The Scoundrel, Heartbreaker Part 4





Side story :





Previous story :


Teaser  I  Part 1  I  Part 2  I  Part 3







*  *  *  *






Sudah 2 hari berlaru sejak malam perayaan ulang tahun Nenek Tuan. Namun kejadian malam itu tidak kunjung dapat Jiyeong lupakan. Setiap hal terkecil dari kejadian itu masih sangat melekat diingatannya.



Bukan! Bukan saat bagaimana Nenek Tuan meniup lilin ulang tahunnya. Bukan saat kerabat Tuan mengucapkan selamat kepada sang Nenek. Dan bukan juga saat acara dansa yang didominasi oleh orang-orang dewasa di sana.



Namun kejadian yang tidak mampu ia lupakan adalah saat Mark menciumnya. Ah.. mungkin lebih tepatnya mencumbunya. Karena yang terjadi malam itu tidak hanya sekedar mencium bibir gadis itu, tetapi rahang dan leher gadis itu juga menjadi sasarannya. Bahkan bercak kemerahan yang ia torehkan pada leher Jiyeong masih ada dan tidak juga hilang. Membuat Jiyeong harus memakai plaster dan concealer untuk menutupinya.



Setiap mengingat kejadian itu, tidak tahu kenapa suhu wajahnya bertambah. Ia tidak tahu kenapa jantungnya ikut berdetak cepa saat ia mengingat bagaimana Mark menyentuhnya. Memang sentuhannya ringan, tetapi Jiyeong tidak mampu melupakannya. Menurutnya setiap sentuhan pria itu begitu memabukkan. Seperti ada candu dari setiap sentuhan Mark yang membuat ia menginginkannya lagi dan lagi.



Jiyeong terus saja menggeleng setiap kali ingatan itu muncul. Sayangnya sekeras apa pun kepalanya bergerak, ia masih tidak bisa melupakannya. Bahkan sensasi saat pria itu memberikan kecupan pada bibirnya, mengulumnya hingga menggigitnya, masih dapat ia rasakan.



Ia tersentak dari sensasi-sensasi yang tengah ia rasakan saat sang Ibu memanggil namanya dan mengetuk pintu kamarnya. Gadis itu kembali menggeleng dan kemudian segera menghampiri pintu tersebut dan membukanya.



“Ada apa Bu?”



“Apakah kamu sibuk?”



Jiyeong menggeleng. Ia tidak memiliki hal yang harus dilakukan hingga malam nanti. Ketiga sahabatnya memiliki acara masing-masing, jadi kemungkinan besar ia akan berada di rumah selama satu hari ini.



“Bagus.” Sang Ibu tersenyum. “Ibu ingin meminta tolong pada mu.” Lanjutnya setelah mengusap puncak kepala Jiyeong.



“Apa?”



“Tolong antarkan ini..” Nyonya Hwang menyerahkan dua kotak besar yang telah ditumpuk menjadi satu kepada Jiyeng. Berdasarkan aroma yang menguar, Jiyeong yakin bahwa kotak tersebut berisi makanan.



“Tolong antarkan kepada keluarga Tuan. Ayah harus bertemu dengan client-nya, dan Ibu harus menemaninya. Sedangkan Jonghyun, ia harus bertemu dengan dosen pembimbingnya.”



Jiyeong menghembuskan napas. Ibunya sudah menjelaskan bahwa hanya ia yang bisa mengantarkan kotak-kotak tersebut ke rumah kelaurga Tuan. Tidak ada orang lain yang bisa melakukannya saat ini. Jadi walaupun ia berargumen, pada akhirnya ia juga yang akan mengantar kotak tersebut.



“Baik Bu.”



“Terimakasih Jiyeongie. Kamu memang anak Ibu yang baik.”




Mark POV



Kehadiran teman-teman ku setidaknya dapat memberikan sedikit pencerahan mengenai Jiyeong. Gadis itu begitu penuh misteri. Tidak ada yang tahu bagaimana isi kepalnya. Mereka setidaknya telah memberikan aku cara bagaimana untuk menaklukan gadis dingin itu. Ya.. walau aku tidak tahu apakah cara yang mereka sarankan akan berhasil. Tetapi tidak salahkan jika aku mencobanya.



“Lalu bagaimana dengan malam itu? Apakah kau benar-benar menciumnya?” Youngjae menatap ku dengan tatapan penasarannya. Pria itu memang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya pada segala hal. Ia selalu menunjukkannya dan pasti selalu berhasil membuat sang objek menjawab rasa penasarannya.



“Ya.. mungkin bukan menciumnya, tetapi mencumbunya.”



“APA? KAU MENCUMBUNYA?!?” Jackson bangkit dari duduknya dan menatap ku tidak percaya.



Oh ayolah.. kenapa ia harus sangat terkejut seperti itu? Bukankah jika aku melakukan lebih dari sekedar mencium Jiyeong. Ia adalah tunangan ku dan ya.. terserah pada ku, aku mau melakukan apa padanya. Maksud ku, tidak masalah bukan jika aku mencium atau mencumbunya.



Bahkan aku juga melakukan hal itu pada gadis-gadis lain yang tertarik pada ku dan ingin untuk menjadi kekasih ku. Namun ia tidak mempermasalahkannya. Lalu kenapa sekarang ia begitu terkejut?



“Kenapa? Apakah kau cemburu Jackson Wang?”



Matanya membulat dengan dahi yang berkerut. Kemudian kepalanya menggeleng cepat.



“Tidak. Tidak. Aku tidak cemburu. Tapi Hwang Jiyeong, maksudnya gadis itu, dari bagaimana ia berinteraksi dengan teman-temannya, aku bisa menebak bahwa ia bukanlah tipikel gadis yang dengan mudahnya bertekuk lutut pada pria casanova seperti mu. Lalu kau bilang, kau mencumbunya....”



Pria itu menggeleng. Sepertinya ia masih tidak bisa mempercayai bahwa aku baru saja mencumbu gadis yang juga menjadi incaran banyak pria-pria di kampus karena kemisteriusannya. Perlu kalian tahu saja, banyak mahasiswa yang membicarakan seorang Hwang Jiyeong. Mereka semua sependapat bahwa Jiyeong itu cantik dengan gayanya. Hanya saja Jiyeong yang sepertinya tidak memedulikan sekitar, hingga membuat dirinya tidak sadar sudah menjadi objek incaran para mahasiswa termaksud diri ku.



“Kau tahu bukan, tidak ada yang bisa menolak pesona serta sentuhan ku. Jadi seperti apa pun gadis itu, pada akhirnya ia akan bertekuk lutut pada di hadapan ku.”



Aku menatap mereka dengan penuh bangga. Menyunggingkan senyum kemenangan serta melipat kedua tangan ku di depan dada.



Begitu menyenangkan bila bisa membanggakan diri di hadapan teman-teman mu. Dan aku menikmati setiap tatapan tidak percaya yang mereka tunjukan, yang seperti sebuah pujian untuk diri ku.



“Benarkah? Ya ampun.. repot-repot sekali. Kalau begitu masuk dulu, kamu pasti lelah menempuh perjalanan dari rumah mu ke sini.”



“Iya Bi, terimakasih..”



Dahi ku mengerut dan mata ku memicing saat suara seorang perempuan mengalun ke telinga. Suara itu, aku merasa seperti mengenalnya. Suaranya mirip seperti suara gadis itu. Jika memang itu adalah dia, tapi untuk apa ia datang?



“Mark kau mendengarnya? Bukankah itu seperti suara Hwang Jiyeong?” Jackson menyikut ku dan membuat atensi ku langsung berubah padanya.



“Kau mengundangnya?” Bambam yang tengah sibuk dengan ponselnya tiba-tiba saja bangkit dengan mata yang membulat.



Aku menggeleng. Aku tidak mengundang gadis itu. Dan aku juga tidak tahu kenapa gadis itu bisa ada di sini.



“Sepertinya akan ada pertunjukan menarik, bukankah begitu Mark?”



Kini Yugyeom bangkit dari duduknya. Ia menghampiri ku dan meletakkan tangannya pada pundak ku. Memberikan tatapannya yang penuh dengan makna sebelum aku mengangguk membenarkan ucapannya.



“Kalau begitu tunggu apa lagi. Ayo turun! Kita lihat apa yang akan pria casanova ini lakukan kepada calon istrinya.”



Jaebum bangkit dari duduknya diikuti yang lain. Mereka begitu menantikan apa yang akan aku lakukan terhadap Jiyeong. Oh Tuhan, tanpa perlu kalian ingatkan pun aku pasti akan melakukan sesuatu padanya.



Kenapa?



Karena aku akan membuat ia yang menginginkan ku. Aku akan pastikan itu!




Author POV


Setelah Bibi Tuan mengambil dua kotak sedang yang dibawa Jiyeong dan mempersilahkannya masuk, Jiyeong pun melangkahkan kakinya masuk mengikuti wanita setengah baya di depannya. Saat tubuhnya telah berada di dalam, Jiyeong tidak bisa untuk tidak memperhatikan setiap detail rumah tersebut.



Rumah yang besar dengan dominasi warna putih serta coklat yang menciptakan kesan mewah dan elegant. Di bagian depan, terdapat banyak foto keluarga mulai dari ukuran besar hingga kecil. Ketika berjalan semakin ke dalam, pemandangan berbeda langsung dapat terlihat saat berada di ruang tengah. Dominasi cat berwarna putih serta sofa dengan warna merah dan hitam memberikan kesan kuat di sana.



Jiyeong masih begitu tertarik dengan setiap bagian dari rumah tersebut. Ia ingin sekali melihat bagaimana keadaan di lantai dua saat matanya menemukan letak tangga rumah yang akan membawa dirinya ke lantai atas.



Sayangnya tidak bisa karena tidak ada alasan bagi Jiyeong untuk naik ke sana. Menurutnya terlalu lancang jika ia langsung naik ke atas tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Bibi Tuan. Selain itu alasan yang ia miliki juga tidak layak untuk ia katakan kepada wanita itu.



Jiyeong kembali melangkahkan kakinya menghampiri Bibi Tuan yang kini tengah berada di dapur.  Namun kemunculan Mark yang tiba-tiba di tangga tersebut membuat langkahnya terhenti. Ia tidak melakukan apa pun selain hanya diam menatap pria itu, seperti terkena tersihir kemunculan Mark.



Namun suara lantang Jackson membuat semua pikirannya kembali. Ia langsung menggeleng dan kemudian kembali terkejut saat matanya menemukan 6 pria lain yang berdiri di belakang Mark. Keenamnya menatap Jiyeong dengan tatapan yang berbeda.



Jackson menatapnya dengan tatapan bagaikan tengah bertemu dengan temannya. Jaebum menatapnya dengan penuh misteri. Jinyoung menatapnya dengan lembut. Youngjae dengan tatapan bersahabatnya. Bambam menatapnya dengan memasang senyum yang begitu kekanakan. Sedangkan Yugyeom menatapnya dengan seringai yang yang terpasang jelas di wajahnya.



Jiyeong menelan salivanya begitu menyadari bahwa Mark masih terus menatapnya tajam. Terlebih saat melihat bagaimana pria itu secara keseluruhan. Dengan mengenakan sweater motif garis berwarna biru serta celana selutut berbahan denim, pria itu terlihat begitu memukau di matanya.



Jiyeong kembali menggelengkan kepalanya singkat. Tidak seharusnya ia membayangkan pria itu dengan jantung yang bergemuruh. Bukankah ia tidak memiliki perasaan apa pun pada pria itu? Jadi hilangkan pikiran bodoh itu dan fokus pada tujuan utamanya datang ke rumah tersebut.



“Hai..” Gadis itu menyapa ketujuhnya dengan menggaruk tengkuk. Ia merasa aneh dengan kehadiran mereka di sana, walau itu bukanlah rumahnya.



Jiyeong bergumam tidak jelas. “A-Aku... ingin bertemu Bibi Tuan. Sampai bertemu.”



Jiyeong tersenyum canggung sebelum ia melangkah menuju dapur. Namun untuk kedua kalinya langkah gadis itu terhenti di depan tangga saat Mark berdiri di hadapannya dan menghalangi jalannya.



Ia menatap Mark dengan penuh keterkejutan. Ia juga kembali menelan salivanya dan saling mengaitkan kedua tangannya yang mulai mendingin.



“Kamu tidak ingin memberikan ku sapaan dengan bibir mu itu?”



Jiyeong mengerjap beberapa kali saat pertanyaan itu terlontar dengan mudahnya dari bibir seorang Mark. Ia juga menelan salivanya kembali seakan hal itu sudah menjadi hal yang harus ia lakukan.



Mark melihat itu. Mark melihat keterkejutan gadis itu serta rasa canggung yang dirasakan Jiyeong. Dan ia yakin rasa canggung itu dikarenakan kejadian yang terjadi malam itu.



Mark kembali memanfaatkan keadaan. Ia mulai mendekatkan wajahnya. Memotong setiap inchi jarak yang memisahkan wajahnya dengan wajah Jiyeong. Semakin dekat hingga gadis itu dapat merasakan hembusan hangat napas Mark yang menyapu permukaan kulit wajahnya. Ketika bibir mereka hampir bertemu, Jiyeong menjauhkan wajahnya dan menutup mulutnya dengan tangan.



“Don’t you dare Mark Tuan!”



Mark menaikkan sebelah alisnya. Kepalanya bergerak mundur dan bibirnya kembali membentuk senyum remeh yang membuat Jiyeong merasa direndahkan.



“Why? I thought you like that, right?”



Jiyeong diam. Ia tidak menjawab sangkaan Mark. Ia sama sekali tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Ia tidak tahu apakah ia menyukai atau tidak menyukainya. Mungkin jika sangkaan itu dilontarkan Mark sebelum kejadian malam itu, ia akan menjawabnya dengan lantang bahwa ia tak menyukainya. Tetapi kini, semua itu begitu abu-abu untuknya.



“You’re silent, so that’s a true, right?”



Mark memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Hal itu semakin membuat pria itu terlihat tampan dengan proporsi tubuhnya yang tinggi.



“Mark, kamu sudah turun. Baru saja Ibu akan memanggil mu.” Bibi Tuan datang dan membuat Jiyeong dapat bernapas dengan sedikit lega. Ia tersenyum saat wanita itu juga memasang senyumnya.



“Oh iya, Jiyeongie.. ini untuk Ibu mu.”



Wanita itu mengulurkan satu buah paper bag berwarna coklat kepada Jiyeong. Gadis itu meraihnya dengan kepala yang mengangguk.



“Bibi, kalau begitu aku pamit dulu.”



“Kenapa pulang? Kau tidak ingin makan malam di sini? Bibi baru saja akan memasak makanan spesial.”



Jiyeong menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak tahan berada di rumah keluarga Tuan. Ia sudah ingin pergi sejak tadi saat pria itu beserta dengan teman-temannya muncul dan membuat otaknya kembali mengingat hal yang tidak ingin ia ingat kembali.



“Kalau begitu, Mark kamu antarkan Jiyeong pulang.” Perintah Bibi Tuan pada Mark yang masih berdiri di sampingnya. Pria itu pun mengangguk dan hendak menarik tangan Jiyeong agar ikut pergi bersamanya. Namun Jiyeong menghentikannya.



“Tidak usah Bi, aku bisa pulang sendiri. Lagi pula aku berkendara ke sini, jadi tidak perlu repot.”



“Benarkah?” Bibi Tuan menatap Jiyeong ragu.



Jiyeong kembali menganggukkan kepalanya pasti. “Dan sepertinya Mark masih ada urusan dengan teman-temannya. Jadi biarkan saja Bi.” Jiyeong menjeda ucapannya. Ia melirik singkat pada Mark dan keenam temannya yang menatapnya sedikit bingung. “Kalau begitu aku pamit. Sampai bertemu lagi, Bi.”



Setelah berpamitan, Jiyeong segera menuju mobilnya. Ia menghidupkan mesinnya dan mulai mengendarai kendaraan roda empat tersebut keluar dari area rumah Mark. Di tengah perjalanan, ponselnya berdering. Sebuah pesan baru saja diterimanya, dan pesan tersebut dikirimkan oleh Mark.



“Mau apa lagi dia?!”



From: Mark Sang Titisan Iblis

Kau masih berhutang janji kencan dengan ku, Nona Hwang. Jadi bersiaplah.. aku akan menjemput mu besok pukul 10.



Jiyeong mencibir begitu selesai membaca pesan tersebut. Tapi ia juga tak memungkiri bahwa ada perasaan senang yang menyesap masuk ke dalam hatinya saat menerima pesan tersebut.



Apakah ia telah jatuh ke dalam perangkap sang cassanova?



Apakah ia telah memiliki perasaan padanya?




Jiyeong menepikan kendaraannya sejenak untuk membalas pesan tersebut.



To: Mark Sang Titisan Iblis

Ku harap nama ku akan bersih sebelum awal semester ini datang!



Pemberitahuan bahwa pesannya telah berhasil terkirim membuat sebuah senyum terukir dibibirnya. Entahlah, ia tidak tahu kenapa ia harus tersenyum. Padahal tidak ada yang lucu atau pun manis baik dari segi pesan yang ia terima maupun yang baru saja dikirimkannya. Tapi ia tidak bisa untuk tidak tersenyum.



Mungkinkah ia sudah gila?



Atau ia sudah tergila-gila dengan pria cassanova bernama Mark Tuan itu?




Jiyeong baru saja tiba di rumah saat langit telah menghitam. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung memberikan paper bag yang dibawanya pada sang Ibu, kemudian segera melesat pergi memasuki kamar mandinya.



Ia menenggelamkan tubuhnya di dalam bathtub yang telah terisi dengan campuran air hangat dan dingin. Matanya terpejam. Menikmati setiap sensai yang ia rasakan.



“Mark.... kenapa aku tidak bisa menghilangkan diri mu dari pikiran ku?”




*  *  *  *




Jiyeong bangun lebih awal dari biasanya. Bahkan sebelum matahari menampakkan cahayanya, mata gadis itu sudah terjaga. Dan saat itu juga, ia bergegas memasuki kamar mandi. Membersihkan badan, wajah, rambut, bahkan giginya.



Ia kemudian keluar dengan sehelai handuk putih yang melilit tubuhnya serta satu helai lagi membungkus rambutnya. Ia bergerak menuju lemari pakaian dan mengeluarkan semua pakaian yang tersimpan di sana.



Setiap pakaian yang ia lihat tak pernha berhasil membuatnya ingin mengenakan pakaian itu. Dimulai dari sweater, longsleve, sampai t-shirt, semua dimatanya tidak begitu pantas untuk ia kenakan.



Helaannya lolos begitu saja saat tubuh itu dibaringkan bersama dengan pakaian-pakaian yang berserakan di atas ranjang. Ia melirik pada jam yang terpasang di dinding kamarnya. Kurang lebih dalam satu jam lagi pria itu akan datang untuk menjemputnya. Tapi ia belum juga menemukan pakaian yang pas untuk dirinya.



Gadis itu bangkit dan kemudian menuju meja rias. Ia memutuskan untuk merias wajahnya terlebih dulu karena tidak memerlukan waktu yang lama untuk hal itu.



Dan saat selesai dengan wajahnya, gadis itu mulai mengerjakan rambutnya. Ia hidupkan hairdryer untuk mengeringkannya. Setelah kering, ia mulai menyisir dan menatanya.



Tersisa tiga puluh menit sebelum Mark benar-benar sampai di rumahnya. Tapi sampai saat itu, ia belum juga menemukan pakaian yang menurutnya pas untuk ia kenakan. Hal itu membuat helaan kembali lolos dari bibirnya.



Ia meninggalkan kursi riasnya dan berbalik. Dan betapa terkejutnya ia saat mendapati ranjang yang penuh dengan pakaian-pakaiannya sendiri. Kepalanya pun menggeleng dan mulai terasa berdenyut.



Napasnya terhela lelah. “Tidak seharusnya aku seperti ini. Ini hanya kencan bersama anak iblis itu, jadi pakai apa pun tidak masalah.”



Jiyeong melangkahkan kakinya mendekati ranjang. Ia mulai memilih pakaian yang akan ia kenakan. Dan sebauh tanktop putih serta cardigan coklat panjang menjadi pilihannya. Setelah memilih pakaian dan celana yang akan ia kenakan, gadis itu kembali memasuki kamar mandi untuk memakainya.




*  *  *  *




Mark tak henti-hentinya melirik pada Jiyeong yang duduk di kursi penumpang. Gadis itu benar-benar telah menarik perhatiannya dan membuat ia seperti mendapatkan sengatan diseluruh tubuhnya.



Hari itu, gadis di sampingnya terlihat begitu cantik dan menawan.



Apakah karena ia beru pertama kali melihat Jiyeong mengenakan tanktop serta celana yang cukup pendek? Atau karena ada hal lain yang ternyata juga telah mengusik dirinya sejak semalam?



Tidak tahu. Mark sendiri juga tak tahu kenapa ia ingin terus memandangi gadis itu.



Mark mulai memperlambat laju kendarannya saat mereka telah sampai di pusat perbelanjaan. Menurutnya kencan di pusat perbelanjaan tidak terlalu buruk. Toh.. banyak pasangan lain yang juga melakukannya. Dan juga di dalam pusat perbelanjaan banyak tempat yang dapat mereka datangi.



“Ayo..”


Mark melepaskan seatbelt-nya begitu pun dengan Jiyeong. Mereka keluar dari sana dan berjalan beriringan memasuki tempat tersebut.



Suasana ramai langsung menyapa ketika kaki mereka menapaki bagian dalam pusat perbelanjaan itu. Ya.. hari itu adalah akhir pekan. Jadi banyak keluarga yang memutuskan untuk mengisi waktu mereka dengan bersenang-senang di sana.



Mark langsung menggenggam tangan Jiyeong dan mengaitkan jari-jemari mereka. Ia menuntun gadis itu ke kedai ice cream yang kerap dikunjunginya.



“Kau mau rasa apa?” Tanya Mark saat melihat daftar menu yang diberikan seorang pelayan padanya.



“stroberi.”



“Kalau begitu, satu stroberi dan satu coklat.”



Mark memberikan kembali daftar menu tersebut kepada sang pelayan sebelum pelayan itu pergi meninggalkan kedunya. Setelah kepergian pelayan pria tadi, Mark kembali menatap Jiyeong yang ternyata tengah sibuk dengan ponsel kesayangannya.



“Berhenti menggunakan ponsel mu atau aku akan melakukan sesuatu di tempat ini.”



Jiyeong mengangkat kepalanya dan langsung menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas putih yang ia bawa. Ancaman pria itu begitu menakutkan untuknya yang hanya ingin menghabiskan akhir pekan tanpa ada sesuatu yang buruk terjadi.



Mark tersenyum begitu melihat Jiyeong yang menyimpan ponselnya. Sepertinya ancamannya begitu berhasil untuk membuat gadis itu tunduk kepadanya.



Ternyata tak sulit untuk menaklukan mu Hwang Jiyeong...




Hari itu waktu terasa bergerak begitu cepat. Jiyeong merasa baru saja sampai di tempat itu tapi kini ia sudah akan pulang karena langit telah gelap. Sebenernya ia masih ingin berlama-lama di sana, tetapi dirinya tahu jika semakin lama ia di tempat tersebut maka akan semakin larut pula ia sampai rumah. Dan pasti akan membuat Ibunya berceramah esok hari.



Jiyeong berjalan di belakang Mark saat mereka hendak menuju ke mobil. Gadis itu masih sibuk dengan pesan-pesan yang ia terima dari teman-temannya. Ia tak sadar bahwa Mark telah menghentikan langkahnya, yang membuat ia harus menabrak tubuh pria itu dan membuat kepalanya terasa sedikit berputar.



“Aw..” Rintihnya sembari mengusap dahi.



“Oh.. ini siapa Mark?”



Suara seorang gadis berhasil membuat Jiyeong mengindahkan ponselnya dan mengangkat kepalanya. Ia tersenyum canggung pada gadis tersebut dan kening yang mengerut melihat sosok di depannya.



“Oh, ini Jiyeong. Dia....” Mark menghentikan ucapannya. Ia menatap gadis itu dan kemudian beralih menatap Jiyeong.



Jiyeong sadar bahwa gadis di depannya bukanlah gadis biasa yang tak sengaja bertemu dengan mereka. Dan ia merasakan sesuatu pada diri Mark saat pria itu harus memperkenalkan dirinya.



“Kami teman, tadi kami tidak sengaja bertemu. Dan karena sudah malam, Mark berbaik hati untuk mengantar ku pulang.” Terang Jiyeong.



Gadis itu semakin melebarkan senyumnya. Namun Mark malah menatapnya tajam saat mendengar penuturan Jiyeong. Teman? Tidak sengaja bertemu?



“Begitukah?  Ah.. sepertinya aku harus pergi. Senang bertemu dengan mu lagi Mark.” Gadis itu menghampiri Mark dan memberikan kecupan singkat di bibirnya.



Tindakan gadis itu berhasil membuat Jiyeog terkejut dan membelalakkan matanya. Begitu pun dengan Mark yang langsung terdiam dengan mata yang membulat.



“Sampai jumpa lagi.” Gadis itu melambai singkat sebelum tubuhnya menghilang di antara banyaknya orang yang silih berganti.




Mobil yang dikendarai oleh Mark masih melaju bersama dengan kendaraan lainnya. Keadaan jalan yang cukup ramai membuat Mark harus mengurangi kecepatannya. Pria itu sama sekali tidak membuka suara sejak mereka masuk mobil. Ia hanya diam dan matanya terus fokus pada jalan di depan.



Jiyeong menyadari perubahan sikap Mark. Ia juga tahu bahwa Mark dan gadis tadi pasti memiliki masa lalu bersama. Hal itu terlihat saat Mark mengenalkannya serta diamnya Mark saat itu.



“Aku tidak tahu apa hubungan mu dengan gadis tadi. Tapi bisakah kau berkendara dengan benar? Kau hampir saja menabrak pengendara motor!” Geram Jiyeong.



Gadis itu membuang wajahnya. Memejamkan matanya dan menghembuskan napas. Ia mencoba untuk menenangkan jantungnya yang berdetak cepat setelah nyaris menyaksikan kecelakan yang melibatkan dirinya.



Benar jika Mark mengemudi dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Tapi itu hanya awalnya saja. Saat lampu jalan menunjukkan warna merah, ia malah menginjak pedal gasnya dan membuat kecepatan kendaraannya naik tiga kali lipat. Untuk apa? Hanya untuk menghindari lampu lalu lintas yang bodoh itu.



Dan ketika ia sadar dengan keadaan sekelilingnya, Mark langsung menginjak pedal remnya dan membuat mobil itu seketika berhenti. Untung saja tidak ada kendaraan lain yang melaju di belakangnya. Jika ada, mungkin kendaraan tersebut akan menabrak kendaraannya.



Tapi walaupun begitu, ia nyaris saja menabrak seorang pengendara motor yang berlalu dari arah yang berbeda. Jika kakinya tidak langsung menginjak pedal rem, mungkin sang pengendara motor itu kini tengah terkapar tak berdaya di atas aspal.



Namun sayangnya Jiyeong harus merelakan dahinya berbenturan dengan dashboard saat mobil itu tiba-tiba saja berhenti. Dahinya begitu terasa sakit. Membuat kepalanya menjadi pusing. Ditambah lagi dengan jantungnya yang masih terus berdetak tak karuan. Lengkap sudah deritanya.



Mark menoleh pada gadis di sampingnya. Ia hendak meraih pundak gadis itu dan membuat gadis itu menatapnya. Tapi Jiyeong membalikkan wajahnya terlebih dulu menatap Mark dengan tatapan tajam.



“Apakah kau ingin membunuh ku? Kau gila!”



Mark hanya diam. Ia tidak membalas sepatah kata pun ucapan Jiyeong. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja dilakukannya serta kejadian yang hampir membuat jalan di sana menjadi terhambat. Serta cairan merah yang ada di dahi Jiyeong membuat Mark tidak memedulikan.



Mark hendak menyentuh dahinya, tapi Jiyeong menepis tangannya.



“Mau apa kau?! Kau gila hah?! Apakah kau akan memanfaatkan keadaan ini hanya untuk melakukan sesuatu yang sangat menyebalkan?!!”



Mark tetap bungkam. Ia kemudian beralih pada kursi belakang dan mengambil sebuah kotak yang ia simpan di sana. Pria itu mulai mengeluarkan segala barang-barang yang ia butuhkan. Mulai dari kapas, alkohol, sampai dengan plester.



Jiyeong hanya memerhatikan Mark dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang tengah pria itu lakukan dan akan ia lakukan. Ia terlalu lelah untuk memikirkannya. Rasa pusing dikepalanya juga begitu mengganggunya.



Setelah selesai menuangkan cairan alkohol ke atas kapas yang dipegangnya, kapas itu lantas ia usapkan pada dahi Jiyeong. Pria itu membersihkan cairan merah tersebut. Dan setelah bersih, ia menempelkan plester untuk menutupi luka tersebut.



Jiyeong masih menutupi matanya. Sensasi dingin yang ia rasakan saat kapas itu berada di dahinya membuat ia sedikit merasa nyaman. Tetapi rasa sakit akibat terbentur itu juga membuatnya merintih saat Mark mengusapkan kapas itu.



“Maaf..”



Kata itu membuat Jiyeong membuka kembali kelopak matanya dan memutar kepalanya menghadap Mark.



“Untuk apa?”



“Luka itu dan... dan.. ya kau tahu maksud ku. Kejadian ini.”



Jiyeong mengangguk. Sebenarnya ia tidak terlalu memusingkan apa yang baru saja terjadi. Karena yang sangat mengusiknya saat ini adalah penyebab dari kejadian itu.



Kenapa Mark tiba-tiba saja menjadi aneh?



Kenapa Mark tiba-tiba saja menambah kecepatan kendaraannya dan kemudian menghentikannya seketika itu juga?



Semua itu terjadi pasti ada sebabnya bukan. Dan itulah yang sejak tadi mengusik gadis itu.



“Sebenarnya kau kenapa? Kau berubah sejak bertemu dengan gadis itu.” Tanya Jiyeong langsung pada intinya. Ia sedang tidak ingin berbasa-basi saat ini.



Mark menatap Jiyeong dan kemudian kembali memerhatikan jalan di depannya. Saat itu Mark telah menepikan kendaraannya di depan sebuah kedai kopi.



“Dia Stefany Choi, mmantan kekasih ku. Kami sudah menjalin hubungan selama hampir tiga tahun. Tapi setelahnya kami putus.”



Jiyeong diam. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Menurutnya gadis itu tidak hanya sekedar mantan kekasih saja. Tetapi ada hal lain yang tengah disembunyikan oleh Mark mengenai gadis itu.



“Kenapa kau diam? Apakah kau merasa bersalah?”



Kalimat Mark membuat Jiyeong merasa terkejut. Ia tak menyangka bahwa pria itu sudah kembali menjadi seorang Mark yang ia kanal. Mark yang menyebalkan dan juga suka tebar pesona. Secepat itukah ia berubah?



“Ah.. em.. tidak. Aku tidak merasa bersalah. Kau saja berlebihan.”



“Benarkah? Tapi menurut ku kau tetap merasa bersalah Hwang Jiyeong. Dan karena kau baru saja menanyakan hal yang bersifat privacy kepada ku, jadi aku ingin meminta imbalan.” Pria itu kembali memasang senyumnya yang sangat penuh arti. Ia kemudian meletakkan tangan kirinya pada kursi penumpang serta mendekatkan tubuhnya.



Hal itu membuat Jiyeong juga memundurkan tubuhnya hingga ia merasakan pintu mobil itu sudah menempel dengan punggungnya. Mark kembali memasang senyumnya begitu mata Jiyeong membulat saat mengetahui bahwa ia sudah terkunci di antara tubuhnya dan pintu.



“Cium aku.”



“Tidak.”



“Kalau begitu aku yang akan mencium mu.”



“Mark kau gi-”



Mark saat itu juga langsung membungkam bibir Jiyeong dengan bibirnya. Tidak ada sentuhan lain selain bibir mereka yang saling bersentuhan. Walau Mark sangat ingin untuk menyesapkan tangannya ke balik punggung Jiyeong dan menyentuh pipi gadis itu, tetapi ia berusaha untuk tidak melakukannya.



Ia berusaha untuk menahan dirinya agar kejadian saat malam itu tak kembali terulang. Ia tidak ingin terlarut pada gadis itu karena ia takut, ia akan melakukan hal yang lebih jauh dari sekedar mencumbu Jiyeong.


To be continued




감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts