Let Love Lead (Prolog)



Cast = Park Yu Jin
             Park Jin Ah
             Park Hyo Jin
             and many more^^
Genre = Romance
Length = Series
Author = Salsa


**********


“Jadi berapa umurmu?” tanya Jin Ah.
“31 tahun.”
“A-apa?”
“Kenapa? Menurutmu aku terlalu tua untuk ikut acara perjodohan seperti ini?” Pria berkacamata yang memiliki beberapa kerutan di dahi itu tertawa hambar.


“T-tidak… maksudku…. umurmu padahal sudah matang, penampilanmu juga lumayan dan pekerjaanmu pun bagus. Aku tak mengerti kenapa kau belum menikah.”


“Yah, tentu saja karena belum menemukan calon yang tepat. Kalau sudah menikah, aku tak mungkin berada di sini, kan?”


“Benar juga.. hahaha… lalu yang lain bagaimana?”
“Apa tidak sebaiknya kau perkenalkan dirimu dan kedua saudaramu dulu? Kami sudah tahu nama kalian. Bagaimana dengan umur dan pekerjaan?” ucap pria lain yang duduk tepat di hadapanku. Penampilannya tidak serapi pria berkacamata berumur 31 tahun yang tadi. Dia memakai jaket kulit dan sejak tadi aku terus memergokinya sedang menatap Hyo Jin yang sibuk menyedot frappe-nya seperti anak kecil. Aku mengerti benar saat dia bilang ‘perkenalkan dirimu dan kedua saudaramu dulu’ pasti yang ia maksud adalah ‘Hyo Jin’. Dia pasti ingin mengenal Hyo Jin yang sejak tadi terus diam, seakan-akan terpisah dari kami dan tenggelam dalam dunia imajinernya sendiri.


“Namaku Jin Ah, 23 tahun. Lalu ini kakakku Yu Jin," kata Jin Ah. Aku tersenyum seraya menganggukkan kepala begitu namaku disebut. "26 tahun. Dan itu Hyo Jin, 21 tahun.”


“Oh.. 21 tahun. Kau masih sangat muda, ya. Masih kuliah?” Nada bicara pria berjaket kulit itu tiba-tiba saja berubah lembut. Hyo Jin menggigit sedotan frappe-nya dan menatap pria itu datar.


Kami semua menoleh padanya menanti jawaban. Hyo Jin menjauhkan sedotan berwarna hitam kaku itu dari mulutnya dan merengut.


“Heh, jawab!” bisikku sambil menyikutnya.
“Onnie, frappe-ku habis. Pesankan satu lagi untukku,” pinta gadis itu santai. Oh, tentu saja! Apa yang bisa diharapkan dari Park Hyo Jin? Dia memang selalu bertingkah semaunya. Bahkan di saat-saat seperti ini, wataknya yang serampangan itu tetap saja dikeluarkan tanpa malu-malu. Semua pria yang menatapnya penasaran pun serempak menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Termasuk pria jaket kulit itu. Sepertinya dia sudah menyerah. Wajar saja, memangnya siapa yang bisa bertahan menghadapi Hyo Jin selain aku dan Jin Ah?


“Ng, benar! Dia masih kuliah.” Akhirnya Jin Ah lagi yang menjawab.
“Kau sudah bekerja Jin Ah-ssi?” tanya pria lain.
“Aku baru saja lulus kuliah. Sekarang sedang mencari pekerjaan.”
“Oh, kau butuh pekerjaan di bidang apa?”
“Ekonomi akuntansi.”
“Ah, sayang sekali perusahaanku sedang tidak membutuhkan bagian itu.”
“Tidak apa-apa. Sebenarnya aku sudah mengirimkan lamaranku pada beberapa perusahaan, dan ada yang sudah menelepon juga, jadi…..”


