THE SERIES OF UNDERGROUND: Forced Marriage - 약속 (Promise)
Park Jimin < > Lim Chaerin
- Adult Romance -
(AU - Alternate Universe)
o O O O o
Jimin kembali bersandar di sofa tanpa mengalihkan
perhatiannya dari Chaerin. Ia sadar jika sudah hampir setengah jam dirinya
terus memerhatikan Chaerin yang tengah bersenda gurau dengan teman-temannya.
Seharusnya ia juga melakukan hal yang sama. Namun ia tidak melakukannya karena
di sana duduk Oh Sehun yang ikut berbagi tawa bersama dengan wanitanya.
Sial!, umpatnya.
Kenapa ia menjadi super posesif seperti ini? Argh.. salahkan Chaerin yang telah berhasil mengubah dirinya.
Merubah seekor singa hutan menjadi singa kebun binatang. Walau sama-sama liar
dan berbahaya, tetapi singa hutan jauh lebih berbahaya karena hidup tidak dalam
penangkaran.
“Jika kau tidak bisa mempercayainya, kenapa tidak kau ikat saja
dia di apartemenmu dan jangan biarkan dia pergi?” Sindir Yoongi yang mulai
gerah dengan tingkah aneh Jimin.
Jimin mendelik tidak lama ia kembali memusatkan perhatiannya
pada Chaerin.
“Bukankah kau sendiri yang bilang kalau Chaerin sepertinya
memiliki perasaan yang sama denganmu. Tetapi dilihat dari kelakukanmu saat ini,
kau terlihat ragu dengan ucapan yang baru beberapa menit lalu kau katakan.”
Jimin kini benar-benar melepaskan atensinya dari Chaerin.
Para sahabatnya terlalu banyak berkomentar sampai membuat ia tidak bisa
berkonsentrasi mengawasi wanitanya. Berbicara mengenai sebutan ‘wanitanya’,
walaupun Chaerin belum memberikan jawaban atas pengakuannya, tetapi Jimin tetap
melabeli sang calon istri sebagai wanitanya. Tidak peduli bagaimana jawaban
Chaerin nanti.
“Aku tidak ragu dengan perkataanku. Tetapi aku tidak percaya
dengan pria itu, Sehun.”
Jimin menunjuk Sehun yang tengah meminum minumannya.
“Pria itu seperti menantangku! Bahkan ia terang-terangan
mengatakan bahwa ia menginginkan Chaerin. Jika bukan karena pernikahan paksa
kami, dia akan menjadikan Chaerin sebagai kekasihnya.” Lanjut Jimin.
Taehyung mendecak kesal. Entah sudah yang keberapa kalinya
pria itu mendecakkan lidah karena rasa kesalnya kepada sang sahabat. Kenapa cinta membuat Jimin menjadi bodoh
seperti ini?!, gerutunya dalam hati.
“Kau saja yang berlebihan! Aku saja bisa melihat kalau pria
itu tidak memiliki perasaan khusus pada calon istrimu. Ia sengaja melakukannya
untuk meledekmu, bodoh.” Seru Taehyung dengan matanya yang memutar malas.
“Benar hyung. Aku
juga menyadarinya dari bagaimana tadi ia menatapmu. Matanya terlihat berbinar
saat melihatmu marah, itu berarti dia memang sengaja mengusikmu.” Timpal
Jungkook.
Jimin terdiam. Ia merasa seperti tertampar dengan kebodohannya
belakangan ini. Semua yang dikatakan para sahabatnya ada benarnya. Kenapa Jimin
tidak menyadari hal itu? Kenapa juga ia membiarkan dirinya menjadi bodoh di
hadapan pria tidak tahu diri itu? Itu berarti Jimin telah mempermalukan dirinya
sendiri di hadapan pria pucat itu.
Argh! Dasar Jimin
bodoh. Kau sangat bodoh, Park Jimin., makinya.
“Sudah Jim, tidak ada gunanya kau menyesali kebodohanmu
sekarang.” Namjoon berkata yang membuat Jimin tersentak. Bagaimana bisa pria
berlesung pipi itu tahu bahwa ia baru saja memaki dirinya sendiri. Apakah
Namjoon mempunyai kemampuan membaca pikiran orang lain? Tapi kenapa ia tidak
mengetahuinya.
“Aku tahu kau pasti terkejut karena aku bisa membaca pikiranmu.”
Sergah Namjoon, “Itu mudah Jim. Hanya dengan melihat wajahmu aku bisa tahu. Kau
tidak lupakan kalau IQ-ku sangat baik.”
Jimin mendengus. “Iya hyung.”
Jawabnya tidak berminat.
“Kalau begitu berhenti berkelakuan bodoh agar Chaerin tidak
terus menganggapmu sebagai pria berengsek. Buat dia percaya kalau kau berubah dan
buat dia berhenti berpikir untuk membatalkan pernikahan kalian. Yakinkan dia
karena kau hanya butuh sedikit usaha lagi untuk mendapatkannya.”
Keningnya berkerut bingung mendengar kalimat yang Jin
ucapkan. Bukan karena ia tidak mengerti tetapi kenapa Jin terdengar begitu
yakin dengan ucapannya. Apakah Jin bisa membaca isi hati Chaerin sampai ia
memiliki keyakinan sebesar itu?
“Kenapa hyung
begitu yakin?” Tanya Hoseok yang sedari tadi hanya sibuk mendengarkan dan
sesekali tertawa pada tingkah konyol Jimin.
“Aku melihat dari tatapan, gerak tubuh, dan tentunya adegan
panas dan manis yang beberapa saat lalu terjadi di hadapan kita. Dari semua itu
aku bisa menyimpulkan kalau Chaerin sebenarnya telah jatuh pada Jimin, hanya
saja pertahanan yang dibangun wanita itu terlalu kuat hingga sulit baginya
untuk menyadari perasaannya sendiri.”
* *
* *
Bermodalkan saran dan masukan yang didapatkan dari para
sahabatnya serta tidak ketinggalan keberanian dan kepercayaan diri, Jimin
memutuskan untuk melakukan suatu hal yang ia yakini akan membuat pertahanan
yang dimiliki Chaerin runtuh. Setelah tadi pagi ia mengirimi wanita itu pesan
dengan mengatakan bahwa ia akan menjemput untuk pergi bersama, sore harinya
Jimin telah sampai di tempat tinggal Chaerin. Dengan mengenakan t-shirt dan celana jeans hitam dipadukan dengan jaket denim dan tidak lupa kacamata
hitam, Jimin melangkahkan kakinya menuju apartemen Chaerin yang terletak di
lantai sembilan.
Jimin berdiri tegak di depan salah satu pintu setelah
menekan tombol intercom yang
terpasang di sisi kiri. Senyumnya mengembang sembari menunggu sang penghuni
membukakan pintu untuknya. Tidak berselang lama, dari dalam terdengar suara
kunci yang di buka yang membuat tangannya langsung ia sembunyikan di balik
punggung.
“Park Jimin?!” Seru sang penghuni terkejut saat melihat
Jimin di depan apartemennya.
“Hai babe.”
“Kenapa ada di sini? Siapa yang memberitahumu tempat tinggalku?”
“Apakah kamu tidak ingin mempersilahkan aku masuk dulu
sebelum bertanya? Tidak enak jika tetanggamu melihat dan mendengar pembicaraan
kita.”
Chaerin mendelik tajam. Ia tidak ingin mempersilahkan Jimin
untuk masuk ke dalam, tetapi yang pria itu katakan ada benarnya. Apa kata
tetangganya jika melihat dan mendengar pembicaraan mereka? Ia tidak mau dicap
buruk karena sesuatu yang tidak benar. Dengan berat hati, ia menggeser tubuhnya
untuk memberikan akses bagi Jimin masuk.
Jimin semakin melebarkan senyumnya saat berjalan melewati
Chaerin yang menunggu untuk menutup kembali pintu di belakangnya. Kakinya
melangkah lebih ke dalam setelah melepas sepatunya menuju sofa berwara biru
yang berada di depan sebuah televisi. Ia menduduki sofa tersebut. Menyamankan
tubuhnya di sana seakan berada di rumah sendiri.
Jimin menoleh saat merasakan seseorang tengah menatapnya
tajam. “Apa?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Park. Mau apa kau ke sini?
Dan darimana kau tahu tempat tinggalku?” Chaerin kembali mengulangi
pertanyaannya dengan suara yang kesal.
“Aku menjemputmu, bukankah aku sudah memberitahumu tadi. Dan
mengenai tempat tinggalmu, aku tahu dari Paman Lim.”
“Dan aku sudah mengatakan kalau aku tidak mau. Apakah kau
tidak membacanya?”
Jimin menanggalkan sofa. Berjalan menghampiri Chaerin yang
berdiri dengan wajah kesal dan tangan terlipat di depan dada.
“Sayangnya aku tidak menerima penolakan untuk saat ini, babe. Jadi lebih baik kamu bersiap
sekarang dan aku akan menunggu di sini.”
Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Memerhatikan
Chaerin yang masih setia berdiri di tempatnya dan tidak terlihat niatan untuk
melakukan apa yang ia katakan tadi.
“Atau kamu ingin pergi dengan pakaian itu?” Ia mengangkat
dagunya menunjuk pakaian yang tengah dipakai Chaerin, celana pendek di atas
lutut serta kaos besar yang menutupi setengah celananya. “Aku sih tidak
masalah.” Sambungnya.
Chaerin melemparkan tatapan tidak senangnya kepada Jimin
sebelum berbalik menuju kamar.
“Ingat berpakaian yang santai saja karena kita tidak akan
bekerja.” Teriak Jimin saat Chaerin telah menutup rapat pintu putih yang berada
di samping ruang tengah. Ia tertawa kecil sembari kembali berjalan menuju sofa
dan menunggu Chaerin selesai dengan persiapannya.
Sekitar setengah jam, Chaerin akhirnya keluar dari kamar
dengan mengenakan off-sholder hitam
yang dipadukan dengan blue jeans dan
tas tangan kecil yang ia bawa untuk menyimpan dompet dan telepon genggamnya. Ia
berdeham untuk menarik atensi Jimin.
Jimin menoleh. Seketika matanya tidak dapat berkedip saat
melihat sosok Chaerin yang berpakaian santai. Cantik. Matanya sulit sekali untuk melepas tatapannya dari Chaerin.
Tubuhnya pun ikut bereaksi dengan berdiri dari sofa serta berjalan hingga ke
hadapan Chaerin.
Tidak nyaman terus ditatap Jimin membuat Chaerin akhirnya
membuka suara. “Apakah kau hanya akan menatapku, Park? Tadi kau bilang kau akan
mengajakku pergi.”
Jimin mengerjap cepat. Lantas tatapannya kembali teralih
pada obsidan kecoklatan wanita itu.
“Kamu cantik makanya aku tidak bisa berhenti menatapmu.”
Senyum memuja terulas jelas di wajah Jimin. Menyebabkan
tubuh Chaerin bekerja tidak normal hingga pipinya terasa menghangat saat mendengar
pujian yang dilontarkan bersama senyum manis pria itu. Tanpa rasa canggung,
Jimin meraih tangan Chaerin. Mengaitkan jemarinya dengan jemari Chaerin dan
membuat rasa hangat yang dirasakan Chaerin perlahan berubah menjadi panas.
Kenapa perasaanku
terasa hangat? Perutku juga terasa aneh, seperti ada banyak kupu-kupu yang
bergerak di sana. Lalu aku juga tidak risih saat Jimin mengatakan memuji dan
menggenggam tangan ku. Kenapa aku membiarkannya melakukan hal itu? Kenapa...
kenapa? Apakah aku menyukai Jimin? Tapi kenapa aku bisa menyukainya? Dia Park
fucking Jimin. Bagaimana bisa aku menyukai pria seperti dia? Tuhan.. tolong
bantu aku., batin Chaerin.
* *
* *
Chaerin mengumpat. Kesal.
Sudah sejak awal ia bertanya pada Jimin akan kemana mereka pergi, tapi pria itu
tidak menjawab dan hanya memberikan senyuman padanya. Tsk.. apakah senyuman bisa menjawab kebingungan yang dirasakan
dirinya? Tidak kan! Karena tidak ada jawaban dan mungkin memang tidak akan
mendengar jawaban dari pertanyaannya, Chaerin memutuskan untuk mogok bicara. Ia
tidak akan bertanya, menjawab, atau menanggapi pria Park di sampingnya.
Baru saja ia mendeklarasikan perang dingin dengan Jimin,
tiba-tiba kendaraan yang ia tumpangi berhenti dan Jimin mengatakan bahwa mereka
telah sampai. Chaerin menolehkan kepalanya ke kanan, kiri, belakang, depan, dan
seluruh sisi yang bisa ia lihat. Meneliti tempat yang mulai membuat ia merasa
takut. Tempat itu ditumbuhi pohon dan hanya pohon. Menyeramkan dan terasa
semakin seram mengingat hari hampir gelap. Perasaannya semakin buruk saat pria itu meminta dirinya untuk memakai penutup
mata.
Jimin mau membawanya kemana? Apa yang akan pria itu lakukan
padanya? Apakah ia akan baik-baik saja? Semua pertanyaan dan praduga terus
bermunculan di otaknya terlebih saat pria itu telah menutup kedua matanya
dengan kain yang entah darimana, Chaerin tidak peduli.
“Ayo turun!”
“Dasar bodoh! Matku tertutup, tidak bisa melihat apa-apa.”
Serunya setengah membentak karena mendengar Jimin yang seakan memerintahnya.
Terdengar suara kekehan yang membuat Chaerin menggeram.
Andai matanya tidak ditutup, pasti ia telah memelototi pria itu.
“Aku tahu, karena itu aku ada di sini untuk membantumu.”
“Ya.. ya. Membantu tapi memerintah. Aku mengerti.” Balasnya
sinis.
Perlahan Jimin membantu Chaerin untuk turun dari mobilnya.
Kemudian ia memapah wanita itu. Selama perjalanan yang terasa sangat lama
karena mata yang ditutup dan tingkat kepercayaan yang rendah, Chaerin tidak
henti bertanya akan dibawa kemana kepada Jimin yang berakhir dengan jawaban
‘sebentar lagi kita akan sampai’. Selalu seperti itu sampai membuat Chaerin
ingin berkata kasar di depan wajah Jimin. Sayangnya itu hanya rencana karena
tiba-tiba saja ia merasa pegangan Jimin di pundaknya menghilang.
Panik.
Chaerin menggerakkan tangannya ke seluruh arah mencari
keberadaan Jimin.
“Hei Park! Dimana kau?” Teriaknya kesal. Namun tidak ada
sahutan yang terdengar. Membuat ia semakin kesal dan berujung dengan rasa marah
yang siap ia ledakkan jika Jimin tidak juga menyahutinya.
“PARK JIMIN AKU SERIUS! JANGAN MAIN-MAIN. DIMANA KAU?”
Nihil. Tidak ada yang menyahut. Yang terdengar di telinganya
hanyalah hembusan angin. Argh.. tidak
peduli lagi dengan pria berengsek itu. Chaerin akhirnya melepaskan kain yang
menutupi matanya dan bersiap pergi dari tempat tersebut. Namun niatannya
kembali menguar seperti embun saat matanya melihat apa yang tersaji di depan.
Padang ilalang dengan sebuah pohon yang berada di tengahnya.
Chaerin tidak bisa menutupi keterkagumannya. Matanya sudah
membulat dengan sempurna dan mulutnya terbuka hingga harus ia tutupi dengan
telapak tangannya.
“Cantik!” Gumamnya. Tepat setelah gumaman pelan yang mungkin
diperuntukkan hanya untuk dirinya sendiri, suara Jimin menyahuti.
“Apakah kamu suka?”
Tubuhnya berputar dan langsung bertemu dengan Jimin yang
berdiri tepat di belakangnya. Pria itu masih bertahan dengan senyum yang ia
lihat sepanjang perjalanan. Tampan.
Pria itu terlihat semakin tampan dengan pakaian yang ia kenakan. Selain itu
pantulan sinar matahari yang hampir terbenam membuat wajahnya terlihat
bersinar. Kenapa ia baru menyadarinya? Padahal ia telah bersama dengan Jimin
sejak tadi.
“Apakah aku terlalu mempesona sampai kamu tidak bisa
berhenti menatapku?”
Chaerin tersentak mendengar kalimat penuh kepercayaan diri
Jimin. Walau sejujurnya apa yang pria itu katakan benar. Jimin terlalu
mempesona sampai membuat ia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Karena malu,
Chaerin buru-buru membuang mukanya dan kembali menikmati padang ilalang dan
juga matahari yang siap terbenam.
Ia berdeham. Mencoba mengembalikan akal sehatnya yang sempat
menghilang pergi karena pesona yang dipancarkan oleh Jimin.
“Kenapa kau membawaku ke tempat ini?”
Jimin tidak menjawab. Ia maju satu langkah hingga tubuhnya
berdiri tepat di samping Chaerin. Tangan keduanya tidak sengaja bersinggungan
karena jarak yang dekat.
“Ini tempat rahasiaku. Tidak ada yang tahu tempat ini selain
diriku, bahkan aku tidak memberitahu sahabat-sahabatku.” Jimin mulai membuka suaranya.
Menyampaikan semua yang pelu ia sampaikan termaksud dengan jawaban dari
pertanyaan Chaerin sepanjang perjalanan.
“Aku akan ke tempat ini jika ingin menyendiri dan mencari
ketenangan.”
“Jika ini tempat rahasiamu, kenapa kau membawaku ke sini?”
Senyum kecil terukir di bibirnya sebelum benda lembut itu
kembali terbuka. “Karena aku ingin.”
Chaerin mengerutkan alis. Bingung.
“Aku ingin kamu menjadi satu-satunya yang tahu tempat
rahasiaku. Tidak hanya itu, aku juga ingin kamu menjadi satu-satunya yang tahu
segala rahasia tentang diriku. Apa pun itu.”
Chaerin tidak dapat menutupi rasa penasaran yang telah
bercampur dengan kebingungan hebat akibat pernyataan tidak jelas yang
dilontarkan Jimin. Tubuhnya lantas berputar hingga berhadapan dengan Jimin yang
masih setia menatap hamparan ilalang.
“Mengapa?” Tanyanya seketika.
Jimin ikut memutar tubuhnya. Membuat keduanya kini saling
berhadapan dengan jarak kecil di antara tubuh mereka. Diterangi dengan cahaya
jingga dari matahari dan hembusan angin yang berembus teratur, Jimin meraih
tangan Chaerin dan membawanya ke dalam genggaman tangan besarnya.
“Karena aku serius denganmu. Aku serius mencintamu. Aku
serius dengan pernikahan kita sekali pun itu dimulai karena paksaan. Dan aku
juga serius untuk memegang teguh janji suci di hadapan Tuhan yang akan kita
ucapkan nanti.”
Jimin membawa tangannya ke depan dada dan menempelkan tangan
Chaerin yang ia genggam di sana.
“Apakah kamu merasakannya? Debaran jantungku yang cepat ini
hanya terjadi saat bersama denganmu, Lim Chaerin. Tidak hanya itu saja..”
Kini kepalanya sedikit ditundukkan hingga sejajar dengan
wajah Chaerin.
“Apakah kamu bisa melihat semburat merah di wajahku? Itu
juga timbul hanya saat bersamamu.”
Napasnya tertarik dalam-dalam. “Aku tahu ini sulit bagimu
karena kelakukan burukku yang mungkin membuat kamu takut akan kegagalan di masa
depan. Tapi percayalah Chaerin, aku tidak seburuk itu. Aku mengakui jika aku
suka bermain wanita, tetapi aku bukan pria yang suka mengingkari janji dan
berkhianat. Untuk itu, aku akan berusaha untuk mengubahnya. Aku akan berusaha
untuk tidak melakukan hal bodoh yang menyakitimu.”
Setelah kalimat panjang yang berisikan perasaannya
tersampaikan, Jimin menekuk salah satu kakinya sedangkan kaki lainnya berada di
tanah sebagai penyangga tubuhnya. Bersimpuh di hadapan Chaerin yang membuat
wanita itu semakin terkejut. Kepalanya menengadah ke atas. Menatap obsidan
coklat yang membesar karena tidak menyangka dengan apa yang ia lihat.
“Lim Chaerin.. maukah kamu menikah denganku dengan tanpa
adanya perasaan terpaksa?”
Chaerin bungkam. Semua yang terjadi di hadapannya begitu
mengejutkan jiwa dan raganya. Jantungnya kembali berdebar kencang. Darahnya
berdesir hingga ia bisa merasakan aliran kencang di dalam tubuhnya. Pikirannya
tiba-tiba kosong. Tidak tahu harus berkata atau bereaksi apa. Semuanya begitu
mendadak untuk dirinya yang masih belum mengetahui pasti perasaannya terhadap
Jimin.
Sekali pun ia belum yakin dengan perasaannya, tetapi saat
mendengar pengakuan yang Jimin utarakan, Chaerin merasakan gelenyar hangat dan
aneg di dalam dirinya. Ia merasakan ketulusan dan kejujuran di setiap kata yang
diucapkan. Membuat setetes kristal bening jatuh bebas dari matanya.
“Jimin.. aku tidak tahu harus berkata apa.” Chaerin akhirnya
membuka suara. Ia meraih pundak Jimin dan mengajaknya untuk berdiri. Tatapan
keduanya bertemu. Kemudian satu tarikan napas panjang dilakukan Chaerin sebelum
kembali berucap.
“Aku tidak tahu perasaan apa yang aku miliki untukmu. Aku tidak
yakin apakah aku membencimu atau malah menyukaimu. Tapi jika boleh jujur,
belakangan ini aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu di sekitarku. Aku merasa
seperti ada kupu-kupu di dalam perut setiap kali kau menatapku, tersenyum
kepadaku, bahkan aku mulai menyukai ciumanmu. Itu memalukan, tetapi begitu
adanya. Aku tidak tahu apa arti semua itu. Tapi itulah yang aku rasakan
terhadapmu.” Chaerin memberikan sedikit jeda. Kemudian membalik tangannya
hingga kini ia yang menggenggam tangan Jimin.
“Park Jimin.. aku ingin meminta bantuanmu.” Dengan lekat ia
menatap manik hitam teduh yang kini tengah menatapnya.
“Tolong bantu aku untuk bisa mencintaimu. Jika pun nanti gagal, tolong bantu aku untuk
tidak membencimu. Karena aku tidak ingin pernikahan ini gagal.” Imbuh Chaerin
dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan yang
membuat Jimin ikut melakukan hal yang sama smapai matanya membentuk bulan
sabit.
Jimin menarik tubuh Chaerin ke dalam dekapannya. Menempelkan
kepala wanita itu di depan dadanya sementara kepalanya ia istirahatkan di atas
pundak Chaerin.
“Aku akan melakukannya! Aku akan membuatmu mencintaiku dan
kita akan hidup bahagia bersama.” Ujar Jimin dengan penuh keyakinan.
Keduanya larut dalam pelukan hangat di tengah matahari yang
mulai tenggelam. Tidak peduli dengan angin yang berembus di sekitar mereka
karena rasa hangat telah keduanya dapatkan dari tubuh masing-masing. Hingga
Jimin sedikit merelai pelukannya –tanpa melepaskan tangan yang melingkari tubuh
Chaerin– untuk menatap kembali obsidan kecoklatan Chaerin yang menjadi salah
satu kesukaannya.
Tidak lama tatapannya kemudian turun pada bibir plum yang masih setia melengkung
membentuk senyum yang juga ia sukai. Perlahan Jimin mendekatkan wajah mereka.
Ia dapat merasakan aroma mint yang
menguar dari napas Chaerin serta stroberi yang mulai tercium hidungnya saat ia
semakin dekat dengan bibir wanitanya. Ia sempat
melirik Chaerin yang ternyata telah memejamkan matanya. Senyum semakin
mengembang sebelum matanya ikut terpejam dan kemudian bibirnya bertemu dengan
milik Chaerin.
Ciuman yang lembut. Tidak ada pergulatan seperti yang
terjadi sebelumnya. Hanya mengulum bibir atas dan bawah dengan bergantian. Yang
berbeda adalah pada Chaerin. Wanita itu mulai membalas ciuman Jimin dengan
melakukan hal yang sama pada bibir tebal Jimin. Ia mengulum bergantian kedua
bilah bibir itu. Menyesapnya seperti yang dilakukan Jimin padanya.
“Aku mencintaimu, Lim Chaerin.” Jimin berkata disela-sela
ciumannya dengan Chaerin yang tersenyum mendengar pengakuan cinta pria itu.
E . N . D
Akhirnya akhirnya!!
Ini akhir untuk kalian semua. Maaf kalau lama publish-nya
Semoga kalian suka ya..
Aku anaknya belum rela membuat main cast enggak happy end, jadi ending ini lagi-lagi mainstream soalnya hampir semua cerita yang aku tulis lebih banyak yang happy ending.
Tapi, semoga kalian tetep suka.
Dan sampai bertemu di Broken Sinner ya
Bye
감사합니다 ^^
Comments
Post a Comment