THE SERIES OF UNDERGROUND: Forced Marriage - 점심 (Lunch)
Park Jimin < > Lim Chaerin (OC)
- Adult Romance -
(AU - Alternate Universe)
(AU - Alternate Universe)
o O O O o
Hari itu Jimin datang sedikit terlambat karena ia harus
kembali ke apartemennya sebelum berangkat bekerja. Sesampainya di kantor,
seperti biasa dirinya langsung mendapatkan sambutan hangat dari para karyawan.
Selain itu karyawan wanitanya juga tidak bosan untuk memasang senyum menggoda
kepadanya.
Ugh murahan!, batin Jimin sembari terus
melangkah pergi menuju ruangannya di lantai teratas.
Jimin membuka pintu ruangannya dan segera menuju kursi guna
memulai pekerjaan yang telah menunggunya. Baru saja bokongnya mendarat di atas
kursi, sang asisten datang dan tentunya membawa pekerjaan yang harus ia
selesaikan sebelum makan siang, Jimin tahu itu.
Pria dengan kacamata yang membawa beberapa map tersebut
membungkuk hormat.
“Maaf Tuan Park, direktur meminta saya memberikan ini dan
mengatakan agar Tuan bisa menyelesaikannya sebelum jam makan siang terutama map
berwarna merah ini.”
Asistennya meletakkan map tersebut dihadapan Jimin dan
kembali berkata, “Untuk makan siang nanti, Tuan Park diminta datang ke Restoran
Harvé
dengan membawa map merah ini.”
Jimin mengangguk singkat, pertanda ia paham dengan semua
perkataan sang asisten yang menjadi perantara sang Ayah.
“Kalau begitu saya permisi Tuan. Jika ada yang anda
butuhkan, anda bisa menghubungi saya.” Pria itu menunduk singkat sebelum
melangkah pergi dari ruangan sang atasan.
Setelah kepergian sang asisten, Jimin baru bisa melemaskan
sedikit otot tubuhnya. Ia bersandar pada kursi kerjanya setelah melepas jas
putih yang membalut kemeja hitam didalamnya. Walau rasa lelah masih
mendominasi, Jimin tetap memaksakan dirinya untuk membuka pekerjaan. Ia
mengambil map merah yang menjadi pekerjaan penting karena dibutuhkan saat makan
siang nanti.
Lembar pertama dalam map tersebut tertulis nama sebuah
perusahaan yang sudah tidak asing lagi di telinganya, Lim Group. Perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan
perusahaan keluarganya, Park Enterprise.
Ia tahu siapa pemilik perusahaan itu, Lim Min Soo, salah satu sahabat baik sang
Ayah. Jimin ingat karena beberapa kali pria itu datang ke kantor dan bertemu
dengan Ayah-nya.
Mengingat hubungan baik antara Ayah-nya dengan Tuan Lim,
Jimin dengan sungguh-sungguh mulai mengerjakan tugasnya. Ia dengan seksama
membaca setiap kata yang tertulis pada lembaran tersebut. Kemudian ia mengoperasikan
komputernya untuk mencari data-data yang berkesinambungan dengan isi map
tersebut.
“Jadi Ayah akan bekerja sama dengan sahabatnya untuk
memperbesar perusahaan.” Simpul Jimin setelah membaca habis seluruh kertas yang
berada di dalam map.
“Aku tidak menyangka Ayah akan melakukan ini. Ku kira
perusahaan dalam keadaan baik-baik saja tanpa harus melakukan kerja sama
seperti ini.”
Walaupun merasa terkejut dan bingung karena keputusan yang
sang Ayah ambil, Jimin tetap menyelesaikan urusan map merah itu. Ia mulai
mengoreksi setiap rincian kerja sama yang akan dilakukan kedua perusahaan besar
itu. Setiap poin yang diajukan oleh Lim
Group, dirinya kembali telaah untuk memastikan bahwa tidak ada kerugian
yang akan dialami perusahaan keluarganya. Sementara poin yang diajukan oleh
perusahaannya juga tak luput ia periksa untuk memastikan bahwa semua aspek yang
diinginkan perusahaan telah tertulis dengan benar tanpa terlewat.
Setelah cukup dan yakin, ia kemudian membubuhkan tanda
tangannya di samping tanda tangan sang Ayah. Kemudian merapihkan isi kontrak
tersebut dan menyimpannya kembali ke dalam map merah.
Napasnya tertarik panjang dan dalam kemudian di hembuskan
berkala. Baru satu map yang ia selesaikan setelah menghabiskan satu jam waktu
kerjanya. Masih tersisa dua map yang harus segera ia selesaikan sebelum jam
makan siang. Setidaknya map yang tersisa tidak setebal map merah yang begitu
kontras dengan map lainnya.
Jimin mengambil map teratas dan membukanya. Ia kembali pada
aktivitas yaitu membaca setiap kata yang tertulis pada lembaran di dalam map,
kemudian mencari data-data yang relevan dengan bantuan komputernya, sebelum
membubuhkan tanda tangan. Ia melakukannya untuk 2 map yang tersisa sebelum jam
makan siang datang.
Seperti dugaannya saat melihat tingkat ketebalan map
tersebut, Jimin dapat menyelesaikan 2 map terakhir lebih cepat dibandingkan
dengan map merah pertama. Ia menarik napas lega. Akhirnya ia bisa menyelesaikan
tugasnya pada waktu yang pas, tidak melebihi atau terlalu awal dari jam makan
siang.
Jimin mengangkat tangannya. Mencoba meregangkan otot-ototnya
yang terasa kaku karena posisi duduk yang kurang baik. Selain itu, efek tidur
pagi karena aktivitas malamnya juga menambahkan rasa pegal di tubuhnya.
Ia melirik jam tangan mewah yang mengikat pergelangan
kirinya.
“Sepertinya aku harus segera pergi.” Gumamnya.
Tarikan napas panjang menjadi penutup istirahat super
singkat Jimin setelah bekerja. Ia lantas menegakkan tubuhnya. Tangannya
mengambil jas yang ia kesampirkan pada sandaran kursi dan mengenakannya
kembali. Setelah rapih, ia mengambil map merah milik Lim Group dan membawanya pergi bersama dengan dirinya menuju
restoran yang diberitahukan sang asisten tadi.
Jimin keluar dari ruangannya dan segera menuju lift dan menekan tombol lobby. Seperti sudah menjadi kebiasaan,
setiap kali ia muncul seluruh pegawai perempuannya pasti akan berubah menjadi
wanita penggoda yang sangat mengganggu dirinya. Jujur, Jimin memang suka
bermain jalang. Setiap kali ia berkumpul dengan teman-temannya di club, ia akan berakhir dengan
menghabiskan sisa malamnya bersama wanita penghibur hingga membuat tubuhnya
dipenuhi keringat. Namun jika ia dihadapkan dengan para pegawainya yang
beperilaku murahan seperti itu –padahal mereka tahu bahwa Jimin adalah atasannya–
Jimin merasa tidak suka. Ia merasa seperti direndahkan oleh para bawahannya.
“Jika bukan karena kinerja dan loyalitas, ku pastikan mereka
akan menggelandang di jalan.” Desis Jimin tertahan. Terlalu muak membuat ia
tidak bisa membendungnya lagi. Beruntung saat itu tidak ada orang didekatnya,
sehingga tidak ada yang menyadari ucapannya.
Jimin segera menuju mobilnya yang terparkir di depan lobby. Ia menyimpan map merah di atas
kursi penumpang disampingnya. Kemudian memasang seat belt untuk melindungi tubuhnya sebelum berkendara pergi menuju
restoran tempat dimana ia akan bertemu dengan Ayah-nya.
Restoran Harvé
Jimin mengunci kuda bajanya sebelum merajut langkah ke
dalam. Tangan kirinya ia pergunakan untuk menggenggam map merah yang diminta
sang Ayah, sedangkan tangan kanannya sibuk mengancingkan kancing jasnya.
Seorang pelayan yang berdiri di belakang pintu membukakan
pintu untuk Jimin. Ia menunduk hormat sebelum mempersilahkan sang tamu untuk
masuk.
“Apakah Tuan sudah melakukan reservasi?” Tanya sang pelayan
ramah.
“Iya, atas nama Park Byung Han.”
Pelayan itu mengangguk. “Tunggu sebentar akan saya periksa.”
Balasnya dan berlalu pergi menuju meja reservasi. Tidak lama, pelayan itu
kembali dan mempersilahkan Jimin untuk masuk mengikuti dirinya menuju ruangan
khusus yang telah sang Ayah pesan.
Jimin mengikuti langkah sang pelayan yang membawanya menuju
lantai dua yang diperuntukan untuk pertemuan penting. Ia mengedarkan
pandangannya sebentar sebelum berakhir pada sebuah pintu coklat di depannya.
“Tuan, ini ruangannya.” Pelayan itu memberitahu, kemudian
tangannya bergerak menekan gagang pintu dan membukakan pintu tersebut.
Jimin mengangguk sekilas sebelum berjalan masuk meninggalkan
sang pelayan yang kembali menutup pintu.
“Selamat siang.” Sapa Jimin pada kedua pria setengah baya
yang tidak menyadari kehadirannya karena sibuk berbincang.
Keduanya menoleh dan tersenyum begitu melihat Jimin.
“Kau sudah datang, ayo duduk.” Tuan Park mempersilahkan.
Jimin mengangguk dan melangkah menuju kursi di samping sang
Ayah. Tidak lupa ia memberikan map yang dibawanya kepada Tuan Park.
“Wah.. kau tampan sekali. Tidak ku sangka Byung Han bisa
memiliki anak setampan dirimu.” Puji pria seumuran sang Ayah yang duduk
berhadapan dengan Ayah-nya.
“Terima kasih...”
“Panggil aku Paman Lim, Jimin.” Balas pria itu lagi saat
melihat kebingungan di raut wajah Jimin.
Jimin mengangguk dengan tersenyum kecil. “Terima kasih Paman
Lim.” Ulangnya.
Ketiga pria, atau lebih tepatnya dua pria setengah baya itu
kembali berbincang bersama. Mereka membicarakan berbagai hal, mulai dari
permasalahan perusahaan hingga rencana jangka pendek dan panjang yang telah
direncanakan, meninggalkan Jimin yang hanya bisa diam dan menatap tidak
tertarik pada kedua pria tersebut.
Membosankan!, pikirnya.
Karena terus didiamkan, Jimin akhirnya mengeluarkan telepon
genggam miliknya yang ia simpan di saku jas. Melanjutkan permainan yang sempat
tertunda menjadi pilihannya untuk mengusir jengah karena tidak tahu harus
melakukan apa. Jimin begitu fokus dan menikmati permainan di telepon
genggamnya. Ia bahkan tidak sadar sudah menghabiskan setengah jam waktu makan
siangnya hanya untuk bermain. Sampai suara ketukan di pintu terdengar, Jimin
sempat mengalihkan atensinya pada pintu tersebut tetapi hanya sebentar karena
kemudian ia kembali fokus pada permainan online-nya.
“Selamat siang. Maaf saya terlambat.” Suara tipis wanita
terdengar. Namun Jimin sama sekali tidak menunjukkan ketertarikannya dan lebih
memilih untuk melanjutkan permainannya.
“Silahkan duduk.”
Wanita itu mengangguk. Ia menarik kursi yang berada di
seberang Jimin.
“Kenapa kamu terlambat?” Tanya Tuan Lim pelan tetapi
terdengar nada kesal dari suaranya.
“Maaf Ayah, pekerjaan yang kemarin Ayah berikan baru saja
selesai.” Jawab wanita itu dengan tidak kalah pelan. Ia meraa bersalah karena
membuat sang Ayah marah dan sekaligus malu karena keterlambatannya.
“Tidak apa-apa Min Soo, aku memakluminya.” Tuan Park mencoba
menenangkan sang sahabat yang kesal dengan perilaku anaknya.
Tuan Lim menghela lelah. Kepalanya kembali menoleh ke depan.
Sementara Tuan Park, ia menyentuh pundak Jimin untuk menghentikan anaknya dari
bermain permainan online di telepon
genggamnya.
“Karena sudah tidak ada lagi yang ditunggu, jadi kita mulai
saja makan siangnya.” Ujar Tuan Park. Ia kemudian menekan bell yang berada disampingnya. Tak lama pelayan restoran datang
dengan membawa makanan yang telah pria berusia hampir 50 tahun itu pesan.
Mereka sibuk menghabiskan makanan yang telah disajikan. Para
pria sangat dewasa di sana juga tidak henti membicarakan mengenai kejadian masa
lalu yang mereka alami bersama. Tidak hanya itu saja, mereka juga menyelingi dengan
tanya-jawab yang diajukan kepada dua anak muda yang tidak menunjukkan
ketertarikannya pada pertemuan siang itu. Berbanding terbalik dengan Tuan Park
dan Tuan Lim yang begitu antusias dengan acara makan siang yang mereka
rencanakan.
Tuan Park berdeham. Membuat atensi Jimin langsung mengarah
kepadanya. Sementara Tuan Lim, ia menyentuh lembut tangan putrinya yang sibuk
dengan telepon genggam putih kesayangannya.
“Chaerin..” Panggil Tuan Lim yang membuat Chaerin mengangkat
kepalanya dan menatap sang Ayah.
“Ada yang ingin Ayah katakan.”
Chaerin, wanita muda yang duduk di seberang Jimin itu
menatap sang Ayah bingung. Pasalnya Ayah-nya terlihat aneh siang itu. Wajah sang
Ayah menunjukkan kegelisahan dan tatapannya memancarkan rasa khawatir.
Tuan Lim menarik napasnya. Membuat Chaerin semakin
mengernyit bingung dan akhirnya melihat Tuan Park yang berada diseberangnya.
Kenapa mereka berdua
terlihat aneh?, pikir Chaerin.
Walau bingung, ia tetap menutup mulutnya dan membiarkan
kebingungan memakan habis rasa penasarannya.
Untuk kedua kalinya, Tuan Park berdeham untuk memastikan
bahwa tenggorokannya baik-baik saja. Ia melihat sang anak yang ternyata juga
ikut terlihat bingung sama seperti Chaerin. Kemudian menarik napas panjang dan
menghembuskannya dalam helaan panjang.
“Kamu sudah tahu bukan isi map merah tersebut?” Tanya Tuan
Park yang dijawab dengan anggukan oleh Jimin.
“Ayah dan Paman Lim sudah memutuskan untuk melakukan kerja
sama besar antar kedua perusahaan. Untuk memastikan kerja sama ini dapat
terlaksana dengan baik, kami memutuskan..” Tuan Park menarik napas dalam-dalam.
“Untuk menikahkan kalian, Jimin dan Chaerin.”
Beberapa menit pertama, tidak ada reaksi yang muncul dari
kedua anak muda di sana. Jimin dan Chaerin, keduanya tetap diam dengan
pandangan yang kosong. Tidak lama Jimin tertawa, yang membuat matanya nayris
menghilang. Ia menjadi orang pertama yang memberikan respon atas berita
menggemparkan yang membuat tubuhnya seakan tersambar petir.
“Ayah jangan bercanda. Ini tidak lucu.” Jimin tergelak
menganggap bahwa sang Ayah tengah mengerjai dirinya.
Tuan Park menggelengkan kepala.
“Chaerin..” Tuan Lim memanggil anak perempuannya. Ia menyentuh
punggung wanita berusia 22 tahun itu dengan lembut. Sentuhan yang menimbulkan
rasa hangat pada tubuhnya membuat Chaerin mengerjap dan kembali dari
keterkejutannya.
“Ayah..” Panggil Chaerin lirih.
“Ini tidak benarkan?” Imbuhnya.
Tuan Lim menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Cukup. Rasa sabarnya telah habis dan kini berganti dengan
amarah. Amarahnya yang besar tetapi tertahan membuat Jimin kehilangan kendali dan
tanpa sadar mengepalkan tangannya serta memukul meja yang menyebabkan seluruh
atensi langsung mengarah kepadanya.
“Kenapa menikah?! Apakah tidak ada cara lain selian
menikah?”
“Jimin, jaga perilakumu! Apa yang baru saja kau lakukan?!”
Bentak Tuan Park yang tidak terima dengan tindakan kasar Jimin.
Jimin memandang sang Ayah. “Aku membela hakku! Apakah itu
salah?” Balas Jimin dengan penuh emosi.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Jimin. Tuan Park dan Tuan
Lim tahu bahwa yang Jimin lakukan merupakan cara untuk melindungi dirinya,
walaupun memukul meja hingga salah satu gelas jatuh dan pecah adalah sedikit
berlebihan.
Jimin terlihat menarik napas dan menghembuskannya kasar. Ia
berusaha untuk mengendalikan emosinya sebelum semakin meledak dan menyebabkan
keributan yang lebih besar lagi.
“Ayah..” Panggil Jimin setelah berhasil meredam kembali
amarahnya.
“Aku tidak ingin menikah secepat ini. Jadi tolong cari cara
lain agar kerja sama-”
“Tidak Jimin.” Potong Tuan Park. “Apa pun alasannya, kau dan
Chaerin tetap harus menikah!” Putus Tuan Park yang berhasil mengembalikan
amarah Jimin kepermukaan.
“Tapi kenapa?! Apa alasannya sampai Ayah dan Paman Lim
bersikeras untuk menikahkan kami?”
Tuan Park kembali menghelakan napasnya kasar.
“Ayah tahu apa yang kamu lakukan bersama dengan teman-teman
mu. Pergi ke club, minum, dan bermain
wanita. Jika hal ini sampai diketahui para komisaris, maka posisi direktur
utama tidak akan jatuh ke tangan mu.” Ada jeda singkat sebelum Tuan Park
kembali melanjutkannya, “Berhenti bertindak bodoh dan turuti permintaan Ayah
jika kamu masih menginginkan posisi direktur itu!”
Jimin tidak dapat berkata lagi. Ia ingin menyanggah dan
menolak mati-matiian permintaan gila sang Ayah, tetapi ia tidak bisa dan tidak
akan pernah bisa. Ia kira selama ini Ayah nya tidak mengetahui tindakan bejadnya
di luar kantor. Tapi ternyata sang Ayah sudah mengirimkan mata-mata tanpa
sepengetahuannya. Gila!
Membisunya Jimin membuat Chaerin tidak tahan. Ia tidak bisa
berdiam diri. Sama seperti Jimin, ia tidak ingin melakukan pernikahan bodoh
itu. Bagaimana bisa ia menikah diusianya yang terbilang muda bersama dengan
pria yang tidak dikenal dan merupakan seorang bajingan?!
“Ayah.”
Tuan Lim, Tuan Park, dan Jimin memusatkan perhatiannya
kepada Chaerin. Ketiganya hanya diam menanti kelanjutan ucapan wanita muda itu.
“Aku tidak bersedia!”
“Chaerin...”
“Ayah. Apakah Ayah tega mengorbankan putri Ayah untuk pria
yang..” Chaerin berdecih kesal dan marah. Ia lantas menarik napasnya
dalam-dalam demi mengontrol kembali emosi yang hampir saja meledak saat
mengingat ucapan Tuan Park mengenai Jimin.
“Ayah dengarkan kalau pria di depanku ini bukanlah pria
baik-baik. Dia suka bermain wanita dan Paman Park, Ayah-nya sendiri yang
mengatakan itu. Ayah tahu fakta itu tapi kenapa Ayah tetap merencanakan ini?
Kenapa Ayah tega menyerahkan putri Ayah sendiri pada pria seperti dia!”
Jimin merasa tidak suka dengan kalimat Chaerin. Walaupun
gadis itu tidak secara langsung menyebut namanya, tetapi menggantinya
dengan ‘pria di depanku’ sudah cukup
menegaskan bahwa yang gadis itu maksud sebagai bukan pria baik-baik adalah
dirinya.
“Maaf Nona, tolong jangan asal bicara!” Ujar Jimin tak
terima.
Chaerin menatap sengit pria di depannya. “Aku tidak asal
bicara! Ayahmu sendiri yang mengatakan itu.” Jawab Chaerin membela diri.
“Ayah tolong. Jangan kirim aku ke neraka dunia hanya karena
perusahaan. Aku janji, aku akan membuat pendapatan kita meningkat dengan tangan
ku. Tapi-”
Seketika bibir Chaerin terkatup saat melihat sang Ayah
menggelengkan kepala.
“Apa yang bisa kamu lakukan? Kamu saja baru menyelesaikan
kontrak kerja sama perusahaan dengan Park
Enterprise siang tadi, padahal Ayah sudah meminta mengerjakannya sejak
kemarin. Kinerjamu masih buruk Chaerin, posisimu juga tidak baik jika para
komisaris tahu.”
“Ayah. Aku baru menyelesaikannya juga karena-”
“Ayah tahu kalau kamu pergi bersama temanmu. Namun tindakanmu
itu semakin menunjukkan bahwa kinerjamu sangat buruk, Lim Chaerin. Bagaimana
bisa kamu meninggalkan pekerjaan sebelum menyelesiakannya?!” Untuk kedua
kalinya Tuan Lim menyelak ucapan Chaerin. Namun kali ini pria dengan usia
setengah baya itu berhasil menutup rapat mulut putrinya.
Tuan Park yang sebelumnya diam mendengarkan perdebatan
antara anak dan Ayah akhirnya buka suara. Ia menatap bergantian Jimin dan
Chaerin dengan tatapan yang tidak biasa.
“Jimin dan Chaerin, kalian berdua sama-sama membutuhkan untuk
mempertahankan posisi direktur.” Ada jeda singkat sebelum Tuan Park kembali
melanjutkannya, “Jimin, kamu harus menikah untuk menghindari rumor karena ulah
burukmu itu.” Ujar Tuan Park lagi,
“Sementara kamu Chaerin, Jimin bisa membantu mu dalam mengelola perusahaan.
Karena bagaimanapun Jimin telah lebih dulu terjun dalam dunia bisnis.”
Chaerin menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya
dalam satu kali helaan.
“Jadi pernikahan ini hanya demi perusahaan agar dapat terkelola
dengan baik sekaligus menjadikan aku sebagai tameng untuk pria itu.” Chaerin
menjeda dan tergelak sinis. “Ayah dan Paman Park sangat keterlaluan. Bagaimana
bisa kalian mengkambing hitamkan anak kalian dan mempermainkan janji di hadapan
Tuhan karena alasan itu?!”
Chaerin akhirnya meninggalkan tempat duduknya. Ia melangkah
pergi tanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari sang Ayah maupun sahabat
Ayah-nya itu. Ia menulikan telinga saat sang Ayah memanggil namanya.
Tidak! Aku tidak ingin
menikah dengan pria berengsek itu!, suara hatinya berkata.
Setelah kepergian Chaerin, kini giliran Jimin yang
menegakkan tubuhnya. Sesaat ia rapihkan jas yang membalut tubuhnya sebelum
mendorong sedikit ke belakang kursi yang diduduki dengan kakinya.
“Aku tidak setuju dengan rencana Ayah dan Paman. Namun
mengingat kembali ucapan kalian, aku simpulkan bahwa pertemuan ini bukan untuk
meminta pendapat kami tetapi untuk memberitahu bahwa kami akan menikah.”
Jimin membungkuk hormat dan kembali berucap. “Terima kasih
untuk makan siangnya. Aku pamit.”
Sepeninggal kedua anak mereka, baik Tuan Park maupun Tuan
Lim sama-sama menghela lelah. Mereka sudah menduga reaksi Jimin dan Chaerin
yang akan menolak keras rencana pernikahan tersebut. Namun ucapan Jimin sebelum
pria itu pergi membuat Tuan Park sedikit terkejut. Pasalnya ia tidak mengira
bahwa anaknya akan mengatakan hal itu, yang secara tidak langsung menyatakan
persetujuannya untuk menikah dengan Chaerin walaupun dengan terpaksa.
“Aku tahu anakmu terpaksa, tetapi dengan Jimin yang setuju
itu berarti tidak ada yang menghalangi lagi. Chaerin tidak akan bisa menolak
karena suaranya kalah, tiga lawan satu.” Ujar Tuan Lim. Sama dengan Tuan Park,
ia juga terkejut mendengar penuturan Jimin. Namun ia merasa lega karena
setidaknya anak sahabatnya itu telah dengan terpaksa menyetujui rencana mereka,
seperti yang ia perkirakan.
To be continued
Hallo.. senang bertemu kalian lagi!
Maaf aku malah ngebawa cerita baru dan bukannya nyelesaian cerita yang udah ada. Tapi untuk informasi dulu, cerita Jimin yang sebelumnya "Hurtful Desire" aku harus tarik lagi karena alasan tertentu. Karena itu sebagai gantinya aku publish cerita ini.
Seperti judulnya, cerita ini merupakan bagian cerita dari "Underground" yang sebelumnya udah aku up. Bagi kalian yang belum baca, bisa klik link ini (UNDERGROUND). Ini tuh another forced / arranged marriage yang aku tulis, dan kalau ada Salsa pasti dia bilang 'kebiasan lo itu pasti nulis yang dijodoh-jodohin.' Dan yah.. akhirnya aku sadar itu, tapi gimana dong ide yang terlintas itu.
Walaupun udah berkali-kali nulis dengan tema perjodohan kayak gini, semoga kalian tetap bisa menikmati cerita ini ya.
Terima kasih banyak dan see you
감사합니다 ^^
Comments
Post a Comment