Vampire Bride - Part 8




Rasa sakit di perut Yuta belum sepenuhnya sembuh saat ia terbangun di kamar Ye Eun keesokan paginya. Yuta berbaring telentang di kasur busa setinggi 4 inci dan mengerjap memandang langit-langit. Bagaimana bisa dia di sini? Kerutan muncul di keningnya selagi ia mencoba mengingat-ingat. Memorinya berputar samar. Yuta ingat dia mengumpat dan melempari Ye Eun dengan teko. Dia ingat betapa buruk sikapnya semalam dan benar-benar menyesal. Tapi setelah kejadian itu, ia tak tahu lagi. Yang Yuta tahu, dengan kondisi seperti semalam, ia tak mungkin punya cukup tenaga untuk berjalan pulang, jadi kemungkinan paling masuk akal adalah teleportasi.


Memikirkan itu, Yuta langsung meringis, dalam hati berharap tak ada yang melihatnya teleportasi. Dia benar-benar tak mau berurusan dengan asosiasi. Tapi kalau benar teleportasi, kenapa malah teleportasi ke sini?, batin Yuta. Harusnya dia ke dunia vampir saja, minta diobati. Atau teleportasi ke kamarnya di Seoul, istirahat, menyendiri. Sekarang dia harus apa? Setelah kejadian semalam, bagaimana mungkin ia bisa menemui Ye Eun dan keluarganya tanpa canggung? Bagaimana caranya ia bersikap normal setelah kabur tiba-tiba di tengah makan malam dan membuat panik semua orang? Yuta merinding membayangkan akan secanggung apa nantinya jika ia bertatap muka dengan Ye Eun lagi.


Setelah berbaring cukup lama, Yuta pun bangkit ke posisi duduk. Kepalanya terasa berat luar biasa. Yuta mengusap wajahnya dan merasakan perutnya dikoyak dari dalam. Dia tak mengerang atau mengeluh, justru bersyukur karena rasa sakitnya bisa berkurang sesignifikan ini tanpa obat-obatan dari asosiasi. Kejadian semalam akan menjadi pengalaman sekali seumur hidup untuknya. Yuta kapok sekali. Apa pun yang terjadi, dia bersumpah tak akan menyentuh makanan manusia lagi.


Yuta mengulurkan tangannya malas-malasan, meraih selimut ungu pucat yang merosot di kakinya, bermaksud melipatnya. Namun saat ditarik, kain wol tersebut nampak tertahan oleh sesuatu—sesuatu di sampingnya. Yuta menoleh dan langsung terperanjat. Ye Eun ada di sebelahnya. Gadis itu berbaring di lantai, persis di sebelah kasur busa yang saat ini didudukinya, seperempat bagian dari selimut wol di tangannya terhimpit di pinggang sang gadis.


Yuta menahan napas. Ia memandangi Ye Eun yang tertidur pulas sambil menenangkan jantungnya yang masih berdebar kencang. Ada baskom stainless di samping kepala Ye Eun, juga handuk setengah basah di genggamannya. Jelas ia duduk di sebelah Yuta semalaman, mengompres kepalanya.


Dengan gerakan super lambat, Yuta berdiri. Ia tak mau membangunkan gadis itu. Juga tak mau satu ruangan dengannya dulu, tidak sekarang, tidak setelah kejadian memalukan semalam. Yuta tak bisa membayangkan betapa mengerikan raut wajahnya. Ia membentak Ye Eun begitu kasar, menatapnya begitu tajam dan mengancam akan membunuhnya.


Pergi dari hadapanku sekarang atau kubunuh kau. Benar-benar seperti monster.


Setelah pelariannya dari Ye Eun—yang sebenarnya bukan pelarian karena gadis itu masih tidur—Yuta malah bertemu dengan keluarga lengkap gadis itu di meja makan. Kecanggungan akut langsung saja menyergap. Ibu Ye Eun lambat-lambat membuka mulut, bermaksud menanyai Yuta apa ia sudah baikan, tapi setelah beberapa lama menatapnya seperti itu, kalimat yang hendak ditutur ternyata tak kunjung keluar, jadi dengan gerakan yang sama lambat, wanita itu menutup mulutnya lagi. Ayah Ye Eun memandangnya dengan bola mata bergetar. Tangannya memegang sendok sup yang sudah setengah jalan menuju mulut, yang berhenti di udara 4 centi dari mulutnya. Sementara Yeon Ju meliriknya dengan raut penasaran. Keningnya berkerut dalam dan ia memicing ke arah Yuta, menatapnya dari atas ke bawah seolah sedang menilai.


Tak mau berlarut-larut dalam atmosfer tak menyenangkan tersebut, Yuta pun menganggukkan kepalanya dan bicara sesopan mungkin, “Saya permisi ke kamar mandi.”


Seisi meja balas mengangguk. Ayah Ye Eun mengangguk terlalu kencang sampai sendoknya terbalik dan sup di dalamnya meluncur kembali ke mangkuk. Mereka nampak begitu kaku, begitu bersalah, bak penjahat yang memang sengaja meracuninya. Reaksi itu jelas membuat Yuta tak nyaman, tak enak hati. Walau harus diakui ia memang agak kesal karena dipaksa makan, tapi pria itu sepenuhnya sadar bahwa kejadian semalam sama sekali bukan salah siapa pun di rumah ini. Mereka jelas tak tahu kalau ia tak bisa makan apa-apa. Logikanya, mana ada manusia yang tak bisa makan apa-apa? Masalahnya cuma satu. Dia bukan manusia. Dan fakta itu hanya diketahui dirinya seorang.


Yuta mengangguk sekali lagi sebelum berlalu pergi.


Mungkin, ‘permisi ke kamar mandi’ awalnya memang cuma alasan, tapi sekarang, setelah ia berdiri di halaman belakang bersama pantulan bayangannya di kaca, Yuta sadar ia memang perlu mandi. Penampilannya kacau sekali. Saat menyugar rambut, sejumlah kerikil dan tanah kering berjatuhan dari kepalanya. Bajunya berbau tak sedap, perpaduan keringat dan muntahan. Kulitnya terasa lengket dan kukunya kemasukan lumpur. Yuta bertanya-tanya dalam hati apa yang ia lakukan semalam sampai tubuhnya sekotor ini. Apa dia meraung kesakitan, berlutut sambil menggaruk tanah? Apa dia tiduran di aspal? Yuta mulai sangsi tentang teorinya soal dirinya yang berteleportasi. Pria itu punya firasat kalau sebenarnya semalam ia berguling sepanjang jalan sampai ke rumah.


Dengan gerakan senatural mungkin, Yuta meregangkan ototnya sambil memandang sekeliling, lantas begitu yakin tak ada yang melihatnya, ia pun masuk ke bilik kamar mandi. Yuta menyalakan keran untuk menyamarkan keheningan untuk beberapa waktu ke depan, lantas berteleportasi ke kamar mandinya sendiri di Seoul. Ia benar-benar harus menggosok rambut dan badannya dengan tujuh macam sabun berbeda supaya bisa bersih kembali. Dan kamar mandi Ye Eun jelas tak menyediakan persediaan sabun sebanyak itu.



**********



Ye Eun mengira ia bisa bangun lebih awal dari Yuta hari itu. Namun ternyata sang pria sudah meninggalkan kamar ketika ia membuka mata. Ye Eun meringis. Badannya terasa pegal luar biasa karena tidur di lantai. Ia berjalan ke luar kamar sambil membunyikan pinggangnya.


“Bangun juga akhirnya.” Yeon Ju menyambutnya datar. Ye Eun mengucek mata seraya berjalan gontai menghampiri sang adik—yang nampak sibuk menata ruang tengah untuk upacara peringatan nanti malam.


“Kau lihat Yuta?” Ye Eun berlutut di samping Yeon Ju, turut mengambil gelas dari kardus dan mengelapnya sebelum menempatkannya dalam posisi terbalik di meja. “Kukira dia bakal tidur seharian hari ini, tapi ternyata malah bangun lebih pagi dariku. Kau tahu kan semalam dia meriang? Badannya panas sekali, aku jadi tak bisa tidur.”


“Tadi dia mandi, lalu langsung diajak keluar oleh ayah.”
“Apa?” teriak Ye Eun. Matanya yang semula masih agak sayu karena ngantuk langsung terbuka lebar. “Ke ladang?”


“Ke mana lagi?”
“Ya ampun!” teriak Ye Eun lebih keras, nyaris menggebrakkan gelasnya ke meja. “Ayah apa-apaan, sih? Padahal dia lihat sendiri Yuta pingsan di tengah jalan sampai harus dipapah paman di pos jaga. Sekarang malah disuruh bekerja di ladang. Benar-benar deh ayahmu itu.”


“Itu ayahmu juga.”
“Aku tahu.”
“Lebih baik kau mandi sekarang, lalu ajak kakak ipar ke toko buah. Kita kekurangan pir dan jeruk.”


Ye Eun mendengus dan mengabaikannya. Ia melanjutkan gerakan tangannya (mengelap gelas) yang sempat terhenti sambil menggerutu. Dasar! Bukannya membantu malah menyuruhku ke toko buah. Panas-panas begini. Sudah tahu tempatnya jauh!


“Terserah kau saja,” kata Yeon Ju masa bodo. “Padahal aku cuma memberi ide supaya kau bisa menyelamatkan suamimu dari ayah.”


Ye Eun sesaat terdiam.


Mereka bertukar pandang selama beberapa saat sebelum Yeon Ju mendecakkan lidahnya keras-keras. “Yah! Apa lagi yang kau tunggu? Kenapa malah menatapku? Cepatlah!” Ia mengedikan kepalanya ke kamar orangtua mereka dengan gerakan tak sabar. “Ibu sudah siap-siap dari sepuluh menit yang lalu. Kalau dia yang pergi, maka kau tak akan punya alasan untuk mengeluarkan kakak ipar dari ladang setidak-tidaknya sampai matahari terbenam. Mau suamimu pingsan lagi?”


Ye Eun melempar kain lapnya begitu saja dan segera bangkit berdiri. “Kau benar. Aku mandi sekarang.”



**********



“Ayunkan cangkulnya lebih kuat lagi!” teriak ayah Ye Eun seraya mempraktikkan gerakan mencangkul dengan penuh gairah. “Nah, benar begitu. Aku tahu kau ini sebenarnya tidak lemah. Waktu kau pertama kali datang dan mengerjakan ladangku itu, wah.. aku benar-benar terkesima. Kau mengerjakan tiga petak sendirian. Aku tahu kau ini punya bakat. Ayo tunjukkan lagi.”


Yuta mendengarkan ocehan ayah Ye Eun sambil meringis. Ya, waktu itu ia memang mengerjakan tiga petak. Tapi tidak sendirian. Ia menyuruh Yanan dan Edawn teleportasi ke ladang dan membantunya mencangkul saat ayah Ye Eun tak sengaja ketiduran di saung.


“Kenapa malah pindah! Cangkul di sini!”
“Tapi di situ ada batu,” kata Yuta, yang tampak nyaris pingsan saking pegalnya.
“Pecahkan saja batunya!”
“Apa?”
“Pecahkan!” teriak ayah Ye Eun, memperagakan gerakan mencangkul lagi dengan antusiasme yang luar biasa. “Ayunkan cangkulnya sekuat tenaga dan hancurkan batunya! Waktu aku seusiamu aku bisa menghancurkannya dalam sekali pukul. Kau sudah memukulnya lebih dari sepuluh kali, dan lihat itu!” Ia menunjuk permukaan batu yang tertanam di tanah dengan tatapan mencela, “retak saja tidak.”


Yuta memejamkan matanya. Kepalanya terbakar karena matahari dan sekarang hatinya ikut terbakar karena dicela berkali-kali. Walaupun begitu Yuta tetap berusaha menahan emosi. Ia berkonsentrasi pada batu di bawahnya dan mengayunkan cangkul dengan tangan gemetar.


BRUKK


“Lagi.”


BRUUKKK


“Aduh! Gunakan tenagamu, dong! Lagi!”


BRUKKK


Yuta memejam lebih kuat, menahan sakit. Jika terus begini, alih-alih batu, justru tangannya lah yang akan retak.


“Cih.. benar-benar. Coba angkat cangkulnya lebih tinggi!”


Mengikuti perintah sang mertua, Yuta mengangkat cangkulnya lambat-lambat, berusaha membawanya lebih tinggi, sementara lututnya bergetar kencang dan keringat mengucur dari kening dan punggungnya bak niagara.


“Na Yuta-ssi!”


Suara Ye Eun.


Yuta mengerutkan keningnya sedikit, berpikir mungkin ia sedang berhalusinasi.


BRUKK. Ia mencangkul lagi.


“Na Yuta-ssi.”


Suara Ye Eun lagi. Lebih kencang dari yang sebelumnya.


Yuta akhirnya membuka mata.


“Na Yuta-ssi.”


Ini bukan halusinasi.


Yuta seketika menegakkan badan, menoleh ke asal suara. Wajahnya yang semula lesu mendadak terangkat, bersinar-berpendar-berpijar dengan luapan rasa bahagia bertubi-tubi. Ye Eun kembali meneriakkan namanya dari pinggir ladang. Melambai-lambai dan tersenyum begitu manisnya bak bidadari. Yuta balas tersenyum, tentu saja. Ia tak pernah mengira suara Ye Eun bisa terdengar semerdu ini. Tak pernah mengira melihat senyumnya bisa membuat hatinya segembira ini.


“Na Yuta-ssi,” panggilnya nyaring. “Bisa temani aku beli buah? Aku tak mau jalan sendirian.”


Yuta tersenyum makin lebar. Bahagia setengah mati.


“Tentu,” balasnya tanpa berpikir.


Ia meletakkan cangkulnya di atas batu sialan yang tak bisa pecah itu dan membungkuk lambat-lambat pada sang mertua. Detik selanjutnya sudah melompat kegirangan ke jalanan paving dan berlari menyongsong Ye Eun dengan raut penuh kebebasan. Ye Eun mengikik melihatnya.


“Kau mau ganti baju dulu atau…”
“Kita jalan sekarang,” kata Yuta, tak sabar untuk pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.


Jalanan menuju swalayan amatlah lengang. Yuta dan Ye Eun berjalan beriringan di bawah hamparan sinar matahari dan udara Jeonnam yang bersepoi hangat. Kaku dan canggung seperti biasa.


“Terima kasih.” Yuta bergumam, “kalau aku mencangkul lebih lama lagi, bahuku mungkin sudah copot sekarang.”


Ye Eun menggerakkan kepalanya dalam anggukan tipis. Ia terdiam sebentar, lantas membuka mulutnya dan menatap Yuta. “Sekarang,” katanya penuh antisipasi, “karena kau sudah bisa bicara baik-baik padaku, boleh aku tanya kau alergi apa?”


“Alergi?”
“Ya. Makanan apa tepatnya yang membuatmu menggila seperti semalam?”


Yuta tak langsung menjawab, sebab ia tak tahu harus menjawab apa. Setelah keheningan yang menyesakkan, Ye Eun mulai menyebutkan semua makanan yang disajikan semalam.


“Ikan?”
“Tahu?”
“Lobak?”
“Atau jangan-jangan,” gadis itu terkesiap sendiri, “nasi?”


Yuta cuma meliriknya. Sama sekali tak berminat untuk komentar.


“Astaga!” Namun Ye Eun menganggap lirikan Yuta sebagai jawaban dan serta-merta menyimpulkan sendiri. “Jadi benar nasi?” Ia membelalak. “Baiklah. Kalau begitu nanti di swalayan kita sekalian beli kentang saja. Atau apa kau lebih suka jagung?”


“YAH! TIDAK USAH!” Yuta tanpa sadar membentak, kemudian memejamkan mata dan merendahkan suaranya lagi, “…tidak usah. Aku tak bisa makan apa pun. Jadi tolong jangan beri aku apa-apa.”


“Apa pun?” pekik Ye Eun tak percaya. “Kau tak bisa makan apa-apa?”
“Ya.”
“Bahkan buah?”
“Ya.”
“Jadi kau cuma bisa minum?”
“Aku juga tidak minum.”
“APA?”
“Tolong,” Yuta mendesak, “jangan berteriak.”
“M-maaf, t-tapi kau s-sungguh….tidak makan dan minum?” Ye Eun terbata saking kagetnya. “Sama sekali? Bahkan air putih?”


“Ya. Aku tidak bisa memasukkan makanan atau minuman apa pun ke mulutku. Tolong… tolong berhenti!” Yuta bicara dengan mulut nyaris terkatup. Kesal karena Ye Eun membuatnya terdengar sangat aneh. Kenapa sih harus melotot begitu? pikir Yuta, tak tahu kalau reaksi sang gadis ternyata amatlah wajar, tergolong minimum bahkan. Dan di telinga manusia mana pun, hal itu jelas sangat abnormal dan sudah pasti akan mendapat reaksi yang sama—bahkan lebih buruk. Orang lain mungkin akan langsung memanggil ambulan. Makanan adalah kebutuhan pokok manusia. Itu hal pertama yang diajarkan di bangku sekolah. Sandang, pangan, papan. Yuta tak bisa seenaknya mencoret pangan begitu saja dari kebutuhan pokoknya jika ia mau dianggap sebagai manusia.


“Lalu bagaimana bisa kau bertahan hidup?”
“Aku punya caraku sendiri, jadi jangan khawatir.”
“Caramu sendiri?” Ye Eun mengernyit, “seperti obat-obatan dari dokter?”


Yuta mengangguk saja. Toh ia memang tak berniat menjelaskan lebih jauh. Biarlah gadis itu berteori sendiri. Bukankah Shin Ye Eun memang suka menyimpulkan apa-apa sendiri?


“Tapi kau bilang kau tidak sakit.”
“Kubilang aku tak punya tumor di kepala,” ralatnya datar. “Aku yakin ada penjelasan ilmiah untuk kondisi tubuhku, jadi berhentilah menatapku seperti itu.”


Untuk sekarang, Yuta berpikir ‘sakit’ adalah alasan yang paling masuk akal. Lagi pula, dengan begini ia bisa mendapat simpati tanpa perlu repot-repot mengarang cerita baru.


“Tapi itu mustahil, kau tahu. Aku pernah dengar soal pantangan makanan atau alergi, tapi… kalau tidak bisa makan sama sekali bukannya agak…” Ye Eun menggantung ucapannya. Ia melirik Yuta yang masih kekeh menampilkan ekspresi tak peduli, lalu melanjutkan, “… tidak normal. Jangan tersinggung.”


“Yeah, memang tidak normal.”
“Kubilang jangan tersinggung. Aku cuma berpikir, apa pun penyakitmu itu—jika kali ini kau tak berbohong padaku—pasti langka sekali.”


“Aku yakin rasio penderitanya 1 banding 7 miliar jiwa,” sahut Yuta tak acuh.
“Wah, betapa spesialnya,” tukas Ye Eun sarkastik. “Tapi serius? Maksudku, jika kau tak bohong, maka artinya kau benar-benar hanya bergantung pada obat-obatan?”


Yuta mengangguk.


Ye Eun terus menyelipkan kalimat ‘jika kau tak bohong’ dalam setiap ucapannya selama percakapan mereka berlangsung, seolah Yuta sebegitu tidak bisa dipercayanya. Yah, dia memang benar.


“Kau bawa obatmu, kan?”
“Tentu. Bagaimana bisa aku bertahan hidup tanpa obatku?” sambar Yuta dramatis.


Ye Eun menggelengkan kepala dan tersenyum menghina. “Kalau kita sudah pulang ke Seoul, jangan kira aku tak akan bertanya ke dokter soal ini.”


“Silahkan saja,” sahut Yuta menantang.
“Oke.”


Ye Eun terdengar serius. Yuta mendadak menyesali nada menantangnya, harusnya ia rendah hati sedikit. Sekarang ia hanya mampu berharap semoga Ye Eun tidak benar-benar ke dokter untuk memastikan kebenaran penyakitnya, atau lebih baik, semoga ia berhasil menjalankan ritual hidup abadinya sebelum gadis itu pergi ke dokter dan membongkar kebohongannya untuk yang kedelapan ratus kali dalam dua minggu ini.


“Omong-omong,” Yuta segera mengganti topik. Meremas tangannya untuk menahan keringat dingin. “Aku minta maaf soal semalam.”


Yuta mengawasi Ye Eun dengan ujung matanya. Mereka sudah berjalan hampir 15 menit tapi sejauh mata memandang, yang ada hanya ladang yang gersang.


“Aku tak bermaksud berkata kasar atau melemparimu teko. Aku hanya benar-benar kesakitan semalam, tak bisa berpikir jernih.”


“Aku tahu,” tanggap Ye Eun seraya mengangguk santai. “Walau yeah, kuakui aku agak kesal dan terkejut, tapi aku mengerti keadaanmu. Lagi pula tak masuk akal, kan? Untuk apa kau mati-matian mengajakku menikah kalau tujuanmu hanya untuk membunuhku dua minggu kemudian.” Ye Eun tertawa hambar.


Yuta tak bisa ikut tertawa. Bahkan pura-pura pun tak bisa.


“Tch, ampun. Harusnya aku panggil taksi.” Ye Eun bicara setelah beberapa lama terdiam. “Swalayannya lumayan jauh dan kita mungkin baru setengah jalan,” ia menoleh ke sekelilingnya, menggeleng, “bahkan belum setengah jalan.”


“Tidak apa-apa. Makin lama makin bagus. Semoga kita pulang malam.”


Ye Eun tersenyum meledek. “Kenapa? Mau menghindari pekerjaan ladang?”


“Sudah kubilang bahuku mau copot.”
“Tapi acara peringatannya mulai jam tujuh. Jadi kita harus kembali ke rumah setidak-tidaknya jam lima.”
“Atau jam tujuh kurang lima,” tawar Yuta.
“Jangan sinting!”



**********



“Tidak usah. Aku tidak perlu baju baru. Aku tak mau, sungguh—ya ampun! Apa yang membuatmu berpikir aku akan memakai itu? Aku tidak pakai pink.” Yuta merepet tak senang sambil berusaha melepaskan diri dari Ye Eun, yang memandangnya dengan wajah memohon setelah berhasil mendapatkan jeruk dan pir di toko buah.


“Tapi bajumu hitam semua. Aku ingin melihatmu dengan warna lain.”
“Aku suka hitam.”
“Aku tahu. Tapi apa salahnya mencoba hal baru?” Ye Eun melambaikan kemeja berwarna salmon dengan garis-garis putih—yang ia comot dari gantungan etalase sambil memekik kegirangan sepuluh detik yang lalu. “Percaya padaku, kau akan sangat manis dengan ini.”


“Aku tidak mau terlihat manis. Dan sudah kubilang aku tidak akan pakai pink seumur hidupku.”
“Ini bukan pink,” sergah Ye Eun, kemudian memicing sebal pada Yuta. “Tapi kenapa memangnya dengan pink? Jaman sekarang banyak kok cowok pakai pink tapi tetap terlihat maskulin.”


“Ayo pulang,” ajak Yuta dingin. Memutar sepatunya ke arah pintu keluar.
“Bukankah kau bilang mau di sini lebih lama? Kalau kita pulang sekarang, kau sudah pasti akan diseret ke ladang lagi.”


Yuta langsung berbalik lagi. Rupaya ia benar-benar membenci ladang.


Ye Eun tersenyum menang, menyodorkan kemeja salmonnya. “Nah, coba ini di fitting room.”


“Aku tidak pakai pink.” Yuta berkeras. Ia mengambil hoodie merah yang tergantung paling dekat dengannya, lalu berjalan begitu saja ke fitting room.


“Oke, yang itu boleh juga. Aku suka merah,” seru Ye Eun. Matanya berpendar antusias membayangkan Yuta dengan hoodie merah, atau dengan warna apa pun yang bukan hitam.


Ye Eun berjalan cepat—setengah berlari—mengikuti langkah lebar Yuta dan berhasil menarik kaosnya sebelum ia masuk ke salah satu bilik di fitting room.


“Selagi kau di sini, coba yang ini juga.”
“Kubilang aku tidak pakai….”
“Sayang,” potong Ye Eun dengan nada menegur. “Ini bukan pink.” Gadis itu menjejalkan kemeja salmon bergaris putih yang amat mencuri hati itu ke dada Yuta, tak lupa menyelipkan senyum termanisnya. “Percaya padaku. Memakai  kemeja ini dua menit saja tidak akan membuat dunia terbelah.”


Yuta berkedip. Terlalu terkejut dengan panggilan tak biasa itu sampai-sampai dunia rasanya benar-benar terbelah. Untuk sesaat ia tak mampu merangkai kata, hanya balik memandang Ye Eun dengan syok, seolah kepalanya tak berfungsi.


“Sayang, huh?” tegurnya begitu sadar.


Ye Eun membuat ekspresi lugu. Seolah ia tak pernah bicara begitu.


Yuta memutar mata, menggenggam kemeja salmon yang dijejalkan di dadanya lalu meleret ring ruang gantinya dengan gerakan kasar.


Sudah hampir sepuluh menit berlalu ketika Yuta akhirnya menampakkan diri. Entah apa pertimbangannya, yang pasti, ia memutuskan untuk memakai kemeja pilihan Ye Eun terlebih dulu.


Yuta merentangkan tangannya sambil berputar, memberikan akses bagi Ye Eun untuk melihatnya dari semua sisi. “Tidak seburuk yang kukira,” katanya, setengah tersenyum. Yuta mengulurkan tangan untuk membenarkan kerah kemejanya, lantas memandang Ye Eun yang masih tak berkutik.


“Shin Ye Eun-ssi?”


Ye Eun mendongak padanya dengan mata berkedip seolah baru dihipnotis.


“Kau suka?” Yuta bertanya dengan ragu.
“Kau gila?” jerit Ye Eun. “Berapa pun harganya aku akan beli kemeja ini,” Ye Eun berteriak agresif sampai membuat Yuta terkejut. “Kenapa kau harus selalu pakai baju hitam dan membuat dirimu terlihat menyeramkan kalau kau bisa memakai baju yang warnanya lebih kalem sedikit dan mendadak terlihat begitu….” Ye Eun memandang Yuta, memuja, “… lembut?”


Ye Eun baru tahu warna pakaian bisa memengaruhi aura seseorang sesignifikan ini. Yuta yang berdiri di hadapannya sekarang terlihat begitu halus, begitu ramah, begitu mempesona dan lembut seolah ia adalah perwujudan nyata dari bunga sakura di musim semi.


Ye Eun terus tersenyum sambil mengerjap, nampak begitu terpikat. Tatapan itu membuat Yuta merasa aneh, seolah ada sesuatu yang bersemayam di dadanya, sesuatu yang hangat dan asing, yang berdentum dan mengombak.


“Dengar,” desak Yuta, “berhenti menatapku seolah kau sangat menginginkanku.”


Yuta berusaha membuat Ye Eun malu, tapi gadis itu nampak tak terusik dengan cibirannya. Ye Eun tetap kekeh menatapnya begitu, dengan bibir melengkung dan mata berbinar.


Yuta merasakan wajahnya memanas dan segera berpaling ke kaca, pura-pura membenarkan kerah kemejanya lagi. Walau ia tahu kerah kemejanya sudah tegak sempurna tanpa harus dibenarkan berkali-kali.


“Baiklah,” cetus Yuta tak tahan. “Aku akan coba hoodie-nya.”
“Tunggu!” Ye Eun memekik. “Aku mau memotretmu dulu. Aku harus memamerkan tampilan lembutmu pada Ji Won. Anak itu bisa memakan ucapannya sendiri dan berhenti memanggilmu vampir Twilight sekarang.”


“V-vampir?” ulang Yuta syok, sementara Ye Eun mengeluarkan ponselnya.
“Yeah, kau tahu Twilight, kan? Film vampir paling mengenaskan abad ini—senyumlah sedikit.” Permintaan Ye Eun cuma mengundang kedutan di sudut bibir Yuta. Ye Eun memandang pria itu dari atas ponselnya sambil bernapas maklum. Setidaknya dia sudah berusaha, pikirnya. Jadi mari anggap bibirnya yang mengejang itu sebagai senyuman.


“Kalian membuat film tentang vampir?” tanya Yuta begitu Ye Eun selesai mengambil gambarnya. Ye Eun mengernyit, tak mengerti ke mana tepatnya rujukan kata ‘kalian’ dalam kalimat Yuta barusan.


“Maksudmu aku dan Ji Won?” tanyanya aneh. “Itu jelas bukan film buatan kami.”
“Maksudku…..,” umat manusia, Yuta melanjutkan dalam hati, baru sadar akan betapa konyolnya dia.
“Jadi kau sungguh tak tahu Twilight? Serius? Apa kau penduduk baru di bumi?”


Ye Eun jelas bergurau, tapi Yuta menatapnya kelewat panik, seolah kehidupan vampirnya sudah terekspos ke khalayak ramai.


“Baiklah, terserah padamu.” Ye Eun mendesah, tak mengerti apa yang terjadi di kepala Yuta. “Kau bisa coba hoodie-mu sekarang.”


Yuta segera mengangguk, lantas kembali menutup tirainya.


Ye Eun menunggu dengan sabar, bersandar di tembok di depan bilik ruang ganti Yuta sambil mengikik membaca balasan dari Ji Won.


Mungkin jika dia belajar senyum lebih tulus sedikit, aku akan mentato foto ini di wajahku.- Ji Won


Akui saja dia manis


Maksudmu, BAJU-nya manis? – Ji Won


BENAR, KAN!! AKU PASTI AKAN BELI BAJUNYA!!


KAU HARUSS!!! Tapi serius, apa yang membuat pangeran kegelapan kota Seoul, Lord Yutamort, bersedia memakai baju pastel?!! Apa kepalanya tertumbuk cangkul selama kalian di sana??? – Ji Won


Ye Eun baru hendak mengetik lagi saat suara cemas Yuta terdengar dari dalam.


“Shin Ye Eun-ssi.”
“Ya?”
“Bisakah kau masuk?”
“Masuk?” ulangnya bingung. “Kau sudah selesai?”
“Belum.”


Ye Eun semakin bingung.


“Kepalaku tersangkut,” kata Yuta. “Kepalaku tersangkut di baju,” tambahnya, menjelaskan dengan suara malu.


“Bagaimana bisa?”
“Masuklah!” tuntutnya, mulai kesal. Ye Eun pun menyelipkan ponselnya ke saku celana dan menyibak tirai memasuki bilik ruang ganti Yuta.


Hal pertama yang dilihatnya adalah Yuta dengan kedua tangan terangkat dalam posisi canggung, sebagaimana yang ia bilang, tersangkut di dalam hoodie merah yang ukurannya mungkin terlalu kecil. Kepalanya tersangkut, tidak bisa keluar dari lubang di atasnya, sehingga hanya sebagian rambutnya saja yang terlihat, mencuat persis di bagian tudungnya.


Pemandangan itu lucu sekali sehingga walau Ye Eun sudah berusaha menahan diri, pada akhirnya ia tetap menyemburkan tawa.


“Ya Tuhan!” Ye Eun memegangi dadanya yang sesak. Ini benar-benar menggelikan. Berapa umurnya? Bagaimana bisa dia tersangkut?


“Apa kau mau berdiri terus di situ, menertawaiku sampai aku mati kehabisan napas? Atau bertindak mulia sedikit dan mulai membantuku?” Ye Eun tertawa semakin puas mendengar Yuta yang masih bisa-bisanya bicara dengan dingin saat sedang tersangkut di dalam baju.


“A-apa yang harus… kulakukan?” Gadis itu bertanya di sela-sela tawanya.
“Apa lagi?” racau Yuta. “Keluarkan aku!” Pria itu mengulurkan dirinya ke arah yang salah.


Ye Eun menarik ujung hoodie tersebut, memutar badan Yuta supaya berbalik menghadapnya. Ia berjinjit meraih leher hoodie itu—yang posisinya mencekik kening Yuta—lalu tertawa tersedak begitu mengetahui fakta bahwa kepalanya bisa tidak muat untuk dikeluarkan karena ia tak mau repot-repot membuka tali tudungnya terlebih dahulu. Dan akibat semua usaha brutalnya untuk melepaskan diri, sekarang tali itu terikat makin erat lagi, lebih buruk dari ikatan mati.


Ye Eun menarik pundak Yuta supaya condong ke arahnya sementara ia mencoba membuka ikatan tudung itu sambil mengikik.


“Bisa cepat sedikit?”
“Aku berusaha.”
“Mungkin kalau kau berhenti menertawaiku….”
“Mungkin kalau kau berhenti bicara,” sela Ye Eun, kemudian menggeleng konyol dan mengikik lagi. “Kau harus lihat betapa memalukannya dirimu. Kalau kau mengecek ukurannya dulu dan tak asal ambil..... atau setidaknya, kalau kau menyisihkan waktu berhargamu untuk membuka talinya dulu… semua ini tak akan terjadi.”


“Aku tak tahu itu harus dibuka,” jawab Yuta polos, sedikit lebih pelan dari sebelumnya, seolah dia benar-benar malu.


“Kau benar-benar tak pernah beli baju, ya?” Ye Eun akhirnya bisa bicara tanpa mengikik, tapi Yuta masih bisa merasakan senyum lebar gadis itu dalam suaranya.


“Apa masih lama? Dadaku sesak, tanganku sakit, leherku pegal.” Yuta mengeluh.
“Oke, aku menyerah.”
“Apa? Lalu bagaimana?”
“Kau tak bisa melepasnya saja? Pelan-pelan angkat hoodie-nya ke atas.”
“Kalau bisa, sudah kulakukan dari tadi,” sergahnya sengit. “Aku benar-benar tak bisa bergerak. Kau pergilah ke luar dan minta gunting!”


“Gunting?” ulang Ye Eun keras, menolak mentah-mentah usulan itu. “Kalau digunting, kita harus beli. Aku tak mau beli hoodie yang kekecilan.”


“Aku yang beli.”
“Tidak. Aku yang memaksamu ke sini, jadi aku yang harus bayar. Dan tidak, kita tak akan beli ini,” Ye Eun berkeras, sejujurnya agak kesal mendengar betapa entengnya pria itu berkata ‘aku yang beli’, Ye Eun merasa harga dirinya dilanggar. “Siapa suruh ambil baju sembarangan? Bukannya dilihat dulu ukurannya. Kalau sudah begini….”


“Ye Eun,” sela Yuta, terdengar begitu merana, “aku bersumpah napasku sesak.”
“K-kau serius?”


Yuta tak menjawab, mengayun kepalanya ke bawah seolah ia sedang mencari udara.


“Oke, begini,” seru Ye Eun genting. “Aku akan regangkan bagian atasnya dan kau coba lagi lebih kuat, desak kepalamu ke luar. Dorong sekuat tenaga, mengerti?”


Untuk saat ini, memakai-paksa hoodie tersebut nampak jauh lebih mudah daripada melepas-paksanya. Bagaimana pun Yuta sudah memakainya setengah jalan.


“Jangan lupa dorong tanganmu juga di saat yang sama. Kau siap?” Ye Eun memosisikan tangannya di bolongan leher hoodie tersebut, lalu memberi aba-aba. “Di hitungan ketiga,” katanya.


Yuta turut berancang-ancang.


“Satu…


Dua…


Tiga.”


Dan kehebohan luar biasa pun terdengar memenuhi bilik mereka. Yuta menjejak-jejakkan kakinya sambil mendorong kepala dan tangannya sekuat tenaga, sementara Ye Eun yang semula panik pada akhirnya tertawa lagi karena melihat Yuta yang seperti itu. Ye Eun terbahak-bahak dan memberikan semangat di saat yang bersamaan, tangannya ia tahan kuat-kuat di bolongan leher, meregangkannya semaksimal mungkin.


Saking berisiknya, semua orang di depan fitting room menoleh ke bilik mereka. Bahkan pengunjung yang sedang lewat pun ikut melongok karena penasaran.


Dan BRAAAK


Yuta berhasil membebaskan diri. Lebih dari itu, ia juga berhasil menyundul kepala Ye Eun yang sedang cekikikan sampai gadis itu tersentak ke belakang dan menubruk kaca.


Yuta terkejut sekali. Ia langsung mengulurkan tangannya memeluk kepala Ye Eun dan mengusap-usapnya. “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu khawatir.


Ye Eun nampak linglung selama beberapa saat sebelum mendongak menatap Yuta dan tertawa lagi. Yuta nyaris berpikir sesuatu terjadi pada otak Ye Eun jika saja gadis itu tak mengangguk padanya sambil mengisyaratkan ‘aku tak apa-apa’. Rupanya, Shin Ye Eun hanya merasa perlu untuk melanjutkan tawanya yang sempat terjeda karena sundulan tiba-tiba tadi.


Yuta menghela napas lega, kemudian memandang Ye Eun seolah sedang berusaha memahami isi kepalanya. Ia tertawa tak putus-putus, makin geli dan makin geli lagi. Sebelah alis Yuta terangkat, wajahnya nampak bingung tapi juga terhibur. Ye Eun menggumamkan banyak kalimat dalam tawanya, tapi Yuta hanya mampu menangkap beberapa.


Rupanya, ‘kau harus lihat wajahmu tadi’ dan ‘aku bersumpah yang barusan itu lebih lucu dari sitcom mana pun di muka bumi’ serta kalimat-kalimat hiperbol lain yang ditutur Ye Eun dengan suara tertahan dan mata berair itu pada akhirnya berhasil membuat Yuta tertular. Senyum kecil di wajahnya berangsur-angsur berubah menjadi tawa kecil, dan berkembang menjadi tawa yang lebih besar. Suara tawa mereka bersatu, menggema memenuhi bilik ruang ganti. Yuta melempar kepalanya ke belakang, terpingkal sama gelinya dengan Ye Eun. Pria itu memejamkan mata, tingkah konyolnya baru saja menusuk tajam ke otaknya. Sulit dipercaya, tapi ia benar-benar baru saja membuat drama ‘aku tak bisa napas-dadaku sesak-aku bisa mati’ di fitting room swalayan kecil di pedalaman Jeonnam gara-gara sepotong hoodie.


Dan saat itu, saat Ye Eun menoleh dan menemukan Yuta tersenyum, tertawa dan berekspresi tulus tanpa dibuat-dibuat, ia terdiam, tertegun di posisinya dengan perasaan hangat yang tak terbantahkan. Hatinya mengembang. Senyum gelinya berubah menjadi senyum terpesona. Yuta yang memakai hoodie merah, yang sebelah tangannya—entah sadar atau tidak—masih melingkar longgar di pinggangnya, yang sudut bibirnya tertarik liar dan suara tawanya menggema renyah, nampak begitu manusiawi dan nyata. Bibirnya melengkung membentuk senyuman, begitu manis, begitu dekat, begitu menggairahkan. Tipikal senyum yang mustahil tidak ingin kau cium.


Dan detik selanjutnya, yang Ye Eun tahu, ia sudah menarik leher hoodie sang pria, membuat pria itu sedikit bungkuk ke arahnya. Yuta balik memandang Ye Eun dengan mata hitamnya yang bulat dan berpijar, masih tersenyum lebar.


Ye Eun berpikir seseorang seharusnya tidak diizinkan memiliki senyum seindah ini. Ia memandangi Yuta dengan mata melamun, membalas senyumnya seperti sedang bermimpi. Lantas menarik hoodie pria itu semakin dekat sebelum berjinjit dan mengecup bibir tersenyumnya begitu saja.


Ye Eun menjauhkan wajahnya dari Yuta dengan perasaan lega, seolah ia baru saja menanam sejuta pohon demi kelangsungan planet bumi, seolah ia sudah berbuat kebaikan yang berpengaruh besar bagi peradaban umat manusia. Namun saat gadis itu membuka mata dan melihat ekspresi syok Yuta tepat di depan wajahnya, ia tersadar yang ia lakukan barusan bukanlah kegiatan amal.


Ye Eun terbelalak lebar dan segera menarik diri. “M-maaf,” katanya. “A..aku…” Ia membatu, tak tahu harus membela diri seperti apa. Senyummu seperti memanggil-manggilku, seolah memohon-mohon minta dicium.


Karena tak tahu lagi harus apa, Ye Eun pun menyambar kemeja salmon di gantungan lalu berkata sambil mengacungkannya. “A-aku akan bayar ini di kasir. Kita langsung ketemuan di luar saja. Di tempat menunggu taksi.”


Gadis itu keluar dengan tergesa-gesa, sementara Yuta masih bergeming syok memandang tembok, nyaris tak berkedip seolah nyawanya sudah melayang meninggalkan bumi.



**********



Ye Eun sudah menemukan taksi. Ia menunggu di luar hampir lima belas menit tapi Yuta tak kunjung datang. Argonya sudah dipasang dan terus berjalan.


Khawatir, Ye Eun pun masuk ke toko baju itu lagi dan berjalan menuju ruang gantinya, berpikir mungkin Yuta masih kesulitan membuka hoodie-nya.


Namun sesampainya di sana, ia malah menemukan seorang pramuniaga keluar dari bilik yang tadi dipakai Yuta sambil melipat hoodie merah yang familier. Ye Eun menanyakan keberadaan Yuta, namun pramuniaga itu menggeleng tak tahu, berkata bahwa bilik itu sudah kosong ketika ia masuk.


Ye Eun pun kelimpungan mengelilingi toko, mencari Yuta sambil terus mendecak dan menggerutu.


Setelah hampir setengah jam berputar tanpa hasil, ia pun keluar sambil menghubungi Yeon Ju. Taksinya sudah menghilang. Lewat telepon, Ye Eun bertanya apa Yuta sudah pulang, yang langsung dijawab ‘tak tahu’ dengan nada tak peduli oleh sang adik.


“YAH! Coba cari di halaman, di kamar, di ladang!” bentak Ye Eun sementara ia kembali memandang berkeliling mencari taksi yang lain.


Yeon Ju baru menjawabnya setelah beberapa lama. [Dia di ladang,] katanya datar.


Perasaan Ye Eun campur aduk, ia lega sekaligus kesal. Syukurlah dia tak hilang, tapi di waktu yang sama juga… apa-apaan pulang duluan!


Sementara itu, sebuah taksi akhirnya berhenti di depannya.


“Bersama ayah?” tanya Ye Eun sembari masuk.
[Tidak. Ayah sedang mandi. Kau sudah di mana? Cepatlah pulang! Sebentar lagi jam 6. Aku harus mengupas pirnya.]


Ye Eun meloloskan dengus kesal dari hidungnya, bukan karena Yeon Ju, tapi Yuta. Apa-apaan sih dia! Bikin panik saja!


[Eonnie,] tegur Yeon Ju.
“Iya, iya, aku di jalan.”



**********



Yuta mengayunkan cangkulnya sekuat tenaga. Wajahnya suram.


“Benar-benar. Shin Ye Eun itu.”


Edawn dan Yanan sudah bergabung dalam telepatinya selama dua puluh menit terakhir, hanya untuk mendengar keluh kesah Yuta yang baru saja dicium oleh istrinya sendiri. Ia meracau dengan begitu gelisah, seolah kontak fisik setengah detik itu bisa menyebabkan bibirnya dipenuhi bisul.


“Dia pikir apa yang dia lakukan?” serunya jengkel. “Seenaknya melakukan itu. Aku benar-benar tak tahu harus apa. Aku diam di ruangan kecil itu, bernapas sambil melotot menatap tembok, seperti orang bodoh. Kenapa sih dia sela…..”


[Aku tak mengerti kenapa kau semarah ini,] sela Edawn tak tahan. Ia sudah mendengar ‘melotot menatap tembok’ kira-kira empat kali dan ‘kenapa dia selalu seenaknya’ sebanyak lima kali. Yuta terus mengulang-ulang kalimatnya tanpa menambahkan informasi baru.


“YAH! Bagaimana bisa aku tak marah?!” hardik Yuta. “Dia terus-terusan membuatku bingung.”
[Bagian mananya yang membuatmu bingung?]
“Dia masih mimpi buruk kemarin lusa dan sekarang tiba-tiba menciumku!”
[Kenapa harus bingung? Bukankah ini kabar bagus? Dia jelas mulai suka padamu!!]
“Tapi kenapa harus menciumku!”
[Itu salah satu cara manusia menunjukkan perasaannya, Yang Mulia,] kata Edawn bosan. [Berhentilah bertingkah seolah ini pengantin pertamamu.]


“Tapi aku tidak mau. Aku benci… perasaan ini.”
[Perasaan apa?] tanya Edawn lagi.


Yuta juga tak tahu. Ia tak pernah merasakan sesuatu yang seperti ini. Ia bahkan tak bisa mendeskipsikannya.


“Apa kalian pernah berciuman dengan pengantin kalian sebelumnya?”


Tak ada yang langsung menjawab. Baik Yanan maupun Edawn diam seolah sedang menunggu satu sama lain untuk bicara duluan.


[Mungkin?] Edawn akhirnya menjawab. Nada suaranya ragu, seakan-akan dia sedang balik bertanya. Ia lantas mengoper pertanyaan itu pada Yanan. [Kau pernah?]


[Kau tahu, sejujurnya aku tak ingat. Lagi pula, ciuman atau tidak, itu tidak penting,] kata Yanan sok. [Maksudku, sekalipun ternyata aku memang pernah berciuman dengan pengantinku, aku yakin aku tak langsung teleportasi ke tempat lain dan membuatnya panik.]


Yuta memutar mata mendengar sindiran itu. Mengayun cangkulnya lebih keras pada batu yang sempat ia tinggal—yang masih tertanam kokoh tanpa retakan. Batu yang tangguh sekali.


[Kau bilang kau bingung, eh? Lalu bagaimana dengan Nona Pengantin? Tidakkah kau pikir dia jauh lebih bingung?] tambah Yanan, suaranya semakin jengkel. [Kau panik tanpa alasan. Untuk apa kabur tiba-tiba? Aku akan sangat terkejut jika dia tidak marah.]


“Lalu aku harus apa?” sahut Yuta emosi.
[Tentu saja minta maaf,] desak Yanan, tak kalah emosi. [Jika jantungnya memang belum berdegup untukmu, aku yakin sudah sedikit lagi. Dia tak mungkin menciummu tanpa alasan, kan?]


[Kita semua sudah tahu kalau pengantinmu memang agak sulit ditaklukkan, dan sekarang kau malah menambah masalah lagi, hanya karena kau bingung? Itu terdengar sangat konyol bagiku.]


Yuta mendesah. Ia menyauk tanah di sekitar batu tangguh itu dengan kakinya, berpikir mungkin akan lebih mudah untuk mencongkelnya dari samping ketimbang menghancurkannya dengan cangkul.


[Yuta.]
“Apa?”
[Kau masih mau pulang, kan?] tanya Yanan tajam.
“Ke Seoul?”
[Ke dunia vampir.]
“Tentu saja,” sambar Yuta dengan nada tersinggung, tak percaya ia harus menjawab pertanyaan sebodoh itu.


[Kalau begitu berhentilah bersikap aneh. Aku tak pernah melihatmu sehilang akal ini. Seolah kau lupa apa tujuanmu.]


Yuta tak menjawab.


[Sekarang kutanya, tujuanmu apa?]
“Membuatnya jatuh cinta padaku, melakukan ritual, hidup abadi,” jawab Yuta lancar.
[Benar. Maka bersikap baiklah pada Nona Pengantin. Kau sudah dekat, Kawan. Aku yakin.]
“Kalian tidak mengerti,” kata Yuta putus asa. “Ada sesuatu yang aneh.”
[Apa?]
“Aku tak tahu. Yang pasti itu tak nyaman. Benar-benar tak nyaman sampai rasanya aku tak mampu berada di dekat Shin Ye Eun lagi.”


[Yuta, kumohon. Kendalikan dirimu.]
[Aku benci untuk mengakui ini, tapi Yanan benar. Kendalikan dirimu! Kau agak terlalu ‘tersesat’ ukuran Yuta yang kukenal.]


Yuta mendenguskan napas dari hidung, tersenyum mencela pada batu di hadapannya. Hatinya sedang melalui fase yang rumit dan beginilah cara dua sahabat paling setia sepanjang masa itu menghiburnya, dengan mendiktenya tentang apa tujuannya di bumi, mengatainya ‘hilang akal’ dan ‘tersesat’, serta menyuruhnya mengendalikan diri. Perhatian sekali.


[Kalau aku jadi kau, aku pasti akan langsung melakukan ritual di ruang ganti tadi, persis setelah dia menciummu. Atau…. menurutku, mungkin belum terlambat jika kau teleportasi ke Ye Eun sekarang dan langsung…]


[Jangan bodoh,] sergah Yanan tegas, [kecuali kau benar-benar yakin pengantinmu mencintaimu, maka tunggulah sampai kalian tiba di rumah dan lihat apa dia masih mimpi buruk. Itu cara paling aman.]


Yuta berhenti menyerok tanah dengan kakinya karena tindakan itu percuma. Batu di hadapannya ternyata lebih besar dari yang ia kira. Yuta tak mampu menemukan ujungnya. Maka, sambil mendengarkan Yanan dan Edawn berdebat soal ‘kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan ritual’, Yuta kembali mengayunkan cangkulnya tinggi-tinggi, balik ke rencana awal dan bertekad untuk menghancurkan batu itu lagi.


[… apa sih maksudmu? Kau dengar sendiri Yuta selalu bicara dengan nada tak yakin. Selama ini kita cuma mendengar kemajuan hubungan mereka lewat penjelasan emosionalnya saja. Kalau dia menjalankan ritual sekarang dan ternyata jantung Nona Pengantin belum berdegup untuknya, maka semua ini akan sia-sia. Dia tetap akan jadi debu.]


[Yeah, tapi…] Edawn pada akhirnya terdiam, kalah.
[Apa ini hanya berlaku untuk pengantin Yuta atau memang semua manusia di era ini susah sekali ditebak?]


[Bayangkan apa yang akan terjadi pada kita 60 tahun lagi,] kata Yanan lesu, merujuk pada waktu pencarian pengantin mereka yang akan dimulai kira-kira 60 tahun lagi, nyaris di tahun yang sama.


[Wah, kau mulai lagi.] Edawn tertawa penuh percaya diri. [Kalau aku sih, perempuan di era mana pun pasti tetap akan mudah. Khawatirkanlah dirimu sendiri.]


Yanan menyesal mengajaknya bicara.


BRAKK-BRAKK-BRAKK-BRAKK


Yuta yang mulai kesal—karena batu di hadapannya tak kunjung hancur—tiba-tiba memutuskan untuk memukuli batu itu bertubi-tubi. Suara benturan antara cangkul dan batu tersebut terdengar brutal sekali sampai Yanan dan Edawn terkejut.


[Hei hei, Yuta, ya ampun, apa yang kau lakukan? Dengarkan aku,] desak Yanan khawatir. [Semua akan baik-baik saja. Kau masih punya dua bulan lebih sebelum batas ritual. Tidak usah tergesa-gesa.]


Selama Yanan bicara, yang terdengar hanyalah suara BRAK-BRAK-BRAK-BRAK yang semakin tak terkontrol.


[Yuta! Aku tahu kau sedang mencangkul tapi APA YANG KAU CANGKUL? Kenapa suaranya menyeramkan begitu? Kau tidak sedang mencangkul kepalamu sendiri, kan? Atau… YAH! Kepala siapa yang kau cangkul?!!]


Yanan tertohok mendengar dugaan Edawn. Otaknya secara otomatis membayangkan Yuta benar-benar melakukan hal sadis itu saking stresnya.


[YAH! Hentikan!] bentak Yanan panik. Edawn turut berteriak mengecam tindakan tersebut tak kalah panik.


Namun Yuta tak mendengar keributan di telinganya dan terus-menerus memukul-mukul batu itu sampai tulang di pundaknya serasa bergeser.


BRAK-BRAK-BRAK BRAAKKK dan BRAAKKKK. “PECAHHH!!!” teriak Yuta.


Yanan dan Edawn praktis berteriak juga.


[APA!! APA KAU BILANG! SIAPA YANG PECAHH!] jerit Edawn.
[ASTAGAAA!!!]


Detik berikutnya, dua pria itu sudah berteleportasi ke kanan kiri Yuta.


“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Yuta. Napasnya tersengal dan keningnya berkerut dalam melihat kedatangan tiba-tiba mereka.


“SIAPA YANG PECAHHH!” desak Edawn kebakaran jenggot.


Senyum bangga langsung tersungging di bibir Yuta. Ia menunjuk retakan kecil di batu persis di hadapan mereka dengan cangkulnya, “Itu.”


Edawn menoleh menatap batu itu dan langsung menempeleng kepala Yuta. “Dasar tolol!!”


“YAH!!” Yuta melempar cangkulnya dan mendorong Edawn tak terima. “Kenapa kau memukulku!! Apa salahku!!”


Yanan mengacuhkan perkelahian di sebelahnya dan menatap retakan batu itu sambil menggeleng tak habis pikir.


Sepanjang sore, Yuta menghabiskan waktunya dengan mencangkul lebih banyak lagi. Ia melanjutkan pekerjaannya sampai batu itu pecah sempurna dan mengeruk tanahnya sampai pada kedalaman yang diinginkan ayah Ye Eun. Sementara itu, Yanan dan Edawn tidur-tiduran di saung, tiga meter dari tempat Yuta berdiri, memerhatikan pria itu mencangkul sambil berusaha menghibur dan mencegahnya memecahkan kepalanya sendiri—atau kepala siapa pun—walau Yuta sudah meyakinkan mereka ia tak berminat memecahkan kepala sama sekali.



**********



Ye Eun bersusah payah menghindari kontak mata dengan Yuta—yang baru melangkah ke ruang tamu dengan rambut lepek, baju basah berkeringat dan kaki berwarna merah bata karena terlalu lama terpendam di tanah. Semua orang sudah memakai baju formal serba hitam untuk upacara peringatan pemakaman keluarga, jadi.. tanpa basa-basi lagi, Yuta segera mengambil handuknya dan bersih-bersih di kamar mandi.


Yuta bergabung di ruang tamu tepat pukul tujuh malam, memakai jas hitam lusuh yang jelas belum disetrika serta kemeja senada yang tak kalah lusuhnya. Dia tak pakai kaos kaki. Rambutnya tidak disisir. Wajah cekungnya terlihat semakin mengerikan karena kelelahan. Ye Eun benar-benar malas mengakui cowok urakan itu sebagai suaminya.


Yuta dan ayah Ye Eun berdiri di barisan depan, persis sebelum meja panjang di mana foto kakeknya yang sedang tersenyum bersahaja diletakkan bersama dengan bunga-bungaan, lilin, makanan, dan buah persembahan. Ye Eun, Yeon Ju serta sang ibu berdiri berjejer di barisan belakang. Semua orang menunduk selama ayah Ye Eun mulai menuangkan air dan memutarnya di atas lilin yang dinyalakan Yuta, kemudian bangkit berdiri untuk melakukan bungkuk dan memulai doa.


Ye Eun tak bisa khusyuk dalam doa. Ia terus menatap bagian belakang kepala Yuta dengan perasaan campur aduk; marah, bingung, sakit hati, kecewa, iba, serba salah. Yuta beberapa kali menggerakkan bahunya yang pegal. Memutarnya ke belakang dan menjatuhkannya lagi.


Kenapa? Kenapa kau meninggalkanku?


Mungkin aku memang salah karena menciummu tiba-tiba, tapi apa harus bersikap seberlebihan itu? Seolah kau benar-benar benci padaku.


Apa mungkin kau hanya malu?


Tidak. Ekspresi wajahmu jelas-jelas bukan seperti orang yang malu.


Lalu apa?


Kau bilang suka padaku, tapi apa ini yang namanya suka?


Sebenarnya maumu apa, huh?


Terkadang aku merasa kau berusaha begitu keras untuk membuatku menyukaimu, tapi saat aku menyambut usahamu itu, kau malah mendorongku menjauh.


Hubungan macam apa ini?


Apa yang harus kulakukan supaya bisa memahami isi kepalamu yang absurd itu?


Apa aku harus menjalani kehidupan semacam ini seumur hidup? Apa aku harus selalu dibuat bingung dengan perasaanku?


Kau muncul di kehidupanku seperti takdir, tapi… apa ini takdir yang baik atau buruk?


Sebenarnya hubungan macam apa yang kita lalui ini?


Sebenarnya aku dan kau itu apa?


Sebenarnya kita ini apa?


“Sebenarnya ini apa!” seru Ye Eun tiba-tiba, sedikit terlalu kencang dari yang seharusnya, terlebih di ruangan yang sunyi di tengah-tengah persembahan sakral peringatan kematian kakeknya sendiri.


“Yah! Shin Ye Eun!” Sang ayah menoleh padanya dengan tatapan marah sekaligus syok. “Ini acara peringatan kematian kakekmu! Apa-apaan teriak seperti itu!”


“M-maaf.”


Yeon Ju meliriknya dan menggelengkan kepala seolah Ye Eun sangat bodoh, kemudian menjauh selangkah dari kakaknya itu seakan takut tertular.


Begitu upacaranya selesai, semua orang berkumpul untuk makan acar timun dan makarel. Walau sedang marah, Ye Eun tetap membantu Yuta. Dia bilang mereka berdua sudah makan duluan di restoran dekat toko buah.


Alhasil, karena alibinya itu, Ye Eun harus pura-pura kenyang dan hanya mencomot sepotong kimbab untuk makan malam.


Pukul sepuluh, tepatnya setelah membantu ayah Ye Eun menggeser sofa dan menggulung karpet di ruang tengah, Yuta akhirnya bisa masuk ke kamar dan mengganti baju.


Ye Eun masuk lima belas menit kemudian, sudah mengganti baju terusan hitamnya dengan gaun tidur panjang yang sangat pantas. Ia mengganti bajunya di kamar mandi.


Yuta baru saja selesai melipat jasnya dan memasukkannya ke dalam koper saat pintunya ditutup. Pria itu berjongkok di depan kopernya dan memejamkan mata, mendesah, kalau ia tahu Ye Eun akan masuk kamar secepat ini, ia pasti sudah pura-pura tidur dari tadi.


Terpaksa Yuta pun berdiri dan menoleh pada Ye Eun—yang masih bergeming di depan pintu, memandangnya dengan ekspresi tak terbaca. Walaupun sudah tahu cepat atau lambat mereka pasti akan bertemu, namun Yuta tak menduga dadanya akan bereaksi seperti ini. Ada gelombang ketakutan dan kepanikan yang serasa menyembur dari perutnya. Mereka berpandangan selama beberapa saat sebelum Yuta merasakan telinganya memerah dan langsung berpaling.


“Selamat tidur,” katanya, membungkuk dan menempatkan dirinya berbaring meringkuk di bagian kiri kasur.


“Aku tidak mau tidur di lantai lagi malam ini,” kata Ye Eun tegas.


Yuta terpaksa menoleh lagi. Terpaksa membiarkan lonjakan rasa gugup menguasai dadanya lagi.


“Tidak ada yang menyuruhmu tidur di lantai.” Ia bicara setenang mungkin, berharap Ye Eun tidak menangkap kegelisahan dalam suaranya. “Tidurlah. Kasurnya cukup besar untuk kita berdua.”


“Aku tidak mau tidur di kasur yang sama denganmu. Kita baru kenal dua minggu, kau bisa saja orang mesum.”


“Orang mesum,” ulang Yuta keras, seolah tak memercayai pendengarannya. “Kau yang menciumku dan akulah yang mesum di sini. Logikamu, wah, luar biasa.”


“Tidak usah mengungkit-ungkitnya. Itu terjadi begitu saja.”
“Itu terjadi begitu saja.” Yuta kembali mengulangi perkataan Ye Eun dengan tampang terkejut dibuat-buat. Seolah semua yang keluar dari mulut gadis itu harus ditutur dua kali untuk menegaskan betapa bodoh dan tidak masuk akalnya mereka. Ye Eun membuatnya gugup dan mengeluarkan keringat dingin sepanjang hari dan sekarang dengan entengnya ia melempar kesalahan pada Yuta, menuduhnya mesum dan membela diri hanya dengan kalimat ‘itu terjadi begitu saja’, tanpa peduli derita apa yang dilalui Yuta karenanya.


“Oke, aku minta maaf. Aku yang salah dan aku bersumpah itu tak akan terjadi lagi. Jadi berhentilah mengungkitnya. Tenang saja. Aku tidak punya perasaan apa pun padamu.”


Yuta terdiam sesaat, merasa tersinggung.


“Kalau kau tak punya perasaan apa pun padaku, maka tidurlah di sampingku,” desisnya, muak dan sakit hati. Yuta menepuk kasur di sebelahnya seolah sedang menantang. “Kau tidak menyukaiku, kan? Sini!”


“Berhenti main-main dan menyingkirlah dari kasurku! Aku sudah tidur di lantai kemarin malam dan aku mau kita gantian.”


Yuta mendecih, menolak mentah-mentah permintaan itu. “Kau tahu, terserah padamu, tapi aku tak akan ke mana-mana. Badanku pegal luar biasa karena mencangkul hampir dua petak sendirian dan aku tak berniat untuk memperburuk rasa sakitnya dengan tidur di lantai yang keras dan dingin.”


“Tak ada yang menyuruhmu mencangkul sebanyak itu.”


Yuta memutar mata sampai matanya sakit, kemudian kembali meringkuk membelakangi Ye Eun. “Yeah, terserah. Bersenang-senanglah di lantai,” katanya mencela.


Ye Eun nyaris menjerit marah sebelum teringat bahwa orangtuanya berada persis di kamar seberang, dan ia sama sekali tak ingin anggota keluarganya tahu betapa menyedihkan rumah tangganya ini.


Alhasil, ia pun menyambar bantal di sebelah Yuta dan menempatkannya di lantai persis di samping lemari, lantas dengan kasar mengempaskan dirinya, berbaring meringkuk membelakangi sang pria.


“Selamat tidur,” ucap Yuta mencemooh.
“Tutup mulut, berengsek,” desis Ye Eun, gemetar marah dan menggeram di balik napasnya.


Badannya kaku dan matanya memanas saat ia mencoba tidur. Ye Eun merasa hatinya kebas memikirkan semua kegagalan yang dialaminya dalam hidup. Dia sudah hampir seperempat abad, namun tak ada satu pencapaian pun yang bisa dibanggakan dalam hidupnya. Dia masih belum lulus kuliah sementara hampir semua orang di angkatannya sudah sibuk meniti karir. Dia berbohong pada orangtuanya, mengaku sudah lulus dan sedang menikmati hidupnya sebagai pekerja kantoran sukses di Seoul. Sebenarnya, dia berbohong kepada orangtuanya soal banyak hal, mereka bahkan tak tahu kalau ia sempat mengambil cuti setahun untuk training jadi idol dan menghabiskan uang semesterannya untuk itu. Bodoh sekali.


Intinya, kuliahnya kacau, karirnya kacau, keuangannya kacau dan sekarang rumah tangganya pun kacau. Mungkin satu-satunya hal yang belum ia kacaukan sekarang hanyalah jalinan persahabatannya dengan Ji Won—tunggu, sebenarnya ia sudah mengacaukannya juga dengan tuduhan perselingkuhan keji kemarin, tapi syukurlah Tuhan menciptakan hati Ji Won dari berlian. Satu-satunya orang yang patut dipuji karena keutuhan persahabatan mereka selama empat tahun terakhir adalah Moon Ji Won seorang. Ya, Ye Eun memang kacau di segala sisi hidupnya, tapi Ji Won tidak. Ji Won adalah orang paling setia kawan, paling tangguh, paling cemerlang yang pernah Ye Eun temui. Dan fakta bahwa Ji Won yang gilang gemilang masih mau berteman dengannya sampai detik ini benar-benar membuat Ye Eun terkejut.


Sebenarnya, dari sisi ekonomi maupun kehidupan pribadi, Ji Won justru lebih bobrok darinya. Ji Won adalah seorang anak sulung dari enam bersaudara, ibunya pecandu alkohol akut dan ayahnya tak bisa diandalkan. Tapi sebagaimana Ye Eun menyebutnya, dia cemerlang, dia mampu lulus tepat waktu dan langsung bekerja jadi junior supervisor di restoran yang cukup bergengsi. Gadis itu bahkan bersedia membantu Ye Eun yang kehilangan arah dengan mengemis pada atasannya supaya Ye Eun bisa bekerja di sana—dan berhasil.


Ji Won selalu ada untuknya, tak pernah mengeluh semerepotkan apa pun dirinya. Dalam hubungan persahabatan mereka, sudah jelas bahwa Ji Won lah yang berperan sebagai si ceria dan bijaksana, si tempat mengadu dan selalu memaafkan. Andai Moon Ji Won itu laki-laki, Ye Eun pasti sudah naksir berat padanya.


Setelah pikirannya entah bagaimana mengalir pada Ji Won, Ye Eun mendadak jadi merindukannya. Gadis itu merasa benar-benar luluh lantak, ia perlu mengadu pada seseorang. Semua lamunannya barusan membuat pelupuk matanya basah oleh air mata.


Ye Eun membuka aplikasi pesan di ponselnya dan membaca pesan terakhir yang dikirimkan Ji Won enam jam yang lalu—soal Yuta dan kemeja salmonnya—kemudian mengetikkkan pesan baru, mengadu.


Aku tidur di lantai


Ye Eun memandang layar ponselnya selama dua puluh detik, menunggu balasan, sebelum akhirnya rasa kantuk mulai menyerang. Ia meletakkan ponselnya di samping kepala. Memejamkan mata.



**********



Kesadaran Ye Eun belum sepenuhnya terkumpul saat sinar matahari masuk lewat kisi-kisi dan jatuh tepat di wajahnya. Ia mengerjap sambil meregangkan tangan, lantas terbelalak dan melonjak bangun begitu sadar dirinya lah yang justru berada di kasur busa.


Sama seperti kemarin, Yuta sudah menghilang dari kamar.


Ye Eun mengambil ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang, namun pesan masuk dari Ji Won mengalihkan perhatiannya.


APA!! Ya ampun cecunguk itu!! Kau ingin aku ke sana dan menghajarnya untukmu?? – Ji Won


Ye Eun langsung membalas.


Ini aneh, tapi aku bangun di kasur.


Pesannya dibalas cepat sekali.


DIA MENGANGKATMU KE KASUR???? – Ji Won


Sepertinya begitu? Aku tidak pernah berjalan sambil tidur, dan misalkan aku pindah sendiri, aku yakin walaupun sedikit aku pasti ingat. Tapi aku tidak ingat apa-apa.


Wah, tuan muda Nakamoto. Tapi kau baik-baik saja, kan? Pakaian lengkap? Maksudku, dia tidak melakukan apa-apa, kan? – Ji Won


Ye Eun menoleh pada bantalnya yang masih tergeletak di lantai. Hatinya mencelos.


Aku yakin dia tidak melakukan apa-apa. Dia tidur di lantai semalaman.


Ye Eun menggenggam erat ponselnya dan bangkit berdiri dengan dada bertalu-talu. Yuta mengangkatnya ke kasur dan menggantikan posisinya di lantai. Ye Eun tak bisa berhenti memikirkan itu sampai perutnya dipenuhi kupu-kupu. Ia keluar kamar dengan wajah memerah dan merasa konyol bukan main. Bagaimana bisa perasaannya terus berubah-ubah tiap 5 jam sekali? Sesaat dia menatap Yuta dan berpikir ‘aku bersedia melakukan apa pun untukmu’, lalu tak lama kemudian ia menatap orang yang sama dan berpikir ‘aku akan melempari muka menyebalkanmu itu dengan batu’.


“Kau lihat Yuta?” tanya Ye Eun langsung, tepat setelah ia melihat Yeon Ju keluar dari kamarnya dengan seragam sekolah.


“Ya. Dia di ladang.”
“APA?”
“Tadi saat aku mau mandi, aku melihatnya mengambil cangkul dan pupuk di gudang belakang.”
“Bersama ayah?”
“Tidak.” Yeon Ju menutup ritsleting tasnya dan menyandangnya di bahu. “Ayah baru menyusulnya sepuluh menit yang lalu.”


“Huh? Maksudmu dia ke ladang duluan?”
“Ya.”


Yuta bermaksud menghindarinya. Itu jelas sekali. Tanpa sadar wajah Ye Eun sudah mengeras. Suasana hatinya berantakan lagi. Yuta membuatnya berubah dari tersipu ke kecewa hanya dalam sepuluh detik.


“Eonnie,” panggil Yeon Ju.


Dengan malas Ye Eun kembali menoleh padanya. “Apa?”


“Suamimu itu kerja apa sih sampai sekaya itu? Rumah kalian pasti besar sekali, ya?”
“Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”
“Tidak apa-apa. Cuma… tadi pagi dia agak pincang saat berjalan, punggungnya juga lebih bungkuk. Kakak ipar jelas sedang menahan sakit. Aku jadi berpikir apa kasur busa kita sebegitu tidak nyamannya? Biasanya dia tidur pakai spring bed mahal, kan? Pasti tidak nyaman sekali di sini.” Yeon Ju mengakhiri kalimatnya dengan desahan iba, lantas tiba-tiba saja ia menoleh pada Ye Eun dan memicing penuh selidik, “kau tidak menyuruhnya tidur di lantai, kan?”


Ye Eun tersentak dan menatap Yeon Ju panik.


“A-aku…”
“Ya ampun.”
“Aku punya alasanku sendiri, kau tidak akan menger…”
“Kau tahu,” sela Yeon Ju dengan nada sok bijak, “saat malam pernikahan kalian, teman suamimu yang setinggi galah itu memberiku kotak sepatu.”


“Yanan?”
“Aku tak tahu namanya.”
“Baiklah, lalu?”
“Karena aku sedang tak butuh sepatu, jadi aku meletakkannya di belakang pintu kamarku. Aku baru membukanya empat hari yang lalu, dan kau tahu apa isinya?”


“Apa?”
“Uang.”
“Uang?”
“Uang yang sangat banyak, berdesakan satu sama lain sampai kau tak bisa menyelipkan sehelai kertas pun di antaranya.”


Ye Eun terperanjat.


“Eonnie, kau lihat ini?” Yeon Ju lalu mengulurkan tangannya dan memamerkan jam tangan mokanya yang nampak elegan. “Harganya mahal sekali.”


Ye Eun memandang jam tangan itu sekilas lalu kembali mengalihkan tatapannya pada Yeon Ju. Menunggu adiknya yang aneh dan sok misterius itu melanjutkan kalimatnya.


“Yang mau kubilang adalah,” katanya lambat-lambat, “aku tahu hubunganmu dengan kakak ipar tidak begitu baik. Aku sempat berpikir mungkin kalian punya perjanjian tersembunyi atau apa, tapi….” Yeon Ju merendahkan suaranya, “aku benar-benar menyukai kehidupanku yang sekarang.”


Ye Eun mengernyit.


“Aku suka bisa beli makanan enak dan tas bagus tanpa berpikir apa uangku cukup. Aku yakin ayah dan ibu juga sepemikiran denganku. Ayah membuat saluran irigasi baru dan mempekerjakan lebih banyak orang untuk memetik buah, ibu juga diam-diam membeli berlian. Dia sekarang sudah mau menghadiri acara ramah tamah di desa karena punya baju yang layak. Jadi kumohon….” Yeon Ju menghela napas panjang, “kumohon padamu, baik-baiklah pada kakak ipar.”


Ye Eun menggelengkan kepala, menatap Yeon Ju tak habis pikir.


“Bahkan jika aku tak bahagia, kau mau aku tetap baik-baik pada Yuta?”
“Dia tampan, kaya, dermawan, pekerja keras. Apa yang membuatmu tidak bahagia?”


Aku tak tahu, jawabnya dalam hati.


“Apa dia jahat?”


Ye Eun langsung menggeleng.


“Lalu apa?”
“Dia…” suaranya kian menipis, “membuatku bingung.”


Yeon Ju mendengus tak percaya. “Kau juga membuatku bingung,” katanya jengkel, kemudian berjalan begitu saja menuju pintu depan. Ye Eun mengawasinya mengambil sepatu sekolahnya dari rak dan memakainya sambil berpegangan di tembok. “Eonnie, kau pulang ke Seoul sore ini kan?”


“Ya.”
“Aku mungkin belum pulang saat kau jalan, jadi yeah,.. hati-hati.”


Ye Eun mengangguk, tersenyum amat tipis ia yakin Yeon Ju tak tahu ia tersenyum. “Sekolah yang benar.”


“Kau juga,” sambar Yeon Ju langsung, menyeringai menang, “kuliah yang benar.”


Ye Eun terbeliak. “D-darimana kau…”


“Kau bisa membohongi ayah dan ibu, tapi tidak denganku.” Yeon Ju terlihat amat menikmati ekspresi kaget Ye Eun, seringaiannya makin lebar. “Tenang saja, aku akan tutup mulut. Baiklah-baiklah pada kakak iparku. Aku pergi.”



**********



Ye Eun dan Yuta sampai di bandara Gwangju pukul lima sore. Yuta nampak begitu pucat dan berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda akan pingsan. Bagaimana tidak? Dia tidur di lantai semalaman dan menghabiskan sepanjang siangnya untuk bekerja di ladang tanpa mengambil waktu istirahat. Ayah Ye Eun sudah menyuruhnya berhenti mencangkul dari jam satu, tapi Yuta tak mendengarkan. Ia baru mau diajak pulang saat Ye Eun mendatanginya ke tengah ladang, menyuruhnya mandi dan merapikan koper karena pesawat mereka akan berangkat jam enam.


Maka di sinilah mereka sekarang, di lobi bandara Gwangju, menyeret koper masing-masing menuju gate lima seolah tidak saling kenal. Yuta berjalan dua meter di depan Ye Eun dengan pundak turun dan langkah lemas.


Ye Eun memicing memandangi punggung Yuta. Di satu sisi merasa iba melihat betapa letihnya pria itu. Sementara di sisi lain, ada kecenderungan untuk mendesiskan kata ‘rasakan!’ dengan nada kejam di depan mukanya, sebab tak ada yang memintanya mencangkul seperti orang kesetanan di ladang, sebab Tuhan tahu Yuta bekerja sekeras itu hanya karena ingin menghindari Ye Eun saja. Dan yeah, itulah yang kau dapat karena menghindariku.


“Aww!” Ye Eun tiba-tiba saja menjerit di tengah lamunannya. Seseorang tak sengaja menabraknya dan menumpahkan kopi panasnya ke tangan sang gadis.


Yuta sontak menoleh.


Pemilik kopi itu, cowok umur dua puluh tahunan, dengan rambut ikal, kulit sawo matang dan tindikan di hidung, meminta maaf setengah hati pada Ye Eun, setengah mendecak karena ia harus beli kopi baru. Ia berbalik hendak pergi saat Yuta tiba-tiba menyeruak datang dan menyambar kemeja flanelnya. Matanya tajam dan aura mengerikannya menguar tak terkendali. Semua orang berhenti untuk melihat keributan itu sampai suasana di sekitar mereka menjadi sunyi dan mencekam.


“Minta maaf!” tuntut Yuta.
“A-aku sudah minta maaf.”
“Minta maaf yang benar padanya,” desis Yuta dengan suara berbahaya dan rahang mengeras, kemudian mengulangi perkataannya dengan nada membentak. “Kubilang minta maaf yang benar pada istriku!!”


Urat-urat di tangan Yuta menonjol keluar sementara ia mengeratkan cengkeramannya, seolah sedang menegaskan bahwa ia tak akan ragu untuk menaikkan tangannya sedikit ke atas (ke lehernya) dan mencekiknya sampai mati.


Pria bertindik yang tadi terlihat menyeramkan itu tiba-tiba jadi nampak seperti lelucon di sebelah Yuta. Wajahnya panik seolah ia bisa terkencing di celana jika Yuta menatapnya lebih lama. Gemetaran ia menoleh pada Ye Eun, mengulangi permintaan maafnya dengan bibir gemetar.


Yuta baru menyentak lepas kerah kemejanya begitu Ye Eun mengangguk, menerima permintaan maaf itu. Segera saja pria bertindik tersebut pergi, melangkah buru-buru seolah sudah ketinggalan pesawat, lalu baru berteriak memaki-maki Yuta setelah jarak mereka sudah cukup aman. Jantan sekali.


Ye Eun mengira Yuta akan terpancing emosi, tapi entah karena makian ‘preman bajingan’ atau ‘cowok tolol’ yang dilontarkan cukup keras dari ujung gate dua itu tidak didengarnya, atau mungkin memang karena ia tak peduli, Yuta malah berjalan menghampiri Ye Eun dan mengecek tangannya.


“Kau baik-baik saja? Bagaimana tanganmu?”
“Agak perih sedikit, tapi tidak apa-apa.”


Yuta nampaknya tak begitu puas dengan jawaban itu. Ia menggenggam pergelangan tangan Ye Eun dan membawanya berjalan selama beberapa saat sebelum menemukan plang toilet dan berbelok ke sana.


“Yah!! Aku tak mau masuk toilet cowok!” protes sang gadis. Tanpa bicara apa-apa, Yuta pun memutar langkahnya dan masuk begitu saja ke toilet wanita. Ye Eun terbeliak dibuatnya.


Toilet itu untungnya kosong. Yuta mengulurkan punggung tangan Ye Eun ke wastafel dan membasuh ruam merah serta bekas kopi yang masih tertinggal di sana. Mengusapnya begitu lembut seolah tangannya terbuat dari porselen. Ye Eun memandangi wajah serius Yuta sementara hatinya mencelos. Dia mulai lagi, pikirnya, membuat bingung lagi.


Yuta mematikan kerannya, lalu menoleh memandang Ye Eun—yang juga tengah memandangnya.


“Masih sakit?”
“Sedikit.”
“Mau beli obat dulu?”
“Tidak usah. Nanti juga sembuh sendiri.”
“Kau yakin?”
“Ya,” jawab Ye Eun serak, gugup setengah mati. Yuta masih saja menggenggam tangannya dan ia tak tahu digenggam Yuta ternyata semendebarkan ini. Sensasi yang ditimbulkan dari sentuhan minimum di telapak tangan itu jauh lebih intens dari sekadar kupu-kupu di perut, rasanya seperti ada burung merak di jantungnya.


“Aku bisa sendiri, kau tahu,” kata Ye Eun lambat-lambat, tak mengerti kenapa Yuta harus membasuh tangannya seperti ini, sampai-sampai masuk ke toilet wanita, “maksudku, cuci tangan. Aku bisa cuci tanganku sendiri.”


Yuta memandangnya sesaat sebelum mengangguk tipis seolah berkata ‘aku tahu’, lalu malah mempererat genggaman tangannya.


Yuta terus menggenggam tangannya bahkan saat mereka sudah di dalam pesawat. Jari-jari kurus Yuta bertautan pas dengan jemari Ye Eun, seolah tangan pria itu memang sengaja diukir sedemikian rupa supaya serasi dengan lengkungan tangannya. Ye Eun tiba-tiba teringat akan fakta bahwa Yuta mengangkatnya ke kasur semalam, setengah menyesal karena dirinya tak terbangun sedikit pun. Ye Eun penasaran setengah mati bagaimana rasanya jika tangan Yuta yang lembap dan sempurna ini melingkar di tubuhnya, mendekapnya di dekat jantungnya sebelum meletakkannya hati-hati di kasur. Pasti membutuhkan keahlian khusus untuk bisa bekerja begitu tenang, begitu hati-hati sampai tak membangunkannya.


Saat itu, setelah pesawatnya mengudara kira-kira dua belas menit, Yuta akhirnya melepas genggaman tangan mereka. Dan Ye Eun tak pernah merasa sekecewa itu seumur hidupnya. Burung merak di jantungnya mendadak hilang dan membuatnya merasa hampa. Ye Eun sesaat ingin sekali memesan kopi mendidih dan menumpahkannya ke tangannya sendiri.



**********



Kekecewaan yang dirasakan Ye Eun bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Pukul Sembilan malam, Ye Eun berbaring di kamarnya, memandangi tangan kirinya yang memerah karena insiden kopi di bandara Gwangju dan berpikir sejak kapan tangannya itu nampak begitu kesepian. Apa ia benar-benar harus disiram kopi dulu baru bisa digenggam Yuta lagi? Apa hidupnya sungguh semenyedihkan itu?


Saat itu, notifikasi pesan di ponselnya berbunyi. Dari Ji Won.


KATAMU 4 HARI, KAN? KOK SUDAH PULANG? AKU MASIH DI ANYANG – Ji Won


Ye Eun terbeliak dan langsung melonjak ke posisi duduk.


SEDANG APA KAU DI ANYANG?


Kau ingat See Ra mau sekolah asrama di Anyang? Aku sedang urus administrasinya – Ji Won


See Ra adalah adik ketiga Ji Won dan ya, tentu ia ingat See Ra mau daftar sekolah di Anyang, tapi tidak, ia tidak tahu kalau pendaftarannya sekarang.


Lalu aku tidur dengan siapa?? Kamarku jadi 10 kali lipat lebih seram setelah ditinggal 3 hari!!!


Ye Eun mendecak, memandangi perabot antik di sekelilingnya dengan perasaan waswas sebelum merinding sendiri. Serangan rasa takut berkumpul dan beriak di dasar perutnya. Kalau Ye Eun tidak terus-terusan dihantui mimpi buruk setiap kali ia memejamkan mata di ruangan ini, mungkin ia tidak akan sepenakut sekarang. Tapi masalahnya, Tuhan tahu mimpi buruk soal kelelawar bodoh dan ruangan gelap yang kenopnya terbuat dari zamrud itu akan mendatanginya lagi, tiap malam, konsisten, terus-menerus, seolah mimpi itu permanen.


Ponselnya berbunyi lagi. Ye Eun menggeser kursornya untuk membaca pesan dari Ji Won.


Kalau kau benar-benar takut, ada Yuta di bawah.


Ye Eun membaca pesan itu dua kali lagi sebelum mendenguskan tawa tak percaya.


“Sudah gila, ya?!” Ia berseru pada layar ponselnya. “Kecuali ada angin topan yang tiba-tiba muncul di kamarku, aku tidak akan menjatuhkan harga diriku sejauh itu dan masuk ke kamar Yuta. Tidak akan pernah.”



**********



Ye Eun mencium lengan dan bahunya sekali lagi sebelum kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Ia sudah menyemprotkan parfum Chanel Coco Mademoiselle dan membuat tubuhnya beraroma campuran mimosa dan vanili. Ye Eun sendiri tak mengerti kenapa ia melakukan itu, kenapa ia menyemprotkan parfum, kenapa ia merasa harus wangi hanya untuk menumpang semalam di kamar Yuta.


Ya, dia turun ke bawah, hendak mengetuk pintu kamar Yuta.


Dan tidak, tidak ada angin topan yang tiba-tiba muncul di kamarnya.


Hanya rasa takut.


Tok Tok


Ye Eun menjauhkan tangannya dari pintu dan menelan ludah. Lalu mengulanginya beberapa kali lagi karena tak mendapat respon.


Dan akhirnya, di ketukan ke lima, Yuta membuka pintu. Yuta yang jelas-jelas sudah tidur itu memandangnya dengan mata menyipit, setengah sadar.


“Boleh aku tidur di sini?” tanya Ye Eun, dengan suara serak seolah tenggorokannya tersumbat bola tenis.


Yuta mengernyit. “Kau mau kita tukar kamar?”


“Tidak,” sergahnya langsung. “Maksudku bersama.”
“Bersama?”
“Y-ya.” Ye Eun menelan ludahnya lagi, “tidur….bersama.”



TBC



Happy birthday to mr. nakamoto yuta and mr. nakamoto yuta only<3 o:p="">


Be happy, be healthy, ily


Oke, pertama, soal kemeja salmon… do y’all remember that superior fancam of Yuta performing 0 mile??? Yep, yang dia pake kemeja valentino putih buat luaran. Nah, sekarang bayangin outer putihnya g dipake, bayangin pake kemeja salmonnya doang…. /sigh/ aku mikirin dia soft sekali kawan :(


Kedua, aku baru tahu yg jadi Do Hana di web series A-Teen itu nama aslinya Shin Ye Eun. Aku g tau kalian ada yang nonton A-Teen apa engga, tapi Doha tuh karakter favorit aku di A-Teen trus seneng sendiri gara2 namanya sama /gaje emang, maapin/. Aku baru tahu pas lagi nyari2 foto yeeun di pinterest kok tiba2 banyak foto Doha. Kalau ada yg mau tau, Shin Ye Eun di vampire bride itu nama ig-nya yeexeun aku biasa bayangin muka dia kalo nulis (biasa dipanggil yene, masih 18 taun sih aslinya tapi mari kita bayangin dia 5 taun lebih tua hehe)


Terakhir, aku tau part ini panjang bgt dan aku minta maaf huhu. Tapi aku mau bikin ekstra spesial buat ultah Yutaa. Karena belum tentu taun depan aku masih sesuka ini sama doi. Kutakmau my big yutazen mood to go to waste. Gonna do my best while it lasts :”)


Anywayyy, makasih banyak semuanya semoga terhibur yah kalian… wasalam

Comments

Popular Posts