Broken Sinner: It's Him (Part 1)




Drama, Family, Hurt
(AU - Alternate Universe)

.
.
.
.
.

Sore itu angin telah berembus kencang. Matahari perlahan mulai meninggalkan singgasana menyisakan semburat jingga di langit. Sedikit demi sedikit bumi mulai menggelap. Meninggalkan temaram  lampu yang tidak sebanding dengan cahaya sang surya.



Gelapnya hamparan di depan tidak membuat gadis berseragam dengan rok selutut itu berniat untuk segera meninggalkan area pemakaman. Padahal ia telah berada di depan sebuah pusara dengan nama Lee Kyung Ji yang terukir pada batu pualamnya hampir dua jam. Dia cenderung tidak peduli dengan sekitarnya. Ia hanya ingin berada dalam ketenangan bersama satu-satunya orang yang dengan tulus menerima kehadirannya. Menumpahkan semua yang dirasakan pada gundukan tanah seakan sosok yang menghuni di bawahnya lah yang ia ajak bicara.



“Kenapa semakin hari terasa semakin sakit, Bu?” Tanyanya dengan suara bergetar.



Kepalanya kemudian ditengadahkan. Mencoba mencegah cairan bening yang telah memaksa keluar dari pelupuk matanya. Tidak. Dia tidak boleh menangis! Terlebih di hadapan wanita yang dirinya panggil Ibu. Ia tidak boleh mengusik ketenangan sang Ibu dengan tangisannya. Ia telah bersumpah untuk mengikhlaskan kepergian Ibu-nya sekali pun itu berarti ia menjadi sebatang kara di dunia.



“Ibu, aku tidak ingin menjadi baik. Aku lelah menjadi seseorang yang baik. Aku tidak ingin menjadi baik, Bu. Tolong.. tolong aku Bu.” Lirihnya di tengah deru angin yang semakin kencang berembus. Membuat gadis itu mencengkram roknya yang sama sekali tidak bisa memberikan kehangatan untuk tubuhnya.



Semakin ia mencurahkan isi hatinya semakin rapuh pertahanan yang telah ia buat. Genangan air mata yang memenuhi matanya mulai memaksa keluar hingga akhirnya jatuh membasahi pipi. Dengan kasar, ia menyekah cairan bening tersebut. Ia tidak mau dunia menertawakannya karena bersikap lemah setelah sumpah yang ia kumandangkan untuk menjadi sosok kuat.



“Ibu, aku ingin ikut denganmu. Kenapa Ibu tidak mengajakku saja? Jadi aku tidak perlu menjadi orang yang jahat karena ada Ibu yang bisa menerima diriku dengan baik.”



“Bibi Ji tidak mengajakmu karena Bibi tahu kalau aku masih membutuhkan dirimu, Chae.”



Ia menoleh saat suara berat yang terlampau dikenalnya mengalun masuk ke dalam pendengarannya.  Seorang laki-laki muda dengan jaket kulit hitam tengah berjalan mendekat. Senyum kecilnya dengan setia terukir di kedua belah bibirnya.



Ia mendecih. “Hidupmu baik-baik saja sekali pun tidak ada diriku, Kim Taehyung.”



Taehyung menggeleng. Menolak keras pikiran gadis berseragam itu.



“Tidak, Chaerin. Aku akan kehilangan sosok adik jika Bibi Ji benar-benar mengajakmu pergi. Hidupku menjadi tidak sempurna jika kamu tidak ada.” Pandangannya perlahan beralih pada Chaerin setelah meletakkan sebuket bunga mawar di atas pusara.



“Jadi aku mohon, jangan berkata seperti itu lagi. Jangan pernah berpikir atau berharap jika pergi bersama Bibi Ji adalah pilihan terbaik, Chae. Karena jika hal itu terjadi, aku yang akan menderita.”



Chaerin tergelak pelan. Matanya bahkan menyipit hanya karena mendengar ucapan laki-laki di sampingnya. Namun secepat tawa yang terbentuk secepat itu pula air wajahnya berubah sendu. Bersamaan dengan tawa ringannya, air matanya ikut jatuh kembali membasahi pipinya.



“Jangan konyol, Tae.” Sanggahnya dengan suara yang kembali bergetar.



“Tidak. Semua yang aku katakan adalah kebenaran, Chae. Aku tidak ingin kehilangan dirimu. Kamu sangat berarti untuk hidupku. Jika semua orang di dunia ini tidak menginginkan dirimu, maka biarkan aku menjadi satu-satunya orang yang menginginkan kehadiranmu dalam hidupku.”



Kalimat Taehyung seakan sebuah bom yang langsung menghancurkan segala bentuk pertahanan yang telah dibangun Chaerin. Hanya dalam hitungan detik, benteng pertahanan miliknya hancur berkeping-keping. Membuat sosok tangguh dan kuat yang ia tunjukkan berubah menjadi sosok lemah dan menyedihkan yang hanya mampu menangis hebat dalam dekapan Taehyung.



Semua perasaan yang berusaha dirinya bendung tidak dapat lagi ditahan karena benteng yang menghalaunya telah hancur tak tersisa. Membuat raungan tidak dapat ia tolak begitu kehangatan tubuh Taehyung menular kepadanya. Menimbulkan sengatan yang memberikan rasa aman yang selama ini jarang sekali dirinya rasakan.



“Menangislah, Chae. Luapkan semuanya, karena itu lebih baik dibandingkan dengan kamu memendamnya sendiri.” Ujar Taehyung lembut.



Tangannya mengusap kepala Chaerin. Pelukannya pun ikut mengerat bersama getaran hebat yang ia rasakan dari tubuh mungil yang ada dalam dekapannya. Hatinya terasa tercabik dan hancur saat raungan putus asa kembali mengalun dari gadis itu. Ingin rasanya ia membawa pergi kesakitan gadis itu, tapi tidak tahu bagaimana dan dengan apa ia melakukannya.



“Teruslah menangis, Chae. Aku lebih suka melihatmu menangis dan meraung dibandingkan dirimu yang dingin dan tak tersentuh.”



*  *  *  *



Taehyung dan Chaerin berjalan beriringan tanpa suara. Setelah Chaerin berhenti menangis, gadis itu langsung mengunci mulutnya. Ia tidak bicara jika tidak ada hal yang perlu dikatakan. Ia bahkan hanya menjawab Taehyung dengan anggukan, gelengan, atau kebisuan yang membuat laki-laki itu hanya mampu menghelakan napas. Taehyung tidak marah. Justru dirinya memaklumi itu. Sebagai seorang yang sangat mengenal Chaerin, ia tahu bahwa gadis yang lebih muda satu tahun darinya itu tengah berusaha membangun kembali perisai untuk melindungi dirinya dari kesakitan yang siap menyapanya.



“Aku akan mengantarmu hingga ke dalam.”



Chaerin menoleh. Matanya menyorot dengan tatapan tidak setuju.



“Tidak perlu, Kim Taehyung. Kamu sudah mengantarku hingga sampai di rumah dengan selamat. Aku hanya tinggal masuk ke dalam dan aku akan aman. Jadi lebih baik kamu pulang saja. Ini sudah larut dan angin juga berhembus kencang. Kamu bisa sakit jika terlalu lama berada di luar.”



Taehyung menggeleng. “Aku akan tetap mengantarmu sampai ke depan kamarmu. Jika kamu takut aku sakit, maka akan lebih baik jika kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri. Lihat, kamu keluar hanya dengan seragam sekolahmu tanpa jaket atau mantel. Jadi siapa sekarang yang berisiko terkena demam, aku atau kamu?”



Chaerin tidak menjawabnya. Ia hanya menghela pelan sebelum membuka pagar rumahnya. Dirinya sadar kalau tidak akan pernah bisa menentang keputusan Taehyung, terlebih setelah hari itu. Hari dimana dirinya berubah menjadi sosok Chaerin yang sekarang ini.



Setiap langkah yang ia rajut terasa begitu berat. Jantungnya berdetak dengan detakan anomali serta hatinya yang merasa tidak tenang. Sejujurnya ia tahu apa yang akan dihadapi setelah pintu rumah yang baru saja ia tekan bell-nya terbuka. Ia sudah sangat hapal bahkan tersimpan di luar kepala jika dirinya pulang malam dan sebelumnya membolos dari kegiatan lesnya.



Dan dugaannya pun menjadi sebuah kenyataan. Saat pintu utama dibukakan oleh seorang asisten rumah tangga, seorang pria setengah baya telah berdiri dengan tegak dan tangan terlipat di depan dada tidak jauh dari pintu tersebut. Menyambut kedatangannya dengan wajah memerah, menandakan bahwa pria itu tengah menahan ledakan emosinya.



Chaerin melirik pada Taehyung di belakangnya. Ia menarik napas panjang sebelum vokalnya tersampaikan.



“Tae, lebih baik kamu pulang sekarang. Setelah ini aku akan langsung menghubungimu.”



Taehyung ingin menolak. Ia tidak bisa meninggalkan Chaerin sendiri saat keluarganya seakan menentang kehidupannya. Bertindak tanpa memberikan kesempatan pada Chaerin untuk mengatakan yang seharusnya tersampaikan.



Namun kelemahan Taehyung adalah saat gadis itu menatapnya dengan memohon. Taehyung menjadi lemah jika gadis itu telah menggunakan jurus andalannya. Sehingga dengan tidak rela, ia pun pamit. Meninggalkan gadis itu sendiri menghadapi kejamnya hidup yang dijalaninya. Mengusap penuh sayang puncak kepala gadis itu sebelum kakinya benar-benar melangkah pergi meninggalkan rumah yang ia pikir seperti neraka dibandingkan tempat tinggal.



“Kemana saja hingga pulang selarut ini? Apa saja yang kamu lakukan sampai tidak menghadiri kelas tambahanmu?” Setiap kata yang diucapkan oleh pria itu terucap dengan suara yang semakin meninggi. Membuat dirinya sempat terhenyak dan jantungnya berdetak sedikit cepat. Ia sempat melirik pada sosok laki-laki dan perempuan muda yang tengah berdiri di ruang tengah dan tentunya tengah menatap dirinya dan pria di depannya.



“Jawab Ayah Lim Chaerin!”



Chaerin kembali mengalihkan atensinya saat pria yang menyebut dirinya sebagai Ayah itu kembali menyuarakan suara dengan intonasi yang semakin tinggi dan sarat akan kemarahan. Namun Chaerin sama sekali tidak berniat untuk membuka mulutnya. Ia yakin semua yang dirinya katakan pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Ayahnya akan tetap marah dan memposisikan dirinya sebagai orang yang salah.



Kebisuan Chaerin membuat pria itu semakin dirundung emosi. Tangannya yang semula berada di depan dada telah jatuh ke sisi tubuhnya dan terkepal. Pria itu merasa buruk saat melihat Chaerin. Sampai sebuah tamparan ia layangkan hingga membuat tubuh mungil anak perempuannya itu terjerembab ke lantai. Kepalanya meneleng mengikuti arah pukulan yang ia dapatkan di pipi kirinya. Menimbulkan rasa aneh di lidahnya saat Chaerin menjilat ujung bibir kirinya.



Besi.



Ia tahu bahwa malam itu, tamparan yang didapatkannya sudah meningkat kekuatannya. Membuat bibir dalamnya sobek hingga darah mengalir dan menimbulkan rasa seperti besi di dalam mulutnya.



“Paman Han.”



“Ayah.”



Panggilan dari dua suara berbeda itu menggema saat keseimbangan tidak ada lagi di dalam tubuh Chaerin hingga membuat tubuhnya mendarat di atas dinginnya lantai rumah. Chaerin yang mendengar suara berat milik laki-laki muda itu sejenak mengangkat kepalanya dan melirik laki-laki itu. Salah satu sudut bibirnya tertarik dan tatapan dinginnya pun berubah menjadi kebencian.



 “Berhenti membuat Ayah malu! Apakah kamu tidak bisa meniru kakakmu? Ia selalu menjadi anak penurut dan tidak membangkang sepertimu, Lim Chaerin. Chani melakukan semua yang Ayah katakan dan selalu menyelesaikannya dengan sempurna. Apakah kamu tidak bisa melakukan hal mudah seperti itu, ha?!”



Chaerin masih membisukan dirinya. Membiarkan sang Ayah menyampaikan isi pikirannya tanpa ingin menyanggah. Membiarkan dirinya untuk kesekian kali merasakan sakit karena keadaan yang tidak memihak pada dirinya.



“Jika kamu tidak bisa menjadi seperti kakakmu, maka berusahalah untuk menjadi anak yang baik. Cukup dengan ikuti aturan di rumah ini dan jangan buat malu Ayah dengan tingkah burukmu itu. Membolos, pulang larut malam. Mau jadi apa kelak?!”



Chaerin tergelak sinis. Perlahan ia membangkitkan tubuhnya hingga kembali berdiri di hadapan sang Ayah. Tatapannya mendingin kalau melihat wajah memerah sang Ayah yang ia yakini akibat emosi yang belum tersampaikan sepenuhnya.



“Jika Ayah memang malu, Ayah tidak perlu menganggapku sebagai anak. Bukankah selama ini hanya Chani yang Ayah anggap anak. Sedangkan aku, hanya sosok yang tidak diharapkan kehadirannya.”



“CHAERIN, KAU..”



Pria setengah baya itu terlihat semakin murka. Matanya memancarkan kilatan amarah yang lebih besar saat mendengar ucapan Chaerin yang seakan menantangnya. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun saat tangan besarnya kembali melayang ke udara dan siap untuk memberikan pukulan kepada sang buah hati.



“Ayah cukup!” Suara lain menginterupsi. Membuat tangan yang tengah mengambang di udara itu terkepal kuat sebelum terjatuh ke sisi tubuh.



Pria itu menarik napasnya dalam. Membuang pandangannya sebelum kembali berucap.



“Ini yang terakhir. Jika masih ingin tinggal di rumah ini, lakukan apa yang telah Ayah tetapkan.”



Pria itu berjalan pergi meninggalkan Chaerin yang menatapnya masih dengan tatapan dingin. Tidak ada balasan apa pun yang Chaerin katakan. Rasanya percuma saja karena pada akhirnya apa pun yang dirinya lakukan selalu bertentangan dengan sang Ayah. Sekali pun yang ia lakukan mendapatkan apresiasi baik dari orang di luar sana, tapi tetap akan menjadi bensin bagi kemarahan sang Ayah.



“Chae, kamu baik-baik saja?”



Chaerin menoleh. Sosok gadis yang tadi menghentikan Ayahnya kini telah berdiri tepat di sampingnya. Menatap dirinya penuh rasa khawatir. Hingga membuat dirinya berniat menyentuh wajah sang adik yang menjadi landasan telapak sang Ayah mendarat dengan keras.



Namun ia menepisnya, membuat gadis itu terkejut dan tubuhnya sedikit bergetar. Matanya menyorot semakin dingin sebelum bibir tipisnya berkata.



“Jangan sok peduli, jika kau tidak bisa mempertanggung jawabkannya!”



“Lim Chaerin! Jaga ucapanmu, Chani itu kakakmu.”



Suara berat laki-laki itu kembali terdengar. Membuat senyum sinisnya mengembang dan tawa sumbang penuh kebencian terdengar dari dirinya. Ia melirik ke arah dimana laki-laki itu berada, sebelum melangkahkan kakinya menuju kamar. Meninggalkan keduanya tanpa memberikan jawaban pada laki-laki tersebut.



“Chaerin..”



Panggilnya yang hanya diacuhkan oleh sang pemilik nama. Hingga suara hantaman terdengar begitu keras tak lama setelah tubuh mungil berbalut seragam sekolah itu menghilang di lantai atas.



Chaerin yang baru saja membanting pintu dan menguncinya tidak mampu lagi berdiri dengan tegak. Tubuhnya langsung roboh di balik pintu coklat itu dan tangisnya pecah begitu saja. Rasa sesak dan sakit langsung memenuhi relung hatinya dan tidak dapat ia bendung. Rasanya bahkan melebihi tamparan yang beberapa saat lalu didapatkanya.



Semua itu karena sosok laki-laki tadi. Sosok yang ia kira bisa melindungi dan berada di sisinya, tentunya selain Taehyung. Sosok yang berhasil menjerat dirinya dalam sebuah kenyamanan dan keberartian. Namun dengan lancangnya sosok itu malah meninggalkan dirinya yang sudah terikat dalam lingkaran setan yang ia buat. Membuat dirinya sulit lepas walaupun keiinginan begitu besar.



Tubuh mungil itu bergetar hebat. Isakan menjadi musik pengalun yang memenuhi seisi ruangan. Menggema di tengah gelapnya ruang kamar yang hanya berhiaskan temaram rembulan yang memaksa masuk melalu celah jendela.



Untuk malam itu Chaerin kembali melanggar sumpahnya. Ia kembali menangis dengan rasa sakit yang tidak dapat ditahannya. Seperti dihantam, ditusuk, kemudian ditekan. Hatinya seakan remuk saat mengingat bagaimana raut laki-laki muda tadi saat ia menepis kasar tangan Chani. Laki-laki yang sebelumnya telah berjanji untuk selalui menemaninya kini malah berada jauh darinya. Membuat dirinya sulit untuk menggapai sosok yang telah berhasil mengukirkan namanya di dalam hati rapuh miliknya.



T . B . C



Hai semua!

Seperti yang udah aku bilang, kalau Forced Marriage akan segera berakhir. Dan series selanjutnya yang akan menemani kalian adalah ini *yeay!*

Awalnya aku enggak mau publish sekarang. Rencananya tuh setelah FM selesai. Tapi tangan ini udah gatel dan geregetan untuk ngetik dan jadilah part 1-nya dirilis.

Jadi gimana setelah baca?

Beda banget ya sama FM?

Iya nih aku dapet idenya lebih dark dan sedih walaupun Jimin-Chaerin-nya tetep sama. Tapi tenang guys! Di series ini ada Tae Tae yang akan ikut memeriahkan kisah ini.
So, walaupun menyedihkan semoga dengan hadirnya Taehyung bisa sedikit meredakan kesedihan kalian ya..

Jadi masih penasaran?
Ditunggu ya next bab-nya.

See you guys

 감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts