Vampire Bride - Part 8
Rasa sakit di perut Yuta belum
sepenuhnya sembuh saat ia terbangun di kamar Ye Eun keesokan paginya. Yuta
berbaring telentang di kasur busa setinggi 4 inci dan mengerjap memandang
langit-langit. Bagaimana bisa dia di sini? Kerutan muncul di keningnya selagi
ia mencoba mengingat-ingat. Memorinya berputar samar. Yuta ingat dia mengumpat
dan melempari Ye Eun dengan teko. Dia ingat betapa buruk sikapnya semalam dan
benar-benar menyesal. Tapi setelah kejadian itu, ia tak tahu lagi. Yang Yuta
tahu, dengan kondisi seperti semalam, ia tak mungkin punya cukup tenaga untuk
berjalan pulang, jadi kemungkinan paling masuk akal adalah teleportasi.
Memikirkan itu, Yuta langsung
meringis, dalam hati berharap tak ada yang melihatnya teleportasi. Dia
benar-benar tak mau berurusan dengan asosiasi. Tapi kalau benar teleportasi, kenapa malah teleportasi ke sini?, batin
Yuta. Harusnya dia ke dunia vampir saja, minta diobati. Atau teleportasi ke
kamarnya di Seoul, istirahat, menyendiri. Sekarang dia harus apa? Setelah
kejadian semalam, bagaimana mungkin ia bisa menemui Ye Eun dan keluarganya
tanpa canggung? Bagaimana caranya ia bersikap normal setelah kabur tiba-tiba di
tengah makan malam dan membuat panik semua orang? Yuta merinding membayangkan
akan secanggung apa nantinya jika ia bertatap muka dengan Ye Eun lagi.
Setelah berbaring cukup lama,
Yuta pun bangkit ke posisi duduk. Kepalanya terasa berat luar biasa. Yuta
mengusap wajahnya dan merasakan perutnya dikoyak dari dalam. Dia tak mengerang
atau mengeluh, justru bersyukur karena rasa sakitnya bisa berkurang
sesignifikan ini tanpa obat-obatan dari asosiasi. Kejadian semalam akan menjadi
pengalaman sekali seumur hidup untuknya. Yuta kapok sekali. Apa pun yang
terjadi, dia bersumpah tak akan menyentuh makanan manusia lagi.
Yuta mengulurkan tangannya malas-malasan,
meraih selimut ungu pucat yang merosot di kakinya, bermaksud melipatnya. Namun
saat ditarik, kain wol tersebut nampak tertahan oleh sesuatu—sesuatu di
sampingnya. Yuta menoleh dan langsung terperanjat. Ye Eun ada di sebelahnya. Gadis
itu berbaring di lantai, persis di sebelah kasur busa yang saat ini didudukinya,
seperempat bagian dari selimut wol di tangannya terhimpit di pinggang sang
gadis.
Yuta menahan napas. Ia memandangi
Ye Eun yang tertidur pulas sambil menenangkan jantungnya yang masih berdebar
kencang. Ada baskom stainless di samping kepala Ye Eun, juga handuk setengah
basah di genggamannya. Jelas ia duduk di sebelah Yuta semalaman, mengompres
kepalanya.
Dengan gerakan super lambat, Yuta
berdiri. Ia tak mau membangunkan gadis itu. Juga tak mau satu ruangan dengannya
dulu, tidak sekarang, tidak setelah kejadian memalukan semalam. Yuta tak bisa
membayangkan betapa mengerikan raut wajahnya. Ia membentak Ye Eun begitu kasar,
menatapnya begitu tajam dan mengancam akan membunuhnya.
Pergi dari hadapanku sekarang atau kubunuh kau. Benar-benar seperti
monster.
Setelah pelariannya dari Ye
Eun—yang sebenarnya bukan pelarian karena gadis itu masih tidur—Yuta malah
bertemu dengan keluarga lengkap gadis itu di meja makan. Kecanggungan akut
langsung saja menyergap. Ibu Ye Eun lambat-lambat membuka mulut, bermaksud
menanyai Yuta apa ia sudah baikan, tapi setelah beberapa lama menatapnya
seperti itu, kalimat yang hendak ditutur ternyata tak kunjung keluar, jadi dengan
gerakan yang sama lambat, wanita itu menutup mulutnya lagi. Ayah Ye Eun
memandangnya dengan bola mata bergetar. Tangannya memegang sendok sup yang
sudah setengah jalan menuju mulut, yang berhenti di udara 4 centi dari mulutnya.
Sementara Yeon Ju meliriknya dengan raut penasaran. Keningnya berkerut dalam
dan ia memicing ke arah Yuta, menatapnya dari atas ke bawah seolah sedang
menilai.
Tak mau berlarut-larut dalam
atmosfer tak menyenangkan tersebut, Yuta pun menganggukkan kepalanya dan bicara
sesopan mungkin, “Saya permisi ke kamar mandi.”
Seisi meja balas mengangguk. Ayah
Ye Eun mengangguk terlalu kencang sampai sendoknya terbalik dan sup di dalamnya
meluncur kembali ke mangkuk. Mereka nampak begitu kaku, begitu bersalah, bak
penjahat yang memang sengaja meracuninya. Reaksi itu jelas membuat Yuta tak nyaman,
tak enak hati. Walau harus diakui ia memang agak kesal karena dipaksa makan, tapi
pria itu sepenuhnya sadar bahwa kejadian semalam sama sekali bukan salah siapa
pun di rumah ini. Mereka jelas tak tahu kalau ia tak bisa makan apa-apa.
Logikanya, mana ada manusia yang tak bisa makan apa-apa? Masalahnya cuma satu.
Dia bukan manusia. Dan fakta itu hanya diketahui dirinya seorang.
Yuta mengangguk sekali lagi sebelum
berlalu pergi.
Mungkin, ‘permisi ke kamar mandi’
awalnya memang cuma alasan, tapi sekarang, setelah ia berdiri di halaman
belakang bersama pantulan bayangannya di kaca, Yuta sadar ia memang perlu
mandi. Penampilannya kacau sekali. Saat menyugar rambut, sejumlah kerikil dan
tanah kering berjatuhan dari kepalanya. Bajunya berbau tak sedap, perpaduan
keringat dan muntahan. Kulitnya terasa lengket dan kukunya kemasukan lumpur.
Yuta bertanya-tanya dalam hati apa yang ia lakukan semalam sampai tubuhnya
sekotor ini. Apa dia meraung kesakitan, berlutut sambil menggaruk tanah? Apa
dia tiduran di aspal? Yuta mulai sangsi tentang teorinya soal dirinya yang berteleportasi.
Pria itu punya firasat kalau sebenarnya semalam ia berguling sepanjang jalan sampai
ke rumah.
Dengan gerakan senatural mungkin,
Yuta meregangkan ototnya sambil memandang sekeliling, lantas begitu yakin tak
ada yang melihatnya, ia pun masuk ke bilik kamar mandi. Yuta menyalakan keran
untuk menyamarkan keheningan untuk beberapa waktu ke depan, lantas
berteleportasi ke kamar mandinya sendiri di Seoul. Ia benar-benar harus
menggosok rambut dan badannya dengan tujuh macam sabun berbeda supaya bisa
bersih kembali. Dan kamar mandi Ye Eun jelas tak menyediakan persediaan sabun
sebanyak itu.
**********
Ye Eun mengira ia bisa bangun
lebih awal dari Yuta hari itu. Namun ternyata sang pria sudah meninggalkan
kamar ketika ia membuka mata. Ye Eun meringis. Badannya terasa pegal luar biasa
karena tidur di lantai. Ia berjalan ke luar kamar sambil membunyikan pinggangnya.
“Bangun juga akhirnya.” Yeon Ju
menyambutnya datar. Ye Eun mengucek mata seraya berjalan gontai menghampiri
sang adik—yang nampak sibuk menata ruang tengah untuk upacara peringatan nanti
malam.
“Kau lihat Yuta?” Ye Eun berlutut
di samping Yeon Ju, turut mengambil gelas dari kardus dan mengelapnya sebelum menempatkannya
dalam posisi terbalik di meja. “Kukira dia bakal tidur seharian hari ini, tapi
ternyata malah bangun lebih pagi dariku. Kau tahu kan semalam dia meriang? Badannya
panas sekali, aku jadi tak bisa tidur.”
“Tadi dia mandi, lalu langsung
diajak keluar oleh ayah.”
“Apa?” teriak Ye Eun. Matanya
yang semula masih agak sayu karena ngantuk langsung terbuka lebar. “Ke ladang?”
“Ke mana lagi?”
“Ya ampun!” teriak Ye Eun lebih
keras, nyaris menggebrakkan gelasnya ke meja. “Ayah apa-apaan, sih? Padahal dia
lihat sendiri Yuta pingsan di tengah jalan sampai harus dipapah paman di pos jaga. Sekarang malah disuruh bekerja di ladang. Benar-benar deh ayahmu
itu.”
“Itu ayahmu juga.”
“Aku tahu.”
“Lebih baik kau mandi sekarang,
lalu ajak kakak ipar ke toko buah. Kita kekurangan pir dan jeruk.”
Ye Eun mendengus dan
mengabaikannya. Ia melanjutkan gerakan tangannya (mengelap gelas) yang sempat
terhenti sambil menggerutu. Dasar!
Bukannya membantu malah menyuruhku ke toko buah. Panas-panas begini. Sudah tahu
tempatnya jauh!
“Terserah kau saja,” kata Yeon Ju masa bodo. “Padahal aku cuma memberi ide supaya kau bisa menyelamatkan
suamimu dari ayah.”
Ye Eun sesaat terdiam.
Mereka bertukar pandang selama
beberapa saat sebelum Yeon Ju mendecakkan lidahnya keras-keras. “Yah! Apa lagi
yang kau tunggu? Kenapa malah menatapku? Cepatlah!” Ia mengedikan kepalanya ke
kamar orangtua mereka dengan gerakan tak sabar. “Ibu sudah siap-siap dari
sepuluh menit yang lalu. Kalau dia yang pergi, maka kau tak akan punya alasan
untuk mengeluarkan kakak ipar dari ladang setidak-tidaknya sampai matahari
terbenam. Mau suamimu pingsan lagi?”
Ye Eun melempar kain lapnya
begitu saja dan segera bangkit berdiri. “Kau benar. Aku mandi sekarang.”
**********
“Ayunkan cangkulnya lebih kuat
lagi!” teriak ayah Ye Eun seraya mempraktikkan gerakan mencangkul dengan penuh
gairah. “Nah, benar begitu. Aku tahu kau ini sebenarnya tidak lemah. Waktu kau
pertama kali datang dan mengerjakan ladangku itu, wah.. aku benar-benar
terkesima. Kau mengerjakan tiga petak sendirian. Aku tahu kau ini punya bakat.
Ayo tunjukkan lagi.”
Yuta mendengarkan ocehan ayah Ye
Eun sambil meringis. Ya, waktu itu ia memang mengerjakan tiga petak. Tapi tidak
sendirian. Ia menyuruh Yanan dan Edawn teleportasi ke ladang dan membantunya
mencangkul saat ayah Ye Eun tak sengaja ketiduran di saung.
“Kenapa malah pindah! Cangkul di
sini!”
“Tapi di situ ada batu,” kata
Yuta, yang tampak nyaris pingsan saking pegalnya.
“Pecahkan saja batunya!”
“Apa?”
“Pecahkan!” teriak ayah Ye Eun,
memperagakan gerakan mencangkul lagi dengan antusiasme yang luar biasa.
“Ayunkan cangkulnya sekuat tenaga dan hancurkan batunya! Waktu aku seusiamu aku
bisa menghancurkannya dalam sekali pukul. Kau sudah memukulnya lebih dari
sepuluh kali, dan lihat itu!” Ia menunjuk permukaan batu yang tertanam di tanah
dengan tatapan mencela, “retak saja tidak.”
Yuta memejamkan matanya.
Kepalanya terbakar karena matahari dan sekarang hatinya ikut terbakar karena
dicela berkali-kali. Walaupun begitu Yuta tetap berusaha menahan emosi. Ia
berkonsentrasi pada batu di bawahnya dan mengayunkan cangkul dengan tangan
gemetar.
BRUKK
“Lagi.”
BRUUKKK
“Aduh! Gunakan tenagamu, dong!
Lagi!”
BRUKKK
Yuta memejam lebih kuat, menahan
sakit. Jika terus begini, alih-alih batu, justru tangannya lah yang akan retak.
“Cih.. benar-benar. Coba angkat
cangkulnya lebih tinggi!”
Mengikuti perintah sang mertua,
Yuta mengangkat cangkulnya lambat-lambat, berusaha membawanya lebih tinggi, sementara
lututnya bergetar kencang dan keringat mengucur dari kening dan punggungnya bak
niagara.
“Na Yuta-ssi!”
Suara Ye Eun.
Yuta mengerutkan keningnya
sedikit, berpikir mungkin ia sedang berhalusinasi.
BRUKK. Ia mencangkul lagi.
“Na Yuta-ssi.”
Suara Ye Eun lagi. Lebih kencang
dari yang sebelumnya.
Yuta akhirnya membuka mata.
“Na Yuta-ssi.”
Ini bukan halusinasi.
Yuta seketika menegakkan badan,
menoleh ke asal suara. Wajahnya yang semula lesu mendadak terangkat, bersinar-berpendar-berpijar
dengan luapan rasa bahagia bertubi-tubi. Ye Eun kembali meneriakkan namanya
dari pinggir ladang. Melambai-lambai dan tersenyum begitu manisnya bak
bidadari. Yuta balas tersenyum, tentu saja. Ia tak pernah mengira suara Ye Eun
bisa terdengar semerdu ini. Tak pernah mengira melihat senyumnya bisa membuat
hatinya segembira ini.
“Na Yuta-ssi,” panggilnya nyaring.
“Bisa temani aku beli buah? Aku tak mau jalan sendirian.”
Yuta tersenyum makin lebar. Bahagia
setengah mati.
“Tentu,” balasnya tanpa berpikir.
Ia meletakkan cangkulnya di atas
batu sialan yang tak bisa pecah itu dan membungkuk lambat-lambat pada sang
mertua. Detik selanjutnya sudah melompat kegirangan ke jalanan paving dan
berlari menyongsong Ye Eun dengan raut penuh kebebasan. Ye Eun mengikik
melihatnya.
“Kau mau ganti baju dulu atau…”
“Kita jalan sekarang,” kata Yuta,
tak sabar untuk pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Jalanan menuju swalayan amatlah
lengang. Yuta dan Ye Eun berjalan beriringan di bawah hamparan sinar matahari
dan udara Jeonnam yang bersepoi hangat. Kaku dan canggung seperti biasa.
“Terima kasih.” Yuta bergumam,
“kalau aku mencangkul lebih lama lagi, bahuku mungkin sudah copot sekarang.”
Ye Eun menggerakkan kepalanya
dalam anggukan tipis. Ia terdiam sebentar, lantas membuka mulutnya dan menatap
Yuta. “Sekarang,” katanya penuh antisipasi, “karena kau sudah bisa bicara baik-baik
padaku, boleh aku tanya kau alergi apa?”
“Alergi?”
“Ya. Makanan apa tepatnya yang
membuatmu menggila seperti semalam?”
Yuta tak langsung menjawab, sebab
ia tak tahu harus menjawab apa. Setelah keheningan yang menyesakkan, Ye Eun
mulai menyebutkan semua makanan yang disajikan semalam.
“Ikan?”
“Tahu?”
“Lobak?”
“Atau jangan-jangan,” gadis itu
terkesiap sendiri, “nasi?”
Yuta cuma meliriknya. Sama sekali
tak berminat untuk komentar.
“Astaga!” Namun Ye Eun menganggap
lirikan Yuta sebagai jawaban dan serta-merta menyimpulkan sendiri. “Jadi benar
nasi?” Ia membelalak. “Baiklah. Kalau begitu nanti di swalayan kita sekalian
beli kentang saja. Atau apa kau lebih suka jagung?”
“YAH! TIDAK USAH!” Yuta tanpa sadar
membentak, kemudian memejamkan mata dan merendahkan suaranya lagi, “…tidak usah. Aku tak
bisa makan apa pun. Jadi tolong jangan beri aku apa-apa.”
“Apa pun?” pekik Ye Eun tak
percaya. “Kau tak bisa makan apa-apa?”
“Ya.”
“Bahkan buah?”
“Ya.”
“Jadi kau cuma bisa minum?”
“Aku juga tidak minum.”
“APA?”
“Tolong,” Yuta mendesak, “jangan
berteriak.”
“M-maaf, t-tapi kau
s-sungguh….tidak makan dan minum?” Ye Eun terbata saking kagetnya. “Sama
sekali? Bahkan air putih?”
“Ya. Aku tidak bisa memasukkan
makanan atau minuman apa pun ke mulutku. Tolong… tolong berhenti!” Yuta bicara
dengan mulut nyaris terkatup. Kesal karena Ye Eun membuatnya terdengar sangat
aneh. Kenapa sih harus melotot begitu? pikir
Yuta, tak tahu kalau reaksi sang gadis ternyata amatlah wajar, tergolong
minimum bahkan. Dan di telinga manusia mana pun, hal itu jelas sangat abnormal
dan sudah pasti akan mendapat reaksi yang sama—bahkan lebih buruk. Orang lain
mungkin akan langsung memanggil ambulan. Makanan adalah kebutuhan pokok
manusia. Itu hal pertama yang diajarkan di bangku sekolah. Sandang, pangan,
papan. Yuta tak bisa seenaknya mencoret pangan begitu saja dari kebutuhan
pokoknya jika ia mau dianggap sebagai manusia.
“Lalu bagaimana bisa kau bertahan
hidup?”
“Aku punya caraku sendiri, jadi
jangan khawatir.”
“Caramu sendiri?” Ye Eun mengernyit,
“seperti obat-obatan dari dokter?”
Yuta mengangguk saja. Toh ia
memang tak berniat menjelaskan lebih jauh. Biarlah gadis itu berteori sendiri.
Bukankah Shin Ye Eun memang suka menyimpulkan apa-apa sendiri?
“Tapi kau bilang kau tidak
sakit.”
“Kubilang aku tak punya tumor di
kepala,” ralatnya datar. “Aku yakin ada penjelasan ilmiah untuk kondisi
tubuhku, jadi berhentilah menatapku seperti itu.”
Untuk sekarang, Yuta berpikir
‘sakit’ adalah alasan yang paling masuk akal. Lagi pula, dengan begini ia bisa mendapat
simpati tanpa perlu repot-repot mengarang cerita baru.
“Tapi itu mustahil, kau tahu. Aku
pernah dengar soal pantangan makanan atau alergi, tapi… kalau tidak bisa makan
sama sekali bukannya agak…” Ye Eun menggantung ucapannya. Ia melirik Yuta yang
masih kekeh menampilkan ekspresi tak peduli, lalu melanjutkan, “… tidak normal.
Jangan tersinggung.”
“Yeah, memang tidak normal.”
“Kubilang jangan tersinggung. Aku
cuma berpikir, apa pun penyakitmu itu—jika kali ini kau tak berbohong
padaku—pasti langka sekali.”
“Aku yakin rasio penderitanya 1
banding 7 miliar jiwa,” sahut Yuta tak acuh.
“Wah, betapa spesialnya,” tukas
Ye Eun sarkastik. “Tapi serius? Maksudku, jika kau tak bohong, maka artinya kau
benar-benar hanya bergantung pada obat-obatan?”
Yuta mengangguk.
Ye Eun terus menyelipkan kalimat
‘jika kau tak bohong’ dalam setiap ucapannya selama percakapan mereka
berlangsung, seolah Yuta sebegitu tidak bisa dipercayanya. Yah, dia memang benar.
“Kau bawa obatmu, kan?”
“Tentu. Bagaimana bisa aku
bertahan hidup tanpa obatku?” sambar Yuta dramatis.
Ye Eun menggelengkan kepala dan
tersenyum menghina. “Kalau kita sudah pulang ke Seoul, jangan kira aku tak akan
bertanya ke dokter soal ini.”
“Silahkan saja,” sahut Yuta
menantang.
“Oke.”
Ye Eun terdengar serius. Yuta mendadak
menyesali nada menantangnya, harusnya ia rendah hati sedikit. Sekarang ia hanya
mampu berharap semoga Ye Eun tidak benar-benar ke dokter untuk memastikan
kebenaran penyakitnya, atau lebih baik, semoga ia berhasil menjalankan ritual
hidup abadinya sebelum gadis itu pergi ke dokter dan membongkar kebohongannya
untuk yang kedelapan ratus kali dalam dua minggu ini.
“Omong-omong,” Yuta segera
mengganti topik. Meremas tangannya untuk menahan keringat dingin. “Aku minta
maaf soal semalam.”
Yuta mengawasi Ye Eun dengan
ujung matanya. Mereka sudah berjalan hampir 15 menit tapi sejauh mata
memandang, yang ada hanya ladang yang gersang.
“Aku tak bermaksud berkata kasar
atau melemparimu teko. Aku hanya benar-benar kesakitan semalam, tak bisa
berpikir jernih.”
“Aku tahu,” tanggap Ye Eun seraya
mengangguk santai. “Walau yeah, kuakui aku agak kesal dan terkejut, tapi aku
mengerti keadaanmu. Lagi pula tak masuk akal, kan? Untuk apa kau mati-matian
mengajakku menikah kalau tujuanmu hanya untuk membunuhku dua minggu kemudian.”
Ye Eun tertawa hambar.
Yuta tak bisa ikut tertawa.
Bahkan pura-pura pun tak bisa.
“Tch, ampun. Harusnya aku panggil
taksi.” Ye Eun bicara setelah beberapa lama terdiam. “Swalayannya lumayan jauh
dan kita mungkin baru setengah jalan,” ia menoleh ke sekelilingnya, menggeleng,
“bahkan belum setengah jalan.”
“Tidak apa-apa. Makin lama makin
bagus. Semoga kita pulang malam.”
Ye Eun tersenyum meledek.
“Kenapa? Mau menghindari pekerjaan ladang?”
“Sudah kubilang bahuku mau
copot.”
“Tapi acara peringatannya mulai
jam tujuh. Jadi kita harus kembali ke rumah setidak-tidaknya jam lima.”
“Atau jam tujuh kurang lima,”
tawar Yuta.
“Jangan sinting!”
**********
“Tidak usah. Aku tidak perlu baju
baru. Aku tak mau, sungguh—ya ampun! Apa yang membuatmu berpikir aku akan
memakai itu? Aku tidak pakai pink.” Yuta merepet tak senang sambil berusaha
melepaskan diri dari Ye Eun, yang memandangnya dengan wajah memohon setelah
berhasil mendapatkan jeruk dan pir di toko buah.
“Tapi bajumu hitam semua. Aku
ingin melihatmu dengan warna lain.”
“Aku suka hitam.”
“Aku tahu. Tapi apa salahnya
mencoba hal baru?” Ye Eun melambaikan kemeja berwarna salmon dengan garis-garis
putih—yang ia comot dari gantungan etalase sambil memekik kegirangan sepuluh
detik yang lalu. “Percaya padaku, kau akan sangat manis dengan ini.”
“Aku tidak mau terlihat manis.
Dan sudah kubilang aku tidak akan pakai pink seumur hidupku.”
“Ini bukan pink,” sergah Ye Eun,
kemudian memicing sebal pada Yuta. “Tapi kenapa memangnya dengan pink? Jaman
sekarang banyak kok cowok pakai pink tapi tetap terlihat maskulin.”
“Ayo pulang,” ajak Yuta dingin.
Memutar sepatunya ke arah pintu keluar.
“Bukankah kau bilang mau di sini
lebih lama? Kalau kita pulang sekarang, kau sudah pasti akan diseret ke ladang
lagi.”
Yuta langsung berbalik lagi.
Rupaya ia benar-benar membenci ladang.
Ye Eun tersenyum menang,
menyodorkan kemeja salmonnya. “Nah, coba ini di fitting room.”
“Aku tidak pakai pink.” Yuta
berkeras. Ia mengambil hoodie merah yang tergantung paling dekat dengannya,
lalu berjalan begitu saja ke fitting
room.
“Oke, yang itu boleh juga. Aku
suka merah,” seru Ye Eun. Matanya berpendar antusias membayangkan Yuta dengan hoodie
merah, atau dengan warna apa pun yang bukan hitam.
Ye Eun berjalan cepat—setengah
berlari—mengikuti langkah lebar Yuta dan berhasil menarik kaosnya sebelum ia
masuk ke salah satu bilik di fitting
room.
“Selagi kau di sini, coba yang
ini juga.”
“Kubilang aku tidak pakai….”
“Sayang,” potong Ye Eun dengan
nada menegur. “Ini bukan pink.” Gadis itu menjejalkan kemeja salmon bergaris
putih yang amat mencuri hati itu ke dada Yuta, tak lupa menyelipkan senyum
termanisnya. “Percaya padaku. Memakai
kemeja ini dua menit saja tidak akan membuat dunia terbelah.”
Yuta berkedip. Terlalu terkejut
dengan panggilan tak biasa itu sampai-sampai dunia rasanya benar-benar terbelah.
Untuk sesaat ia tak mampu merangkai kata, hanya balik memandang Ye Eun dengan
syok, seolah kepalanya tak berfungsi.
“Sayang, huh?” tegurnya begitu
sadar.
Ye Eun membuat ekspresi lugu.
Seolah ia tak pernah bicara begitu.
Yuta memutar mata, menggenggam
kemeja salmon yang dijejalkan di dadanya lalu meleret ring ruang gantinya
dengan gerakan kasar.
Sudah hampir sepuluh menit
berlalu ketika Yuta akhirnya menampakkan diri. Entah apa pertimbangannya, yang
pasti, ia memutuskan untuk memakai kemeja pilihan Ye Eun terlebih dulu.
Yuta merentangkan tangannya
sambil berputar, memberikan akses bagi Ye Eun untuk melihatnya dari semua sisi.
“Tidak seburuk yang kukira,” katanya, setengah tersenyum. Yuta mengulurkan tangan
untuk membenarkan kerah kemejanya, lantas memandang Ye Eun yang masih tak
berkutik.
“Shin Ye Eun-ssi?”
Ye Eun mendongak padanya dengan
mata berkedip seolah baru dihipnotis.
“Kau suka?” Yuta bertanya dengan
ragu.
“Kau gila?” jerit Ye Eun. “Berapa
pun harganya aku akan beli kemeja ini,” Ye Eun berteriak agresif sampai membuat
Yuta terkejut. “Kenapa kau harus selalu pakai baju hitam dan membuat dirimu
terlihat menyeramkan kalau kau bisa memakai baju yang warnanya lebih kalem
sedikit dan mendadak terlihat begitu….” Ye Eun memandang Yuta, memuja, “…
lembut?”
Ye Eun baru tahu warna pakaian
bisa memengaruhi aura seseorang sesignifikan ini. Yuta yang berdiri di
hadapannya sekarang terlihat begitu halus, begitu ramah, begitu mempesona dan
lembut seolah ia adalah perwujudan nyata dari bunga sakura di musim semi.
Ye Eun terus tersenyum sambil mengerjap,
nampak begitu terpikat. Tatapan itu membuat Yuta merasa aneh, seolah ada
sesuatu yang bersemayam di dadanya, sesuatu yang hangat dan asing, yang
berdentum dan mengombak.
“Dengar,” desak Yuta, “berhenti
menatapku seolah kau sangat menginginkanku.”
Yuta berusaha membuat Ye Eun
malu, tapi gadis itu nampak tak terusik dengan cibirannya. Ye Eun tetap kekeh
menatapnya begitu, dengan bibir melengkung dan mata berbinar.
Yuta merasakan wajahnya memanas
dan segera berpaling ke kaca, pura-pura membenarkan kerah kemejanya lagi. Walau
ia tahu kerah kemejanya sudah tegak sempurna tanpa harus dibenarkan
berkali-kali.
“Baiklah,” cetus Yuta tak tahan.
“Aku akan coba hoodie-nya.”
“Tunggu!” Ye Eun memekik.
“Aku mau memotretmu dulu. Aku harus memamerkan tampilan lembutmu pada Ji Won.
Anak itu bisa memakan ucapannya sendiri dan berhenti memanggilmu vampir
Twilight sekarang.”
“V-vampir?” ulang Yuta syok,
sementara Ye Eun mengeluarkan ponselnya.
“Yeah, kau tahu Twilight, kan?
Film vampir paling mengenaskan abad ini—senyumlah sedikit.” Permintaan Ye Eun
cuma mengundang kedutan di sudut bibir Yuta. Ye Eun memandang pria itu dari
atas ponselnya sambil bernapas maklum. Setidaknya
dia sudah berusaha, pikirnya. Jadi
mari anggap bibirnya yang mengejang itu sebagai senyuman.
“Kalian membuat film tentang
vampir?” tanya Yuta begitu Ye Eun selesai mengambil gambarnya. Ye Eun mengernyit,
tak mengerti ke mana tepatnya rujukan kata ‘kalian’ dalam kalimat Yuta barusan.
“Maksudmu aku dan Ji Won?”
tanyanya aneh. “Itu jelas bukan film buatan kami.”
“Maksudku…..,” umat manusia, Yuta melanjutkan dalam
hati, baru sadar akan betapa konyolnya dia.
“Jadi kau sungguh tak tahu
Twilight? Serius? Apa kau penduduk baru di bumi?”
Ye Eun jelas bergurau, tapi Yuta
menatapnya kelewat panik, seolah kehidupan vampirnya sudah terekspos ke
khalayak ramai.
“Baiklah, terserah padamu.” Ye
Eun mendesah, tak mengerti apa yang terjadi di kepala Yuta. “Kau bisa coba hoodie-mu
sekarang.”
Yuta segera mengangguk, lantas
kembali menutup tirainya.
Ye Eun menunggu dengan sabar,
bersandar di tembok di depan bilik ruang ganti Yuta sambil mengikik membaca balasan
dari Ji Won.
Mungkin jika dia belajar senyum lebih tulus sedikit, aku akan mentato
foto ini di wajahku.- Ji Won
Akui saja dia manis
Maksudmu, BAJU-nya manis? – Ji Won
BENAR, KAN!! AKU PASTI AKAN BELI
BAJUNYA!!
KAU HARUSS!!! Tapi serius, apa yang membuat
pangeran kegelapan kota Seoul, Lord Yutamort, bersedia memakai baju pastel?!!
Apa kepalanya tertumbuk cangkul selama kalian di sana??? – Ji Won
Ye Eun baru hendak mengetik lagi
saat suara cemas Yuta terdengar dari dalam.
“Shin Ye Eun-ssi.”
“Ya?”
“Bisakah kau masuk?”
“Masuk?” ulangnya bingung. “Kau
sudah selesai?”
“Belum.”
Ye Eun semakin bingung.
“Kepalaku tersangkut,” kata Yuta.
“Kepalaku tersangkut di baju,” tambahnya, menjelaskan dengan suara malu.
“Bagaimana bisa?”
“Masuklah!” tuntutnya, mulai
kesal. Ye Eun pun menyelipkan ponselnya ke saku celana dan menyibak tirai
memasuki bilik ruang ganti Yuta.
Hal pertama yang dilihatnya
adalah Yuta dengan kedua tangan terangkat dalam posisi canggung, sebagaimana
yang ia bilang, tersangkut di dalam hoodie merah yang ukurannya mungkin terlalu
kecil. Kepalanya tersangkut, tidak bisa keluar dari lubang di atasnya, sehingga
hanya sebagian rambutnya saja yang terlihat, mencuat persis di bagian
tudungnya.
Pemandangan itu lucu sekali
sehingga walau Ye Eun sudah berusaha menahan diri, pada akhirnya ia tetap
menyemburkan tawa.
“Ya Tuhan!” Ye Eun memegangi
dadanya yang sesak. Ini benar-benar menggelikan. Berapa umurnya? Bagaimana bisa
dia tersangkut?
“Apa kau mau berdiri terus di
situ, menertawaiku sampai aku mati kehabisan napas? Atau bertindak mulia
sedikit dan mulai membantuku?” Ye Eun tertawa semakin puas mendengar Yuta yang masih
bisa-bisanya bicara dengan dingin saat sedang tersangkut di dalam baju.
“A-apa yang harus… kulakukan?”
Gadis itu bertanya di sela-sela tawanya.
“Apa lagi?” racau Yuta.
“Keluarkan aku!” Pria itu mengulurkan dirinya ke arah yang salah.
Ye Eun menarik ujung hoodie
tersebut, memutar badan Yuta supaya berbalik menghadapnya. Ia berjinjit meraih
leher hoodie itu—yang posisinya mencekik kening Yuta—lalu tertawa tersedak
begitu mengetahui fakta bahwa kepalanya bisa tidak muat untuk dikeluarkan
karena ia tak mau repot-repot membuka tali tudungnya terlebih dahulu. Dan
akibat semua usaha brutalnya untuk melepaskan diri, sekarang tali itu terikat
makin erat lagi, lebih buruk dari ikatan mati.
Ye Eun menarik pundak Yuta supaya
condong ke arahnya sementara ia mencoba membuka ikatan tudung itu sambil
mengikik.
“Bisa cepat sedikit?”
“Aku berusaha.”
“Mungkin kalau kau berhenti
menertawaiku….”
“Mungkin kalau kau berhenti
bicara,” sela Ye Eun, kemudian menggeleng konyol dan mengikik lagi. “Kau harus
lihat betapa memalukannya dirimu. Kalau kau mengecek ukurannya dulu
dan tak asal ambil..... atau setidaknya, kalau kau menyisihkan waktu berhargamu
untuk membuka talinya dulu… semua ini tak akan terjadi.”
“Aku tak tahu itu harus dibuka,”
jawab Yuta polos, sedikit lebih pelan dari sebelumnya, seolah dia benar-benar
malu.
“Kau benar-benar tak pernah beli
baju, ya?” Ye Eun akhirnya bisa bicara tanpa mengikik, tapi Yuta masih bisa
merasakan senyum lebar gadis itu dalam suaranya.
“Apa masih lama? Dadaku sesak,
tanganku sakit, leherku pegal.” Yuta mengeluh.
“Oke, aku menyerah.”
“Apa? Lalu bagaimana?”
“Kau tak bisa melepasnya saja?
Pelan-pelan angkat hoodie-nya ke atas.”
“Kalau bisa, sudah kulakukan dari
tadi,” sergahnya sengit. “Aku benar-benar tak bisa bergerak. Kau pergilah ke
luar dan minta gunting!”
“Gunting?” ulang Ye Eun keras,
menolak mentah-mentah usulan itu. “Kalau digunting, kita harus beli. Aku tak
mau beli hoodie yang kekecilan.”
“Aku yang beli.”
“Tidak. Aku yang memaksamu ke
sini, jadi aku yang harus bayar. Dan tidak, kita tak akan beli ini,” Ye Eun
berkeras, sejujurnya agak kesal mendengar betapa entengnya pria itu berkata
‘aku yang beli’, Ye Eun merasa harga dirinya dilanggar. “Siapa suruh ambil baju
sembarangan? Bukannya dilihat dulu ukurannya. Kalau sudah begini….”
“Ye Eun,” sela Yuta, terdengar
begitu merana, “aku bersumpah napasku sesak.”
“K-kau serius?”
Yuta tak menjawab, mengayun
kepalanya ke bawah seolah ia sedang mencari udara.
“Oke, begini,” seru Ye Eun
genting. “Aku akan regangkan bagian atasnya dan kau coba lagi lebih kuat, desak
kepalamu ke luar. Dorong sekuat tenaga, mengerti?”
Untuk saat ini, memakai-paksa
hoodie tersebut nampak jauh lebih mudah daripada melepas-paksanya. Bagaimana pun
Yuta sudah memakainya setengah jalan.
“Jangan lupa dorong tanganmu juga
di saat yang sama. Kau siap?” Ye Eun memosisikan tangannya di bolongan leher
hoodie tersebut, lalu memberi aba-aba. “Di hitungan ketiga,” katanya.
Yuta turut berancang-ancang.
“Satu…
Dua…
Tiga.”
Dan kehebohan luar biasa pun
terdengar memenuhi bilik mereka. Yuta menjejak-jejakkan kakinya sambil
mendorong kepala dan tangannya sekuat tenaga, sementara Ye Eun yang semula
panik pada akhirnya tertawa lagi karena melihat Yuta yang seperti itu. Ye Eun
terbahak-bahak dan memberikan semangat di saat yang bersamaan, tangannya ia
tahan kuat-kuat di bolongan leher, meregangkannya semaksimal mungkin.
Saking berisiknya, semua orang di
depan fitting room menoleh ke bilik
mereka. Bahkan pengunjung yang sedang lewat pun ikut melongok karena penasaran.
Dan BRAAAK
Yuta berhasil membebaskan diri.
Lebih dari itu, ia juga berhasil menyundul kepala Ye Eun yang sedang cekikikan
sampai gadis itu tersentak ke belakang dan menubruk kaca.
Yuta terkejut sekali. Ia langsung
mengulurkan tangannya memeluk kepala Ye Eun dan mengusap-usapnya. “Kau tidak
apa-apa?” tanya pria itu khawatir.
Ye Eun nampak linglung selama
beberapa saat sebelum mendongak menatap Yuta dan tertawa lagi. Yuta nyaris
berpikir sesuatu terjadi pada otak Ye Eun jika saja gadis itu tak mengangguk
padanya sambil mengisyaratkan ‘aku tak apa-apa’. Rupanya, Shin Ye Eun hanya
merasa perlu untuk melanjutkan tawanya yang sempat terjeda karena sundulan
tiba-tiba tadi.
Yuta menghela napas lega,
kemudian memandang Ye Eun seolah sedang berusaha memahami isi kepalanya. Ia
tertawa tak putus-putus, makin geli dan makin geli lagi. Sebelah alis Yuta
terangkat, wajahnya nampak bingung tapi juga terhibur. Ye Eun menggumamkan
banyak kalimat dalam tawanya, tapi Yuta hanya mampu menangkap beberapa.
Rupanya, ‘kau harus lihat wajahmu tadi’ dan ‘aku bersumpah yang barusan itu lebih lucu dari sitcom mana pun di muka
bumi’ serta kalimat-kalimat hiperbol lain yang ditutur Ye Eun dengan suara
tertahan dan mata berair itu pada akhirnya berhasil membuat Yuta tertular.
Senyum kecil di wajahnya berangsur-angsur berubah menjadi tawa kecil, dan
berkembang menjadi tawa yang lebih besar. Suara tawa mereka bersatu, menggema
memenuhi bilik ruang ganti. Yuta melempar kepalanya ke belakang, terpingkal sama
gelinya dengan Ye Eun. Pria itu memejamkan mata, tingkah konyolnya baru saja menusuk
tajam ke otaknya. Sulit dipercaya, tapi ia benar-benar baru saja membuat drama
‘aku tak bisa napas-dadaku sesak-aku bisa mati’ di fitting room swalayan kecil di pedalaman Jeonnam gara-gara sepotong
hoodie.
Dan saat itu, saat Ye Eun menoleh
dan menemukan Yuta tersenyum, tertawa dan berekspresi tulus tanpa dibuat-dibuat,
ia terdiam, tertegun di posisinya dengan perasaan hangat yang tak terbantahkan.
Hatinya mengembang. Senyum gelinya berubah menjadi senyum terpesona. Yuta yang
memakai hoodie merah, yang sebelah tangannya—entah sadar atau tidak—masih
melingkar longgar di pinggangnya, yang sudut bibirnya tertarik liar dan suara
tawanya menggema renyah, nampak begitu manusiawi dan nyata. Bibirnya melengkung
membentuk senyuman, begitu manis, begitu dekat, begitu menggairahkan. Tipikal
senyum yang mustahil tidak ingin kau cium.
Dan detik selanjutnya, yang Ye
Eun tahu, ia sudah menarik leher hoodie sang pria, membuat pria itu sedikit
bungkuk ke arahnya. Yuta balik memandang Ye Eun dengan mata hitamnya yang bulat
dan berpijar, masih tersenyum lebar.
Ye Eun berpikir seseorang seharusnya
tidak diizinkan memiliki senyum seindah ini. Ia memandangi Yuta dengan mata melamun, membalas senyumnya seperti sedang bermimpi. Lantas menarik hoodie pria itu semakin dekat sebelum berjinjit dan mengecup bibir tersenyumnya begitu saja.
Ye Eun menjauhkan wajahnya dari
Yuta dengan perasaan lega, seolah ia baru saja menanam sejuta pohon demi
kelangsungan planet bumi, seolah ia sudah berbuat kebaikan yang berpengaruh besar
bagi peradaban umat manusia. Namun saat gadis itu membuka mata dan melihat
ekspresi syok Yuta tepat di depan wajahnya, ia tersadar yang ia lakukan barusan
bukanlah kegiatan amal.
Ye Eun terbelalak lebar dan
segera menarik diri. “M-maaf,” katanya. “A..aku…” Ia membatu, tak tahu harus
membela diri seperti apa. Senyummu
seperti memanggil-manggilku, seolah memohon-mohon minta dicium.
Karena tak tahu lagi harus apa,
Ye Eun pun menyambar kemeja salmon di gantungan lalu berkata sambil
mengacungkannya. “A-aku akan bayar ini di kasir. Kita langsung ketemuan di luar
saja. Di tempat menunggu taksi.”
Gadis itu keluar dengan
tergesa-gesa, sementara Yuta masih bergeming syok memandang tembok, nyaris tak
berkedip seolah nyawanya sudah melayang meninggalkan bumi.
**********
Ye Eun sudah menemukan taksi. Ia
menunggu di luar hampir lima belas menit tapi Yuta tak kunjung datang. Argonya
sudah dipasang dan terus berjalan.
Khawatir, Ye Eun pun masuk ke
toko baju itu lagi dan berjalan menuju ruang gantinya, berpikir mungkin Yuta
masih kesulitan membuka hoodie-nya.
Namun sesampainya di sana, ia
malah menemukan seorang pramuniaga keluar dari bilik yang tadi dipakai Yuta
sambil melipat hoodie merah yang familier. Ye Eun menanyakan keberadaan Yuta,
namun pramuniaga itu menggeleng tak tahu, berkata bahwa bilik itu sudah kosong
ketika ia masuk.
Ye Eun pun kelimpungan
mengelilingi toko, mencari Yuta sambil terus mendecak dan menggerutu.
Setelah hampir setengah jam berputar
tanpa hasil, ia pun keluar sambil menghubungi Yeon Ju. Taksinya sudah
menghilang. Lewat telepon, Ye Eun bertanya apa Yuta sudah pulang, yang langsung
dijawab ‘tak tahu’ dengan nada tak peduli oleh sang adik.
“YAH! Coba cari di halaman, di
kamar, di ladang!” bentak Ye Eun sementara ia kembali memandang berkeliling
mencari taksi yang lain.
Yeon Ju baru menjawabnya setelah
beberapa lama. [Dia di ladang,] katanya datar.
Perasaan Ye Eun campur aduk, ia
lega sekaligus kesal. Syukurlah dia tak
hilang, tapi di waktu yang sama juga… apa-apaan
pulang duluan!
Sementara itu, sebuah taksi
akhirnya berhenti di depannya.
“Bersama ayah?” tanya Ye Eun
sembari masuk.
[Tidak. Ayah sedang mandi. Kau
sudah di mana? Cepatlah pulang! Sebentar lagi jam 6. Aku harus mengupas
pirnya.]
Ye Eun meloloskan dengus kesal
dari hidungnya, bukan karena Yeon Ju, tapi Yuta. Apa-apaan sih dia! Bikin panik saja!
[Eonnie,] tegur Yeon Ju.
“Iya, iya, aku di jalan.”
**********
Yuta mengayunkan cangkulnya
sekuat tenaga. Wajahnya suram.
“Benar-benar. Shin Ye Eun itu.”
Edawn dan Yanan sudah bergabung
dalam telepatinya selama dua puluh menit terakhir, hanya untuk mendengar keluh
kesah Yuta yang baru saja dicium oleh istrinya sendiri. Ia meracau dengan
begitu gelisah, seolah kontak fisik setengah detik itu bisa menyebabkan
bibirnya dipenuhi bisul.
“Dia pikir apa yang dia lakukan?”
serunya jengkel. “Seenaknya melakukan itu. Aku benar-benar tak tahu harus apa.
Aku diam di ruangan kecil itu, bernapas sambil melotot menatap tembok, seperti
orang bodoh. Kenapa sih dia sela…..”
[Aku tak
mengerti kenapa kau semarah ini,] sela Edawn tak tahan. Ia sudah
mendengar ‘melotot menatap tembok’ kira-kira empat kali dan ‘kenapa dia selalu
seenaknya’ sebanyak lima kali. Yuta terus mengulang-ulang kalimatnya tanpa
menambahkan informasi baru.
“YAH! Bagaimana bisa aku tak
marah?!” hardik Yuta. “Dia terus-terusan membuatku bingung.”
[Bagian
mananya yang membuatmu bingung?]
“Dia masih mimpi buruk kemarin
lusa dan sekarang tiba-tiba menciumku!”
[Kenapa
harus bingung? Bukankah ini kabar bagus? Dia jelas mulai suka padamu!!]
“Tapi kenapa harus menciumku!”
[Itu
salah satu cara manusia menunjukkan perasaannya, Yang Mulia,] kata Edawn
bosan. [Berhentilah bertingkah seolah ini pengantin
pertamamu.]
“Tapi aku tidak mau. Aku benci…
perasaan ini.”
[Perasaan
apa?] tanya Edawn lagi.
Yuta juga tak tahu. Ia tak pernah
merasakan sesuatu yang seperti ini. Ia bahkan tak bisa mendeskipsikannya.
“Apa kalian pernah berciuman
dengan pengantin kalian sebelumnya?”
Tak ada yang langsung menjawab.
Baik Yanan maupun Edawn diam seolah sedang menunggu satu sama lain untuk bicara
duluan.
[Mungkin?]
Edawn akhirnya menjawab. Nada suaranya ragu, seakan-akan dia sedang balik
bertanya. Ia lantas mengoper pertanyaan itu pada Yanan.
[Kau pernah?]
[Kau
tahu, sejujurnya aku tak ingat. Lagi pula, ciuman atau tidak, itu tidak
penting,] kata Yanan sok. [Maksudku, sekalipun
ternyata aku memang pernah berciuman dengan pengantinku, aku yakin aku tak
langsung teleportasi ke tempat lain dan membuatnya panik.]
Yuta memutar mata mendengar
sindiran itu. Mengayun cangkulnya lebih keras pada batu yang sempat ia
tinggal—yang masih tertanam kokoh tanpa retakan. Batu yang tangguh sekali.
[Kau
bilang kau bingung, eh? Lalu bagaimana dengan Nona Pengantin? Tidakkah kau
pikir dia jauh lebih bingung?] tambah Yanan, suaranya semakin jengkel. [Kau panik tanpa alasan. Untuk apa kabur tiba-tiba? Aku
akan sangat terkejut jika dia tidak marah.]
“Lalu aku harus apa?” sahut Yuta
emosi.
[Tentu
saja minta maaf,] desak Yanan, tak kalah emosi. [Jika
jantungnya memang belum berdegup untukmu, aku yakin sudah sedikit lagi. Dia tak
mungkin menciummu tanpa alasan, kan?]
[Kita
semua sudah tahu kalau pengantinmu memang agak sulit ditaklukkan, dan sekarang
kau malah menambah masalah lagi, hanya karena kau bingung? Itu terdengar sangat
konyol bagiku.]
Yuta mendesah. Ia menyauk tanah
di sekitar batu tangguh itu dengan kakinya, berpikir mungkin akan lebih mudah
untuk mencongkelnya dari samping ketimbang menghancurkannya dengan cangkul.
[Yuta.]
“Apa?”
[Kau
masih mau pulang, kan?] tanya Yanan tajam.
“Ke Seoul?”
[Ke
dunia vampir.]
“Tentu saja,” sambar Yuta dengan
nada tersinggung, tak percaya ia harus menjawab pertanyaan sebodoh itu.
[Kalau
begitu berhentilah bersikap aneh. Aku tak pernah melihatmu sehilang akal ini.
Seolah kau lupa apa tujuanmu.]
Yuta tak menjawab.
[Sekarang
kutanya, tujuanmu apa?]
“Membuatnya jatuh cinta padaku, melakukan
ritual, hidup abadi,” jawab Yuta lancar.
[Benar.
Maka bersikap baiklah pada Nona Pengantin. Kau sudah dekat, Kawan. Aku yakin.]
“Kalian tidak mengerti,” kata
Yuta putus asa. “Ada sesuatu yang aneh.”
[Apa?]
“Aku tak tahu. Yang pasti itu tak
nyaman. Benar-benar tak nyaman sampai rasanya aku tak mampu berada di dekat
Shin Ye Eun lagi.”
[Yuta,
kumohon. Kendalikan dirimu.]
[Aku
benci untuk mengakui ini, tapi Yanan benar. Kendalikan dirimu! Kau agak terlalu
‘tersesat’ ukuran Yuta yang kukenal.]
Yuta mendenguskan napas dari
hidung, tersenyum mencela pada batu di hadapannya. Hatinya sedang melalui fase
yang rumit dan beginilah cara dua sahabat paling setia sepanjang masa itu
menghiburnya, dengan mendiktenya tentang apa tujuannya di bumi, mengatainya
‘hilang akal’ dan ‘tersesat’, serta menyuruhnya mengendalikan diri. Perhatian
sekali.
[Kalau
aku jadi kau, aku pasti akan langsung melakukan ritual di ruang ganti tadi,
persis setelah dia menciummu. Atau…. menurutku, mungkin belum terlambat jika
kau teleportasi ke Ye Eun sekarang dan langsung…]
[Jangan
bodoh,] sergah Yanan tegas, [kecuali kau
benar-benar yakin pengantinmu mencintaimu, maka tunggulah sampai kalian tiba di
rumah dan lihat apa dia masih mimpi buruk. Itu cara paling aman.]
Yuta berhenti menyerok tanah
dengan kakinya karena tindakan itu percuma. Batu di hadapannya ternyata lebih
besar dari yang ia kira. Yuta tak mampu menemukan ujungnya. Maka, sambil
mendengarkan Yanan dan Edawn berdebat soal ‘kapan waktu yang tepat untuk
melaksanakan ritual’, Yuta kembali mengayunkan cangkulnya tinggi-tinggi, balik ke
rencana awal dan bertekad untuk menghancurkan batu itu lagi.
[…
apa sih maksudmu? Kau dengar sendiri Yuta selalu bicara dengan nada tak yakin.
Selama ini kita cuma mendengar kemajuan hubungan mereka lewat penjelasan
emosionalnya saja. Kalau dia menjalankan ritual sekarang dan ternyata jantung
Nona Pengantin belum berdegup untuknya, maka semua ini akan sia-sia. Dia tetap akan
jadi debu.]
[Yeah,
tapi…] Edawn pada akhirnya terdiam, kalah.
[Apa ini
hanya berlaku untuk pengantin Yuta atau memang semua manusia di era ini
susah sekali ditebak?]
[Bayangkan
apa yang akan terjadi pada kita 60 tahun lagi,] kata Yanan lesu, merujuk
pada waktu pencarian pengantin mereka yang akan dimulai kira-kira 60 tahun
lagi, nyaris di tahun yang sama.
[Wah, kau
mulai lagi.] Edawn tertawa penuh percaya diri. [Kalau
aku sih, perempuan di era mana pun pasti tetap akan mudah. Khawatirkanlah
dirimu sendiri.]
Yanan menyesal mengajaknya
bicara.
BRAKK-BRAKK-BRAKK-BRAKK
Yuta yang
mulai kesal—karena batu di hadapannya tak kunjung hancur—tiba-tiba memutuskan
untuk memukuli batu itu bertubi-tubi. Suara benturan antara cangkul dan batu
tersebut terdengar brutal sekali sampai Yanan dan Edawn terkejut.
[Hei hei, Yuta, ya ampun, apa yang kau lakukan? Dengarkan
aku,] desak Yanan khawatir. [Semua akan
baik-baik saja. Kau masih punya dua bulan lebih sebelum batas ritual. Tidak
usah tergesa-gesa.]
Selama Yanan
bicara, yang terdengar hanyalah suara BRAK-BRAK-BRAK-BRAK yang semakin tak
terkontrol.
[Yuta! Aku tahu kau sedang mencangkul tapi APA YANG KAU
CANGKUL? Kenapa suaranya menyeramkan begitu? Kau tidak sedang mencangkul
kepalamu sendiri, kan? Atau… YAH! Kepala siapa yang kau cangkul?!!]
Yanan tertohok
mendengar dugaan Edawn. Otaknya secara otomatis membayangkan Yuta benar-benar
melakukan hal sadis itu saking stresnya.
[YAH! Hentikan!] bentak Yanan panik. Edawn turut
berteriak mengecam tindakan tersebut tak kalah panik.
Namun Yuta tak
mendengar keributan di telinganya dan terus-menerus memukul-mukul batu itu
sampai tulang di pundaknya serasa bergeser.
BRAK-BRAK-BRAK
BRAAKKK dan BRAAKKKK. “PECAHHH!!!” teriak Yuta.
Yanan dan
Edawn praktis berteriak juga.
[APA!! APA KAU BILANG! SIAPA YANG PECAHH!] jerit
Edawn.
[ASTAGAAA!!!]
Detik
berikutnya, dua pria itu sudah berteleportasi ke kanan kiri Yuta.
“Apa yang
kalian lakukan di sini?” tanya Yuta. Napasnya tersengal dan keningnya berkerut
dalam melihat kedatangan tiba-tiba mereka.
“SIAPA YANG PECAHHH!” desak Edawn kebakaran
jenggot.
Senyum bangga
langsung tersungging di bibir Yuta. Ia menunjuk retakan kecil di batu persis di
hadapan mereka dengan cangkulnya, “Itu.”
Edawn menoleh menatap
batu itu dan langsung menempeleng kepala Yuta. “Dasar tolol!!”
“YAH!!” Yuta
melempar cangkulnya dan mendorong Edawn tak terima. “Kenapa kau memukulku!! Apa
salahku!!”
Yanan
mengacuhkan perkelahian di sebelahnya dan menatap retakan batu itu sambil
menggeleng tak habis pikir.
Sepanjang
sore, Yuta menghabiskan waktunya dengan mencangkul lebih banyak lagi. Ia
melanjutkan pekerjaannya sampai batu itu pecah sempurna dan mengeruk tanahnya
sampai pada kedalaman yang diinginkan ayah Ye Eun. Sementara itu, Yanan dan
Edawn tidur-tiduran di saung, tiga meter dari tempat Yuta berdiri, memerhatikan
pria itu mencangkul sambil berusaha menghibur dan mencegahnya memecahkan
kepalanya sendiri—atau kepala siapa pun—walau Yuta sudah meyakinkan mereka ia
tak berminat memecahkan kepala sama sekali.
**********
Ye Eun
bersusah payah menghindari kontak mata dengan Yuta—yang baru melangkah ke ruang
tamu dengan rambut lepek, baju basah berkeringat dan kaki berwarna merah bata
karena terlalu lama terpendam di tanah. Semua orang sudah memakai baju formal
serba hitam untuk upacara peringatan pemakaman keluarga, jadi.. tanpa basa-basi
lagi, Yuta segera mengambil handuknya dan bersih-bersih di kamar mandi.
Yuta bergabung
di ruang tamu tepat pukul tujuh malam, memakai jas hitam lusuh yang jelas belum
disetrika serta kemeja senada yang tak kalah lusuhnya. Dia tak
pakai kaos kaki. Rambutnya tidak disisir. Wajah cekungnya terlihat semakin
mengerikan karena kelelahan. Ye Eun benar-benar malas mengakui cowok urakan itu
sebagai suaminya.
Yuta dan ayah
Ye Eun berdiri di barisan depan, persis sebelum meja panjang di mana foto
kakeknya yang sedang tersenyum bersahaja diletakkan bersama dengan
bunga-bungaan, lilin, makanan, dan buah persembahan. Ye Eun, Yeon Ju serta sang
ibu berdiri berjejer di barisan belakang. Semua orang menunduk selama ayah Ye
Eun mulai menuangkan air dan memutarnya di atas lilin yang dinyalakan Yuta,
kemudian bangkit berdiri untuk melakukan bungkuk dan memulai doa.
Ye Eun tak
bisa khusyuk dalam doa. Ia terus menatap bagian belakang kepala Yuta dengan
perasaan campur aduk; marah, bingung, sakit hati, kecewa, iba, serba salah.
Yuta beberapa kali menggerakkan bahunya yang pegal. Memutarnya ke belakang dan
menjatuhkannya lagi.
Kenapa? Kenapa kau meninggalkanku?
Mungkin aku memang salah karena menciummu
tiba-tiba, tapi apa harus bersikap seberlebihan itu? Seolah kau benar-benar benci
padaku.
Apa mungkin kau hanya malu?
Tidak. Ekspresi wajahmu jelas-jelas bukan
seperti orang yang malu.
Lalu apa?
Kau bilang suka padaku, tapi apa ini yang
namanya suka?
Sebenarnya maumu apa, huh?
Terkadang aku merasa kau berusaha begitu
keras untuk membuatku menyukaimu, tapi saat aku menyambut usahamu itu, kau
malah mendorongku menjauh.
Hubungan macam apa ini?
Apa yang harus kulakukan supaya bisa
memahami isi kepalamu yang absurd itu?
Apa aku harus menjalani kehidupan semacam
ini seumur hidup? Apa aku harus selalu dibuat bingung dengan perasaanku?
Kau muncul di kehidupanku seperti takdir,
tapi… apa ini takdir yang baik atau buruk?
Sebenarnya hubungan macam apa yang kita
lalui ini?
Sebenarnya aku dan kau itu apa?
Sebenarnya kita ini apa?
“Sebenarnya
ini apa!” seru Ye Eun tiba-tiba, sedikit terlalu kencang dari yang seharusnya,
terlebih di ruangan yang sunyi di tengah-tengah persembahan sakral peringatan
kematian kakeknya sendiri.
“Yah! Shin Ye
Eun!” Sang ayah menoleh padanya dengan tatapan marah sekaligus syok. “Ini acara
peringatan kematian kakekmu! Apa-apaan teriak seperti itu!”
“M-maaf.”
Yeon Ju
meliriknya dan menggelengkan kepala seolah Ye Eun sangat bodoh, kemudian
menjauh selangkah dari kakaknya itu seakan takut tertular.
Begitu
upacaranya selesai, semua orang berkumpul untuk makan acar timun dan makarel.
Walau sedang marah, Ye Eun tetap membantu Yuta. Dia bilang mereka berdua sudah
makan duluan di restoran dekat toko buah.
Alhasil,
karena alibinya itu, Ye Eun harus pura-pura kenyang dan hanya mencomot sepotong
kimbab untuk makan malam.
Pukul sepuluh,
tepatnya setelah membantu ayah Ye Eun menggeser sofa dan menggulung karpet di
ruang tengah, Yuta akhirnya bisa masuk ke kamar dan mengganti baju.
Ye Eun masuk
lima belas menit kemudian, sudah mengganti baju terusan hitamnya dengan gaun
tidur panjang yang sangat pantas. Ia mengganti bajunya di kamar mandi.
Yuta baru saja
selesai melipat jasnya dan memasukkannya ke dalam koper saat pintunya ditutup.
Pria itu berjongkok di depan kopernya dan memejamkan mata, mendesah, kalau ia
tahu Ye Eun akan masuk kamar secepat ini, ia pasti sudah pura-pura tidur dari
tadi.
Terpaksa Yuta
pun berdiri dan menoleh pada Ye Eun—yang masih bergeming di depan pintu,
memandangnya dengan ekspresi tak terbaca. Walaupun sudah tahu cepat atau lambat
mereka pasti akan bertemu, namun Yuta tak menduga dadanya akan bereaksi seperti
ini. Ada gelombang ketakutan dan kepanikan yang serasa menyembur dari perutnya.
Mereka berpandangan selama beberapa saat sebelum Yuta merasakan telinganya
memerah dan langsung berpaling.
“Selamat
tidur,” katanya, membungkuk dan menempatkan dirinya berbaring meringkuk di
bagian kiri kasur.
“Aku tidak mau
tidur di lantai lagi malam ini,” kata Ye Eun tegas.
Yuta terpaksa
menoleh lagi. Terpaksa membiarkan lonjakan rasa gugup menguasai dadanya lagi.
“Tidak ada
yang menyuruhmu tidur di lantai.” Ia bicara setenang mungkin, berharap Ye Eun
tidak menangkap kegelisahan dalam suaranya. “Tidurlah. Kasurnya cukup besar
untuk kita berdua.”
“Aku tidak mau
tidur di kasur yang sama denganmu. Kita baru kenal dua minggu, kau bisa saja
orang mesum.”
“Orang mesum,”
ulang Yuta keras, seolah tak memercayai pendengarannya. “Kau yang menciumku dan
akulah yang mesum di sini. Logikamu, wah, luar biasa.”
“Tidak usah
mengungkit-ungkitnya. Itu terjadi begitu saja.”
“Itu terjadi
begitu saja.” Yuta kembali mengulangi perkataan Ye Eun dengan tampang terkejut
dibuat-buat. Seolah semua yang keluar dari mulut gadis itu harus ditutur dua
kali untuk menegaskan betapa bodoh dan tidak masuk akalnya mereka. Ye Eun
membuatnya gugup dan mengeluarkan keringat dingin sepanjang hari dan sekarang dengan
entengnya ia melempar kesalahan pada Yuta, menuduhnya mesum dan membela diri
hanya dengan kalimat ‘itu terjadi begitu saja’, tanpa peduli derita apa yang
dilalui Yuta karenanya.
“Oke, aku
minta maaf. Aku yang salah dan aku bersumpah itu tak akan terjadi lagi. Jadi
berhentilah mengungkitnya. Tenang saja. Aku tidak punya perasaan apa pun
padamu.”
Yuta terdiam sesaat,
merasa tersinggung.
“Kalau kau tak
punya perasaan apa pun padaku, maka tidurlah di sampingku,” desisnya, muak dan
sakit hati. Yuta menepuk kasur di sebelahnya seolah sedang menantang. “Kau
tidak menyukaiku, kan? Sini!”
“Berhenti
main-main dan menyingkirlah dari kasurku! Aku sudah tidur di lantai kemarin
malam dan aku mau kita gantian.”
Yuta mendecih,
menolak mentah-mentah permintaan itu. “Kau tahu, terserah padamu, tapi aku tak
akan ke mana-mana. Badanku pegal luar biasa karena mencangkul hampir dua petak
sendirian dan aku tak berniat untuk memperburuk rasa sakitnya dengan tidur di
lantai yang keras dan dingin.”
“Tak ada yang
menyuruhmu mencangkul sebanyak itu.”
Yuta memutar
mata sampai matanya sakit, kemudian kembali meringkuk membelakangi Ye Eun. “Yeah,
terserah. Bersenang-senanglah di lantai,” katanya mencela.
Ye Eun nyaris
menjerit marah sebelum teringat bahwa orangtuanya berada persis di kamar
seberang, dan ia sama sekali tak ingin anggota keluarganya tahu betapa
menyedihkan rumah tangganya ini.
Alhasil, ia
pun menyambar bantal di sebelah Yuta dan menempatkannya di lantai persis di
samping lemari, lantas dengan kasar mengempaskan dirinya, berbaring meringkuk membelakangi sang pria.
“Selamat
tidur,” ucap Yuta mencemooh.
“Tutup mulut,
berengsek,” desis Ye Eun, gemetar marah dan menggeram di balik napasnya.
Badannya kaku
dan matanya memanas saat ia mencoba tidur. Ye Eun merasa hatinya kebas
memikirkan semua kegagalan yang dialaminya dalam hidup. Dia sudah hampir
seperempat abad, namun tak ada satu pencapaian pun yang bisa dibanggakan dalam
hidupnya. Dia masih belum lulus kuliah sementara hampir semua orang di angkatannya
sudah sibuk meniti karir. Dia berbohong pada orangtuanya, mengaku sudah lulus
dan sedang menikmati hidupnya sebagai pekerja kantoran sukses di Seoul. Sebenarnya,
dia berbohong kepada orangtuanya soal banyak hal, mereka bahkan tak tahu kalau
ia sempat mengambil cuti setahun untuk training
jadi idol dan menghabiskan uang
semesterannya untuk itu. Bodoh sekali.
Intinya,
kuliahnya kacau, karirnya kacau, keuangannya kacau dan sekarang rumah tangganya
pun kacau. Mungkin satu-satunya hal yang belum ia kacaukan sekarang hanyalah
jalinan persahabatannya dengan Ji Won—tunggu, sebenarnya ia sudah
mengacaukannya juga dengan tuduhan perselingkuhan keji kemarin, tapi syukurlah
Tuhan menciptakan hati Ji Won dari berlian. Satu-satunya orang yang patut
dipuji karena keutuhan persahabatan mereka selama empat tahun terakhir adalah
Moon Ji Won seorang. Ya, Ye Eun memang kacau di segala sisi hidupnya, tapi Ji
Won tidak. Ji Won adalah orang paling setia kawan, paling tangguh, paling
cemerlang yang pernah Ye Eun temui. Dan fakta bahwa Ji Won yang gilang gemilang
masih mau berteman dengannya sampai detik ini benar-benar membuat Ye Eun
terkejut.
Sebenarnya, dari
sisi ekonomi maupun kehidupan pribadi, Ji Won justru lebih bobrok darinya. Ji
Won adalah seorang anak sulung dari enam bersaudara, ibunya pecandu alkohol
akut dan ayahnya tak bisa diandalkan. Tapi sebagaimana Ye Eun menyebutnya, dia
cemerlang, dia mampu lulus tepat waktu dan langsung bekerja jadi junior supervisor di restoran yang cukup
bergengsi. Gadis itu bahkan bersedia membantu Ye Eun yang kehilangan arah
dengan mengemis pada atasannya supaya Ye Eun bisa bekerja di sana—dan berhasil.
Ji Won selalu
ada untuknya, tak pernah mengeluh semerepotkan apa pun dirinya. Dalam hubungan
persahabatan mereka, sudah jelas bahwa Ji Won lah yang berperan sebagai si
ceria dan bijaksana, si tempat mengadu dan selalu memaafkan. Andai Moon Ji Won
itu laki-laki, Ye Eun pasti sudah naksir berat padanya.
Setelah
pikirannya entah bagaimana mengalir pada Ji Won, Ye Eun mendadak jadi merindukannya.
Gadis itu merasa benar-benar luluh lantak, ia perlu mengadu pada seseorang. Semua
lamunannya barusan membuat pelupuk matanya basah oleh air mata.
Ye Eun membuka
aplikasi pesan di ponselnya dan membaca pesan terakhir yang dikirimkan Ji Won
enam jam yang lalu—soal Yuta dan kemeja salmonnya—kemudian mengetikkkan pesan
baru, mengadu.
Aku
tidur di lantai
Ye Eun memandang
layar ponselnya selama dua puluh detik, menunggu balasan, sebelum akhirnya rasa
kantuk mulai menyerang. Ia meletakkan ponselnya di samping kepala. Memejamkan
mata.
**********
Kesadaran Ye
Eun belum sepenuhnya terkumpul saat sinar matahari masuk lewat kisi-kisi dan
jatuh tepat di wajahnya. Ia mengerjap sambil meregangkan tangan, lantas
terbelalak dan melonjak bangun begitu sadar dirinya lah yang justru berada di
kasur busa.
Sama seperti
kemarin, Yuta sudah menghilang dari kamar.
Ye Eun
mengambil ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang, namun pesan masuk dari
Ji Won mengalihkan perhatiannya.
APA!! Ya ampun cecunguk itu!!
Kau ingin aku ke sana dan menghajarnya untukmu?? – Ji Won
Ye Eun
langsung membalas.
Ini
aneh, tapi aku bangun di kasur.
Pesannya
dibalas cepat sekali.
DIA MENGANGKATMU KE KASUR????
– Ji Won
Sepertinya
begitu? Aku tidak pernah berjalan sambil tidur, dan misalkan aku pindah
sendiri, aku yakin walaupun sedikit aku pasti ingat. Tapi aku tidak ingat
apa-apa.
Wah, tuan muda Nakamoto. Tapi
kau baik-baik saja, kan? Pakaian lengkap? Maksudku, dia tidak melakukan apa-apa,
kan? – Ji Won
Ye Eun menoleh
pada bantalnya yang masih tergeletak di lantai. Hatinya mencelos.
Aku
yakin dia tidak melakukan apa-apa. Dia tidur di lantai semalaman.
Ye Eun
menggenggam erat ponselnya dan bangkit berdiri dengan dada bertalu-talu. Yuta
mengangkatnya ke kasur dan menggantikan posisinya di lantai. Ye Eun tak bisa
berhenti memikirkan itu sampai perutnya dipenuhi kupu-kupu. Ia keluar kamar
dengan wajah memerah dan merasa konyol bukan main. Bagaimana bisa perasaannya
terus berubah-ubah tiap 5 jam sekali? Sesaat dia menatap Yuta dan berpikir ‘aku
bersedia melakukan apa pun untukmu’, lalu tak lama kemudian ia menatap orang
yang sama dan berpikir ‘aku akan melempari muka menyebalkanmu itu dengan batu’.
“Kau lihat
Yuta?” tanya Ye Eun langsung, tepat setelah ia melihat Yeon Ju keluar dari
kamarnya dengan seragam sekolah.
“Ya. Dia di
ladang.”
“APA?”
“Tadi saat aku
mau mandi, aku melihatnya mengambil cangkul dan pupuk di gudang belakang.”
“Bersama
ayah?”
“Tidak.” Yeon
Ju menutup ritsleting tasnya dan menyandangnya di bahu. “Ayah baru menyusulnya
sepuluh menit yang lalu.”
“Huh? Maksudmu
dia ke ladang duluan?”
“Ya.”
Yuta bermaksud
menghindarinya. Itu jelas sekali. Tanpa sadar wajah Ye Eun sudah mengeras.
Suasana hatinya berantakan lagi. Yuta membuatnya berubah dari tersipu ke kecewa
hanya dalam sepuluh detik.
“Eonnie,”
panggil Yeon Ju.
Dengan malas
Ye Eun kembali menoleh padanya. “Apa?”
“Suamimu itu
kerja apa sih sampai sekaya itu? Rumah kalian pasti besar sekali, ya?”
“Kenapa
tiba-tiba tanya begitu?”
“Tidak
apa-apa. Cuma… tadi pagi dia agak pincang saat berjalan, punggungnya juga lebih
bungkuk. Kakak ipar jelas sedang menahan sakit. Aku jadi berpikir apa kasur
busa kita sebegitu tidak nyamannya? Biasanya dia tidur pakai spring bed mahal,
kan? Pasti tidak nyaman sekali di sini.” Yeon Ju mengakhiri kalimatnya dengan
desahan iba, lantas tiba-tiba saja ia menoleh pada Ye Eun dan memicing penuh
selidik, “kau tidak menyuruhnya tidur di lantai, kan?”
Ye Eun
tersentak dan menatap Yeon Ju panik.
“A-aku…”
“Ya ampun.”
“Aku punya
alasanku sendiri, kau tidak akan menger…”
“Kau tahu,” sela
Yeon Ju dengan nada sok bijak, “saat malam pernikahan kalian, teman suamimu
yang setinggi galah itu memberiku kotak sepatu.”
“Yanan?”
“Aku tak tahu
namanya.”
“Baiklah,
lalu?”
“Karena aku
sedang tak butuh sepatu, jadi aku meletakkannya di belakang pintu kamarku. Aku
baru membukanya empat hari yang lalu, dan kau tahu apa isinya?”
“Apa?”
“Uang.”
“Uang?”
“Uang yang
sangat banyak, berdesakan satu sama lain sampai kau tak bisa menyelipkan
sehelai kertas pun di antaranya.”
Ye Eun
terperanjat.
“Eonnie, kau
lihat ini?” Yeon Ju lalu mengulurkan tangannya dan memamerkan jam tangan mokanya
yang nampak elegan. “Harganya mahal sekali.”
Ye Eun
memandang jam tangan itu sekilas lalu kembali mengalihkan tatapannya pada Yeon
Ju. Menunggu adiknya yang aneh dan sok misterius itu melanjutkan kalimatnya.
“Yang mau
kubilang adalah,” katanya lambat-lambat, “aku tahu hubunganmu dengan kakak ipar
tidak begitu baik. Aku sempat berpikir mungkin kalian punya perjanjian
tersembunyi atau apa, tapi….” Yeon Ju merendahkan suaranya, “aku benar-benar
menyukai kehidupanku yang sekarang.”
Ye Eun
mengernyit.
“Aku suka bisa
beli makanan enak dan tas bagus tanpa berpikir apa uangku cukup. Aku yakin ayah
dan ibu juga sepemikiran denganku. Ayah membuat saluran irigasi baru dan
mempekerjakan lebih banyak orang untuk memetik buah, ibu juga diam-diam membeli
berlian. Dia sekarang sudah mau menghadiri acara ramah tamah di desa karena
punya baju yang layak. Jadi kumohon….” Yeon Ju menghela napas panjang, “kumohon
padamu, baik-baiklah pada kakak ipar.”
Ye Eun
menggelengkan kepala, menatap Yeon Ju tak habis pikir.
“Bahkan jika
aku tak bahagia, kau mau aku tetap baik-baik pada Yuta?”
“Dia tampan,
kaya, dermawan, pekerja keras. Apa yang membuatmu tidak bahagia?”
Aku tak tahu, jawabnya dalam hati.
“Apa dia
jahat?”
Ye Eun
langsung menggeleng.
“Lalu apa?”
“Dia…”
suaranya kian menipis, “membuatku bingung.”
Yeon Ju
mendengus tak percaya. “Kau juga membuatku bingung,” katanya jengkel, kemudian
berjalan begitu saja menuju pintu depan. Ye Eun mengawasinya mengambil sepatu
sekolahnya dari rak dan memakainya sambil berpegangan di tembok. “Eonnie, kau
pulang ke Seoul sore ini kan?”
“Ya.”
“Aku mungkin
belum pulang saat kau jalan, jadi yeah,.. hati-hati.”
Ye Eun
mengangguk, tersenyum amat tipis ia yakin Yeon Ju tak tahu ia tersenyum.
“Sekolah yang benar.”
“Kau juga,”
sambar Yeon Ju langsung, menyeringai menang, “kuliah yang benar.”
Ye Eun
terbeliak. “D-darimana kau…”
“Kau bisa
membohongi ayah dan ibu, tapi tidak denganku.” Yeon Ju terlihat amat menikmati
ekspresi kaget Ye Eun, seringaiannya makin lebar. “Tenang saja, aku akan tutup
mulut. Baiklah-baiklah pada kakak iparku. Aku pergi.”
**********
Ye Eun dan
Yuta sampai di bandara Gwangju pukul lima sore. Yuta nampak begitu pucat dan
berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda akan pingsan. Bagaimana tidak? Dia
tidur di lantai semalaman dan menghabiskan sepanjang siangnya untuk bekerja di
ladang tanpa mengambil waktu istirahat. Ayah Ye Eun sudah menyuruhnya berhenti
mencangkul dari jam satu, tapi Yuta tak mendengarkan. Ia baru mau diajak pulang
saat Ye Eun mendatanginya ke tengah ladang, menyuruhnya mandi dan merapikan
koper karena pesawat mereka akan berangkat jam enam.
Maka di
sinilah mereka sekarang, di lobi bandara Gwangju, menyeret koper masing-masing
menuju gate lima seolah tidak saling
kenal. Yuta berjalan dua meter di depan Ye Eun dengan pundak turun dan langkah
lemas.
Ye Eun
memicing memandangi punggung Yuta. Di satu sisi merasa iba melihat betapa
letihnya pria itu. Sementara di sisi lain, ada kecenderungan untuk mendesiskan
kata ‘rasakan!’ dengan nada kejam di depan mukanya, sebab tak ada yang
memintanya mencangkul seperti orang kesetanan di ladang, sebab Tuhan tahu Yuta
bekerja sekeras itu hanya karena ingin menghindari Ye Eun saja. Dan yeah, itulah yang kau dapat karena
menghindariku.
“Aww!” Ye Eun
tiba-tiba saja menjerit di tengah lamunannya. Seseorang tak sengaja menabraknya
dan menumpahkan kopi panasnya ke tangan sang gadis.
Yuta sontak
menoleh.
Pemilik kopi
itu, cowok umur dua puluh tahunan, dengan rambut ikal, kulit sawo matang dan
tindikan di hidung, meminta maaf setengah hati pada Ye Eun, setengah mendecak
karena ia harus beli kopi baru. Ia berbalik hendak pergi saat Yuta tiba-tiba
menyeruak datang dan menyambar kemeja flanelnya. Matanya tajam dan aura
mengerikannya menguar tak terkendali. Semua orang berhenti untuk melihat
keributan itu sampai suasana di sekitar mereka menjadi sunyi dan mencekam.
“Minta maaf!”
tuntut Yuta.
“A-aku sudah
minta maaf.”
“Minta maaf
yang benar padanya,” desis Yuta dengan suara berbahaya dan rahang mengeras,
kemudian mengulangi perkataannya dengan nada membentak. “Kubilang minta maaf
yang benar pada istriku!!”
Urat-urat di
tangan Yuta menonjol keluar sementara ia mengeratkan cengkeramannya, seolah
sedang menegaskan bahwa ia tak akan ragu untuk menaikkan tangannya sedikit ke
atas (ke lehernya) dan mencekiknya sampai mati.
Pria bertindik
yang tadi terlihat menyeramkan itu tiba-tiba jadi nampak seperti lelucon di
sebelah Yuta. Wajahnya panik seolah ia bisa terkencing di celana jika Yuta
menatapnya lebih lama. Gemetaran ia menoleh pada Ye Eun, mengulangi permintaan
maafnya dengan bibir gemetar.
Yuta baru
menyentak lepas kerah kemejanya begitu Ye Eun mengangguk, menerima permintaan
maaf itu. Segera saja pria bertindik tersebut pergi, melangkah buru-buru seolah
sudah ketinggalan pesawat, lalu baru berteriak memaki-maki Yuta setelah jarak
mereka sudah cukup aman. Jantan sekali.
Ye Eun mengira
Yuta akan terpancing emosi, tapi entah karena makian ‘preman bajingan’ atau
‘cowok tolol’ yang dilontarkan cukup keras dari ujung gate dua itu tidak didengarnya, atau mungkin memang karena ia tak
peduli, Yuta malah berjalan menghampiri Ye Eun dan mengecek tangannya.
“Kau baik-baik
saja? Bagaimana tanganmu?”
“Agak perih
sedikit, tapi tidak apa-apa.”
Yuta nampaknya
tak begitu puas dengan jawaban itu. Ia menggenggam pergelangan tangan Ye Eun
dan membawanya berjalan selama beberapa saat sebelum menemukan plang toilet dan
berbelok ke sana.
“Yah!! Aku tak
mau masuk toilet cowok!” protes sang gadis. Tanpa bicara apa-apa, Yuta pun
memutar langkahnya dan masuk begitu saja ke toilet wanita. Ye Eun terbeliak
dibuatnya.
Toilet itu
untungnya kosong. Yuta mengulurkan punggung tangan Ye Eun ke wastafel dan
membasuh ruam merah serta bekas kopi yang masih tertinggal di sana. Mengusapnya
begitu lembut seolah tangannya terbuat dari porselen. Ye Eun memandangi wajah
serius Yuta sementara hatinya mencelos. Dia
mulai lagi, pikirnya, membuat bingung lagi.
Yuta mematikan
kerannya, lalu menoleh memandang Ye Eun—yang juga tengah memandangnya.
“Masih sakit?”
“Sedikit.”
“Mau beli obat
dulu?”
“Tidak usah.
Nanti juga sembuh sendiri.”
“Kau yakin?”
“Ya,” jawab Ye
Eun serak, gugup setengah mati. Yuta masih saja menggenggam tangannya dan ia
tak tahu digenggam Yuta ternyata semendebarkan ini. Sensasi yang ditimbulkan
dari sentuhan minimum di telapak tangan itu jauh lebih intens dari sekadar kupu-kupu
di perut, rasanya seperti ada burung merak di jantungnya.
“Aku bisa
sendiri, kau tahu,” kata Ye Eun lambat-lambat, tak mengerti kenapa Yuta harus
membasuh tangannya seperti ini, sampai-sampai masuk ke toilet wanita,
“maksudku, cuci tangan. Aku bisa cuci tanganku sendiri.”
Yuta
memandangnya sesaat sebelum mengangguk tipis seolah berkata ‘aku tahu’, lalu
malah mempererat genggaman tangannya.
Yuta terus
menggenggam tangannya bahkan saat mereka sudah di dalam pesawat. Jari-jari
kurus Yuta bertautan pas dengan jemari Ye Eun, seolah tangan pria itu memang
sengaja diukir sedemikian rupa supaya serasi dengan lengkungan tangannya. Ye
Eun tiba-tiba teringat akan fakta bahwa Yuta mengangkatnya ke kasur semalam,
setengah menyesal karena dirinya tak terbangun sedikit pun. Ye Eun penasaran
setengah mati bagaimana rasanya jika tangan Yuta yang lembap dan sempurna ini
melingkar di tubuhnya, mendekapnya di dekat jantungnya sebelum meletakkannya
hati-hati di kasur. Pasti membutuhkan keahlian khusus untuk bisa bekerja begitu
tenang, begitu hati-hati sampai tak membangunkannya.
Saat itu,
setelah pesawatnya mengudara kira-kira dua belas menit, Yuta akhirnya melepas
genggaman tangan mereka. Dan Ye Eun tak pernah merasa sekecewa itu seumur
hidupnya. Burung merak di jantungnya mendadak hilang dan membuatnya merasa
hampa. Ye Eun sesaat ingin sekali memesan kopi mendidih dan menumpahkannya ke
tangannya sendiri.
**********
Kekecewaan
yang dirasakan Ye Eun bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Pukul Sembilan
malam, Ye Eun berbaring di kamarnya, memandangi tangan kirinya yang memerah karena
insiden kopi di bandara Gwangju dan berpikir sejak kapan tangannya itu nampak
begitu kesepian. Apa ia benar-benar harus disiram kopi dulu baru bisa digenggam
Yuta lagi? Apa hidupnya sungguh semenyedihkan itu?
Saat itu,
notifikasi pesan di ponselnya berbunyi. Dari Ji Won.
KATAMU 4 HARI, KAN? KOK SUDAH
PULANG? AKU MASIH DI ANYANG – Ji Won
Ye Eun
terbeliak dan langsung melonjak ke posisi duduk.
SEDANG
APA KAU DI ANYANG?
Kau ingat See Ra mau sekolah
asrama di Anyang? Aku sedang urus administrasinya – Ji Won
See Ra adalah
adik ketiga Ji Won dan ya, tentu ia ingat See Ra mau daftar sekolah di Anyang, tapi tidak, ia tidak tahu kalau pendaftarannya sekarang.
Lalu
aku tidur dengan siapa?? Kamarku jadi 10 kali lipat lebih seram setelah
ditinggal 3 hari!!!
Ye Eun
mendecak, memandangi perabot antik di sekelilingnya dengan perasaan waswas
sebelum merinding sendiri. Serangan rasa takut berkumpul dan beriak di dasar
perutnya. Kalau Ye Eun tidak terus-terusan dihantui mimpi buruk setiap kali ia
memejamkan mata di ruangan ini, mungkin ia tidak akan sepenakut sekarang. Tapi
masalahnya, Tuhan tahu mimpi buruk soal kelelawar bodoh dan ruangan gelap yang
kenopnya terbuat dari zamrud itu akan mendatanginya lagi, tiap malam,
konsisten, terus-menerus, seolah mimpi itu permanen.
Ponselnya
berbunyi lagi. Ye Eun menggeser kursornya untuk membaca pesan dari Ji Won.
Kalau kau benar-benar takut, ada
Yuta di bawah.
Ye Eun membaca
pesan itu dua kali lagi sebelum mendenguskan tawa tak percaya.
“Sudah gila,
ya?!” Ia berseru pada layar ponselnya. “Kecuali ada angin topan yang tiba-tiba
muncul di kamarku, aku tidak akan menjatuhkan harga diriku sejauh itu dan masuk
ke kamar Yuta. Tidak akan pernah.”
**********
Ye Eun mencium
lengan dan bahunya sekali lagi sebelum kembali mengarahkan pandangannya ke
depan. Ia sudah menyemprotkan parfum Chanel Coco Mademoiselle dan membuat tubuhnya
beraroma campuran mimosa dan vanili. Ye Eun sendiri tak mengerti kenapa ia
melakukan itu, kenapa ia menyemprotkan parfum, kenapa ia merasa harus wangi
hanya untuk menumpang semalam di kamar Yuta.
Ya, dia turun
ke bawah, hendak mengetuk pintu kamar Yuta.
Dan tidak,
tidak ada angin topan yang tiba-tiba muncul di kamarnya.
Hanya rasa
takut.
Tok Tok
Ye Eun
menjauhkan tangannya dari pintu dan menelan ludah. Lalu mengulanginya beberapa
kali lagi karena tak mendapat respon.
Dan akhirnya,
di ketukan ke lima, Yuta membuka pintu. Yuta yang jelas-jelas sudah tidur itu
memandangnya dengan mata menyipit, setengah sadar.
“Boleh aku
tidur di sini?” tanya Ye Eun, dengan suara serak seolah tenggorokannya
tersumbat bola tenis.
Yuta
mengernyit. “Kau mau kita tukar kamar?”
“Tidak,”
sergahnya langsung. “Maksudku bersama.”
“Bersama?”
“Y-ya.” Ye Eun
menelan ludahnya lagi, “tidur….bersama.”
TBC
Happy birthday to mr. nakamoto yuta and mr.
nakamoto yuta only<3 o:p="">3>
Be happy, be healthy, ily
Oke, pertama, soal kemeja salmon… do y’all
remember that superior fancam of Yuta performing 0 mile??? Yep, yang dia pake
kemeja valentino putih buat luaran. Nah, sekarang bayangin outer putihnya g
dipake, bayangin pake kemeja salmonnya doang…. /sigh/ aku mikirin dia soft
sekali kawan :(
Kedua, aku baru tahu yg jadi Do Hana di web
series A-Teen itu nama aslinya Shin Ye Eun. Aku g tau kalian ada yang nonton
A-Teen apa engga, tapi Doha tuh karakter favorit aku di A-Teen trus seneng
sendiri gara2 namanya sama /gaje emang, maapin/. Aku baru tahu pas lagi nyari2
foto yeeun di pinterest kok tiba2 banyak foto Doha. Kalau ada yg mau tau, Shin
Ye Eun di vampire bride itu nama ig-nya yeexeun aku biasa bayangin muka dia
kalo nulis (biasa dipanggil yene, masih 18 taun sih aslinya tapi mari kita
bayangin dia 5 taun lebih tua hehe)
Terakhir, aku tau part ini panjang bgt dan
aku minta maaf huhu. Tapi aku mau bikin ekstra spesial buat ultah Yutaa.
Karena belum tentu taun depan aku masih sesuka ini sama doi. Kutakmau my big yutazen mood to go to waste. Gonna do my best while it lasts :”)
Anywayyy, makasih banyak semuanya semoga
terhibur yah kalian… wasalam
Comments
Post a Comment