Broken Sinner: The Truth Untold (Part 7)


 

 Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)

 

.

.

.

.

.

 

 

Napas berat dan suara tangis menjadi pengisi ruang tunggu unit gawat darurat. Ruangan dengan dominasi warna putih itu menjadi saksi bisu kesedihan tiada tara yang mengungkung Taehyung. Matanya tidak berhenti mengalirkan air mata sejak mereka tiba. Penyesalan melingkupi dirinya yang kini hanya mampu terduduk dengan kepala menunduk dan memanjatkan doa pada Tuhan untuk keselamatan sang sahabat kecil.

 

Chaerin, gadis itu tengah berada di dalam ruang penanganan karena kecelakaan yang dirinya alami. Beberapa jam yang lalu dirinya dilarikan ke rumah sakit setelah tubuh mungilnya dihantam kendaraan roda empat ketika hujan turun deras. Tubuhnya terpental dua meter di depan dengan luka dan darah yang mengalir dari beberapa bagian tubuhnya.

 

Andai saja ia segera datang untuk menemui Chaerin di rumahnya, mungkin saja kecelakaan itu tidak akan terjadi. Ia bisa melindungi Chaerin dari kemarahan sang Ayah. Andai saja ia tidak menunggu Chaerin menghubunginya, mungkin saja gadis itu masih ada di sampingnya. Ia bisa memeluk tubuh itu dan mendengar suaranya. Tapi semua itu hanya pengandaian yang melahirkan penyesalan yang teramat besar.

 

Saat kepalanya kembali diangkat, pemandangan di depannya membuat Taehyung harus menarik napas sangat dalam dan diembuskan cepat. Tangannya mengepal dengan sangat erat di atas paha. Berusaha melampiaskan seluruh perasaannya agar tidak meledak di tempat yang mengutamakan ketenangan itu.

 

“Kenapa Paman menangis? Bukankah ini yang Paman inginkan, Chaerin pergi dari kehidupan kalian?” Ujarnya sinis.

 

Matanya tidak lepas dari sosok pria setengah baya di depannya yang tengah menangis dalam diam dengan kepala tertunduk. Tidak jauh berbeda dari pria itu, seorang gadis dan laki-laki muda di sampingnya juga mengalami hal yang sama. Mata mereka tidak dapat berhenti untuk mengalirkan kristal bening tersebut. Bibir sang gadis bahkan terus berucap lirih memanggil nama Chaerin yang membuat Taehyung muak.

 

Ujaran penuh kebencian Taehyung diabaikan oleh Tuan Lim.

 

“Dan kau, berhentilah menyebut nama Chaerin. Sebanyak apa pun kau memanggilnya, tidak akan merubah fakta kalau kau juga menjadi penyebab Chaerin seperti sekarang ini.”

 

Chani mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia sembunyikan di telapak tangan. Membawa matanya yang basah akibat air mata menatap onyx kelam Taehyung yang menyorotnya penuh benci.

 

“Apa maksudmu? Aku kakaknya, tidak mungkin aku membuat adikku menjadi seperti ini Kim Taehyung!”

 

Jimin ikut berdiri saat Chani meninggalkan kursinya. Laki-laki itu berdiri di samping Chani untuk berjaga jika hal tidak diinginkan terjadi di antara kedua sahabatnya.

 

“Tae, jangan buat keadaan semakin buruk. Kau seperti ini hanya menyulut emosi semua orang. Tidakkah kau memikirkan Chaerin yang tengah berjuang di dalam?”

 

Taehyung tergelak. “Aku memang sengaja melakukannya.” Katanya santai.

 

Tubuhnya pun kini telah ikut bangkit meninggalkan kursi. Berjalan mendekat dan berhenti satu langkah di depan Jimin dan Chani.

 

“Aku mengatakan semua itu untuk menyadarkan kalian kalau semua yang terjadi pada Chaerin disebabkan oleh kalian. Paman Han, Chani, dan kau Jim! Aku sudah mengatakan padamu bukan, jika aku ingin menghabisimu atas perubahan Chaerin. Bukankah itu sudah cukup memberitahukan bahwa kau juga penyebabnya, bajingan!”

 

Perkataan Taehyung berhasil melahirkan kemarahan di benak Jimin. Ia yang semula berusaha untuk tenang kini malah mencengkram kerah Taehyung hingga tubuh sahabatnya itu sedikit tertarik.

 

“Woah Park, kau masih bisa marah huh? Tapi apakah setelah aku mengatakan semuanya pada kalian, kau masih bisa marah seperti ini?”

 

Jimin semakin dirundung emosi mendengar kalimat Taehyung. Kepalanya terasa panas dan tangannya telah mengepal kuat.

 

“Kalian berdua berhenti! Ini rumah sakit, jangan buat keribuatan.” Suara berat lainnya terdengar menggema di lorong ruang tunggu. Menarik perhatian Taehyung dan Jimin yang tengah sibuk beradu tatap.

 

Jimin melepaskan cengkramannya. Tungkainya dibawa melangkah mundur ketika Taehyung menoleh dan tersenyum mengejek pada pemilik suara yang baru saja melerai mereka.

 

“Akhirnya Paman berbicara juga. Aku sudah menantikannya sejak tadi.”

 

“Kim Taehyung jaga bicaramu. Dia Ayahku!”

 

Taehyung yang mendapatkan peringatan lantas tertawa. Meninggalkan kebingung di raut Chani yang baru saja menyuarakan ketidaksukaannya atas tindak tidak sopan dirinya.

 

“Aku tahu, bahkan sangat tahu Chan. Kau tidak perlu mengingatkan lagi jika Paman Han adalah Ayahmu. Karena kalian berdua sama.”

 

Ia menarik napasnya. Membawa tubuh tegapnya untuk kembali duduk. Matanya menerawang jauh sebelum vokal berat itu kembali melanjutkan.

 

“Dan aku bersyukur Chaerin lebih mirip dengan Bibi Ji dibandigingkan dengan Paman Han. Jika tidak, mungkin rumah kalian sudah hancur sejak lama.”

 

Satu helaan panjang diloloskan Taehyung. Tekadnya untuk menyampaikan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan karena terikat janji dengan Chaerin sudah bulat. Ia tidak akan diam lagi. Sudah cukup sang sahabat menderita atas hal yang tidak gadis itu lakukan. Ia juga tidak ingin membuat Bibi Ji bersedih karena kebungkamannya.

 

Maka saat tekad itu membulat dan pikirannya sudah dipenuhi dengan kenyataan yang tersembunyi, kedua bilah bibirnya terbuka. Melafalkan kata-kata yang terangkai menjadi kalimat yang menyentak atensi hingga mendatangkan kembali memori yang membawa tubuh-tubuh itu pada masa lalu.

 

“Kalian ingat saat malam Chani menghilang?”

 

Taehyung sejanak berhenti. Pikirannya tengah berusaha keras menghadirkan setiap detail kejadian malam itu untuk disampaikan tanpa ada pengurangan atau penambahan. Membawa kembali rasa sesak yang malam itu dirinya rasakan. Gemetar tubuh yang ia rengkuh bahkan dapat dirasakannya walau kejadian menyeramkan itu telah lama terjadi. Ingatannya bermain liar saat wajah takut, hancur dan tersakiti Chaerin muncul dibenaknya. Dan ia tahu, setelah menceritakan semuanya maka tubuh-tubuh dihadapannya ini akan menemukan kehancurannya juga. Merasakan sesak dan sesal yang sama seperti apa yang dirinya rasakan malam itu.

 

 

Taehyung memacu laju mobilnya di tengah gelapnya langit setelah menerima panggilan dari Chaerin. Gadis itu mengatakan bahwa dia akan menjemput sang kakak yang tengah pergi bersama dengan teman-temannya. Yang membuat Taehyung kalang kabut adalah penjelasan Chaerin saat sahabatnya itu menghubunginya. Ia bertemu dengan sang kakak di mini market kemudian saat akan pulang dirinya melihat teman-teman sang kakak dan tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka yang berencana untuk melakukan hal buruk pada kakak perempuan satu-satunya. Tanpa pikir panjang, Chaerin memutuskan untuk mengikuti mereka sembari menghubungi Taehyung.

 

Ia segera berlari meninggalkan mobilnya. Berjalan menerobos kerumunan orang dengan bau alkohol yang sangat mengganggu pernapasannya. Namun dirinya tidak peduli. Pikiranya hanya tertuju pada Chaerin. Ketidaktahuannya hampir membuat ia menyerah. Namun teriakan yang dibarengi dengan isak tangis dari salah satu ruangan membuat darahnya seketika seperti mendidih. Ia mengetatkan rahang dengan tangan yang terkepal saat melangkahkan tungkainya menuju sumber suara.

 

Begitu ia berhasil mendobrak pintu, matanya langsung berkilat marah dan tidak ada lagi kata tahan saat melihat kondisi Chaerin yang sangat mengenaskan. Sahabat kecilnya itu tengah menangis di atas ranjang dengan seorang laki-laki yang berada di atas tubuhnya. Kedua tangannya ditahan di atas kepala dan jaket yang ia kenakan telah berada di lantai. Tinju pun langsung ia layangkan hingga membuat laki-laki itu terjerembab dan tidak mampu bangkit.

 

Taehyung segera membawa Chaerin pergi. Bersama mobilnya ia pergi membawa Chaerin yang tidak berhenti menangis dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Rasa sesak menyerangnya saat pengandaian mulai hinggap dibenaknya. Andai ia terlambat, maka Chaerin tidak dapat ia selamatkan. Pemikiran tersebut membuat amarahnya kembali sampai ke puncak. Membawa rasa kecewa pada dirinya sendiri karena merasa gagal untuk menjaga sang sahabat.

 

Menghentikan sejenak kendaraan roda empatnya di pinggir sungai Han guna menunggu sang sahabat untuk tenang walau dirinya tahu jika sangat sulit menghilangkan ketakutan yang dirasakan Chaerin. Setelah tangis sahabatnya berhenti karena tidak ada lagi air mata yang dapat dikeluarkan, Taehyung baru memberanikan dirinya menanyakan apa yang sejak tadi bermain liar di dalam pikirannya.

 

“Dimana Chani?”

 

Chaerin semakin menundukkan kepalanya. Gelengan pelan nyaris tak terlihat diberikannya sebagai jawaban.

 

“Saat kami berhasil keluar, salah satu temannya berhasil menangkapku dan Chani pergi. Dia bilang dirinya akan mencari pertolongan, tapi pada akhirnya kamu yang datang.”

 

Bola amarah yang bersemayam di hati Taehyung semakin menjadi saat mendengar suara bergetar Chaerin. Tangannya langsung menarik tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya. Mendekap erat seperti tidak akan melepaskannya. Menyalurkan rasa hangat tubuhnya dengan harapan bahwa ketakutan yang masih bersemayam angkuh di hati dan pikiran Chaerin dapat sedikit memudar.

 

Kuda bajanya kembali melaju pergi setelah ketenangan di dapatkan Chaerin. Ia harus segera membawa Chaerin pulang dan menjelaskan semuanya pada Ayah sahabatnya itu. Ia juga harus bertemu dengan Chani dan meminta penjelasan kenapa gadis itu tega pergi dan tak kembali lagi. Membohongi sang adik saat keselamatannya tengah dipertaruhkan.

 

Rencana tetaplah rencana. Setibanya mereka di kediaman keluarga Lim, sambutan penuh kemurkaan diterima Chaerin. Sang Ayah menatap nyalang ke arahnya. Chani berdiri di belakang sang Ayah dengan tubuh bergetar dan menangis hebat. Sedangkan Jimin sibuk menenangkan gadis itu walau matanya menatap Chaerin dengan tatapan kecewa.

 

Tuan Lim marah besar. Ia menyalahkan Chaerin atas kepergian Chani. Ia pikir Chaerin yang mengajak Chani ke club, karena ia percaya jika Chani adalah anak baik-baik yang tidak mungkin melanggar aturan yang dirinya buat. Selain itu perkataan Jimin yang melihat Chaerin dan Chani di salah satu mini market dengan Chaerin yang mencoba mengajak pergi juga menjadi dasar kepercayaannya. Kemarahan Tuan Lim sampai pada batas tertingginya. Tanpa memberikan kesempatan bagi Chaerin untuk menjelaskan, tangan kanan pria itu ditempelkan pada permukaan pipi Chaerin hingga menimbulkan suara pukulan yang keras.

 

Taehyung tidak tinggal diam. Ia langsung menarik pundak sempit Chaerin mundur. Vokalnya ingin terucap tapi genggaman di pergelangannya menahan dirinya. Ia menatap Chaerin yang menggeleng samar. Dirinya menolak keras permintaan itu. Ia tahu Chani tidak mengatakan yang sebenarnya. Gadis itu lebih memilih bungkam tanpa menjelaskan yang sebenarnya jika ia pergi karena ajakan temannya dan dasar kemauan sendiri. Ia tidak bisa menjadi pengecut yang tidak menyampaikan kebenaran. Namun genggaman di pergelangannya semakin erat. Membuat dirinya rela tidak rela mengunci rapat bibirnya, membiarkan kebenaran terkubur oleh ketidakberanian seseorang yang bodoh untuk mengakui kesalahannya, menikmati pemandangan menyakitkan yang tersaji di depannya.

 

Umpatan dan ujaran kebencian dilontarkan Tuan Lim untuk Chaerin yang hanya bungkam dengan kepala tertunduk. Rasanya sakit sekali menyaksikan sang sahabat mendapatkan perlakuan sangat tidak baik dari Ayah kandungnya. Tapi keputusan Chaerin untuk membiarkan pemikiran sang Ayah sudah sangat bulat. Hingga tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya yang terlihat berdarah akibat pukulan cukup keras yang diterimanya.

 

Taehyung hanya mampu mengepalkan tangannya di kedua sisi. Membenamkan amarahnya dengan mengadu gigi atas dan bawahnya. Napasnya berubah cepat dan kepalanya memusing saat amarah itu belum juga mereda.

 

Kepergian Tuan Lim bersama Chani dalam rangkulannya menjadi akhir dari ledakan emosi malam itu. Taehyung baru saja ingin memutar tubuh Chaerin menghadapnya agar ia bisa melihat wajah sang sahabat. Namun derap langkah Jimin membuat kepalanya kembali menengadah. Menatap dengan seksama sahabatnya hingga laki-laki Park itu berhenti dua langkah di depan Chaerin. Satu kata yang kemudian diucapkan Jimin bagaikan pematik yang dinyalakan ditengah genangan bensin. Meledakkan semua yang ada pada diri Chaerin hanya saja tidak terlihat.

 

“Mengapa Chae?”

 

Chaerin tidak langsung menjawab. Matanya sibuk membalas tatapan penuh kekecewaan Jimin hingga pandangannya berubah dingin dan semakin dingin. Seperti tidak ada rasa yang dapat dirinya rasakan lagi.

 

“Ku kira kamu tahu seperti apa aku, Jim.”

 

Satu kalimat dari Chaerin menjadi penutup malam kehancurannya. Kalimat yang berhasil menimbulkan debaran aneh dan membuat jantungnya perlahan seperti diremukkan. Kalimat yang singkat tetapi penuh akan makna. Mendengarnya saja Taehyung tahu jika sahabat kecilnya itu merasakan kekecewaan yang teramat besar pada Jimin. Lebih dari itu, Taehyung sadar kalimat itu menjadi awal baru untuk sosok baru yang dilahirkan Jimin atas kebodohan laki-laki itu.

 

 

Taehyung menarik napasnya. Kekuatan tubuhnya seakan berkurang setelah banyaknya emosi yang ia rasakan. Matanya lantas bergerak. Mengamati wajah-wajah di depannya yang begitu kacau. Bergantian di mulai dari Tuan Lim, lalu Chani, kemudian Jimin dan terus berulang hingga pikirannya sampai pada sebuah kesimpulan. Ketiga orang itu telah hancur sama seperti sang sahabat kecil yang tengah berjuang sendiri di dalam ruang penanganan.

 

“Perubahan Chaerin yang sangat drastis itu bukan hanya karena perlakuan tidak adil Paman Han dan juga kepicikan Chani yang tidak mau mengakui kesalahan, tetapi karena dirimu. Kau yang sangat berperan atas lahirnya sosok Chaerin yang dingin, tidak punya perasaan, dan cenderung pembangkang.” Ada jeda singkat sebelum Taehyung melanjutkannya.

 

“Hidup dengan perasaan tidak dianggap sudah menjadi teman Chaerin setiap hari. Namun di tengah dirinya yang kehausan akan perlindungan, kau datang menawarkannya air. Kau seperti malaikat yang diturunkan Tuhan bertepatan dengan upacara pemakaman Ibunya. Hingga Chaerin akhirnya memberanikan diri untuk menggantungkan harapan padamu. Tapi kau malah menghancurkannya. Jika sekarang kau merasa Chaerin menjauh darimu, itu wajar. Chaerin sangat kecewa padamu, dia pikir kau akan berada di sisinya apa pun yang terjadi. Tapi kau malah ingkar atas janjimu sendiri. Kau meninggalkan dirinya di saat ia butuh sanggahan. Kau merenggut kepercayaannya di tengah dirinya yang kacau. Kau sangat berengsek Park!”

 

Tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun. Baik Tuan Lim, Chani, maupun Jimin, ketiganya seperti mendapatkan pukulan menyakitkan yang meluluh lantakkan diri mereka. Mengambil alih kerja tubuh mereka hingga rasanya sulit untuk mengontrol diri. Membuat tubuh itu menjadi lemah dan berakhir terduduk di atas dinginnya lantai rumah sakit. Menghadiahi lorong panjang itu dengan isak tangis yang memilukan di telinga orang lain tapi tidak dengan Taehyung.

 

Ia menganggap tangis dari ketiganya hanya tangis biasa. Tidak sebanding dengan air mata yang selama ini mengalir dari mata Chaerin. Yang selalu membuat hatinya seperti diiris setiap kali harus menyaksikan sang sahabat menangis dengan alasan yang sama. Ayahnya yang marah karena terlalu benci dengan dirinya serta kedekatan Jimin dengan Chani yang menyesakkan dada.

 

Kungkungan kesedihan itu harus terjeda dengan kedatangan seorang polisi yang membawa ransel yang begitu Taehyung kenali. Ia lantas berdiri dan melangkah cepat menghampiri sosok berseragam itu.

 

“Adakah orang tua atau wali korban?” Tanya sang polisi pada Taehyung yang berada di hadapannya.

 

Walau ingin sekali mengakui jika ia adalah walinya, tetapi entah kenapa dirinya malah menunjuk Tuan Lim yang perlahan menegakkan tubuhnya untuk menghampiri polisi tersebut.

 

“Sa-Saya Ayahnya.” Katanya bergetar.

 

Mendengar pengakuan Tuan Lim membuat Taehyung berdecak sinis. Ayah? Apakah akhirnya Tuan Lim mengakui Chaerin sebagai anaknya? Apakah perlu menunggu hingga sahabat kecilnya tengah melawan kematian baru pria itu mau mengakuinya sebagai anak? Cih!

 

“Ini tas korban. Kami menemukannya bersama dengan tubuh korban di tempat kejadian perkara. Selain itu, kami juga menemukan botol obat ini.”

 

Polisi tersebut menyerahkan ransel kepada Tuan Lim, kemudian mengambil sebuah botol yang dipegang oleh polisi lain yang berdiri satu langkah di belakangnya. Mengulurkan botol tersebut kehadapan Tuan Lim dan kembali berkata, “Sepertinya korban mengalami serangan kecemasan hingga sulit menguasai diri. Korban tampaknya akan meminum obat ini tetapi tidak menyadari jika dirinya tengah berada di tengah jalan.”

 

“Se-Serangan kecemasan?”

 

Polisi tersebut mengangguk. Sebelum berpamitan mereka sempat menyampaikan kesedihannya kepada Tuan Lim.

 

Setelah kepergian kedua polisi yang menangani kasus kecelakaan Chaerin, pria bertubuh tegap itu langsung terjatuh dengan tangan yang bergetar. Matanya kembali mengalirkan air mata. Sedang bibirnya tidak henti memanggil nama Chaerin.

 

T . B . C

 

 

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts