Fiction




Main Cast = Bae Suji, Lee Kiseop
Genre = Fantasy
Length = One shoot
Author = Salsa

16:07 KST
High School
Suzy POV




Menjadi siapa kau di dunia ini bukanlah sesuatu yang bisa direncanakan. Kau tak bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Dan seburuk apapun itu, kau tak bisa menghindarinya. Terlahir di tengah-tengah keluarga pembunuh juga bukan keinginanku. Tapi kenapa aku harus dihukum karena itu?


Dengan lesu, aku bangkit dari kursiku. Kelas sudah kosong sejak tadi. Jelas, sekolah kami memang usai pukul 3 sore. Dan sekarang, jarum pendek jam di atas papan tulis sudah menunjuk angka 6.


Aku memakai ranselku dan berjalan tanpa tenaga ke luar. Berdiam diri di kelas seperti ini memang sudah menjadi kebiasaanku. Biasanya aku akan terlelap di meja, mendengarkan musik, atau mengerjakan tugas. Sejujurnya ini hanya caraku untuk memperpendek waktu berada di rumah. Aku benci berada disana. Aku hanya tinggal dengan paman tak berguna dan seorang kakak laki-laki yang pemabuk. Ayahku dipenjara sejak 5 tahun yang lalu karena membunuh atasannya, sedangkan eomma meninggal saat melahirkanku.


Langkahku terhenti tepat di pinggir lapangan. Hujan masih berkuasa di atas langit. Aku tak membawa payung. Dan rasanya menerobos hujan bukanlah ide yang bagus untuk sekarang. Ayolah, jika seragamku basah, besok aku pakai apa?


Sambil membuang napas pasrah, aku mundur dan bersandar di dinding. Hanya berdiri dan menatap langit yang semakin kelam.


Tiba-tiba saja sebuah kaleng soda menggelinding dan membentur ujung sepatuku. Aku menatapnya heran, lantas membungkuk dan memungut benda itu.


“hujan adalah anugrah terbaik di atas bumi” ucap seorang pria yang entah bagaimana sudah berdiri di sampingku. Tubuhku terlonjak, membuat kaleng soda yang kugenggam kembali jatuh. Pria itu menoleh padaku dan tersenyum, lantas mengambil kaleng yang kujatuhkan.


“kau memang harus terkejut saat melihatku. Tapi tidak baik membuang-buang makanan. Ara?” aku tak dapat mendengar perkataannya dan terus menatap namja itu dengan waspada. Pria ini datang dari mana? Sejak kapan? Kenapa tiba-tiba sekali? dia mau apa?


“oh.. aku Lee Kiseop” pria itu mengulurkan tangan. Bukannya menyambut, aku malah diam. Malah menatap tangan dan wajahnya bergantian. Dia pasti sudah mengenalku, dia pasti sudah mengenal Bae Suji si anak pembunuh.


Karena tak kunjung mendapat respon, pria itu kembali menurunkan tangannya. “sepertinya kau sangat terganggu dengan kehadiranku” ucapnya sambil mengusap tengkuknya pelan.


“Baiklah, aku pergi”
“changkaman!” pria itu langsung berbalik dan menatapku dengan senyum merekah.
“wae? kau mau memberitahu namamu?”
“kau sungguh tak mengenalku?”
“apa? jadi kau terkenal? kau itu artis? Penyanyi? Pemain drama?” serunya antusias. Aku menaikkan sebelah alisku, menatapnya tak habis pikir.


Kau pasti tidak sekolah disini. Aku membenarkan pikiranku sendiri dalam hati. Jika dia bersekolah disini, tak mungkin dia tidak mengenalku. Lagipula, saat ini dia tidak mengenakan seragam, melainkan kaos biru electric berlengan pendek, Jeans, dan headphone putih polos yang menggantung dilehernya.


“Aku Bae Suzy” dan inilah kali pertama aku memperkenalkan diri di hadapan seseorang.
“Suzy~aa…….. boleh kan kupanggil begitu?” Walaupun kedengaran aneh, aku tetap memaksakan kepalaku mengangguk. Ia lalu meraih pergelangan tanganku dan membawaku pergi begitu saja. Aku tak dapat menolak, terlebih memberi perlawanan. Ia menuntunku menaiki tangga, menyeretku berlari di koridor lantai 3, lalu memasuki ruang olahraga.


“apa yang kau lakukan? Kenapa membawaku kesini?” ucapku saat namja itu akhirnya melepas genggamannya.


“apa kau suka hujan?” tanyanya sambil membuka jendela.
“tidak”
“tidak? tak mungkin ada manusia yang tidak menyukai hujan”
“tentu saja mungkin. Dan itu aku” jawabku tak acuh.
“tunggu sampai kau melihat ini” ujar Kiseop. Ia lalu keluar lewat jendela dan berdiri di tembok mendatar selebar 30 centi yang biasanya digunakan untuk meletakkan pot-pot bunga. Aku langsung menjatuhkan tasku dan menghampirinya dengan panik. Apa-apaan dia? Bagaimana kalau jatuh?


Takut pria ini bertindak nekat, secara refleks aku memegangi tangannya. “YAA!!! BERHENTI! Kau mau mati huh?”


“tenanglah......... coba lihat ini!” ujar Kiseop. Sebelah tangannya ia ulurkan ke depan, membuat deraian hujan dari langit bercipratan di telapak tangannya yang terbuka. Sementara sebelah tangannya yang lain berpegangan erat di penyangga jendela. Pelan-pelan ia mulai mencondongkan badannya ke depan.


“Kiseop-ssi! Josimhae” ia tertawa mendengar nada khawatirku. Lalu menganggukan kepalanya sambil tersenyum. “tenang saja”


Langit berubah senja, angin tenggara bertiup dengan lembut, namun hujan masih belum bersedia untuk berhenti. Wajah Kiseop terlihat sangat bercahaya karena tersinari oleh cahaya jingga matahari tenggelam. Tiupan angin mengenai wajahnya, membuat rambut pria itu menjadi acak-acakan. Well….. actually he looks gorgeous with that hairstyle.

Dia tersenyum, oh..  tidak, bahkan ia terus berseru dan tertawa seperti orang gila. Seolah angin dan hujan adalah hal paling menyenangkan di dunia. Melihatnya yang terus-menerus berteriak, tanpa disadari sudut bibirku tertarik. Bae Suji yang menyedihkan dan tak  pernah tersenyum kini bisa menarik bibirnya semudah ini hanya karena seorang pria asing yang berdiri di jendela dan tertawa-tawa bahagia karena hujan.


“sekarang giliranmu” tiba-tiba saja namja itu menoleh.
“mwo? Aku? ti…tidak! aku tidak mau”
“ayolah…” ujarnya sambil melompat turun dan menatapku dengan tatapan memohon.
Aku masih kekeh menggeleng untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya……… “ah.. baiklah” mengalah juga. Tak mau seragamku basah, aku membuka jas sekolahku dan menggulung lengan kemeja yang kupakai sampai ke siku. Kiseop lalu meraih tanganku, membantuku naik ke tempat berpijaknya tadi.


“Ya Tuhan! Kiseop-ssi tidak! aku mau turun saja”
“tenangkan dirimu! Jangan lihat ke bawah” ia berbisik tepat di telingaku. Aku memejam ketakutan sambil menarik dan membuang napas berulang-ulang. Mengontrol kerja jantungku yang berpacu di luar batas. Tanganku mencengkram erat ke belakang. Demi Tuhan, ini sangat menyeramkan.


“ulurkan tanganmu ke depan. Rasakan hujannya”
“Tidak! aku tidak berani! Lagipula aku sudah tahu rasanya air itu seperti apa”
“tidak. Rasa air hujan lebih sejuk dari air biasanya. Air ini terjun langsung dari surga. Ulurkan tanganmu dan rasakan sensasinya sendiri” pelan-pelan Kiseop menggenggam tanganku dan mencoba melepaskan cengkraman eratku di bingkai jendela. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku, menahannya agar tidak jatuh.


Dengan gemetar aku mencoba mengulurkan kedua tangan ke depan. Dan bertepatan dengan itu, air hujan ramai-ramai berjatuhan menyentuh kulitku. Entah kenapa ada rasa senang yang bergejolak saat ini. Bau tanah basah berbaur dengan aroma hangat matahari tenggelam, membuat sensasi menyenangkan yang tak tergambar. Aku tersenyum, udara dingin yang sejuk menerbangkan rambutku. Ini gila! Aku tak tahu rasanya semenyenangkan ini. Seolah semua beban yang bertumpuk dan mengikat tubuhku terlepas dan jatuh bersama hujan. Hujan dari surga.


“eotte? Joha?”
“neomu neomu johaeyo” jawabku tak habis pikir.
“berteriaklah!”
“HYAAAAAAAA! Hahaha….. HUAAAAAAA…..haha Kiseop-ssi, kenapa kau menyuruhku berteriak? Dasar!! Hahaha” kami tertawa bersama. Aku tak benar-benar yakin dengan apa yang sebenarnya kami tertawakan. Aku hanya merasa bahagia, sangat bahagia. Aku merasa bebas, lepas, melayang, terbang dan segalanya.


Aku masih tersenyum cerah memandangi langit yang merona. Saat tiba-tiba saja namja itu meraih rambutku dan menyelipkannya di balik telinga.


“kau harus sering-sering tersenyum seperti ini” aku menoleh, membuat wajah kami berhadapan. “yeppeo”


Seketika tubuhku menjadi kaku dan kehilangan keseimbangan. Beruntung Kiseop menahanku dengan erat. “waeyo? Kau harus berhati-hati”


“aku mau turun!” jawabku tak fokus. Konsentrasiku buyar hanya karena kata ‘yeppeo’ yang terucap disaat matahari terbenam dari mulut seorang pria yang tiba-tiba terlihat tampan. Oh… oke! kedengarannya terlalu berlebihan. Baik, lupakan! Ia lalu membantuku turun dari sana. Langit sudah sepenuhnya gelap, tapi hujan belum juga berhenti. Kiseop menutup jendelanya kembali, sedangkan aku menyalakan lampu ruang olahraga.


Untuk sesaat yang terasa seperti setahun, aku dan Kiseop berdiam diri di ruangan itu. Tak ada yang kami lakukan. Hanya diam menunggu hujan. Aku menoleh kearah Kiseop, namja itu tengah menyandarkan kepalanya di tembok sembari mendengarkan musik lewat headphone.


“apa yang kau dengar?” namja itu menoleh padaku.
“kau mau mendengarnya?” aku tak menjawab, hanya balik menatapnya tanpa bicara.
“ini lagu favoritku seumur hidup” ujarnya lagi. Lalu tanpa aba-aba, ia memasangkan headphone itu di telingaku. Dan saat itu, saat alunan nada dari headphone-nya mengalir di telingaku, aku merasa tersengat dan merinding. Aku menoleh kearah Kiseop yang sedang tersenyum, menatapnya tak habis pikir. Dari mana asal melodi-melodi ini? demi Tuhan, ini adalah rangkaian nada paling magis, paling tak biasa, paling gila yang pernah kudengar. Inilah saat dimana dadaku terasa tenang, tapi di sisi lain adrenalinku naik hingga jantungku berdegup cepat. Tak ada suara yang menghentak, hanya gesekan biola dengan nada yang menakjubkan. Dan…


“sudah cukup mendengarnya” aku merasa sangat tidak rela saat pria itu menarik headphone-nya kembali.


“lagu siapa itu?”
“rahasia”
“ayolah…… beritahu aku judulnya”
“ini lagu dari surga. Judulnya ‘symphony of heaven’”
“oh.. benar! Kau dan khayalanmu tentang surga” dengusku. Kiseop tertawa pelan, lalu memakai headphone-nya kembali. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya dan menatap lurus ke jendela. Sampai kapan hujan akan turun? Aku memeluk jas sekolahku dan memejamkan mata.



19:36 KST
Author POV



Suzy tertidur, kepala gadis itu jatuh ke bahu namja disampingnya. Hujan telah berhenti, hanya rintik-rintik tipis yang tak akan membuat orang yang menerobosnya basah kuyup. Namja itu mengangkat tubuh Suzy. Menggendong dan membawa gadis itu di punggungnya.


“Kiseop-Ssi! Kau mau membawaku kemana?” ucap Suzy setengah sadar. Dan tak ada jawaban.



Suzy POV



Saat aku terbangun, aku sudah berada di kamarku. Aku mencoba mengingat-ingat kejadian semalam, tapi ingatanku berakhir disaat Kiseop menggendongku pulang. Itupun tidak begitu jelas. Tapi tunggu! Bagaimana dia tahu alamat rumahku?


Setelah rapi dalam balutan seragam sekolah, aku keluar kamar dan berjalan begitu saja melewati paman dan kakakku di ruang tengah. “ei.. Suzy~aa……. Changkaman!” aku meringis dan menoleh pada pria itu. “semalam kenapa kau tidur di luar?”


“tidur di luar?” ulangku kaget.
“ne.. padahal aku sengaja tak menguncinya. Kenapa kau tidak masuk?” keningku berkerut. Benarkah? Jadi Kiseop meninggalkanku di luar? Apa dia sebegitu malunya untuk mengetuk pintu? Atau setidaknya bangunkan aku jika sudah sampai! Aish…. Pria itu!



…………………………………………..



Hari demi hari berlalu. Dan dalam kurun waktu 2 minggu ini, aku dan Kiseop selalu bertemu setiap pulang sekolah. Ya.. disaat aku tertidur di kelas, sedang sendirian di perpustakaan, atau saat hendak pulang, ia selalu muncul di hadapanku, entah bagaimana. Dan sekarang pun begitu.


“hai” sapaan itu terdengar lagi, kontan aku mendongak, tersenyum saat mendapati Kiseop tengah duduk di kursi di depanku. Dia memang sudah sering sekali muncul tiba-tiba begini. Saking seringnya, bahkan aku sampai tak bisa merasa terkejut lagi.


“PR apalagi sekarang?”
“Fisika” jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari buku catatan.
“butuh bantuan?”
“memangnya kau bisa?”
“ei.. geuraeyo! Jangan meragukan kemampuanku” aku langsung membalik buku tugasku menghadapnya. “kau mengerti soal yang ini?” Kiseop tersenyum, merebut pulpen di tanganku lalu menuliskan jawabannya dengan ekspresi seolah hanya orang autis yang tak bisa mengerjakannya.


“sekarang tutup bukumu! Ayo kita bermain di luar”
“bermain?”
“kau tak mau bermain? Kalau begitu bagaimana dengan jalan-jalan?”
“kemana?”
“kemanapun yang kau mau”
“bagaimana kalau ke rumahmu?”
“a.. apa?”
“jebal! Sudah 2 minggu dan aku masih merasa tidak mengenalmu”
“hmm…. Ah… ya.. baiklah……. kajja”



………………………………….



Kami sampai di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah Kiseop. Dia tinggal sendiri disini. Aku tak mungkin bertanya dimana orang tuanya  karena menurutku itu merupakan ruang pribadinya. Hawa rumahnya terasa sejuk, dengan pekarangan rumah yang tertata. Untuk ukuran seorang pria yang tinggal sendiri, Kiseop benar-benar namja yang sangat bersih.


“mau kubuatkan sesuatu?” tanya namja itu sambil memundurkan kursi kayu di depan meja makan, mempersilakanku duduk.


“boleh”
“sebentar!” Kiseop pergi dan menghilang di balik sekat dapur. Aku tersenyum sambil menatap ke luar jendela. Rasanya benar-benar damai. Sangat jauh berbeda dengan suasana kelam di rumahku. Rumah yang tak akan pernah kusebut rumah. Tiba-tiba saja Kiseop datang, ia membawa nampan berisi sepiring spaghetti dan dua buah minuman cola, lantas meletakkannya di meja dan mengambil posisi duduk berhadapan denganku.


“tidak apa-apa kan kalau kita makan dari piring yang sama?” tanyanya sambil mengusap tengkuknya pelan. Aku mengangguk, “gwaenchana” ucapku. Kemudian segera mengambil garpu di samping nampan dan mulai menggulung spaghetti-nya tanpa canggung. Melihatku mencuri start, Kiseop pun langsung ikut meraih garpunya. Tak mau kalah.


Hingga…… “teruslah begini”
“apa?”
“aku senang melihatmu tersenyum. Teruslah begini” ujarnya memperjelas. Dadaku terasa berat dan ringan disaat yang bersamaan. Kenapa dia bilang begitu? kenapa? Tolong Kiseop-ssi….. jangan buat aku salah paham.


“di sekolah pun kau sudah lebih sering tersenyum”
“kau memata-mataiku selama aku sekolah?”
“nilai ulangan harianmu semakin membaik, kau sudah mulai berani mengangkat tangan dan menjawab pertanyaan guru. Lalu kau juga sudah bisa tersenyum saat di kelas. Itu bagus! Kau tau? Aku senang melihatnya”  Namja itu memaparkan hasil pengamatannya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku menatapnya penasaran, sebenarnya kenapa dengan namja ini? kenapa dia bisa tahu segalanya sedetail itu tentangku?  Sebenarnya siapa dia?


Saat kepalaku tengah dipenuhi rasa heran, tiba-tiba saja Kiseop mengulurkan tangannya ke bibirku. Lantas mengusapnya pelan. Aku tertegun dan menatapnya dengan mata membulat. Jantungku berhenti. Pria itu tersenyum, lalu kembali meraih garpunya dan melanjutkan makan. Semudah itu? Kau baru saja membuat jantungku berhenti dan setelahnya kau malah melanjutkan makan dengan begitu tenang? Jinjja!



……………



Lagi. Minggu berikutnya berlalu tanpa permisi. Kehidupanku di sekolah mengalami kemajuan pesat. Orang-orang tak lagi memanggilku ‘si anak pembunuh’ dan mulai menyapaku dengan sebutan ‘Suzy’. Bangku disebelahku yang biasanya selalu kosong kini mulai ditempati. Perlahan-lahan aku mulai memiliki teman. Aku belajar caranya bersosialisasi dan bangkit dari keterpurukan. Oke… Mari sebut ini semua sebagai ‘keajaiban’. Entahlah….. hanya saja, prosesnya terlalu signfikan untuk disebut proses. 


Dan selama datangnya keajaiban itu, Kiseop selalu menjadi motivator terbesarku. Saat sedang belajar, ia sering datang seperti hantu dan menyemangatiku lewat jendela kelas. Pulang sekolah pun ia tak pernah absen menemaniku mengerjakan tugas. Atau jika sedang hujan, namja itu pasti akan menarikku ke ruang olahraga dan berdiri di tempat ‘menikmati hujan’ rahasianya. Berdiri tanpa penghalang di lantai tertinggi gedung sekolah.


“Kiseop-ssi! Jangan lepaskan aku…..YAA!!  jangan bercanda! Aku bisa jatuh”
Begitu pula hari ini. Pukul  5 sore, hujan dengan intensitas sedang turun dari langit yang cerah. Kiseop yang tadinya selalu memegangiku dengan erat kini malah mencoba menggodaku dengan melepaskan pegangannya.


“YAA!!! LEE KISEOP”
“Hahahaha…… arayo” dan akhirnya ia pun menyudahi permainannya dan kembali memegangiku.
“sampai kapan kau akan berdiri disitu?”
“sebentar lagi! aku benar-benar menyukai ini” jawabku sambil memandangi cipratan air di tanganku. Semakin sering dilakukan, menyentuh air hujan menjadi semakin menyenangkan.


“kau sangat menyukainya ya?”
“ne.. kurasa aku mulai jatuh cinta pada hujan. Neomu joha” seruku sambil tersenyum. Dan…
Seketika aku membeku di tempat. Kiseop tiba-tiba saja menyentuhkan bibirnya pelan ke pipiku. Dadaku terasa sesak, seolah ada sesuatu di dalam sana yang sedang berupaya membobolnya. Aku bisa merasakan degupan jantungku yang semakin tak terkontrol. “nado johaeyo” bisiknya membuat tubuhku makin kaku. Namja itu melingkarkan tangannya di pinggangku dan menyandarkan kepalanya di punggungku. “hal yang lebih kusuka dari hujan adalah senyummu. Kau tahu? aku suka melihatmu tersenyum” lanjutnya.


Untuk sesaat aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan kalau bisa pun, aku tak akan melakukan apa-apa. Aku menyukainya. Aku menyukai caranya menyentuhku. Aku menikmati rasa berdegup di dadaku. Aku menikmati setiap detik yang terlewat saat bersamanya. Aku tak mau ini berhenti, aku mau tetap begini. Setidaknya sedikit lebih lama dari yang seharusnya.


Keesokan harinya, untuk kali pertama sejak aku mengenalnya, Kiseop tidak datang.  Mungkin dia sibuk. Mungkin ada hal lain yang harus dia lakukan. Mungkin ini dan mungkin itu. Aku mencoba memunculkan semua prasangka baik untuk meredam rasa takutku. Ya.. Takut. Entah kenapa aku ketakutan saat tak melihatnya. Entah kenapa aku merasa separuh duniaku menghilang entah kemana.


Selama 3 hari, aku masih mencoba berpikir positif. Tapi setelah memasuki hari keempat dan namja itu masih tak datang, aku mulai panik dan tak bisa berpikir jernih.


Selain itu, keadaan semakin buruk karena ulah pamanku. Dia terlibat perkelahian hebat dengan anggota geng bermotor dan masuk rumah sakit. Seolah belum puas, Tuhan kembali membuat keadaan menjadi semakin buruk. Kali ini lewat kakakku. Selain pemabuk, baru-baru ini fakta baru terungkap, ternyata dia juga seorang pengguna narkoba. Aku tak kuat lagi. Semuanya diluar kendaliku. Aku merasa sangat tersiksa. Walaupun aku selalu bilang aku membenci oppa, tapi aku tak mau kehilangannya. Bagaimana kalau polisi tahu? Bagaimana kalau dia di penjara? Demi Tuhan, aku tak tahu lagi….


Aku menangis sesenggukan di dalam kamar. Merasa kesal, takut, marah, kesepian, tak berdaya dan semua yang buruk. Aku duduk di lantai dengan punggung yang bersandar di tembok dan kepala yang tenggelam diantara kedua lututku yang tertekuk. Isakanku terdengar lirih memenuhi kamar. Di luar, angin malam sedang berlomba membuat keributan. Bertiup kencang tanpa iringan hujan.


Lalu tiba-tiba saja,…. BRAAKKK~~~ WUUUSHHH……….. suara gebrakan kaca disusul oleh hembusan angin keras terdengar. Dan saat kepalaku terangkat, Kiseop tengah berdiri tepat dihadapanku. Aku menatap pria itu penuh keterkejutan. Kiseop menekuk kakinya, balik menatapku, dan tersenyum.


‘Tak apa! Menangislah……….. Bahkan langit pun terkadang juga menangis’

Semuanya benar-benar terasa seperti mimpi. Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya, aku tak tahu bagaimana bisa namja itu melompat ke kamarku, dan aku juga tak tahu kenapa aku tidak menanyakan apa-apa padanya. Yang jelas, sekarang, saat aku membuka mata kembali, aku tengah terbaring di ranjang dengan kepala terkompres.


Aku mengerjap. Dan hal pertama yang kulihat adalah wajah oppaku. “Suzy~aa……. Tidurlah! Ini masih jam 2 pagi”


“apa yang kau lakukan di kamarku?” tanyaku dingin.
“tadi aku mendengar kau bicara sendiri. Dan saat aku masuk ke kamarmu, yang kudapati justru kau tergeletak di lantai dalam keadaan menggigil hebat. Kau kenapa Suzy~a?” secara refleks aku menoleh ke arah jendela, yang ternyata sudah tertutup rapat di balik gorden.


“aku bicara dengan Kiseop”
“Kiseop?”
“ne.. dia pria yang mengantarku pulang waktu itu. Waktu kau bilang aku tertidur di luar rumah”
“changkaman! Bagaimana dia bisa masuk ke kamarmu?”
“lewat jendela”
“benarkah?” namja itu menoleh kearah jendela dan mengangkat sebelah alisnya. “demammu ternyata lebih tinggi dari yang kukira”


“kau memang tak pernah mempercayaiku”
“bukan begitu. Tapi seminggu yang lalu, aku dan paman memang sering mendapat telfon dari sekolah. Ia bilang penjaga sekolah sering melihatmu bicara sendiri di ruang olahraga, kau sering menaiki jendela lantai 3, berteriak-teriak sendiri dan berlarian di koridor sampai malam” aku terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng kuat-kuat, “tidak! aku bersama Kiseop”


“Kiseop lagi? tck….. Suzy~aa…….., Apa menurutmu………. Kau tidak sedang berkhayal?”
“APA?”
“Ah.. dwasseo! Sekarang kembalilah tidur” pria itu merapikan selimut yang kupakai dengan penuh perhatian, sementara aku lagi-lagi terdiam. Kali ini mencoba mencerna ucapannya. Tidak! kalau dia khayalan, tidak mungkin sejauh ini kan?


“kenapa kau tak datang menemuiku lagi akhir-akhir ini? aku mau bermain hujan bersamamu”
“akhir-akhir ini hujan tidak turun, Suzy~aa”
“Kalau begitu, jika hujan turun, kau harus mau bermain denganku” pria itu tersenyum, tidak mengangguk maupun menggeleng. Membuat rasa takut merayap di dadaku. Apa senyum itu artinya iya, Kiseop-ssi? Kenapa responmu begitu ambigu?


Bayangan itu berkelebat saat aku memejamkan mata. Suara air yang menetes di loteng terdengar samar, membuat mataku kembali terbuka. “apa sedang hujan?”


“ne.. hujannya sudah mulai reda. Tadi saat kau tidur hujannya deras sekali” setelah mendengar kalimat itu, aku menyibak selimutku dengan gerakan yang begitu tiba-tiba.


“hei… ada apa?”
“Kiseop” jawabku dengan mata membelalak. Dan setelahnya, tanpa berpikir apa-apa lagi, aku berlari ke luar. Oppaku berteriak dan mencoba menghalangiku meninggalkan rumah. Tapi untuk sekarang, tak akan ada satu pun yang dapat menahanku.


Setelah sampai di gerbang sekolah, aku tak dapat melakukan apapun. Pintu gerbangnya dikunci. Hujan mengguyurku hingga basah kuyup. Aku menoleh ke jendela ruang olahraga. Kacanya tertutup rapat dan lampunya padam. Jelas Kiseop tidak sedang berada disana. Selama beberapa saat, aku terdiam di depan gerbang. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemui pria itu di rumahnya.


Saat aku mencoba berlari, seseorang menahan tanganku. “Suzy~aa……. Apa yang kau lakukan?” teriak oppa yang ternyata mengikutiku.


“Kis…”
“Hentikan! Kiseop itu tidak ada! Dia hanya khayalanmu”
“Tidak! dia teman baikku! Dia ada”
“apa buktinya?”
“aku akan membawamu ke rumahnya! Sekarang!”


Kakiku terhenti. Aku tercengang dan tak dapat menemukan akal sehatku. Sebuah rumah yang kusinggahi beberapa minggu lalu kini menghilang dan berganti dengan semak belukar. Bagaimana bisa begini? Mana pekarangan yang tertata? Mana rumah sederhana yang sejuk itu? dan….. dimana Kiseop?


Hujan yang biasanya terasa segar kini terasa seperti es di kulitku. Oppa menatapku dengan tatapan khawatir, lantas mendekapku dengan erat. Aku benar-benar kehilangan kata. Ini tak masuk akal. Jadi…. selama ini…….. Lee Kiseop tak pernah ada? Benarkah? Dia hanya makhluk delusi hasil karyaku sendiri? Bagaimana mungkin?



……………………………………



Tak ada seorang pun yang akan mempercayai kisahku. Tidak, sebelum mereka mengalaminya sendiri. Bahkan sejujurnya aku yang jelas-jelas sudah mengalaminya pun masih sulit untuk percaya. Berbulan-bulan aku mencoba menganggap hal itu tak pernah ada. Tapi setiap itu pula bayangan Kiseop yang tengah tersenyum datang dan memenuhi kepalaku. Hingga sekarang, aku tak lagi punya alasan untuk tidak mempercayainya. Terkadang, jika sedang hujan, aku sering memandangi jendela ruang olahraga. Atau saat pulang sekolah, terkadang aku sengaja mengambil jalan memutar demi melihat rumah Kiseop yang sebenarnya tak pernah ada. Lalu, tulisan Kiseop di buku fisikaku. Setelah kulihat kembali, ternyata tulisan itu menghilang. Tidak! Mungkin sebenarnya rangkaian kata itu memang tak pernah ada sebelumnya.


2 bulan berlalu. Kehidupan yang lebih baik perlahan-lahan menghampiriku. Aku tak lagi dihina, mulai memiliki teman, mendapat nilai tinggi, masuk 10 besar kelas, dan banyak lagi. Selain itu, oppa juga sudah berjanji padaku untuk tidak mabuk dan memakai narkoba lagi. Dan terakhir, pamanku sembuh dan keluar dari rumah sakit. Perlahan, aku mulai merasakan apa sebenarnya arti rumah. Tempat dimana kau merasa aman, nyaman dan terlindungi. Terlebih aku juga sudah bisa merasakan betapa menyenangkannya berstatus sebagai pelajar SMA. Semua orang mulai menerimaku dan aku juga sudah mulai menerima orang-orang.


Hari ini, tepat pukul  5 sore. Aku masih di kelas, sibuk mengulang pelajaran tadi siang. Walaupun aku sudah bisa merasa nyaman di rumah, aku tetap tak bisa menghilangkan kebiasaanku yang satu ini. Tinggal di kelas sampai senja. Setelah kurasa cukup, aku menutup buku pelajaranku dan membuang napas berat. Tiba-tiba saja aku merindukan Kiseop. Benar, Ini salah….. Kiseop tak ada! Kiseop hanya khayalan……. Kiseop….. dia hanya………..


Tanpa sadar aku berdiri, napasku terengah dan mataku terasa panas. Kakiku membawaku berlarian menaiki tangga hingga ke lantai 3, lalu membuka pintu ruang olahraga dengan tangan gemetaran. Dan saat pintu itu terbuka, sebuah ruangan luas nan kosong terhampar. Aku melangkah masuk dengan napas tersengal, dan tanpa kusadari air mata mulai mengalir di pipiku. “Lee Kiseop” panggilku parau, namun tentu saja tak ada jawaban.


Semburat jingga di ufuk barat terlihat dari kaca jendela yang tertutup rapat. Mataku menerawang ke depan, tanpa fokus pasti. Lantas duduk bersandar di tembok dengan lutut yang ditekuk. Aku menenggelamkan kepalaku disana dan menangis terisak. “Bogoshipo… hiks…… Kiseop-ssi! Bogoshipoyo”


Tiba-tiba saja kedua telingaku tertekan oleh sesuatu, bersamaan dengan terdengarnya suara gesekan biola yang damai. Seseorang baru saja memasangkan headphone-nya di telingaku. Dan lagu dengan melodi paling magis yang pernah kudengar, lagu berjudul ‘symphony of heaven’ yang katanya berasal dari surga itu mengalun memenuhi kepalaku.


Seolah terhipnotis dengan nadanya yang luar biasa, aku bahkan sampai tak bergerak untuk sekedar memastikan keberadaan Kiseop di hadapanku. Aku masih tetap terdiam dengan kepala tertunduk di antara lutut sampai headphone itu kembali terangkat.


Aku hampir mendongak, namun….. “jangan! Jangan lihat aku! atau aku akan menghilang sekarang juga” seketika gerakanku terhenti. Ancamannya terlalu mengerikan. Tapi nyatanya fakta kalau suara Kiseop baru memasuki indra pendengaranku saja sudah cukup membuat bahagia.


“wae? aku merindukanmu”
“kenapa merindukanku? Aku selalu bersamamu”
“tidak. kau menghilang lama sekali. Bahkan rumahmu juga menghilang. Tulisanmu di bukuku menghilang juga. Kau bisa membuatku gila”


“kau tau? Aku ada karena kau yang menginginkanku ada…. Aku bagian darimu…… dan aku tak akan pernah menghilang”


“nyatanya sekarang aku bahkan tak diizinkan untuk melihatmu” aku semakin terisak. Dadaku terasa sakit dan air mataku jatuh tanpa dapat kukontrol lagi. “aku mau kita seperti dulu! Menyentuh hujan, berlarian di koridor, bermain bersama, dan……… dan aku janji akan tersenyum setiap hari Kiseop-ssi” namja itu terdiam lama sekali. Membuatku tergelitik untuk mendongak, namun…… sebelum aku sempat menggerakkan kepala, aku merasa tubuhku didekap. Membuat akal sehatku yang baru terkumpul kembali tercecer.


“aku ada karena kau percaya. Jika kau masih mempercayai kehadiranku, aku akan tetap ada” bisikan itu terdengar tepat di telingaku, membuat sekujur tubuhku merinding.


“aku percaya…… tapi kenapa kau malah menjauhiku sekarang?”
“karena sebentar lagi akan ada orang yang bisa membuatmu senyaman bila denganku. Dan kali ini Tuhan yang baik mengirimkanmu seorang manusia. Bukan makhluk sepertiku”


“apa?” secara spontan aku mendongak, dan seketika namja itu menghilang. Oh… baiklah! seharusnya aku tak boleh mendongak jika masih ingin bicara dengannya!



…………………………..



2 months later…..



Aku berdiri di halte bus yang padat di tengah-tengah kerumunan orang. Merasa sesak, aku beranjak mundur dan berdiri di tempat yang lebih lengang. Hujan yang turun sejak 15 menit terakhir ini sudah terlihat akan berhenti. Beberapa orang yang tadinya berlindung di bawah halte kini mulai pergi satu persatu. Bagus.


Sebuah kaleng soda tiba-tiba saja menggelinding dan membentur ujung sepatuku. Aku mengernyit, menatap benda itu sebentar lalu membungkuk mengambilnya.


“Hujan adalah anugrah terbaik di atas bumi” De javu. Mataku kontan membelalak. Dengan gerakan pelan, aku kembali menegakkan badan. Lantas menoleh. Seorang pria berseragam cokelat tengah mengulurkan tangannya ke depan sambil tersenyum cerah. Telapak tangan namja itu sudah basah karena hujan. Dia benar-benar mengingatkanku pada seseorang.


“Kiseop?”
“kau bicara denganku?” tiba-tiba saja namja itu menoleh dan menatapku heran.
“ah.. maksudku, ini milikmu?” tanyaku sambil mengangkat kaleng soda yang kugenggam. Namja itu menatapnya sebentar, lalu menggeleng.


“bukan”
“maaf….. boleh kutahu namamu?” oke.. mungkin ini terlalu cepat, tapi aku tak dapat menahan rasa penasaranku yang menggila. Ia memiringkan kepalanya, menatapku heran. Mungkin kaget melihat seorang gadis yang begitu agresif dan mengajak berkenalan dengan penuh percaya diri dalam waktu kurang dari satu menit.


“Alexander. Ah tidak! aku sudah kembali ke Korea, seharusnya aku punya nama Korea kan?” dia malah mengajakku bicara. Aku tak menanggapi. Sebenarnya apa yang sedang namja ini bicarakan?


“aku pindahan dari New York dan semua orang memanggilku Alexander disana….. aku belum punya nama Korea. Jadi, ya… untuk sekarang panggil saja aku begitu!” aku mengangguk paham, lalu mengalihkan perhatianku kembali ke depan.


“dan kau?”
“oh… namaku?”
“ne..”
“Suzy Bae” dan setelahnya, kami tak terlibat percakapan apapun selama kurang lebih 7 detik sampai….. “kau belum punya nama korea kan?” namja itu kembali menoleh padaku, mengerutkan kening.


“aku punya nama yang cocok denganmu,….. Mau dengar?”


END


Happy 2nd anniversary GIGSent^^ Aigoo….. udah dua tahun aja! Perasaan baru sekejap *lebeh* Semoga makin sukses blogkuh tercintaah! Bck to story~~~ Oh yeah.… aku bikin kopel baru nih:)!!!!! Akhirnya bs terlepas juga dr couple2 aku yg kemaren-_-


(Suzy-Kiseop) omo… random banget ya! As always ya.. dr 2 tahun yg lalu pun couple2 aku selalu asal. Dinikmatin aja ding! Oke?



Enjoy our fanfic parade guys!

Comments

Popular Posts