THE SERIES OF UNDERGROUND: Forced Marriage - 저녁 (Dinner)
Park Jimin < > Lim Chaerin (OC)
- Adult Romance -
(AU - Alternate Universe)
o O O O o
Chaerin baru saja kembali dari istirahat makan siang. Ia
baru saja turun dari mobil dan meminta petugas kantor untuk memarkirkan
mobilnya. Saat akan menuju lift untuk
naik ke ruangannya, sang asisten datang dan menghentikannya.
“Maaf Nona Lim, direktur ingin bertemu dengan anda diruangannya.”
Chaerin tidak menjawab dan lebih memilih memasuki tabung
baja yang sudah sampai beberapa detik lalu. Ia menekan salah satu angka pada
kumpulan tombol di sisi kiri. Tidak lama pintu kembali tertutup dan tabung itu bergerak
naik.
Napasnya tertarik panjang. Mendengar kata direktur membuat mood-nya berantkan. Sejak pertemuan
makan siang dengan Park Enterprise,
Chaerin sama sekali tidak bertegur sapa dengan sang Ayah. Itu berarti sudah 4
hari. Ia hanya membungkuk hormat jika tidak sengaja bertemu di lobby. Ia juga menghindari pertemuan
dimana sang Ayah terlibat.
Beruntung lift
dalam keadaan kosong. Chaerin bisa bersandar tanpa perlu menjaga image seperti yang Ayah-nya selalu
katakan dan membiarkan masalahnya mengambil alih kerja otak untuk beberapa
saat.
Suara denting yang sedikit nyaring menyadarkan Chaerin dari
lamunan singkatnya. Ia kembali menegakkan tubuh dan melangkah keluar saat pintu
lift terbuka. Tanpa membiarkan
waktunya terbuang lebih banyak, Chaerin segera bergerak menuju satu-satunya
pintu di ujung koridor.
“Selamat siang Nona Lim.” Sapa seorang wanita yang berada di
balik meja besar di samping pintu.
Chaerin mengangguk dengan tersenyum kecil. Kakinya kembali
melangkah dan meninggalkan wanita tadi di sana.
Chaerin mengetuk pintu berwarna coklat di depannya. Sebelum
tangannya menekan gagang di tengah pintu, ia menunggu beberapa saat sampai sang
pemilik ruangan mempersilahkannya untuk masuk. Ia membuka pintu, berjalan
masuk, dan tidak lupa kembali menutup pintu di belakangnya.
“Ada apa Ayah memintaku kemari?” Tanyanya begitu ia melihat
pria setengah baya yang masih sibuk dengan pekerjaan di atas meja.
Pria itu mengangkat kepalanya dan melepaskan kacamata yang
bertengger dihidungnya.
“Sampai kapan kamu akan mendiami Ayah?”
Chaerin mendengus tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Membuat napas yang terdengar lelah keluar dari bibir Tuan Lim. Pria setengah
baya itu menyerah. Ia sudah hafal betul bahwa sulit untuk membujuk sang putri
jika sedang marah.
“Baiklah. Ayah memanggilmu untuk memberitahukan agar akhir
pekan ini kamu mengosongkan jadwal.”
Chaerin merengut bingung. “Untuk apa?”
“Di hari Sabtu, kamu dan Jimin akan mencoba pakaian
pernikahan kalian. Ayah sudah membuatkan janji dengan butik keluarga kita.”
Sekarang semakin jelas, Ayah nya sudah tidak lagi
memedulikan ia. Chaerin pikir dengan dipanggilnya ia ke ruang direktur karena
sang Ayah ingin membujuk dan memperbaiki hubungan mereka yang mendingin. Namun
dugaannya salah! Ayah-nya hanya ingin memberitahukan suatu hal yang hanya
membuat hubungan mereka semakin dingin.
“Kenapa harus dicoba? Bukankah mereka sudah sangat hafal
dengan postur dan ukuran tubuhku? Kenapa harus repot-repot sekali untuk
pernikahan antar perusahaan semacam ini?” Ucap Chaerin sinis.
“Chaerin..”
“Baik, baik. Aku paham. Jika tidak ada yang ingin direktur bicarakan
lagi, saya izin pamit karena masih ada pekerjaan yang belum selesai.”
Chaerin membungkukkan badannya. Kakinya melangkah membuat
tubuh rampingnya memutar hingga menghadap pintu. Tangannya terulur menekan
gagang untuk membuka pintu. Kemudian melangkah pergi meninggalkan Tuan Lim yang
tengah memijat pelipisnya.
“Kenapa kamu begitu keras kepala Chaerin.” Gumam pria itu
begitu pintu ruangannya kembali ditutup.
Di luar ruangan, Chaerin terlihat begitu kesal. Ia merasakan
tangan kirinya yang bebas terkepal di sisi tubuh. Sangking kerasnya membuat
buku-buku jarinya memutih dan timbul bekas kemerahan di telapak tangannya.
“Nona Lim, apakah anda baik-baik saja?” Wanita di balik meja
besar yang tadi menyapanya bertanya dengan khawatir. Wajah atasannya itu
memerah setelah keluar dari ruang direktur, padahal sebelumnya wajah Chaerin
terlihat baik-baik saja.
“Tidak apa-apa. Aku akan kembali ke ruanganku.”
Chaerin melangkah pergi meninggalkan wanita tersebut yang
masih terlihat khawatir sekaligus bingung.
Apa yang terjadi di
dalam?, batinnya.
Walaupun rasa penasarannya besar, wanita tadi tidak bisa
melakukan apa-apa. Ia tidak mungkin masuk ke dalam dan bertanya pada boss-nya, memang siapa dirinya sampai berani
melakukan hal itu. Dirinya juga tidak mungkin mengikuti Chaerin hingga ke
ruangannya dan menanyakan langsung pada wanita muda itu, karena ia tidak
memiliki hubungan lebih dari pada karyawan dan anak boss. Jadi ia hanya bisa menelan bulat-bulat rasa penasarannya
sebelum kembali mengerjakan tugasnya.
Chaerin yang baru saja keluar dair lift langsung disambut oleh asistennya. Wanita dengan usia sedikit
lebih tua darinya itu, meninggalkan tempatnya untuk bisa berdiri di hadapan
Chaerin.
“Maaf Nona, ada-”
Belum juga kalimatnya rampung diucapkan, Chaerin telah lebih
dulu menyelaknya. Membuat rangkaian kata yang telah ia susun sedemikian rupa
sebelum wanita muda itu datang menguar begitu saja di udara.
“Jika ada yang ingin bertemu denganku, tolong katakan aku
sedang sibuk.” Ujar Chaerin dingin sedingin wajahnya yang membuat sang asisten
mundur beberapa langkah begitu matanya bertemu dengan tatapan dingin yang
menusuk.
Chaerin memutar kenop pada pintu untuk membukanya. Ia
menarik tungkai panjangnya masuk kemudian menutup kembali pintu berwarna coklat
itu. Tubuhnya berbalik menghadap dimana mejanya berada dan siap untuk melangkah
maju. Namun kehadiran seorang pria yang duduk memunggunginya membuat kaki yang
akan melangkah terhenti dan melayang di udara sebelum kembali mendarat di
lantai.
“Maaf anda siapa?”
Terdengar suara tergelak dari pria itu sebelum ia
menanggalkan kursi yang diduduki dan memutar tubuhnya hingga Chaerin bisa
melihat wajahnya.
“KAU?!”
“Kenapa terkejut seperti itu?”
Chaerin menghampiri pria itu dengan menghentakkan kakinya.
Ia berdiri tepat dihadapannya.
“Apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang mengizinkanmu
masuk?”
“Tenang, jangan marah.” Ada jeda singkat sebelum ia melanjutkannya,
“Pertama kedatanganku untuk membahas masalah kerja sama perusahaan kita. Kedua,
Ayah-mu yang menyuruhku untuk masuk ke ruanganmu.”
Ayah?!, batinnya
berteriak.
Pria itu memerhatin Chaerin dari ujung kepala hingga ujung
kaki. Lantas senyum mencibir terukir dengan baik di wajahnya yang terbingkai
dengan kokoh oleh rahang yang kuat.
“Pantas saja Paman Lim ingin sekali menjadikan aku sebagai
menantunya agar mau membantumu mengurus perusahaan. Kau saja tidak bisa
membedakan waktu istirahat dan bekerja.” Cibirnya. Ia sengaja melirik jam
tangan di pergelangan kiri seakan menunjukkan bahwa Chaerin baru saja terlambat
dan beralih pada tumpukan berkas yang berada di atas meja.
“Bahkan pekerjaanmu belum ada setengahnya yang selesai.
Benar kata Paman Lim, kinerjamu sangat buruk untuk menjadi direktur Nona Lim.” Lanjutnya
masih dengan nada mencibir.
Bagai api yang disirami bensin. Rasa kesal dan marah Chaerin
kian bertambah besar. Ia ingin sekali memukul wajah pria itu. Ia juga ingin
berkata kasar tepat di depan wajahnya. Namun dirinya tidak bisa! Ia tidak ingin
orang lain mendengar teriakannya yang dipenuhi dengan kata-kata tidak baik. Ia
tidak ingin melukai wajah pria didepannya. Semua itu karena ia tidak ingin sang
Ayah tahu lantas membuat hubungan mereka semakin memburuk.
Chaerin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dalam
satu kali hembusan singkat. Sekeras mungkin ia berusaha untuk meredam kembali
emosinya. Sia-sia jika ia harus beradu mulut dengan pria berengsek di depannya,
karena pria itu pasti pandai bersilat lidah. Tidak mungkin bukan jika pria yang
kerap bermain wanita tidak bisa membual dan mengucapkan banyak omong kosong.
Chaerin memutar bola matanya. Jengah. Kemudian meninggalkan pria itu untuk kembali menempati singgasananya.
“Kau tidak ingin melakukan pembelaan?” Pria itu kembali membuka
suaranya setelah menempati kursi yang sebelumnya ia tinggal.
“Untuk apa? Aku tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan
apa pun kepadamu Tuan Park Jimin!”
Jimin menaikkan sebelah alisnya. “Benarkah? Tetapi aku butuh
penjelasanmu Nona Lim, karena ini menyangkut masa depan kita nanti.”
Chaerin tertawa sinis mendengar kalimat Jimin. Masa depan
kita? Tidak ada kata kita hingga Korea Selatan dan Utara bergabung kembali
seperti Jerman Barat dan Timur.
“Tidak usah banyak bicara. Cepat katakan apa yang kau perlukan
untuk kontrak kerja sama itu!”
“Tidak.. tidak.” Jimin menggelengkan kepalanya. “Itu bukan
jawaban atas pertanyaanku Lim Chaerin. Kau harus menjawab pertanyaanku dulu
baru kita mulai membahas masalah kontrak.”
Chaerin mendengus kasar. Jimin benar-benar telah mengusiknya
hingga ke saraf sampai menimbulkan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Ia ingin pria Park didepannya ini enyah seketika dari hadapannya bahkan menghilang
dari bumi tercintanya untuk selama-lamanya, agar pria berengsek ini berhenti
mengusik hidupnya. Baru 3 hari mengenal saja Chaerin sudah menyesali dan
mengutuk pertemuan siang itu. Apa lagi jika pernikahan itu benar-benar
terjadi?! Bisa-bisa diusianya yang muda ia sudah mengidap darah tinggi karena
terlalu sering menahan amarah.
“Sebegitu ingin tahunyakah kau mengenai apa yang aku
lakukan?”
Jimin mengangguk. Wajahnya menampilkan ekspresi antusias.
Entah apa alasannya, rasanya terlalu aneh dan janggal untuk Chaerin. Ia tidak
menyangka bahwa Jimin begitu tertarik dengan kehidupannya. Ini tidak boleh
dibiarkan. Bagaimana jika mereka benar-benar menikah, Jimin akan mengatur
keseluruhan hidupnya. Tidak! Tidak boleh!
“Itu bukan urusanmu. Aku tidak akan mengatakannya.”
“Terserah padamu. Itu berarti aku tidak akan pergi sampai
kita selesai membahas kontrak kerja sama ini.” Balas Jimin santai dengan
menunjuk map yang ia bawa.
“Ugh.. terserah kau!”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Chaerin membiarkan Jimin
dan mulai melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda karena istirahat. Ia mulai
memeriksa map-map dimejanya bergantian. Membaca dan meneliti setiap kata yang
tertulis. Memperbaiki kesalahan yang terjadi dengan mencoret bagian yang salah.
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Satu per satu dari
tugasnya bisa ia selesaikan. Namun semakin lama, ia mulai merasa risih dan
jengah. Apa lagi saat Jimin secara terang-terangan menatapnya dalam jarak yang
dekat. Ya.. pria itu mencondongkan tubuhnya dan memangku dagunya di atas
tangan. Kesabarannya pun habis. Dengan kasar Chaerin menutup map yang tengah ia
buka dan meletakkan kembali ke atas meja dengan kasar.
“Sebenarnya maumu apa Park Jimin? Kehadiranmu hanya
mengganggu pekerjaanku!”
“Aku ingin mendengar jawabanmu, aku sudah mengatakannya
bukan.” Jawab Jimin santai. Tubuhnya lantas kembali bersandar pada kursi.
Chaerin menyerah. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti
permainan Jimin. Jika ia masih bersikeras untuk diam, pria menyebalkan didepannya
pasti akan terus berada diruangannya. Itu berarti ia tidak bisa bekerja dengan
tenang dan pekerjaannya tidak akan selesai. Jika sampai sang Ayah tahu, maka
tamatlah hidupnya.
Napasnya terhembus pelan.
“Pertama, aku tidak terlambat. Aku datang sebelum waktu
istirahat usai. Tapi direktur meminta bertemu, jadi aku tidak langsung kembali
ke ruangan. Kedua, pekerjaan ini memang aku rencanakan untuk dikerjakan setelah
makan siang. Sayangnya pria tak tahu diri mengusik dan menghancurkan rencana
yang telah kubuat. Jelas?”
Jimin terlihat menaikkan sebelah alisnya. “Tak tahu diri?”
Ulangnya.
“Iya! Tak. Tahu. Diri.”
Jimin tertawa mendengar bagaimana Chaerin meluapkan
kekesalannya. Rasanya lucu sekali di telinga Jimin sekali pun itu adalah makian
untuknya.
“Dasar tidak waras! Lebih baik kau pergi sekarang.” Seru
Chaerin terganggu.
Jimin kembali menggelengkan kepala disela tawa. Hanya butuh
beberapa detik untuk Jimin bisa menghentikan tawanya dan kembali membawa
bibirnya tersenyum sembari menatap Chaerin yang sangat terlihat tidak
menyukainya.
“Aku tidak akan pergi sebelum kita membahas kontrak kerja
sama ini. Apakah kau lupa?”
Benar! Chaerin baru saja melupakan alasan utama pria itu
datang menemuinya. Perasaan terganggu membuat ia melupakan hal penting itu. Argh! Berarti ia masih harus melihat
wajah berengsek Park Jimin selama beberapa jam ke depan. Menyebalkan!
“Bagaimana? Apakah mau di mulai sekarang atau-”
“Lebih cepat lebih baik. Aku tidak ingin kau berlama-lama di
ruanganku.” Balas Chaerin cepat sampai tidak membiarkan Jimin untuk
menyelesaikan kalimatnya.
Chaerin menyingkirkan map yang sebelumnya tengah ia periksa
dan menggantinya dengan map berisi kontrak kerja sama yang tersimpan di rak
kecil di sisi kirinya. Ia mulai membaca kembali kontrak tersebut seperti yang
tengah Jimin lakukan. Diskusi pun dimulai sejak keduanya mulai membuka dan
membaca isi map masing-masing.
Pembahasan kontrak tersebut berjalan dengan lancar walau
beberapa kali Chaerin dan Jimin terlibat adu argumen mengenai poin kesepakatan
untuk kedua perusahaan. Untungnya perbedaan pendapat yang terjadi dapat
diselesaikan dengan cepat sehingga tidak memengaruhi pertemuan siang itu.
Banyaknya poin kesepakatan membuat Chaerin begitu serius
membaca dan mempelajarinya. Selain karena masih banyak pekerjaan yang hari itu
harus diselesaikan, ia juga ingin pria didepannya cepat-cepat angkat kaki dari
sana. Karena itu ia sengaja memfokuskan atensinya pada kontrak kerja sama tanpa
memedulikan sekitar, termaksud Jimin yang 5 menit berlalu sudah tidak
memerhatikan kontrak ditangannya. Mata Jimin sibuk memerhatikan hal lain yang
begitu menarik dibandingkan tulisan yang diketik dengan ukuran 12 dan tipe times new rowman.
Setiap pergerakan yang dilakukan Chaerin tidak luput dari
penglihatan Jimin. Mulai dari bagaimana bibir gadis itu bergerak melafalkan isi
kontrak, jemarinya yang menuliskan sesuatu di atas kertas kontrak, tangannya
yang menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, sampai beberapa kali telunjuk
dan ibu jarinya yang memijat pelipis. Semua itu begitu menyita perhatian Jimin
hingga membuat senyum simpul terpasang dibibirnya, tentu tanpa ia sadari.
Chaerin berdeham yang membuat Jimin buru-buru kembali keposisinya.
Tatapannya kembali terarah pada lembaran kertas di atas pangkuan yang
sejujurnya telah ia pelajari pagi tadi sebelum ia datang menemui Chaerin.
“Baiklah, sepertinya semua sudah jelas. Kita tinggal
menunggu persetujuan direktur saja.”
Chaerin merapihkan kontraknya. Mengumpulkan kembali dan
menjadikan satu seperti sedia kala.
“Karena sudah selesai kau bisa pergi sekarang Tuan Park.”
Ujar Chaerin tanpa melirik Jimin yang masih setia memasang senyum simpulnya.
Chaerin yang tengah diburu dengan pekerjaan buru-buru
menyimpan map kontrak dan beralih mengambil map yang sebelumnya ia singkirkan.
Tangannya kembali membuka map tersebut dan berniat untuk segera
menyelesaikannya agar bisa menyelesaikan 2 pekerjaan yang tersisa dan belum
disentuhnya. Namun keberadaan Jimin didepannya yang tidak terlihat mengalami
perubahan membuat pandangannya beralih kepada pria itu. Dahinya mengerut dengan
matanya yang menatap tajam.
“Kenapa masih di sini? Bukankah kita sudah selesai membahas
kontraknya?”
“Aku mau kita makan malam bersama.”
Chaerin tersedak salivanya sendiri saat mendengar ucapan
Jimin. Apakah pria itu baik-baik saja? Apakah tadi sebelum datang kepalanya
terbentur sesuatu? Ia melirik pada dinding kaca di sebelah kirinya. Langit
tampak baik. Tidak ada angin dan hujan,
kenapa pria itu tiba-tiba mengajaknnya makan malam? Aneh. Lagi pula itu juga bukan jawaban atas pertanyaannya.
“Tidak bisa. Masih banyak yang harus aku kerjakan. Jadi
segeralah pergi dan jangan mengganggu.” Perintah Chaerin.
Tanpa menunggu jawaban Jimin, ia kembali memfokuskan matanya
pada lembaran di atas meja. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak meemdulikan Jimin
yang masih setia duduk dihadapannya. Sayang usahanya tetap tidak membuahkan
hasil apa-apa. Kehadiran Jimin tetap membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.
Terlebih saat sudut matanya melihat bagaimana penampilan pria itu. Mata sipit
dengan tatapan yang tajam, hidung yang mancung, bibir tebal yang tengah
mengukir senyum simpul, rambut hitam legamnya, tubuh atletis yang terlihat
begitu sempurna dengan balutan jas berwarna biru.
Tunggu!
Apa yang baru saja ia pikirkan?
Lim Chaerin berhenti
menilai penampilannya! Lupakan.. lupakan!, kesadarannya kemudian
mengingatkan.
Selama beberapa menit awal, tepatnya setelah Chaerin memeringati
dirinya, ia berhasil membawa kembali konsentrasinya kepada pekerjaan. Ia
berhasil menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya sempat ia singkirkan demi
kontrak kerja sama. Tentu saja, karena pekerjaan itu memang hampir selesai
sebelum ia memutuskan untuk meninggalkannya sejenak.
Ketika ia ingin kembali melanjutkan pekerjaan yang lain,
konsentrasinya perlahan menghilang saat Jimin bergerak dari duduknya. Pria itu
perlahan mencondongkan tubuhnya dan meletakkan jemarinya di atas meja serta
mengetukannya.
Chaerin menarik napas dan menghembuskannya. Jengah.
“Tuan Park Jimin, dengan hormat saya meminta anda untuk
meninggalkan ruangan ini. Saya harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan
pekerjaan ini.” Kata Chaerin penuh penekanan dengan melirik pada 2 map yang
belum tersentuh olehnya –memberitahu.
“Aku akan membantumu.”
Jimin dengan cepat mengambil salah satu map dan membukanya.
Tindakanya membuat Chaerin terkejut dan ingin sekali memukul wajahnya.
“HEI!”
“Ssshh..” Jimin menempelkan jari telunjuknya di depan bibir,
mengisyaratkan Chaerin agar diam.
“Lebih baik kau selesaikan yang satu itu agar kita bisa pegi
makan malam.” Sambungnya dengan menunjuk map terakhir yang berada di atas meja.
Terlihat Chaerin menggemertakkan giginya. Menahan emosi yang
sudah sampai ke ubun-ubun. Dengan kasar ia merebut kembali map yang tengah
Jimin pelajari.
“Maaf Tuan Park yang terhormat. Anda tidak bisa melakukan
hal itu. Ini pekerjaan mengenai Lim Group
dan bukan Park Enterpraise,
bagaimana bisa anda ikut mencampurinya?!”
Jimin tersenyum miring mendengar kalimat yang disampaikan
dengan penuh emosi itu.
“Kenapa tersenyum?!” Seru Chaerin setengah membentak.
“Lucu. Apakah kau lupa jika kita akan menikah dan perusahaan
kita akan bekerja sama? Jadi tidak masalah bukan jika aku membantu calon istriku
dan perusahan yang sebentar lagi juga akan menjadi perusahaan keluargaku.”
Sahut Jimin enteng.
Jimin kembali mengambil map yang berada di tangan Chaerin
dan melanjutkan pekerjaannya. Membiarkan Chaerin yang tengah berusaha mati-matian
mengendalikan emosi yang siap meledak karena mendengar ucapannya.
“Terserah apa katamu. Yang jelas, aku tetap tidak akan pergi
sekali pun kau membantuku!”
“Sayang sekali, kau harus tetap pergi denganku karena Ayah-mu
telah setuju dan menyuruhmu untuk pergi. Kau tahu, Ayah-mu sangat senang saat
aku mengatakannya.”
Tidak. Ini kutukan! Bagaimana dan kenapa bisa?!
* *
* *
Chaerin begitu tidak percaya dengan dirinya yang tengah
duduk di depan Jimin di sebuah restoran untuk makan malam. Ia tidak menyangka
bahwa semua yang pria itu katakan adalah kebenaran dan menjadi kenyataan. Ia
juga tidak menyangka bahwa sang Ayah akan datang ke ruangannya setelah ia dan
Jimin menyelesaikan pekerjaan miliknya hanya untuk menyuruh dirinya untuk ikut
pergi bersama Jimin. Beruntung sang Ayah tidak memaksanya untuk ikut bersama
dengan Jimin. Setidaknya dengan berada di mobilnya sendiri, ia bisa menikmati
ketenangan karena melihat wajah Jimin sama saja dengan melihat penjahat yang
ingin sekali ia habisi.
Kembali kepada dirinya dan Jimin yang tengah menunggu
pesanan mereka datang.
Sejak perginya pelayan yang mencatat pesanan keduanya, baik
Chaerin maupun Jimin sama-sama tidak ada yang membuka suara. Chaerin yang
memang enggan sedangkan Jimin yang terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di
telepon genggamnya. Chaerin tidak peduli dan tidak ingin peduli dengan apa yang
dilakukan Jimin. Yang dipedulikannya adalah dirinya sendiri yang ingin
cepat-cepat pergi dari tempat itu.
“Chaerin..” Suara berat Jimin berhasil membuat kepala gadis
itu menoleh ke arahnya.
“Apa yang kamu pikirkan mengenai pernikahan kita?”
Chaerin merengut. Ia tidak menyangka bahwa dalam otak Jimin
terbesit pikiran mengenai pernikahan mereka. Ia pikir yang ada di otak pria itu
hanya pekerjaan dan selangkangan wanita saja.
“Memangnya apa yang kamu pikirkan?” Tanya balik Chaerin.
Tunggu. Sejak kapan mereka menggunakan kata ganti ‘kamu’
untuk mengganti nama mereka masing-masing? Apakah ini tanda bahwa dua batu
telah berhasil hancur karena tetesan air?
Jimin menarik napas dalam dan menghembuskannya secara
bertahap.
“Aku tidak tahu pasti apa yang ada dipikiranku. Tapi
sepertinya aku mulai bisa menerima pernikahan kita.”
“APA?!”
Chaerin tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya sampai
membuat ia berteriak dan menarik perhatian pengunjung lain di sana. Membuat
keduanya kini menjadi pusat perhatian di tengah ramainya restoran malam itu.
“Jangan berteriak.”
“Kau yang membuatku berteriak, Park!” Desis Chaerin.
“Aku?” Jimin mendecakkan lidahnya. “Memangnya apa yang aku
lakukan?”
Chaerin mengerang pelan. Frustasi.
“Ucapanmu yang membuatku berteriak!”
Jimin mengerut bingung. “Apakah ada yang salah dengan ucapanku?”
“Tentu! Ucapanmu salah besar. Kenapa kau tiba-tiba menerima
pernikahan konyol ini? Kukira ajakan makan malam ini karena kau ingin mengajak
kerja sama untuk membatalkannya. Ternyata pikiranku salah.”
“Kenapa ingin membatalkannya padahal kau sendiri tahu bahwa
itu tidak mungkin?” Tanya Jimin penasaran.
“Tentu saja karena aku tidak mencintaimu dan tidak ingin
menikah dengan pria berengsek sepertimu! Kenapa kau tidak menikah saja dengan
wanita-wanitamu itu?!”
Ucapan Chaerin seperti menampar Jimin. Membuat ia sadar
bahwa apa yang ia lakukan selama ini adalah buruk, maksudnya bermain wanita dan
tidur bersama mereka. Namun Jimin tidak merasa sakit hati karena itulah
kenyataannya. Mungkin fakta itu yang berkesan untuk Chaerin saat pertama kali
mereka bertemu. Terima kasih untuk Ayah-nya yang mengungkapkan hal tersebut.
“Aku tahu kalau pernikahan ini tidak bisa dibatalkan, karena
itu aku memikirkan perpisahan setelah menikah. Mungkin 3 bulan setelah menikah
kita bisa bercerai. Bagaimana?”
Jimin membulatkan matanya tidak percaya. Apakah Chaerin
gila? Bercerai? Bukankah sama saja mereka mempermainkan pernikahan dan
melanggar janji kepada Tuhan?
Tapi sejak kapan Jimin menjadi bijak dan mengingat Tuhan?
“Tidak! Aku tidak setuju.”
“Hei Park Jimin! Bukankah kau juga tidak ingin menikah, lalu
kenapa kau tidak setuju?”
“Karena aku tidak ingin mempermainkan pernikahan.”
Chaerin sontak tergelak. Lucu sekali bukan pria berengsek
seperti Jimin tidak ingin mempermainkan pernikahan.
“Kalau begitu nikahi salah satu wanitamu, jangan aku!” Seru
Chaerin kesal.
Jimin kembali memasang senyum miringnya yang sempat
menghilang saat ia mulai menanyakan pendapat Chaerin mengenai pernikahan
mereka.
“Tidak mau.”
“Lalu maumu apa, PARK?!” Teriak Chaerin tertahan. Dadanya
naik turun karena emosi yang menguasai diri. Matanya berkilat marah saat ia
berkata.
Jimin sedikit mencondongkan tubuhnya dengan menatap lekat manik
hitam Chaerin yang menatapnya tajam.
“Mauku adalah...” Jimin menjeda kalimatnya. Sengaja karena
ia ingin melihat lebih lama wajah Chaerin yang memerah karena menahan rasa
marahnya.
“Menikah denganmu tanpa rencana cerai bodohmu itu, Lim
Chaerin.”
To be continued
감사합니다 ^^
Comments
Post a Comment