Suddenly Daddy (2nd story)
“sekarang kita kemana?”
“kau….. aish, sebenarnya aku tak ingin membawamu ke
kampusku. Tapi ya.. apa boleh buat?” Henry menghela napas sambil fokus melihat
ke jalan. Setelah menjemput Danny, ia harus segera kembali ke kampusnya. Dia
masih punya dua mata kuliah lagi hari ini. Dan rasanya tak mungkin jka ia
membolos. Ayolah…… kapan namja itu bisa lulus jika semua yang ia lakukan
hanyalah menitip presensi dan jalan-jalan menikmati masa mudanya yang hampir
habis?
“jadi aku ikut kuliah, Henry?”
“mollayo…. Aku harus menyembunyikanmu di suatu tempat”
“kenapa disembunyikan?”
“karena di kelasku anak bayi tak boleh masuk”
“aku sudah 5 tahun”
“benar, kau masih 5 tahun. Jumlah umurmu sama dengan jumlah
jari tangan kananku. Lihat ini! 5! Iya kan?”
“pokoknya aku akan ikut ke kelasmu dan melihatmu belajar”
“YA! ANIO. Aku akan menitipkanmu pada ibu kantin”
“wae? Kau malu aku melihatmu dapat C di pelajaran mewarnai?”
“mewarnai mwo? Aku sudah kuliah”
“jadi di tempatmu sekolah tak ada pelajaran mewarnai?”
“tentu saja tidak!”
“Padahal itu pelajaran kesukaanku” Henry menggelengkan
kepalanya dengan lelah. Belum ada 5 menit mereka semobil bersama, Henry sudah
mengalami darah tinggi. Jika ia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama bocah
ini, mungkin di umur ke 30 nanti ia sudah mengalami penuaan dini.
**********
Setelah mengambil tas, pria itu berjalan lemas menuju lab
komputer. Danny masih setia disampingnya, menoleh ke kanan kiri dengan tatapan
heran.
“sekolahmu besar sekali. Pasti kau sering tersasar ya..”
“aku sudah 4 tahun disini. Aku hapal semuanya, termasuk
dimana letak debu di setiap inci lantai”
“jinjja?”
“ne.. kau mau tahu? Disini ada debu setebal 5.83 inch!
Disitu juga ada debu! Lalu lihat diatas sana, semuanya penuh debu”
“wah…...” Henry tersenyum bangga dan berjalan lebih percaya
diri. Melihat Danny yang terkagum-kagum begitu, sesaat ia merasa seperti seorang
professor di Harvard. Inilah keuntungan mempunyai keponakan berumur 5 tahun. Padahal
ia hanya mengucapkan angka tanpa berpikir, tapi namja itu malah percaya.
**********
“aigooo…. Nuguya?”
“aish…. Nugu Henry~aa? Kwiyeowo”
“neomu neomu meotjiyeo”
“kyeopta”
“dia kepon~”
“choneun Daniel Lachapelle imnida. Umurku 5 tahun. Aku
bersekolah di salah satu taman kanak-kanak terkenal di daerah Gangnam. Dan
Henry adalah pamanku”
“aigoo… pintar sekali”
“eomo! Benar dia pamanmu? Berbeda sekali ya..” Henry
mendengus. Teman-teman perempuannya sudah berkumpul mengelilingi Danny yang
pintar sekali mencari muka. Saat sedang meletakkan tas di meja, sesuatu
mengusik pikirannya. Shin Hyejeong. Benar! Dia harus segera menemukan gadis itu
dan memaksanya menjaga Danny.
Namja itu berjalan keluar sambil melirik sinis sang
keponakan. Danny sekarang tengah bercerita –entah apa- di depan teman-teman
perempuannya yang terlihat antusias. Tapi
baguslah! Aku jadi tak perlu mengkhawatirkannya.
Henry berjalan di koridor kampus dengan mata yang mengedar.
Ini sudah hampir 15 menit, tapi gadis itu belum juga terlihat. Jangan-jangan aku salah orang. Jangan-jangan
gadis yang tadi bukan Shin Hyejeong. Pria itu mendesah, lantas kembali lagi
ke kelasnya. Danny masih menjadi pusat perhatian dan sibuk bercerita. Pasti dia
sedang bercerita betapa pintarnya ia di sekolah. Atau memamerkan nilai A-nya
saat pelajaran mewarnai. Astaga~
“Danny! Ayo, sebentar lagi dosenku datang”
“kau mau membawanya kemana?” sahut salah satu teman-nya
dengan nada super protektif
“kantin”
“aigoo…. Jadi kau belum makan ya?” Tanya yang lain sambil
menatap Danny iba.
“anio! Aku akan menitipkannya disana”
“mwoga? Jahat sekali! Biar saja dia disini. Danny tak akan
mengganggu, iya kan Daniel sayang?” Danny mengangguk cepat sambil menatap Henry
polos. Kalau sudah begini, namja itu tak bisa melakukan apa-apa selain mengalah
dan menyerahkan bocah kecil itu pada teman-teman perempuannya.
**********
“kau bilang sampai malam?” Tanya Danny sembari menuruni
tangga. Sesaat setelah dosennya keluar, Henry langsung merebut Danny dari
teman-temannya -yang berencana membawa
anak itu pulang- dan keluar dari ruang kelas.
“ada sesuatu yang harus kuurus. Lagipula kau belum makan
siang, kan?”
“ne.. aku lapar”
“kita ke perpustakaan sebentar, lalu makan di restoran”
“kau bilang harus hemat?”
“lalu mau makan apa? Aku tak mau menggoreng telur lagi.
Ramyeon? Tidak ada gizinya. Kau mau kecil terus?”
Henry masuk ke dalam perpustakaan, sementara Danny menunggu
di luar. Pria itu cepat-cepat menempati sebuah Komputer dan membuka data daftar
mahasiswa. Ia memasukkan nama Shin Hyejeong dan keluarlah 9 nama dari berbagai
jurusan.
“ige mwoya? Kenapa banyak sekali yang namanya Shin Hyejeong?
akh” sambil menggerutu namja itu merobek buku disampingnya –entah milik siapa-
dan menulis nama-nama itu lengkap dengan jurusannya.
“kesehatan, politik, hukum, bisnis, seni, bioteknologi,
komunikasi, ei… ei… daebak!!! Tak ada yang satu jurusan! Lalu gedung
fakultasnya dari ujung ke ujung! Gadis ini benar-benar mau membunuhku ya?”
“HENRY LAU! AKU LAPAR! HE~~~~~~~NRY~~~~~, KEPONAKANMU
LAA~~~~PAR”
“YA! Bocah itu” decak Henry sambil buru-buru mematikan
komputer. Beberapa orang di perpustakaan sudah sibuk menggerutu dan menanyakan
‘anak siapa itu?’ dengan nada terganggu.
“Henry! Kau mengenal anak itu?” Henry yang baru berdiri dari kursinya melirik ke arah Danny dengan ekspresi terganggu yang sama seperti yang diperlihatkan orang-orang.
“ah.. aku tak tahu. Tapi tenang saja, biar aku yang urus”
ujarnya dengan nada dan ekspresi yang semakin dibuat-buat.
“gomawoyo Henry~aa… anak itu benar-benar berisik”
“benar. Huft” Henry menggeleng-gelengkan kepalanya dan
berjalan keluar mendekati Danny. “YA! Ini perpustakaan. Tidak boleh berisik”
“kau lama sekali Henry. Aku bisa mati”
“ara.. ara… kajja. Kita makan”
**********
Selama berada di restoran, Henry terus menatap robekan
kertas berisi nama Shin Hyejeong dari berbagai jurusan. Aku akan mulai mencarinya besok. Jadi, mau tak mau besok aku harus ke
kampus. Padahal hari sabtu adalah waktu membolos paling menyenangkan. Banyak
kartun yang ditayangkan di tv saat pagi. Bermalas-malasan di kamar sambil
menonton kartun dan makan coklat. Surgaku di hari sabtu akan terganggu
gara-gara misi ini.
“Henry”
“wae?”
“kau tak mau mengajakku jalan-jalan? Besok kan sabtu, aku
libur” Henry mendengus. Mencoba mengabaikan namja kecil itu, namun…… astaga, kalau besok dia libur berarti dia
tidak ke sekolah. Kalau dia tidak ke sekolah berarti aku harus menjaganya di
rumah. Tapi aku harus mencari Shin Hyejeong. Aku harus membuatnya kembali
bekerja, aku harus menghantuinya dengan rasa bersalah dan membuat gadis itu
bekerja dengan suka rela. Mungkin ini terdengar sedikit jahat, tapi apa boleh
buat? Aku tak bisa menjaga Danny, aku harus kuliah jika benar-benar mau lulus.
Lagipula aku kan namja, mana bisa menjaga anak kecil? Oke… bisa saja aku
memanggil babysitter sungguhan, tapi YAA! UANG DARI MANA? Sejauh ini kami
berdua hidup hanya dari uang yang tersisa di rekening noona. Dan…. Aku masih
tak tahu mau bekerja apa.
“Henry! Kau mendengarku kan?”
“kalau jalan-jalannya ke kampus, kau mau?” nada bertanyanya
terdengar sangat terbebani. Sejujurnya ia tidak rela, bagaimana jika
orang-orang mengira Danny adalah anaknya? Reputasinya bisa luluh lantah.
“aku mau”
“aigoo….. cepat sekali menjawabnya. Kau senang ya dikerumuni
banyak perempuan?” Tanya Henry sinis.
“tidak juga. Aku sudah terbiasa”
“terbiasa apa huh? Jinjja! Anak kecil!” dumel Henry
berapi-api. Nyaris berdiri. Sementara Danny hanya balas menatapnya dengan
heran.
“memang kau tidak terbiasa ya?”
“YAK! Aku lebih terbiasa, aku sudah 24 tahun dan umurmu
bahkan tak sampai ¼ dari umurku”
**********
Keesokan harinya, Henry –dengan berat hati- membawa serta
Danny ke kampusnya. Mereka berdua baru saja tiba di parkiran dan tengah
berdiskusi serius di kursi depan.
“tujuan kita adalah Shin Hyejeong. Ada 9 nama dari 9 jurusan
yang berbeda. Kita akan mencarinya satu persatu, lalu jika sudah ketemu, kau
harus merayunya agar mau menjagamu lagi”
“kenapa dia harus menjagaku?”
“karena aku tak mau menjagamu”
“aku kan sudah 5 tahun, jadi…………..”
“jadi kau masih sangat kecil dan butuh penjagaan ketat dari
seseorang. Dan seseorang itu bukan aku, oke? Kau tak akan mengerti seberapa
sibuknya aku”
“tapi Hyejeong noona… memangnya dia mau?”
“itu tugasmu! Kau harus bisa mengatur ekspresi seolah kau
sangat membutuhkannya. Lihat aku! Buat ekspresi seperti ini” Henry memiringkan
wajahnya sambil memanyunkan bibir.
“euh… aku tak mau jadi sejelek itu” Danny mengangkat bahunya
ngeri.
“itu lucu bukan jelek. Astaga! Kau senang sekali membuatku
kesal ya? Cepat lakukan!”
“anio”
“tch… oke, kau boleh atur ekspresi sesukamu. Pokoknya kau
harus terlihat sedih, oke? Wanita biasanya tak tahan melihat anak kecil sedih.
Kalau dia masih tak mau, menangis saja. Ara?”
“kau sedang mengajarkan kejahatan, ya? Kata eomma, aku tak boleh……”
“aku akan traktir es krim”
“arasseo”
**********
“hei.. kau kenal Shin Hyejeong?”
“ne.. aku hyejeong”
“oh.. berarti bukan kau”
“apanya?”
“anio. Gamsahamnida” Henry berbalik dan menggelengkan
kepalanya pada Danny yang sedang minum. Mereka sudah berjalan dari fakultas
seni rupa ke fakultas kesehatan lalu berjalan lagi ke gedung yang lain dan
tetap saja Shin Hyejeong itu tak ada.
“astaga Danny, aku lelah sekali”
“kau bilang ada 9 orang kan? Kita baru menemukan 3 Hyejeong.
Ayo cari lagi”
“kau tak lelah?”
“aniya. Ini belum lama Henry, kenapa kau payah sekali?”
Henry langsung merebut minuman milik Danny dan meneguknya sampai habis.
“YAK! HENRY”
“wae? Apa kau masih haus? Kita kan belum lama, kenapa kau
payah sekali?”
“aish..”
“sudahlah ayo pulang” Ujar Henry sambil menuntun Danny.
“wae?”
“aku lelah mencarinya. Lagipula, mungkin ini sudah takdirku
untuk menjagamu sendirian”
“kenapa kau bicara begitu? Memangnya eomma tak mau kembali
lagi?”
“hei.. tadi aku berjanji akan mentraktir es krim kan?” Henry
langsung mengalihkan pembicaraan.
“tapi aku kan belum menangis di depan Hyejeong noona”
“gwaenchana~ kau tak perlu melakukannya. Kajja!”
“chakkaman! Kenapa dari tadi kau tak masuk kelas, Henry?
Sebenarnya kau sekolah atau tidak?”
“aku lelah. Besok lusa saja”
“memangnya bisa begitu? Di sekolahku……”
“sekolahku berbeda dengan sekolahmu. Ara?”
**********
Setibanya di parkiran, Henry melihat seorang gadis tengah
berdiri persis di depan mobilnya. Namja itu tersenyum sambil melirik Danny.
“hei kecil, ayo bertaruh! Menurutmu siapa gadis itu?”
“yang di depan mobil? Eung temanmu…… mungkin?” balas Danny
tak yakin. Ia memperhatikan perempuan itu sambil berpikir.
“itu pasti Shin Hyejeong. Biasanya di drama-drama, jika ada
adegan cari-mencari, mereka malah akan bertemu di situasi yang tak terduga.
Sepertinya hal itu juga akan terjadi padaku”
“huh? Choneun mollayo”
“aish payah!” Henry mendengus, dan berjalan dengan santai
menuju seorang gadis yang sedang mengomel di depan mobilnya.
“jeogiyo!”
“heh! Pindahkan mobilmu! Babogateun” ah.. ternyata bukan Shin Hyejeong.
“ppalii! Aku harus segera pergi dan kau menghalangi mobilku”
gadis itu menunjuk mobilnya yang terhalang mobil Henry.
“ne.. mianhae” balas Henry dengan nada tak peduli, lalu berjalan
malas membuka mobilnya.
“Ye Seul~aa….. bukumu! Aish…. Kenapa selalu meninggalkannya
di kelas?” Henry menoleh saat mendengar suara itu dan… “SHIN HYEJEONG” tanpa
sadar langsung berteriak dan keluar lagi dari mobilnya.
“ah.. kau!” kaki Hyejeong bergerak selangkah ke belakang.
Terkejut, takut, terancam. Wajah Henry yang kelewat berbinar membuatnya sangat
ingin berlari.
“Hyejeong noona. Anyeonghaseyo”
“anyeonghaseyo Danny~ya”
“YA! Shin Hyejeong. Kita harus bicara serius” pekik Henry
sambil berkacak pinggang.
“KAU! MASUK DAN PINDAHKAN MOBILMU!”
“tunggu dulu, aku punya masalah yang harus diselesaikan
dengan Shin……”
“JIGEUM” padahal Henry sudah berusaha tegas, tapi tetap saja
gadis yang dipanggil Ye Seul ini jauh lebih galak. Jadi, dengan sangat
terpaksa, Henry kembali masuk dan memindahkan mobilnya.
Gadis bernama Ye Seul itu mendelik kasar pada Henry yang
baru turun setelah memindahkan mobil. Namja itu balas menatapnya tanpa ekspresi
lalu menghampiri Hyejeong yang sedang berbicara dengan Danny.
“kenapa kau tak datang saat aku menyuruhmu datang?” Tanya Henry
tanpa basa-basi. Hyejeong yang sedang berjongkok sambil memegang kedua tangan
Danny sontak mendongak. Dengusan pelan terdengar, “untuk apa aku datang? Aku kan
sudah berhenti”
“tapi aku tidak membolehkanmu berhenti”
“aku bekerja untuk nyonya Lachapelle, bukan kau”
“dia noona-ku. Dan sekarang dia sudah meninggal, jadi semua
tanggung jawabnya menjadi milikku, termasuk kau”
“mian…. Tapi aku tak bisa. Kuliahku sangat sibuk dan aku
akan lulus tahun ini. Kumohon” Hyejeong bicara dengan suara tertahan. Berusaha mengontrol
rasa kesal yang bertumpuk-tumpuk di dadanya.
“kau benar-benar tak punya sopan santun ya? Kau tak punya
rasa berduka cita akan kematian noonaku? Kau tak mau membantuku menjaga Danny? Aku
juga kuliah, terlebih aku ini pria. Mana bisa menjaga anak kecil? Berapa uang
yang kau mau? Aku akan bayar saat sudah bekerja nanti”
“aku membantu nyonya Lachapelle sebulan yang lalu itu tulus
karena membantu, bukan karena uang. Aku bilang kan, aku tak apa-apa jika tidak
dibayar. Dan coba lihat siapa yang tidak sopan disini? Kau berteriak pada
seorang perempuan di depan anak kecil. Tolong benahi kelakuanmu dulu sebelum
mengoreksiku” Hyejeong menarik napas dengan berat, lalu menatap Henry lelah “aku
ini hanya seorang mahasiswi. Kenapa tak mencari babysitter sungguhan?”
“aku tak bisa sembarang mencari babysitter untuk Danny. Dia
sudah mengenalmu dan noona-ku bahkan sempat mempercayakan Danny padamu, jadi
aku tak punya pilihan lain”
“maaf!” Hyejeong menggelengkan kepalanya sekali lagi. Lalu
membungkuk sopan dan berbalik pergi. Henry menghembuskan napas tak kalah lelah,
lalu tiba-tiba Danny menggenggam tangannya.
“aku tak apa-apa, Henry. Tenanglah”
“ini bukan untukmu. Tapi untukku. Aku tak bisa terus menerus
menjagamu. Lagipula, dia satu-satunya orang yang tak apa-apa jika tidak dibayar.
Aish…. Hidupku hancur! Ayo cepat kita pulang, aku mau tidur”
“maksudmu setelah kita beli es krim kan?”
“es krim mwo? Huh? Kita harus berhemat”
“tapi….”
**********
Semenjak itu, Henry yang pantang mundur terus mengikuti
Hyejeong seperti seorang stalker. Tidak. Dia bahkan melakukannya
terang-terangan. Seperti hari ini, Hyejeong yang sedang mencari buku di
perpustakaan terus mendapat teror dari Henry. Namja itu mengikutinya terus
menerus sambil berkata, ‘sesama manusia
harusnya saling membantu. Keponakanku yang lucu membutuhkan babysitter. Andai
saja ada perempuan baik yang mendengar’ sambil melrik Hyejeong minta
perhatian.
Tapi Hyejeong tak mau kalah. Walau gadis itu terganggu luar
biasa, ia tetap mempertahankan raut datar di wajahnya. Seolah Henry yang kini
tengah duduk di hadapannya sambil melempar-lempar kertas bertuliskan ‘kumohon
bantu aku’ itu tak benar-benar ada. Ia
memegang kuat prinsip, Nanti juga dia
lelah sendiri dan berhenti. Tapi……. Nantinya
kapan? Ini sudah 5 hari dan Henry masih terlihat sangat bersemangat melakukan
terornya. Kali ini ia berdiri di depan kelas Hyejeong dan berlutut tiba-tiba
saat gadis itu keluar. Hyejeong semakin tak tahan, ia menghentakkan kakinya dan
memberikan tatapan ‘pergi dari hadapanku’ namun bukannya pergi, Henry malah
memulai dramanya yang memukau.
“kumohon, tolong bantu aku, Shin Hyejeong-ssi.Keluargaku
sangat membutuhkan kebaikan hatimu. Bantulah pria malang ini mengurus
keponakannya, aku tahu kau sibuk, tapi kalau kita mengurusnya bersama-sama
mungkin semua ini tak akan terlalu melelahkan”
Teman-teman Hyejeong langsung berbisik-bisik dan berkerumun
di sekitar mereka. Henry yang berlutut justru terlihat seperti sedang melamar. “bisakah
kau….. tck” Hyejeong mendesis menahan malu sambil menyuruh Henry berdiri.
“Shin Hyejeong-Ssi! Jebalyo”
“seharusnya kau tidak memaksaku seperti ini.”
“aku….”
“seharusnya kau menghargai keputusanku”
“tapi aku….”
“kalau aku bisa aku pasti setuju. Tapi sekarang aku bahkan
tak punya waktu selain untuk belajar”
“kita bisa belajar bersama”
“kita beda jurusan. Bagaimana caranya belajar bersama?”
Hyejeong menggelengkan kepalanya dan berlalu, melewati Henry begitu saja. “ah..jinjja.
Shin Hyejeong! YAA”
**********
Setelah menjemput sang keponakan dari sekolah, Henry
menuntun Danny mencari Shin Hyejeong sambil membawa-bawa pengeras suara milik
dosen olahraganya. “sekarang apalagi yang akan kau lakukan, Henry? Kau tidak
kasihan pada Hyejeong noona?” Tanya Danny.
“itu dia!” tunjuk Henry.
“YA! SHIN HYEJEONG” gadis yang sedang berjalan dengan
tumpukan buku itu sontak berhenti. Kakinya tertahan dan matanya memejam
seakan-akan ingin menangis. Sekarang apa
lagi?
“SEBENARNYA AKU SUDAH LELAH MEMOHON-MOHON TERUS! TAPI AKU
BENAR-BENAR MEMBUTUHKANMU! DAN AKU TAK PUNYA PILIHAN LAIN” Hyejeong masih belum
bereaksi. Henry tampak khawatir dan langsung menoleh pada Danny. “coba rayu
dia! Katakan kumohon noona, atau apalah” bisik Henry sambil menyodorkan
pengeras suara. Danny menatap benda itu dengan bingung, “aku tak tahu harus
bilang apa”
“apa saja! Katakan dengan natural”
“natural?”
“ne” Henry mengangkat jempolnya, lantas tersenyum menatap
Hyejeong sambil bertolak pinggang. Pasti gadis ini akan luluh dengan ucapan
Danny, pikirnya.
“noona…. Henry sama sekali tak bisa diandalkan. Seminggu ini
ia terus-menerus bangun siang dan membuatku terlambat. Ia tak mau berbagi susu
kotak denganku, ia terus menerus membuatkan telur tanpa rasa untuk sarapan,
makan siang dan makan malam. Ia tidak menyuruhku mandi dan tidur cepat. Lalu PR-ku,
ia bahkan tak bisa membantuku mengerjakan PR. Tolong bantu Henry, noona. Henry
membutuhkanmu”
“YAA!” Henry merebut pengeras suaranya dengan cepat.
Orang-orang di sekitarnya tertawa mendengar pengakuan Danny yang polos,
sementara wajah Henry otomatis memerah.
“KAU!” namja itu membuat gerakan seolah-olah ingin mencekik
Danny dan menatapnya dengan geram.
“katamu natural”
“tapi tidak begitu!”
“jika aku membantumu, bisakah kau berhenti membuatku gila
seperti ini?” Henry menoleh dan ternyata Hyejeong sudah berada di hadapannya.
Namja itu langsung mengangguk.
“oke…”
“maksudmu kau… mau….” Senyum Henry merekah. Ia tak bisa
menyembunyikan rasa senangnya. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya bercahaya.
“ini semua untuk Danny. Bukan kau”
TBC
akhirnya hyejeong mau juga nolong henry..
ReplyDeletenanti hubungan henry dengan hyejeong bagaimana yah? next
Akhirnya u,u
Deleteasiknya henry hyejeong diapain ya? next chapnya ditunggu:) gomawo