Hatred
cast :
- YOU/OC
- EXO members (not to be EXO)
Author : Hana (GIGS' Junior)
"Kau fikir apa yang kau lakukan selama ini!?"
"Bisa diam tidak!? Kau ini berisik sekali! Sudahlah aku...
lelah! Uhuk jangan mengganggu... ku!"
"Mabuk-mabukan dan berselingkuh! Kau fikir kau tidak memiliki
keluarga!?"
"Diam kau! Jangan pernah kau mengungkit masalah itu
lagi!"
DUGH!
Suara bantal yang dilemparkan kearah dinding secara bertubi-tubi.
Sosok itu meringkuk di atas ranjangnya. Menghadap dinding putih di samping
ranjangnya. Menutup kedua telinganya rapat-rapat seraya menenggelamkan wajahnya.
Tubuhnya bergetar setiap suara-suara keributan yang berasal dari
luar ruangan itu melewati indera pendengarannya.
Ruangan itu tampak gelap. Hanya seberkas cahaya yang masuk melalui
jendela kecil di atap ruangan berbentuk segitiga itu.
Ranjang putih yang tak terlalu besar dipojok ruangan. Lemari kayu
besar disisi kanan ruangan. Dan meja belajar disisi utara tepat di samping
ranjang.
Terdapat lampu bercahaya remang-remang yang tergantung di
langit-langit ruangan.
Beberapa kardus yang bertumpuk dan sebuah lemari kecil disisi lain
yang menghiasi ruangan teratas dalam rumah tersebut. Tepatnya ruangan di bawah
atap.
Ruangan bernama kamar pribadi yang pijakannya terbuat dari kayu.
Keadaannya memang cukup sunyi ketika sudah tak terdengar lagi
keributan di luar-lebih tepatnya dibawah- kamar itu. Namun kesunyian itu tak
bertahan lama karena suara pecahan kaca yang mulai menggantikan perdebatan yang
lalu.
Sosok yang meringkuk diatas ranjangnya mulai bangkit dengan tangan
terkepal yang tetap menutupi kedua telinganya. Ia berlari menuruni anak tangga
di dalam kamar-dibawah atap- dan bergegas keluar dari ruangan itu. Berlari
meninggalkan rumah di malam yang terbilang larut tanpa menghiraukan
keributan-keributan di dalam rumahnya.
"Akh..."
Ia meringis tertahan begitu merasakan sesuatu menabrak tubuhnya.
Ia menilik melalui sudut matanya, dan ia mengenal siapa orang yang telah
menabrak ataupun ditabraknya.
"Hei! Kalau... jalan lihat-lihat! Tak ah~ uhuk lihatkah aku
sedang berjalan? Uh~ menyebalkan sekali."
"Pemabuk."
Ia segera berlari melewati orang yang disebutnya pemabuk. Masa
bodoh ia dengan makian pemabuk itu karena sudah menabraknya-si pemabuk. Ia tak
perduli jika si pemabuk akan memukulnya jika sudah tersadar nanti.
Ia menghentikan langkahnya tepat di hadapan sebuah ayunan.
Tepatnya di sebuah taman.
Ia melangkah sedikit lebih maju untuk dapat menempati ayunan
tersebut. Duduk di sana dengan sedikit menggerak-gerakan ayunannya. Menunduk
hingga rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya.
Setetes air mata turun melewati pipi putih kemerahannya. Namun ia
segera menyekanya. Sudah lelah ia menyia-nyiakan air matanya.
"Lebih baik aku mati atau kalian yang akan mati."
Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°
"Aku tak menginginkan semua ini! Jadi biarkan aku melakukan
apapun yang aku mau!"
"Baik jika itu yang kau mau. Pergi! Silahkan pergi! Kalau
perlu jangan pernah kau kembali ke rumah ini! Pergi saja dengan lelaki brengsek
itu!"
"Brengsek? Kau fikir kau lebih baik darinya?!"
Ia tak perduli dengan keributan yang terjadi di dalam rumahnya. Ia
hanya ingin beristirahat. Setidaknya sehari saja ia ingin rumahnya tidak ada
keributan.
Ia melangkah dengan cepat kembali ke kamarnya. Melempar tas
sekolahnya kesembarang tempat dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang putih
seraya menutup kedua telinganya dengan bantal.
"Ku harap mereka semua mati."
Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°
BRAK!
Suara pintu yang terbanting dengan keras itu cukup mengejutkannya.
Ia lantas merubah posisi tidurnya menjadi terduduk di atas ranjang putihnya.
"Hey buatkan aku makanan! Cepat!"
Ia tak bergeming. Hanya menatap datar pada sesosok lelaki di
pinggir tangga kamarnya.
"Kenapa diam?! Kau ingin ku hajar lagi?!"
"Aku tidak mau."
Ia kembali memfokuskan pengelihatannya pada buku di tangannya.
"Adik ku tersayang. Aku bilang aku lapar dan cepat buatkan
aku makanan! Sekarang!"
"Masih mengingat adik mu rupanya. Ku fikir pemabuk yang telah
sekian lama acuh dan hanya menyakiti adiknya sebagai pelampiasan, sepertimu tak
pernah menganggap keberadaan seorang adik." Ucapnya sarkastik.
"Omong kosong! Sekarang cepat buatkan aku makanan sebelum
kesabaranku akan benar-benar habis!"
"Sudah ku katakan aku tidak mau!"
Rahangnya terlihat mengeras. Lelaki itu mendekat ke sisi ranjang
dengan pandangan tajam.
"Akh..."
Rintihan kecil lolos dari mulutnya begitu ia merasakan sakit pada
kulit kepalanya.
"Cepat buatkan aku makanan atau aku akan benar-benar
menghajarmu!" Lelaki itu kembali mengancamnya dengan terus menjambak
rambutnya.
"Aku tidak mau karena aku bukan budakmu brengsek!"
Ia melawan. Menendang bagian tersensitif lelaki itu. Cukup ampuh
hingga lelaki itu melepaskan cengkraman pada helaian rambutnya. Hal itu ia
gunakan dengan baik untuk kabur. Berlari meninggalkan kamarnya dan acuh
terhadap makian yang dilontarkan lelaki itu.
Pintu rumah itu sudah hampir berhasil ia capai jika saja sebuah
tarikan tak menghalangi laju geraknya.
"Menjauh atau gadis ini ku bunuh!"
Ia mendengar itu tepat di telinganya. Dadanya sesak, nafasnya
tercekat, sesuatu mengganjal lehernya. Di hadapannya terlihat seorang lelaki
hampir paruh baya yang menatapnya awas. Dan lelaki pemabuk yang berdiri tak
jauh dari lelaki paruh baya itu yang tengah menatapnya penuh amarah.
"Baiklah. Tapi jangan kau bunuh dia. Bagaimanapun juga ia
anakmu." Suara lelaki paruh baya itu merendah.
"Anakku? Aku tak pernah menginginkannya untuk terlahir ke
dunia yang keras ini!"
Bagaikan ribuan belati menancap di jantungnya. Ini kali pertamanya
kata-kata penuh kebencian itu ia dengar.
"Akan lebih baik jika ia mati agar ia tak menyusahkan kita
lagi? Benarkan? Hahaha."
Ia membelalakan matanya, bibirnya bergetar kala mencoba untuk
mencerna maksud dari ucapan itu.
"Kau benar-benar gila! Cepat lepaskan dia!"
Kehabisan kata-kata ketika rasa tajam sedikit mengenai kulit
lehernya. Ia memejamkan matanya.
"I...ibu... kumohon... lep-lepaskan ah-ku...ā
Suaranya terdengar parau dan nyaris tak terdengar. Wanita yang
disebutnya ibu bahkan mengacuhkan permohonannya. Ia menilik melalui sudut
matanya untuk melihat benda tajam apa yang menyentuh lehernya. Itu bagian
teruncing dari botol alkohol yang pecah.
"I-ibu... kumohon..."
Rasanya begitu cepat ketika lelaki paruh baya yang dikenalnya
dengan sebutan ayah mendekat lalu melemparkan botol kaca yang telah pecah itu
dari tangan wanita dibelakangnya-ibunya yang menahannya.
Ketika lengan wanita itu terlepas dari lehernya, ia tak
memperdulikan lagi apa yang akan selanjutnya terjadi. Ia hanya ingin
meninggalkan tempat itu dan menjauh dari keluarganya-sungguh ia sudah tak ingin
menganggap mereka sebagai keluarganya.
Namun ketika lelaki pemabuk yang menjadi kakaknya tak gentar
dengan perlawanan yang ia berikan tadi kini mulai mengejarnya.
Rumahnya terletak di pedesaan dan bukanlah di kota, siang ataupun
malam kawasan itu akan menjadi tempat mati karena kesunyiannya yang terbilang
tinggi. Pedesaan dengan banyak perkebunan dan hutan.
Ia berlari tak tentu arah demi menyelamatkan diri dari kejaran
lelaki pemabuk itu. Ia tak sadar kini dirinya mulai memasuki kawasan hutan di
tempat tinggalnya.
Lelaki pemabuk itu tak akan melepaskannya. Sepertinya amarah
lelaki itu sudah sampai pada puncaknya hingga ia-lelaki itu- akan tetap
mengejarnya dan melampiaskan amarahnya.
Rerumputan liar dan ranting-ranting itu cukup mengganggu laju
geraknya. Ia mendapat goresan dan luka-luka di sekujur tubuhnya hanya karena
ranting dan batu.
Semakin dalam, hutan itu akan semakin gelap dan sunyi. Sesuatu
mengganjal ketika ia tak mendengar lagi suara hentakan yang mengikutinya atau
teriakan-teriakan si pemabuk. Ia berhenti untuk menormalkan jantungnya yang
berpacu dengan tempo sangat cepat. Ia meraup oksigen sebanyak mungkin untuk
paru-parunya yang terasa sesak. Peluh disekujur tubuhnya dan pening pada
pelipisnya.
Ia melirik sekelilingnya. Hutan. Siang yang berganti menjadi
senja, sinar matahari yang masuk melalui celah dedaunan dari pohon-pohon tua
nan tinggi semakin sedikit, itu akan menambah kegelapan dalam hutan.
Hutan. Kau tahu kan? Gelap, sunyi, pohon tua dan besar, juga
binatang buas. Ini sama menyeramkannya dengan ketika lelaki itu ataupun ibunya
ingin membunuhnya.
Angin berhembus lembut menggerakan daun-daun disekelilingnya. Rasa
sakit akibat luka-luka di sekujur tubuhnya mungkin sudah tak terasa karena kini
bulu kuduknya mulai meremang diikuti perasaan takut yang membuncah pada
hatinya.
Ia bahkan tak tahu hutan apa ini. Ia pun tak mengingat bagaimana
ia dapat mencapai tempat terdalam dari hutan ini. Dan kemungkinan untuknya tahu
kemana seharusnya ia kembali sangat tidak mungkin.
Kekhawatirannya semakin kentara begitu suara dedaunan yang saling
bergesekan. Seperti sreek sreek. Atau
bayangan-bayangan yang berpindah dari satu pohon ke pohon lain, dan dari satu
semak ke semak yang lain.
Ia berjalan mundur dan tetap mengawasi keadaan di hadapannya demi
berjaga-jaga jika saja muncul seekor binatang buas.
Lolongan serigala terdengar dari arah belakangnya. Tepat ketika ia
berbalik, seekor serigala putih dengan mata biru muncul dan itu membuatnya
memekik.
Ia berlari untuk menyelamatkan diri, namun serigala pun
mengejarnya.
"Jika
kini waktunya untuk ku mati, aku ikhlas."
Sialnya ia terjatuh dan itu memudahkan serigala berbulu putih itu
untuk mendekatinya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat dan tubuhnya bergetar.
"Kau tak perlu takut karena aku tak akan memakan mu."
Sebuah suara, anehnya disana hanya ada dirinya dan serigala itu.
Atau itu hanya halusinasinya.
Ia memberanikan diri untuk melirik siapa yang tengah berbicara.
Hingga ia menemukan sesosok lelaki tengah menatapnya tajam.
Ia terlonjak dan sedikit membuatnya mundur. Ia melirik
sekelilingnya dan tak mendapati serigala itu lagi. Sedikit untuknya bernafas
lega.
Ia melirik lelaki di hadapannya dengan pandangan awas. "Kau
siapa?"
"Aku? Aku serigala." Lelaki itu menatapnya datar. Konyol
akan jawabannya, ia mendengus dan menatap tajam pada lelaki itu.
"Jangan membual. Ini hutan. Dan itu sangat tidak lucu."
"Aku tak membual. Terserah pada mu jika kau tak
mempercayainya..." Sedetik kemudian lelaki itu berubah menjadi serigala.
"Oh Tuhan! Apa-apaan kau!? Jangan mendekat!"
Ia kembali mundur dan membelalakan matanya. Ini terlalu gila
untuknya.
Serigala itu kembali berubah menjadi perwujudan seorang lelaki
hanya dengan sepersekian detik.
"Kau siluman!"
"Tidak dapat dikatakan siluman seutuhnya. Yang jelas aku
adalah serigala yang dapat berubah menjadi manusia. Kau tahu werewolves?"
"Kau tidak sendiri?"
"Tentu. Masih banyak werewolves di hutan ini. Ku rasa kau
harus tahu namaku. Baiklah, Luhan."
Lelaki itu mengulurkan tangannya dengan senyum ramah. Namun ia tak
kunjung membalas jabatan tangan Luhan.
"Kau tak perlu takut. Aku tidak akan memakan mu."
"___ (nama mu)" Ia membalas jabatan tangan Luhan dengan
sedikit hati-hati.
Satu yang ia fikirkan, hidupnya yang gila atau fikirannya yang
sudah melantur keberbagai arah.
"Aku tahu apa yang tengah terjadi dengan mu."
Ucapan Luhan cukup membuatnya mengernyitkan dahinya.
"Kau berlari demi menyelamatkan diri mu dari kejaran kakak mu
bukan?"
Ia mengangguk. "Dan kau. Untuk apa kau disini dan menunjukkan
dirimu kepadaku? Jangan katakan kau marah karena aku telah mengusik hutan
ini."
"Tidak. Aku hanya ingin menawarkan bantuan pada mu."
Kembali ia dibuat tak mengerti dengan ucapan Luhan.
"Jarang sekali hutan ini dikunjungi oleh manusia. Setidaknya
ketika manusia memasuki hutan ini, mereka pasti selalu dikelilingi masalah. Ya
seperti mu. Kami bosan melihat cara mereka melampiaskan masalahnya atau
mengakhiri hidupnya. Sesekali kami ingin membantu mereka. Lucu bukan?"
"Kau membenci mereka? Maksud ku keluarga mu bukan? Dan kau
ingin mereka mati?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Setidaknya kami para werewolves dapat membaca fikiran
manusia."
"Sial." Umpatnya.
Luhan terkekeh. Tentu Luhan tahu apa yang ada difikirannya.
"Aku menawarkan bantuan padamu? Kau mau?"
Pertanyaan Luhan cukup membuatnya terdiam. Ia memang ingin
keluarganya mati. Tapi membunuh keluarganya, apa ia sanggup?
"Silahkan memikirkannya lagi. Agar kau tak menyesal
nanti."
Luhan bangkit, berjalan lurus memunggunginya. Ia tetap terduduk
dan kembali merenungi ucapan Luhan.
"Anakku?
Aku bahkan tak menginginkannya terlahir ke dunia yang keras ini!"
"Akan
lebih baik jika ia mati agar ia tak menyusahkan kita lagi bukan? Benarkan?
Hahaha."
"Cepat
lakukan atau aku akan menghajarmu!"
"Lebih
baik kau diam saja. Pergi sana dan jangan ganggu ayah!"
Bagaikan pemutaran kaset film pada bioskop. Semuanya kembali
teringat dalam fikirannya.
"Jika kau tak sanggup membunuh mereka, aku bisa melakukannya
untuk mu."
Ucapan Luhan membuyarkan lamunannya. Luhan mendekat dan menatapnya
intens.
"Kau sudah memikirkannya?"
Ia mengangguk, sedikit ragu.
"Cukup sulit jika hanya aku sendiri yang melakukannya. Mereka
pasti berada di tempat yang berbeda-beda."
Kembali terdengar suara dedaunan yang saling bergesekan. Dan dua
ekor serigala berbulu putih dan bermata biru yang menyerupai serigala Luhan
muncul dari balik semak-semak. Mereka mendekat, dan juga merubah wujud mereka.
"Ini Kai dan yang satunya Sehun. Mereka keluargaku. Dan
mereka dapat membantu mu juga."
"___(namamu)"
"Jadi bagaimana? Kau yakin dengan pilihanmu?"
Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°Ā°
Ia berjalan dengan pandangan kosong. Pakaiannya terlihat lusuh
dengan banyak goresan di tubuhnya. Ia mencapai kawasan tempat tinggalnya dan
berhasil keluar dari hutan dengan bantuan Luhan, Kai, juga Sehun.
Suara sirine mobil polisi dan ambulance samar-samar mulai
terdengar ketika ia mulai mencapai rumahnya.
Dari kejauhan ia melihat banyak polisi dan petugas rumah sakit
yang hilir mudik memasuki rumahnya. Banyak penduduk yang telah berkerumun di
sekeliling garis kuning polisi.
Ia berlari, perasaannya mulai kacau. Ia menerobos memasuki
penjagaan polisi. Matanya membelalak begitu satu persatu tubuh mulai dimasukan
kedalan ambulance.
"Tunggu!"
Ia memekik dan mulai mendekati salah satu tubuh yang hendak
dimasukan kedalam ambulance.
"Boleh saya melihatnya?" Petugas rumah sakit itu
membiarkannya.
Ia membuka pengait yang mengaitkan penutup tubuh itu.
Matanya membelalak. Tangannya menutup mulutnya. Disana lelaki
paruh baya yang di panggilnya ayah. Terbujur kaku dengan sebagian tangannya
yang tidak utuh dan beberapa bekas tusukan di sekujur tubuhnya.
Ia mundur perlahan. Menjauhi para petugas dan polisi yang kembali
melanjutkan pekerjaan mereka.
"Nona ___(namamu), kau harus sabar." Seorang wanita
renta berusia sekitar 60-70 tahun menepuk bahunya, dan ia tetap tak bergeming.
"Ini aneh. Bagaimana bisa mereka terbunuh dalam waktu yang
sama?"
"Ku dengar belum diketahui motif dari pembunuhan ini. Bahkan
siapa yang membunuh pun belum diketahui."
"Sepertinya tidak ada sedikitpun jejak dari si pembunuh yang
ditemukan."
Bisik-bisik riuh dari penduduk menyadarkannya pada satu hal. Luhan
dan kedua saudaranya, Kai dan Sehun.
Ia berlari meninggalkan rumahnya untuk mencari Luhan, Kai, juga
Sehun.
Secepat
itukah mereka?
Setelah
membantuku keluar dari hutan?
Langkahnya terhenti begitu ia melihat tiga sosok di sudut sebuah
bangunan tua. Disana Luhan berdiri menatapnya, dan Kai juga Sehun di
belakangnya.
"Ku harap kau tidak menyesal dengan pilihan mu untuk
menginginkan mereka mati karena aku sudah memberikan mu pilihan dan waktu untuk
memikirkannya."
E N D
Comments
Post a Comment