Let Love Lead part 7





“Yu Jin-ssi, ikut ke ruanganku!”


Aku dan Yesung saling melempar pandang, sebelum akhirnya mau tak mau melangkah mengikuti bos super aneh itu.


“Hanya Yu Jin,” ucap James tanpa berbalik. Kami berdua berhenti melangkah dan saling berpandangan lagi. Serius, apa yang ia inginkan dariku?


“Tapi kenapa hanya Yu—aww.” Aku langsung menyikut perut Yesung. Anak ini mau bunuh diri, ya? Bagaimanapun James adalah pemegang jabatan tertinggi perusahaan ini. Ia tak butuh menjelaskan kenapa ia hanya memanggilku pada karyawan yang baru diterima kerja kemarin.


“Aku akan baik-baik saja,” bisikku pelan, lantas kembali mengikuti James sampai ke ruangannya.



**********



Ruangan ini terasa begitu segar. James yang terlihat serius di depan laptop itu juga terlihat segar. Ya.. dia memang sangat dingin, tapi justru aura dinginnya itulah yang membuatnya terasa menyegarkan. Aku sudah pernah bilang jika pria ini adalah bos muda yang tampan, pintar dan berkarisma. Tak perlu memiliki kemampuan membaca pikiran untuk mengetahui impian terselubung semua karyawati di sini. Mereka menginginkan James, atau setidaknya ingin dilirik sebagai lawan jenis olehnya. Tapi sikap James yang dingin dan kaku seperti es balok itu memberikan kesan tak terjangkau. Seolah dia sudah membangun tembok antara ia dan semua gadis di sini. Entah rasa profesionalitasnya yang terlalu tinggi atau memang ia tidak suka perempuan. Aku juga tidak tahu.


Sreeeeet Sreeeeeeet


Aku dan James menoleh kompak pada pintu masuk. Yesung sedang menempelkan mukanya pada kaca di sebelah kiri pintu. Astaga! Apa yang dia lakukan? Dia tahu kan ini kaca satu arah? James mengerutkan kening, lengkap dengan tatapan aneh yang tertuju lurus padanya.


“Sepertinya dia ada urusan dengan saya. Langsung saja, Sajangnim, kenapa Anda menyuruh saya ke sini tapi malah sibuk sendiri? Ini sudah lewat sepuluh menit,” ucapku, sengaja memotong tatapannya.


Sreeeeeet


Padahal aku sedang membantu anak itu agar tidak dianggap aneh oleh James, tapi ia malah… haish. Dan sekarang James kembali mengalihkan tatapannya ke objek di belakangku. Yesung berpindah ke kaca sebelah kanan. Masih menempelkan muka dengan kedua tangan yang melengkung dari pelipis ke dahi. Dia mau mengintip? Sejeli apa pun matanya, ia tetap hanya bisa melihat bayangan mukanya sendiri. Aku menghela napas. Yesung benar-benar konyol dan kekanakan sampai aku bingung kenapa aku bisa menyukainya. Aku menghembuskan napas putus asa sebelum kembali menoleh kepada James. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati pria itu sudah berdiri menyandar di meja persis di hadapanku.


“Maria sudah...” Ucapannya terhenti. Pintu ruangan sekertaris di sebelah ruangan ini tiba-tiba saja menjeblak terbuka, Maria yang bercucuran air mata masuk ke dalam sana dengan langkah kasar. Lalu sebelum pintunya tertutup, Yesung yang tadi sedang mencoba mengintip ikut masuk dan menyeret Maria keluar dengan terburu-buru. Kejadian tersebut berlangsung sangat cepat, aku dan James cuma bisa terdiam, tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Atau mungkin hanya aku yang tak mengerti. Aku kembali menoleh pada James, menuntut penjelasan, tapi ternyata dia sudah kembali memerhatikanku, entah sejak kapan.


Begitu kembali mendapat perhatian, James kembali membuka mulut.


“Maria berbuat banyak keteledoran akhir-akhir ini dan seperti yang kau tahu, aku paling tidak suka dengan karyawan yang tidak disiplin seperti itu. Terlebih dia sekertarisku. Seharusnya dia bisa bekerja dengan lebih fokus.” James berdeham. Rasanya aku mengerti apa yang terjadi, rasanya aku mengerti kenapa gadis blasteran Inggris itu menangis.


“Kau memecatnya!” tudingku langsung.
“Tidak,” jawab James kalem, kali ini sambil menyedekapkan tangan. “Aku mulai berpikir jika sepertinya ia sudah lelah mengurus semua jadwalku. Jadi aku menempatkannya di posisi lain.”


“Lalu? Apa urusannya denganku? Kau mau aku menenangkan dia?”
“Menenangkan? Kurasa pria tadi sedang menenangkannya.” Gaya bicaranya terdengar sangat santai, bahkan ia turut menyelipkan seringaian puas saat bicara. Aku nyaris tak menangkap karisma CEO yang biasa ia pancarkan, kali ini hanya karisma pria tampan biasa. Seperti kau punya tetangga keren di samping rumah.


“Aku ingin kau menggantikannya.”
“Huh? Aku? Kenapa aku? Aku tak punya pengetahuan apa pun soal dunia sekertaris. Sama sekali tidak mengerti. Nanti yang ada malah jadwalmu makin berantakan.”


“Maria juga tak punya latar belakang apa pun soal dunia sekertaris. Untuk mengurus jadwal saja kau tak perlu belajar sampai sarjana. Lagi pula sebenarnya J’S tak membutuhkan tim desain. Tim itu baru kubentuk saat kau masuk. Dan sekarang, karena pekerjaan kalian semakin tak jelas, aku akan membubarkan seluruh tim desain.”


“Apa? Dibubarkan? Astaga mentang-mentang bos seenaknya sekali sih! Lalu kenapa menarikku bekerja di sini kalau sebenarnya tidak dibutuhkan?”


“Bisakah kau tahan sedikit nada bicaramu? Sial! Aku ini—“
“Bos?” potongku jengkel, “barusan kau mengumpat loh! Kau mengatakan ‘sial’ tepat di depan mukaku.”


“Benarkah? Aku bilang begitu?” Aku mengangguk kuat-kuat.
“Uhuk… oh, itu karena—“ Melihat James yang tengah mencari-cari alasan sambil memegangi tengkuk itu membuatku merasa menang. Ternyata manusia ini bisa dikalahkan juga. 


“Bukannya tidak hormat pada atasan, tapi aneh rasanya bicara formal padamu. Kau terlalu muda. Kelahiran tahun 88, kan? Aku 89.”


“Luar biasa. Benar-benar pemberani.” James mendecakkan lidah, lalu tersenyum kecut menatapku. “Baiklah, untuk keberanian yang luar biasa itu, kau kuberi reward.
“Serius? Reward apa?”
“Kau kuperbolehkan bicara banmal denganku.”
“Eh? Begitu kau sebut reward?” Aku sama sekali tak merasa sedang diberi hadiah.
“Ya. Dengan syarat tak boleh ada karyawan lain yang tahu.” James menyambung ucapannya dengan ekspresi serius.


“Untuk apa juga aku memberi tahu yang lain? Yah… terserah! Sekarang jawab pertanyaanku yang tadi, kenapa kau memintaku bekerja di sini jika tidak dibutuhkan?”


“Karena kau desainer hebat,” jawabnya enteng, membuatku tertawa.
“Hebat katamu? Aku cuma budak photoshop dari perusahaan kecil. Berhenti mengada-ada. Semakin lama kau semakin aneh saja.”


“Ya, cuma budak photoshop dari perusahaan kecil. Tapi percaya atau tidak, aku mengetahui semua karyamu.” Aku terperangah sebentar sebelum menggeleng sambil mengumbar senyuman  ‘kau pasti bercanda’.  James berdiri tegak dan menatapku dengan ekspresi terhibur.


“Aeroticket, Stonewatch, Novello, Oxymul, Phocas dan uh haruskah kusebut semuanya sampai kau percaya?” Rasanya seperti jatuh dari gedung 500 lantai lalu mendarat dengan mulus di atas kapas. Darahku berdesir bahagia mendengar semua brand kurang populer itu tertutur cantik dari mulutnya.


“J-jadi kau benar-benar... fansku?” tanyaku hati-hati.
“Aku tak yakin kau boleh menyebutku begitu.”
“Okay, apa pun sebutannya, bagaimana bisa kau mengetahui semua brand itu?” Aku bertanya dengan napas tercekat. Tak mengira bicara ternyata bisa sesusah ini.


James menyedekapkan tangan. “Tenang saja. Kuceritakan semuanya sedetail mungkin. Asalkan kau janji dulu!” Ia tersenyum manis sambil mengulurkan tangan yang tadi disedekapkan itu, “jadi sekertarisku,” sambungnya, masih dengan senyum yang sama.


Ini bukan masalah mau tak mau atau suka tak suka, sesungguhnya yang lebih menarik perhatianku sekarang adalah fakta bahwa pimpinan tertinggi J’S mengenal logo buatanku. Apa ada yang lebih mengesankan dari itu? Aku tak mungkin menolak untuk mendengar ceritanya hanya karena tidak mau jadi sekertaris. Lagi pula aku benar-benar penasaran, maksudku, hei aku cuma Park Yu Jin, bagaimana bisa orang sekelas James Lee bisa lebih dulu mengenalku? Jujur saja perkataannya tadi membuatku merasa cukup terkenal untuk memakai hoodie dan kacamata hitam saat membeli kopi di swalayan. Baiklah, mungkin aku benar-benar akan memakai dua benda itu mulai besok.


Walaupun begitu, tetap saja sulit rasanya meninggalkan pekerjaan yang sudah tiga tahun kugeluti ini dan berpindah haluan menjadi sekertaris CEO. Dan mungkin pikiran itu yang membuatku merasa sangat tertekan saat menerima uluran tangannya. James pura-pura tak melihat ekspresi ‘selamat tinggal photoshop, aku akan merindukanmu’ di wajahku dan tetap tersenyum indah. Benar-benar tidak punya hati.


“Oke sekarang ceritakan,” seruku sesegera mungkin.


James yang katanya sangat disiplin itu terlihat jelas sedang mengulur waktu. Ia berbalik perlahan dan duduk di kursinya dengan gerakan yang perlahan juga, lantas berganti posisi dari duduk menyandar ke duduk tegak lalu menyandar lagi sambil terus mempertahankan ekspresi tenang-datar-kalem-aneh- dingin-tampan dan ew semuanya. Pria ini tanpa diduga-duga ternyata menyimpan sejuta ekspresi. Kau hanya perlu mengenalnya sedikit lebih lama dan BOOM! Lihatlah betapa bipolarnya James Lee itu. Aku tak akan terkejut jika suatu hari nanti ditemukan video James sedang karaoke sambil menangis atau berteriak-teriak mengabsen seluruh karyawan J’S untuk dimaki satu per satu.


“Sebenarnya aku baru mengenalmu setahun yang lalu. Saat itu ban mobilku pecah dan aku terpaksa harus menggantinya di bengkel pinggir jalan.” James  menjeda, menatapku seolah sedang menahan tawa. Oh astaga! Aku sudah berusaha sekuat tenaga memasang ekspresi datar, tapi sepertinya keantusiasan terpendam yang menggebu-gebu ini masih terlihat jelas. Well, ia sedang bercerita tentang AKU! Jika kau jadi aku, apa mungkin kau tidak antusias? Aku mendengus, merobohkan wajah datar itu dan dengan ketus berucap, “lalu?”


“Lalu mereka memberiku minuman. Dan kau tahu minuman apa itu?”
“Minuman dengan logo buatanku?”
“Tepat. Minuman beroksigen itu! Oxymul! Itu kali pertama aku mendengar brandnya.”
“Ya, ya, ya aku tahu brand itu tak terkenal, tidak seperti J’S, iya kan?”
“Hahaha…. Kau kenapa? Tentu saja tidak seperti J’S, tapi bukan itu intinya…..”
“Kau mau bilang kau terpesona dengan logoku?”
“Begitulah. Aku butuh sekitar 10 menit untuk mengerti apa maksud logo itu.” James tersenyum menerawang. “Garis kuas berbentuk wadah itu, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Impresif.”


“Tunggu! Jadi kau tahu makna logo itu?”
“Ya, uh, mungkin, entahlah. Koreksi aku jika salah.” James mengangkat telunjuknya sebelum memperagakan bentuk wadah dengan kedua tangannya. “Logo itu berbentuk wadah. Di dalam wadah itu ada tumpukan kristal heksagonal. Menurutku itu adalah ide yang brilian untuk menunjukkan kualitas airnya, bukan sekadar gambar tetesan air saja, tapi dengan pola heksagonal itu… kau menunjukkan sesuatu yang baik.” Aku tersenyum mendengar penuturannya. Dia sepenuhnya benar soal ‘mengapa aku menggambar Kristal heksagonal di situ’,  tapi apa dia mengerti juga soal…..


“Bukan itu saja! Ada gambar tersembunyi di balik gambar sederhana itu.” Aku menelan ludah. Kalau sampai ia tahu soal gunung yang tersembunyi itu aku benar-benar akan... “Saat kau meneguk air dalam botol itu, kau akan melihat sebuah...”


“gunung,” desahku takjub.


James bicara seperti seorang detektif.


“Tepat.”


Ia menjentikkan jari.


“Gunung bersalju. Kau sengaja membentuk garis wadah itu menjadi sedikit mengerucut di bawah. Kau sengaja membuatnya seperti itu agar ketika logo itu dibalik, orang-orang bisa menemukan bentuk yang jauh berbeda. Sebuah gunung. Dan jangan lupakan kristal heksagonalnya! Mereka menjelma menjadi titik salju yang sempurna.” James tersenyum kagum dengan wajah yang lagi-lagi terlihat menerawang. “Wadah air di posisi normal, lalu gunung salju saat dibalik.”


“Itu yang ingin kau sampaikan. Oxymul adalah minuman dengan kualitas air yang baik, yang membuatmu merasakan sensasi dingin dan segar seperti berada di gunung bersalju.”


