Broken Sinner: Not Yours (Part 4)


 

 Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)

 

.

.

.

.

.


 

Taehyung baru saja keluar dari kelas bersama dengan beberapa teman dan berniat untuk mengisi perut mereka di kantin kampus. Mereka berjalan beriringan dengan tawa saat teringat kembali kejadian memalukan yang terjadi saat jam kuliah berlangsung. Tidak henti para mahasiswa muda itu menyuarakan pendapat mereka tentang insiden yang mungkin akan membuat malu sang dosen selama beliau mengajar di kelas mereka.

 

 

Mereka hampir tiba di salah satu meja kosong saat panggilan yang mengatasnamakan Taehyung terdengar. Membuat langkah mereka terhenti bersama dengan berputarnya tubuh tegap mereka. Taehyung mengernyit saat melihat pemilik suara tersebut. Kemudian ia menoleh pada dua temannya, memberitahukan untuk pergi lebih dulu dan ia akan menyusul ke meja mereka setelahnya.

 

 

“Taehyung aku ingin bicara.”

 

 

Taehyung menaikkan sebelah alisnya. Ia menatap lekat sosok di depannya kemudian melirik ke belakang tepat di sebuah meja dimana seorang gadis tengah duduk dan melihat ke arah mereka.

 

 

“Ada apa?”

 

 

Ia menarik napasnya dalam sebelum kembali membuka suaranya.

 

 

“Mengenai Chaerin, sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia mengabaikan Chani dan sangat membenciku? Dan kau, kenapa kau juga ikut menjauhiku?”

 

 

“Keparat!” Desis Taehyung tertahan. Matanya telah menyorot laki-laki di hadapannya ini dengan tidak suka. Sumpah serapah yang telah berkumpul di otaknya sejak laki-laki itu menyebut nama sang sahabat tengah memaksa untuk disampaikan oleh kedua bilah bibirnya. Tapi ia berusaha untuk tidak berkata kasar demi mencegah emosinya meledak tak terkendali.

 

 

“Jangan sok bodoh Park Jimin!”

 

 

Jimin mengernyit bingung. Matanya mengerjap agak cepat manakala melihat luapan emosi yang tengah coba ditahan oleh sahabatnya ini.

 

 

“Aku menjauhimu karena kau memang pantas untuk dijauhi. Kau terlalu berengsek sehingga sulit bagiku untuk bisa tetap bertahan menjadi sahabatmu.”

 

 

“Apa maksudmu? Jelaskan yang sejelas-jelasnya, Tae! Aku tidak mengerti kenapa kau bisa menilaiku seburuk itu.”

 

 

Taehyung mendecak. Sekali lagi pandangannya teralihkan dari sosok Jimin yang ikut menatapnya tajam.

 

 

“Kau serakah Jim. Kau egois. Kau berlagak seperti malaikat penolong tetapi pada akhirnya kau hanya seorang pecundang. Kau tidak pantas berada di dekat Chaerin. Sudah cukup kau membuat dia terluka dengan omong kosongmu! Dan sekarang berhentilah mengusik Chaerin. Lepaskan dia dan berhenti melukai sahabat kecilku dengan mulut manismu itu, Park!”

 

 

Kalimat Taehyung bagaikan pematik yang mulai membakar sumbu emosi tertahan Jimin. Membuat laki-laki itu meradang. Rahangnya mengeras kala tangannya terkepal dengan kuat di sisi tubuhnya.

 

 

“Jaga bicaramu Kim Taehyung! Aku tidak sejahat itu. Aku menyayangi Chaerin, sejak dulu hingga sekarang ini. Kau tidak tahu apa-apa tentang diriku!”

 

 

Taehyung mencibir. Matanya memutar saat mantan sahabatnya ini mengatakan bahwa ia menyayangi sahabat kecilnya. Cih! Omong kosong apa lagi yang harus ia dengar. Kalimat manis apa lagi itu. Sungguh memuakkan saat mendengarnya dilontarkan dengan pandangan marah seorang Park fucking Jimin.

 

 

“Benar, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Tapi yang kutahu adalah kau berkhianat. Kau meninggalkan Chaerin di saat dia sangat membutuhkanmu. Kau lebih memilih bersama Chani padahal kau sendiri yang berjanji padanya akan selalu berada di sampingnya apa pun yang terjadi. Semua itu sudah cukup untuk membuat aku memahami seperti apa seorang Park Jimin.”

 

 

Jimin menghela kasar. Penjelasan Taehyung seakan memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang terjadi di antara mereka. Membuat emosi yang telah naik ke ubun-ubun berangur menghilang.

 

 

“Kalian salah paham mengenai aku dan Chani. Tae, aku hanya menganggap Chani tidak lebih dari sebatas sahabat.”

 

 

Bullshit!”

 

 

Jimin kembali menghelakan napas beratnya. Umpatan Taehyung semakin menyadarkan dirinya bahwa sang sahabat dan gadis yang ia sayangi telah salah mengartikan kedekatannya dengan Chani selama ini.

 

 

“Aku tidak bohong. Aku selalu menemani Chani karena dia membutuhkan perhatian lebih. Dia sakit, Tae. Dia menderita leukimia.”

 

 

Taehyung terdiam. Pikirannya tiba-tiba saja menjadi penuh. Pandangannya jatuh ke bawah dengan napas yang terembus berkala.

 

 

“Tae..”

 

 

Namun suara tawa malah terdengar dari Taehyung. Kepalanya yang tertunduk kemudian terangkat dan membuat pandangannya kembali bertemu dengan onyx kelam Jimin yang menyorotnya bingung.

 

 

“Kau pikir aku tidak tahu Jim?” Ia kembali tertawa. Tawa mengejek yang sangat sekali ingin ditunjukkannya sejak lama untuk Jimin.

 

 

“Aku sudah tahu dan Chaerin pun tahu. Tapi bukan karena Chani sakit kau bisa seenaknya menjatuhkan harapan yang telah sahabatku gantungkan kepadamu. Kau bajingan Jim! Sekali pun kau meminta maaf padanya dan dia memafkanmu, aku bersumpah tetap tidak akan membiarkanmu untuk berada di dekat Chaerin.”

 

 

Raut penuh harap yang terpampang di wajah Jimin seketika runtuh begitu mendengar penuturan Taehyung. Sahabatnya dan gadis yang ia sayangi tahu jika Chani sakit. Itu berarti rusaknya hubungan mereka bukanlah karena kesalahpahaman, tetapi memang karena dirinya yang melakukan kesalahan.

 

 

“Tae tolong dengarkan aku. Aku mohon beritahu yang sebenarnya terjadi pada Chaerin. Aku tidak bisa dijauhi oleh Chaerin. Aku ingin Chaerin yang dulu. Chaerin-ku yang selalu ada di sampingku.”

 

 

Jimin memohon. Tangannya meraih lengan Taehyung dan menggerakkannya seperti anak kecil yang tengah merajuk akan sesuatu. Namun Taehyung malah murka. Ia tidak suka mendengar Jimin menyebut Chaerin sebagai miliknya. Chaerin-nya telah lama menghilang. Tidak ada lagi Chaerin yang Jimin maksud. Dan semua itu karena ulahnya. Seharusnya ia tahu itu!

 

 

“Berengsek kau! Jangan sebut Chaerin sebagai milikmu, Park!” Makinya dengan penuh amarah.

 

 

Taehyung menyentak tangan Jimin. Kemudian tangannya yang bebas melayangkan pukulan hingga membuat tubuh Jimin oleng dan jatuh ke lantai. Membuat seluruh atensi mahasiswa lain yang berada di kantin langsung mengarah ke mereka. Taehyung tidak peduli akan hal itu. Yang penting adalah ia harus menuntaskan kemarahannya pada laki-laki bajingan ini.

 

 

“Tae! Taehyung berhenti!” Suara panik Chani membuat Taehyung menghentikan luapan kemarahannya. Melepaskan genggamannya dari kerah Jimin dan bergegas berdiri meninggalkan Jimin yang terbatuk di sana.

