaehyun benar-benar membunuhku.”
Doyoung menggeleng bosan. “Yeah,
tenang saja.”
TBC
Hola!!! Como Estas!!
Maaf hiatusku kelewatan sebulan, tapi yaudahlah g ada yang nungguin
juga..
Btw aku seneng aku punya waktu berlimpah buat nulis T_T Finallyy!!!!
Semoga beneran bisa manfaatin liburan ini buat namatin Good Criminals
Makasih semua yg udah baca.. ^^
Comments
Post a Comment