James menyunggingkan senyum puas, sementara aku terpukau luar biasa sampai tidak bisa bergerak. Ini pertama kalinya ada yang mengerti logo itu tanpa harus kujelaskan.


“Satu lagi. Kau juga memanfaatkan ruang negatif di antara gambar. Jika dilihat lebih teliti, sebenarnya ada tulisan ‘oxymul’ di sana. Aku benar, kan?”


“Astaga! Bagaimana bisa—ya ampun!” teriakku tak tahan. “Aku memikirkan logo itu selama 10 hari dan kau bisa memecahkannya sendiri dalam 10 menit.” James setengah tertawa sambil menyatukan jemarinya.


“Aku menyukai logo-logomu karena itu. Karena apa yang kau gambar ternyata tidak sesederhana yang terlihat. Aku benar-benar puas setiap kali bisa mengerti apa maksud logomu.”


“Dan Sajangnim, aku bahkan lebih puas lagi mendengarmu bicara begini.” Mataku pasti sudah berkaca-kaca sekarang. 


“Setelah itu, karena terlalu kagum," lanjut James, "aku menyuruh bawahanku untuk mendatangi perusahaan air minum itu dan menanyakan siapa yang mendesain logonya.”


“Apa? Ya Tuhan! Kau sungguh melakukan itu?”
“Kau ingat apa kata adikku waktu itu?”


Aku mengerutkan kening, memaksa otakku yang sedang berbunga-bunga ini untuk kembali mengingat perkataan bocah serampangan waktu itu. Sial, sepertinya bunga di kepalaku terlalu banyak sampai tak ada satu kata pun yang teringat, aku memejamkan mata kuat-kuat. “Hati-hati distalk lagi?” ucapku dengan nada bertanya—sembari membuka mata.


Saat itu, James sudah meletakkan sebuah kliping mencurigakan persis di depanku.


“Sebenarnya aku tidak menstalkmu, aku menstalk logo-logomu yang sederhana tapi bermakna itu. Aku suka memecahkan maknanya sendiri seperti detektif. Aku hanya merasa seperti... diajak bermain?”


Aku tak tahu harus menjawab apa dan hanya mendengarkannya sambil membalik halaman kliping itu satu per satu. Semua logoku dari tiga tahun yang lalu berkumpul di situ. Nyaris semuanya.


“Aku mengenalmu seperti ini sejak insiden oxymul itu. Aku mengagumi sebuah karya tanpa tahu wajah penciptanya sama sekali. Aku cuma tahu desainer Yu berada di bawah naungan perusahaan mana, lalu meminta perusahaan itu membuatkan logo untuk restoranku. Dan beruntung, dari semua desainer logo di sana, desainer favoritku lah yang turun tangan langsung dan yang lebih beruntung lagi, kau berbuat kesalahan fatal. Walaupun merugikanku cukup banyak, setidaknya aku jadi punya alasan untuk menarikmu ke sini.”


Rasanya lebih mendebarkan daripada mendengar pengakuan cinta. Bahkan aku sampai tak bisa menarik napas dan terus-terusan terkesiap.


“Kau…. psikopat. Sungguh.”


Sejujurnya dibanding psikopat, aku lebih senang menjulukinya sasaeng fans. Sasaeng fans yang membuatku terharu. James tertawa bersahaja seperti biasa, aku mencoba ikut tertawa.


“Tapi Yu Jin-ssi, sepertinya ada yang berubah darimu akhir-akhir ini. Yah, setidaknya enam bulan belakangan ini.”


“Kau merasakannya juga?” Aku nyaris berdiri dari kursi.
“Ya. Logomu akhir-akhir ini menjadi agak—“
“Mainstream! Aku tahu. Tapi mau bagaimana lagi? Sebagai penjual jasa tentu saja aku harus mengikuti selera pasar. Lagi pula apa gunanya punya makna jika tidak ada yang mengerti?”


“Tidak ada yang mengerti? Lalu menurutmu aku ini apa?” sergahnya.
“Nah... aku juga sedang mempertanyakan itu. Kau ini sebenarnya makhluk apa? Ini kali pertama ada yang mengerti tanpa harus kujelaskan. Dan rasanya benar-benar... memuaskan.”


“Oh, ya? Pertama kali?” Ia terdengar sangsi. Aku menghela napas sambil meletakkan kliping itu kembali.


“Pertama kalinya yang sampai di telingaku. Yang lain aku tidak tahu.”
“Aku masih berharap kau kembali ke aliranmu. Aku yakin banyak yang menyukainya. Kau tahu, sebagai fans aku merasa kehilangan.”


“Hahaha... kau menyuruhku kembali ke aliranku? Apa artinya bicara begitu untuk sekarang? Berubah pikiran untuk membubarkan tim desain, huh?”


“Tentu saja tidak. Aku sudah memikirkan divisi mana saja yang sesuai untuk masing-masing dari kalian. Dan kau,” James menudingkan telunjuknya tepat ke arahku, “sekertarisku.”


“Tapi bagaimana dengan Maria? Aku tidak mau Maria jadi—“
“Kau tak perlu mengkhawatirkan Maria. Jika kau tidak bisa lebih baik darinya, aku akan menyuruh dia kembali,” oh? Begitu? Berarti itu mudah, aku tinggal…. “dan memecatmu,” sambungnya tenang.


“Apa?”
“ME-ME-CAT-MU. Mana yang tak bisa kau pahami?”
“Ei! Mana bisa?”
“Jika tidak ada tim desain lagi memangnya kau mau apa? Tentu saja akan kupecat.”
“YAH!”
“Makanya bekerjalah dengan baik. Jangan sekali-kali berpikir aku tidak mengerti mana yang sungguhan dan mana yang pura-pura bodoh.” Sial. Apa dia adalah James yang sama dengan yang barusan menyebutku desainer favoritnya? Padahal kalimat ‘sebagai fans aku merasa kehilangan’ yang dia ucapkan sambil tersenyum sedih itu masih hangat terbayang. Kenapa dia cepat sekali berubahnya? Cih! Kalau menjadi fans adalah pekerjaan, sudah kupecat dia jadi fansku.



***********



Satu keunggulan yang kuakui dari diriku sendiri adalah bekerja dengan cepat. Aku tak akan memindahkan jariku dari keyboard ke objek mana pun sebelum tugasku selesai. Tidak hanya pekerjaan kantor, sebenarnya itu motto kehidupan sehari-hariku juga. Aku akan mengerjakan apa pun sampai tuntas, tidak ada setengah-setengah. Aku punya rasa tanggung jawab yang besar, nyaris berlebihan sebenarnya.


Aneh sekali rasanya membicarakan kelebihan diri sendiri seperti ini, tapi sejujurnya aku butuh. Jika bukan aku yang mencintai diri sendiri, lalu siapa? Soal ceramah Seunghoon kemarin, ya.. rasanya memang seperti disiram air dingin atau ditampar atau semacamnya, tapi hal itu ternyata tidak berlangsung lama. Toh setelah aku keluar dari ruangannya, semua ucapan Seunghoon juga ikut keluar dari kepalaku. Aku pesimis, aku terlalu berhati-hati dalam segala hal, aku menganggap apa pun sebagai masalah, aku lemah, aku yah…. aku tahu! Aku tahu semuanya. Tapi aku tak bisa mengubahnya seperti membalik telapak tangan. Bahkan sekalipun aku mencoba, aku sudah tahu hasil akhirnya. Oke… Seunghoon dan Mino akan mengomel jika mendengarku bicara begini, tapi memangnya aku bisa apa? Aku tak mengerti dari mana krisis kepercayaan diri ini datang, apa jangan-jangan rasa percaya diriku tertinggal di rahim eomma? Lalu diserap oleh Hyo Jin sampai akhirnya anak itu jadi kelebihan kepercayaan diri seperti sekarang?


Tapi biarlah. Sebenarnya aku tetap menganggap semua sifat itu sebagai poin plus. Aku akan mengubah bagian yang buruknya pelan-pelan. Dan tentu saja akan mempertahankan bagian yang baiknya. Contohnya seperti sekarang, walaupun semua orang di divisiku menyuruhku ini itu sejak pagi, aku tetap bisa menyelesaikan tugasku tepat waktu. Aku bangga dengan diriku sendiri. Ya.. aku bangga.


Aku menoleh pada Jam dinding kayu bergaya minimalis di tengah ruang, jarum pendeknya sudah menunjuk tepat di angka lima. Jam kerjanya sudah habis dan aku bisa pulang sekarang. Aku segera merapikan semua berkas yang memenuhi meja, lalu menyisipkannya di antara map yang bertumpuk. Saat hendak berdiri, seseorang menahan pundakku.


“Kerjamu cepat juga ya, wah!” Suara Hani. Aku menelan ludah. Mendengar suaranya saja membuatku ketakutan. Ini mungkin perumpamaan yang berlebihan tapi setiap kali dia bicara aku merasa seperti sedang dililit oleh ular berbisa. Suaranya—desisan ular khas Seo Hani itu—terdengar mengerikan di telingaku.  Semanis apa pun cara bicaranya, ia tetap saja terdengar seperti sedang mengajak ke neraka.


Aku memberanikan diri untuk menoleh.


“Kenapa memandangku begitu? Apa aku menakutimu?” Bibirnya yang sewarna darah itu tersenyum asimetris. Tipikal mengintimidasi.


“Aku ingin minta tolong,” sambungnya lagi. Kali ini matanya yang bulat besar itu berkedip-kedip. Aku tak tahu harus mengucapkan apa. Oke, sepertinya aku memang tidak perlu mengucapkan apa-apa karena Hani sudah meletakkan setumpuk map setinggi dada di mejaku.


“Aku ada urusan penting jadi harus pulang sekarang,” katanya manis, “kau tidak apa-apa kan jika harus mengetik sedikit lagi?” Aku meringis kecil, sedikit apanya? Ini bahkan melebihi pekerjaanku yang tadi.


“Tidak apa-apa kan, Park Jin Ah?” Hani mengulang pertanyaannya dengan intonasi yang lebih tegas. Ekspresi sok manis yang dibuat-buat itu membuatku makin kehilangan kata. Mungkin ia memang tidak mengucapkannya secara langsung, tapi aku bisa mendengar kalimat ‘kau tidak punya pilihan! Anggukan saja kepalamu’ dari ekspresi wajahnya itu.


“T-tidak apa-apa.” Apanya yang tidak apa-apa? Jemariku sudah letih mengetik selama berjam-jam.
“Nah… begitu! Sesama karyawan memang harus saling membantu.” Hani tersenyum tipis sambil memainkan jemarinya di ujung rambutku, memilinnya ke atas lalu meluruskannya lagi. “Kerjakan yang benar, ya. Jangan sampai ada yang salah. Kau kan rekomendasinya Mino, jadi tolong jangan membuatnya malu lagi.” Ia melepaskan rambutku dan menegakkan badan. Dengan bakat actingnya yang luar biasa, Hani kini mengganti mimik wajahnya menjadi prihatin. Drama apa lagi sekarang?


“Aku menyesal dengan kejadian tadi siang. Andai saja kau lebih berhati-hati, kepala bagian tidak akan mungkin sampai berteriak begitu.” Hani menghela napas dengan berat, seolah-olah kejadian itu adalah murni salahku. Aku menahan diri untuk melakukan atau mengatakan apa pun, bahkan untuk sekadar memindahkan jari saja aku tak berani. Keberadaan Hani membuatku sangat amat tegang. Jauh lebih menegangkan daripada saat sidang skripsi atau interview kerja. Demi Tuhan, kukerjakan dokumenmu, sekarang pergilah!


Hani menepuk pundakku beberapa kali sebelum akhirnya berlalu sambil membenarkan posisi tasnya. Ia menghampiri dua dayang-dayangnya yang sudah menunggu di pintu keluar sebelum akhirnya tertawa kompak. Walaupun hanya bertiga, tapi mereka itu benar-benar heboh. Dan tidak salah lagi, topik pembicaraan mereka pasti adalah aku.


Setelah sekitar tiga jam kembali berkutat dengan kertas dan komputer, akhirnya mataku bisa beristirahat. Semua pekerjaanku, tidak, pekerjaan Hani sudah kuselesaikan. Aku menoleh ke sekeliling. Saking fokusnya aku sampai tak sadar kalau aku sudah sendirian di ruangan kerja, sebagian besar lampu pun sudah dimatikan, hanya bagianku saja yang masih menyala. Ini sudah hampir jam sembilan malam, jadi wajar saja.


Rasanya ingin berteleportasi, aku tak kuat jika harus berjalan ke halte sekarang. Aku tak mengambil istirahat makan siang dan kepalaku benar-benar pusing, aku bisa pingsan jika memaksakan diri untuk pulang dengan kondisi badan seletih ini. Jadi akhirnya aku memutuskan untuk turun ke lantai bawah,  mengambil kopi dan beristirahat sebentar di sana sebelum pulang.


Gedung bank ini benar-benar sepi, bahkan sampai aku tiba di mesin kopi pun tak ada satu manusia yang terlihat. Sambil menoleh waspada ke kanan kiri, aku mengambil cup karton dan meletakannya di bawah mesin, membiarkan cairannya memenuhi cup itu sampai sepertiga.


“Hei.”
“KYAAAAAAAAAAA”
“KYAAAAAAAAAAAAAAAA. Ada apa? Ada apa? Di belakangku ada apa?”
“YAK! Seunghoon! Kau mengejutkanku!”
“Kau yang mengejutkanku! Kenapa tiba-tiba teriak? Aku kan cuma bilang ‘hei’ memangnya mukaku sebegitu jeleknya ya sampai harus diteriaki begitu?”


“Iya, iya, maaf. Kenapa sih sensitif sekali? Sedang datang bulan, ya? Ini kan sudah malam, kukira aku satu-satunya yang tersisa di gedung ini.”


“Ei, tahu darimana aku sedang datang bulan?” Dia memandangku dengan kaget. Wajahnya benar-benar serius sampai membuatku mematung cukup lama.


“Eh? Aku…..” Melihatku yang kebingungan seperti itu, tawa Seunghoon yang sebelumnya ditahan-tahan itu menyembur.


“Astaga Park Jin Ah! Aku kan cuma bercanda, kenapa sih serius sekali?”
“Aku tahu kau sedang bercanda, tapi wajahmu itu membuatku bingung menanggapinya bagaimana! Kalau boleh jujur, aku nyaris percaya kalau kau sedang datang bulan.”


“Astaga! Dasar aneh! Aku pria tulen!”
“Kau lebih aneh.”
“Hahaha... itu sih aku sudah tahu. Omong-omong, kenapa malam-malam masih di sini? Setahuku tidak ada pegawai yang lembur di hari pertama.” Seunghoon mengambil cup kopi dan mengisinya sambil terus memerhatikanku.


“Kau sendiri kenapa masih di sini?” Aku tak mungkin bilang aku mengerjakan pekerjaan orang lain pada Seunghoon. Dia pasti akan menceramahiku lagi.


“Aku? Aku memang selalu pulang jam segini. Biasanya aku dan Mino akan mengobrol dulu di situ sampai jam sembilan.” Seunghoon menunjuk deretan kursi di belakang kami.


“Mino? Jadi Mino juga masih di sini sekarang?”
“Sayang sekali, dia sudah pulang. Tadi Hani tiba-tiba merebutnya dariku.” Pria itu menampilkan ekspresi cemburu yang dibuat-buat, lantas menyeruput kopinya.


“Hani?”
“Iya, Hani. Kau pasti kenal, kan? Dia di bagian marketing juga,” jawab Seunghoon sambil berjalan ke kursi dan mendudukinya. Aku mengikuti pria itu dan duduk di sebelahnya sambil menghela napas. Membicarakan Hani membuatku tak nyaman, perasaanku langsung terganjal dan tubuhku mendadak letih.


“Pucat sekali! Ini kan baru hari pertama, memang apa saja yang sudah dia lakukan?”
“Eh? T-tidak.”
“Jangan bohong! Semua orang juga tahu bagaimana Seo Hani. Jangan-jangan itu gara-gara dia juga.” Seunghoon melihat ke arah noda di kemejaku. Aku tak menjawab, malah sengaja meneguk cairan dalam cup-ku banyak-banyak.


“Dia memang begitu. Cantik sih, tapi mulutnya benar-benar tidak cantik. Siluman ular itu, aish." 


Aku langsung menyerong pada Seunghoon dengan wajah berbinar-binar “Setuju! Astaga, kau tahu Seunghoon~a, setiap kali dia bicara tengkukku pasti meremang! Suaranya benar-benar mirip seperti desisan ular.” Aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku menjadi sangat bersemangat saat mendengar julukan ‘siluman ular’ dari mulut Seunghoon. Hani benar-benar cocok dengan gambaran itu.


Seunghoon tertawa terbahak-bahak sambil meletakkan cup kopinya. “Iya, kan? Smua orang pasti sepaham denganku. Gadis itu, hfttt! Kau tahu? Aku sempat mengejar-ngejarnya dulu.”


“Yang benar? Wah! Ceritakan padaku!”
“Yah… Hani itu kan teman dekatnya Mino, jadi walaupun beda divisi mau tak mau aku selalu melihatnya. Dan uh, sebenarnya tak ada ceritanya. Okay begini ya, memangnya pria normal mana yang tidak suka dengan wajah seseksi itu?”


Mungkin karena aku perempuan, aku malah membenci wajah itu setengah mati. Aku setengah tersenyum. Pria normal mana yang tidak suka dengan wajah seseksi itu? Jadi jika Mino itu benar pria normal maka dia juga pasti menyukai Hani?


“Kau bilang Hani itu teman dekatnya Mino? Sedekat apa? Bagaimana bisa dekat? Lalu hari ini mereka berdua pergi ke mana?”


“Mereka cuma tetangga.”
“Oh.”
“Tapi pernah tunangan juga, sih,” ucap Seunghoon hati-hati, ia bicara sambil memerhatikan air mukaku yang sekejap berubah. Lalu langsung memalingkan wajah dan kembali mengambil cup kopinya.


“Tunangan?”
“Tapi sudah batal, kok! Tenang saja!” balasnya cepat, dengan ekspresi gembira yang dibuat-buat. Aku tersenyum tertahan. Bagaimana bisa tenang? Tapi kenapa juga harus tak tenang? Ei.. tentu saja tidak tenang. Aku kan sudah bertekad untuk serius dengan Song Mino. Tapi sepertinya keseriusanku ini bertepuk sebelah tangan.


“Harusnya aku tak mengatakan itu! Maaf, aku sama sekali tak bermaksud untuk……”
“Tidak apa-apa,” potongku sambil tersenyum.
“Tapi tolong jangan bilang Mino kalau aku yang...” Seunghoon menggigit bibir.
“Iya, tenang saja.”
“Aku benar-benar minta maaf. Aku merasa kau harus tahu, tapi sepertinya aku salah. Kau harusnya mengetahui ini dari Mino, bukan dariku.”


“Tidak apa-apa, sungguh! Aku baik-baik saja. Omong-omong, kapan mau pulang?”
“Terserah padamu, aku akan menemanimu ke halte”
“Terima kasih banyak! Aku memang takut berjalan sendirian ke sana. Aku mau pulang sekarang.”
“Oke, aku ambil tas dulu, kau juga ambil tasmu. Kita ketemu di lobi.”



**********



“Hari ini benar-benar gila, apalagi saat…..”
“Saat teman-temanku datang?” sela L.Joe dengan gaya mencibir. Aku tertawa kaku. Well, kalau boleh jujur memang itulah bagian tergilanya. Maksudku, dengan L.Joe di depanku saja aku sudah susah fokus, lalu apa kabarnya sistem pernapasanku bila ada tujuh pria dengan wajah di atas rata-rata duduk di kanan kiriku seperti tadi. Aku harus makan dengan anggun dan mengunyah sangat pelan sampai tak bisa menikmati beef tenderloin-nya dengan maksimal.


Dan tolong jangan ingatkan aku dengan pria anime di sebelah L.Joe. Astaga! Aku tak yakin bisa setia pada L.Joe jika diberi godaan seperti itu. Dia tidak melakukan apa-apa, melirikku pun jarang-jarang, tapi Ya Tuhan! Oke, aku harus berhenti. Tapi bagaimana bisa berhenti? Sepertinya aku bisa membicarakan betapa kerennya Myungsoo itu selama dua hari non-stop! Dia terlihat seperti baru saja keluar dari komik.  


“HEH! Kau memikirkan apa?” L.Joe menjentikkan jarinya.
“Apa?”
“Dasar! Teman-temanku sekeren itu, ya?”
“Apa, sih? Makanya jangan memotong pembicaraan orang! Bagian yang paling kusuka adalah saat mencicipi daginyanya, tapi yah… teman-temanmu lumayan.” aku menyedekapkan tangan sambil mengangkat bahu dengan ekspresi bosan.


“Lumayan?” L.Joe menyeringai dan mencondongkan badan.
“Kau mau apa? Kalau eonnie keluar dan melihatmu sedekat ini denganku, habislah riwayatmu.” Aku memperingati dengan gugup.


“Percaya diri sekali, aku tidak mau melakukan apa-apa! Aku hanya kaget mendengarmu bilang teman-temanku itu lumayan.” L.Joe meletakkan sebelah tangannya di dinding, bicara sambil tersenyum menyeringai, mengejek, menyebalkan, tapi juga menggoda. 


“Ngg, kau tahu kan seleraku sangat tinggi? Lumayan itu artinya sudah bagus sekali. Sudah, ah! Pulang sana! Tumben sekali kau mau turun dari mobil dan mengantarku sampai sini.”


“Kau nyaris menelan Myungsoo, kalau boleh kuingatkan!”
“Ei! Tidak.”
“Aku melihatnya sendiri.”
“Mungkin itu karena rasa dagingnya benar-benar enak.”
“Kau harus membayarnya.”
“Huh? Bayar dagingnya?”
“Bayar rasa cemburuku!”


Hyo Jin langsung mendengus dan tersenyum sambil mendorong lidahnya. “Begitu, ya? Memang cemburunya sebesar apa?"


"Sangat besar."
"Oke, tapi bagaimana cara bayarnya?"


L.Joe memejamkan mata dan mendekatkan wajahnya, aku ikut memejamkan mata. Dan saat itu, tiba-tiba saja pintu rumahku terbuka dan suara teriakan terdengar menggelegar seperti petir.


“YAH! CEBOL MESUM! MENJAUH DARI ADIKKU!”



TBC



#MyFavoriteSongIs23




Happy birthday Mino^^ (tetep ngucapin walaupun di part ini dianya ga nongol, hoho…)


  sukses terus yaa sama Winner^^ moga makin gede, makin aneh, makin konyol, makin jago rapp-nya dan makin makin buat semua yang baik


LLL masih belom ada tanda-tanda end nih… tapi akunya udah mulai bosen hmm… semoga bisa kelar secepatnya. Amin.



Selamat malam, selamat tidur, ati-ati besok senin *setel lagu horror*

Comments

  1. Akhirnya story ini udh dipost.. semoga akur ceritanya tidak kepanjangan yaa :") ditunggu next partnya.. hwaiting!

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya makasih komennya, aku usahain supaya ga terlalu panjang~

      Delete
  2. hmmmmm ini sungguh kereeenn,. semoga mereka bertiga happy ending yaa,. :D
    semangat melanjutkan thor :D aku aka menunggu FFmu,. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasihhhhh^^ semoga yah... itu udah keluar part 8nya ko :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts