Way To Love #9 (Break Away)
Kami berdua langsung bergegas keluar mobil. Aku mendesah
putus asa disamping pintu sedangkan Channie oppa segera membuka kap mobil dan
memperhatikan mesinnya dengan tampang bodoh. Aku menoleh, menatap pria itu
tanpa harapan. Cih… mesin mobil? Sampai sungai Han keringpun dia tak akan
mengerti. Seorang Teen Top Chunji paham soal mesin mobil? Lupakan! Omong
kosong! Tak ada gunanya berharap seperti itu.
“ish......Sebenarnya kau itu namja bukan?”
“bisa diam tidak? Aku sedang berusaha”
“usaha apanya? Dari tadi kau hanya diam memperhatikan mesin
itu. Apa menurutmu dengan begitu mesinnya akan menyala? Ayolah! Lakukan
sesuatu!” ujarku panjang pendek. Mencoba memberikan ceramah ringan untuk
membuatnya sadar. Dan sepertinya perkataan singkatku barusan cukup sukses
membuatnya jengah.
“iya-iya… aku memang tak mengerti apapun soal mesin” ujarnya
sambil mengalihkan tatapannya padaku. Terlihat muak.
“itu artinya kau bukan pria!” ucapku santai.
“AKU PRIA! Tapi aku bukan tukang reparasi mobil, aku ini
entertainer! Teen Top Chunji the power of voice”
“yayaya……. Kuharap semua penggemarmu tau betapa bodohnya
kau! Sebagai seorang namja, seharusnya kau tau apa-apa saja yang harus
dilakukan jika mesin mobil mati! Ini sudah dua kali ya! Kau harusnya belajar
dari kesalahan. Seharusnya kau tidak terjatuh ke lubang yang sama. Mengerti?”
“berisik”
“apa? Apa katamu?” emosiku mulai terpancing dan langsung
saja menatapnya sadis. Ia balik menatapku datar lalu menempelkan layar
androidnya ke telinga. Biar kutebak, ia menelfon LJoe oppa lagi? Ketergantungan
sekali.
Sambil memperhatikannya dengan mata memicing, aku memeluk
diriku sendiri, bertepatan dengan angin malam yang berhembus menusuk tulang.
Membuatku menggigil dalam sekejap. Malam yang dingin. Akhirnya tanpa bicara, aku
segera masuk ke jok belakang mobil dan duduk meringkuk disana. Cih… aku bisa
mati beku jika begini caranya. Aku mengarahkan tatapanku keluar dan tanpa
sengaja melihat Channie oppa yang sedang berbicara lewat telfon, ia
mundar-mandir sambil memegangi kepala dan meliuk-liukkan tangan menunjuk arah
jalan. Bodoh! Orang yang ia telfon takkan melihatnya bukan?
Masih dengan posisi meringkuk, aku menarik erat cardiganku. Demi
Tuhan aku tak mengerti. Kenapa audy ini senang sekali mati? Aku salah apa? Ah…
tidak! Bukan aku yang salah. Lee Chan Hee pabo itu yang salah. Semua kesalahan
ada padanya. Tapi…. Ya.. walaupun begitu, aku harus sedikit bersyukur. Setidaknya
ini lebih baik dari yang dulu! Disini kami masih bisa mendapat sinyal dan
meminta pertolongan. Tidak harus berjalan jauh sampai membuat kaki nyaris lepas.
Aku menggoyangkan tubuhku ke depan dan ke belakang, berusaha
membuatnya sedikit lebih hangat. Ini dingin. Demi apapun, ini benar-benar
dingin. Aku masih sibuk menghangatkan diri saat tiba-tiba saja pintu mobil
terbuka. Aku refleks menoleh. Sesuai dugaan, Channie oppa masuk dan duduk tepat
disebelahku. “Ljoe oppa? Kau menelfon Ljoe oppa?” tanyaku langsung, dengan
bibir bergetar.
“ani” jawabnya singkat. “lalu? Kau menghubungi siapa?”
“tukang reparasi mobil”
“nde? Bagaimana jika ia memberitahu……”
“shhtttt! Aku tau apa yang kulakukan” selanya santai. Cih…. ‘aku tau apa yang kulakukan’? sejak
kapan kau tau apa yang kau lakukan huh? Sejak kapan? Bodoh. Kau tak pernah tau
apa yang kau lakukan tuan Lee. Tak pernah tau. Sambil menatap ke luar, aku menggosokkan
telapak tangan lalu meniup-niupnya. Kami berdua tengah duduk di kursi belakang
mobil yang rangkanya terbuat dari besi, dan rangka sejenis ini mudah sekali menjadi
dingin karena pengaruh cuaca. Sepertinya suhu badanku sudah terlampau turun.
Rasanya sebentar lagi aku akan menjadi es. Membeku.
Author POV
‘fiuh~fiuh~’
“dingin?”
“iya” Yoo Hyun menjawab dengan suara gemetar.
“aku juga kedinginan.” Chunji mengusap-usap tangannya.
“tidak bisa begini. Sini mendekat padaku,” tiba-tiba ia menarik tubuh Yoo Hyun.
Gadis itu langsung menutup matanya karena kaget, tetapi Chunji tidak terlihat
perduli.
“kalau begini lebih hangat kan?” Yoo Hyun menahan nafas. Jantung
gadis itu sudah nyaris melompat dari tempatnya. Rasa dingin yang tadi
mengusiknya sekarang sudah enyah entah kemana, digantikan dengan perasaan
gemetar lengkap dengan detakan jantung yang menggila. Namja satu ini memang
paling bisa membuat Yoo Hyun berubah-ubah, dari senang jadi sedih, marah jadi
tertawa, menangis jadi tersenyum dan bahkan sekarang ia berhasil merubah rasa
ingin ‘membeku’ menjadi seperti ingin ‘meleleh’. Bodoh, disaat cuaca sedingin
ini, tubuh gadis itu masih berpotensi besar untuk meleleh hanya karena seorang
Lee Chan Hee.
Yoo Hyun buru-buru mengusap tangan sambil meniup-niupnya.
Jelas sebagai kamuflase. Ia benar-benar tak ingin suara jantungnya yang
berdegup mengerikan terdengar keluar. Tiba-tiba Chunji menarik tangan Yoo Hyun,
dan disaat itulah jantungnya benar-benar bisa meledak.
“kalau ditiup begitu, memangnya bisa lebih hangat?” ia
menggenggam kedua tangan Yoo Hyun kemudian meniupnya. Yoo Hyun sendiri tak
begitu paham dengan sikap Chunji sekarang. Ia barusan bertanya? ‘memangnya bisa lebih hangat?’ kalau mau
membuktikan, seharusnya ia meniup tangannya sendiri kan? Kenapa malah
menggenggam dan meniup tangannya? Yoo Hyun ingin menarik tangannya kembali.
Namun tubuhnya justru memberontak. Gadis itu tak bisa bohong. Ia merasa hangat.
Jantungnya yang tadi meloncat-loncat dirongga dada kini mulai tenang, mulai
merasa nyaman, mulai terbiasa. Ini bukan perasaan hangat yang umum terasa, ini………benar-benar
hangat. Perasaan hangat yang menjalar tidak hanya ditelapak tangan dan jantungnya,
namun keseluruh tubuhnya, keseluruh sel-sel darah yang mengaliri setiap bagian
tubuh. Perasaan hangat yang menyelimuti lapisan-lapisan kulitnya hingga yang
terdalam. Gila. Hanya karena ditiup? Ah… bukan! Ini karena sekarang jarak
mereka terlalu dekat. Mungkin bisa dibilang tak berjarak.
Perlahan, Yoo Hyun mengangkat kepala, memperhatikan
tangannya yang tengah digenggam erat, memperhatikan bagaimana tangan itu
terangkat dan diberikan hembusan hangat oleh pria disampingnya, memperhatikan
bagaimana tangan yang tadinya dingin menjadi terasa hangat didekat bibir. Tatapan
matanya mulai beralih, lebih keatas. Lebih tepatnya ke titik paling sempurna
yang dimiliki pria itu, wajahnya.
Yoo Hyun menatap wajahnya dengan seksama, ia pernah begini,
pernah bertatapan sedekat ini. Dulu, di malam pertama ia bertemu Chunji. Kalau
tidak salah didepan rumahnya, saat pria itu baru mengantarnya pulang lalu
tiba-tiba saja ia melihat van besar yang katanya milik paparazzi. Namja itu
meraih tubuh Yoo Hyun dan mendesaknya di pohon. Ia bilang berusaha bersembunyi.
Bodoh! Bermimikri dengan pohon, begitu?
Yoo Hyun nyaris pingsan begitu tatapan matanya bertemu. Entah
sejak kapan, Chunji menghentikan aktivitas meniupnya dan lebih memilih membalas
tatapan Yoo Hyun. Gadis yang memandangnya dengan tatapan terkagum-kagum. Seolah
di dunia ini hanya Chunji-lah yang berjenis kelamin pria. Satu-satunya makhluk
hidup yang diberi kekuasaan penuh untuk melindunginya.
Yoo Hyun POV
Tatapannya lembut. Sanggup membuatku membayangkan hal yang bukan-bukan.
Sial, bahkan sekarang aku mulai membayangkan bagaimana rasanya jika ia
menghangatkan bibirku juga? aish…. Pikiran macam apa itu? Memang, sejak tadi
bibirku gemetaran, entah karena dingin atau gugup setengah mati. Mungkin
perpaduan dari keduanya. Bibirku kelu dan aku…….
Belum sempat kalimat dipikiranku selesai, jantungku sudah
dibuat meledak (lagi) oleh pria itu. Dia…. Dia…..mendekatkan wajahnya,
mendekatkan bibirnya ke objek yang sebelumnya kusebutkan. Aku mencoba
menghitung mundur, namun terlambat karena kini bibir pria itu semakin dekat dan
mendekat dengan begitu cepat. Terlalu dekat sampai hidung kami beradu! Cukup!
Tanganku langsung terkepal kuat! Tengkukku langsung menegang dan tubuhku
mendadak lemas. Semuanya serentak membuatku lumpuh. Mataku membulat untuk
sesaat, sampai akhirnya, rasa hangat yang tadi kupikirkan benar-benar terwujud,
bibirnya berlabuh di bibirku. Ternyata lebih hangat, lebih lembut dari dugaanku.
Tanpa sadar aku memejamkan mata. Aroma tubuhnya benar-benar wangi dan menenangkan.
Aku mulai terjatuh kealam bawah sadarku yang begitu tenang. Namun………………
semuanya berhenti. Beberapa saat kemudian semuanya menjadi kelam, entah
bagaimana, bayangan fans-fansnya yang mencecarku dengan kata-kata menyakitkan
kembali terputar, seolah mereka semua sedang berteriak-teriak tepat
ditelingaku. Cukup! Rasanya sakit! Sesak. Menyesakkan. Secepatnya aku tersadar,
mengerjapkan mata dan segera mendorong pria itu dengan kuat.
“a..ak..aku… maafkan aku Hyun~a! aku s..sa..sama sekali
tidak bermaksud begitu. I..in.. ini karena… Ah.. tukang reparasinya datang”
Channie oppa langsung tergagap-gagap sambil memperhatikanku yang langsung
menjauh. Aku tak tau harus bagaimana, jadi lebih baik diam saja. Menatap nanar
kebawah tanpa suara.
“ah.. iya! Tukang reparasinya datang” ia kembali berteriak
kecil lalu buru-buru membuka pintu dan segera keluar. Baguslah! Ya Tuhan!
Kenapa begini? Kenapa malah berciuman begini? Kenapa Yoon Yoo Hyun? Kenapa? Kau
membuat segalanya semakin rumit! Seharusnya kau tak boleh begitu! Seharusnya
tidak begini! Bagaimana bisa aku melakukan itu? Kau….. ah.. Jinjja!
Chunji POV
Gila! Aku? Melakukannya? Demi Tuhan ini diluar kontrolku!
Udara dingin benar-benar berbahaya! Bagaimana bisa aku menciumnya begitu? Ish!
Pabo. Beberapa jam yang lalu aku bilang pada semua orang bahwa aku tak
mengenalnya dan sekarang aku menciumnya? Lee Chan Hee, kau benar-benar manusia
tak tau diri. Aku baru saja turun dari mobil dan sekarang sedang merutuk diriku
sendiri di luar, menendangi rumput-rumput tak bersalah yang kujadikan objek
pelampiasan. Eomeo….. bagaimana caranya aku memulai obrolan nanti? Pasti akan
terasa sangat canggung.
Aku menoleh begitu mendengar deru mesin yang terdengar
samar, sejurus dengan setitik cahaya dari kejauhan. Syukurlah! Tukang
reparasinya benar-benar telah datang! Setidaknya kebohonganku tak terlalu
terendus kan? Kilah yang bagus Lee Chan Hee.
Lama-kelamaan setitik cahaya itu menjadi lebih besar seiring
dengan jarak yang semakin dekat. Aku bisa melihatnya. Seorang pria. Sendirian.
Ah..tak salah lagi, pasti tukang reparasi. Benar! Pria dengan helm proyek itu
memakai seragam lengkap berwarna orange menyala. Ia menghentikan motornya tepat
didepan audyku, lalu dengan santai mendekat kearah kap mobil yang terbuka. Aku
lantas menghampirinya. “tidak bisa menyala” ucapku sekenanya, penjelasan bodoh
yang sama sekali tak berguna.
“aku mengerti” ia menjawab dengan tampang datar sambil
mengeluarkan bermacam-macam alat dari kotak perkakas yang ia bawa.
“hmm….. anda mengenalku?”
“iya” namja yang masih mempertahankan helm proyeknya dikepala
itu bicara sambil mengutak-atik mesin audyku. Bicara begitu saja. Begitu saja?
“apa anda membawa ponsel? atau alat perekam lain mungkin?”
“ponsel” jawabnya datar, aku lantas mengulurkan tangan,
menginterupsi pekerjaannya “bisa berikan padaku sebentar?”
“untuk apa?” ia menoleh, raut tak suka sedikit terbaca
diwajahnya yang terus menerus menampilkan ekspresi datar.
“hanya memastikan kau takkan mengambil gambar”
Pria tukang reparasi itu merogoh saku seragam terusan
berwarna noraknya tanpa mengalihkan pandangan dariku. Sejujurnya aku agak
khawatir, tapi sebagai laki-laki aku harus tetap mempertahankan ekspresi tak
perduliku dihadapannya. Setidaknya, di hadapannya. Hanya berselang beberapa
detik, namja itu meletakkan ponselnya di uluran telapak tanganku yang sengaja
kutengadahkan. Baguslah, ia tak melawan. Ternyata walaupun wajahnya terlihat
sangar dan tidak bersahabat, ia memiliki jiwa yang patuh dan tak suka
memberontak.
“terima kasih” tanpa bicara apa-apa, pria itu kembali fokus
pada mesin mobilku. Sama sekali tak menjawab. Ish… apa dia pernah dengar ‘interaksi sosial’ waktu di sekolah
dulu?
Yoo Hyun POV
Aku meremas tanganku sendiri. Haruskah aku menyesal? Bahkan
aku tak terlalu mengerti dengan perasaanku sekarang. Aku hanya merasa salah,
bukan menyesal. Seharusnya tak boleh. Seharusnya………..
Tiba-tiba saja pintu kembali terbuka dan Channie oppa masuk
dengan kikuk. Hawa aneh segera saja menyelimuti seisi mobil, bagaimana caranya
bertingkah normal? Sial! Menoleh saja aku tak berani. Aku terus-menerus menatap
ke bawah layaknya orang bodoh.
“aku mengambil ponselnya. Ia takkan memotret”
“aa,… iya” aku mengangguk dengan gugup. Masih mempertahankan
kepalaku yang sejak tadi tertunduk.
“Hyun~a…….. soal tadi aku benar-benar minta maaf.
Maksudku,…. Ehm… cuaca dingin benar-benar berpengaruh……………”
“tak usah dibahas” selaku. Aku benar-benar tak nyaman mendengarnya.
“tak usah dibahas, ya?” ulangku, kali ini sambil menoleh dengan tatapan
memohon. Sukses membuatnya tutup mulut.
“baiklah” jawabnya. Aku tersenyum tipis lalu kembali
menunduk.
Sekitar 2 menit penuh kami berdua sama-sama diam. Suasananya
hening. Sangat hening. Bahkan hembusan nafaspun tak terdengar. Apa pria itu
sedang menahan nafas? Ah.. tak mungkin, ia tak mungkin menahan nafas 2 menit
penuh. Mau mati? Tapi ini benar-benar terlalu diam. Tak ada yang memulai dan
kuharap memang terus begini sampai pulang. Kuakui ini membosankan dan sangat
tidak nyaman, tapi aku benar-benar tak siap untuk memulai percakapan.
“jadi….. kita akan terus diam begini?” aku menoleh,
memperhatikannya sebentar lalu mengangkat bahu “entahlah”
“tanyakanlah sesuatu! Apa saja!” pintanya
“aku memang sedang tak ingin bicara”
“jinjja yo? Seorang Yoon Yoo Hyun tak ingin bicara?”
“wae? Apa itu terdengar aneh? Sebenarnya aku memang jarang
bicara!” ujarku kesal.
“ya.. percaya” ia bilang ‘percaya’ tapi raut wajahnya
terlihat benar-benar ragu. Hebat! Dimana dia belajar acting?
Aku menghela nafas pelan, lalu mendadak teringat sesuatu “hey….
Kenapa malah menelfon tukang reparasi? Kenapa tak Ljoe oppa saja? Seharusnya
seseorang yang sudah tau. Salah satu member Teen Top mungkin? Menelfon orang
lain itu beresiko.. ”
“aku tak mau mengganggunya. Besok pagi kita akan berangkat
ke Jepang. Mereka butuh istirahat”
“kau juga butuh istirahat”
“aku bisa istirahat di pesawat”
“bodoh. Mana cukup? Kenapa malah mendatangi restoran?
Jelas-jelas ada hal yang lebih penting. Lalu? Managermu tau kau pergi?”
“kalau ia tau, aku tak mungkin ada disini sekarang”
“tch…. Pembuat masalah! Kau pasti dihukum saat pulang nanti”
“aku akan dihukum jika ketahuan. Berharap saja supaya
managerku tak tahu”
“berangkatnya pagi?”
“iya! Jadi malam ini aku tidak pulang ke rumah lagi”
“jadi, langsung ke dorm?”
“ne..”
“kalau begitu sampaikan salamku untuk C.A.P oppa! Katakan
padanya ia semakin tampan, ara?”
“cih…. Kau masih menganggap dirimu fansnya?”
“keurae! Kenapa kau bertanya begitu?”
“sepertinya aku tak menemukan satupun fotonya di ponselmu.
Yang ada justru……………..”
“semua foto itu kau yang masukkan! Lagipula untuk apa aku
menyimpan fotonya di ponsel saat gambaran sempurna wajahnya mewarnai otak dan
hatiku?”
“menjijikan” responnya geli
“sedikit”
YOON YOO HYUN…………….
ADA YANG MENELFON!!!!!!
CEPAT ANGKAT!!!!
Channie oppa langsung tergelak senang begitu mendengar
deringan ponselku. Cih… padahal itu kan suaranya. Dia yang buat dan dia yang
atur. Kenapa harus tertawa begitu? Secara tidak langsung, ia menertawakan apa
yang telah ia perbuat sendiri kan? Bodoh. “lebih baik cepat diangkat, chagiya!”
godanya sambil membuka pintu mobil dan segera keluar.
“Tanpa kau suruhpun akan kuangkat” aku bergumam sebal sambil
mendelik kearah berlalunya namja itu. Tunggu….. barusan kami berbincang santai?
Berbincang seperti biasa? Hebat sekali dia! Semudah itukah ia merubah moodku? Delikan
sebal yang tadi langsung berubah menjadi tatapan kagum dalam sepersekian detik.
Hingga… ‘Yoo Hyun! Yoo Hyun!’ aku
langsung tersadar begitu mendengar teriakan samar yang menyerukan namaku. Ah…
eomma…. Ponselnya….. dengan cepat kutempelkan layar ponselku ke telinga.
“ah.. iya! Eomma! Aku
disini! Ada apa menelfon?”
“kau dimana? Kenapa tadi malah di reject?”
“oh.. tadi eomma yang menelfon” aku bergumam pada diriku
sendiri lalu “Yoo Hyun! Yoo Hyun!”
eomma kembali meneriakkan namaku dengan kesal.
“kau sudah bisa pulang! Diluar rumah sudah tak ada
siapa-siapa! Lekaslah pulang”
“wartawan-wartawan
itu sudah tak ada, eomma?”
“tidak. Tidak ada. Mereka semua sudah tidak ada. Cepat pulang.
Ini sudah malam”
“aku tau. Memangnya
siapa yang bilang ini masih pagi?”
“Yoo Hyun! Eomma tidak sedang bercanda! Cepat pulang!”
“iya… iya… berapa
kali eomma mengatakan ‘cepat pulang’? sekali saja eomma. Anakmu ini tidak tuli.
Aku dengar. Aku dengar”
“terus saja bicara ‘iya… iya’ tapi mana? Kau tidak
pulang-pulang! Cepat pulang”
“iya! Sudah ya….Aku
segera pulang”
Aku mematikan sambungan telfonku, bersandar dikursi lalu
memutuskan untuk memejamkan mata.
Sedetik, eum... tidak! Satu setengah detik kemudian pintu kemudi terbuka
tiba-tiba. Tanpa basa-basi, Channie oppa masuk dan menyalakan mesin mobil.
“ah.. menyala” seru pria itu setelahnya. Sejurus dengan helaan nafasku yang
terhembus lega, tepat dibelakang. Aku segera mencopot heels dan melemparnya ke
kursi depan, sedangkan pria itu lantas keluar lalu menyelesaikan urusannya
dengan si tukang reparasi. Yah.. kalian tau sendiri! Mengembalikan ponsel yang
tadi ia sita, membayarkan yang seharusnya ia bayar dan berterima kasih.
Aku berjinjit di jok mobilnya dan melompat ke kursi depan.
Tepat saat pria itu kembali dan mulai memegangi kemudi. “sekarang, kita pulang
kan?”
“iya”
………….
“disini saja”
“nde? Rumahmu masih dua blok lagi!”
“disini! Disini saja!”
“ini sudah malam! Aku berani jamin tak akan ada paparazzi
didepan rumahmu” ia bicara tanpa sedikitpun mengurangi laju mobilnya.
“siapa yang tahu? tadi sore kau baru membuat pengumuman
mengejutkan dihadapan media. Parahnya dengan aku sebagai objeknya! Menurutmu?
Apa mereka akan menyerah begitu saja? Aku yakin mereka masih ada disekeliling
rumah. Bersembunyi”
“baiklah! Sepertinya kau lebih tau” ujar pria itu dengan
nada pasrah. Ia memelankan laju mobilnya dan berhenti selisih 3 rumah dari
rumahku. Tanpa bicara apa-apa, aku segera membuka pintu.
“Changkaman! Hyun~a……….”
“aku benci panggilan itu! Bisa berhenti memanggilku begitu?”
dia tertegun, tak bergerak selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk
ragu. “O..oke… baiklah!” nyaris 5 detik penuh, aku menatapnya, hanya sedikit
berusaha merekam wajah itu. Wajah yang mungkin takkan kulihat secara langsung
lagi. Setelah kurasa cukup, aku menoleh keluar dan hendak menggerakkan kaki,
namun lagi-lagi tak bisa. Pria itu menahan tanganku, gerakannya benar-benar
cepat.
“mau membuat panggilan baru?” tawarnya dengan senyuman. Aku menggeleng
tanpa ekspresi lalu berusaha melepaskan cekalan tangannya. “bagaimana jika nona
Yoon? Atau mau tidak dipanggil Yoo? Ah… chagiya saja bagaimana?” ia terus
menerus bicara dengan semangat sambil menebar senyum, membuatku tak mampu
berkata apa-apa untuk sesaat yang terasa begitu lama.
“Hyun~a… eh.. maksudku…….”
“Tak usah saling memanggil saja! Bagaimana?”
“Yoo Hyun! Apa maksud…………..”
“besok aku pergi! Aku akan kembali ke Daegu! Demi Tuhan, aku
takkan kesini lagi! Jadi bagaimana jika kita mengulang semuanya dari awal?
Benar-benar dari awal” entah sejak kapan, pipiku basah. Aku bicara dengan suara
tertahan, nyaris berbisik. Menyedihkan. Channie oppa tak bergeming ditempatnya,
matanya menyorot wajahku. Sendu. Seolah aku baru saja menambah masalah baru.
Melakukan kesalahan fatal.
“kenapa? Kau ingin menjauhiku?” tanyanya pelan-pelan.
Wajahnya mendadak pucat. Terlihat seperti seorang pasien rumah sakit yang baru
saja divonis mati. Ayolah! Tak seburuk itu kan? Aku tak seberharga itu kan?
“iya” jawabku langsung, tanpa basa-basi. “ Aku lelah! Aku
ingin hidup layaknya remaja normal! Aku belum siap memiliki begitu banyak
musuh. Aku belum siap dibenci begitu banyak orang. Aku ingin hidup tenang. Bisa
kan?”
Channie oppa melepaskan cekalan tangannya dariku. Menatapku
dengan ekspresi lelah lalu menghela nafas berat “jadi kau menganggap malam ini
itu apa huh? Kenapa kau tak bicara sejak awal?” nada suaranya meninggi dan
merendah secara bersamaan. Tak terbaca. Aku tak mengerti apa yang ia rasakan
sekarang. Terdengar seperti mau marah tapi tertahan. Mau bicara pelan tapi
giginya bergemertak. Aku tak mengerti. Tak mengerti.
“aku menganggap malam ini adalah pertemuan terakhir kita. Semacam
kencan perpisahan mungkin? Mulai besok, kita akan menjalani kehidupan
sendiri-sendiri! Kau dengan kehidupan keartisanmu dan aku dengan kehidupan
normalku di Daegu! Dan… tadi kau bilang apa? Kenapa aku tak bicara sejak awal?
Memangnya apa yang berbeda jika aku bicara tadi dan sekarang?”
“baiklah! Pertemuan terakhir? Kencan perpisahan? Oke…
terserah! Mulai detik ini kita menjalani kehidupan masing-masing. Itu maumu kan?
Ya.. lakukan apa yang kau mau!” ujarnya geram dengan senyuman sinis yang sukses
membuatku sesak, dan seolah baik-baik saja, aku lekas keluar dari mobil itu
lalu berjalan cepat-cepat tanpa mengindahkannya. Pura-pura tak perduli. Padahal,
bola mataku sudah bergerak tak terkendali, cairan-cairan bening tumpah ruah
membentuk aliran bercabang dipipiku. Sial! Lee Chan Hee, sudah berapa kali kau
membuatku menangis?
Semuanya terasa berat, air mataku semakin melimpah, seiring
dengan derap langkahku yang menyakitkan. Aku masih mengayunkan langkahku dengan
terburu-buru, namun terdiam sejenak begitu merasa ada yang aneh. Pendengaranku
yang buruk atau memang mobilnya masih belum melaju? Aku ingin berbalik untuk
memastikan, sayangnya berbalik malah akan membuat hatiku hancur.
Baru saja aku berpikir begitu, kini suara deru mesin mobil
yang melaju mulai terdengar lengkap dengan decitan ban yang mengerikan, jelas
dilajukan dengan kecepatan tinggi. Suara itu menari-nari tepat dibelakangku dan
bodohnya aku sama sekali tak sanggup menoleh untuk sekedar memastikan. Debu-debu
akibat gesekan ban mobil dengan aspal bertebaran disekelilingku. Suara berisik
mesinnya pun masih terdengar. Rasanya benar-benar sakit. Seperti mau mati.
Bahkan sekarang aku tak begitu yakin apa aku masih punya cukup tenaga untuk
menjangkau pintu rumah. Yoon Yoo Hyun. Ayolah…. Setiap hal butuh pengorbanan.
Kehidupanmu lebih harus diutamakan dari seorang Lee Chan Hee. Namja yang
berhasil memutarbalikkan hidupmu menjadi seburuk ini.
Langkahku langsung terhenti begitu suara mesin mobilnya tak lagi
terdengar. Kakiku lemas. Benar-benar lemas. Akhirnya, dengan kekuatan yang
masih tersisa aku berjalan terseok-seok sampai ke rumah. Kemudian menghempaskan
diriku sendiri di rerumputan tepat didepannya. Yang tadi itu tenaga terakhirku
dan sekarang aku benar-benar butuh waktu untuk menangis. Untunglah para wartawan
itu benar-benar tidak ada. Aish…. Jangan terlalu banyak berharap Yoon Yoo Hyun!
Bisa saja besok pagi wajah mengerikanmu sekarang sudah terpampang di
majalah-majalah gosip. Cih… siapa perduli? Besok pagi juga aku sudah tak ada
disini.
……………………………………………………………
09:23 KST
In airplane (take off
to Japan)
Author POV
Chunji memandang lurus ke depan dengan pandangan kosong.
Jika hari ini ia tak harus pergi ke Jepang, ia pasti akan menyusul gadis itu ke
Daegu. Ya.. pria itu berubah pikiran. Semalaman ia merenung, apakah begini
saja? Setelah semua yang mereka lewati, apa ia benar-benar siap untuk melepas
gadis itu? Jika saja Yoo Hyun memberikannya sedikit waktu lagi, ia pasti tak
akan sehancur ini. Bagaimana bisa begini? diwaktu yang sama, mereka pergi ke
tempat yang berbeda. Saling menjauh satu sama lain.
Jadi semuanya
benar-benar berakhir?
Sedangkan itu, di Seoul, media elektronik maupun cetak
saling berlomba-lomba memberitakan soal Chunji-Yoo Hyun. Mereka semua
menuliskan berita menurut persepsi masing-masing. Dan kesimpulan dari itu semua
hanyalah ‘pengasingan diri Yoo Hyun’. Chunji sendiri tak tahu menahu soal
berita itu sedangkan Yoo Hyun yang sudah naik kereta sejak pukul 7 pagi sama
sekali tak mau tahu soal pemberitaan semacam itu. Persetan dengan berita. Yang menjalani hidupnya adalah dia bukan
mereka.
………………………………………………………….
A week later…………….
Daegu
Yoo Hyun POV
Siapapun yang melihatku pasti mengira bahwa aku adalah
seorang gadis menyedihkan yang sedang berusaha sembuh dari trauma parah.
Ternyata, Daegu pun tak cukup mempan untuk membuatku lebih baik. Ya.. hanya
lebih baik. Aku juga tak berharap banyak untuk benar-benar sembuh dan berhasil
melupakannya. Maksudku, Lee Chan Hee. Aku hanya berharap bisa meneruskan hidup
dengan cara yang benar walau harus dibayangi dengan luka. Jujur saja, aku lebih
memilih mati daripada harus melupakannya.
“Yoo Hyun! Ige… ice cream-mu!” Sung Won menyerahkan cone ice
cream digenggamannya padaku dengan riang. Sudah seminggu aku disini, dan sudah
seminggu pula wajah bahagia Sung Won menemani hariku. Pria itu. Park Sung Won.
Teman baikku waktu SMA dulu. Dulu? Sepertinya baru kemarin aku lulus sekolah.
“ah.. gomawo Sung Won~a”
“cheonmaneyo” jawabnya semangat. “sekarang kau mau kemana?
Menaiki wahana apa? Rollercoaster kah? Bianglala? Atau kau mau makan? oh… atau…
atau…. Bagaimana dengan photosticker? Sudah lama sekali kita tak ke box foto
berdua”
“a...aniya! aku tak mau foto! Kita naik bianglala saja! Ya?”
dengan wajah pucat, aku lekas menolak. Photosticker? Andwae.
“oke” ia buru-buru meraih lenganku dan berjalan cepat menuju
bianglala. Kenapa harus buru-buru Sung Won~a? kenapa tidak pelan-pelan saja?
Kenapa sifatmu masih tak berubah? Kenapa selalu begini? Terlalu banyak
pertanyaan tanpa jawaban. Sama halnya dengan kehidupanku saat di Seoul.
Kehidupan sesaatku saat bersama si namja terkenal. Apa begini akhirnya? Apa ia
tak akan menyusulku kesini? Sampai kapan hubungan rumit kami berlanjut? Kapan
ia akan lebih dewasa? Kapan ia akan mengatakan ‘aku mengenal Yoon Yoo Hyun’ dihadapan semua orang? Kapan
fans-fansnya akan berhenti mencaciku? Aku salah apa? Apa mencintai seorang Teen
Top Chunji adalah kesalahan? dan beribu pertanyaan lain yang berserakan tak
terurus di otakku. Jauh dibagian sudut. Memori yang berusaha diacuhkan namun
sayangnya terlalu banyak, nyaris mustahil untuk tidak diperdulikan.
Dengan telaten, Sung Won yang sudah masuk bianglala
membantuku masuk. Ia menggenggam tanganku erat-erat begitu bianglala ini
terombang-ambing saat kunaiki. “apa memang begini?” tanyaku khawatir. “iya!
Memang begini!” jawabnya tenang. Aku duduk dihadapannya, bersamaan dengan pintu
kecil disampingku yang langsung ditutup dan dikaitkan kuat-kuat oleh petugas
yang berjaga.
“aku tak begitu suka ketinggian, Sung Won~a”
“jeongmal? Sejak kapan? Kenapa aku baru tau? Ya sudah, lebih
baik kita turun” padahal aku hanya bicara pelan, tapi respon yang diberikan
oleh pria didepanku malah sangat berlebihan. Dengan heboh pria itu mencoba
membuka kaitan rantai didekat pintu, membuatku buru-buru menahannya.
“tidak. Tidak usah turun. Aku bukannya phobia. Aku hanya tak
begitu suka” jelasku
“begitu? Kau harus lihat! Diatas indah sekali” aku mengangguk
paham, diiringi dengan senyuman tipis.
Bianglala mulai bergerak naik dan secara refleks, aku
mencengkram besi-besi penyangga disekelilingku. Sejak kapan aku takut
ketinggian? Sejak kapan? Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali ketakutan?
“kalau kau takut, cengkram saja tanganku” aku langsung mengernyit begitu Sung
Won mengulurkan tangannya kearahku. “a..ani…! kau ini kenapa Sung Won~a?”
ucapku sambil memukul bahunya.
“kau yang kenapa! Apa masalahmu di Seoul memang seberat
itu?”
“kau tau?”
“tentu saja! Daegu bukan daerah terpencil tanpa akses
internet, ya! Tau tidak? Mukamu terpampang dimana-mana”
“tapi….. kenapa orang-orang disini tak mengenalku?”
“mereka bukannya tak mengenal, mereka hanya tak perduli”
“tak perduli?”
“tch… Yoon Yoo Hyun! Kembalilah seperti dulu! Aku merindukan
Yoo Hyun-ku yang ceria”
“aku juga merindukan diriku yang dulu, Sung Won~a. Tapi
bagaimana? Bagaimana caranya?” Yoo Hyun menatap pria didepannya dengan wajah
putus asa.
“ck…. Kukira pria semacam itu bukan tipemu”
“ne.. dia memang bukan tipeku”
“lalu? Kenapa kau mau? Karena dia artis?”
“karena aku merasa nyaman saat disampingnya”
“hanya itu?”
“iya!” tanpa sadar kami sudah berada tepat di atas.
Bianglala yang kami naiki tepat berada dipuncaknya. Sekejap aku terkesima,
lampu-lampu kota yang berwarna-warni menjadi sangat memukau saat dilihat dari
ketinggian. Ketakutan yang tadi terasa, langsung tak berbekas. Dengan senyum
cerah, aku mengedarkan pandanganku ke bawah, semuanya terlihat keren. Indah. Sungguh
indah. Bianglala berhenti selama 10 detik saat diatas, lalu perlahan-lahan
kembali turun.
“berapa putaran?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan.
“serius kau lupa?”
“tch…. Kalau aku lupa, memangnya kenapa? Mau menghinaku?”
“hahaha……. 3 putaran!”
“benar? Hanya tiga?”
“memangnya mau berapa, huh?”
“300”
“hahahaha! Bilang saja mau bersamaku terus!”
“aish….. percaya diri sekali kau!”
“hahahaha…… tapi aku benar kan?” Sung Won tertawa geli, lalu
mengerlingkan mata kearahku. Cih… gaya menggodanya masih sama. Masih
menjijikan.
“YAA!!! Channie~ya…”
“nugu?”
“eh.. maksudku Sung Won”
“nugu? Channie nugu?” tawanya langsung hilang, digantikan
dengan wajah serius yang jelas menginginkan jawaban.
“bukan siapa-siapa. Sungguh” ucapku, berusaha meyakinkan. Dan
untungnya berhasil. Ia mengangkat bahu lalu bersender sambil melempar
pandangannya ke luar. Sambil meringis dalam hati, aku mengikuti arah
pandangannya.
“kau masih mencintainya?”
“siapa?”
“berhentilah berpura-pura”
“Chann…….. eum,, Chunji? Teen Top Chunji?”
Author POV
“kau masih mencintainya?”
“siapa?”
“berhentilah berpura-pura” Sung Won yang tidak sabar
akhirnya bicara keras pada Yoo Hyun.
“Chann…….. eum,, Chunji? Teen Top Chunji?” Yoo Hyun
bertanya, masih dengan wajah yang pura-pura bingung. Melihatnya, Sung Won
langsung menghela nafas.
Putaran kedua berlalu tanpa percakapan. Yoo Hyun yang
tadinya gembira melihat cahaya yang berkelap-kelip dari ketinggian kini malah
menunduk. Sedangkan Sung Won sendiri sedang berpikir keras. Apakah sekarang
saja? Tapi…. sepertinya Yoo Hyun masih mempunyai perasaan yang dalam pada pria
Seoul itu. Sung Won bimbang setengah mati. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk
melakukannya malam ini juga. Ya.. benar!
Sekarang saja! Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Yoo Hyun tak mungkin
menolaknya. Ayolah….. beri pria ini sedikit harapan. Yoo Hyun, tolong jangan
tolak dia. Sung Won sudah membayar mahal untuk sebuah cincin yang saat ini
tengah tersimpan manis dibalik mantelnya. Ayolah! Ayolah! Jangan tolak dia!
Malam ini benar-benar indah. Di atas bianglala, ditemani cahaya indah dari
kejauhan, disirami cahaya bulan yang romantis.
“Yoo Hyun”
“ne” sahut gadis itu dengan lemah. Pikirannya melayang jauh
ke Seoul, ke satu pria, ke satu nama. Tanpa disebutpun semua orang sudah tahu.
Lee Chan Hee, bisa kesini sekarang? ada seorang gadis yang merindukanmu, nyaris
tak bisa bernafas saking rindunya.
“Yoo Hyun! Lihat aku” Sung Won meraih bahu gadis itu, cukup
berhasil membuatnya menoleh dan tersenyum. Sayangnya, senyuman seperti itu
benar-benar tak diharapkan Sung Won. Senyum penuh paksaan, dan terlalu jelas
untuk disebut ‘tidak tulus’.
Sung Won menelan ludah. Mungkin ini saatnya.
Perlahan, Sung Won merogoh saku dibalik mantelnya. Sambil
menarik nafas gugup, pria itu mengulurkan sebuah kotak beludru berwarna merah,
lalu membukanya. Yoo Hyun yang mendadak lemas hanya bisa memandangi benda
didalamnya, sebuah cincin emas putih yang berkilauan. Seketika jantung gadis
itu berhenti berdetak, ia tidak bisa mempercayainya. Sama sekali tidak bisa.
“Sung Won! Wae irae? (kenapa begini?)” Yoo Hyun menatap pria
didepannya dengan tampang bingung.
“saranghae, Yoo Hyun~a…... Mau jadi pacarku?” akhirnya, Sung
Won mengucapkan kalimat itu. Yoo Hyun menggigit bibir, tak tahu harus berbuat
apa. Memang, salah satu alasannya kembali ke Daegu adalah bertemu dengan Sung
Won, pria yang selama ini berhubungan dekat dengannya, sahabat sejatinya, tapi
bukan pertemuan macam ini yang ia maksud. Ia datang kesini untuk menjauh dari
masalah dan bermain-main seperti dulu dengan teman-temannya, dengan Sung Won
juga. Bukan begini!
Yoo Hyun masih terdiam selama beberapa saat. “wae? kau tak
bisa menerimaku?” tanya Sung Won, menyadarkan gadis dihadapannya.
“Bukan begitu,…….” Yoo Hyun menelan ludah, memejamkan mata
perlahan lalu kembali menatap Sung Won bimbang. Disatu sisi, gadis itu ingin
bicara dengan tegas bahwa ia tak bisa menerima cinta Sung Won, tapi disisi lain
ia tak tega melihat sahabatnya terluka. Ia tak mau orang yang ia sayangi merasa
sakit, terlebih karenanya.
“Demi Tuhan, aku akan menjagamu. Akan membahagiakanmu” Sung
Won menatap gadis didepannya dengan mata penuh harap. “kita akan menjadi
sepasang kekasih yang bahagia di Daegu. Disini. Di kota kelahiran kita” Yoo Hyun tak tahu lagi. Apa ia terima saja?
Mungkin menjadi kekasih Sung Won bisa sedikit membantu menyembuhkan lukanya.
Yoo Hyun melempar pandangan ke arah lain. Detik berikutnya, ia terkesiap. Di
luar kesadaran, ia mengangkat tangan kirinya yang bermandikan cahaya bulan,
memperhatikan sebuah cincin perak penuh karat yang ia beli di Insa-dong dulu.
Ya.. itu memang cincin murahan, cincin palsu. Hanya dalam waktu beberapa bulan,
cincin itu sudah terlihat jelek dan berkarat, warna yang sebelumnya perak kini
berubah keemasan.
Dengan dada berdebar, Yoo Hyun menumpuk tangan kirinya
dengan tangan kanan lalu mengepalkannya didepan dada. Sung Won yang melihat
aksi menyedihkan Yoo Hyun segera mendengus miris. “aku sudah tahu akan begini.
Harusnya aku melarangmu ke Seoul dulu. Mungkin jika kau tak pergi ke Seoul, ceritanya
akan lain” Yoo Hyun lantas melirik Sung Won dengan ekspresi penuh penyesalan.
“maaf. Maafkan aku” gumam gadis itu lirih.
“gwaenchana. Tapi ambilah cincin ini”
“jangan. Berikan kepada gadis lain saja. Gadis yang
benar-benar mencintaimu”
“aku beli untukmu, Yoon Yoo Hyun”
“jangan”
“lepaskan cincin di jarimu itu. Sudah berkarat. Tanganmu
bisa sakit”
“tidak” tanpa sadar mereka sudah kembali di puncak. Putaran
ketiga dan setelah ini selesai.
“harusnya pria Seoul itu bisa membeli yang lebih mahal” Yoo
Hyun bisa mendengar suara Sung Won, tetapi otaknya terus memikirkan Chunji dan
cincin itu. Memikirkan bagaimana ekspresi pasrah pria itu saat ia memaksa
memakaikan cincin di jarinya! Lucu! Lucu sekali! “di otakmu sekarang, pasti
orang itu lagi, ya?”
“aku rasa kau tau jawabannya” Yoo Hyun tersenyum miris.
“jadi? Cincin berkarat itu mengalahkan cincin emasku?” Sung
Won menatap gadis didepannya dengan sedih, ia benar-benar sudah kalah telak.
Bahkan Yoo Hyun menolak cincinnya juga. Parahnya, hanya demi mempertahankan
cincin mainan yang ia yakini harganya 100 kali lipat dibawah cincin yang ia
beli.
“maafkan aku”
“jangan minta maaf terus” Sung Won menatap Yoo Hyun yang
tampak lelah, menyesal sudah melakukan hal idiot semacam ini. Memangnya apa
yang ada dipikirannya hingga menyatakan cinta pada gadis itu? Pada gadis yang
baru ia temui kembali selama kurang lebih seminggu, walaupun sebelumnya mereka
memang sudah kenal baik, tapi… untuk kali ini, Sung Won dan Yoo Hyun ibarat
orang asing. Sung Won tersenyum getir, harapan yang ia tumpuk tinggi-tinggi
sejak lama langsung berantakan dalam sekejap.
Yoo Hyun masih mengelus cincin peraknya diam-diam. Saat
dengan mendadak, butiran-butiran salju berjatuhan disekelilingnya. Membuat
suasana malam itu benar-benar indah. “Sung Won! Salju! Salju pertama musim ini”
seru Yoo Hyun, membuat Sung Won ikut menoleh dan terkesiap kemudian. “kita
beruntung” gumam pria itu sambil memandang senang ke luar. Ke arah butiran
salju yang berjatuhan teratur.
“beruntung! Beruntung sekali! Menyaksikan salju pertama di
atas bianglala, diatas ketinggian ditemani dengan sinar lampu yang
berkelap-kelip dan juga cahaya bulan yang romantis. Pasti akan lebih
menyenangkan jika…………”
“bersama orang yang kau cinta? Pria Seoulmu?” berusaha tak
membuat suara, Sung Won berbisik dalam hati. Membiarkan Yoo Hyun menghentikan
ucapannya sendiri layaknya orang bodoh. Bagaimana bisa gadis itu masih sanggup
mencintai namja yang sudah membuat begitu banyak luka? Sihir macam apa yang kau
gunakan Lee Chan Hee?
…………………………………………………….
Selama kurang lebih seminggu penuh,
Chunji menghabiskan waktunya di Jepang. Syukurlah, Teen Top Japan Tour Concert
berjalan dengan lancar. Ternyata, fans-fans Jepang tak begitu perduli dengan
skandalnya, mereka semua menerima Teen Top dengan baik dan mengikuti konser
dengan atmosfer yang menyenangkan, sukses membuat semua membernya, tak terkecuali Chunji terbawa suasana dan ikut terlarut dalam
kemeriahan konser. Sejenak melupakan masalahnya yang telah menggunung.
Dan begitu sampai kembali di Seoul,
Chunji sendiri sudah harus memulai syuting iklannya. Ya.. syuting iklan yang
beberapa bulan lalu kontraknya telah ia tanda tangani. Iklan itu! Iklan
pembersih muka. Iklan perdananya sendirian, maksudnya sebagai seorang Chunji
bukan TeenTop. Iklan yang ia bela mati-matian supaya tidak batal. Ia memang
sudah memulai syuting sebulan yang lalu, namun sengaja ditahan karena
skandalnya yang heboh. Dan sekarang, seluruh kegiatan syutingnya harus diulang.
Chunji POV
Han River
21:25 KST
Aku melirik butiran salju yang bersikeras turun menyentuh
bumi. Salju pertama musim ini. Harusnya jangan turun dulu, salju bodoh! Aku
ingin melihat salju pertama bersama Yoo Hyun, bukan begini. Bukan sendirian
begini. Sekarang, aku sedang berada di tepian sungai Han. Masih tempat yang
sama dengan yang sebelumnya. Tempat aku bertemu dengan Yoo Hyun
kemarin-kemarin. Siapa tahu mendadak gadis itu datang? Kekuatan cinta, siapa
yang tahu? ah.. sial. Kenapa Yoo Hyun lagi? Tch… kami berakhir. Hubungan kami
sudah berakhir. Eh.. tunggu! Hubungan? Memangnya sejak kapan kami memiliki
hubungan? Sebatas hubungan fans dan idola pun sepertinya tidak sama sekali.
Author POV
Nyaris setengah jam, ia tak bergeming. Menyandar ditiang
penyangga sungai sambil termenung layaknya orang dungu. Chunji menghela nafas
putus asa, lalu mulai melangkah memasuki audynya. Audy yang senang sekali mogok
saat sedang bersama Yoo Hyun. Sial. Yoo Hyun lagi?
Audy silvernya melaju membelah kesunyian malam dipinggiran
sungai Han. Bersamaan dengan butiran-butiran salju yang menghantam jalan dengan
halus. Ia lalu sengaja menghentikan mobilnya di supermarket, mungkin ia bisa
membeli minuman disana. Cuaca dingin benar-benar sukses membuat tenggorokannya
kering.
Chunji memasuki supermarket sambil membuka kaca mata hitam
yang sejak tadi membingkai wajahnya dengan sempurna. Alat penyamaran sekaligus
penunjang ketampanan terkeren menurutnya. Baru dua langkah dan namja itu
langsung mendecak begitu melihat seorang gadis kuncir kuda yang tengah tertidur
pulas dimeja kasir. Si penjaga kasir yang dulu. Yang menanyainya dengan tak
sabar ‘kau punya uang tidak?’ cih…
kenapa dia lagi? Pekerja disini tak mungkin hanya dia kan?
Chunji mencoba tak perduli, ia segera mengayun kakinya menuju
konter-konter minuman lalu mengambil kaleng soda sebanyak-banyaknya disana.
Terlalu banyak hingga troli mininya penuh. Ia lantas membawanya ke kasir dan
menggeprak meja, sukses besar membuat si gadis penjaga kasir itu terbangun dan
berteriak siap.”SELAMAT DATANG”
“mau kerja atau mau
tidur?” ucap Chunji sinis, ia meraih troli lalu mendorongnya lebih dekat ke
kasir. Cukup berhasil membuat gadis itu mengerjap tak percaya. “tak salah?
Sebanyak ini?” serunya syok.
“wae? aku mau beli berapa itu bukan urusanmu” Chunji menyeret kursi putar beroda yang terhampar
bebas dibelakangnya dengan kaki, lalu duduk nyaman sambil memainkan ponselnya.
Mengabaikan seorang gadis yang sedang sibuk menghitung kaleng-kaleng soda
didalam troli dengan tampang sekarat. Yang benar saja, baru bangun dan disuruh
menghitung kaleng? Ah… Jinjja!
“hei… Chunji-ssi! Hyun~a-mu menghilang ya?” ledek gadis itu
tanpa mengalihkan perhatian. Tangannya masih sibuk bergerak, menempel dari satu
kaleng ke kaleng yang lain. Membuat susunan rapi diatas meja.
“bukan urusanmu”
“beritanya ada dimana-mana. Bagaimana mungkin bukan
urusanku? Ah.. kapan masalah kalian selesai huh? Aku bosan melihat mukamu
terus! Di tv, majalah, bahkan sekarang
di Koran hitam putih. Kekeke” gadis itu cekikikan sendiri, ia berusaha menutupi
mulutnya dengan punggung tangan sedangkan tangan yang sebelahnya lagi ia
letakkan didepan perut. Aneh. Apa ada yang terlewat? Ada yang tahu bagian mana
yang lucu?
“lama-lama juga menghilang” respon Chunji penuh wibawa.
Sontak membuat gadis itu berhenti terkekeh dan langsung mendelik.“kau tau kan?”
“apa?”
“dimana Hyun~a-mu itu. Kau tau kan dia sembunyi dimana”
punggung Chunji menegak, ia menghentikan gerakan tangannya di layar ponsel lalu
menoleh cepat.“apa perdulimu?”
“begini! Katakan padanya, masalah itu seharusnya dihadapi
bukan dihindari. Kalau terus menerus menghindar, bagaimana masalahnya bisa
selesai?”
“heh! Kau melihat press conference-ku tidak? Kau dengar
tidak aku bilang apa?”
“kau pikir ada yang akan percaya huh? Masyarakat Korea itu
pintar-pintar, mereka semua berpikir kritis. Bukan tipe masyarakat yang menelan
mentah-mentah segala jenis berita”
“sudahlah! Lagipula aku dan Yoo Hyun sudah tak berhubungan
lagi. Kami sudah berpisah”
“Jinjja yo? Jadi sad ending, begitu?”
“AHHH…… kau sebenarnya kenapa huh?”
“kau yang kenapa! Kenapa tiba-tiba berteriak?”
“makanya, tak usah ikut campur! Kerjakan saja apa yang
seharusnya kau kerjakan!” perintah Chunji geram.
“iya” tukas gadis itu sebal.
“aku harus memilih. Yoo Hyun atau karir. Umumnya, seorang
artis yang mengaku sudah punya kekasih akan kekurangan banyak penggemar. Dan
aku belum siap untuk itu. Ya.. pilihan yang sulit. Hidupku akan berubah drastis
jika aku mempertahankannya” tanpa diminta, Chunji bercerita sendiri, sukses
membuat gadis penjaga kasir itu berteriak senang dalam hati. Tch…. Sebelumnya
pria bodoh itu terus bicara dengan dingin tanpa sebab dan sekarang, dengan
mudahnya ia berbagi cerita. Aneh.
“lebih baik ubahlah hidupmu sendiri. Setidaknya sebelum
hidupmu mengubahmu”
“kau tak mengerti apa-apa”
“mungkin”
“Tunggu…… apa maksdumu tadi? Hidupku mengubahku?”
“iya bodoh! Seharusnya kau yang punya kendali penuh untuk
hidupmu! seharusnya kau bisa mengatur hidupmu sendiri! Bukannya hidup yang
malah mengaturmu. Mengerti?”
“sedikit”
“cih… pabo! Ige…. kurasa kau bisa menggunakan kartu debitmu
sekarang” cibirnya sambil menyodorkan tiga paper bag besar berisi kaleng soda.
Chunji memutar bola matanya enggan lalu membayarnya tunai. Kemudian, mengangkat
semua paper bag itu dengan susah payah.
“tak punya niat membantuku?” seru Chunji sedikit tertahan.
“tidak terima kasih. Sungguh” gadis itu menggeleng, dengan
ekspresi terpolos yang mampu ia keluarkan.
“hei… namja minuman kaleng! Sampaikan salamku pada
Hyun~a-mu. Katakan padanya dia harus bersabar menghadapi namja bernama Chunji
itu. Pria itu memang tak bisa diandalkan” Chunji tersenyum sinis, mengangkat
bagian kanan sudut bibirnya “kalau aku bisa bertemu dengannya lagi”
………………………………
Chunji menghela napas. Sudah satu jam dan syutingnya belum
juga dimulai.
“Chunji~ya…. Begini!” seorang PD (program director, kayak sutradara)
tiba-tiba saja mendatanginya, membuat namja itu segera membenarkan
posisi duduk dan menatap pria berkacamata tersebut dengan setengah fokus. Ya..
hanya setengah. Bahkan bisa dibilang sepertiga. Fokus namja itu lebih besar
terarah pada jalanan licin yang tertutup salju tipis, jika tidak sekarang, ia
harus rela menunggu setidaknya sampai satu bulan untuk ke Daegu. Jika tidak
sekarang, mungkin saja Yoo Hyun tak mau melihatnya lagi. Iya… pria itu sedang
berpikir untuk pergi ke Daegu, menyusul gadisnya dan mendapatkannya kembali.
Tapi……. akankah Yoo Hyun menerima kehadirannya lagi? Bukankah gadis itu sudah
mengatakan salam perpisahan? Ah.. lupakan! Anggap saja Yoo Hyun menerimanya.
Lalu jika sudah begitu, bisakah ia bertindak sedikit lebih tegas? Apa ia
sanggup melihat Yoo Hyun menderita karena sifat egoisnya lagi?
“lebih baik
ubahlah hidupmu sendiri. Setidaknya sebelum hidupmu mengubahmu”
Chunji mengangguk singkat, menyetujui ucapan si penjaga
kasir semalam. Kenapa ia baru setuju sekarang? Jika ia bertemu gadis itu lagi,
ia berjanji akan berterima kasih. Chunji tersenyum kecil lalu mengalihkan
pandangan ke dinding kaca, memperhatikan salju-salju yang sedang turun dengan
perlahan. Syutingnya tidak jelas kapan selesai, sekarang saja ia masih harus
menunggu model wanita yang akan menjadi rekan mainnya. Aish…. Lalu apa kabar jalanannya
nanti? Pasti akan tertutup salju. Pasti akan sangat licin. Pasti akan banyak
rambu-rambu yang menyuruh pengendara mobil berhenti karena tebalnya salju.
Seketika dadanya berdebar. Tidak! Aku tak
bisa menunggu lagi. Lee Chan Hee, tetapkan sekarang apa yang kau mau. Sekarang!
atau tidak sama sekali.
Chunji POV
“jadi,…. Saat model wanitanya nyaris terjatuh, kau harus
bersiap…………”
“aku berhenti” selaku tegas. Dengan mata yang masih menatap
lurus ke kertas putih yang baru saja diberikan.
“a..ap..apa?”
“aku berhenti” ulangku, kali ini sambil berdiri dan
menyodorkan kertas itu kembali. Kertas berisi apa-apa saja yang harus kulakukan
untuk iklan ini. Bisa dibilang, Jalan ceritanya.
“wae? k..kau tak suka konsepnya? Aku bisa sesuaikan dengan
keinginanmu”
“kubilang aku berhenti” ujarku, sama sekali tak berusaha
untuk memperjelas. Aku mengarahkan tatapan dingin pada pria yang berdiri persis
didepan, pada pria yang sedang melongo memperhatikanku.
“uangnya sudah ditransfer ke rekeningmu tiga bulan yang
lalu. Kau sudah mendapatkan honormu! Tak bisa begini, kau harus professional”
seru pria itu geram sementara aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tadi aku
kesini bersama eomma. Manager pribadiku, a.. anie… mulai hari ini…. tidak. Ia
ibuku. Hanya ibuku.
“akan kukembalikan semua uangmu. Semuanya” tandasku tenang,
dan didetik yang sama segera melangkah meninggalkan ruangan. Cukup berhasil
membuat PD itu berteriak-teriak muak dibelakang.
“YA!! KAU HARUS BICARA DULU PADA TUAN KIM! YAAA!!!!
DENGARKAN AKU”
Tidak! Tidak! Kau yang dengar aku! Aku sudah terlalu sering
mendengarkan orang lain! Saking seringnya sampai aku tak bisa mendengar kata
hatiku sendiri. Saking seringnya sampai aku tak bisa menentukan sendiri apa
yang aku mau dan tidak. Kontrak iklan pertama? Pentingkah? Cih… lagipula dulu
ada seorang gadis yang bilang kalau iklan pembersih muka seharusnya hanya
diperankan oleh wanita. Bukankah begitu? Sial. Bagaimana bisa aku menerimanya? Bahkan
mempertahankannya setengah mati.
Langkahku terhenti di pintu kaca, pintu utama gedung ini. Ada
sebuah kedai kopi disampingnya. Disana, eomma sedang duduk sendiri sambil
mengamati tumpukan kertas yang berjajar dimeja. Eomma terlihat menyedihkan,
terlihat stress. Harusnya tidak begini eomma! Harusnya kau istirahat saja di
rumah! Bukan mengurus jadwalku begini! Aku akan cari manager pribadiku sendiri!
Yang jelas bukan eomma. Eomma tidak boleh lelah, tidak boleh sakit, tidak boleh
sibuk memikirkanku. Harusnya aku bisa lebih berguna untukmu.
Dengan perlahan, aku menghampirinya. Cukup berhasil membuat
wanita tercantik di mataku itu terkesiap kaget.
“kenapa disini? Syutingnya sudah selesai?”
“eomma… pulanglah!”
“pulang? Kau mau pulang? Memangnya sudah selesaI?”
“eomma… lupakan kertas-kertas ini! jangan terlalu banyak
bekerja”
“aish….. Chan Hee~ya! Apa yang kau katakan huh? Cepatlah
kembali ke lantai atas. Syutingnya pasti belum selesai. Mana mungkin secepat
itu?”
“eomma………” ucapanku terputus begitu ponsel berwarna hitam
elegan dimeja berbunyi nyaring, tertera nama ‘Tuan Kim’ disana….. Dia menelfon.
Mereka bergerak cepat. Cepat sekali.
“Tuan Kim?” kening eomma berkerut bingung, ia menatapku
meminta penjelasan sambil menggerakkan tangannya mengangkat panggilan itu.
“Yeoboseo” baru satu kata dan tanpa permisi aku mengambil
ponselnya. Sukses membuat eomma menyerukan namaku sambil berusaha mendapatkan
ponselnya kembali, namun terlambat karena aku buru-buru mematikannya.
“eomma kupecat”
“NDE?”
“maafkan aku eomma. Tapi kumohon dengarkan aku untuk kali
ini”
“kau kenapa Chan Hee~ya”?”
“anggap saja statusku saat bicara tadi bukan sebagai anak
eomma, tapi sebagai rekan kerja. Jadi… bisakah eomma menjadi eommaku saja? Tak
usah bekerja untukku begini. Bisa kan?”
“tapi….”
“aku sudah membatalkan kontrak iklanku” selaku sambil
menatap eomma yang masih terkejut.
“dibatalkan?”
“iya…. Sekarang aku harus pergi”
“pergi?” eomma kembali mengulang ucapanku dengan syok.
Sepertinya ia tahu maksud ‘pergi’ dari kalimatku tadi.
“Daegu. Menyusul Yoo Hyun”
“Yoo Hyun di…………. Daegu?”
“iya… gara-garaku”
“kau? Bersungguh-sungguh? Maksud eomma……… kau yakin dengan
pilihanmu?”
“aku tak pernah seyakin ini” aku tersenyum puas, rasanya
cukup lega. Seperti tali yang membelengguku telah dilepas beberapa ikat. Ya..
hanya beberapa. Aku baru bisa benar-benar lega jika sudah bisa bertemu dengan
Hyun~a-ku lagi. Ck…. Apa dia mau menerimaku lagi?
Aku mengusap punggung eomma penuh rasa sayang lalu berbalik
dan bergegas pergi. “Chan Hee” panggil eomma. Aku menoleh dan langsung
dikejutkan dengan kunci mobil yang langsung kutangkap sigap. “pakai Van saja.
Saljunya sudah cukup tebal. Hati-hati di jalan” aku tersenyum sambil mengangguk
senang. Bahkan eomma berpihak padaku sekarang.
Baiklah! Sekarang harus ke dorm dulu. Mengambil………… baju. Ya
benar, baju! Kemungkinan besar aku akan terjebak salju di Daegu.
Author POV
Teen Top’s Dorm
‘BRAAKK’ semua mata langsung tertuju pada pintu yang saat
ini terbuka lebar.
“YAA!!! BODOH…… kau mau menghancurkan dorm huh?” pekik Ricky
langsung. Ia memegangi dadanya yang berdebar keras. Sebelumnya, pria itu sedang
menonton tv dengan serius, menonton variety show, disana noona kesayangannya,
Miss A Suzy tengah menghiasi satu layar penuh. Chunji melirik namja itu dengan
ekor matanya yang menyeramkan dan tanpa membuang waktu segera bergegas ke
kamar, cukup berhasil membuat Ricky menutup mulutnya rapat-rapat dan tidak
mengajukan protes lagi.
Sementara itu, di kamar, Changjo yang sedang tertidur pulas
terusik oleh suara berisik akibat laci-laci yang dibuka tutup dengan keras.
Pria itu mengerjap dan sedikit tertegun begitu melihat Chunji. “bukannya kau
syuting iklan?” tanya Changjo dengan suara serak, menggambarkan bahwa ia belum
terlalu bersedia untuk benar-benar terjaga.
“aku mau menyusul Yoo Hyun” ujar Chunji tanpa berpikir. Ia
bergerak dari satu lemari ke lemari lain, mengambil koper lalu memasukkan
baju-baju yang ia lihat pertama kali. Entah baju siapa. Changjo tak bergerak,
ia hanya mengawasi dari atas tempat tidur dengan rasa kantuk yang nyaris
membuat matanya kembali terpejam. Namun, bukannya memejam, mata itu malah
terbelalak lebar begitu kalimat ‘aku mau menyusul Yoo Hyun’ yang tadi diucapkan
terproses sempurna di otaknya. “TUNGGU! KAU BILANG APA TADI?”
Chunji tak bicara, ia hanya melirik maknae yang menurutnya
gila itu sebentar lalu kembali fokus pada kopernya. Namun tanpa terduga,
Changjo segera lompat dari tempat tidurnya dan berlari keluar. Entah untuk apa.
Chunji menoleh ke arah pintu lalu mengangkat bahunya tak perduli, lantas
kembali fokus pada aktivitas sebelumnya. Dia harus cepat. Harus cepat.
Chunji yang sudah siap dengan koper penuh sesaknya, bergegas
keluar. Terlalu terburu-buru. Seperti jika ia terlambat satu detik saja maka
Yoo Hyun akan tewas. Berlebihan. Saking terburu-burunya, bahkan ia tak sadar
kalau ritsleting kopernya belum tertutup rapat, sukses besar membuat baju-baju
yang ia masukkan asal ke koper berserakan disetiap jalan yang ia lewati. Dan
bodohnya, pria itu masih tak sadar. Ia berjalan terus tanpa perduli keadaan,
lalu tersentak begitu melihat lima orang yang terlalu dikenalnya tengah berjaga
didepan pintu.
Chunji POV
“YAA!!! Minggir kalian! Aku sedang buru-buru”
“buru-buru?” ulang Niel dengan tampang mengejek. Cish…
tidak! Mukanya memang sudah begitu. Selalu terlihat begitu.
“kau? Mau menemui Yoo Hyun kan?” seru Ljoe, dengan gaya
mengintimidasi yang cukup berhasil membuatku terancam. Jangan bilang mereka tak
mengizinkan. Jangan bilang mereka tidak memihak padaku lagi. Tch… kalau benar
begitu, plin plan sekali mereka. Sial.
Wajahku langsung mengeras begitu C.A.P hyung berjalan
mendekat beberapa langkah, meninggalkan empat namja lain yang tengah berjaga
didepan pintu. Entah itu takut aku keluar, atau takut pintunya hilang. Bodoh,
Apa mereka tak bisa lebih keren sedikit?
Mata C.A.P hyung menyorotku tajam, seolah aku baru saja
melakukan kesalahan besar. Ia bersedekap lalu menyipitkan matanya yang walau
tak sengaja disipit-sipitkan pun sudah nyaris tak terlihat. Aku meliriknya lalu
membuang pandanganku ke arah lain. “kau pikir kau boleh keluar begitu saja?”
ucapnya.
“ayolah! Sebagai teman yang baik seharusnya kalian mengerti
situasiku saat ini. Aku sudah membatalkan kontrak iklanku demi Yoo Hyun dan
saat selangkah lagi aku bisa menemuinya kalian malah menghalangiku. Wae?”
“teman yang baik tak akan membiarkanmu melakukan hal
bodoh……………………… sendirian!”
TBC
Eotte?
Eum…. Part 9? Berarti panjang bgt ya? Sejujurnya aku juga ngebut
bikinnya! Aku g mau keteteran. Apalagi dihari ultah gebetan tercinta *tunjuk
Chunji*. HAPPY BIRTHDAY FOR MY HANDSOME BOY. WISH YOU ALL THE BEST KANG
MASSS!!!! *capslock ketindih Ddangkoma*
Kamsahae^_^
Comments
Post a Comment