 

 

Ia menarik napasnya dengan kasar sebelum membubuhi pandangannya pada sosok Chani yang tengah berlari ke arah mereka. Senyum remehnya terukir manakala melihat bagaimana Chani begitu khawatir akan kondisi Jimin. Gadis itu sampai memapah tubuh Jimin dan meletakkan salah satu lengan Jimin di pundaknya.

 

 

“Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu sampai memukul Jimin?”

 

 

Taehyung mendecakkan lidah. Memutar matanya malas kemudian menjawab. “Kenapa aku memukulnya? Tentu saja karena kalian. Kalian berdua yang membuat aku ingin menghancurkannya!”

 

 

“Taehyung, apa maksudmu? Bukankah kita berteman? Bukankah kalian sudah bersahabat sejak dulu?”

 

 

Taehyung tertawa sinis. Pandangan yang sebelumnya tengah menatap pada objek tidak menarik kembali terarah pada sosok Chani dan Jimin.

 

 

“Benar! Tapi itu dulu, sebelum kalian membunuh sahabat kecilku.”

 

 

Taehyung mendengus. Matanya tidak lepas menatap lekat pada Jimin dan Chani yang masih bungkam. Keduanya tidak tahu harus menjawab apa karena mereka tidak mengerti mengapa Taehyung bisa berkata sekasar itu pada mereka. Sementara kebisuan Jimin dan Chani membuat Taehyung semakin muak. Ia mengepalkan tangannya tatkala emosi kembali melingkupi dirinya. Bagaimana bisa kedua manusia di depannya terlihat begitu tidak berdosa pada apa yang telah terjadi. Sungguh menjijikan!

 

 

“Kalian sangat cocok. Yang satu manipulatif sedang yang satunya lagi pecundang bodoh. Sungguh Tuhan memang tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya.”

 

 

*  *  *  *

 

 

Mobil Taehyung baru saja merapat di depan rumah Chaerin. Sahabatnya itu memutuskan untuk menjemputnya di tempat kursus karena ia tahu Chaerin masih belum sepenuhnya sehat. Ia takut jika Chaerin bisa saja sakit lagi karena terlalu lama terpapar udara malam. Belum lagi kegiatan belajarnya yang sangat padat, sudah pasti menyita banyak waktu istirahat gadis itu.

 

 

Setelah membiarkan kebisuan mengungkung keduanya, Taehyung akhirnya menyerah. Lidahnya sudah terlalu gatal untuk kembali berbicara. Apa lagi ini menyangkut sahabatnya, lebih tepatnya masa depan sang sahabat.

 

 

“Chae.. tolong dengarkan aku kali ini.” Taehyung menjeda sejenak. Tubuh yang terikat tali elastis sebagai pelindung telah terlepas hingga memudahkan dirinya untuk bergerak, termaksud memutar tubuhnya hingga menatap sang sahabat yang duduk di sebelahnya.

 

 

“Aku tahu Paman Han adalah Ayahmu. Seburuk apa pun beliau, dia tetap orang tuamu. Aku paham itu, Chae. Tapi...” Ia menjedanya. Rasanya paru-parunya seperti kekurangan pasokan udara sampai ia harus menarik napas dalam kemudian mengembuskan dengan berkala.

 

 

“Masa depanmu adalah hidupmu. Kamu yang akan menjalaninya. Aku tidak mau kamu menyesal karena melepas mimpimu. Sudah cukup pengorbananmu selama ini. Apa lagi yang harus kamu korbankan hanya untuk membuat Ayahmu mengakui dirimu. Tidak ada, karena jika memang Ayahmu –maaf, tapi jika Ayahmu memang memposisikan dirinya sebagai seorang Ayah maka kondisi mu tidak akan seperti ini.”

 

 

Chaerin sendiri tidak tahu harus berkata apa. Pikirannya berkecamuk. Banyak hal yang kini memenuhi setiap rongga di otaknya. Mulai dari lukisannya, ketidaksukaan Ayahnya, mimpinya, Ibunya, bahkan Jimin yang telah meninggalkannya, dan yang terakhir adalah pembicaraannya dengan Taehyung sepanjang pulang hingga mereka telah sampai.

 

 

Setiap kalimat yang terlontar dari bibir laki-laki Kim itu adalah kebenaran yang sangat menyakitkan untuknya. Membuat ia hanya bisa meremat kedua tangannya saat kenyataan menyedihkan itu kembali dipaparkan Taehyung entah untuk yang keberapa kalinya. Bukan bermaksud untuk menjadikannya anak durhaka, ia tahu maksud Taehyung mengatakan itu adalah untuk menyadarkan dan meyakinkan dirinya seperti apa posisinya saat ini.

 

 

Jangan terlalu banyak bermimpi jika seseorang dapat berubah hanya karena kamu melakukan apa yang mereka inginkan. Terkadang semua itu hanya sebagai hiburan bagi mereka yang tidak terlalu memedulikan dirimu.

 

 

Itulah yang ingin Taehyung sampaikan di balik pembicaraan malam mereka.

 

 

“Besok adalah hari terakhir pengumpulan formulir minat dan buku rencana paska sekolahmu kan?  Aku harap kamu memikirkan ucapanku dengan baik sebelum mengumpulkannya. Aku berkata seperti ini untuk mencegah penyesalan dalam dirimu. Aku tidak mau kamu semakin bersedih karena harapanmu tidak terkabul.”

 

 

Chaerin hanya dapat mengangguk singkat sebelum mengangkat pandangannya dan menatap sang sahabat untuk pertama kali sejak keheningan mengalahkan keiinginan untuk berbicara.

 

 

“Sudah malam, segeralah masuk. Ingat! Jangan melakukan apa pun lagi selain tidur. Semua tugasmu sudah selesai jadi harus segera bersitirahat. Mengerti?”

 

 

Taehyung mengusap surai hitam milik Chaerin. Membuat gadis itu langsung tersenyum saat kehangatan tangan besar Taehyung merambat pada dirinya. Membawa kembali senyum manisnya yang sempat menghilang sejak pembicaraan mengenai rencana kuliahnya mulai diangkat.

 

 

“Terima kasih.”

 

 

Kalimat terakhir sebagai penutup pembicaraan serta pertemuan malam itu dari Chaerin. Setelah mengatakannya ia segera keluar dan bergegas masuk saat mobil Taehyung telah bergerak ke arah rumahnya yang berselang beberapa rumah dari miliknya.

 

 

Hal pertama yang ia sadari saat menginjakkan kaki di dalam adalah sepi. Tidak ada siapa pun di ruang keluarga atau ruang makan selain Bibi Jung yang tadi membukakannya pintu.  Ini aneh, pasalnya sekali pun sang Ayah tengah berada di luar kota atau pulang malam pasti akan ada sang kakak tentunya bersama dengan Jimin di salah satu ruangan tersebut. Keduanya selalu berhasil membuat hati Chaerin terasa panas setiap kali menyaksikan kearaban mereka. Membuat dirinya ingin berteriak sampai menghancurkan apa pun yang bisa ia hancurkan jika saja ia tidak ingat posisinya di rumah itu.

 

 

Ugh.. memikirkan itu membuat ia kembali dirundung emosi. Rasanya kesal dan marah karena kenyataannya ia tidak bisa melakukan apa pun selain diam dan menikmati rasa sakitnya sendiri. Benar-benar bodoh!

 

 

Tidak mau terlalu ambil pusing dengan kekosongan rumahnya, Chaerin lebih memilih segera menuju kamarnya. Ia butuh istirahat setelah hari panjang yang monoton yang terus dirinya jalani. Saat tubuhnya telah berada di dalam serta pintu kamarnya kembali tertutup dan seketika matanya membulat sempurna. Seseorang yang baru saja ia pikirkan keberadaannya ternyata tengah berada di dalam kamarnya dengan memegang botol yang ia sembunyikan di dalam laci terdalam meja belajarnya. Mata mereka bertemu. Selama beberapa detik yang ganjil keduanya hanya saling bertukar pandang. Hingga Chaerin memutusnya dan segera merebut paksa botol kaca tersebut.

 

 

“Apa yang kau lakukan?!” Makinya tertahan.

 

 

Jelas sekali jika Chaerin tidak menyukai keberadaan sosok itu di kamarnya. Terlebih dengan memegang botol yang selama ini ia sembunyikan dari siapa pun terkecuali Taehyung, karena hanya sahabatnya yang tahu mengenai keberadaan botol itu di kamarnya.

 

 

Botol yang telah berhasil berpindah ke tangannya itu lantas dikembalikan ke dalam laci. Lalu menutupinya dengan buku, lembaran kertas, serta beberapa alat tulisnya untuk mencegah orang lain dapat menemukannya.

 

 

“Kenapa kamu bisa memilikinya?”

 

 

“Bukan urusanmu!” Desisinya.

 

 

“Kapan? Sejak kapan kamu mengonsumsinya?” Tanyanya lagi kali ini dengan suara yang sedikit meninggi. Membuat Chaerin yang sedari tadi memunggunginya berbalik hingga keduanya kembali berhadapan.

 

 

“Sudah kukatan itu bukan urusanmu! Lebih baik sekarang kau keluar karena aku muak melihatmu.”

 

 

Chaerin mendorong tubuh itu dengan sisa tenaganya yang tidak terlalu besar. Memaksa tubuh yang lebih besar dari dirinya untuk meninggalkan kamar yang telah menjadi teritorinya. Namun pemilik tubuh tegap itu mengelak dari dorongan yang didapatnya. Ia membawa tubuhnya menyingkir kemudian menahan pergerakan Chaerin dengan menggenggam erat kedua lengannya.

 

 

“Berengsek. Apa yang kau lakukan? Lepas!” Umpatnya saat pergerakan tubuhnya dikunci oleh sosok tersebut.

 

 

“Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu mengatakan semuanya.”

 

 

Chaerin mendecih. Kepalanya ia tolehkan ke samping dengan gelak sinis yang terucap dari bibirnya.

 

 

“Untuk apa? Apa pentingnya untukmu, Park?”

 

 

“Tentu saja karena aku peduli dan menyayangimu, Lim Chaerin!”

 

 

Ia terhenyak mendengar pengakuan Jimin. Kebersamaan mereka di masa lalu yang coba dirinya kubur dalam-dalam kembali mencuat kepermukaan hanya karena kalimat itu. Ingatan yang sama sekali tak diinginkan untuk kembali teringat akhirnya hadir dengan membawa rasa sakit yang tiada tara untuk hatinya. Membuat semua emosi yang ia sembunyikan kini malah bergabung menjadi satu hingga membesar dan siap meledak.

 

 

Kepalanya kembali menghadap Jimin. Sorot mata benci yang beberapa saat lalu berubah menjadi sendu lantas kembali berubah sengit kala obsidannya bersirobok dengan onyx kelam Jimin. Jantungnya semakin bergemuruh saat tatapan sendu yang Jimin tenjukan malah menambah kepedihan yang tengah dirasakannya. Dengan kasar ia menyentak tangan kekar Jimin yang melingkari pergelangannya.

 

 

“Jangan sok peduli padaku. Aku muak dengan semua kepalsuanmu Jim!”

 

 

“Aku tidak sok peduli, aku memang peduli padamu Chae! Tolong maafkan aku jika aku membuatmu menjadi seperti ini. Tapi aku mohon, kembalilah menjadi Chaerin-ku, Chaerin yang penyayang yang selalu tersenyum-”

 

 

Jimin tidak sempat menyelesaikan kalimatnya saat Chaerin memutusnya dengan balasan sengit yang membuat hati Jimin seperti tercabik. Tanpa ia sadari air mata mengalir bebas dari pelupuk matanya.

 

 

“Aku bukan lagi Chaerin yang dulu. Chaerin yang kau kenal telah lama mati bersama dengan kebohongan yang kau buat. Jika kau tidak bisa menerimanya, maka carilah Chaerin-mu itu ke alam baka. Aku tidak peduli karena aku bukanlah Chaerin yang kau kenal!”

 

 

Jimin menggeleng bar-bar.

 

 

“Tidak, kamu adalah Chaerin-ku! Kamu hanya sedang menghukumku karena telah menyakitimu.”

 

 

“Tahu apa kau tentangku!” Sengit Chaerin, merasa tidak terima dengan kelancangan Jimin.

 

 

“Aku tahu karena kamu adalah Lim Chaerin. Gadis dengan hati besar yang dipenuhi dengan kasih sayang.”

 

 

Ucapan Jimin membuat perisai yang Chaerin bangun menjadi goyah. Membuat kemarahan yang diselimuti rasa benci yang ia rasakan mulai menguar berganti dengan getaran yang tidak lagi dirasakannya semenjak Jimin memutuskan untuk berada di samping Chani. Menggantikan dirinya dengan sang kakak dan melupakan janji yang telah ia ikrarkan. Menyebabkan harapan yang telah ia gantungkan hanya dapat tergantung tanpa ada akhir yang jelas.

 

 

Jimin yang melihat sorot sendu di mata Chaerin kembali memberanikan dirinya untuk meraih gadis itu. Membawa tubuh mungil itu ke dalam rengkuhannya. Merasakan kembali kehangatan sang gadis setelah sekian lama sulit bagi Jimin untuk menjangkaunya. Bahkan bertegur sapa pun seperti hal yang mustahil dilakukan karena jarak di antara keduanya yang terlalu terjal.

 

 

“Chaerin, kumohon katakan apa kesalahanku. Apa yang membuatmu berubah sampai seperti ini? Karena aku ingin menebusnya, aku ingin memperbaiki kesalahanku agar kita bisa kembali seperti dulu.” Jimin memohon. Suaranya memberat bersama dengan isak yang samar-samar terdengar.

 

 

Sedangkan Chaerin, tiba-tiba saja ia merasa seperti ada yang menghantam hatinya. Rasanya sakit dan sesak saat ingatannya kembali membawa ia pada malam dimana hidupnya nyaris hancur. Jika saja Taehyung tidak datang maka sudah dipastikan ia hanya berakhir nama. Dirinya tidak sanggup menanggung kehancurannya jika terus bertahan hidup. Tapi Tuhan sepertinya masih meyayangi dirinya karena mendatangkan Taehyung untuk menyelamatkannya dari kehancuran yang sebenarnya.

 

 

Sayang dewi fortuna seakan tidak berpihak kepadanya karena setelah ia merasa hidupnya terselamatkan oleh sang sahabat, laki-laki yang menjadi sandarannya sejak sang Ibu pergi meninggalkan dunia malah membawa kehancuran dalam bentuk lain. Menghancurkan hati sekaligus harapannya hanya dengan satu kalimat yang hingga detik itu selalu menghantui tidurnya. Menjadi teror tersendiri hingga ia harus mengonsumsi benda yang tersimpan di dalam botol kaca yang dirinya sembunyikan di dalam laci.

 

 

Sisa kesadarannya akhirnya membawa kembali akal sehat Chaerin yang sempat hanyut bersama bualan manis yang terucap dari bilah bibir Jimin. Yang telah berhasil membawanya kembali melambung ke angkasa sebelum dijatuhkan kembali kapan pun laki-laki itu mau. Maka dengan rasa benci yang kembali mengungkung diri, Chaerin mendorong tubuh Jimin menjauh. Terkejut dengan penolakan tiba-tiba Chaerin, membuat Jimin tidak menyadari bahwa Chaerin telah menariknya pergi keluar dari kamarnya.

 

 

“Aku tidak sudi memaafkanmu Park! Dan jangan berharap kita bisa kembali seperti dulu karena aku bukan Chaerin-mu. Lim Chaerin yang kau maksud telah mati dan kau sendiri yang membunuhnya!”

 

T . B . C

 

Selamat hari Jumat dan selamat menyambut weekend.

Tetep #stayathome ya semuanya. Kita bantu para tenaga medis yang tengah berjuang di sana, kasian mereka kalau beban kerjanya over sedangkan perhatian dari pemerintah untuk kesehatan pun tidak ada.

Sehat sehat selalu untuk semua.

See ya 😗

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts