Broken Sinner: Get Caught (Part 5)


 

 

 Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)


.

.

.

.

.


 

 

Ketika langit semakin menggelap dengan suara hantaman pada jendela karena angin yang berembus kencang. Jam yang terpasang di dinding terus berputar mengitari setiap angka. Chaerin yang telah menjadi penghuni di atas kasurnya sejak beberapa jam lalu masih belum bisa memejamkan matanya dengan benar. Setiap kali kedua kelopaknya tertutup, maka di saat itu pula ia kembali membukanya dengan napas yang memburu serta jantung yang bergemuruh.

 

 

Ia lelah. Sungguh! Ia ingin tidur. Mengistirahatkan tubuh serta pikirannya yang terus ia pergunakan selama seharian penuh. Tapi pikirannya masih terlalu penuh untuk diajak beristirahat. Hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan dan tidak ingin dipikirkan malah bermain dengan riangnya di dalam otak hingga membuat kepalanya terasa sakit dan ingin pecah. Menghadirkan kegusaran dalam hati yang menyesakkan hingga rasanya sulit sekali untuk bernapas dengan normal.

 

 

Napasnya terembus berat saat telapak tangan mengusap wajahnya dengan kasar. Sejurus dengan itu, tubuhnya kembali ditegakkan dari posisi tidurnya. Pada akhirnya, ia menyerah. Insomnianya kembali menghalangi dirinya terlelap ke alam mimpi. Tempat satu-satunya yang bisa menerima kehadirannya tanpa kepalsuan.

 

 

Dengan lelah, ia bergerak dari atas ranjang empuknya. Kakinya tergantung di atas ranjang sebelum mendarat di atas dinginnya lantai kamar. Berjalan pelan dan lemah ke arah meja belajar. Kursi putih yang tersimpan rapih di sana dikeluarkan dan digunakan sebagai tempat untuk mendaratkan bokongnya.

 

 

Ia menarik napasnya dalam dan sangat dalam hingga rasanya paru-parunya mengecil sempurna. Kemudian mengembuskannya perlahan saat tangannya bergerak membuka salah satu laci. Bergerak menyingkirkan beberapa benda yang menghalangi tangannya untuk menggapai tujuannya. Sampai telapaknya merasakan dingin pada sebuah benda kemudian membawanya keluar dari dalam sana.

 

 

Botol kaca yang tadi ia sembunyikan, kembali berada di hadapannya. Selama beberapa detik, matanya terus menatap benda berisi butiran berwarna putih yang selalu ia masukkan ke dalam mulutnya bersamaan dengan air di dalam gelas yang ia ambil dari dapur. Dan malam itu, ia harus kembali mengulangi kebiasaannya setelah beberapa hari ini ia berhenti melakukannya.

 

 

Tangan dinginnya lantas bergerak membuka penutup botol. Kemudian menuangkan butiran putih ke atas telapaknya. Jumlahnya kali ini lebih banyak dari biasanya. Dirinya tahu jika hal itu tidak benar. Tapi ia tetap melakukannya –karena butuh. Ia ingin cepat terlelap dan menghilangkan semua hal yang memenuhi pikirannya. Ia butuh untuk segera memejamkan mata tanpa ada rasa tidak tenang yang selalu mengusik dikala matanya terpejam. Ia butuh untuk beristirahat agar tenaganya dapat terisi kembali. Ia butuh semua itu untuk melanjutkan hidupnya. Menjalani kehidupan yang sangat berat dan tidak memihak kepadanya.

 

 

Dengan menarik napas, tangannya bergerak mendekat ke mulut. Membawa butiran putih itu ke dalam mulut sebelum mengambil gelas yang berada di dekat lampu duduk dan mengalirkan isinya ke dalam kerongkongan. Mendorong benda putih yang bisa membuat dirinya mengantuk dan tidur itu ke dalam tubuhnya. Melupakan efek yang akan timbul jika ia sampai mengonsumsi benda itu melebihi dosis yang telah ditetapkan dokter. Sekali pun saat akan terpejam jantungnya malah berdetak sangat cepat, ia sudah tidak peduli. Yang ia pedulikan hanya tidur karena besok adalah hari berat lainnya yang harus ia jalani.

 

 

Tangannya kembali menyimpan botol kaca berisikan obat tidur ke tempat persembunyiannya. Menutup laci bersamaan dengan hela putus asa yang keluar dari bibirnya. Perlahan ia beranjak meninggalkan kursi belajarnya. Bersiap untuk kembali berbaring karena ia tahu obat yang baru saja ia konsumsi mulai bekerja.

 

 

Tangannya menarik selimut berwarna putih gading itu hingga menutupi sampai sebatas leher. Sebelum memejamkan matanya yang mulai terasa berat, ia menatap langit-langit kamarnya dengan warna yang senada dengan selimutnya. Temaram kamar membuat dirinya semakin menyadari jika hidupnya juga telah menjadi temaram semenjak malam itu. Malam yang membawa mimpi teramat buruk untuk dirinya hingga ia didiagnosa menderita insomnia. Malam yang selalu menghantui tidurnya karena di malam itu tubuhnya seperti dihempaskan ke dalam gelombang pasang air laut karena pernyataan menyakitkan yang tidak pernah terpikirkan olehnya akan ia dengar dari orang tersebut.

 

 

“Aku berharap ini malam terakhirku..”

 

 

*  *  *  *

 

 

Chaerin kembali menjadikan mejanya sebagai penyangga tangan yang ia gunakan untuk meletakkan kepala. Kepalanya terasa berat dan jantungnya masih berdetak lebih cepat –efek obat tidur yang ia konsumsi dini hari tadi. Di tengah jam pertama, kepalanya tiba-tiba saja berdenyut saat ia baru mengerjakan setengah dari ujian hariannya. Ia tahu denyut itu timbul karena pertanyaan-pertanyaan yang harus ia pikirkan jawabannya. Rasanya ingin menyerah saja ketika semakin lama pertanyaan di lembar ujian itu semakin sulit. Namun saat pertengkaran dengan sang Ayah terus terngiang membuat dirinya tidak jadi melakukannya.

 

 

“Chaerin!” Panggilan nyaring dari Bora membuat ia mengangkat kepalanya. Sahabatnya itu selalu saja menggunakan suara delapan oktafnya untuk membuat dirinya jengkel dan akhirnya menghadiahi gadis itu dengan atensinya.

 

 

“Kenapa tidak ke kantin? Apa masih tidak berselera?”

 

 

Kepalanya mengangguk dan matanya berputar malas. “Hm..”

 

 

Senyum licik Bora tersungging kala melihat respon Chaerin. Chaerin menaikkan sebelah alisnya dengan perasaan was-was yang tiba-tiba menyerang. Rasanya jika sudah melihat sang sahabat dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas, itu berarti ada hal kurang baik yang akan ia hadapi.

 

 

“Benar kamu masih tidak berselera sekali pun telah melihat ini?” Tanya Bora dengan memberikan sebuah amplop putih kepada Chaerin.

 

 

Chaerin mengerutkan dahinya. Matanya menatap bingung pada amplop kemudian Bora secara bergantian.

 

 

“Ini adalah uang hasil jual lukisanmu. Kemarin aku berhasil menjual dua lukisanmu, dan ini uangnya!” Seru Bora membuat Chaeri membulatkan matanya.

 

 

Ia mengambil alih amplop tersebut sebelum menghadiahi sahabatnya dengan pelukan hangat dan erat serta ucapan terima kasih yang terus dilontarkan dari bibirnya.

 

 

“Hei aku tidak bisa bernapas.”

 

 

Chaerin tersenyum canggung saat melepaskan pelukannya. Tangannya bergerak ke belakang leher menggaruk area tersebut walau tidak gatal.

 

 

“Maaf..” Cicitnya kemudian.

 

 

“Kamu sangat senang, kalau begitu kita makan?”

 

 

Kepalanya mengangguk cepat dengan binar dan rona bahagia yang terpancar di wajahnya. “Aku yang traktir. Sekaligus aku ingin membicarakan keuntungan yang harus aku berikan padamu, Shin.”

 

 

“Tapi sebelum kita ke kantin, bagaimana jika kita pergi ke kantor akademik untuk mengembalikan formulir dan buku rencana paska sekolah?”

 

 

“Aku setuju, Yoo. Aku juga sudah membawanya.”

 

 

Yoori mengangguk, lantas menoleh pada Chaerin yang terpekur.

 

 

“Chae, bagaimana denganmu?”

 

 

Chaerin tersentak. Matanya bergerak liar sebelum beralih pada lembar kertas dan buku coklat yang ada di atas meja. Ia memandangi kedua benda tersebut dengan rasa bimbang yang begitu besar. Setelah insiden adu mulut dengan Jimin, dirinya jadi melupakan rencana untuk memikirkan apa yang disarankan Taehyung. Ia terlalu fokus pada pikiran dan mimpi buruknya sampai melupakan bahwa harus ada yang dituliskan pada kedua benda tersebut.

 

 

Suara Yoori yang kembali memanggil dirinya membuyarkan lamunan singkat Chaerin. Ia menatap sahabatnya itu yang juga tengah memandangnya bingung. Kala bimbang sudah mencapai batas tertinggi, keputusan mau tidak mau harus diambilnya. Tanpa melepas pandang dari sang sahabat, napasnya terhela.

 

 

“Aku ikut. Tapi bisakah kalian menunggu karena aku belum menulisnya?”

 

 

Baik Yoori dan Bora sama-sama menganggukkan kepala. Sementara Chaerin kembali mendudukkan dirinya di kursi dengan sebuah bolpoin di genggaman. Atensinya kini berada pada lembar kertas dan buku coklat yang sejak pagi tadi berada di atas meja. Memperhatikan setiap kata yang tertulis pada lembaran tersebut sebelum menuangkan tinta pulpennya di atas sana. Satu kata penting berhasil ia torehkan di atas lembaran putih tersebut. Kemudian fokusnya beralih pada buku coklat di dekatnya.

 

 

Kali itu, ia memerlukan waktu yang lebih lama untuk mulai menggerakkan tangannya. Ia tahu, sekali saja ia membuat kesalahan dalam mengisi buku tersebut, maka bisa jadi hidupnya akan berakhir selamanya.

 

 

*  *  *  *

 

 

Sebenarnya di sore itu Chaerin masih memiliki jadwal kursus yang harus ia hadiri. Namun kegundahan hati yang sejak kemarin ia rasakan memaksa dirinya untuk membolos dan pergi menemui seseorang yang sangat ia rindukan. Orang pertama dan mungkin menjadi satu-satunya yang menyayangi dirinya dengan tulus.

 

 

Kakinya melangkah pelan menyusuri jalan setapak yang semakin lama membawanya hingga ke puncak bukit. Semilir angin ikut berembus menemani dirinya di tengah langit bermandikan warna jingga. Sayup-sayup cicitan burung yang bertengger di dahan pohon terdengar bagaikan irama musik yang menenangkan.

 

 

Senyum kecil dan penuh dengan kehangatan itu terukir manakala obsidan coklatnya menangkap eksistensi batu pualam yang menjadi tujuannya. Senyum yang telah lama menghilang dan hampir tidak pernuh tampak jika saja Taehyung tidak ada di sampingnya. Maka dengan perasaan hangat yang memulai merambat di dalam hati, tungkainya ia lankahkan sedikit lebih cepat hingga berhenti tepat di depan batu tersebut

 

 

Ia menarik napasnya sebelum suaranya berujar pelan.

 

 

“Halo Ibu.. bagaimana kabarmu? Aku merindukanmu.”

 

 

Deretan kata yang sama yang selalu keluar dari bilah bibirnya setiap kali tubuh mungil itu datang untuk menjenguk sang Ibu yang sudah terbaring dengan tenang di dalam sana. Perlahan tubuhnya merendah dengan kaki yang bersimpuh di atas rumput. Tangannya kemudian bergerak mengelus batu hitam itu dengan sayang seakan itu adalah Ibunya.

 

 

“Ibu pasti tahu kenapa aku datang? Karena setiap aku datang selalu saja dengan masalah dan tidak pernah membawa kabar bahagia untukmu. Maafkan aku Bu yang gagal menjadi anak yang bisa membuatmu bahagia.” Lirihnya bersamaan dengan helaan napas berat.

 

 

Ketika tangannya masih setia mengusap ukiran nama sang Ibu, matanya malah menitihkan cairan bening yang tidak bisa dirinya hentikan. Seketika suara angin dan burung yang berterbangan di sana kini bertambah dengan isakan pilu yang keluar dari mulutnya. Suara yang begitu menyayat hingga mampu membuat orang lain yang mendengarnya dapat merasakan kesedihan terpendam di balik tampang dingin dan keras yang ia tunjukkan.

 

 

“Ibu ini terlalu sakit. Aku tidak sanggup menanggungnya. Semuanya seperti mencekikku, Bu. Bagaimana ini?” Adunya dengan isak yang semakin menjadi.

 

 

Kepalanya sampai ia tenggelamkan di antara kakinya yang dilipat untuk membendung suara tangisnya yang ditakutkan didengar orang lain. Walau sepertinya mustahil karena hari semakin gelap dan mana ada orang yang berkunjung ke pemakaman di malam hari.

 

 

Kondisinya terlihat begitu kacau. Tubuh yang bergetar di tengah hamparan luas batu pualam saat langit telah menggelap. Isak tangis yang semakin lama semakin memilukan. Serta tubuh yang hanya berbalutkan seragam sekolah tanpa jaket kebanggaan yang ia lupakan di kursi belajarnya. Ironi sekali saat melihat beberapa meter di belakangnya banyak orang dengan pakaian terbaik mereka berjalan menikmati malam menuju akhir pekan.

 

 

Terlalu larut dalam kesedihan dan kegundahan hati yang menyiksa, Chaerin tidak menyadari jika setitik air telah jatuh mendarat di bumi. Satu titik itu semakin lama semakin bertambah banyak. Hingga ia akhirnya menengadahkan kepala saat suara petir terdengar memekakkan telinga. Ia bergeas berdiri. Merapihkan dan membersihkan roknya dengan kepala yang ditengadahkan ke atas. Bersamaan dengan itu kilatan cahaya terang yang dilanjutkan dengan gema petir terdengar kencang. Sontak matanya terpejam begitu suara itu menyebabkan dengung hebat di telinganya.

 

 

Jantungnya lantas bergemuruh hebat. Paru-parunya bekerja cepat menghirup udara saat karbondioksida berusaha keras untuk terembus keluar. Chaerin langsung meremat dadanya. Teror yang ia takutkan kembali hadir kala dirinya berada jauh dari rumah. Saat tidak ada siapa pun yang bisa menyelamatkannya jikalau teror itu membawa kembali tubuhnya ke dalam kondisi terendah.

 

 

Perlahan tubuh mungil itu kembali jatuh saat napasnya mulai tersenggal hebat. Pandangannya mulai tidak jelas. Telinga yang ikut berdengung. Serta tubuhnya yang mulai bergetar. Ia tahu terornya sudah kembali membawa dirinya mengalami serangan panik yang berakibat pada paru-parunya yang terus mengeluarkan karbondioksida hingga menghambat laju oksigen untuk masuk ke dalam tubuhnya.

 

 

Tidak ada pilihan lain selain kembali menggunakan penyelamatnya. Walau ia ingin sekali untuk segera meninggalkan dunia yang kejam itu, tetapi ia tidak mau mati di depan makam Ibunya. Tidak! Sampai tidak ada satu pun orang di dunia yang memihak padanya, dirinya tetap tidak mau menunjukkan kehancurannya secara langsung di hadapan orang terkasihnya.

 

 

Segera ia melepaskan tasnya yang masih tergantung di pundak. Membuka resleting dan merogoh ke dalam mencari sebuah botol yang selalu dibawanya di dalam tas. Tangannya bergerak cepat memindai setiap barang yang ada di dalam. Hingga tidak menyadari kehadiran seseorang yang berlari ke arahnya saat melihat tubuh mungil itu jatuh dengan tangan memegangi dada.

 

 

Ia mengeluarkan botol coklat bertuliskan ‘Alprazolam’ setelah melakukan pencarian yang cukup sulit. Tangan yang sedari tadi tidak henti menekan dadanya berganti membuka penutup botol. Kemudian mengambil beberapa butir tablet dan berniat untuk memakannya andai saja pergerakan tangannya tidak ditahan oleh tangan lain.

 

 

Pandangannya masih memburam kala kepalanya terangkat guna melihat siapa pemilik tangan besar yang dengan cepat merebut botol tersebut. Ia mengerut saat melihat wajah laki-laki yang tengah menatap marah pada tulisan di botol yang membuat dirinya langsung berusaha merebut kembali botol itu.

 

 

“Kembalikan Kim!”

 

 

“Tenanglah Chae.. ada aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu seperti ini.” Ucapnya dan menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Merengkuh dan mengusap punggung yang bergetar itu dengan kasih sayang.

 

 

“Pejamkan matamu dan bernapaslah bersamaku.” Lanjutnya

 

 

Chaerin yang tidak mempunyai pilihan lain akhirnya melakukan apa yang dikatakan oleh Taehyung. Mengikuti setiap kata yang Taehyung katakan. Terus dilakukan hingga napasnya berangsur normal. Tarikan dan embusan dilakukan dengan volume yang sama. Tidak seperti sebelumnya yang didominasi oleh embusan dari dalam tubuhnya.

 

 

*  *  *  *

 

 

Suara hujan yang turun menjadi suara lain yang terdengar di dalam mobil Taehyung selain deru napas Taehyung dan Chaerin. Keduanya memilih diam dan membiarkan kebisuan mengikat mereka. Taehyung memilih diam setelah membiarkan gadis di sebelahnya menangis guna meluapkan seluruh perasaannya. Mendengarkan tangis menyakitkan yang hanya akan diperdengarkan kepada dirinya dan juga makam Ibunya saja. Suatu kehormatan bagi Taehyung karena bisa melihat sisi lemah sang sahabat yang selama ini selalu ditutupi, walau dirinya sangat membenci kala melihat air mata jatuh dari mata Chaerin.

 

 

Sedangkan Chaerin, dalam diamnya ia terus berpikir mengenai kesakitan yang membawanya pada obat yang hampir ia konsumsi kembali andai saja Taehyung tidak datang dan merebutnya. Ia larut dalam pikiran dan rasa teror yang mendominasi relung hatinya setiap kali hujan turun dan saat petir menyambar kencang. Semua itu menghadirkan kembali memori kelam yang sangat dibencinya. Memori yang mengingatkan dirinya pada malam dimana kebaikan dan ketulusannya berakhir pada kehancuran yang tiada tara.

 

 

Lama membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Akhirnya Taehyung mengakhiri dengan mengembuskan napas berat sebelum vokalnya terucap penuh tuntutan.

 

 

“Sejak kapan?”

 

 

Chaerin bungkam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Taehyung yang terlihat begitu kecewa padanya.

 

 

“Chaerin, kita sudah berjanji untuk tidak menyimpan rahasia. Karena itu tolong katakan padaku, sejak kapan kamu mengonsumsi obat ini?” Taehyung kembali bertanya. Kali ini suaranya terdengar melirih saat mengingat kembali kejadian setengah jam lalu di depan makam Bibi Ji –Ibunda Chaerin.

 

 

Chaerin yang masih mengenakan seragamnya terlihat kacau dengan napas yang tidak normal di tengah pemakaman saat bumi mulai dituruini oleh air. Terduduk di depan makam sang Ibu sembari memegangi dadanya. Wajah yang tampak pucat dan panik seakan kematian telah menjemput di depan mata.

 

 

Chaerin terlihat menghela napasnya perlahan sebelum mengangkat kepalanya yang setia ia tundukkan sejak sang sahabat membawa tubuh lemahnya ke dalam mobil.

 

 

“Dua hari setelah kamu mengantarku menemui Dokter Han, keesokan harinya aku kembali menemuinya. Malam sebelum aku pergi menemuinya, hujan turun deras dan petir saling menyambar. Aku merasakan rasa sesak saat mendengar petir begitu kencang kemudian semakin sesak setiap kali kilatan cahaya muncul disusul suara petir yang nyaring dan besar. Saat itu, aku merasa hampir mati karena kehilangan napas saat petir itu membawa ingatan malam menyeramkan itu.” Chaerin menjeda penuturannya. Membawa sorot mata kelabunya ke depan tanpa sekali pun berniat membalas tatapan Taehyung yang mulai dipenuhi dengan genang air mata.

 

 

“Aku berusaha keras untuk bertahan. Mengatur napas semampuku sampai tidak menyadari aku tidur dengan air mata dan rasa sesak.” Embusan napas kembali ia loloskan.

 

 

“Aku menceritakan semuanya pada Dokter Han, dan beliau sampai pada kesimpulan jika aku mengidap gangguan kecemasan. Aku akan mengalami serangan panik yang membuat paru-paruku mengalami hiperventilasi. Kemudian Dokter Han memberikan resep obat itu untuk mengatasi gangguan kecemasan dan hiperventilasi yang mungkin terjadi setiap kali aku terlalu takut.”

 

 

Taehyung kembali menarik tubuh lemah itu ke dalam dekapannya. Meletakkan dagunya pada bahu Chaerin. Memejamkan mata dan membiarkan air mata yang telah menggenang di pelupuk mata jatuh bebas.

 

 

Hatinya kembali tercabik saat menyadari bahwa ia kembali gagal melindungi sang sahabat kecil. Ia sampai tidak mengetahui jika kejadian malam itu tidak hanya membawa sang sahabat pada kesulitan untuk tidur. Lebih parah lagi, malam buruk itu berhasil menorehkan luka hingga trauma yang membuat tubuh mungil Chaerin bereaksi dengan sebuah ganggaun kecemasan yang tidak dapat dikategorikan ringan.

 

 

Kenyamanan serta rasa terlindungi yang diberikan Taehyung membuat Chaerin seketika membalas pelukan itu. Membawa tubuhnya lebih merapat pada tubuh tegap sang sahabat. Menenggelamkan wajah yang kembali dibasahi oleh mata di dada Taehyung.

 

 

“Maafkan aku karena aku tidak mengetahuinya. Andai aku tahu, aku tidak akan pernah membiarkan dirimu sendiri ketika pemicu traumamu datang.”

 

 

Dalam rengkuhan Taehyung, Chaerin menggelengkan kepala.

 

 

“Tidak Tae, aku yang sengaja tidak memberitahumu karena aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku tidak mau terus menerus menyusahkanmu dengan diriku yang lemah ini. Aku tidak ingin menjadi beban kemudian bergantung padamu. Aku melakukannya agar saat kamu tidak lagi di sampingku, aku tidak terlalu hancur.”

 

 

Taehyung melepaskan pelukannya. Mendorong pundak sempit Chaerin ke belakang untuk membawa pandangan mereka bertemu. Onyx hitam itu langsung menatap lekat obsidan kecoklatan Chaerin. Menguncinya agar pandangan sang sahabat tetap mengarah padanya.

 

 

“Kamu bukan beban untukku. Kamu itu sahabat yang sudah aku anggap sebagai adikku. Tidak mungkin aku meninggalkan adikku sendiri, Chae. Tolong jangan berkata seperti itu. Itu menyakiti perasaanku.”

 

 

“Tapi-”

 

 

Taehyung menggeleng. “Tidak ada tapi. Sekarang aku ingin kamu berjanji padaku, tidak ada lagi rahasia di antara kita. Cukup konsumsi obat tidurmu jika dibutuhkan dan jangan tambah dengan obat ini. Aku tidak mau tubuhmu rusak karena terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan. Jika kamu mulai takut, hubungi aku dan aku akan langsung datang untuk menemanimu. Mengerti?”

 

 

Chaerin hanya mengangguk sebelum membawa dirinya kembali ke dalam pelukan hangat Taehyung. Merasakan kembali perasaan terlindungi yang hanya dapat ia rasakan saat bersama Ibunya, Taehyung, dan Jimin ketika laki-laki itu belum menjauh dan menggantikan posisinya dengan Chani.

 

 

T . B . C

 

 

Special Jimin's Birthday, walau di part ini Jimin-nya enggak muncul.

But its okay, at least aku bisa ikut merayakan dengan caraku sendiri.

I didn't have much to say to you guys, I just wanna say thank you and will see you soon.

Stay healthy and safe semua

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts