THE SERIES OF UNDERGROUND: Forced Marriage - 점심 (Lunch)




Park Jimin   < >   Lim Chaerin (OC)


- Adult Romance -
(AU - Alternate Universe)



o  O  O  O  o




Hari itu Jimin datang sedikit terlambat karena ia harus kembali ke apartemennya sebelum berangkat bekerja. Sesampainya di kantor, seperti biasa dirinya langsung mendapatkan sambutan hangat dari para karyawan. Selain itu karyawan wanitanya juga tidak bosan untuk memasang senyum menggoda kepadanya.



Ugh murahan!, batin Jimin sembari terus melangkah pergi menuju ruangannya di lantai teratas.



Jimin membuka pintu ruangannya dan segera menuju kursi guna memulai pekerjaan yang telah menunggunya. Baru saja bokongnya mendarat di atas kursi, sang asisten datang dan tentunya membawa pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum makan siang, Jimin tahu itu.



Pria dengan kacamata yang membawa beberapa map tersebut membungkuk hormat.



“Maaf Tuan Park, direktur meminta saya memberikan ini dan mengatakan agar Tuan bisa menyelesaikannya sebelum jam makan siang terutama map berwarna merah ini.”



Asistennya meletakkan map tersebut dihadapan Jimin dan kembali berkata, “Untuk makan siang nanti, Tuan Park diminta datang ke Restoran Harvé dengan membawa map merah ini.”



Jimin mengangguk singkat, pertanda ia paham dengan semua perkataan sang asisten yang menjadi perantara sang Ayah.



“Kalau begitu saya permisi Tuan. Jika ada yang anda butuhkan, anda bisa menghubungi saya.” Pria itu menunduk singkat sebelum melangkah pergi dari ruangan sang atasan.



Setelah kepergian sang asisten, Jimin baru bisa melemaskan sedikit otot tubuhnya. Ia bersandar pada kursi kerjanya setelah melepas jas putih yang membalut kemeja hitam didalamnya. Walau rasa lelah masih mendominasi, Jimin tetap memaksakan dirinya untuk membuka pekerjaan. Ia mengambil map merah yang menjadi pekerjaan penting karena dibutuhkan saat makan siang nanti.



Lembar pertama dalam map tersebut tertulis nama sebuah perusahaan yang sudah tidak asing lagi di telinganya, Lim Group. Perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan perusahaan keluarganya, Park Enterprise. Ia tahu siapa pemilik perusahaan itu, Lim Min Soo, salah satu sahabat baik sang Ayah. Jimin ingat karena beberapa kali pria itu datang ke kantor dan bertemu dengan Ayah-nya.



Mengingat hubungan baik antara Ayah-nya dengan Tuan Lim, Jimin dengan sungguh-sungguh mulai mengerjakan tugasnya. Ia dengan seksama membaca setiap kata yang tertulis pada lembaran tersebut. Kemudian ia mengoperasikan komputernya untuk mencari data-data yang berkesinambungan dengan isi map tersebut.



“Jadi Ayah akan bekerja sama dengan sahabatnya untuk memperbesar perusahaan.” Simpul Jimin setelah membaca habis seluruh kertas yang berada di dalam map.



“Aku tidak menyangka Ayah akan melakukan ini. Ku kira perusahaan dalam keadaan baik-baik saja tanpa harus melakukan kerja sama seperti ini.”



Walaupun merasa terkejut dan bingung karena keputusan yang sang Ayah ambil, Jimin tetap menyelesaikan urusan map merah itu. Ia mulai mengoreksi setiap rincian kerja sama yang akan dilakukan kedua perusahaan besar itu. Setiap poin yang diajukan oleh Lim Group, dirinya kembali telaah untuk memastikan bahwa tidak ada kerugian yang akan dialami perusahaan keluarganya. Sementara poin yang diajukan oleh perusahaannya juga tak luput ia periksa untuk memastikan bahwa semua aspek yang diinginkan perusahaan telah tertulis dengan benar tanpa terlewat.



Setelah cukup dan yakin, ia kemudian membubuhkan tanda tangannya di samping tanda tangan sang Ayah. Kemudian merapihkan isi kontrak tersebut dan menyimpannya kembali ke dalam map merah.



Napasnya tertarik panjang dan dalam kemudian di hembuskan berkala. Baru satu map yang ia selesaikan setelah menghabiskan satu jam waktu kerjanya. Masih tersisa dua map yang harus segera ia selesaikan sebelum jam makan siang. Setidaknya map yang tersisa tidak setebal map merah yang begitu kontras dengan map lainnya.



Jimin mengambil map teratas dan membukanya. Ia kembali pada aktivitas yaitu membaca setiap kata yang tertulis pada lembaran di dalam map, kemudian mencari data-data yang relevan dengan bantuan komputernya, sebelum membubuhkan tanda tangan. Ia melakukannya untuk 2 map yang tersisa sebelum jam makan siang datang.



Seperti dugaannya saat melihat tingkat ketebalan map tersebut, Jimin dapat menyelesaikan 2 map terakhir lebih cepat dibandingkan dengan map merah pertama. Ia menarik napas lega. Akhirnya ia bisa menyelesaikan tugasnya pada waktu yang pas, tidak melebihi atau terlalu awal dari jam makan siang.



Jimin mengangkat tangannya. Mencoba meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku karena posisi duduk yang kurang baik. Selain itu, efek tidur pagi karena aktivitas malamnya juga menambahkan rasa pegal di tubuhnya.



Ia melirik jam tangan mewah yang mengikat pergelangan kirinya.



“Sepertinya aku harus segera pergi.” Gumamnya.



Tarikan napas panjang menjadi penutup istirahat super singkat Jimin setelah bekerja. Ia lantas menegakkan tubuhnya. Tangannya mengambil jas yang ia kesampirkan pada sandaran kursi dan mengenakannya kembali. Setelah rapih, ia mengambil map merah milik Lim Group dan membawanya pergi bersama dengan dirinya menuju restoran yang diberitahukan sang asisten tadi.



Jimin keluar dari ruangannya dan segera menuju lift dan menekan tombol lobby. Seperti sudah menjadi kebiasaan, setiap kali ia muncul seluruh pegawai perempuannya pasti akan berubah menjadi wanita penggoda yang sangat mengganggu dirinya. Jujur, Jimin memang suka bermain jalang. Setiap kali ia berkumpul dengan teman-temannya di club, ia akan berakhir dengan menghabiskan sisa malamnya bersama wanita penghibur hingga membuat tubuhnya dipenuhi keringat. Namun jika ia dihadapkan dengan para pegawainya yang beperilaku murahan seperti itu –padahal mereka tahu bahwa Jimin adalah atasannya– Jimin merasa tidak suka. Ia merasa seperti direndahkan oleh para bawahannya.



“Jika bukan karena kinerja dan loyalitas, ku pastikan mereka akan menggelandang di jalan.” Desis Jimin tertahan. Terlalu muak membuat ia tidak bisa membendungnya lagi. Beruntung saat itu tidak ada orang didekatnya, sehingga tidak ada yang menyadari ucapannya.
Jimin segera menuju mobilnya yang terparkir di depan lobby. Ia menyimpan map merah di atas kursi penumpang disampingnya. Kemudian memasang seat belt untuk melindungi tubuhnya sebelum berkendara pergi menuju restoran tempat dimana ia akan bertemu dengan Ayah-nya.



Restoran Harvé


Jimin mengunci kuda bajanya sebelum merajut langkah ke dalam. Tangan kirinya ia pergunakan untuk menggenggam map merah yang diminta sang Ayah, sedangkan tangan kanannya sibuk mengancingkan kancing jasnya.



Seorang pelayan yang berdiri di belakang pintu membukakan pintu untuk Jimin. Ia menunduk hormat sebelum mempersilahkan sang tamu untuk masuk.



“Apakah Tuan sudah melakukan reservasi?” Tanya sang pelayan ramah.



“Iya, atas nama Park Byung Han.”



Pelayan itu mengangguk. “Tunggu sebentar akan saya periksa.” Balasnya dan berlalu pergi menuju meja reservasi. Tidak lama, pelayan itu kembali dan mempersilahkan Jimin untuk masuk mengikuti dirinya menuju ruangan khusus yang telah sang Ayah pesan.



Jimin mengikuti langkah sang pelayan yang membawanya menuju lantai dua yang diperuntukan untuk pertemuan penting. Ia mengedarkan pandangannya sebentar sebelum berakhir pada sebuah pintu coklat di depannya.



“Tuan, ini ruangannya.” Pelayan itu memberitahu, kemudian tangannya bergerak menekan gagang pintu dan membukakan pintu tersebut.



Jimin mengangguk sekilas sebelum berjalan masuk meninggalkan sang pelayan yang kembali menutup pintu.



“Selamat siang.” Sapa Jimin pada kedua pria setengah baya yang tidak menyadari kehadirannya karena sibuk berbincang.



Keduanya menoleh dan tersenyum begitu melihat Jimin.



“Kau sudah datang, ayo duduk.” Tuan Park mempersilahkan.



Jimin mengangguk dan melangkah menuju kursi di samping sang Ayah. Tidak lupa ia memberikan map yang dibawanya kepada Tuan Park.



“Wah.. kau tampan sekali. Tidak ku sangka Byung Han bisa memiliki anak setampan dirimu.” Puji pria seumuran sang Ayah yang duduk berhadapan dengan Ayah-nya.



“Terima kasih...”



“Panggil aku Paman Lim, Jimin.” Balas pria itu lagi saat melihat kebingungan di raut wajah Jimin.



Jimin mengangguk dengan tersenyum kecil. “Terima kasih Paman Lim.” Ulangnya.



Ketiga pria, atau lebih tepatnya dua pria setengah baya itu kembali berbincang bersama. Mereka membicarakan berbagai hal, mulai dari permasalahan perusahaan hingga rencana jangka pendek dan panjang yang telah direncanakan, meninggalkan Jimin yang hanya bisa diam dan menatap tidak tertarik pada kedua pria tersebut.



Membosankan!, pikirnya.



Karena terus didiamkan, Jimin akhirnya mengeluarkan telepon genggam miliknya yang ia simpan di saku jas. Melanjutkan permainan yang sempat tertunda menjadi pilihannya untuk mengusir jengah karena tidak tahu harus melakukan apa. Jimin begitu fokus dan menikmati permainan di telepon genggamnya. Ia bahkan tidak sadar sudah menghabiskan setengah jam waktu makan siangnya hanya untuk bermain. Sampai suara ketukan di pintu terdengar, Jimin sempat mengalihkan atensinya pada pintu tersebut tetapi hanya sebentar karena kemudian ia kembali fokus pada permainan online-nya.



“Selamat siang. Maaf saya terlambat.” Suara tipis wanita terdengar. Namun Jimin sama sekali tidak menunjukkan ketertarikannya dan lebih memilih untuk melanjutkan permainannya.



“Silahkan duduk.”



Wanita itu mengangguk. Ia menarik kursi yang berada di seberang Jimin.



“Kenapa kamu terlambat?” Tanya Tuan Lim pelan tetapi terdengar nada kesal dari suaranya.
“Maaf Ayah, pekerjaan yang kemarin Ayah berikan baru saja selesai.” Jawab wanita itu dengan tidak kalah pelan. Ia meraa bersalah karena membuat sang Ayah marah dan sekaligus malu karena keterlambatannya.



“Tidak apa-apa Min Soo, aku memakluminya.” Tuan Park mencoba menenangkan sang sahabat yang kesal dengan perilaku anaknya.



Tuan Lim menghela lelah. Kepalanya kembali menoleh ke depan. Sementara Tuan Park, ia menyentuh pundak Jimin untuk menghentikan anaknya dari bermain permainan online di telepon genggamnya.



“Karena sudah tidak ada lagi yang ditunggu, jadi kita mulai saja makan siangnya.” Ujar Tuan Park. Ia kemudian menekan bell yang berada disampingnya. Tak lama pelayan restoran datang dengan membawa makanan yang telah pria berusia hampir 50 tahun itu pesan.



Mereka sibuk menghabiskan makanan yang telah disajikan. Para pria sangat dewasa di sana juga tidak henti membicarakan mengenai kejadian masa lalu yang mereka alami bersama. Tidak hanya itu saja, mereka juga menyelingi dengan tanya-jawab yang diajukan kepada dua anak muda yang tidak menunjukkan ketertarikannya pada pertemuan siang itu. Berbanding terbalik dengan Tuan Park dan Tuan Lim yang begitu antusias dengan acara makan siang yang mereka rencanakan.



Tuan Park berdeham. Membuat atensi Jimin langsung mengarah kepadanya. Sementara Tuan Lim, ia menyentuh lembut tangan putrinya yang sibuk dengan telepon genggam putih kesayangannya.



“Chaerin..” Panggil Tuan Lim yang membuat Chaerin mengangkat kepalanya dan menatap sang Ayah.



“Ada yang ingin Ayah katakan.”



Chaerin, wanita muda yang duduk di seberang Jimin itu menatap sang Ayah bingung. Pasalnya Ayah-nya terlihat aneh siang itu. Wajah sang Ayah menunjukkan kegelisahan dan tatapannya memancarkan rasa khawatir.



Tuan Lim menarik napasnya. Membuat Chaerin semakin mengernyit bingung dan akhirnya melihat Tuan Park yang berada diseberangnya.



Kenapa mereka berdua terlihat aneh?, pikir Chaerin.



Walau bingung, ia tetap menutup mulutnya dan membiarkan kebingungan memakan habis rasa penasarannya.



Untuk kedua kalinya, Tuan Park berdeham untuk memastikan bahwa tenggorokannya baik-baik saja. Ia melihat sang anak yang ternyata juga ikut terlihat bingung sama seperti Chaerin. Kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya dalam helaan panjang.



“Kamu sudah tahu bukan isi map merah tersebut?” Tanya Tuan Park yang dijawab dengan anggukan oleh Jimin.



“Ayah dan Paman Lim sudah memutuskan untuk melakukan kerja sama besar antar kedua perusahaan. Untuk memastikan kerja sama ini dapat terlaksana dengan baik, kami memutuskan..” Tuan Park menarik napas dalam-dalam. “Untuk menikahkan kalian, Jimin dan Chaerin.”



Beberapa menit pertama, tidak ada reaksi yang muncul dari kedua anak muda di sana. Jimin dan Chaerin, keduanya tetap diam dengan pandangan yang kosong. Tidak lama Jimin tertawa, yang membuat matanya nayris menghilang. Ia menjadi orang pertama yang memberikan respon atas berita menggemparkan yang membuat tubuhnya seakan tersambar petir.



“Ayah jangan bercanda. Ini tidak lucu.” Jimin tergelak menganggap bahwa sang Ayah tengah mengerjai dirinya.



Tuan Park menggelengkan kepala.



“Chaerin..” Tuan Lim memanggil anak perempuannya. Ia menyentuh punggung wanita berusia 22 tahun itu dengan lembut. Sentuhan yang menimbulkan rasa hangat pada tubuhnya membuat Chaerin mengerjap dan kembali dari keterkejutannya.



“Ayah..” Panggil Chaerin lirih.



“Ini tidak benarkan?” Imbuhnya.



Tuan Lim menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.



Cukup. Rasa sabarnya telah habis dan kini berganti dengan amarah. Amarahnya yang besar tetapi tertahan membuat Jimin kehilangan kendali dan tanpa sadar mengepalkan tangannya serta memukul meja yang menyebabkan seluruh atensi langsung mengarah kepadanya.



“Kenapa menikah?! Apakah tidak ada cara lain selian menikah?”



“Jimin, jaga perilakumu! Apa yang baru saja kau lakukan?!” Bentak Tuan Park yang tidak terima dengan tindakan kasar Jimin.



Jimin memandang sang Ayah. “Aku membela hakku! Apakah itu salah?” Balas Jimin dengan penuh emosi.



Tidak ada yang menjawab pertanyaan Jimin. Tuan Park dan Tuan Lim tahu bahwa yang Jimin lakukan merupakan cara untuk melindungi dirinya, walaupun memukul meja hingga salah satu gelas jatuh dan pecah adalah sedikit berlebihan.



Jimin terlihat menarik napas dan menghembuskannya kasar. Ia berusaha untuk mengendalikan emosinya sebelum semakin meledak dan menyebabkan keributan yang lebih besar lagi.



“Ayah..” Panggil Jimin setelah berhasil meredam kembali amarahnya.



“Aku tidak ingin menikah secepat ini. Jadi tolong cari cara lain agar kerja sama-”



“Tidak Jimin.” Potong Tuan Park. “Apa pun alasannya, kau dan Chaerin tetap harus menikah!” Putus Tuan Park yang berhasil mengembalikan amarah Jimin kepermukaan.



“Tapi kenapa?! Apa alasannya sampai Ayah dan Paman Lim bersikeras untuk menikahkan kami?”



Tuan Park kembali menghelakan napasnya kasar.
“Ayah tahu apa yang kamu lakukan bersama dengan teman-teman mu. Pergi ke club, minum, dan bermain wanita. Jika hal ini sampai diketahui para komisaris, maka posisi direktur utama tidak akan jatuh ke tangan mu.” Ada jeda singkat sebelum Tuan Park kembali melanjutkannya, “Berhenti bertindak bodoh dan turuti permintaan Ayah jika kamu masih menginginkan posisi direktur itu!”



Jimin tidak dapat berkata lagi. Ia ingin menyanggah dan menolak mati-matiian permintaan gila sang Ayah, tetapi ia tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Ia kira selama ini Ayah nya tidak mengetahui tindakan bejadnya di luar kantor. Tapi ternyata sang Ayah sudah mengirimkan mata-mata tanpa sepengetahuannya. Gila!



Membisunya Jimin membuat Chaerin tidak tahan. Ia tidak bisa berdiam diri. Sama seperti Jimin, ia tidak ingin melakukan pernikahan bodoh itu. Bagaimana bisa ia menikah diusianya yang terbilang muda bersama dengan pria yang tidak dikenal dan merupakan seorang bajingan?!



“Ayah.”



Tuan Lim, Tuan Park, dan Jimin memusatkan perhatiannya kepada Chaerin. Ketiganya hanya diam menanti kelanjutan ucapan wanita muda itu.



“Aku tidak bersedia!”



“Chaerin...”



“Ayah. Apakah Ayah tega mengorbankan putri Ayah untuk pria yang..” Chaerin berdecih kesal dan marah. Ia lantas menarik napasnya dalam-dalam demi mengontrol kembali emosi yang hampir saja meledak saat mengingat ucapan Tuan Park mengenai Jimin.



“Ayah dengarkan kalau pria di depanku ini bukanlah pria baik-baik. Dia suka bermain wanita dan Paman Park, Ayah-nya sendiri yang mengatakan itu. Ayah tahu fakta itu tapi kenapa Ayah tetap merencanakan ini? Kenapa Ayah tega menyerahkan putri Ayah sendiri pada pria seperti dia!”



Jimin merasa tidak suka dengan kalimat Chaerin. Walaupun gadis itu tidak secara langsung menyebut namanya, tetapi menggantinya dengan  ‘pria di depanku’ sudah cukup menegaskan bahwa yang gadis itu maksud sebagai bukan pria baik-baik adalah dirinya.



“Maaf Nona, tolong jangan asal bicara!” Ujar Jimin tak terima.



Chaerin menatap sengit pria di depannya. “Aku tidak asal bicara! Ayahmu sendiri yang mengatakan itu.” Jawab Chaerin membela diri.



“Ayah tolong. Jangan kirim aku ke neraka dunia hanya karena perusahaan. Aku janji, aku akan membuat pendapatan kita meningkat dengan tangan ku. Tapi-”



Seketika bibir Chaerin terkatup saat melihat sang Ayah menggelengkan kepala.



“Apa yang bisa kamu lakukan? Kamu saja baru menyelesaikan kontrak kerja sama perusahaan dengan Park Enterprise siang tadi, padahal Ayah sudah meminta mengerjakannya sejak kemarin. Kinerjamu masih buruk Chaerin, posisimu juga tidak baik jika para komisaris tahu.”



“Ayah. Aku baru menyelesaikannya juga karena-”



“Ayah tahu kalau kamu pergi bersama temanmu. Namun tindakanmu itu semakin menunjukkan bahwa kinerjamu sangat buruk, Lim Chaerin. Bagaimana bisa kamu meninggalkan pekerjaan sebelum menyelesiakannya?!” Untuk kedua kalinya Tuan Lim menyelak ucapan Chaerin. Namun kali ini pria dengan usia setengah baya itu berhasil menutup rapat mulut putrinya.



Tuan Park yang sebelumnya diam mendengarkan perdebatan antara anak dan Ayah akhirnya buka suara. Ia menatap bergantian Jimin dan Chaerin dengan tatapan yang tidak biasa.



“Jimin dan Chaerin, kalian berdua sama-sama membutuhkan untuk mempertahankan posisi direktur.” Ada jeda singkat sebelum Tuan Park kembali melanjutkannya, “Jimin, kamu harus menikah untuk menghindari rumor karena ulah burukmu itu.”  Ujar Tuan Park lagi, “Sementara kamu Chaerin, Jimin bisa membantu mu dalam mengelola perusahaan. Karena bagaimanapun Jimin telah lebih dulu terjun dalam dunia bisnis.”



Chaerin menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dalam satu kali helaan.



“Jadi pernikahan ini hanya demi perusahaan agar dapat terkelola dengan baik sekaligus menjadikan aku sebagai tameng untuk pria itu.” Chaerin menjeda dan tergelak sinis. “Ayah dan Paman Park sangat keterlaluan. Bagaimana bisa kalian mengkambing hitamkan anak kalian dan mempermainkan janji di hadapan Tuhan karena alasan itu?!”



Chaerin akhirnya meninggalkan tempat duduknya. Ia melangkah pergi tanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari sang Ayah maupun sahabat Ayah-nya itu. Ia menulikan telinga saat sang Ayah memanggil namanya.



Tidak! Aku tidak ingin menikah dengan pria berengsek itu!, suara hatinya berkata.



Setelah kepergian Chaerin, kini giliran Jimin yang menegakkan tubuhnya. Sesaat ia rapihkan jas yang membalut tubuhnya sebelum mendorong sedikit ke belakang kursi yang diduduki dengan kakinya.



“Aku tidak setuju dengan rencana Ayah dan Paman. Namun mengingat kembali ucapan kalian, aku simpulkan bahwa pertemuan ini bukan untuk meminta pendapat kami tetapi untuk memberitahu bahwa kami akan menikah.”



Jimin membungkuk hormat dan kembali berucap. “Terima kasih untuk makan siangnya. Aku pamit.”



Sepeninggal kedua anak mereka, baik Tuan Park maupun Tuan Lim sama-sama menghela lelah. Mereka sudah menduga reaksi Jimin dan Chaerin yang akan menolak keras rencana pernikahan tersebut. Namun ucapan Jimin sebelum pria itu pergi membuat Tuan Park sedikit terkejut. Pasalnya ia tidak mengira bahwa anaknya akan mengatakan hal itu, yang secara tidak langsung menyatakan persetujuannya untuk menikah dengan Chaerin walaupun dengan terpaksa.



“Aku tahu anakmu terpaksa, tetapi dengan Jimin yang setuju itu berarti tidak ada yang menghalangi lagi. Chaerin tidak akan bisa menolak karena suaranya kalah, tiga lawan satu.” Ujar Tuan Lim. Sama dengan Tuan Park, ia juga terkejut mendengar penuturan Jimin. Namun ia merasa lega karena setidaknya anak sahabatnya itu telah dengan terpaksa menyetujui rencana mereka, seperti yang ia perkirakan.



To be continued



Hallo.. senang bertemu kalian lagi!

Maaf aku malah ngebawa cerita baru dan bukannya nyelesaian cerita yang udah ada. Tapi untuk informasi dulu, cerita Jimin yang sebelumnya "Hurtful Desire" aku harus tarik lagi karena alasan tertentu. Karena itu sebagai gantinya aku publish cerita ini.

Seperti judulnya, cerita ini merupakan bagian cerita dari "Underground" yang sebelumnya udah aku up. Bagi kalian yang belum baca, bisa klik link ini (UNDERGROUND). Ini tuh another forced / arranged marriage yang aku tulis, dan kalau ada Salsa pasti dia bilang 'kebiasan lo itu pasti nulis yang dijodoh-jodohin.' Dan yah.. akhirnya aku sadar itu, tapi gimana dong ide yang terlintas itu.

Walaupun udah berkali-kali nulis dengan tema perjodohan kayak gini, semoga kalian tetap bisa menikmati cerita ini ya.

Terima kasih banyak dan see you

감사합니다 ^^

Comments

Popular Posts