Suddenly Daddy (3rd story)



Sore itu, Hyejeong terpaksa ikut di mobil Henry. Gadis itu terus melihat ke jendela, sementara sang pengendara fokus menatap jalanan. Suasananya sungguh menegangkan. Danny yang duduk di jok tengah menatap dua orang dewasa di depannya dengan heran.


“henry, tumben sekali kau diam terus. Apa kau sakit?”
“anio. Aku memang sedang ingin diam”
“itu bagus” Danny mengangguk-angguk dan beralih menatap Hyejeong. “noona tinggal dimana?”
“tak jauh dari rumahmu” jawab gadis itu sambil menoleh dan tersenyum.
“jadi kita tetangga?”
“aku tinggal di perumahan yang berbeda. Sebut saja tetangga jauh”
“ehem…..” Henry berdehem, sontak membuatnya jadi objek perhatian. “kau akan ke rumahku dan membuatkan Danny makan malam, menyuruhnya mandi dan membantunya mengerjakan pr” hening. Semuanya masih belum bergerak dan hanya menatap Henry.


“setelah itu kau baru boleh pulang” tambahnya
“ne.. arasseo”
“soal bayaran…….”
“gwaenchana………. Sudah kubilang aku melakukannya demi Danny”


**********


Sesampainya di rumah, Henry langsung masuk ke kamarnya dan menjatuhkan diri di ranjang. Matanya memejam. “5 menit. Aku cuma akan menutup mata selama 5 menit” gumamnya sebelum……..


Tik… tok… tik… tok…


Suara samar jam yang berdetak menyapa sepasang kelopak mata yang mengerjap. Hal pertama yang ia  lihat adalah jam dinding berbentuk mobil balap yang melekat di dinding kamar. Jam 9 lewat 40 menit. Matanya langsung saja terbelalak. Secepat kilat tubuhnya bangkit, melesat keluar kamar. Dan yang ia dapati malah ruang tengah yang kosong. Ia memeriksa meja makan, satu set piring beserta segala makanannya sudah tersedia. Bahkan sudah dingin.


Mata Henry berputar lagi. Kali ini tatapannya berhenti di pintu kamar Danny yang tertutup rapat. Pelan-pelan ia membukanya, dan ternyata Danny bahkan sudah tertidur pulas. Segalanya tampak luar biasa rapi dan Hyejeong sepertinya sudah tak ada. Setelah sekian lama selalu hidup di rumah yang berantakan, melihat rumahnya rapi seperti ini justru malah terasa asing.


**********


Keesokan harinya, seperti biasa Henry mengantar Danny sekolah dan pergi kuliah. Ia berusaha mencari Hyejeong, namun gadis itu tak terlihat dimana-mana. Bahkan setelah ia pura-pura ke toilet untuk menjemput Danny di sekolahnya, Shin Hyejeong tetap tak ada. Aku tak tahu dia di jurusan apa! Kemana lagi aku harus mencari? Apa jangan-jangan hari ini dia libur? Tidak ke kampus, begitu? Tck…. Tapi aku ingin berterima kasih, aku juga ingin memastikan jadwalnya. Dia pergi begitu saja semalam. Harusnya aku meminta nomor handphonenya kemarin. Aish…. Pabo.



**********



Setelah merebut Danny dari teman-teman perempuannya yang semakin liar, mereka langsung berjalan menuju parkiran. Dan disanalah, seorang gadis yang sejak tadi dicari-cari tampak tengah menunggu dengan gelisah.


“kau…… disini?”
“ne.. bukankah aku harus ke rumahmu lagi hari ini? Atau kau sudah tak butuh bantuan menjaga Danny?”
“ani..ani… hanya…. Dari tadi aku mencarimu dan ternyata kau sudah….. disini”
“bisakah kita masuk sekarang?” Tanya Danny di tengah-tengah mereka.
“oh.. geurae”
“kurasa lebih baik kita mampir ke supermarket dan membeli bahan makanan” ucap Hyejeong sambil membuka pintu mobil.


“baiklah…. Kau atur saja semuanya”



**********



Seperti yang diminta Henry, Hyejeong benar-benar ‘mengatur semuanya’. Dari mulai apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dibeli, lama waktu mereka di supermarket dan total pengeluaran. Lebih dari itu, Hyejeong bahkan memegang dompetnya juga.



“ah jeongmal! Aku mau beli itu!” teriak Henry sambil menunjuk satu dus makanan ringan.
“anio!”
“YA! Kau bertingkah terlalu jauh! Itu uangku”
“kau bilang kau harus berhemat sampai-sampai tak bisa membayarku. Aku akan membantumu berhemat. Oh.. satu lagi, mau ini uangmu atau bukan, dompetnya tetap ada padaku. Jadi aku yang menentukan”


“noona.. aku mau ice cream”
“kalau kau dapat 100 saat ulangan, aku belikan”
“ulangan? Aku sedang tak ada ulangan”
“tak ada yang boleh membantah pemegang dompet, ara?” Hyejeong berjalan melewati kedua orang itu sambil mendorong troli berisi susu dan sayuran.


“huh! Dia benar-benar persis seperti eomma-mu” keluh Henry.
“dia jadi menyebalkan. Pasti gara-gara kau, Henry” mereka berdua saling melirik lalu mendengus bersamaan.


Acara belanja paling membosankan sedunia berakhir. Henry membawa semua belanjaan itu dengan lemas menuju mobil. Sementara Hyejeong dan Danny sudah duduk nyaman sambil berteriak-teriak menyuruh Henry lebih cepat. Mungkin dia sengaja mempermainkanku seperti ini sebagai balasan karena sudah bekerja tanpa dibayar.



**********


Hari itu tak jauh berbeda dari kemarin. Henry tertidur di kamarnya dan Hyejeong sibuk di luar. Memasak, mengurus Danny, membantu mengerjakan PR dan segalanya. Tapi ada satu hal yang berbeda. Malam itu, Henry keluar kamar sebelum Hyejeong pulang. Namja itu berdehem ringan, membuat Hyejeong yang sedang meletakkan piring-piring di meja makan menoleh.


“kau belum pulang?”
“sebentar lagi”
“Hyejeong-ssi, boleh aku minta nomor ponselmu?” Hyejeong terlihat berpikir selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan. Henry duduk berhadapan dengan Hyejeong yang kini tengah fokus mengelap sendok-sendok.


“aku sedang mencari ayah kandung Danny. Setelah aku menemukannya, aku akan membayarmu. Aku janji tak akan lama”


“apa?”
“aku juga masih mencari pekerjaan dan….”
“memangnya kemana ayah kandung Danny?”
“molla…. Dia berkebangsaan Prancis. Mungkin sekarang dia di Prancis, atau mungkin masih di Korea”
“mereka sudah….. bercerai?” Henry menggeleng, “belum. Dia meninggalkan noona dan Danny begitu saja”


“kalau dia tidak bertanggung jawab seperti itu, kau masih berpikir memberikan Danny padanya?”
“seburuk-buruknya seorang ayah, mereka tetap satu darah kan? Lagipula berdasarkan hukum, seharusnya hak asuh Danny berada di tangan ayahnya. Bukan aku” Hyejeong terlihat tidak setuju, namun ia tetap menahan pemikirannya dan mengangguk. “aku tak bisa ikut campur, ini urusan keluargamu…” ucap gadis itu sambil meletakkan sendok-sendok bersih di kotak-nya.


“aku pulang ya..”
“kuantar”
“nde? tak perlu! Rumahku dekat kok. Lagipula Danny, tak mungkin kan dia ditinggal sendiri?”
“dia kan sudah tidur. Ini sudah hampir jam 10 loh”
“kemarin aku juga pulang jam segini. Sudahlah, aku bisa sendiri” Henry tak mendengarkan ucapan gadis itu dan ikut berdiri.


“Henry!”
“wae?”
“aish… terserah!”



**********



“disini?”
“ne.. gomawo!” Hyejeong membungkuk sedikit dan membuka pintu mobilnya. Namun Henry malah ikut turun dan berdiri di sampingnya. Gadis itu melirik Henry dengan heran.


“apa yang kau inginkan?”
“uh… kau…. tidak mau menawarkan sesuatu?”
“kau mau masuk?”
“ini sudah malam, tapi kurasa aku bisa mampir sebentar untuk minum teh, atau makan kue atau duduk-duduk atau………..” Henry melirik jaket Hyejeong dan menggigit bibirnya.


“m..mwo? barusan aku hanya bertanya, aku tak benar-benar mau menawarkan masuk” ujar Hyejeong langsung. “aku sudah berterimakasih tadi, masih kurang ya?”


“Ini sudah malam Henry-ssi, Danny sendirian dan sepertinya kau lupa kalau kita tidak sedekat itu” Hyejeong menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera membuka kunci pagar. Namun..….


“Shin Hyejeong”
“apa lagi? Aku tak mengizinkanmu masuk. Belum jelas ya?”
“hmm dompetku….. sepertinya masih ada padamu” Henry menunduk dalam-dalam sambil tersenyum geli, sementara Hyejeong yang masih berkutat dengan kunci pagar langsung terdiam kaku dengan mata melebar dan rasa malu yang tak terkira.


Pelan-pelan ia merogoh kantong jaketnya dan menyodorkan dompet itu ke belakang tanpa menoleh. Henry mengambilnya sambil menahan tawa. “sudah kan? Selamat malam” setelah mengucapkan itu dengan cepat, Hyejeong segera membuka pagar dan setengah berlari memasuki rumahnya. Dan saat itulah tawa Henry menyembur.


Aku baru tahu ada orang sepercaya diri itu. Padahal aku mencoba memintanya dengan manner, tapi…. Fiuh~ gadis konyol.



**********



“bisa ke rumahku sekarang?”
“huh? Ini kan hari minggu”
“aku ada urusan. Tolong ya..”
“ah jinjja! Urusan ap~”  tut…. Tut… tut….
“YAA!” Hyejeong mendengus dan memejamkan matanya erat-erat. Padahal ia mau mengerjakan tugas. Gadis itu menoleh, menatap laptopnya yang menyala dan mendesah. Ini tidak bisa ditunda lagi



*********



Saat Hyejeong sampai, Henry sudah terlihat rapi dengan kemejanya. Namja itu membawa gelas berisi susu cokelat dan tengah mengetuk pintu kamar Danny. Dengan heran, Hyejeong meletakkan laptop dan tasnya di meja, lantas berjalan cepat menghampiri Henry.


“kau sedang apa?”
“memangnya apa lagi? Mengantar susu untuk keponakanku” jawab pria itu sambil mengangkat gelasnya. Hyejeong merebut gelas itu dan membawanya ke dapur.


“YA!! WAE???? Kali ini aku yakin 100% aku tidak salah. Kau bilang 3 sendok susu dan satu setengah sendok gula kan? Aku melakukannya dengan benar”


“kau sudah mencobanya? Ini terlihat tidak benar”
“tidak benar apanya huh? Kau jangan meremehkan kemampuanku ya.. walaupun aku pria, aku ini……”
“IGE BUYAAAA? KAU MAU MEMBAKAR TENGGOROKANNYA HUH?” teriak Hyejeong setelah mencicipi susu itu dengan sendok kecil. Henry berjengit.


“untung aku mencobanya dulu, kalau tidak….. fiuh~ kau! pokoknya jangan berikan apapun yang kau buat kepada Danny. Aku tak mau anak lucu itu menjadi kelinci percobaanmu. Ara?”


“jinjja? Memangnya sepanas itu ya?”
“kau bilang ada urusan kan? Kenapa tidak pergi sekarang? Aku akan menjaga Danny dengan baik, tidak ceroboh seperti pamannya”


“cih… tidak perlu sinis begitu kan? Aku ini masih dalam proses belajar”
Hyejeong menarik napas dalam-dalam sambil menambahkan air dingin ke dalam gelas.
“kau tahu? aku sebenarnya akan pergi bekerja” ucap pria itu sambil pura-pura merapikan dasinya.
“jinjja? Bagaimana bisa? Kau jadi cleaning service? Atau office boy? Oh…. Jangan-jangan kasir ya?”
“tck… berhentilah bicara buruk tentangku. Aku janji akan membayarmu!”
“kubilang aku tak butuh bayaran kan? Tapi aku penasaran, memangnya kau bekerja apa?”
“aku baru tahu ini dari Danny, ternyata noona sedang menjalankan bisnis roti di Seongnam. Astaga~ padahal aku adiknya, tapi aku sama sekali tak tahu”


“jadi kau mau mengambil alih bisnis itu?”
“keurae! Kalau bukan aku siapa lagi yang berkompeten di bidang ini?” Hyejeong mengangguk-angguk sambil mengaduk susu di gelas Danny. Bukan masalah berkompeten, tapi karena memang pria itulah satu-satunya keluarga yang tersisa.


“dan aku akan pulang agak larut”
“uhm? Memangnya kau mau apa disana? Kalau itu punya noona-mu seharusnya kau hanya perlu mengeceknya”


“aku mau mencari tuan Lachapelle”
“ayah kandung Danny?” Hyejeong memelankan suaranya sambil melirik kamar Danny.
“ne..”


**********


“Annyeonghaseyo. Mannaseo bangapseumnida. Che Ireumeun Daniel imnida. Choneun daseot sal imnida. Choneun Korea eso wassoyo. Nae Samcheon ireumeun Henry. Choneun neomu neomu saranghamnida”


Henry terdiam di depan pintu. Begitu kakinya melangkah, serangkaian kalimat itulah hal pertama yang ia dengar. Danny dengan senyum lebar baru saja menyambutnya pulang.


“Henry, aku senang kau bekerja. Jadi kita bisa makan di restoran lagi kan? Kau bisa mengajakku ice skating lagi kan?” Henry mengangguk dan berlutut mensejajarkan tingginya dengan Danny. Di belakangnya, Hyejeong tengah berdiri bersandar di dinding sambil ikut tersenyum. Ia baru saja mengajarkan cara memperkenalkan diri yang baik dan benar, dan sekarang Danny langsung mempraktikkannya di depan sang paman.


“kau pintar! Biasanya bahasamu berantakan” ujar Henry sambil mengajak rambut Danny.
“Hyejeong noona yang mengajariku. Aku tak sabar memberitahukan ini pada eomma” Henry terdiam. Sementara Hyejeong langsung membesarkan matanya dan menatap Henry seolah berkata ‘Kau belum memberitahunya?’


“Daniel Lachapelle. Bagaimana aku memberitahu ini? Aku sudah sering memberitahukannya, tapi kau tak pernah bisa mengerti”


“Daniel~aa….. bisa ikut noona sebentar?” Danny menoleh pada Hyejeong dan mengangguk.



*********



“eotte?” Tanya Henry sesaat setelah Hyejeong keluar dari kamar Danny dan duduk di hadapannya.
“jinjja! Kenapa kau tidak memberitahunya sejak awal? Kasihan dia”
“hei.. aku bahkan mengajaknya ke pemakaman. Kukira dia sudah mengerti” Henry mendecak, “Danny terus menanyakan kapan ibunya akan pulang padaku. Kalau kubilang tidak akan pulang, Danny akan menangis. Aku kasihan melihatnya begitu”


“kalau begini malah lebih kasihan kan?”
“tapi sekarang dia sudah paham? Kau sudah memberitahunya?”
“ne.. dia sangat pintar. Aku menjelaskannya dengan berbagai macam perumpamaan. Dan saat kubilang jantungnya sudah berhenti berdetak, dia masih terus bertanya sampai mendapat jawaban yang konkrit. Dia benar-benar anak umur 5 tahun yang sangat berbeda. Pikirannya kritis sekali”


“dia menangis?”
“keurae. Dia tidak bisa berhenti menangis sampai tertidur” Hyejeong menghembuskan napas dengan berat. Melihatnya dengan mata kepala sendiri membuat hatinya ikut terasa sesak. Danny masih terlalu kecil untuk ini.


“dan bagaimana ayah Danny? Kau menemukannya?”
“belum. Tapi aku akan tetap mencarinya”
“wae? Kau lelah menjaga Danny?”
“tck… berhentilah menggunakan nada sinis itu. Aku benci mendengarnya”
“aku tidak bisa diam saja sekarang. Kalau kau benar-benar memberikan Danny pada ayahnya. Aku akan sangat membencimu”


“aku melakukan ini bukan karena aku ingin menyingkirkan Danny. Tapi karena ia memang harus diurus oleh ayah kandungnya. Dia sudah tak punya eomma, mana mungkin aku membiarkannya hidup tanpa ayah?”


“tck aku tak mau mendengarnya lagi. Aku pulang” Hyejeong berdiri. Padahal ia baru mengenal Henry dan Danny selama beberapa hari, tapi perasaannya untuk keluarga ini terus menguat sampai rasanya ia harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan.


**********



“Henry”
“Henry kau mendengarku?” Henry terlonjak dan menoleh pada Danny yang baru menepuk lengannya.
“oh.. wae?”
“kau melamun?”
“ah.. anio” Henry tersenyum tipis, matanya fokus menatap jalan raya di depannya. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Henry mengantar Danny ke sekolah.


“aku disuruh membawa orang tua sabtu besok. Kau mau datang?”
“aku? kurasa lebih baik kau mengajak Hyejeong”
“aku ingin mengajak kalian berdua sebenarnya. Kau menggantikan appa, dan Hyejeong sebagai eomma”
“aku tidak yakin Dan~”
“kumohon! Jika hanya noona, anak-anak lain pasti akan menghinaku”
“aku akan memukul siapapun yang berani menghina keponakanku”
“Henry samcheon, aku tidak sedang bercanda”
“uh? Ne? aku…. juga… tidak…. bercanda”
“aku akan memanggilmu samcheon selamanya. Tapi tolong datang sabtu besok” ujar Danny pelan. Henry menoleh, menghembuskan napas pelan dan mengangkat bahunya.


“jika aku tidak kuliah, aku tetap harus bekerja kan? Kita lihat saja sabtu besok”
“ya… semoga samcheon tidak membuatku kecewa”
“cih… kenapa ucapanmu seperti itu? Hei… kau tahu ada toko cokelat baru di Samseong-dong?” Danny mengangguk dengan antusias.


“ayo kita kesana! Setelah aku kuliah, aku akan menjemputmu di rumah. Jadi bersiap-siaplah”
“Hyejeong noona diajak?”
“keurae! Kita bertiga”


**********


“namanya Steven Lachapelle. Coba kau cek lagi, Apa dia benar-benar sudah kembali ke Prancis? Apa dia tahu noona-ku baru saja meninggal?” Henry mendesah mendengar jawaban dari ujung telponnya. Sepertinya pria itu benar-benar sudah meninggalkan Korea. Jejaknya menghilang.


“jagi~” Henry menoleh begitu seseorang memegang bahunya. Dan seketika mata pria itu melebar, “uh.. terimakasih. Nanti aku menghubungimu lagi. Anyyeong”


Henry mengganti posisi duduknya dan memerhatikan gadis yang baru saja duduk disampingnya dengan heran, “kenapa kau disini?”


“YA! Pacarmu baru sampai dan sambutannya malah ‘kenapa kau disini?’ Jinjja!”
“katanya dua bulan? Ini cuma 3 minggu”
“aku takut kau merindukanku, uri kwiyeowo mochi” ucap gadis itu sambil mencubit pipi Henry gemas.


“Yak! Andwaeee!!! Sudah berapa kali kubilang jangan menyebutku begitu” sang gadis tertawa, malah makin senang melihat ekspresi terganggu yang Henry tunjukkan. Ia menarik kursinya lebih dekat pada Henry dan memperhatikan namja itu seolah sedang membaca pikiran.


“kau tidak berselingkuh kan selama aku tidak ada?”
“sayangnya belum”
“eiii…. Sayangnya belum? Mwoya? seharusnya jawabannya adalah tidak jagi! Tidak akan pernah” Henry memutar matanya.


“ kenapa kau tidak memberitahuku kalau noonamu meninggal?”
“kalau kuberitahu memangnya kau mau apa?”
“kau takut aku khawatir ya?” Henry mendesah. Siapa yang bilang begitu?
“aku turut berduka Henry~a… semoga noonamu tenang di alam sana”
“ne.. gomawo”


“mochi~ berhubung aku baru datang dan kau terlihat sangat merindukanku, bagaimana kalau kita jalan-jalan sore ini?”
“aku sibuk”
“ah sibuk apa?”
“bukan urusanmu”
“yaa…. Kenapa nada bicaramu begitu? Aku ini pacar~”
“aku sedang mencari seseorang Yoon Da Eun” sela Henry, berusaha menahan rasa kesalnya. Gadis ini benar-benar pengganggu.


“ei ei.. panggil aku Eunie jagi! Eunie jagi! Ingat?”
“ah~ terserah! Yang pasti aku tidak bisa”
“kau sedang mencari ayah kandung Danny kan? Steven Lachapelle? Aku akan membantumu mencarinya. Aku akan meminta ayahku untuk membantumu. Kau tahu kan ayahku bisa melakukan apa saja?” nada bicara Da Eun yang sejak tadi terkesan manis berubah menjadi penuh ancaman. Henry menatap nanar ke depan dengan pikiran kacau.


“ya.. ayahmu bisa melakukan segalanya. Termasuk membunuhku jika aku melukai perasaan putri kecilnya”


“aigoo…. Kenapa kau bicara begitu? Aku tahu kau tak mungkin melukai perasaanku. Iya kan?”
“aku menyesal” ujar pria itu pelan.
“jadi kita jalan-jalan sore ini?”
“apa jawabanku berpengaruh?”
“ah~ oke! Saranghae mochi~aa”


**********


“Danny! Ayo masuk! Hujannya akan semakin deras. Lagipula Ini sudah malam, sayang. Besok kau sekolah” Hyejeong berlutut di depan Danny sambil memayunginya. Baju yang dipakai Hyejeong ikut basah karena payung itu tak cukup untuk memayungi mereka berdua. Dan tentu saja Hyejeong lebih memilih mengutamakan Danny.


Anak itu tidak beranjak dari tempatnya sejak 2 jam yang lalu. Saat Hyejeong menjemputnya pulang, Danny langsung berlari ke kamarnya dan dengan semangat memilih-milih baju. Ia juga tak berhenti bicara betapa senangnya ia karena Henry akan mengajak mereka semua ke toko cokelat. Melihat Danny yang sesenang itu, tentu saja Hyejeong ikut merasa senang. Tapi Henry malah mematahkan hatinya. Daebak!


“kumohon Danny, ayo masuk. Mungkin Henry samcheon sedang ada urusan mendadak”
“sebentar lagi ia datang noona, sebentar lagi. Kumohon”
“5 menit lagi. Oke?” Danny mengangguk. Matanya lurus memperhatikan jalanan yang lengang.
Hingga…… “noona….”
“wae?”
“kakiku sakit” ucap pria itu dengan bibir bergetar. “Ya Tuhan~” Hyejeong menjatuhkan payungnya dan langsung mengangkat tubuh Danny yang terasa seperti es.


***********


Suara deritan pintu terdengar, bersamaan dengan seorang pria yang muncul dari baliknya.
“kalau kau tak bisa menepatinya, seharusnya tidak perlu berjanji kan?” Henry menatap Hyejeong tak paham.


“apa yang kau bicarakan?”
“toko cokelat huh?”
“astaga~” Henry memegang keningnya sambil meringis merutuk diri sendiri.
“dia menunggumu sejak tadi”
“dimana dia sekarang?”
“sudah tidur!”
“aku minta maaf. aku benar-benar lupa!”
“ucapkan itu pada Danny! Awas! Aku mau pulang”
“kuantar!”
“TIDAK”
“DILUAR HUJAN”
“LEPASKAN TANGANKU”
“KENAPA KAU BERSIKAP SEPERTI INI PADAKU?”
“KARENA KAU BRENGSEK! KAU SIAL! KAU BODOH! KENAPA KAU MENYAKITI DANNY SEPERTI ITU? SEBENARNYA KEMANA KAU PERGI HUH?” Hyejeong menangis saat mengucapkannya. Ia menyayangi Danny seperti adiknya sendiri, dan ia bisa seribu kali lebih terluka jika melihat Danny terluka.


“maafkan aku” ujar Henry lemah.
“AWAS KAU! AKU MAU PULANG” Henry menghalangi pintu keluar, menguncinya kemudian dengan gerakan cepat menarik kunci itu dan memasukkannya ke dalam saku.


“kau tidak boleh keluar! Disana hujan dan kau bilang kau tak mau kuantar! Tidurlah disini”
“YA! Brengsek! Sini kuncinya!”


BRAKK!


Suara sesuatu yang pecah baru saja terdengar dari kamar Danny. Henry dan Hyejeong secara refleks terdiam, saling berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya melesat menghampiri Danny.


TBC



Suddenly daddy part selanjutnya aku pastiin bakal dua kali lipat lebih panjang dari part ini. Maaf banget sama alurnya yang ngebut parah, aku bener-bener ga tahu mau nulis kaya gimana lagi. Dan tolong dimaklumi kalau aku publishnya kelamaan~ dua minggu lagi aku UN. Dan mau ga mau aku harus –setidaknya- nyolek-nyolek buku. Makasih ya buat yang udah baca, atau bahkan ngasih komen(*^^*) 




Comments

Popular Posts