“Kalau pekerjaan yang nanti kau dapat ternyata tidak sesuai keinginanmu, atau gajinya kurang memuaskan. Kau bisa meneleponku,” ucap si dahi berkerut. Jin Ah mengangguk sambil berkata ‘terima kasih’ dengan pelan.


Tiba-tiba saja perbincangan yang canggung antara Jin Ah dan para pria di hadapan kami terhenti. Tatapan semua penghuni meja beralih padaku. Seketika itu juga aliran darahku berhenti. Sebenarnya, aku ini adalah perempuan bergolongan darah A yang sangat penakut. Yang menjunjung tinggi semboyan ‘berpikir sebelum bertindak’. Bahkan saking tingginya, aku justru lebih sering berpikir daripada bertindak. Hingga kesempatan-kesempatan yang datang pun terlewat begitu saja. Lalu pada akhirnya aku cuma bisa menghela napas sambil menyalahkan golongan darahku sendiri.


Kembali ke cerita. Kenapa mereka semua menoleh padaku? Aku benar-benar ketakutan saat menjadi pusat perhatian. Aku selalu merasa ada yang salah dengan penampilanku. Apa ada sesuatu di wajahku? Rambutku berantakan? Bajuku terbalik? Ya ampun, seseorang bicaralah! Ada apa?


“Noona, ponselmu berbunyi.”
“Apa? Oh..” Ternyata itu sebabnya. Bagaimana mungkin aku tak dengar? Aku langsung merogoh saku blazerku dan mengangkat panggilannya dengan panik. Aku tak tahu kenapa aku harus mengangkatnya dengan panik. Bahkan aku juga tidak melihat siapa yang telepon karena sangat panik. Aish, ini pasti karena golongan darahku.


“Halo?”
[Halo, Nona Park Yu Jin?]
“Ya, aku Park Yu Jin”
[Selamat design anda terpilih.]
Design apa?” Saat aku menanyakan itu, tiba-tiba saja Hyo Jin yang hanya mau membuka mulut saat minta dipesankan tambahan frappe berteriak. Membuat seisi meja terkejut. Dalam sekejap, ponselku sudah berpindah ke tangannya.


“Astagaaaaa~ Aku menang, ya? Jadi aku benar-benar akan mendapat satu juta won?” tanyanya menggebu. Semua orang di meja berukuran sedang ini menatapnya penasaran. Hyo Jin yang terlihat sangat seru dengan lawan bicaranya di telepon itu sama sekali tak merasa terganggu, apalagi panik sepertiku. Volume suaranya pun semakin kencang. Sebenarnya ada apa sih?


Saat ia menutup teleponnya, barulah sekumpulan orang penasaran di meja ini bertanya. Semua pertanyaan yang ingin kuajukan sudah terwakili oleh mereka semua. Jadi aku hanya mendengarkan pertanyaan mereka sembari mengambil ponselku yang Hyo Jin geletakkan begitu saja di pinggir meja.


“Onnie… aku akan kaya raya.” Padahal aku adalah satu-satunya orang yang tidak bertanya, tapi ia malah menatapku dengan mata berbinar dan mengabaikan pertanyaan yang lain. Aku jadi kasihan dengan pria-pria ini. Mau dilihat dari segi mana pun adik bungsuku ini memang memiliki wajah dan bentuk badan yang paling menarik, jadi wajar jika mereka berlomba-lomba mendapat perhatiannya. Tapi sepertinya usaha mereka siang ini akan sia-sia. Jika Hyo Jin tak mau ya itu artinya dia tidak mau.


“Aku mengerti kau itu habis memenangkan suatu perlombaan design. Yang tak kumengerti adalah kenapa mereka malah meneleponku? Dan tunggu, sejak kapan kau belajar design?”


“Aku tidak belajar design. Itu buatanmu, bukan aku.”
Design-ku?”
“Ya. Kau tahu restoran daging yang baru buka di Gwangmun?” Aku mengangguk pelan sembari menerka-nerka ke mana dia akan membawaku.


“Mereka mengadakan perlombaan design. Mereka butuh logo untuk restoran itu. Jadi yah…. karena kulihat hadiahnya lumayan…… dan berhubung kakakku pintar mendesign…….” Hyo Jin mengangkat bahunya, mencukupkan kalimatnya sampai di situ. 


“Cih…. Walaupun hadiahnya lumayan dan kakakmu pintar mendesign. Tetap saja kau harus minta izin padaku dulu, kan?” Aku berujar sinis sembari mengetuk meja dengan jari telunjuk. Padahal suara ketukannya tidak keras, tapi saat telunjukku menyentuh meja semua cangkir di meja ini bergetar.


“Memangnya logo mana yang kau pakai?” Setenang mungkin aku meraih cangkir kopiku dan menyesapnya pelan. Berusaha terlihat anggun di hadapan para pria yang sepertinya sudah menyerah mencari sisi feminim dari tiga kakak beradik ini.


“Itu loh…. Gambar koki berwajah sapi yang memakai serbet dan sepatu boots.”


BRUSSSHHH~~~~


Seketika cairan kopi yang nyaris masuk tenggorokanku menyembur keluar. Aku meletakkan cangkirnya dengan keras hingga meja ini kembali bergetar. Setengah dari kopiku pun terciprat membasahi meja. Tapi untuk kali ini aku tidak peduli pada pandangan para pria itu.


“Kau gila, ya? Kenapa memakai design orang sembarangan begitu?”
“Ah~ biasanya kan juga begitu.”
“Biasanya?”
“Aku sudah sering mengirimkan design-mu ke perlombaan-perlombaan, tapi tidak ada yang menang. Ini pertama kalinya design-mu memenangkan sesuatu. Berterimakasihlah padaku! Onnie kan penakut! Kalau tidak ada aku, design-mu hanya akan menumpuk seperti baju yang tidak disetrika Jin Ah Onnie dari minggu kemarin.” Apa-apaan gadis ini? Kenapa perumpamaannya buruk sekali? Aku bisa mendengar suara Jin Ah yang mendesis di sebelahku. Sementara para pria menoleh serempak padanya seolah sedang menyalahkan.


“Kau itu!!!!” Aku benar-benar kehilangan kata.
“Apa sih masalahnya? Kenapa kau tidak senang? Walaupun hadiah itu sepenuhnya adalah hakku, tapi aku tidak akan menjadi adik durhaka yang melupakan kedua kakaknya. Aku akan membelikan donat dan baju. Tenang saja.”


“ITU PROYEK KANTORKU!” Aku memekik tak tahan. Persetan dengan para pria yang melotot kaget. Gadis penakut yang tadi gemetar karena menjadi pusat perhatian ini kini malah berteriak seperti manusia goa.


“Onnie... Jangan berteriak, dong! Lihat kerutan di sudut matamu itu! Besok kubelikan krim wajah, ya?”



“YAH PARK HYO JIN!”
“Hyo Jin, berhentilah bermain-main! Kasihan Yu Jin Onnie!”
“Cih… kenapa kakak-kakakku ini selalu berpikiran sempit?” Hyo Jin menarik napas panjang seolah dialah pihak yang dirugikan. Lalu menatapku santai, “Yu Jin Onnie-ku sayang, kau kan bisa buat yang baru. Membuat gambar aneh seperti itu saja pasti bukan hal sulit, kan? Kau selalu menulis Park Yu Jin adalah graphic designer yang berbakat dan profesional’ di belakang pintu kamar dan lemari. Inilah waktunya kau membuktikan bualanmu itu.”


BUALAN KATANYA?


Untuk mengontrol emosiku yang meluap-luap, aku tak langsung membalas ucapan tak berpendidikannya dan menghitung satu sampai tiga dalam hati. Katanya berhitung dalam hati bisa meredakan emosi.


“Adikku sayang, masalahnya adalah…… kantorku dan mitranya ini sudah deal, dan uangnya sudah ditransfer ke rekeningku tadi pagi.”


“Berapa?”
“800 ribu won.”
“Kalau begitu batalkan saja yang itu. Kita kan akan mendapat yang satu juta.”
“Enak saja kau bicara! Yang ini tak bisa dibatalkan.”
“Kenapa tak bisa?”
“Kalau kubatalkan, aku bisa dipecat dari kantorku. Kalau aku dipecat, memangnya kau mau makan apa, huh?” Hyo Jin memutar matanya, sementara Jin Ah mengelus-elus pundakku memberi kekuatan. Keluarga kami memang sangat kacau. 


Kami bertiga sudah tinggal tanpa orangtua semenjak Hyo Jin masih berumur 2 tahun. Saat itu, kami yang sedang berwisata dengan mobil mengalami kecelakaan. Aku yang masih berumur 7 tahun, Jin Ah, serta Hyo Jin yang duduk di pangkuanku terlempar dari mobil, sementara orangtua kami terjebak di dalam. Kemudian, mobil yang lepas kendali itu menabrak bebatuan Inwangsan yang curam lalu terbakar begitu saja.


Kami hidup tunggang langgang di panti asuhan selama dua bulan sebelum akhirnya dijemput oleh bibi yang tinggal di Amerika. Dengan berbagai pertimbangan, bibiku yang super sibuk memutuskan untuk membelikan kami rumah lengkap dengan pengasuhnya. Lantas kembali ke Amerika. Setiap bulan, transferan uang dari Amerika selalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari kami. Biasanya uang itu akan habis di akhir bulan untuk membeli susu formula Hyo Jin, atau iuran sekolahku dan Jin Ah.


Kehidupan kami yang sebenarnya tidak bisa dikatakan menyedihkan itu berlanjut hingga aku berumur 20 tahun dan mendapat pekerjaan. Bibi berhenti mengirimiku uang dan semua kebutuhan menjadi tanggunganku. Ini bukan permintaan siapa-siapa. Aku yang saat itu merasa sudah mampu dan juga bibi yang memiliki masalah sendiri berbicara lewat telepon dan sepakat untuk memberhentikan transferan uang yang berlangsung selama 13 tahun. Kami benar-benar beruntung.


“Pokoknya kau harus mengurusnya. Jangan biarkan restoran daging itu memakai logonya!”
“Lalu satu jutanya bagaimana?”
“Tidak ada satu juta. Kupatahkan lehermu jika mereka memakai logoku.” Tanganku bergerak lihai mengambil sedotan di gelas jus entah-milik-siapa dan menekuknya dengan ekspresi mengancam. Hyo Jin mendengus.


Saat itu, mendadak aku teringat kalau kita tidak sedang bertiga saja, melainkan ada beberapa pria lain yang ikut duduk di meja ini. Pelan-pelan aku meletakkan kembali sedotan di gelas milik salah satu pria tadi. Aku tak berani menatap mata mereka secara langsung. Mereka pasti sudah punya penilaian buruk untuk keluarga kecil kami karena kejadian barusan. Aku cuma bisa menoleh pada Jin Ah yang sudah putus asa. Setelah aku mengancam akan mematahkan leher Hyo Jin, semua orang di meja ini tak ada lagi yang mau membuka mulut. Semuanya mulai terlihat resah dan pura-pura menyibukkan diri. Jujur saja mereka semua terlihat konyol.


Setelahnya, karena suasana yang terlanjur kaku ini tak bisa diapa-apakan lagi, satu per satu para pria itu pamit dengan beragam alasan.



***********



Begitu aku berhasil membuka kunci rumah, Jin Ah yang biasanya selalu berjalan dengan anggun dan tertinggal di belakang kini menerobos jalanku dan masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata-kata. Sedikit banyak aku merasa bersalah padanya. Acara perjodohan atau kencan buta atau apalah tadi merupakan idenya.


Adikku yang satu itu, Jin Ah, memang memiliki impian unik. Menikah muda. Apa menikah muda bisa dikatakan impian unik? Aku sendiri juga tak yakin. Tapi setidaknya Hyo Jin dan aku sepakat menyebutnya berlebihan untuk yang satu ini. Bukankah jodoh sudah ditetapkan Tuhan? Apa dia ingin segera menikah karena takut jodohnya direbut orang lain? Hah, baiklah, sebaiknya aku tak perlu berbohong sambil bersembunyi di belakang nama Jin Ah begini, karena sejujurnya akulah yang berpikir seperti itu. 26 Tahun memang belum bisa dikatakan ‘terlalu tua untuk menikah’. Masalahnya, di umurku yang sangat matang ini, belum memiliki kekasih merupakan hal yang gawat. Tunggu! Sepertinya aku bahkan tidak memiliki ‘seseorang’ yang kusuka. Ya Tuhan!


Jin Ah mengatakan ingin menikah muda sejak 3 tahun lalu. Saat itu, setelah pulang kuliah tiba-tiba saja Jin Ah datang menghampiriku dan berkata ‘tolong jangan kaget jika aku membawa pria ke rumah dan meminta restu untuk menikah’ dengan ekspresi yang sangat serius. Lantas masuk ke dalam kamarnya begitu saja, meninggalkanku yang syok berat. Aku benar-benar penasaran apa yang dikatakan teman atau dosennya sampai-sampai ia berpikir seperti itu, padahal setahuku dia juga belum memiliki kekasih.


Setelah kejadian itu, Jin Ah terus membicarakan mengenai impiannya ini pada kami saat di meja makan-satu-satunya tempat di mana kami bertiga bisa berkumpul dan berbincang walau hanya beberapa menit. Jin Ah mengatakan bahwa menikah muda dan memiliki anak yang jarak usianya tidak terlalu jauh adalah hal yang baik. Ia ingin jalan-jalan di mall dan bertemu orang asing yang bilang ‘apa kalian berdua adik-kakak?’. Tapi masa iya tujuan utama dari keinginan menikah mudanya itu adalah agar dikira ‘kakak-adik’ dengan anaknya? Konyol sekali.


Kemudian beberapa bulan yang lalu Jin Ah yang belum juga mendapat calon itu mendaftarkan kami bertiga ke acara perjodohan di internet. Tentu setelah sebelumnya meminta izin padaku dan Hyo Jin. Aku langsung menyetujuinya karena alasan ‘gawat’ yang sudah kusebutkan, sementara Hyo Jin setuju untuk bermain-main saja. Kami menunggu giliran untuk kencan buta ini selama hampir dua bulan, dan ternyata semuanya berujung pahit seperti ini.


“Heh! Ini gara-garamu! Minta maaf padanya.” Hyo Jin yang baru berjalan melewatiku itu tak sedikit pun menoleh dan melangkah lurus ke kamarnya.


Untuk kali ini, aku tak tinggal diam. Dengan keahlian berjalan cepatku, aku berhasil menangkap gagang pintu kamarnya yang hampir tertutup.


“Mau apa lagi?”
“Kau minta maaf padanya,”
“Untuk apa? Aku malah ingin memarahinya gara-gara mengajakku ke acara bodoh seperti itu.”
“Walaupun menurutmu itu bodoh, tetap saja acara tadi sangat berarti untuk Jin Ah.”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kok.” Tiba-tiba saja suara Jin Ah yang sendu terdengar dari belakang. Aku langsung berbalik. Walaupun ia bilang ‘aku baik-baik saja’ tapi wajahnya itu seperti mengatakan ‘hatiku hancur berkeping-keping, nanti malam aku akan bunuh diri saja’. Hyo Jin menyandarkan punggungnya di sisi pintu sambil bersedekap.


“Aku juga berpikir begitu. Tapi Yu Jin Onnie tetap mengira kau sedang depresi. Memangnya apa yang perlu disesali? Pria-pria tadi sama sekali tak masuk standar pria lumayan.” Seketika wajah Jin Ah kian muram. Hyo Jin yang tidak peka tentu saja tidak bisa memahami ekspresi itu.


“Kau benar,” ucap Jin Ah ketus sebelum berbalik lagi ke kamarnya. Aku yang tak mau ambil pusing pun ikut masuk ke dalam kamar. Begitu pula Hyo Jin. Kami bertiga membanting pintu kamar masing-masing dengan kompak.



**********



Pukul 8 malam, aku yang kelelahan karena berjalan kaki dari halte langsung menghempaskan diri di sofa. Saat aku sedang terengah-engah menarik napas, tiba-tiba saja pintu masuk kembali terbuka. Aku langsung menegakkan badan. Hyo Jin masuk sambil menenteng 3 paper bag di masing-masing tangan.


“Hei Onnie…. Tumben sekali masih duduk-duduk di sofa! Biasanya jam segini sudah tidur.” Walaupun ia terlihat santai saat mengucapkannya, nada bicaranya tetap saja terdengar panik. Aku menyipitkan mata.


“Dari mana kau mendapat…..”
“Aku habis belanja, nih. Lelah sekali. Besok saja mengobrolnya, ya.” Hyo Jin langsung mengambil ancang-ancang untuk berlari. Namun kalah cepat dengan kegesitan kaki dan tanganku. Aku berdiri dan menangkap tangannya. Hyo Jin meringis.


“Dari mana kau mendapat uang untuk membeli SEMUA ITU HUH?” Nada suaraku meninggi secara alami di akhir kalimat.


“Onnie, aku beli high heels untukmu loh.”
“Benarka…… YAAA! JANGAN MENGALIHKAN PERTANYAAN!” Dia benar-benar tahu kelemahanku. Sial! Hampir saja aku masuk ke dalam jebakan rubah ini.


“Cih, kenapa masih bertanya? Tanpa kuberi tahu kau pasti sudah tahu, kan?”
“DASAR RUBAH BETINA! INI SAMA SAJA SEPERTI KAU MENJUAL PEKERJAANKU HANYA UNTUK SATU JUTA! DASAR MATA DUITAN!” Teriakanku berhasil membuat Jin Ah yang sudah memakai piama keluar lagi dari kamarnya.


“Ada apa ini?”
“Hyo Jin, bukankah kita sudah membicarakan hal ini kemarin?” Aku mengusap wajahku dan berusaha membicarakan hal ini baik-baik.


“Ada apa, sih?” Jin Ah berteriak mengulangi pertanyaannya. CIH,… DIAMLAH!
“Onnie, ini bukan salahku sepenuhnya! Saat aku baru masuk, tiba-tiba saja aku diberi amplop dan disodorkan dokumen untuk ditandatangani. Memangnya aku bisa apa jika dihadapkan dengan situasi seperti itu?”


“YA DITOLAK LAH! DASAR BODOH!”
“ONNIE CUKUP! TADI KAU MEMANGGILKU RUBAH BETINA, SEKARANG BODOH! MENURUTMU KAU SUDAH SANGAT SEMPURNA, YA?”


“Park Hyo Jin, aku tak tahu bagaimana caranya bicara denganmu. Tapi kau harus tahu jika aku bisa dipecat gara-gara ini. Tolong jangan seenaknya begitu.” Walaupun masih bicara dengan ketus, aku menurunkan nada bicaraku dan menarik napas berulang-ulang. Mata Hyo Jin berkaca-kaca, tak terima disalahkan. Lalu aku harus menyalahkan siapa? Diriku sendiri? Yeah, sepertinya begitu! Harusnya aku tak menaruh design penting di komputer rumah.


“Jadi Onnie mau aku melakukan apa sekarang? Aku minta maaf padamu.” Hyo Jin menundukkan kepalanya dan terisak meminta maaf. Jin Ah yang berdiri di tengah-tengah kami mengusap punggungku selama beberapa saat sebelum akhirnya mengusap punggung Hyo Jin. Mungkin ia sendiri juga bingung harus menenangkan siapa. Dalam kasus ini, aku adalah korban yang tegar sementara pelakunya justru menangis tersedu-sedu.


“Maaf? Seandainya maafmu itu bisa memperbaiki ini.” Aku menggeleng frustasi dan berlalu meninggalkan ruang tengah. 


Dan setelah itu, aku malah bisa-bisanya merasa bersalah pada Hyo Jin dan tidak tidur semalaman. Apa aku menyakiti perasaannya? Apa dia masih menangis sekarang? Apa high heels yang ia beli untukku branded dan mahal? Mungkin karena sudah lama ditinggal orangtua, masing-masing dari kami sudah seperti memainkan peran keluarga inti. Dan aku lah yang bertindak sebagai ayah. Malam ini aku terlihat seperti seorang ayah yang mengomel karena anak gadisnya pulang malam lalu pada akhirnya merasa tidak enak sendiri sampai tak bisa tidur. Marah karena sayang itu berbeda, pasti rasa bersalah seperti ini akan selalu menyertai. Menyusahkan.



**********



Suara melengking atasanku masih terngiang di telinga, padahal ini sudah dua jam sejak aku meninggalkan ruangannya. Walaupun atasanku bilang akan mengurusnya, tapi gajiku tetap akan dipotong 50% selama delapan bulan ke depan untuk melunasi biaya ganti rugi yang luar biasa. Ini benar-benar gila! Penghasilanku hanya 2 juta won per bulan dan sekarang akan dipotong 50% selama 8 bulan. Ini sama sekali tak sebanding dengan uang yang didapat Hyo Jin. Bahkan uang 800 ribu yang sudah masuk rekeningku itu pun harus dikembalikan. Hanya dengan membayangkan bagaimana caranya membiayai tiga orang wanita ditambah dengan kebutuhan lain seperti air, listrik dan telepon membuat kepalaku hampir pecah. Bagaimana ini? Uangnya tak akan cukup. Apa selama 8 bulan itu lebih baik aku bekerja sambilan juga? Cih, tunggu dulu! Kenapa semuanya harus aku? Lalu apa yang akan dilakukan dua orang pengangguran itu?


Walaupun Jin Ah sudah mengirimkan lamaran kerja ke mana-mana, ia yang bergerak terlalu anggun itu sering membuat orang yang mewawancarainya menggeleng-geleng.  Dengan kata lain, ia selalu gagal dalam wawancara.


Kalau sudah begini, rasanya aku ingin ikut masuk ke dalam ruang wawancara itu dan mempromosikannya. Walaupun Jin Ah terlihat tak bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, tapi percayalah ia bisa. Bahkan pekerjaannya pun rapi seperti buatan mesin. Dia ini sudah seperti sosok ibu di keluarga kami. Dia yang memasak, mencuci, dan menyetrika. Walaupun semuanya tidak pernah kelihatan benar di awal, tapi entah bagaimana hasilnya selalu menakjubkan. Masakannya selalu berhasil memuaskan lidah dan baju-baju kami juga terlihat bersih hingga layak dipajang di etalase mall Dubai.


Saat sedang memikirkan itu, tiba-tiba saja suara ‘sruuupp’ dari Americano-ku terdengar. Ternyata cairan di dalamnya sudah tinggal secenti lagi dari dasar gelas. Kenapa cepat sekali? Apa aku meminumnya terlalu cepat? Atau ukuran cup-nya semakin kecil? Aku menghela napas dan menyandarkan badan. Saat itu lah atasan yang tadi mengomeliku datang, aku yang duduk persis di depan kasir otomatis berdiri dan menyapanya hormat.


“Ahhh~ Yu Jin.”
“Selamat siang.”
“Sepertinya aku tidak jadi memotong gajimu.”
“B-benarkah?”
“Aku sudah meneleponnya dan dia tidak ingin uang ganti rugi.”
“Astaga~ benar-benar seorang malaikat.”
“Hahaha. Aku tidak yakin di zaman seperti ini masih ada malaikat.” Aku yang terlalu senang hanya bisa tersenyum simpul mendengar ucapannya. Kalau bukan malaikat, maka siapa? Dia menyelamatkan hidupku yang nyaris suram selama 8 bulan. Dia….


“Dia ingin kau membuat design baru dan bekerja di sana sebagai ganti rugi.”
“Hah?”
“Mereka sudah membuat banner. Logo itu pun sudah dicetak di mana-mana, di kaos-kaos pelayan, topi, papan nama restoran dan semuanya. Lalu tiba-tiba aku meneleponnya dan bilang logo itu akan dipakai restoran lain. Dia rugi banyak sekali.”


“Maksud Bapak, saya akan bekerja di sana? Selamanya?”
“Kalau sudah rugi sebanyak itu, coba kau pikirkan sendiri saja berapa lamanya,”
“Tapi aku dibayar, kan?”
“Tentu saja.”
“Lalu apa poinnya? Aku tetap akan dibayar? Ganti rugi macam apa ini?”
“Hei, kau ini benar-benar beruntung, tapi masih saja mengeluh. Aku hanya mengikuti apa keinginannya, saat aku menawarkan uang ganti rugi, ia malah menanyakan siapa designer logo itu dan memintamu membuat logo baru dan bekerja di sana.”


“Pasti ada yang tidak beres.”
“Setidaknya kau tidak perlu pusing memikirkan gaji kecil selama 8 bulan, kan? Lagi pula ini bagus! Perusahaan kita juga jadi terbebas dari biaya ganti rugi.”


“Ini sama saja seperti Bapak mengorbankan saya, ya? Seperti dijadikan tumbal.”
“Hahaha. Tumbal, ya? Boleh juga. Yang memiliki andil paling besar dalam kegagalan proyek ini memang pantas dijadikan tumbal.” Aku mendengus. Mendengar pria tua ini bicara dengan santai dan tertawa riang malah membuatku semakin kesal. Mau diucapkan dengan cara apa pun, tetap saja isinya adalah sindiran.


“Jadi aku akan bekerja di restoran daging itu mulai kapan?”
“Itu bukan restoran daging.”
“Lalu?”
“Ini adalah perusahaan besar yang awalnya fokus di bidang mebel. Brand J’S sangat terkenal hingga akhirnya membuka cabang di seluruh Asia dan merambah bisnis lain seperti fashion, percetakan dan kuliner.”


"Apa maksud Bapak?"
"Kau akan bekerja di sana?"
"Di mana?"
"J'S."
"DI MANA???" Yu Jin berteriak. “J'S? AKU AKAN BEKERJA UNTUK J’S?”


TBC


Halo halo^^ aku bawa series baru.


Nah lo ko cewe semua? Mana cowonya? Tenang…. Ini baru prolog, baru pengenalan… cerita sebenernya baru akan mulai pas Yu Jin kerja di J’S. Kalo kalian bingung siapa sebenernya peran utamanya? Peran utamanya itu adalah Yu Jin, tapi nanti supaya ga terlalu monoton, bakalan aku selingin sama storyline Jin Ah dan Hyo Jin + pasangan mereka masing-masing. Mungkin udah ada satu pemeran cowonya yang ketebak ya, yep… satu anak lama (kl kalian udah sering baca cerita-cerita aku kalian pasti tau siapa. Hint : Tunangan akuh) sementara dua orang lagi adalah anak baru alias belom pernah jadi cast di GIGS. Penarasan? *hening*


Part 1-nya coming soon^^

Comments

  1. Aaaaaa hyo jin masih seperti anak kecil yaa,. :D
    tapi dia bisa menarik semua laki",. :D keren,. >.<

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts