Suddenly Daddy (3rd story)
Sore itu, Hyejeong terpaksa ikut di mobil Henry. Gadis itu
terus melihat ke jendela, sementara sang pengendara fokus menatap jalanan.
Suasananya sungguh menegangkan. Danny yang duduk di jok tengah menatap dua
orang dewasa di depannya dengan heran.
“henry, tumben sekali kau diam terus. Apa kau sakit?”
“anio. Aku memang sedang ingin diam”
“itu bagus” Danny mengangguk-angguk dan beralih menatap
Hyejeong. “noona tinggal dimana?”
“tak jauh dari rumahmu” jawab gadis itu sambil menoleh dan
tersenyum.
“jadi kita tetangga?”
“aku tinggal di perumahan yang berbeda. Sebut saja tetangga
jauh”
“ehem…..” Henry berdehem, sontak membuatnya jadi objek
perhatian. “kau akan ke rumahku dan membuatkan Danny makan malam, menyuruhnya
mandi dan membantunya mengerjakan pr” hening. Semuanya masih belum bergerak dan
hanya menatap Henry.
“setelah itu kau baru boleh pulang” tambahnya
“ne.. arasseo”
“soal bayaran…….”
“gwaenchana………. Sudah kubilang aku melakukannya demi Danny”
**********
Sesampainya di rumah, Henry langsung masuk ke kamarnya dan
menjatuhkan diri di ranjang. Matanya memejam. “5 menit. Aku cuma akan menutup
mata selama 5 menit” gumamnya sebelum……..
Tik… tok… tik… tok…
Suara samar jam yang berdetak menyapa sepasang kelopak mata
yang mengerjap. Hal pertama yang ia
lihat adalah jam dinding berbentuk mobil balap yang melekat di dinding
kamar. Jam 9 lewat 40 menit. Matanya langsung saja terbelalak. Secepat kilat
tubuhnya bangkit, melesat keluar kamar. Dan yang ia dapati malah ruang tengah
yang kosong. Ia memeriksa meja makan, satu set piring beserta segala makanannya
sudah tersedia. Bahkan sudah dingin.
Mata Henry berputar lagi. Kali ini tatapannya berhenti di
pintu kamar Danny yang tertutup rapat. Pelan-pelan ia membukanya, dan ternyata
Danny bahkan sudah tertidur pulas. Segalanya tampak luar biasa rapi dan
Hyejeong sepertinya sudah tak ada. Setelah sekian lama selalu hidup di rumah
yang berantakan, melihat rumahnya rapi seperti ini justru malah terasa asing.
**********
Keesokan harinya, seperti biasa Henry mengantar Danny
sekolah dan pergi kuliah. Ia berusaha mencari Hyejeong, namun gadis itu tak
terlihat dimana-mana. Bahkan setelah ia pura-pura ke toilet untuk menjemput
Danny di sekolahnya, Shin Hyejeong tetap tak ada. Aku tak tahu dia di jurusan apa! Kemana lagi aku harus mencari? Apa
jangan-jangan hari ini dia libur? Tidak ke kampus, begitu? Tck…. Tapi aku ingin
berterima kasih, aku juga ingin memastikan jadwalnya. Dia pergi begitu saja
semalam. Harusnya aku meminta nomor handphonenya kemarin. Aish…. Pabo.
**********
Setelah merebut Danny dari teman-teman perempuannya yang
semakin liar, mereka langsung berjalan menuju parkiran. Dan disanalah, seorang
gadis yang sejak tadi dicari-cari tampak tengah menunggu dengan gelisah.
“kau…… disini?”
“ne.. bukankah aku harus ke rumahmu lagi hari ini? Atau kau
sudah tak butuh bantuan menjaga Danny?”
“ani..ani… hanya…. Dari tadi aku mencarimu dan ternyata kau
sudah….. disini”
“bisakah kita masuk sekarang?” Tanya Danny di tengah-tengah
mereka.
“oh.. geurae”
“kurasa lebih baik kita mampir ke supermarket dan membeli
bahan makanan” ucap Hyejeong sambil membuka pintu mobil.
“baiklah…. Kau atur saja semuanya”
**********
Seperti yang diminta Henry, Hyejeong benar-benar ‘mengatur
semuanya’. Dari mulai apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dibeli, lama
waktu mereka di supermarket dan total pengeluaran. Lebih dari itu, Hyejeong
bahkan memegang dompetnya juga.
“ah jeongmal! Aku mau beli itu!” teriak Henry sambil
menunjuk satu dus makanan ringan.
“anio!”
“YA! Kau bertingkah terlalu jauh! Itu uangku”
“kau bilang kau harus berhemat sampai-sampai tak bisa
membayarku. Aku akan membantumu berhemat. Oh.. satu lagi, mau ini uangmu atau
bukan, dompetnya tetap ada padaku. Jadi aku yang menentukan”
“noona.. aku mau ice cream”
“kalau kau dapat 100 saat ulangan, aku belikan”
“ulangan? Aku sedang tak ada ulangan”
“tak ada yang boleh membantah pemegang dompet, ara?”
Hyejeong berjalan melewati kedua orang itu sambil mendorong troli berisi susu
dan sayuran.
“huh! Dia benar-benar persis seperti eomma-mu” keluh Henry.
“dia jadi menyebalkan. Pasti gara-gara kau, Henry” mereka
berdua saling melirik lalu mendengus bersamaan.
Acara belanja paling membosankan sedunia berakhir. Henry
membawa semua belanjaan itu dengan lemas menuju mobil. Sementara Hyejeong dan
Danny sudah duduk nyaman sambil berteriak-teriak menyuruh Henry lebih cepat. Mungkin dia sengaja mempermainkanku seperti
ini sebagai balasan karena sudah bekerja tanpa dibayar.
**********
Hari itu tak jauh berbeda dari kemarin. Henry tertidur di
kamarnya dan Hyejeong sibuk di luar. Memasak, mengurus Danny, membantu
mengerjakan PR dan segalanya. Tapi ada satu hal yang berbeda. Malam itu, Henry
keluar kamar sebelum Hyejeong pulang. Namja itu berdehem ringan, membuat
Hyejeong yang sedang meletakkan piring-piring di meja makan menoleh.
“kau belum pulang?”
“sebentar lagi”
“Hyejeong-ssi, boleh aku minta nomor ponselmu?” Hyejeong
terlihat berpikir selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan. Henry
duduk berhadapan dengan Hyejeong yang kini tengah fokus mengelap sendok-sendok.
“aku sedang mencari ayah kandung Danny. Setelah aku
menemukannya, aku akan membayarmu. Aku janji tak akan lama”
“apa?”
“aku juga masih mencari pekerjaan dan….”
“memangnya kemana ayah kandung Danny?”
“molla…. Dia berkebangsaan Prancis. Mungkin sekarang dia di
Prancis, atau mungkin masih di Korea”
“mereka sudah….. bercerai?” Henry menggeleng, “belum. Dia
meninggalkan noona dan Danny begitu saja”
“kalau dia tidak bertanggung jawab seperti itu, kau masih
berpikir memberikan Danny padanya?”
“seburuk-buruknya seorang ayah, mereka tetap satu darah kan?
Lagipula berdasarkan hukum, seharusnya hak asuh Danny berada di tangan ayahnya.
Bukan aku” Hyejeong terlihat tidak setuju, namun ia tetap menahan pemikirannya
dan mengangguk. “aku tak bisa ikut campur, ini urusan keluargamu…” ucap gadis
itu sambil meletakkan sendok-sendok bersih di kotak-nya.
“aku pulang ya..”
“kuantar”
“nde? tak perlu! Rumahku dekat kok. Lagipula Danny, tak
mungkin kan dia ditinggal sendiri?”
“dia kan sudah tidur. Ini sudah hampir jam 10 loh”
“kemarin aku juga pulang jam segini. Sudahlah, aku bisa
sendiri” Henry tak mendengarkan ucapan gadis itu dan ikut berdiri.
“Henry!”
“wae?”
“aish… terserah!”
**********
“disini?”
“ne.. gomawo!” Hyejeong membungkuk sedikit dan membuka pintu
mobilnya. Namun Henry malah ikut turun dan berdiri di sampingnya. Gadis itu
melirik Henry dengan heran.
“apa yang kau inginkan?”
“uh… kau…. tidak mau menawarkan sesuatu?”
“kau mau masuk?”
“ini sudah malam, tapi kurasa aku bisa mampir sebentar untuk
minum teh, atau makan kue atau duduk-duduk atau………..” Henry melirik jaket Hyejeong
dan menggigit bibirnya.
“m..mwo? barusan aku hanya bertanya, aku tak benar-benar mau
menawarkan masuk” ujar Hyejeong langsung. “aku sudah berterimakasih tadi, masih
kurang ya?”
“Ini sudah malam Henry-ssi, Danny sendirian dan sepertinya
kau lupa kalau kita tidak sedekat itu” Hyejeong menggeleng-gelengkan kepalanya
dan segera membuka kunci pagar. Namun..….
“Shin Hyejeong”
“apa lagi? Aku tak mengizinkanmu masuk. Belum jelas ya?”
“hmm dompetku….. sepertinya masih ada padamu” Henry menunduk
dalam-dalam sambil tersenyum geli, sementara Hyejeong yang masih berkutat
dengan kunci pagar langsung terdiam kaku dengan mata melebar dan rasa malu yang
tak terkira.
Pelan-pelan ia merogoh kantong jaketnya dan menyodorkan
dompet itu ke belakang tanpa menoleh. Henry mengambilnya sambil menahan tawa.
“sudah kan? Selamat malam” setelah mengucapkan itu dengan cepat, Hyejeong
segera membuka pagar dan setengah berlari memasuki rumahnya. Dan saat itulah
tawa Henry menyembur.
Aku baru tahu ada orang sepercaya diri itu. Padahal aku mencoba
memintanya dengan manner, tapi…. Fiuh~ gadis konyol.
**********
“bisa ke rumahku sekarang?”
“huh? Ini kan hari minggu”
“aku ada urusan. Tolong ya..”
“ah jinjja! Urusan ap~”
tut…. Tut… tut….
“YAA!” Hyejeong mendengus dan memejamkan matanya erat-erat.
Padahal ia mau mengerjakan tugas. Gadis itu menoleh, menatap laptopnya yang
menyala dan mendesah. Ini tidak bisa
ditunda lagi
*********
Saat Hyejeong sampai, Henry sudah terlihat rapi dengan
kemejanya. Namja itu membawa gelas berisi susu cokelat dan tengah mengetuk
pintu kamar Danny. Dengan heran, Hyejeong meletakkan laptop dan tasnya di meja,
lantas berjalan cepat menghampiri Henry.
“kau sedang apa?”
“memangnya apa lagi? Mengantar susu untuk keponakanku” jawab
pria itu sambil mengangkat gelasnya. Hyejeong merebut gelas itu dan membawanya
ke dapur.
“YA!! WAE???? Kali ini aku yakin 100% aku tidak salah. Kau
bilang 3 sendok susu dan satu setengah sendok gula kan? Aku melakukannya dengan
benar”
“kau sudah mencobanya? Ini terlihat tidak benar”
“tidak benar apanya huh? Kau jangan meremehkan kemampuanku
ya.. walaupun aku pria, aku ini……”
“IGE BUYAAAA? KAU MAU MEMBAKAR TENGGOROKANNYA HUH?” teriak
Hyejeong setelah mencicipi susu itu dengan sendok kecil. Henry berjengit.
“untung aku mencobanya dulu, kalau tidak….. fiuh~ kau!
pokoknya jangan berikan apapun yang kau buat kepada Danny. Aku tak mau anak
lucu itu menjadi kelinci percobaanmu. Ara?”
“jinjja? Memangnya sepanas itu ya?”
“kau bilang ada urusan kan? Kenapa tidak pergi sekarang? Aku
akan menjaga Danny dengan baik, tidak ceroboh seperti pamannya”
“cih… tidak perlu sinis begitu kan? Aku ini masih dalam
proses belajar”
Hyejeong menarik napas dalam-dalam sambil menambahkan air
dingin ke dalam gelas.
“kau tahu? aku sebenarnya akan pergi bekerja” ucap pria itu
sambil pura-pura merapikan dasinya.
“jinjja? Bagaimana bisa? Kau jadi cleaning service? Atau
office boy? Oh…. Jangan-jangan kasir ya?”
“tck… berhentilah bicara buruk tentangku. Aku janji akan
membayarmu!”
“kubilang aku tak butuh bayaran kan? Tapi aku penasaran,
memangnya kau bekerja apa?”
“aku baru tahu ini dari Danny, ternyata noona sedang
menjalankan bisnis roti di Seongnam. Astaga~ padahal aku adiknya, tapi aku sama
sekali tak tahu”
“jadi kau mau mengambil alih bisnis itu?”
“keurae! Kalau bukan aku siapa lagi yang berkompeten di
bidang ini?” Hyejeong mengangguk-angguk sambil mengaduk susu di gelas Danny. Bukan masalah berkompeten, tapi karena
memang pria itulah satu-satunya keluarga yang tersisa.
“dan aku akan pulang agak larut”
“uhm? Memangnya kau mau apa disana? Kalau itu punya noona-mu
seharusnya kau hanya perlu mengeceknya”
“aku mau mencari tuan Lachapelle”
“ayah kandung Danny?” Hyejeong memelankan suaranya sambil
melirik kamar Danny.
“ne..”
**********
“Annyeonghaseyo. Mannaseo bangapseumnida.
Che Ireumeun Daniel imnida. Choneun daseot sal
imnida. Choneun Korea eso wassoyo. Nae Samcheon ireumeun
Henry. Choneun neomu neomu saranghamnida”
Henry terdiam di depan pintu.
Begitu kakinya melangkah, serangkaian kalimat itulah hal pertama yang ia
dengar. Danny dengan senyum lebar baru saja menyambutnya pulang.
“Henry, aku senang kau bekerja.
Jadi kita bisa makan di restoran lagi kan? Kau bisa mengajakku ice skating lagi
kan?” Henry mengangguk dan berlutut mensejajarkan tingginya dengan Danny. Di
belakangnya, Hyejeong tengah berdiri bersandar di dinding sambil ikut
tersenyum. Ia baru saja mengajarkan cara memperkenalkan diri yang baik dan
benar, dan sekarang Danny langsung mempraktikkannya di depan sang paman.
“kau pintar! Biasanya bahasamu
berantakan” ujar Henry sambil mengajak rambut Danny.
“Hyejeong noona yang mengajariku.
Aku tak sabar memberitahukan ini pada eomma” Henry terdiam. Sementara Hyejeong
langsung membesarkan matanya dan menatap Henry seolah berkata ‘Kau belum
memberitahunya?’
“Daniel Lachapelle. Bagaimana aku
memberitahu ini? Aku sudah sering memberitahukannya, tapi kau tak pernah bisa
mengerti”
“Daniel~aa….. bisa ikut noona
sebentar?” Danny menoleh pada Hyejeong dan mengangguk.
*********
“eotte?” Tanya Henry sesaat setelah
Hyejeong keluar dari kamar Danny dan duduk di hadapannya.
“jinjja! Kenapa kau tidak
memberitahunya sejak awal? Kasihan dia”
“hei.. aku bahkan mengajaknya ke
pemakaman. Kukira dia sudah mengerti” Henry mendecak, “Danny terus menanyakan
kapan ibunya akan pulang padaku. Kalau kubilang tidak akan pulang, Danny akan
menangis. Aku kasihan melihatnya begitu”
“kalau begini malah lebih kasihan
kan?”
“tapi sekarang dia sudah paham? Kau
sudah memberitahunya?”
“ne.. dia sangat pintar. Aku menjelaskannya dengan berbagai macam perumpamaan. Dan saat
kubilang jantungnya sudah berhenti berdetak, dia masih terus bertanya sampai mendapat
jawaban yang konkrit. Dia benar-benar anak umur 5 tahun yang sangat berbeda.
Pikirannya kritis sekali”
“dia menangis?”
“keurae. Dia tidak bisa berhenti
menangis sampai tertidur” Hyejeong menghembuskan napas dengan berat. Melihatnya
dengan mata kepala sendiri membuat hatinya ikut terasa sesak. Danny masih
terlalu kecil untuk ini.
“dan bagaimana ayah Danny? Kau
menemukannya?”
“belum. Tapi aku akan tetap
mencarinya”
“wae? Kau lelah menjaga Danny?”
“tck… berhentilah menggunakan nada
sinis itu. Aku benci mendengarnya”
“aku tidak bisa diam saja sekarang.
Kalau kau benar-benar memberikan Danny pada ayahnya. Aku akan sangat
membencimu”
“aku melakukan ini bukan karena aku
ingin menyingkirkan Danny. Tapi karena ia memang harus diurus oleh ayah
kandungnya. Dia sudah tak punya eomma, mana mungkin aku membiarkannya hidup
tanpa ayah?”
“tck aku tak mau mendengarnya lagi.
Aku pulang” Hyejeong berdiri. Padahal ia baru mengenal Henry dan Danny selama
beberapa hari, tapi perasaannya untuk keluarga ini terus menguat sampai rasanya
ia harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
**********
“Henry”
“Henry kau mendengarku?” Henry
terlonjak dan menoleh pada Danny yang baru menepuk lengannya.
“oh.. wae?”
“kau melamun?”
“ah.. anio” Henry tersenyum tipis,
matanya fokus menatap jalan raya di depannya. Pagi ini, seperti pagi-pagi
sebelumnya, Henry mengantar Danny ke sekolah.
“aku disuruh membawa orang tua
sabtu besok. Kau mau datang?”
“aku? kurasa lebih baik kau
mengajak Hyejeong”
“aku ingin mengajak kalian berdua
sebenarnya. Kau menggantikan appa, dan Hyejeong sebagai eomma”
“aku tidak yakin Dan~”
“kumohon! Jika hanya noona,
anak-anak lain pasti akan menghinaku”
“aku akan memukul siapapun yang
berani menghina keponakanku”
“Henry samcheon, aku tidak sedang
bercanda”
“uh? Ne? aku…. juga… tidak….
bercanda”
“aku akan memanggilmu samcheon
selamanya. Tapi tolong datang sabtu besok” ujar Danny pelan. Henry menoleh,
menghembuskan napas pelan dan mengangkat bahunya.
“jika aku tidak kuliah, aku tetap
harus bekerja kan? Kita lihat saja sabtu besok”
“ya… semoga samcheon tidak
membuatku kecewa”
“cih… kenapa ucapanmu seperti itu?
Hei… kau tahu ada toko cokelat baru di Samseong-dong?” Danny mengangguk dengan
antusias.
“ayo kita kesana! Setelah aku
kuliah, aku akan menjemputmu di rumah. Jadi bersiap-siaplah”
“Hyejeong noona diajak?”
“keurae! Kita bertiga”
**********
“namanya Steven Lachapelle. Coba
kau cek lagi, Apa dia benar-benar sudah kembali ke Prancis? Apa dia tahu
noona-ku baru saja meninggal?” Henry mendesah mendengar jawaban dari ujung
telponnya. Sepertinya pria itu benar-benar sudah meninggalkan Korea. Jejaknya
menghilang.
“jagi~” Henry menoleh begitu
seseorang memegang bahunya. Dan seketika mata pria itu melebar, “uh..
terimakasih. Nanti aku menghubungimu lagi. Anyyeong”
Henry mengganti posisi duduknya dan
memerhatikan gadis yang baru saja duduk disampingnya dengan heran, “kenapa kau
disini?”
“YA! Pacarmu baru sampai dan
sambutannya malah ‘kenapa kau disini?’ Jinjja!”
“katanya dua bulan? Ini cuma 3
minggu”
“aku takut kau merindukanku, uri
kwiyeowo mochi” ucap gadis itu sambil mencubit pipi Henry gemas.
“Yak! Andwaeee!!! Sudah berapa kali
kubilang jangan menyebutku begitu” sang gadis tertawa, malah makin senang
melihat ekspresi terganggu yang Henry tunjukkan. Ia menarik kursinya lebih
dekat pada Henry dan memperhatikan namja itu seolah sedang membaca pikiran.
“kau tidak berselingkuh kan selama
aku tidak ada?”
“sayangnya belum”
“eiii…. Sayangnya belum? Mwoya? seharusnya
jawabannya adalah tidak jagi! Tidak akan pernah” Henry memutar matanya.
“ kenapa kau tidak memberitahuku
kalau noonamu meninggal?”
“kalau kuberitahu memangnya kau mau
apa?”
“kau takut aku khawatir ya?” Henry
mendesah. Siapa yang bilang begitu?
“aku turut berduka Henry~a… semoga
noonamu tenang di alam sana”
“ne.. gomawo”
“mochi~ berhubung aku baru datang
dan kau terlihat sangat merindukanku, bagaimana kalau kita jalan-jalan sore
ini?”
“aku sibuk”
“ah sibuk apa?”
“bukan urusanmu”
“yaa…. Kenapa nada bicaramu begitu?
Aku ini pacar~”
“aku sedang mencari seseorang Yoon
Da Eun” sela Henry, berusaha menahan rasa kesalnya. Gadis ini benar-benar
pengganggu.
“ei ei.. panggil aku Eunie jagi!
Eunie jagi! Ingat?”
“ah~ terserah! Yang pasti aku tidak
bisa”
“kau sedang mencari ayah kandung
Danny kan? Steven Lachapelle? Aku akan membantumu mencarinya. Aku akan meminta
ayahku untuk membantumu. Kau tahu kan ayahku bisa melakukan apa saja?” nada
bicara Da Eun yang sejak tadi terkesan manis berubah menjadi penuh ancaman. Henry
menatap nanar ke depan dengan pikiran kacau.
“ya.. ayahmu bisa melakukan
segalanya. Termasuk membunuhku jika aku melukai perasaan putri kecilnya”
“aigoo…. Kenapa kau bicara begitu?
Aku tahu kau tak mungkin melukai perasaanku. Iya kan?”
“aku menyesal” ujar pria itu pelan.
“jadi kita jalan-jalan sore ini?”
“apa jawabanku berpengaruh?”
“ah~ oke! Saranghae mochi~aa”
**********
“Danny! Ayo masuk! Hujannya akan
semakin deras. Lagipula Ini sudah malam, sayang. Besok kau sekolah” Hyejeong
berlutut di depan Danny sambil memayunginya. Baju yang dipakai Hyejeong ikut
basah karena payung itu tak cukup untuk memayungi mereka berdua. Dan tentu saja
Hyejeong lebih memilih mengutamakan Danny.
Anak itu tidak beranjak dari
tempatnya sejak 2 jam yang lalu. Saat Hyejeong menjemputnya pulang, Danny
langsung berlari ke kamarnya dan dengan semangat memilih-milih baju. Ia juga
tak berhenti bicara betapa senangnya ia karena Henry akan mengajak mereka semua
ke toko cokelat. Melihat Danny yang sesenang itu, tentu saja Hyejeong ikut
merasa senang. Tapi Henry malah mematahkan hatinya. Daebak!
“kumohon Danny, ayo masuk. Mungkin Henry
samcheon sedang ada urusan mendadak”
“sebentar lagi ia datang noona,
sebentar lagi. Kumohon”
“5 menit lagi. Oke?” Danny
mengangguk. Matanya lurus memperhatikan jalanan yang lengang.
Hingga…… “noona….”
“wae?”
“kakiku sakit” ucap pria itu dengan
bibir bergetar. “Ya Tuhan~” Hyejeong menjatuhkan payungnya dan langsung
mengangkat tubuh Danny yang terasa seperti es.
***********
Suara deritan pintu terdengar,
bersamaan dengan seorang pria yang muncul dari baliknya.
“kalau kau tak bisa menepatinya,
seharusnya tidak perlu berjanji kan?” Henry menatap Hyejeong tak paham.
“apa yang kau bicarakan?”
“toko cokelat huh?”
“astaga~” Henry memegang keningnya
sambil meringis merutuk diri sendiri.
“dia menunggumu sejak tadi”
“dimana dia sekarang?”
“sudah tidur!”
“aku minta maaf. aku benar-benar
lupa!”
“ucapkan itu pada Danny! Awas! Aku mau
pulang”
“kuantar!”
“TIDAK”
“DILUAR HUJAN”
“LEPASKAN TANGANKU”
“KENAPA KAU BERSIKAP SEPERTI INI
PADAKU?”
“KARENA KAU BRENGSEK! KAU SIAL! KAU
BODOH! KENAPA KAU MENYAKITI DANNY SEPERTI ITU? SEBENARNYA KEMANA KAU PERGI HUH?”
Hyejeong menangis saat mengucapkannya. Ia menyayangi Danny seperti adiknya
sendiri, dan ia bisa seribu kali lebih terluka jika melihat Danny terluka.
“maafkan aku” ujar Henry lemah.
“AWAS KAU! AKU MAU PULANG” Henry
menghalangi pintu keluar, menguncinya kemudian dengan gerakan cepat menarik
kunci itu dan memasukkannya ke dalam saku.
“kau tidak boleh keluar! Disana hujan
dan kau bilang kau tak mau kuantar! Tidurlah disini”
“YA! Brengsek! Sini kuncinya!”
BRAKK!
Suara sesuatu yang pecah baru saja
terdengar dari kamar Danny. Henry dan Hyejeong secara refleks terdiam, saling
berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya melesat menghampiri Danny.
TBC
Suddenly daddy part selanjutnya aku pastiin
bakal dua kali lipat lebih panjang dari part ini. Maaf banget sama alurnya yang
ngebut parah, aku bener-bener ga tahu mau nulis kaya gimana lagi. Dan tolong
dimaklumi kalau aku publishnya kelamaan~ dua minggu lagi aku UN. Dan mau ga mau
aku harus –setidaknya- nyolek-nyolek
buku. Makasih ya buat yang udah baca, atau bahkan ngasih komen(*^▽^*)
Comments
Post a Comment