Broken Sinner: The End is The Beginning (Part 15)

 




Drama, Family, Hurt

(AU - Alternate Universe)


.

.

.

.

.


Chaerin jadi sering melamun. Memikirkan banyak hal yang memenuhi pikiran wanita itu hingga rasanya kepalanya begitu penuh. Tidak hanya itu, hatinya ikut berat bersama dengan dadanya yang seakan menyempit. Membuat Charerin kesulitan bernapas setiap harinya. Perasaan tidak tenang karena bimbang juga bertahan dalam benaknya.


“Chaerin..”


Chaerin tidak menggubris. Ia terlalu larut dengan masalah yang kini bersarang diotaknya.


“Chae..”


Masih belum juga dijawab. Jimin menghela pelan sebelum ikut duduk di sebelah wanita itu. Membawa tangan Chaerin ke dalam genggamannya.


“Chaerin..”


Chaerin akhirnya tersadar. Ia mengerjapkan kedua matanya sebelum menoleh dan melihat  Jimin dengan raut khawatirnya.


“A-Ada apa?”


Jimin membuang napasnya. Jarinya tidak berhenti memberikan usapan pada punggung tangan Chaerin.


“Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kamu pikirkan? Sudah dua minggu ini kamu sering melamun dan tidak fokus.”


Chaerin menunduk. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia takut dengan apa yang tengah dipikirkan. Ia tidak siap jika harus kembali sendiri karena kegelisahannya.


“Chae..” Panggil Jimin. “Ingatkan, kamu bisa bercerita apa pun padaku. Aku tidak akan marah.”


Wanita itu perlahan mengangkat kepalanya. Pandangannya ia tubrukkan dengan obsidian Jimin. Menatap dalam kedua mata itu, mencari keyakinan untuk dirinya. Hingga helaan lolos dari bibir Chaerin bersama dengan mata yang terpejam singkat.


“Kamu janji tidak akan marah?” Tanyanya takut-takut.


“Tidak. Aku tidak akan marah.” Jawab Jimin diikuti dengan gelengan.


“A-Aku..” Ia berhenti. Vokalnya seakan tertahan karena kecemasan yang mulai datang. Ia kembali memejamkan matanya dan menarik napas dalam kemudian mengembuskannya berkala. Chaerin mengulanginya beberapa kali sampai dirasa tidak ada lagi yang menghalangi dirinya berbicara.


“Aku ingin benar-benar lepas dari masa laluku, Jim.” Ujarnya dengan menatap putus asa. Perlahan air mata menetes dari pelupuk matanya.


“Apa pun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu. Aku janji.”


Jimin menarik tubuh Chaerin ke dalam pelukannya. Mendekap dengan erat tubuh mungil itu. Memberikan kehangatan tubuhnya dan berharap bisa menghangatkan hati Chaerin.


Chaerin mengernyit saat tidak menemukan keberadaan Taehyung. Ia menoleh dan menepuk pundak Jimin yang tengah meminum sirupnya.


“Dimana Taehyung?”


“Sepertinya masih di depan. Dia bilang ada urusan sebentar.” Jimin meletakkan kembali gelasnya ke atas meja.


“Aku mau memeriksanya.”


Chaerin bangkit dan meninggalkan sofa untuk kembali keluar. Saat akan membuka pintu utama, telinganya mendengar suara teriakan seseorang  yang ia kenal. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu tersebut dan seketika sesak menyerangnya.


“Taehyung ada ap-” Ucapnya terhenti saat matanya menemukan presensi Chani yang membuat ingatan masa lalunya kembali terputar bagaikan pemutar film. Menampilkan semua yang telah terjadi dengan sangat lancar. 


“Chaerin..”


Panggilan itu seperti menghentak jantungnya yang sudah berdebar kencang. Tanpa ia sadari tubuhnya bergerak mundur, seakan melindungi dirinya dari ancaman. Perlahan air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Tubuhnya pun bergetar saat memori kelamnya sudah terlalu banyak memenuhi pikirannya.


Chaerin terlalu larut dalam kesakitannya. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Jimin sampai pria itu memeluknya dan membisikkan kata-kata yang mampu memberikan rasa tenang untuk kekacauan yang tengah terjadi. Tapi sayangnya suara lain kembali terdengar olehnya. Ia ingin mengabaikan suara itu tapi tidak bisa. Suara itu terus memaksa hingga membuat ia menyerah dan membiarkannya mengalun ke dalam telinga.


 “Chaerin, aku merindukanmu. Kenapa kamu tidak pulang menemui aku dan Ayah? Apakah kamu tidak merindukan kami? Chaerin tolong berikan kami kesempatan. Kami sangat menyayangimu. Kita keluarga Chaerin. Chaerin tolong. Ayo pulang bersamaku. Kita mulai lagi dari awal. Kita lupakan semua yang sudah terjadi. Kita kembali lagi menjadi keluarga seperti sebelumnya. Chaerin kenapa kamu menjadi seperti ini? Kenapa kamu semarah ini pada kami? Aku tahu aku salah karena tidak jujur, tapi aku kakakmu Chaerin. Tidak sepantasnya kamu seperti ini padaku dan juga Ayah. Chaerin, kami sudah memaafkanmu dan seharusnya kamu juga bisa melakukan itu. Ayo pulang, Ayah pasti akan senang karena kita bisa berkumpul lagi.”


Sayangnya keputusan untuk membiarkan dirinya mendengar suara Chani ternyata berdampak sangat buruk untuknya. Setiap kata yang Chani ucapkan semakin membuat ia jatuh ke dalam memori masa lalu yang menyebabkan hatinya sakit. Membuat tubuhnya bergetar di dalam pelukan Jimin hingga suara kencang lainnya terdengar. Sedikit bisa menarik kembali Chaerin dari pikirannya yang kalut.


 “LIM CHANI APA KAMU SUDAH GILA? APA KAMU TIDAK BERPIKIR JIKA YANG KAMU KATAKAN TELAH MENYAKITI CHAERIN? KAMU TIDAK PUNYA OTAK CHANI. KENAPA KAMU MENGATAKAN SEOLAH CHAERIN YANG SALAH KARENA TELAH PERGI?! PADAHAL KAMU TAHU SENDIRI ALASAN CHAERIN PERGI ADALAH KARENA KEEGOISANMU DAN JUGA KETIDAKADILAN YANG CHAERIN TERIMA DARI AYAHMU KARENA PRIA ITU TIDAK BISA MENERIMA KEHADIRAN ANAKNYA SENDIRI DI DALAM KELUARGANYA!” 


“Kenapa kamu membantakku Jim? Kamu tidak pernah seperti ini? Tapi kenapa sekarang kamu kasar? Apa karena Chaerin makanya kamu berubah? Kenapa Jim? Jawab aku?!”


Ia merasa sakit atas tuduhan yang dilayangkan untuknya. Ia tidak menyangka jika Chani bisa berpikir seperti itu. Ia tidak tahu kenapa Chani seperti itu. Ia pikir Chani benar-benar menerima dirinya, tetapi ternyata tidak. Chani tidak setulus itu menerima kehadirannya sebagai seorang adik. Ia hanya menunjukkan statusnya sebagai seorang Kakak tetapi tidak pernah memiliki rasa cinta dan sayang untuk dirinya layaknya keluarga.


Saat ia dibawa masuk oleh Jimin sebuah keputusan telah dirinya ambil. Ia menyerah. Ia sudah tidak sanggup lagi. Alasannya untuk bertahan ternyata tidak ada. Ia tidak bisa berada dalam lingkaran setan yang menjeratnya dengan kesakitan dan luka. Ia ingin lepas layaknya burung yang terbang bebas tanpa harus memikirkan orang lain di atas perasaannya sendiri.


*  *  *  *


Jimin menepikan mobilnya di tempat tujuan. Matanya bergerak liar memperhatikan rumah di depannya sebelum menoleh ke sebelah dimana Chaerin berada.


“Kamu yakin?”


Untuk kesekian kalinya dua kata itu diajukan Jimin kepada Chaerin. Bukan karena tidak percaya dengan jawaban yang telah Chaerin berikan, tapi dirinya ingin memastikan saja jika wanita disebelahnya tidak akan menyesal dengan keputusannya sendiri. Ketika ia telah maju maka tidak ada jalan untuk mundur lagi. Sama seperti saat nasi telah berubah menjadi bubur yang dengan cara apa pun tidak akan pernah kembali berubah menjadi bulir nasi.


“Aku yakin.” Jawabnya pasti. “Terima kasih karena mau mendukungku walaupun aku tahu kamu pasti tidak suka dengan keputusan ini. Bagaimana pun mereka kan-”


“Tidak, aku paham Chae. Aku tahu kalau mereka hanya membuatmu sakit dan jika kamu ingin sembuh maka kamu harus meninggalkan lingkungan dan orang-orang yang membuat dirimu sakit.”


Chaerin terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka akan mendengar Jimin berkata demikian. Pasalnya hanya Taehyung yang tahu mengenai hal tersebut. Lalu bagaimana Jimin bisa tahu?


“Taehyung menceritakan sedikit tentang konsultasimu. Tolong jangan marah padanya karena aku yang memaksa saat itu.” Ungkap Jimin.


Chaerin akhirnya menghela pelan. Jujur ia kesal karena Taehyung mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan, terlebih pada Jimin. Namun ia juga tidak bisa menyalahkan sahabatnya itu karena pasti Taehyung telah mempertimbangkan segala hal sampai pria itu mengatakannya kepada Jimin.


“Aku tidak marah dengannya. Aku hanya terkejut karena kamu mengetahuinya.”


Jimin tersenyum hangat dan tangannya mengusap penuh sayang puncak kepala Chaerin.


“Kalau begitu mau masuk sekarang?” Tanyanya sembari melirik rumah di depannya.


Chaerin menganggukkan kepala.


“Ayo kita turun.”


“Tunggu.”


Chaerin menghentikan Jimin yang akan membuka pintu. Tubuh pria itu memutar dan menatap Chaerin bingung.


“Kamu tunggu aku di sini saja Jim. Aku akan menyelesaikannya sendiri.”


“Tapi Chae-”


Chaerin menggeleng. Senyumnya tersungging sedangkan tangannya bergerak meraih tangan Jimin untuk digenggam di atas pangkuannya.


“Aku tidak ingin menambah rasa sakitnya karena kita.”


“Tapi aku khawatir. Bagaimana kalau mereka menyakitimu lagi? Bagaimana kalau serangan panikmu datang?”


“Begini, kamu beri aku waktu setengah jam. Kalau selama itu aku belum keluar juga kamu bisa menyusulku. Bagaimana?”


Jimin sebenarnya tidak suka dengan penawaran yang diajukan Chaerin. Hatinya tidak tenang jika meninggalkan Chaerin sendiri bersama orang yang menyakitinya. Tapi ia juga tidak bisa memaksa wanita itu. Karena bagaimana pun ini adalah masalah pribadi mereka, yang harus mereka sendiri selesaikan. Dirinya cuma orang luar yang hanya bisa mendukung dan melindungi saja.


“Baik. Tapi ingat, kalau selama setengah jam kamu belum kembali aku akan langsung masuk.”


Walau berat hati Jimin akhirnya membiarkan Chaerin pergi. Mencoba untuk sabar menunggu sang wanita di dalam mobilnya sembari menatap dengan cemas rumah di depannya. Dalam hat, Jimin terus memanjatkan doa untuk Chaerin. Semoga keputusan ini membuat Chaerin tidak lagi hidup dalam penderitaan.


Semoga saja.


Tidak jauh berbeda, Chaerin sendiri terus berdoa kepada Tuhan agar dirinya bisa kuat menghadapi semuanya. Ia juga terus berusaha menenangkan diri di tengah kegelisahan yang mulai menguasai akal sehatnya. Ia tidak boleh kalah sebelum memulai. Ia harus bisa mengendalikan kepanikannya yang bisa membuat keiinginannya menjadi gagal.


Tangannya semakin lama semakin terasa dingin akibat gugup. Ternyata keputusannya begitu berpengaruh besar untuk dirinya. Baru saja menunggu dibukakan pintu tapi gelisah sudah mengontrol kerja tubuhnya. Hingga kakinya tiba-tiba terasa lemas begitu mendengar sahutan dari dalam.


“No-Nona Chaerin!” Wanita yang membukakan pintu membulatkan matanya yang mulai berkaca. Ia terlihat terkejut dengan kehadiran Chaerin di sana.


“Bibi Jung.” Chaerin berucap lirih. Ia mendekat kemudian membawa tubuhnya ke dalam dekapan sang wanita.


“Aku merindukan Bibi.”


“Bibi juga merindukan Nona Chaerin. Nona, bagaimana kabarnya? Nona kemana saja selama ini? Bibi sangat khawatir.”


Mereka melerai pelukan hangat tersebut. Chaerin mengusap pipinya begitu pun dengan Bibi Jung.


“Aku baik, Bi. Aku melajutkan sekolahku di Jepang.”


Bibi Jung kemudian menepuk dahinya pelan. “Ya ampun, Bibi sampai lupa. Ayo masuk Nona. Nona pasti ingin bertemu dengan Tuan dan Nona Chani kan?”


Chaerin menangguk pelan. Jantungnya langsung berdebar kencang hanya karena mendengar panggilan tersebut. Tangannya yang dingin ikut bergetar saat kakinya pelahan dibawa melangkah lebih dalam. Matanya memperhatikan setiap sisi rumah. Menilai dan membandingkan dengan yang ada di dalam ingatannya.


Tidak ada yang berubah. Hanya ada beberapa barang baru yang mengisi sisi kosong rumah tersebut.


“Nona, Tuan dan Nona Chani ada di ruang tengah.”


Suara Bibi Jung kembali menarik atensi Chaerin dari nostalgia singkat di dalam pikirannya. Ia menoleh pada Bibi Jung sebelum mengangguk dan melangkah pelan menuju ruangan yang diberitahukan wanita tersebut.


Ketika semakin dekat, Chaerin mulai merasa sesak seperti tidak ada oksigen di sekitarnya. Pandangannya mulai mengabur tertutupi air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Seketika kakinya berhenti melangkah saat hanya tersisa beberapa langkah saja sebelum akhirnya ia sampai.


Chaerin berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia tidak boleh kalah dengan penyakitnya. Ia harus bisa mengambil alih kerja tubuhnya dari kepanikannya sendiri.


Tidak! Ini adalah tubuhnya. Chaerin harus bisa mengendalikan tubuhnya.


Pelan, Chaerin menarik napas dalam kemudian mengembuskannya berkala. Ia menarik lagi dan mengembuskannya. Berulang kali hingga merasa kerja tubuhnya sudah kembali normal.


Dengan perlahan,  Chaerin kembali merajut langkah. Pelan tapi pasti sampai ia telah berdiri tidak jauh dari sofa yang tengah ditempati. Chaerin kembali menarik napasnya sebelum membungkuk dan memberi salam.


“Selamat siang.”


Sontak kedua pasang mata itu menoleh kearahnya. Mata mereka membesar dan wajah mereka terlihat sangat terkejut. Chani langsung berdiri dang memeluk tubuh Chaerin. Ia terisak di atas pundak Chaerin.


“Chaerin akhirnya kamu pulang.”


Chaerin bergeming di tempatnya. Tangannya bertahan disisi tubuh tanpa ada niatan untuk membalas pelukan tersebut. Ada rasa tidak nyaman saat tangan sang kakak melingkari tubuhnya.


“Chaerin..”


Suara berat itu menginterupsi kedua wanita muda tersebut. Chani melepaskan pelukannya. Ia bergerak ke samping untuk memberikan ruang bagi sang Ayah.


“Akhirnya Chaerin..”


Tuan Lim kini merengkuh sang putri. Menenggelamkan tubuh Chaerin yang semakin mengaku ke dalam pelukannya. Ia mengusap puncak kepala Chaerin sebelum melepas pelukannya dan membawa Chaerin untuk duduk.


“Bagaimana kabarmu? Ayah senang kamu akhirnya pulang.”


“Iya Chae, aku juga senang. Sekarang kita bisa hidup seperti dulu lagi. Kamu, aku, dan Ayah. Keluarga kita akan kembali utuh.” Seru Chani dengan suara yang sedikit serak.


Hening yang janggal saat tidak ada respon yang Chaerin tunjukkan. Membuat Chani dan Tuan Lim sama-sama mengernyit.


“Ada apa? Kenapa kamu terlihat tidak senang?”


Chaerin yang sedari tadi tidak pernah menatap wajah sang Ayah dan Chani akhirnya memberanikan diri. Maniknya memperhatikan bagaimana wajah sang Ayah yang kini memiliki kerutan disekitar mata dan dahi. Sementara Chani, ia baru menyadari perubahan gaya rambut yang sedikit pendek dengan warna kecoklatan.


Ia memejam, menahan rasa sakit dihatinya seperti dipukul dengan kenyataan yang ada dihadapannya. Perlakuan yang ia dapatkan hampir membuat ia kembali terjerumus pada dusta yang terlihat menjanjikan.


“Maaf telah mengganggu waktunya. Saya datang karena ingin menyerahkan ini.”


Perkataan Chaerin membuat kerut muncul diwajah keduanya. Mereka bingung kenapa Chaerin berbicara dengan formal. Selain itu amplop putih yang diletakkan Chaerin di atas meja juga memicu kebingungan untuk keduanya.


“Kamu aneh Chae. Kenapa kamu berbicara seperti kita adalah orang asing.” Seru Chani dengan tawa canggung yang membuat keadaan malah semakin tidak nyaman.


Tuan Lim yang diam mengambil amplop di atas meja. “Ini apa?” Tanyanya lalu membuka amplop tersebut.


“Itu cek untuk mengganti biaya hidup saya selama ini. Saya tahu nominal yang tertulis masih belum bisa melunasi semua dana yang Tuan Lim keluarkan untuk kehidupan saya. Tapi saya berjanji akan melunasi sisanya. Saya telah menemukan pekerjaan dan saya juga terlibat dalam beberapa pameran, jadi saya bisa menggantinya walau harus mencicil.”


Tuan Lim melemparkan amplop tersebut. Matanya menatap marah Chaerin yang masih belum menunjukkan reaksi apa pun.


“Apa maksudmu? Apa kamu tidak menganggap Ayah sebagai Ayahmu? Ayah tidak pernah menganggap uang yang telah Ayah berikan sebagai hutang. Dan kenapa Tuan? Sejak kapan kamu memanggil Ayah dengan sebutan Tuan? Apakah Taehyung yang membuatmu menjadi seperti ini?!”


Chaerin menggeleng keras. Ia masih diam dengan emosi yang mulai tidak terkendali. Perasaannya berubah kacau bersamaan dengan rasa cemas yang kembali mengambil alih kerja tubuhnya.


“Ti-Tidak. Taehyung tidak melakukan apa pun. Tapi ini murni keputusan saya.” Ia menarik napas. Memberikan dirinya sedikit waktu untuk kembali mencari ketenangan dari kekacauan.


“Chaerin ini tidak lucu! Kenapa kamu berubah? Chaerin, Ayah itu Ayahmu dan aku Kakakmu. Kenapa kamu memperlakukan kami seperti orang asing? Berhenti dengan omong kosong ini!” Kini giliran Chani yang bersuara tidak senang.


“Jika kamu seperti ini karena donor, Ayah akan mewakili Chani untuk berterima kasih padamu. Ayah tahu sulit untukmu mengambil keputusan untuk mendonorkan sumsum tulang belakangmu, dan Ayah sangat bersyukur karena kamu bersedia melakukannya.”


Chaerin kembali menggeleng. “Tidak, bukan karena donor. Saya melakukannya tanpa berharap apa pun, karena hanya itu yang dapat saya lakukan untuk menebus kesalahan saya kepada keluarga ini.”


“Lalu karena apa? Karena kesalahan Ayah?”


Ia diam.


“Chaerin, Ayah sudah minta maaf. Ayah tahu salah dan sudah mengakuinya. Ayah salah karena berlaku tidak adil. Ayah mohon maaf.”


“Aku juga minta maaf. Aku tahu aku selalu menggunakan dirimu untuk menutupi kesalahanku. Tolong maafkan aku Chaerin.”


Suara sendu dari keduanya berhasil membuat Chaerin mengangkat kepalanya. Matanya kembali menatap Chani dan Tuan Lim bergantian. Ia menelisik setiap lekuk wajah keduanya. Menatap dengan lekat obsidan keduanya. Mencari kebenaran dari semua yang dikatakan.


Chaerin mengakui jika yang keduanya katakan sama sekali tidak diselimuti dengan kepalsuan. Mereka benar-benar menyesal dengan apa yang telah terjadi. Tapi bukan itu masalahnya. Penyesalan yang mereka rasakan bukan pada alasan kenapa dirinya bisa berubah. Penyesalan mereka hanya sampai pada yang terungkap, tetapi bagaimana yang tidak mereka sadari?


“Saya sudah memaafkan semuanya karena saya tahu saya juga memiliki andil saat itu.” Suara yang sedikit parau itu berjeda, “Tapi saya juga sadar kalau sampai kapan pun saya tidak akan bisa hidup dalam keluarga ini, karena sejak awal kehadiran saya memang tidak diharapkan. Saya hanya menjadi benalu. Karena itu saya memutuskan untuk melepaskan semuanya. Saya tidak akan menggunakan nama Lim lagi karena saya tidak ingin membuat Tuan dan Chani malu karena memiliki keluarga seperti saya.”


 “BERHENTI BERKATA KONYOL LIM CHAERIN!”


Bentakan Tuan Lim berhasil membuat Chaerin bergetar. Suaranya yang keras membuat telinganya berdengung dan kepalanya terasa pusing. Belum lagi sesak didadanya yang semakin bertambah seakan ada batu yang menindih rongga dadanya.


“Ma-Maaf, tapi saya bukan Lim Chaerin. Saya Lee Chaerin.” Cicitnya dengan suara yang bergetar. Ia hampir terisak, tetapi berusaha dengan kuat untuk mencegah tangisnya.


“APAKAH KAMU SUDAH KEHILANGAN AKAL SEHATMU?! BAGAIMANA BISA KAMU MELAKUKAN SEMUA ITU?!”


Pada akhirnya tangis yang ia bendung akhirnya pecah bersama dengan rasa sakit yang sedari tadi ia coba tutupi. Semua bercampur membentuk gelombang besar yang kembali menimbulkan rasa sakit yang begitu besar. Membawa kembali kepanikannya bersama dengan sesak yang tak kunjung mereda. Membuat jemarinya saling bertaut dan menekan satu sama lain.


“Sa-Saya hanya..” Chaerin kesulitan. Vokalnya seperti tertahan oleh tangis hingga suaranya sulit keluar. Ia lantas menghela napas. Berusaha untuk menenangkan dirinya agar bisa segera pergi dari tempat yang ternyata masih menimbulkan ketakutan di benaknya.


Meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja walau hati kecilnya menangis kesakitan, Chaerin perlahan mengangkat kepalanya kembali. Membawa tatapannya bertemu dengan kemarahan Tuan Lim. Sebisa mungkin untuk bertahan walaupun tubuhnya mulai menyerah karena getar yang tidak berhenti.


Napasnya tertarik dalam. “Saya hanya melakukan apa yang Tuan Lim inginkan. Saya hanya mengabulkan ucapan yang anda katakan kepada Ibu saya. Bukankah Tuan Lim sendiri yang mengatakan jika kehadiran saya tidak diharapkan. Jadi dimana salah saya?”


Tuan Lim terhenyak mendengar penuturan Chaerin. Wajah merah karena amarahnya menghilang. Kemarahannya seketika tertutup dengan sesak saat ingatan masa lalunya kembali muncul.


“Anda tidak benar-benar menyesal dengan semuanya. Anda hanya menyesali perbuatan buruk anda, tapi tidak dengan penolakan yang anda lakukan. Karena pada dasarnya anda tidak bisa menerima saya. Anda menganggap saya sebagai anak hanya saat ini saja karena emosi yang menggebu, tapi dilubuk hati anda, saya yakin anda masih sama. Anda masih menganggap saya orang asing. Karena itu bukankah lebih baik jika orang asing ini pergi agar hidup anda dan anak anda bahagia?”


Ia menjeda ucapannya. Memejamkan mata sejenak kala sesak itu semakin mengganggunya.


“Ini sudah terlambat jika kalian menganggap saya keluarga. Sudah banyak luka yang kalian ciptakan untuk saya. Apakah adil jika kalian memaksa saya bertahan tetapi tetap memberikan luka? Tuan tetap tidak bisa menerima kehadiran saya secara tulus, sementara Chani hanya sekedar menganggap keberadaan saya dikeluarga ini. Karena itu mari kita akhiri. Saya mendoakan agar hidup Tuan dan Chani selalu bahagia karena sudah tidak ada lagi kesialan dikeluarga kalian.”


Chaerin berdiri dari duduknya kemudian menundukkan badan.


“Saya minta maaf untuk kelancangan saya yang memaksa masuk menjadi bagian keluarga ini. Dan terima kasih karena sudah mengizinkan saya merasakan bagaimana rasanya sebuah keluarga.”


Walau berat dengan keputusannya tapi ada kelegaan yang Chaerin rasakan yang membuat hatinya mulai menemukan kenyamanan. Mungkin memang seharusnya seperti itu. Ia pergi sehingga tidak lagi membebani sang Ayah dan Kakak. Ia juga tidak akan lagi merasakan sakit karena terlalu berharap pada apa yang bukan ditakdirkan untuknya.



*  *  *  *



Senyum diwajah Chaerin tidak pernah luntur. Matanya juga berbinar saat pemandangan manis tersaji di depannya. Seluruh orang terkasihnya ada di sana, merayakan lamaran seorang Jungkook untuk Yoori –sahabatnya. Chaerin tidak menyangka jika Jungkook akan bertemu cinta sejatinya yang merupakan sahabat saat dirinya sekolah dulu. Ditambah dengan kebahagiaan Taehyung karena berhasil menjadikan Hyemi sebagai kekasihnya. Ia bersyukur dengan semua yang terjadi. Karena kebahagiaan orang terkasihnya adalah kebahagiaannya juga.


“Kamu senang?”


Suara bariton ini menginterupsi pikiran Chaerin. Kepalanya ditolehkan kesumber suara. Di sana sosok Jimin tengah berjalan mendekatinya, terlihat sangat mempesona dengan tuxedo hitam yang membalut tubuhnya.


“Hm..” Chaerin mengambil minuman yang disodorkan Jimin. Ia menyesap sedikit isi gelas tersebut sebelum kembali menatap lurus dimana keluarga barunya tengah berdansa.


“Terima kasih Jim.”


Jimin melirik Chaerin bingung. “Untuk?”


“Karena tetap berada di sampingku setelah keputusan untuk melepaskan keluargaku.”


Jimin meletakkan gelasnya dimeja terdekat. Memutar tubuh tegapnya lalu meletakkan tangannya di atas pundak Chaerin. Kini keduanya tengah berhadapan.


“Itu yang terbaik Chae. Terkadang memang sulit untuk lepas dari hal yang telah ada sejak lama tetapi jika hanya menyakitkan lebih baik melepaskan walaupun sangat sulit. Aku paham dan tenang saja, aku tidak menilai buruk dirimu. Doktermu sudah menjelaskan semuanya.”


Chaerin mengangguk. Senyum penuh kebahagiaan terukir dengan manis diwajahnya. Matanya mengecil bersamaan dengan tulang pipi yang naik.


“Terima kasih..” Ujarnya dengan kepala yang ditempelkan pada dada bidang Jimin. Tangannya melingkari pinggang pria itu begitu pun sebaliknya.


“Aku mencintaimu.” Imbuh Chaerin berbisik tapi masih dapat Jimin dengar. Pria itu langsung melerai pelukannya. Matanya menatap lekat kedua manik Chaerin sementara tangannya kembali berada di atas pundak wanita itu.


“A-Apa yang kamu katakan?”


Chaerin tersenyum. Ia meraih tangan Jimin dan menggenggamnya.


“Aku mencintaimu Jim.”


“Kamu tidak bercandakan Chae?”


“Tidak, aku serius.” Menggelengkan kepala. “ Maaf butuh waktu yang lama untuk aku bisa mengatakannya.”


Gantian Jimin yang menggeleng sebelum berganti memegang tangan Chaerin dan menariknya ke dalam pelukannya. Mendekap dengan sangat erat seperti tidak akan melepaskannya.


“Aku juga mencintaimu. Sangat sangat mencintaimu. Terima kasih untuk kesempatan ini Chaerin.”


Mendengarnya membuat hati Chaerin seperti penuh dengan bunga. Belum lagi kupu-kupu yang ada diperutnya, yang membuat gelenyar aneh kini ia rasakan. Debaran anomali jantungnya ikut menambah alasan kenapa kini wajahnya mulai terasa hangat. Ditambah dengan bibirnya yang semakin tersenyum lebar.


Sensasi yang baru kembali ia rasakan. Sensasi yang hanya dapat muncul karena seorang Park Jimin.


“Aku akan selalu berada di sampingmu apa pun yang terjadi. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku. Kamu sangat berarti untukku, Lee Chaerin.” Ungkap Jimin dengan beberapa kecupan yang ia daratkan dikepala Chaerin.


Sepertinya ini akan menjadi awal baru lainnya yang akan Chaerin lalui dalam hidup yang telah dipilih. Sedikit demi sedikit ia mulai menata hidupnya. Perlahan mengobati luka masa lalu bersama dengan orang-orang yang tulus mencintainya. Membuka lembaran baru dengan kisah baru yang ia harapkan akan berakhir bahagia.


Hidup tanpa cobaan bagai makanan yang tidak dibumbui garam, rasanya akan hambar. Tapi bukan berarti setiap cobaan hanya ada kesedihan tanpa carcik kebahagiaan. Chaerin memahaminya karena itu ia tidak menaruh harapan terlalu tinggi untuk pilihannya karena kehidupan akan terus berputar. Saat ini ia tengah diselimuti kebahagiaan yang tiada tara, tetapi cobaan tidak mungkin tidak datang. Ia hanya perlu berusaha pada hidupnya agar tidak ada lagi kesakitan yang timbul disetiap langkah kakinya.


Ia telah mencoba mengikhlaskan hidupnya terdahulu. Menerima dengan hati yang lapang jika memang seperti itu kisahnya. Ia juga sudah belajar untuk melepaskan sesuatu yang bukan ditakdirkan untuknya. Memang berat karena dasarnya melepaskan itu sulit dilakukan. Tapi bukankah Tuhan maha adil? Apa yang ia lepas ternyata digantikan dengan yang lebih baik dan tidak menimbulkan luka menyakitkan.


Memang terlihat jahat saat kalian bukanlah Chaerin. Tapi jika kalian berada diposisi Chaerin kalian tidak mungkin tidak memikirkan apa yang Chaerin lakukan. Karena memaksa bertahan ditempat yang tidak menerimamu sama saja dengan menyiksa orang-orang di sana yang tidak menginginkan keberadaanmu.



E . N . D



Hallo semuanya!

Setelah satu tahun setengah akhirnya Broken Sinner sampai di akhir!! Yeayy

Aku mau ngucapin makasih buat semuanya
Makasih udah mau bertahan dengan cerita ini
Makasih untuk waktunya
Maksih untuk dukungannya
Aku harap kalian puas dengan akhirnya

BS yang selesai bukan berarti selesai juga keiisengan otak aku buat nulis
Aku masih tetep nulis, dan sekarang lagi ditahap pencarian materinya
Semoga aku bisa cepet nyapa kalian lagi dengan cerita baru

Udah dulu ya, sekali lagi terima kasih dan SELAMAT TAHUN BARU!!
Sampai ketemu lagi 🤗

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts