Step For You #3 (Confession?)
Seperti hari-hari sebelumnya, pagi ini… setelah belajar
berjalan selama kurang lebih 2 jam, Hyo Sun dan Changjo beristirahat santai di
pinggir kolam. “kalau seandainya aku bisa berjalan lagi,….”
“saat nanti kau bisa berjalan lagi…….” ralat Changjo dengan
nada tak suka. Hyo Sun tersenyum dan
menganggukkan kepalanya, “benar…. Saat nanti aku bisa berjalan lagi, aku akan
turun ke kolam ini dan mengukur kedalamannya. Sejak kecil aku selalu penasaran
dengan ini”
Changjo langsung melongokkan kepalanya ke kolam sambil
berpikir “mungkin satu setengah meter. Ini tidak terlihat dalam”
“oh ya? Kalau hanya satu setengah meter, ada buayanya tidak
ya?”
“HAHAHA……. Apa katamu? Hahahaha…. YA! noona! Kalau ada buayanya,
kenapa tidak pernah terlihat huh? Tidak mungkin ada buaya di kolam kecil di halaman
rumahmu” ledek Changjo sambil merebahkan badannya di rerumputan. Tak peduli
walau rumput basah itu membuat rambutnya kotor. Ia masih sedikit tersenyum
mengingat pertanyaan tentang ‘buaya’ dari mulut gadis 19 tahun yang sangat
polos. Sebelum akhirnya menarik napas dalam-dalam dan melihat ke langit
Chuncheon. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. 6 hari lagi,
langit Chuncheon-nya akan jarang terlihat. Ia harus ke Seoul. Ia harus
menjalani kehidupan seorang TEEN TOP Changjo di Seoul. Ia juga harus
meninggalkan gadis polos yang menanyakan buaya itu lagi.
Hyo Sun ikut merebahkan badannya, tapi tidak di rumput –jelas ia tak akan membiarkan rambutnya yang
sudah bersih menyentuh rumput basah yang bisa jadi bercampur dengan tanah- .
Gadis itu menyandarkan kepalanya di dada Changjo dan ikut menoleh ke atas
sambil mengerutkan kening. “kau sedang melihat apa sih?”
“langit”
“ada apa dengan langitnya?”
“langit Chuncheon
adalah yang paling indah bagiku. Kau beruntung, bisa melihatnya tiap
hari”
“ne.. sekarang memang terlihat indah. Tapi biasanya
langitnya kelihatan kosong”
“oh ya? Mungkin langitnya sedih karena tidak ada Jong Hyun
disini” ujar pria itu penuh percaya diri. Hyo Sun hanya tertawa pendek. Sudah
muak untuk mendebat.
“Jong Hyun~aa”
“wae?”
“kau masih punya banyak waktu untuk bermain denganku kan?”
tanya Hyo Sun sambil mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Changjo.
“menurutmu 6 hari lama tidak?” pria itu turut menunduk,
membuat wajah mereka berhadap-hadapan.
“tidak” jawab Hyo Sun lemah. Changjo tersenyum hambar dan
keduanya kembali memalingkan wajah ke posisi semula. “kenapa kau tidak ikut aku
saja ke Seoul?”
“dan merepotkanmu setiap saat?” balas Hyo Sun cepat. Changjo
tidak menjawab, bahkan dari wajahnya pun, semua orang tak akan mampu mengetahui
isi pikirannya, terlalu datar. Kemudian suasana menjadi hening. Mereka berdua seakan
sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hyo Sun menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak menangis.
Ia benci dengan keadaan ini. 6 hari lagi kehidupannya akan kembali sepi.
Kebahagiaannya cuma datang sepuluh hari. Hyo Sun benar-benar tidak terima,
dunia selalu bersikap tidak adil padanya. Gadis itu memejamkan mata, mencoba
untuk lebih tenang. Hatinya menjadi kacau dan perasaannya terasa semakin berat.
Hyo Sun sangat ingin menangis.
Lalu tiba-tiba saja tangan Changjo mendarat di rambutnya,
bergerak pelan. “kalau begitu cepat sembuh, jadi kau bisa ke Seoul bersamaku
tanpa takut merepotkan” ternyata ini yang
ia pikirkan. Hyo Sun tersenyum tipis. Untuk sekedar mengangguk pun ia tak
berani, kata ‘sembuh’ terasa terlalu jauh untuk digapai.
Ia menarik napas ringan dan membenarkan posisi kepalanya di
dada Changjo. Walaupun matanya masih terasa perih, perasaan Hyo Sun mulai
terasa tenang. Terkadang, apa yang
kuinginkan di dunia hanya bersandar di dadamu dan mendengarkan detak jantungmu.
Sederhana ya? Tapi setiap aku melakukannya, jantungku berdetak terlalu cepat
hingga membuatku sesak napas. Jong Hyun~aa….. perasaanku sudah mulai tidak
benar. Ada yang sedang jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri. Ada gadis bodoh
yang tak bisa menahan perasaannya. Apa yang harus gadis itu lakukan?
**********
Changjo merobek kertas ke-19 dari buku tulisnya dan mendesah
keras sembari membuang kertas itu asal. Walaupun sudah gagal berulang kali,
pria itu tetap tidak menyerah. Ia yang sedang duduk bersila di lantai kamarnya
langsung memasang headphone-nya kembali dan mendengarkan lagu yang keluar dari
sana dengan serius. Lalu tiba-tiba saja, wajahnya yang sangat fokus itu berubah
menjadi cerah. Ia langsung mengangkat gitarnya kembali, memainkan beberapa nada
pendek dan menuliskannya di kertas yang baru. Terus begitu….. Hingga akhirnya
ia merasa lagu itu tidak bagus dan merobek kertasnya lagi…. mencari ide baru.
“Ya Jong Hyun~aaa….. noona mau keluar seben…..... IGE MWOYA
HUH?”
“aish…. Bagaimanapun aku ini punya privasi. Ketuk pintunya
dulu sebelum masuk” seru Changjo dengan sangat kesal. Tak peduli kalau gadis
yang dia ajak bicara sekarang adalah kakak kandung yang harus dihormati, Choi
Yoomi. Gadis itu tak mendengarkan, ia terlalu syok melihat keadaan kamar
dongsaengnya sekarang.
“Kenapa semua benda ada di lantai huh?” Yoomi berkacak
pinggang dan menatap Changjo dengan tajam.
“gravitasi” jawab sang adik sambil menggerakkan tangannya kearah bawah,
memperagakan bagaimana cara kerja gaya gravitasi. Semua benda akan jatuh ke bawah, iya kan?
“CHOI JONG HYUN! AKU SERIUS!”
“Kau tak pernah belajar Fisika ya?” racau Changjo sinis.
“Kau sudah 18 tahun. Seharusnya kau bisa merapikan kamarmu
sendiri kan?” Yoomi mengambil salah satu kertas di hadapannya. Awalnya gadis
itu tak begitu penasaran dengan isinya, tapi…. entah bagaimana, kertas itu
sudah terbuka sekarang. Setelah membaca isinya, kontan Yoomi tersenyum.
“aw… uri dongsaeng sedang jatuh cinta?” Changjo yang sedang fokus mencari nada di
gitarnya langsung terdiam. Butuh beberapa detik bagi pria itu untuk menyadari
apa yang sedang Yoomi lakukan. Tapi setelah tahu Yoomi membuka kertasnya,
Changjo tak melakukan apapun untuk membela diri. Ia sudah tertangkap basah,
untuk apa mengelak?
“sejak kecil aku sudah tahu, cepat atau lambat kalian berdua
akan saling suka”
“noona lebih baik kau keluar”
“ahahaha…… oke! aku juga memang ingin keluar. Anyyeong naui
kwiyeowo dongsaeng, lain kali buatkan lagu untuk Yoomi noona-mu juga ya!!! Muah….
Ahahahaha”
Changjo menekan rasa kesalnya dalam-dalam, jika gadis itu
bukan kakaknya,…. Aish! Gitar yang ia pegang mungkin sudah melayang.
**********
Hyo Sun melihat layar ponselnya yang berkedip-kedip sambil
mengernyit. Siapa yang menelfonnya semalam ini? saat ponsel itu sudah berada di
genggamannya, barulah Hyo Sun mendengus. Ternyata Changjo. Sambil menaikkan
selimutnya, Hyo Sun menjawab panggilan itu.
“wae Jong Hyun~a?”
“malam ini langitnya cerah, ada bulan purnama juga, kau mau
keluar?”
“apa? ini sudah hampir tengah malam. Besok pagi saja ya..”
“kalau pagi, bulannya sudah tidak ada” keluh pria itu.
“memangnya kau tidak mengantuk?”
“ani. Kau mengantuk?”
“sangat”
“oh..”
“tapi kalau kau memang benar-benar mau melihat bulan purnama
bersamaku, aku tidak keberatan” Hyo Sun jelas sedang mempermainkan namja ini.
Ia tersenyum geli membayangkan bagaimana wajah Changjo sekarang, lalu setelah
beberapa saat, ia baru menyadari kalau sambungan telfonnya sudah dimatikan
secara sepihak. Hyo Sun mendengus tak percaya. Sebenarnya dia benar-benar ingin mengajakku keluar atau tidak eh?
Baru saja Hyo Sun memikirkan itu, suara ketukan pintu
terdengar. Gaduh. Membuatnya terkejut. Ia tak langsung membuka, malah termenung
dan menerka-nerka siapa orang dibalik pintu kamarnya. Apa mungkin……….. Changjo? Entah, tapi itu adalah nama
pertama yang terbersit di kepalanya.
“Hyo Sun noona, aku masuk ya..” Dan Bingo! Dia benar! Bersamaan
dengan itu, Changjo mendorong pintu kamarnya. Hyo Sun memang tak pernah
mengunci pintu, ia tak mau mengambil resiko. Ia lumpuh, dan jika ada sesuatu
yang tak terduga, membiarkan pintu tak dikunci mungkin bisa melindunginya dari
bahaya.
“Bagaimana bisa kau datang secepat ini?”
“saat menelfonmu, aku sudah di lantai bawah” jawab Changjo
sambil sibuk mencari jaket.
“kau sedang apa?”
“ini musim gugur. Di luar dingin. Kau butuh sesuatu” ia
berbalik dan melemparkan jaket berwarna merah muda kearah Hyo Sun. “ige, cepat
pakai” benda itu melayang tepat ke kepala Hyo Sun. “Ya!” Pekiknya. Namun
Changjo hanya terkekeh, seperti biasa tak merasa bersalah.
“kau mau pakai kursi roda atau kugendong?”
“eomma dan appa sudah tidur kan?” Changjo mengangguk.
“kalau begitu kau gendong saja. Mengeluarkan kursi roda
pasti akan sangat berisik. Kalau eomma dan appa bangun, mereka tak akan
membolehkanku keluar”
Pria itu sama sekali tak keberatan. Setelah Hyo Sun selesai
memakai jaketnya, Changjo langsung merendahkan punggungnya di depan gadis itu.
Mereka menuruni tangga dengan sangat hati-hati, tak mau membuat yang lain
bangun.
Setelah sampai di luar, Changjo malah terus berjalan
melewati kolam dan akhirnya keluar dari pagar rumah. Hyo Sun menoleh ke
belakang dengan bingung. “sebenarnya kita mau kemana? Kau bilang hanya melihat
bulan kan?”
“ne.. tapi melihat bulannya di bukit”
“b..bu..bukit? Andwae! Jong Hyun~a Andwaeee” Hyo Sun mulai
meronta di punggung Changjo. Sementra namja itu malah tersenyum, malah berlari
dan membuat Hyo Sun tak dapat melakukan apapun selain berpegangan dengan erat.
“Jong Hyun! Kau benar-benar…..”
“Daebak” sambung Changjo sambil tertawa-tawa.
“cih… kau tidak memikirkan keselamatan kita ya? Ini sudah
malam, bagaimana caranya menaiki bukit? Lagipula tak ada penerangan! Kita tidak
membawa sen……” ucapan Hyo Sun terhenti saat sebuah cahaya menyilaukan menyinari
wajahnya. “aku bawa!” ujar Changjo dengan senyum yang semakin lebar. Aku sudah memikirkan ini semua
matang-matang. Kau tak bisa mendebatku lagi, noona. Hyo Sun mendengus tak
percaya. Pada akhirnya gadis ini pun menyerah, pasrah mengikuti pergerakan kaki
Changjo.
Setelah 15 menit berjalan, akhirnya mereka sampai di atas
bukit. Hyo Sun yang sejak tadi memegangi senter merasa sangat tidak enak saat
mendengar suara nafas Changjo yang terengah-engah. Ayolah…. Dia bukan manusia
super. Menaiki bukit sambil menggendong seseorang bukanlah hal yang mudah.
Dengan hati-hati, Changjo menurunkan Hyo Sun di rerumputan. Lantas
pria itu duduk di sebelahnya. Ia menekuk kaki dan tersenyum menghadap langit.
Bulan purnamanya benar-benar indah. Hyo Sun mengikuti arah pandang Changjo dan
ikut tersenyum. Ia pikir ia tak akan pernah lagi menjejakkan kaki di tempat ini,
ia pikir ia terkena trauma parah. Tapi ternyata……… ia hanya butuh Changjo di
sampingnya, dan semua akan baik-baik saja.
“kau benar! Rumputnya semakin tinggi, lapangan basket kita
sudah rusak parah dan bolaku sepertinya juga hilang” Setelah mengucapkan itu,
Changjo menoleh ke sekitar dan tertawa pelan. Ia lalu kembali menghadap langit
dan tawanya berubah jadi senyuman puas. Sepertinya Changjo benar-benar senang
berada disini.
Setelah ikut menoleh ke kanan dan kiri, tatapan Hyo Sun
akhirnya berhenti di satu titik. Ia tersenyum menatap Changjo yang juga sedang
tersenyum. Entah kenapa, melihat senyum itu, Hyo Sun malah berpikir untuk
memeluknya. Changjo benar-benar lucu, di saat seperti ini, wajah yang biasanya sok
serius itu menghilang. Berganti menjadi wajah polos seperti anak kecil.
“ei noona” Changjo tiba-tiba saja menoleh, membuat Hyo Sun
terkejut dan langsung memutar kepalanya ke depan. “w..wae?” lalu memutarnya
kembali ke arah Changjo dengan gaya innocent.
“menurutmu kita bisa bersahabat sampai kapan?”
“kenapa menanyakan itu?”
“hanya penasaran”
“sampai………………………” Hyo Sun menggantungkan kalimatnya dan
berpikir. “mollayo”
“selamanya kan? pasti selamanya” ujar Changjo sendiri. Hyo
Sun mengulum senyumnya dan mengangguk. Gadis itu lalu tak sengaja menoleh
kearah pohon besar di belakang ring basket. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu,
pupil matanya mengecil, pelan-pelan ia meluruskan kepalanya lagi ke depan. Apa benda itu masih ada disana?
Cukup lama Hyo Sun terdiam dan memikirkan hal itu, tanpa disadari
bola matanya bergetar. Tak lama, cairan bening turun dari matanya. Changjo yang
sedang menoleh langsung merasa khawatir saat melihat Hyo Sun menangis. Ia langsung
merubah posisi duduknya menjadi lebih dekat dan meletakkan tangannya di bahu
gadis itu. “noona, kenapa menangis?”
Hyo Sun tak sadar kalau dirinya ternyata menangis. Ia
menatap Changjo sambil menyentuh
pipinya. “ah~ a.. ak.. aku hanya terlalu bahagia” mendengar jawaban Hyo Sun,
Changjo menghembuskan napas dengan lemah, “walaupun kau sangat senang
sekalipun, tolong…… tolong jangan menangis” ujar pria itu sambil menyeka air
mata Hyo Sun dengan kedua ibu jarinya.
“Jong Hyun! Bagaimana
kalau aku tak bisa berjalan lagi? Apa kau mau tetap bersamaku?”
“jangan bicara begitu! Aku yakin kau bisa berja…………”
“Tolong jawab pertanyaanku!” sela Hyo Sun tegas.
“aku akan selalu bersamamu” jawaban Changjo membuatnya
merasa lega sekaligus takut. Ia tak mau menjadi beban untuk pria itu seumur
hidup. Semenjak tak bisa berjalan, Hyo Sun selalu merasa tidak berguna dan
menjadi parasit bagi semua orang. Ia benci dirinya sendiri. Kalau bisanya hanya menyusahkan orang lain,
untuk apa hidup?
“maaf sudah merepotkanmu, Jong Hyun~aa”
“aku tak pernah merasa direpotkan”
“kenyataannya aku membuat orang lain susah. Kemana-mana
harus dibantu. Aku tak berguna, Jong Hyun~a” air mata Hyo Sun jatuh saat
mengucapkan itu. Changjo langsung menarik Hyo Sun ke dalam pelukannya. “jangan
bicara seperti ini, kumohon”
“aku ingin berjalan lagi” desis gadis itu di sela-sela
tangisnya. Changjo mengangguk sambil mengelus kepala belakang Hyo Sun, “ne.. sebentar
lagi, tunggu sebentar lagi. Kau akan berjalan seperti dulu” semua kalimat yang
Changjo ucapkan selalu terdengar tak berdasar di telinga Hyo Sun, tapi kali
ini, entah kenapa ia merasa percaya. Sebentar
lagi. Kata Jong Hyun sebentar lagi.
“dingin?” Hyo Sun menggeleng. “oh ya? Tapi bibirmu biru” Changjo hendak melepas jaketnya, namun Hyo Sun segera menahan, “jangan sok
kuat! Kau bukan beruang kutub” ucap gadis itu sinis. Asap mengepul keluar dari
bibirnya saat bicara. Baiklah, mari diuraikan. Mereka sedang berada di atas
bukit, di tengah malam, dan di akhir musim gugur yang ekstrim.
“harusnya aku membawa selimut! Bukan jaket” ujar Changjo sambil menggenggam tangan Hyo Sun dan menggosok-gosoknya. Tidak lama. Karena
setelahnya namja itu berdiri dan mengambil posisi paling tepat agar bisa
memeluk Hyo Sun dari belakang. Mata sang gadis langsung melebar. Sejujurnya ini
tak membantu. Ia malah merasa sangat gugup hingga badannya beku. Pelukan Changjo berefek terlalu cepat pada tubuhnya. Padahal, ini bukan kali pertama,
kedua atau ketiga mereka berpelukan. Mungkin ke seratus, dua ratus, entahlah.
Tapi, kenapa malam ini dadanya berdebar sangat keras? Hyo Sun yang tubuhnya
semakin kaku langsung mengeratkan jaketnya. Berharap jaket itu bisa
mengkamuflasekan debaran jantungnya yang menggila. Oh.. tidak! Kenapa dadaku berdebar sekeras ini? apakah
karena malam yang sangat dingin? Atau karena aku sungguh tengah jatuh cinta
pada sahabatku?
“sebenarnya kenapa kau membawaku kesini? Ya.. selain karena
alasan bulan purnama yang sebenarnya tak ada”
“tadi ada. Sepertinya tertutup awan”
“jadi alasanmu repot-repot membawaku kesini sungguh hanya
untuk melihat bulan purnama?”
“aku tak bisa memberitahumu dulu” pria itu mengangkat tangan
kirinya, melirik jam tangan yang tersemat disana. Hyo Sun melirik ke arah yang
sama. Hampir tengah malam. “kira-kira 6 menit lagi”
“apanya?”
“tunggu saja” walaupun Hyo Sun tak bisa melihat wajah
Changjo, tapi ia yakin namja itu pasti sedang tersenyum puas. Entahlah, tapi nada
bicaranya barusan terdengar pantas diucapkan dengan ekspresi itu.
Sembari menunggu waktu 6 menit yang Changjo janjikan, Hyo
Sun terus-menerus melihat langit dengan perasaan berdebar. Bisakah pria ini
berhenti memeluknya? Tapi…. sepertinya Hyo Sun tak bisa menyuruhnya berhenti.
Bukan karena ia tak mau, hanya saja…….
Saat sedang berpikir seperti itu, tiba-tiba saja lampu-lampu
kecil menyala bergantian. Jumlahnya sangat banyak, hingga terbilang mustahil
untuk menghitungnya. Ia menoleh ke belakang untuk menanyakan apa maksud dari
semua ini pada Changjo, tapi pria itu ternyata sudah menghilang. Astaga! Bahkan
Hyo Sun tak sadar kapan Changjo melepas pelukannya dan berdiri. Kepala gadis
itu berkeliling mencari Changjo, tapi ia tak menemukan siapapun. Hyo Sun yang
mulai panik hanya bisa duduk di antara lampu berwarna-warni yang terus
berpendar. Ia sangat tertarik dengan semua lampu itu, tapi Changjo yang pergi
seenak jidat membuat rasa takutnya lebih mendominasi. Ayolah….. seorang gadis
lumpuh ditinggal di tengah bukit di tengah malam.
“Changjo~aa….. Jangan bercanda!” gadis itu berseru sambil
terus menoleh ke sekitar.
Tiba-tiba saja, dari balik pohon, seorang namja muncul
sambil membawa boneka beruang yang besarnya sampai menutupi tubuhnya. Ia
tersenyum sambil melangkah mendekati Hyo Sun yang masih tak tahu harus apa.
“selamat ulang tahun”
“Apa?”
“ini hari ulang tahunmu, noona. Kenapa setiap tahun tak
pernah ingat?” Changjo membuang napas dengan bosan, hal ini selalu terulang
setiap tahunnya. Hyo Sun selalu terkejut setiap ia mengucapkan selamat ulang
tahun. Gadis ini benar-benar aneh.
“Mau kau percaya atau tidak, hari ini kau tetap ulang tahun.
Aku membelikan ini untukmu” Changjo memutar boneka itu menghadapnya, lantas
menggigit bibir. “aku tahu kau sudah dewasa. Dan aku tahu kau lebih menyukai
zombie daripada boneka” pria itu lalu berlutut dan mengulurkan bonekanya pada
Hyo Sun “Tapi, mencari boneka zombie di pasar itu sangat sulit, noona. Jadi aku
belikan ini saja. tidak apa-apa kan? kau bisa mencongkel matanya dan membuat
boneka ini terlihat seperti zombie” Changjo mengakhiri ucapannya dengan senyuman
lebar. Hyo Sun mengambil boneka itu sambil tertawa.
“walaupun aku masih tak yakin kalau ini hari ulang
tahunku…………..terima kasih Jong Hyunnie” Hyo Sun tersenyum sambil menyentuh
hidung sang boneka beruang. “Aku akan
menjaganya. Aku tidak akan mencongkel matanya”
“hei… aku juga membuat ini” Changjo memberikan kertas
berwarna biru langit pada Hyo Sun, lalu saat gadis itu hampir mengambilnya,
Changjo menariknya lagi. “ah.. tidak… tidak! aku rasa ini tidak begitu penting”
“oh.. ayolah! Apa yang kau buat?”
“ani.. ani… bukan apa-apa”
“mana mungkin bukan apa-apa?” Hyo Sun mulai mengulurkan
tangannya dan mencoba merebut kertas itu dari Changjo. “tidak.. tidak… ini
bukan untukmu” ucapnya sambil merobek kertas itu, meremasnya dan membuangnya
jauh-jauh dengan gerakan yang sangat cepat. Hyo Sun terkesiap. Sebenarnya ada tulisan apa disitu
sampai-sampai Changjo berbuat seperti ini?
Hyo Sun mendengus, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Gadis itu
memeluk boneka beruangnya dengan erat sambil menggerak-gerakkan mulutnya,
memaki Changjo tanpa suara. “sekarang apa? kau mau menggendongku pulang atau
kita tidur disini?” Changjo yang mendadak bersikap sangat kaku menoleh perlahan
pada Hyo Sun.
“kau mau pulang?” gadis itu mendecak sambil memalingkan
wajah, “oke.. oke… ayo pulang”
Saat menuruni bukit, Hyo Sun terus menguap dan matanya
terasa semakin berat. Ini sudah sangat lewat dari jam tidurnya. Sebelah tangan
gadis itu memeluk leher Changjo dengan erat, sementara sebelahnya lagi sibuk
menggenggam bonekanya yang super besar. Hyo Sun semakin tidak bisa mengontrol
rasa kantuknya, dagu gadis itu bertengger di pundak Changjo, kepalanya mulai
terjatuh.
“noona…”
“hmm”
“saranghae”
“nado Jong Hyun~aa” jawab Hyo Sun dengan suara teredam,
setengah sadar.
“anio! saranghae…. Saranghae” Changjo berbisik. Seharusnya
Hyo Sun mendengarnya, tapi entahlah. Mata gadis itu sudah terpejam.
“aku tak ingin menjadi sahabatmu noona”
“wae?” tanya Hyo Sun dengan nada yang sama, fokusnya
menghilang. Changjo yakin gadis itu tak sadar dengan apa yang ia katakan
sekarang.
“karena sahabat seharusnya tak jatuh cinta” setelah
mengucapkan itu, kakinya berhenti. Dadanya bertalu-talu menanti respon Hyo Sun
yang terlalu hening. Hingga…
“kau tidur ya?” Changjo membuang napas sambil mengulum senyumnya,
lantas kembali berjalan. Setidaknya aku sudah bilang. Aku sudah mengakui rasa yang kupendam. Tunggu..... kalau ia tidak dengar, bisakah ini disebut pengakuan?
Hyo Sun POV
Walaupun aku sangat mengantuk, aku masih bisa mendengarnya
dengan jelas. Changjo bilang ia jatuh cinta padaku. Beruntung ia mengira aku
sudah tidur, jika tidak…… aku sama sekali tak tahu harus memberikan jawaban
seperti apa. Setelah mengira aku sudah tidur, Changjo malah terus berbicara. Ia
bilang, ia membuat lagu untukku di kertas yang ia robek tadi, ia sangat gugup
hingga tak berani memberikannya padaku. Ia juga memintaku untuk tidak
membencinya walau aku tak menyukainya, ia bilang….. kalau aku tak suka dengan
pengakuannya, lupakan saja, anggap ia tak pernah bicara seperti itu. Changjo
sangat…… ah ani! Malam ini ia hanya namja polos bernama Choi Jong Hyun. Ya.. Jong
Hyun sangat manis malam ini. Saking manisnya, aku sampai ingin berhenti dan
melihat wajahnya, benarkah ia Jong Hyun
ku?
Lalu aku harus bersikap seperti apa besok? Pura-pura tak
terjadi apa-apa? Demi Tuhan, aku mencintaimu Jong Hyun~aa. Tapi aku tak mau kau
mencintaiku. Carilah gadis yang bisa berjalan dan merawatmu dengan baik. Jangan
aku. Sepanjang perjalanan, kupejamkan mataku kuat-kuat, takut air mata yang
tengah berkumpul ini turun.
Kalian tahu? aku sudah merasa cukup beruntung dengan
mengenal Jong Hyun. Menjadi sahabatnya adalah hal terbaik yang kupunya.
Hubungan kami sangat menarik, kami mengobrol seperti dua orang sahabat yang
sangat dekat, bermain seperti anak kecil di taman kanak-kanak, bertengkar
seperti pasangan suami istri yang tak mau mengalah dan menjaga satu sama lain
seperti saudara kandung. Aku mencintai hubungan ini. Dan aku tak akan
membiarkan perasaan bodoh ini menghancurkannya.
Changjo~ya… kenapa kau
menyukaiku? Bagaimana bisa? Kau buta ya? Aku bahkan tidak cantik. Aku juga tak
bisa berjalan. Aku selalu merepotkanmu. Apa yang kau lihat dariku? Apa nilai
lebih yang kupunya? kau benar-benar aneh!
**********
Changjo POV
Ini masih jam 3 sore dan aku sudah terkapar lemas di
ranjangku. Sebenarnya hari ini aku tidak melakukan sesuatu yang sangat berat.
Aku hanya melakukan kegiatan rutinku –mengajari Hyo Sun noona berjalan- lalu
bertemu dengan teman-teman lamaku di kafe. Dan setelahnya, inilah yang terjadi.
Tubuhku terasa sangat letih. Apa ini karena kemarin aku tidak tidur? Atau karena
aku harus menggendong Hyo Sun noona naik turun bukit di tengah malam yang super
dingin? Bisa jadi.
Dengan malas, aku mengambil remote tv dan menyalakannya. Dan
di detik pertama saat layar itu menyala, aku langsung menyambar ponselku dan
menelfon Hyo Sun noona.
“nyalakan tv-mu. Channel 9”
“ada apa?”
“film kita diputar?”
“film kita?”
“ne.. aku lupa judulnya. Yang pasti ini film kesukaanmu. Dulu
kita selalu menontonnya bersama”
“oh.. yang kau selalu tidur itu ya?” tanya Hyo Sun dengan
nada yang sangat sinis. oke… oke…. dia benar. Aku tak pernah berhasil menonton
film ini sampai habis. Tapi….. haruskah dia bicara dengan nada semenjengkelkan
itu? apa tak sengaja tertidur merupakan tindak kriminal? Huh!
“aku sudah bosan menontonnya” lanjut gadis itu. Sebelah
alisku kontan terangkat, “bosan? Jinjjayo? Apa perlu aku kesana? kita tonton
bersama, eotte?”
“anio. Aku sedang ingin membaca novel, bukan menonton film
yang sudah puluhan kali kutonton. Lagipula kau pasti akan tertidur. Lebih baik
kau tidur sekarang daripada repot-repot mencoba menontonnya sampai akhir”
“cih…. Bagaimana kalau aku berhasil menontonnya sampai
habis”
“aku akan bertepuk tangan di tengah pasar sambil bilang aku
sayang Jong Hyun!!!!”
“Jinjja?” Tut….tut….tut…… aku mendengus takjub sambil
menurunkan ponsel. Sebegitunya kah? Dia kira aku tak mungkin menonton filmnya
sampai habis? Akan kubuktikan! Min Hyo
Sun-ssi, Siap-siaplah bertepuk tangan di tengah pasar! Dan jangan lupa ‘Aku
sayang Jong Hyun’ nya!
50 minutes later……
Sambil menguap, aku membalik posisiku ke sebelah kanan,
memeluk guling terdekat dan tersenyum damai dengan mata yang tetap setia
memejam. Satu detik…….. Dua detik……. Tiga detik……. dan…… FILM-NYA! Mataku
langsung terbuka lebar dan mengarah lurus pada layar TV. Oh… tidak! sepertinya
film itu sudah habis. Sial! Aku langsung bangkit dari posisi berbaringku dan
meringis sambil mengacak rambut. Aku kelewatan lagi. Sampai kapan ini akan
terjadi? Ternyata Hyo Sun noona benar. Aish…..
Dan tiba-tiba saja, film yang tadi kembali muncul memenuhi
layar TV. Belum habis? Yang tadi hanya iklan? Oh….HEBAT. Aku langsung merangkak
semangat mendekati TV dan menontonnya dengan serius. Setidaknya aku harus tahu
cerita akhirnya, Hyo Sun noona pasti hanya akan menanyakan cerita akhirnya!
Author POV
10 menit berlalu, Changjo terdiam kaku di atas ranjangnya.
Layar televisi yang dari tadi ia pelototi sudah gelap, sudah dimatikan. Kini
namja itu tengah melamun, terlalu larut dalam pikirannya.
‘kau harus tahu cerita
akhirnya!’
‘memang bagaimana
cerita akhirnya?’
‘aku tak mau
memberitahumu. Kau harus menontonnya sendiri’
‘mereka pasti bersatu
lagi kan? bukannya semua cerita akhirnya begitu’
‘kau harus melihatnya
sendiri’
‘kenapa kau sangat
ingin aku melihatnya!’
‘entahlah! Lihat saja’
Ucapan Hyo Sun empat tahun yang lalu tiba-tiba saja memenuhi
kepala Changjo. Dia sudah tahu cerita akhirnya, ternyata mereka tidak bersatu
seperti yang Changjo pikirkan. Si gadis terlalu bodoh. Ia menuliskan
perasaannya di kertas kecil yang dikubur di bawah tanah. Dan pada akhirnya,
sang pria tak pernah tahu akan perasaan itu. Ia menikahi yeoja lain. Sedangkan
si gadis meninggal karena AIDS. Setelah berkali-kali menonton, Changjo bahkan
tak pernah tahu kalau ternyata gadis di film itu sakit AIDS. Astaga…. Selama
ini apa yang ia tonton?
Changjo menyambar jumper-nya dan segera pergi. Entah kenapa,
ia rasa ia mengetahui sesuatu. Awalnya Changjo hanya berjalan cepat, tapi
begitu ia menjangkau pagar rumahnya, kaki namja itu mendadak ingin berlari.
Sesuatu dalam dadanya seolah berteriak-teriak menyuruhnya cepat. Akhirnya pergerakkan kaki pria itu menjadi
lebih cepat lagi, Changjo mengabaikan napasnya yang terengah keras dan terus
menaiki bukit. Ya.. Bukit. Tujuannya sekarang adalah bukit. Ia rasa ada sesuatu
yang harus ia ketahui disana.
TBC
Comments
Post a Comment