Good Criminals #4




Keesokan harinya, saat jam kerjanya usai, Hwa Min langsung datang ke gedung proyek tempat ia bertemu Doyoung kemarin. Karena pesan sembunyi-sembunyi Doyoung di kertas alumunium foil itu sudah terhapus sebelum sempat dibaca, Hwa Min jadi tak tahu kapan dan di mana tepatnya Doyoung mengajaknya bertemu—lagi, kali ini tanpa sepengetahuan Jaehyun.


Alhasil, karena sama sekali tak punya bayangan, Hwa Min pun mencoba peruntungannya dengan datang ke sini. Dia berpikir, memangnya tempat mana lagi yang mungkin untuk dijadikan lokasi bertemu? Kampus lama mereka? Terlalu riskan. Tempat kerjanya? Mau mati?! Lalu di mana? Benar-benar tidak ada tempat lain, kan? Yah, kecuali jika Doyoung mencetuskan tempat baru yang sama sekali asing buatnya.
  

Hwa Min duduk di tangga semen, di antara lantai lima dan enam. Menunggu dari matahari terbenam sampai benar-benar larut. Bingung, khawatir, getir. Perasaannya benar-benar kalang kabut. Ia harap ia tak salah langkah. Jangan sampai Doyoung berpikir ia tak mau bertemu dengannya.


Seiring dengan semakin pekatnya malam, kegetiran di dada Hwa Min menjadi semakin besar. Apa bukan hari ini? Atau apa jangan-jangan pria itu ada di tempat lain, sedang menunggu sama seperti dirinya?


Akhirnya, saat jam digital di ponselnya sudah menunjukkan pukul sepuluh, Hwa Min pun menyandang tas tangannya di bahu dan berdiri menuruni tangga dengan perasaan terganjal luar biasa. Selama berjalan pulang, ia tak henti-hentinya mendumel dalam hati, mengutuk Doyoung yang sudah menuliskan instruksi sepenting itu di kertas pembungkus rokok yang rentan terhapus. Kalau sudah begini, apa yang harus ia lakukan? Minta tolong pada Jaehyun? Ampun, setelah diancam sampai sebegitunya, ia tak mungkin menemui si CEO Jung Corp itu lagi. Lagi pula, pertemuan kedua ini dirancang supaya menghindarinya.


Sesampainya di rumah, karena sudah amat larut, Hwa Min berjalan berjingkat-jingkat menuju kamarnya di lantai dua supaya tidak membangunkan orangtuanya. Ia membuka pintu kamarnya dengan gerakan teramat pelan, kemudian menutupnya lagi sama pelannya. Setelah itu, barulah ia bernapas lega.


Gadis itu baru meloloskan tali tasnya dari bahu saat tiba-tiba saja seseorang mengejutkannya.


“Apa setiap hari kau pulang selarut ini?”


Hwa Min terkesiap keras dan langsung menoleh.


“Kim Doyoung!” bisiknya terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini!”


Doyoung yang duduk di sofa santai kuning milik Hwa Min itu cuma mengangkat bahu. “Entahlah, menurutmu kenapa?”


“Aku serius.”
“Kukira kita sudah janji untuk ketemuan di sini?”
“Maksudmu di kamarku?”
“Ya. Apa kau tak baca kertas dariku?”


Mendengar kata ‘kertas’, mendadak emosi Hwa Min jadi terpancing. Ia mendengus keras, mendekati Doyoung dan duduk di hadapannya seraya mengeluarkan kertas alumunium foil yang sudah berkerut terkepal dari sakunya. “Lihat ini dan katakan padaku apa yang harus kubaca!” Ia melempar kertasnya pada Doyoung. “Tulisanmu sudah terhapus! Aku benar-benar bingung harus menunggumu di mana, tahu tidak!”


Doyoung terlihat tak peduli. Ia cuma melirik kertas itu terjatuh ke pangkuannya, lalu kembali menaikkan pandangannya pada Hwa Min. “Ya, my dear. Aku sudah memikirkan kemungkinan itu. Tidakkah menurutmu aku brilian karena memilih tempat yang mudah kaudatangi?”


“Tempat yang mudah kudatangi?” Hwa Min mengulangi perkataan sang pria untuk menekankan betapa bodohnya itu. “Kim Doyoung, astaga ini kamarku!”


“Tepat sekali.”
“Bagaimana bisa kau masuk ke sini?”


Doyoung mengedikan kepalanya ke arah jendela sebagai jawaban.


“Jendelanya terkunci.”
“Lalu?”
“Bagaimana kau masuk?”
“Kau lupa siapa aku, ya?” tanya Doyoung sok. “Biasanya aku membobol bank, atau rumah pejabat yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari. Jadi coba kau pikir, apa menurutmu membuka jendela dengan kunci murahan begitu sulit bagiku? Aku bisa melakukannya sambil menutup mata.”


“Apa kau bangga dengan itu?”
“Tentu saja,” jawab Doyoung cepat. Raut congkaknya semakin menjadi-jadi. “Tidak sembarang orang bisa melakukannya.”


“Begitu?”
“Begitu. Dan kurasa sudah cukup basa-basinya.”


Hwa Min bersedekap kesal melihat betapa pongahnya Doyoung saat ini. Ia melirik jendelanya yang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda habis dibobol, kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada Doyoung.


“Jadi,” kata sang pria, “kau berubah pikiran?”
“Apa maksudmu?”
“Kau mencariku. Bukankah itu artinya kau berubah pikiran?” tanyanya mengangkat alis. “Kau mau ikut denganku sekarang?”


“Ke pulau?”
“Ya. Hanya kau dan aku.”
“Di mana letaknya?”
“Akan kujelaskan detailnya setelah kau setuju.”


Hwa Min tak menjawab. Rencana awalnya memang begitu. Ia akan ikut Doyoung lalu menjebaknya saat pria itu lengah. Menelepon polisi dan membiarkannya dihukum atas perbuatannya. Namun saat ini, entah mengapa ia malah ragu untuk mengangguk. Bagaimana jika ia setuju dan tak bisa keluar dari cengkeraman Doyoung? Bagaimana jika rencananya tak berjalan sesuai keinginannya? Bagaimana jika ia terkurung di pulau itu selamanya? Bagaimana….


“Kau mengerti situasi ini, kan?” Doyoung menyela pikirannya. “Aku sedang memberimu kesempatan kedua.”


“Aku tahu,” sambar Hwa Min jengkel. “Kau baru bilang sekarang dan bukannya kemarin karena takut pada Jaehyun, kan? Kau takut dia mendengar pembicaraan kita, entah bagaimana caranya. Kau takut dia tak percaya padaku sebagaimana kau percaya padaku.”


Doyoung tersenyum sinis sembari mendecakkan lidahnya, kemudian mendebat dengan ekspresi terhina, “Pertama-tama, my dear, aku tak takut pada Jaehyun. Aku tak takut siapa pun. Aku cuma merasa dia belum siap dengan sedikit perubahan. Dan kedua, aku belum percaya padamu. Aku hanya memberimu kesempatan sekali lagi. Jika kau kembali mengacaukannya, maka persetan dengan perasaanku.”


“Perasaanmu?”
“Yeah,” Doyoung mencondongkan wajahnya hingga persis ke depan wajah Hwa Min. “Cuma alasan klise, kau tahu. Tapi siapa sangka empat tahun lalu aku benar-benar jatuh cinta?” bisiknya, menelengkan kepala dan menatap lawan bicaranya dari balik bulu matanya yang lentik dan tebal. “Dan siapa sangka aku masih memilikinya? Pada gadis yang sama? Yang kebetulan sudah bertransformasi menjadi jaksa yang bisa menikamku kapan saja?”


Rahang Hwa Min mengeras. Wajah Doyoung persis ada di depannya dan udara tiba-tiba terasa panas.


“Kau paham betapa aku menggantungkan segala yang kupunya hanya demi kau?” lanjutnya dengan suara pelan. “Aku lebih dari nekat, my dear. Aku sudah…. hilang akal.”


Hwa Min sepenuhnya kehilangan kemampuan untuk bicara. Doyoung mengulas senyum putus asa di bibir tipisnya sebelum melanjutkan, “Dan kuharap kau sama hilang akalnya denganku. Kuharap… kau rela berkorban sedikit demi aku. Aku mohon padamu ikutlah denganku.”


“D-doyoung-ssi, a-aku…”


Doyoung tiba-tiba berdiri. Hwa Min mendongak dan menatapnya keheranan.


“Lusa jam satu pagi. Aku akan menunggumu di depan. Pikirkanlah baik-baik.” Doyoung mengulurkan tangannya dan mengambil bulu mata yang terjatuh di pipi kiri Hwa Min, kemudian meniupnya ke samping. Gerakannya begitu lembut, begitu anggun dan elegan. Hwa Min tak bisa berhenti menatap semua pergerakan sederhana itu sambil menahan napas. “Kalau kau mau berkhianat lagi, lebih baik langsung saja dari awal. Sekalian ajak polisi dan suruh mereka membuntuti kita diam-diam. Buatlah skenario bagus untuk menjebakku. Itu lebih baik ketimbang membuang waktuku. Aku tidak mau kau merusak sesuatu yang sudah berjalan. Akan menyakitkan, pastinya. Dan aku tak begitu pandai berurusan dengan rasa sakit.”


Hwa Min merasa pikirannya baru saja dibaca dan refleks mengalihkan pandangannya dari mata Doyoung.


“Tapi kuharap kau tidak serendah itu sampai mencampurkan urusan pribadi kita dengan pekerjaanmu,” lanjutnya, seraya berjalan mundur dan menjangkau bingkai jendela. “Kalau begitu,” Doyoung menaikkan alisnya, “Sampai ketemu besok lusa.”


“Yeah.”
“Yeah?”
“Maksudku, ya, aku akan memikirkannya.”



**********



Sementara Hwa Min menyusun draf dakwaan untuk sidang minggu depan, suara gelegar guntur yang dahsyat bergema di langit di luar jendela. Jin Ah yang duduk di sampingnya berjengit dan langsung menutupi telinganya.


“Astaga, ada apa sih dengan langit? Ini sudah yang ketiga, dan suaranya makin kencang saja. Padahal langitnya cerah loh. Aneh, deh.”


Hwa Min meliriknya dan mengangguk.


Saat itu, Seong Joon keluar dari ruangannya dan mendatangi meja Hwa Min sambil membawa segulung kertas. “Kau sudah menelepon polisi?” tanyanya sembari menyodorkan gulungan kertasnya, rancangan dakwaan yang lain, yang wajib ia ketik sebelum pulang.


“P-polisi?”
“Ya, berkas penyelidikan yang mereka kirimkan kemarin lusa kutolak. Buktinya kurang, dia tak akan dapat hukuman apa-apa kalau cuma dari pengakuan saksi begitu.”


“Ah, yang itu.”
“Apa yang kau lakukan sekarang?”
“Aku mengetik apa yang kau suruh.”


Seong Joon berjalan di antara mejanya dan meja Jin Ah lalu mencondongkan badannya memeriksa layar komputer Hwa Min. “Apa kau serius?” Nadanya amat menghina. “Kau mengerjakan ini dari pagi. Apa kau tak bisa mengetik lebih cepat?”


“A-aku…”
“Aku mau sepuluh menit lagi drafnya sudah dikirim ke emailku. Dan Jin Ah-ssi,” Ia berbalik pada Jin Ah yang sedang menguping, yang langsung membelalak panik karena tertangkap basah, “telepon polisi Seoul dan kirimkan balik berkas penyidikan mereka. Aku yakin kau sudah tahu berkas mana yang kumaksud. Telingamu tajam, kan?”


“Eh, i-iya baik.”


Seong Joon mendengus dan menyambar kembali kertas-kertas yang sebelumnya ia letakkan di meja Hwa Min, jelas-jelas berpikir mengetiknya sendiri akan jauh lebih cepat. Ia kembali ke ruangannya dengan tampang marah dan tiba-tiba saja guntur keempat bergema dengan dahsyat. Hwa Min dan Jin Ah berjengit serempak dan saling memandang.


“Jangan-jangan dia dewa petir, ya? Suasana hatinya sedang buruk jadi langitnya…” Tiba-tiba Seong Joon keluar lagi dan Jin Ah refleks memalingkan muka dan mengangkat pesawat teleponnya. Menekan nomor kantor polisi Seoul sebagaimana perintah sang dewa petir.


Hwa Min lanjut mengetik, namun ekor matanya memerhatikan pergerakan Seong Joon. Sepertinya pria itu sedang tak bisa diajak bicara. Baguslah, tapi di saat yang sama juga ‘bagaimana ini?’. Jika bukan Seong Joon, lalu pada siapa ia bisa bicara? Tapi memangnya ada yang akan percaya kalau Doyoung ada di kamarnya semalam? Memangnya ada yang mau datang ke rumahnya jam satu pagi hanya untuk memastikan perkataannya benar? Hwa Min sudah lelah dianggap mengada-ada.


Saat itu, Seong Joon kembali ke ruangannya dengan segelas kopi dan Hwa Min refleks berdiri. Ia mengikutinya setengah jalan sebelum tiba-tiba saja langkahnya terasa begitu berat hingga ia harus berhenti, ragu sendiri. Hwa Min 100% yakin Seong Joon tak akan memercayainya. Tapi ia tak mungkin tak mengatakan apa-apa dan tiba-tiba menghilang besok pagi.


Akhirnya, setelah pergulatan panjang dengan diri sendiri, Hwa Min pun memberanikan diri dan berjalan masuk. Seong Joon mengangkat pandangannya dari komputer dan menghela napas melihat Hwa Min. “Sudah kau email?”


“Ah, belum.”


Seong Joon menghela napas lagi, kali ini lebih dalam, seolah ia sedang berusaha mengosongkan udara di paru-parunya.


“Apa kau masih peduli pada kasus Kim Doyoung?”


Pria itu hampir tersenyum. “Apa kerjaanmu kurang? Kukira kau sudah kewalahan.”


“Aku menemukannya. Aku bertemu dengannya. Aku akan melakukan penyamaran besok dini hari. Dia mengajakku pergi ke suatu tempat. Ke pulau, katanya.” Hwa Min bicara dalam satu tarikan napas, sadar sepenuhnya bahwa ia sedang dianggap sinting. Selalu dianggap sinting.


“Aku akan sangat mengapresiasi jika kau mau mengirimkan aparat untuk meringkusnya di depan rumahku nanti malam jam satu pagi,” lanjut Hwa Min, berupaya menampilkan ekspresi serius sekalipun Seong Joon menatapnya dengan pandangan muak luar biasa. “Tapi kau harus ingat Doyoung selicin apa. Dia mungkin tak benar-benar menampakkan diri malam ini, mungkin ia ingin memastikan dulu apa aku akan mengkhianatinya lagi, tapi menurutku apa salahnya mencoba? Sebenarnya dia bahkan sudah menyuarakan rencana peringkusan seperti itu. Dia bilang akan lebih baik jika aku menunjukkan ketidaksetiaanku lebih cepat. Tapi…”


“Aku tak akan mengirim siapa pun, Son Hwa Min-ssi,” sela Seong Joon bosan. “Silahkan menyamar sesukamu.”


“Aku tahu seharusnya aku membawa bukti untuk mendukung pengakuan ini. Aku tahu kau tak percaya padaku.”


“Tidak apa-apa. Aku mulai terbiasa dengan omong kosongmu.”
“Benar, ini terdengar seperti omong kosong. Tapi setidaknya aku sudah memberitahumu. Jika Doyoung benar-benar menjemputku malam ini, maka aku tak akan bisa masuk kerja mulai besok. Entah sampai kapan.”


“Sepanjang karirku di sini, itu adalah alasan paling unik untuk resign.”
“Aku tidak resign. Aku akan mengumpulkan bukti selama aku bersamanya dan memastikannya mendapat hukuman setimpal.”


Seong Joon tertawa dan Hwa Min cuma bisa mengepalkan tangannya dengan raut hampir terluka, hampir menangis. “Baiklah, Son Hwa Min-ssi. Aku sudah mendengar pengakuanmu. Sekarang aku butuh emailnya. Ada sidang sungguhan yang harus kuikuti besok pagi dan aku butuh surat dakwaannya sekarang.”


Seong Joon jelas-jelas tak peduli. Hwa Min benar-benar ingin menendang vas bunga di sebelahnya selama ia membungkuk sedikit dan berbalik meninggalkan ruangan.


Amarahnya melesak ke seluruh tubuh dan tekadnya untuk membuktikan kebenaran semakin besar. Ya, ia akan melakukannya sendiri. Ia tak butuh bantuan kejaksaan. Ia tak butuh bantuan Seong Joon sialan.



**********



Ini merupakan salah satu momen dalam hidup Hwa Min di mana ia tidak bisa merasakan apa-apa. Ia tidak takut, tidak marah, tidak gembira, tidak sedih, sama sekali tidak… apa-apa. Hwa Min sudah memasukkan persediaan baju untuk seminggu ke dalam tas ranselnya, sudah menuliskan sepucuk surat untuk ibunya yang isinya kurang lebih begini; maaf tidak mengabarimu, tapi aku pergi untuk berlibur. Jangan khawatir aku akan pulang begitu stresku hilang.


Hwa Min menunggu di sofa santainya sampai hampir ketiduran. Baru saat jendelanya dilempari batu, kira-kira pukul satu lewat lima, Hwa Min terlonjak bangun dan segera berdiri. Ia tergopoh-gopoh menghampiri jendela, memberikan isyarat pada si pelempar batu—yang sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar batu yang lain—bahwa ia akan segera turun. Lantas menyandang ranselnya, memakai topinya, dan mengendap-endap turun.


Doyoung menurunkan maskernya ke bawah dagu, mengumbar senyum tipis begitu melihat ransel penuh sesak bertengger di punggung Hwa Min.


“Keputusan yang bagus, my dear,” katanya begitu Hwa Min menghampiri. “Terima kasih sudah memercayaiku.”


Hwa Min memutar mata. “Lebih baik kita pergi sekarang, sebelum aku sadar betapa bodohnya aku.”


“Tidak secepat itu.”
“Apa maksudmu?”


Doyoung tersenyum penuh arti. “Mungkin kau memang memercayaiku, tapi siapa bilang aku percaya padamu?”


“Apa!” Hwa Min tanpa sadar berteriak. Ia membekap mulutnya sendiri sebelum melanjutkan dengan suara pelan. “Lalu apa yang harus….”


“Ponsel.”
“Ponsel?”
“Ya. Berikan ponselmu padaku!”
“Huh?”
“Kau mendengarku.”


Dengan bingung—dan enggan—Hwa Min merogoh saku jinsnya dan memberikan ponselnya pada Doyoung. “Berjanjilah kau tak akan—BRAKK.”


“KIM DOYOUNG!” Hwa Min berteriak lagi. Membekap mulutnya lagi.
“Tak akan apa, my dear?” Doyoung memungut ponsel yang baru ia banting sekuat tenaga ke aspal itu dengan santai.


“….merusaknya,” gumam Hwa Min lemas.
“Harusnya kau memperingatkanku lebih cepat,” kata Doyoung dengan nada bersimpati dibuat-buat. Ia mengacungkan ponsel Hwa Min yang layarnya sudah retak itu di antara wajah mereka, “kurasa kita sudah tak membutuhkan ini lagi,” lanjutnya, kemudian melemparnya begitu saja ke belakang.


Hwa Min nyaris berteriak untuk yang ketiga kali. Ia terkesiap dan tangannya refleks menggapai, namun ponselnya sudah melambung tinggi sampai melewati atap rumah di belakang Doyoung.


“Dasar berengsek! Apa kau puas, huh? Kau sudah percaya padaku sekarang!”
“Tentu saja belum.” Doyoung mengeluarkan kain hitam dari sakunya, kemudian berjalan ke belakang Hwa Min sembari menyentak kainnya hingga terurai.


“Apa lagi sekarang?” Hwa Min secara refleks menyingkir, memicing menatap Doyoung dengan raut penuh amarah bercampur waspada.


“Aku akan menutup matamu sepanjang jalan, sampai kita tiba di tujuan.”


Hwa Min nampak tidak terima. “Apa kau serius?”


“Ya. Ini tak akan lama, aku janji. Mobilku ada di ujung jalan.”
“Kau bawa mobil?”
“Ya.”                             
“Mobil curian?”


Doyoung mendecak, “Bukan, tentu saja. Sekarang jangan bergerak.” Ia mengulurkan tangannya dan mulai mengikatkan kainnya menutupi mata Hwa Min.


“Kau siap?”
“Aku tak punya pilihan lain, kurasa.”
“Benar.” Doyoung menyelipkan jemarinya yang dingin di antara jemari Hwa Min. “Terima kasih banyak. Aku janji kau tak akan menyesali ini.”


“Sejujurnya aku sudah menyesal.”



**********



Tidak sampai lima belas menit berkendara, Hwa Min merasakan mobil Doyoung memelan sebelum akhirnya berhenti. Mengingat tujuan yang dijanjikan Doyoung, Hwa Min mengira ia dibawa ke bandara atau stasiun, atau apalah. Namun perkiraannya salah besar.


“Selamat datang di rumah, my dear.”


Cahaya terang menerobos masuk melalui retina Hwa Min, membuatnya refleks menyipitkan mata, lantas mengerjap-ngerjap membiasakan diri. “Di mana kita?”


“Rumah,” jawab Doyoung antusias, merentangkan kedua tangannya seraya tersenyum lebar.
“Rumah?” Hwa Min mengerutkan dahi, menoleh ke sekeliling. Mereka jelas-jelas berada di bangunan tua, yang semua furniturnya terlihat seperti didatangkan langsung dari 50 tahun lalu. Mungkin satu-satunya hal yang masih baru di sini hanyalah lampunya, yang berpijar kelewat terang sampai bola matanya serasa terbakar. “Ini lebih seperti markas. Ini pasti tempat persembunyianmu, kan?”


“Sekarang jadi tempat persembunyianmu juga.”
“Kau bilang kita akan ke pulau?”
“Memang benar. Tapi sebelum itu, kita harus cari uang dulu.”
“Cari uang?”
“Ya. Butuh banyak uang untuk ke pulau. Butuh banyak uang juga untuk bertahan hidup di sana.”
“Apa maksudmu!” teriak Hwa Min, tak terima sudah dibohongi. “Kau bilang kita akan ke pulau!”
“Kita memang akan ke pulau,” balas Doyoung cepat, “aku janji. Tapi kita harus mengumpulkan uang dulu.”


“Maksudmu dengan mencuri?”


Doyoung mengangkat bahu. “Kau tak perlu ikut jika kau tak mau,” suaranya merendah dan ia berjalan mengitari sofa yang masih agak berdebu sambil melirik Hwa Min ragu, “tapi akan lebih menyenangkan jika kau bersedia menjadi Bonnie-ku.”


“Kim Doyoung, aku jaksa,” kata Hwa Min penuh penekanan. “Aku tak akan mencuri.”
“Kau dulunya jaksa,” Doyoung mengoreksi. “Bagaimana bisa kau masih mengakui profesi itu setelah kau memutuskan untuk ikut denganku.”


Saat itu pintu terbuka dan seorang pria berwajah runcing melenggang masuk sambil bersenandung nyaring. Langkahnya penuh percaya diri dan ia berpenampilan seperti penyanyi rock dengan gaya rambut mullet panjang. Kedatangan pria itu praktis membuat percakapan Hwa Min dan Doyoung berhenti.


Pemuda itu baru saja hendak berbelok ke ruangan lain saat kepalanya tak sengaja menoleh dan langsung terlihat seperti hampir terkena serangan jantung saat melihat Hwa Min.


“Heh siapa kau!” gertaknya penuh perlawanan. “Dari mana kau masuk?!” 
“Yuta tenanglah, dia bersamaku!”


Yuta baru menyadari keberadaan Doyoung dan otomatis melunak sedikit. “Dia bersamamu?”


“Ya, aku pernah bilang padamu kita mungkin akan kedatangan anggota baru.”
“Anggota baru?” ulang Yuta, berharap salah dengar. “Maksudmu ini?” Ia menunjuk Hwa Min yang mukanya langsung memerah tersinggung. Bagaimana bisa dia menyebutku dengan sebutan ‘ini’!


“Yeah, namanya Son Hwa Min.”
“Doyoung, dia cewek.”
“Aku tahu!”


Yuta menyibak rambut tebalnya yang acak-acakan dengan wajah frustrasi. “Apa kau gila! Apa yang mungkin bisa dia lakukan di sini! Apa dia hacker seperti Mark?”


Hwa Min mengerutkan kening, berpikir sebenarnya ada berapa orang yang terlibat dalam geng kriminal ini.


“Bukan, dia…”
“Aku tidak setuju,” Yuta menyambar, cepat dan tegas, nampaknya jika Doyoung berbohong dan mengatakan Hwa Min merupakan seorang hacker sekalipun, reaksinya akan tetap sama.  


“Apa Jaehyun tahu soal ini?” lanjutnya masih dengan nada yang sama. “Pasti belum, kan? Aku yakin dia tak akan setuju. Punya anggota cewek di tim sama sekali bukan ide bagus. Mereka terlalu….” Yuta memikirkan kata lemah, tapi ia melihat wajah Hwa Min yang sudah hampir meledak dan memutuskan untuk mengganti kosa katanya menjadi lebih halus, “…emosional.”


“Heh, Tsubatsa!” bentak Hwa Min, akhirnya meledak juga. Yuta yang semula berhadapan lurus dengan Doyoung terlonjak dan menoleh padanya. “Kau pikir aku mau masuk kelompok kalian? Aku juga terpaksa tahu tidak! Lebih baik kau berhenti meremehkanku atau kupotong habis rambutmu!”


“Lihat bagaimana dia mengancamku?” Yuta bicara pada Doyoung seraya mendenguskan tawa mencela, “dia mengancam seperti wanita.”


“Aku memang wanita, bajingan!”
“Aku akan telepon Jaehyun.”
“Yeah,” sambar Doyoung, “telepon dia dan Marmut. Aku ingin mereka kenalan dengan anggota baru.”


Yuta memicing tak senang pada Doyoung, kemudian mengalihkan pandangannya pada Hwa Min, sinis, seolah ingin mencabik-cabiknya, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan mereka, tak lupa menendang kursi kayu yang dilaluinya. Hwa Min menatap belakang kepala pemuda itu dan menggeleng tak habis pikir. Dan dia pikir akulah yang emosional?


“Sambutannya lebih ramah dari yang kupikirkan,” kata Doyoung begitu Yuta pergi.
“Sangat ramah,” balas Hwa Min sarkastik. “Tapi dia benar, membawaku ke sini bukanlah ide bagus. Astaga, tahukah kau betapa inginnya aku melemparimu dengan bara api?” Hwa Min mengusap mukanya frustrasi. “Kemarin kau berusaha menghindarkanku dari Jaehyun, kau bilang dia berbahaya dan apalah. Lalu sekarang, tiba-tiba saja kau malah ingin mempertemukan kami. Benar-benar tidak ada otaknya.”


“Kemarin statusmu masih jaksa. Sekarang kau sudah setuju untuk ikut denganku. Itu berbeda,” Doyoung membela diri. “Sudahlah, kalau kau memang percaya padaku ya percaya saja! Jangan setengah-setengah! Aku tahu apa yang kulakukan.”


“Dan kuharap kau tahu di mana harus menguburku jika Jaehyun benar-benar membunuhku.”


Doyoung menggeleng bosan. “Yeah, tenang saja.”


TBC


Hola!!! Como Estas!!


Maaf hiatusku kelewatan sebulan, tapi yaudahlah g ada yang nungguin juga..


Btw aku seneng aku punya waktu berlimpah buat nulis T_T Finallyy!!!! Semoga beneran bisa manfaatin liburan ini buat namatin Good Criminals


Makasih semua yg udah baca.. ^^


Anyway, kalian semuaaa baik yg flat earther maupun round earther wajib bgt sih nonton ini!! 

Comments

Popular Posts