Flavor (1 of 2)




Main cast = Lee Byunghun aka L.Joe, Park Hyo Jin
Minor cast  = Lee Kyunghun, Lee Chan Hee
Length = Twoshoots
Genre = Romance
Author = Salsa



It’s amazing how a person who was once just a stranger,
Suddenly mean the world to you




Suasana sibuk bandara Internasional Paris terhampar, menjadi sambutan bagi para pendatang. Bangunan arsitektur yang mewah dan sikap individualistis seluruh penghuninya seakan menegaskan kemegahan kota romantis ini. Paris.
  

Seorang gadis dengan beanie bergambar kartun berjalan menyusuri area bandara dengan tatapan kagum. Ia melepas pegangannya dari koper dan berteriak sambil mengangkat tangannya ke udara. “PARIS, PARK HYO JIN DATANG” Gadis itu, Hyo Jin, tak peduli dengan tatapan orang-orang padanya. Ia tersenyum lega setelah meneriakkan kalimat itu, setidaknya mereka semua tak mengerti. Hyo Jin menarik kopernya kembali dan…


“pabo”
“apa?”
Pria yang barusan menyindirnya itu berjalan begitu saja melewati Hyo Jin. Tentu saja Hyo Jin tak terima, ia langsung menarik kopernya lebih cepat dan mencoba menyamakan langkah.


“YA! Setiap manusia itu  punya kebebasan berekspresi. Ini caraku. Jadi lebih baik jangan komentar apalagi menghinaku seper…… Errr! Kau lagi rupanya?”  Hyo Jin melompat ke depan pria itu dan merentangkan tangannya, membuat sang pria mau tak mau berhenti.


“minggir” ucapnya dingin.
“kenapa kau mengikutiku?” Hyo Jin bertolak pinggang dan menatap namja di depannya dengan tatapan menyelidik. Namja itu mendecak, mendelik, menggeram, tak habis pikir dan langsung mendekatkan wajah mereka sambil melepas kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.


“kita masih di bandara, Jenius. Dan kau pikir apa untungnya bagiku mengikuti yeoja bodoh sepertimu?”
“YA! Bodoh?” dengan cepat Hyo Jin menarik tas selempangnya ke depan dan mengeluarkan selembar kertas berstempel resmi.


“keobwa! Surat keterangan penerima beasiswa 75% di universitas Paris atas nama Park Hyo Jin” ujar gadis itu menggebu-gebu sambil menunjuk dirinya sendiri. Sementara namja di depannya melipat tangan dan menatap Hyo Jin seolah sedang menilai.


“berarti mendapat beasiswa di zaman ini sudah tidak terlalu sulit ya?”
“apa?”
“lihat saja dirimu. Kau yang duduk di bangku orang saat di dalam pesawat dan berteriak seperti tarzan di bandara internasional saja bisa mendapat beasiswa” Pria itu mengucapkan sebuah kalimat panjang yang membuat Hyo Jin tercengang dengan ekspresi datar dan tangan yang bersedekap tenang.


“sekarang minggir!” entah kenapa Hyo Jin mengikuti ucapan pria itu begitu saja. Ia bergeser dan memberi jalan dengan lemah. Apakah benar begitu? aku memang salah melihat nomor kursiku saat di pesawat tadi, tapi apa hanya karena itu aku jadi termasuk kategori bodoh? Apa beasiswa ini berada di tangan yang tidak tepat? Apa dikembalikan saja?


Perkataan seseorang yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu sukses membuat Hyo Jin mempertanyakan kepintarannya sendiri dalam hati. Ia memasukkan surat pernyataan itu ke dalam tas dan melanjutkan langkahnya sambil menarik koper. Matanya lurus menatap pria tadi, langkahnya terlihat angkuh dan tidak bersahabat. Jika aku bertemunya lagi, aku harus mencekiknya.



**********



Hyo Jin berusaha berkonsentrasi, ia menyipitkan matanya dan melihat lubang kunci dengan seksama. Lantas mencoba memasukkan kunci itu sekali lagi, dan….. ceklek. Pintu itu malah terbuka duluan sebelum Hyo Jin sempat memutarnya, seseorang telah membukanya dari dalam. Hyo Jin terkejut. Tapi si pembuka pintu itu bahkan lebih terkejut lagi.


“KAU??!!” teriak keduanya serempak.
“apa yang kau lakukan?” tanya pria di pintu itu.
“harusnya aku yang bertanya seperti itu! ini apartemenku” sahut Hyo Jin.
“apartemenmu? Ini milikku” Hyo Jin mendesah, jangan-jangan ia salah lihat lagi. Gadis itu memeriksa nomor kamar yang diberitahukan eommanya dan menyamakan dengan nomor di pintu. 109. Dan…. 109.


“ini kamarku! Sungguh” ujar Hyo Jin tanpa emosi. Ia menyodorkan handphone-nya pada pria itu dan sesaat tak ada yang bicara. Gadis itu lelah. Lelah sekali. Seharusnya ia bisa sampai di apartemen ini sejak 4 jam yang lalu. Tapi taksi yang ia tumpangi malah sengaja berputar-putar untuk menambah ongkos. Hyo Jin menyesal setengah mati karena sudah dengan bodohnya menghitung uang di dalam taksi dan membuatnya terlihat seperti mangsa menggiurkan bagi si sopir.


“ah~” dan seperti teringat sesuatu, pria itu memejamkan mata dan langsung mempersilakan Hyo Jin masuk dengan nada bersalah.


“jadi kau yang salah kamar?” tanya Hyo Jin sambil menyeret kakinya masuk.
“anio!”
“mwo? Tapi eomma bilang aku akan tinggal bersama seorang perempuan korea. Oh..atau jangan-jangan kau… perempuan?”


“YAK! Apa aku terlihat seperti perempuan?”
“tidak juga! tapi…..”
“harusnya memang bukan aku yang tinggal disini. Aku hanya menggantikan teman perempuanku yang tidak mengambil beasiswanya”


“jadi kau juga dapat beasiswa?”
“anio! aku hanya menggantikan tempat tinggalnya, beasiswanya dianggap hangus karena tidak diambil”
“mungkin kau harus menceritakannya lagi besok. Aku benar-benar lelah dan tak mengerti”
 “sebelahnya! Kamar yang sebelahnya” teriak pria itu saat Hyo Jin hampir membuka sebuah kamar. “aku sudah meletakkan barang-barangku disitu”  Hyo Jin mendesah, lalu menyeret-nyeret kopernya lagi ke pintu di sebelahnya dan……


“heh!” Hyo Jin berseru, membuat pria itu menoleh dan menatap Hyo Jin seakan berkata ‘apa?’
“kita tak mungkin tinggal berdua disini. Jadi lebih baik jangan keluarkan barang-barangmu dari koper. Sebentar lagi kau akan pindah” Hyo Jin melirik pintu keluar dan menatap sang pria dengan tatapan mengintimidasi. Pria itu menaikkan sebelah alisnya dan mendengus sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kok ada ya perempuan setidak tahu diri itu? sudah bagus kuizinkan masuk.



**********



Hyo Jin membuka pintu kamarnya pelan-pelan dan mengintip keluar. Pria itu, pria tanpa perasaan yang sudah mengatainya bodoh di pesawat dan bandara , juga pria yang ternyata satu apartemen dengannya, sekarang tengah duduk di meja makan sambil memakan roti dan menatap layar ponsel. Hyo Jin mendengus. Ia menutup pintu kamarnya lagi dan segera meraih ponsel.


“yoboseo”
“Hyo Jin~aaa…. Aigoo…. bagaimana perjalananmu? Kau sudah sampai di Paris sayang? Bagaimana keadaan disana? Eomona…. Bogoshipoyo. Semua tetangga menanyakan keadaanmu juga. Katanya Seoul jadi sepi sekali tanpa kehadiranmu” Hyo Jin mendecakkan lidahnya. Memangnya aku apa? gara-gara tidak ada aku, Seoul jadi sepi? Keterlaluan. Bukankah semua tetangga yang selalu meneriakiku ‘dasar gadis gila!’ atau “YA! Pergi kau yeoja berisik’ senang karena aku benar-benar pergi? Memangnya mereka pikir aku tidak tahu mereka membuat pesta kepergianku? Cih…


“ne.. aku sudah sampai dengan selamat dan baru saja tidur 12 jam di apartemen. Dan katakan pada para tetangga, tolong buat pesta kepergianku dengan lebih meriah. Suruh mereka undang super junior kalau bisa” balas Hyo Jin sinis. Namun sang ibu malah tertawa sambil mengangguk-angguk antusias di ujung sana.


“ne.. Hyo Jin~aa….. itu ide yang bagus” Hyo Jin kembali mendengus. Astaga eomma, aku sedang menyindir! Bukan memberi ide. Belum jelas ya?


“geumanhae eomma. Aku menelfonmu untuk bicara penting”
“ada masalah apa?”
“kenapa kau membiarkanku tinggal bersama seorang pria?” tanya Hyo Jin sambil bertolak pinggang.
“pria? Aniyeo! Seharusnya kau tinggal bersama pelajar perempuan asal korea yang mendapat beasiswa juga. Namanya Shin Chae Yeon”


“tapi nyatanya yang ada malah seorang pria asing tak bermanner. Dan aku yakin namanya bukan Shin Chae Yeon”


“jinjja? Tapi eomma sudah mengeceknya sebelum menyewa apartemen. Coba kau tanyakan lagi. Mungkin dia salah kamar. Atau jangan-jangan kau yang salah kamar”


“molla! Pokoknya aku mau pindah”
“pindah bagaimana? Eomma sudah membayarnya untuk setahun”
“kalau begitu akan kubuat dia pindah” tangan Hyo Jin terkepal erat penuh ambisi.
“maja. Kalau anak itu tidak mau pindah, eomma akan datang kesana dan tinggal bersamamu Hyo Jin~a. Tidak perlu khawatir”


“YA! BUYAA? Jangan bilang begitu, kau malah membuatku khawatir” Hyo Jin menggaruk lehernya. Ia jauh-jauh ke Paris agar bisa hidup mandiri dan terbebas dari ocehan eommanya yang mengalahkan suara bising mesin pesawat. Tapi sekarang eommanya malah mau ikut-ikut kesini? Astaga~ Seoul bisa jauh lebih sepi lagi.


“aku hanya butuh dukunganmu dari sana, eomma! Aku bisa mengatasi pria ini”
“eomma akan mendoakanmu sayang. Hyo Jin~a fighting!”
“ne.. Fighting! Anyyeong eomma” Hyo Jin menghembuskan napas dan menoleh lagi kearah pintu yang tertutup. Ia harus bicara dengan namja itu. Sekarang.



**********



Sementara itu, L.Joe -seorang pria Korea yang tengah melanjutkan studi fotografi  di Paris- masih lurus menatap layar ponsel dengan gamang. Nyaris seluruh keluarga besarnya tidak menyetujui kepergian namja itu ke Paris, terlebih hanya untuk sekolah fotografi. Memang, bagi mereka ini hanya membuang-buang waktu, terlebih ada satu perusahaan besar yang sudah menunggunya di Korea. Hidup harusnya menjadi semudah itu. Hidupnya sudah disiapkan dengan baik oleh orang tua yang sangat berkecukupan -atau mari sebut berkelebihan-. Tapi ia tak menginginkan hidup yang seperti itu, ia mencintai fotografi, dan ia sudah sejak lama mengagumi kota Paris. Ia ingin menghidupkan impiannya yang tertunda selama bertahun-tahun di kota ini, ia ingin meninggalkan semua berkas konyol yang membuat matanya sakit dan juga ibu yang terus-menerus mendesaknya untuk mengerti.


Banyak orang yang menginginkan kehidupan seperti itu, kehidupan dimana kau bisa mendapatkan uang sebanyak apapun tanpa usaha lebih, tapi orang itu bukan L.Joe. Ia bukan tipe pria yang betah duduk berlama-lama di ruang besar, pria yang kerjanya hanya memerintah bawahan dan membubuhkan tanda tangan. Ia ingin hidup yang benar-benar hidup, ia ingin hidup dari passionnya di bidang fotografi. Tapi kenapa seluruh keluargaku tak ada yang bisa mengerti?


“kau bisa menyuruh Kyunghun hyung menjalankan perusahaan. Kenapa harus aku?” gumam L.Joe. Matanya masih lurus menatap pesan yang dikirimkan eommanya semalam.


Jika kau tak kembali minggu depan. Eomma akan datang kesana dan mencarimu.


“heh! Aku mau bicara denganmu” mendengar suara itu, L.Joe mengangkat kepalanya dari layar ponsel.
“akhirnya bangun juga. Baru saja mau kupanggilkan ambulan” ujarnya tanpa ekspresi. Hyo Jin membuka mulutnya tak percaya, astaga~ pria ini!


“YAA! KAU! aku ingin kau pindah sekarang juga”
L.Joe mengangkat sebelah alisnya. Heran. Gadis ini sakit ya?  “kenapa aku harus pindah?”
“karena menurut adat timur seorang perempuan dan laki-laki yang tidak memiliki hubungan tidak boleh tinggal bersama”


“tapi kita ada di Negara barat”
“tapi kita orang timur”
“kalau begitu kenapa tidak kau saja yang pindah?”
“mana mungkin?”
“kenapa tidak mungkin?”
“tentu saja tidak mungkin. Pertama, aku ini perempuan, seharusnya bukan perempuan yang mengalah. Kedua, aku sudah membayar sewa apartemen ini selama setahun. Jadi aku tak mungkin pindah”


“ini bukan masalah gender. Coba gunakan otakmu yang kecil itu untuk berpikir, coba kau ingat-ingat, siapa duluan yang menempati apartemen ini? biar kubantu, aku tiba disini 4 jam sebelum kau datang. Dan satu lagi, aku sudah membayar sewa apartemen ini sampai lulus. Dan kabar baiknya, aku baru akan lulus 3 tahun lagi. Jadi coba pikir siapa yang lebih berhak pindah?” L.Joe berdiri dan berjalan mendekati Hyo Jin sambil bersedekap. Hyo Jin yang terkejut tak bisa berkata apa-apa dan hanya mengusap tengkuknya mencoba mencari alasan.


“cepat kemasi barangmu dan keluar dari sini!” ucap L.Joe dingin.
“uh… begini, menurut adat timur, setiap manusia harus saling tolong-menolong. hahaha… iya kan? sebenarnya aku senang loh bisa tinggal bersama orang Korea juga. Kalau aku pindah, belum tentu aku bisa tinggal bersama orang Korea. Kau juga kan, belum tentu yang akan menempati apartemen ini nantinya orang korea juga. haha… yang tadi itu aku cuma bercanda. Aku cuma mau tahu apa teman satu apartemenku ini bisa diajak main-main atau tidak” Hyo Jin tertawa canggung sambil merangkul L.Joe sok akrab. Sementara namja itu sendiri tak bergerak, terheran-heran memperhatikan tingkah Hyo Jin yang super aneh. Beberapa saat yang lalu ia berteriak-teriak mengusirnya pergi dan sekarang ia tertawa-tawa dan merangkulnya seperti teman lama.


“begini saja, sebagai wanita kan aku harus memikirkan keselamatanku juga. Walau bagaimanapun aku ini kan….”


“aku-tidak-akan-menyentuhmu” sela L.Joe penuh penekanan. “asalkan kau juga tak menyentuhku” lanjut pria itu sambil melirik tangan Hyo Jin yang bergelayut di bahunya.


“oh.. oh.. benar! Aku tidak akan menyentuhmu asal kau tidak menyentuhku. Aku setuju” Hyo Jin menarik tangannya dari bahu L.Joe dan mengangguk-angguk setuju.


“kita sepakat. Oke?” gadis itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Namun L.Joe malah tersenyum mencibir dan berjalan memasuki kamarnya begitu saja.


“benar! Kita tak boleh bersentuhan kan? Awas kalau kau menyentuhku! Dasar pria! Huh!” pekik Hyo Jin sambil mengepalkan tangannya yang terulur. Kenapa jadi aku yang terlihat ingin sekali menyentuhnya?



**********



Keesokan paginya, Hyo Jin keluar dari kamar lengkap dengan beanie dan ranselnya. Dengan rambut kecokelatan yang tergerai panjang, gadis itu juga memakai kacamata tanpa lensa, jeans robek-robek dan kaos hitam berbalut kemeja kotak-kotak. Di saat yang bersamaan, pria di kamar sebelah juga keluar. Ia memakai kemeja lengan panjang yang terkancing rapi dan jeans putih bersih. Di lengannya sebuah kamera D-SLR tersampir. Mereka saling menoleh dan bertatapan dengan sengit.


“kau? kuliah dengan pakaian itu? pffttt!” L.Joe mencoba menahan tawa dan berpaling dari gadis itu. Sementara Hyo Jin yang merasa kesal mempertajam tatapannya sambil bertolak pinggang menghadap L.Joe.


“kalau iya kenapa?”
“kau lebih terlihat seperti preman dari pada anak kuliah” namja itu terkekeh lagi dan menggeleng-geleng sambil membenarkan posisi kameranya.


“oh.. setidaknya aku tidak terlihat seperti uhuk…. Nerd” sindirnya sambil pura-pura terbatuk lalu berjalan begitu saja melewati L.Joe.


“YA! Dan kau? menurutmu itu bagus? Kau terlihat seperti perpaduan antara badut sulap dan gelandangan, dan pengamen dan preman dan…”


“uhuk… nerd.. uhuk uhuk geeky boy ” Hyo Jin mengeraskan suaranya sambil terus berjalan menjangkau pintu keluar.


“setahuku fotografer itu modis loh! Tapi ini…. aish perlukah kusebutkan seburuk apa penampilanmu? Coba bercermin, kau terlihat seperti kutu kamera, ups! Sorry not sorry! Hahahah” Hyo Jin menarik gagang pintu dan keluar apartemen sambil tertawa puas.


L.Joe yang sudah tak punya kesempatan untuk membalas hanya mendengus sambil menatap pintu yang baru saja tertutup. Lantas benar-benar berjalan ke arah cermin.


“jinjja? Seperti ini terlihat culun?” L.Joe benar-benar tak mengerti. Padahal menurutnya ini sudah sangat baik. Dengan tak yakin, ia mengacak rambutnya. Kemudian ia melihat bayangannya lagi. Lantas membuka kancing paling atas kemejanya.


“aku harus begini? Tapi ini tidak rapi” L.Joe mendesah. Ini terasa aneh baginya.
“tapi aku sudah sangat jauh dari rumah. Harusnya aku berani melakukan hal-hal baru. Aku bukan Lee Byunghun. Disini aku L.Joe” sudut bibirnya perlahan tertarik, menyeringai ke arah kaca dan mengacak rambutnya lebih yakin.


“benar! Aku L.Joe. Bukan Lee Byunghun. Aku tak perlu memakai jas resmi ataupun kemeja formal lagi. Aku tidak perlu menyisir rambutku serapi biasanya. Aku bisa membuat karakter L.Joe jauh dengan Lee Byunghun. Aku bisa menjadi apa yang kumau”



**********


Minggu pertama di Paris berlalu dengan menyenangkan. Hyo Jin mendapat banyak teman baru di kampusnya, ia juga memakan makanan enak setiap hari. Sebagai pemegang beasiswa, beban biaya kuliah terasa tak begitu berarti. Selain itu, sewa apartemen pun sudah lunas untuk setahun dan tagihan-tagihan lain biasanya baru akan mulai di akhir bulan. Hyo Jin sangat menikmati kehidupan barunya ini. Dan soal teman satu apartemen, mereka sudah tak terlibat pembicaraan apapun selama hampir 5 hari. Saat Hyo Jin pulang kuliah, L.Joe pasti sudah mendekam di kamarnya. Mungkin namja itu sedang sangat sibuk. Entahlah. Atau jangan-jangan dia memang tak mau bertemu denganku.


Namun, semuanya tentu tidak akan semulus apa yang ia pikir. Siang itu, Hyo Jin baru merasakan betapa beratnya hidup di negeri orang. Kenapa? Karena tiba-tiba saja dompetnya kosong. Hyo Jin mengeluarkan lembar uang terakhir yang menghias dompetnya untuk membayar Espresso dingin yang sudah ia sedot. Setelahnya, Hyo Jin langsung mencari ATM dengan panik. Ia melihat sisa uang di rekeningnya sambil meringis. Uang yang dikirimkan untuk sebulan habis dalam seminggu. Hebat! Bagaimana bisa aku seboros ini?


Ia tak mungkin meminta dikirimkan lagi, ibunya cuma seorang pedagang biasa. Hyo Jin mendesah dan keluar dari box ATM dengan lesu. Tiba-tiba saja Espresso-nya terasa sangat pahit di lidah.


Saat kembali ke apartemen, seperti biasa tempat itu lengang seperti makam. L.Joe di dalam kamar -mungkin sedang mengerami telur-.


Hyo Jin masuk ke kamarnya dan langsung tidur. Namun beberapa saat kemudian ia bangun karena kelaparan.


Saat Hyo Jin keluar, suara spatula dan wajan yang beradu terdengar dari dapur. L.Joe masak? Hyo Jin berjalan mendekat dan benar saja! pria itu sedang memasukkan potongan sosis dan daun bawang ke telur dadarnya. Hyo Jin memperhatikan pria itu sambil bersandar di dinding. L.Joe meletakkan telurnya di piring dan berbalik. “eh” pria itu terkejut melihat Hyo Jin.


“bisakah kau buatkan untukku juga?” tanya Hyo Jin baik-baik. Ekspresi gadis itu membuat L.Joe merasa kasihan. Ia menyodorkan piringnya pada Hyo Jin dan berbalik lagi membuat telur dadar yang sama. Hyo Jin tersenyum senang melihat makanan, ia berjalan ke meja makan dan duduk disana menunggu L.Joe.


Beberapa menit setelahnya,….
“kenapa belum dimakan?” L.Joe meletakkan gelas air di samping Hyo Jin.
“aku mau makan bersamamu”
“aku akan makan di kamar” L.Joe berlalu begitu saja dan menghilang di balik pintu kamarnya. Hyo Jin mendengus, padahal ia sedang mencoba ramah. Tapi ya sudahlah……… yang penting aku bisa makan.



**********



Di malam berikutnya, Hyo Jin kembali meminta L.Joe untuk membuatkan makanan. Namja itu tidak berkata apa-apa dan hanya memasak dengan wajah datar untuk dua sampai tiga malam setelahnya. Namun saat Hyo Jin meminta lagi,……


“YA! Aku bukan pembantumu!” teriak L.Joe. Hyo Jin berjengit dan langsung menundukkan kepalanya takut.


“a..uangku habis. Aku tak bisa membeli bahan makanan dan kemampuan masakku tidak begitu baik dan…. “ L.Joe meninggalkan Hyo Jin sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. BAAMM! Pintu kamarnya berdebam dan terdengar suara ceklek, tanda dikunci. Hyo Jin berjengit lagi mendengar suara pintu yang dibanting. Ia meringis dan meremas tangannya. Mata gadis itu mengedar ke konter dapur, sebungkus mie instan tertinggal disana. Dia sengaja meninggalkan mie ini untukku? atau dia tak sengaja meninggalkannya? Hyo Jin mengambil mie itu dan melirik kamar L.Joe yang tertutup rapat.


“ini untukku kan? terima kasih ya” Hyo Jin berbisik pelan.
Akhirnya, malam itu ia bisa mengisi perutnya walau dengan mie super lembek hasil karyanya. Padahal ia sudah mengikuti petunjuk yang ada di belakang bungkus mie tersebut dengan teliti, tapi tetap saja hasilnya tidak seenak yang ada di tv. Ia bahkan menggunakan gelas ukur untuk merebus air, lalu menggunakan stop watch saat merebus mie-nya. Aku yakin semuanya sudah pas! 500 cc air dan 3 menit waktu perebusan. Apa yang salah?



**********





Keesokan paginya, L.Joe dan Hyo Jin yang biasa keluar kamar dengan kompak kini tidak lagi kompak. Saat Hyo Jin keluar, pria itu tak berdiri di sebelahnya untuk menghina gaya berpakaian Hyo Jin. Dia belum bangun? Atau sudah jalan? Hyo Jin mendecakkan lidah dengan bosan, padahal ia sudah memikirkan kata-kata yang bagus untuk menghina L.Joe. walaupun dalam hati aku sering berpikir penampilannya yang rapi itu terlihat sangat chik dan keren dan aku ingin memujinya dan menyentuh rambutnya untuk membuktikan apakah rambut yang kelihatan sangat halus itu benar-benar sehalus apa yang terlihat, lalu menyentuh kulit wajahnya yang terlihat bersih dan segalanya yang nampak sempurna itu, tapi lebih dari semua yang telah kusebutkan tetap saja aku merasa harus menghinanya sebagai ritual pagi yang menyenangkan.


Pandangan mata Hyo Jin tak sengaja terarah ke meja makan, dan beberapa roti lengkap dengan selai cokelat dan nanas telah tersedia. Gadis itu tersenyum, lalu melirik kamar di sebelahnya. Ia duduk di depan roti-roti itu dan mengoleskan selai dengan senang, hingga….


Ceklek… saat suara itu terdengar, Hyo Jin tengah memasukkan potongan besar roti ke dalam mulut. Ia memutar kepalanya dan langsung berdiri saat melihat L.Joe tengah menatapnya dengan tatapan datar seperti biasa.


“uhuk…. Maaf! Ini punyamu? Kukira kau sudah jalan dan meninggalkan ini untukku” Hyo Jin meletakkan selai di tangannya dan membungkuk menyesal.


L.Joe tak merespon apa-apa dan langsung berjalan menuju pintu keluar.
“changkaman! L.Joe-ssi” namja itu berhenti tepat sebelum tangannya menyentuh gagang pintu.
“wae?” tanyanya dengan kepala yang tak benar-benar tertoleh.
“mungkin aku akan sedikit merepotkanmu dalam hal makanan selama 3 minggu ini. Aku sama sekali tak punya uang dan jika uang bulananku dikirim pun aku tidak yakin bisa membayar semuanya. Jadi…. bisakah kau membantuku?” Hyo Jin melirik L.Joe takut-takut. “setelah 3 minggu ini. Aku janji tak akan mengganggumu lagi” Sambung Hyo Jin cepat. Ia menunduk dalam dan memejamkan matanya sungguh-sungguh. Suara langkah terdengar mendekat, Hyo Jin mengangkat kepalanya dan ternyata L.Joe sudah berdiri di hadapannya.


“bagaimana jika kita membuat perjanjian?”
“lagi?” tanya Hyo Jin, merujuk pada perjanjian ‘tidak saling menyentuh’ yang sudah mereka sepakati di hari pertama.


“ne.. “
“soal apa?”
“aku akan bertanggung jawab penuh dalam hal makanan. Mulai dari membeli bahan-bahan sampai memasaknya. Tapi untuk urusan mencuci dan kebersihan, itu ada di tanganmu” Hyo Jin tersenyum.


“kedengarannya mudah”
“benar” L.Joe mengangguk.
“aku setuju” ucap Hyo Jin.
“aku juga” sahut L.Joe. Mereka berjabat tangan sambil saling tersenyum. Kemudian L.Joe langsung berjalan ke dalam kamar dan mengeluarkan keranjang pakaian, ia meletakkan keranjang itu di lantai dan mendorongnya dengan kaki sampai menyentuh kaki Hyo Jin. Gadis itu menatap keranjang itu dengan tatapan ‘apa ini?’ kepada L.Joe yang tengah bersedekap puas.


“kau tahu kan kebersihan itu meliputi mencuci pakaian, menjemur dan menyetrikanya? Kalau sudah kau tak perlu memasukkan baju-baju ini ke lemariku, kau cukup meletakkannya di depan pintu kamar dan aku akan melakukannya sendiri” Hyo Jin tak bicara apa-apa dan hanya menatap semua pakaian itu saja. ia sengaja ya? Berapa hari namja ini tidak mencuci?


“kebersihan itu juga meliputi mencuci piring, menyapu, mengepel dan mengelap perabot rumah. Kita sudah tinggal disini hampir dua minggu dan sepertinya beberapa benda sudah mulai berdebu. Ah~ aku senang kita berdua saling setuju!” L.Joe tersenyum puas setelah mengatakan itu sementara Hyo Jin kehilangan seluruh akalnya.


“a..apa?” gadis itu tersadar saat L.Joe sudah menutup pintu apartemen.
“dia! Beraninya namja itu membodohiku!!”



**********



Walaupun merasa dirugikan, Hyo Jin tetap sudah setuju dan tak punya pilihan lain. Ayolah…. Bagaimanapun balasannya adalah makanan. Semua orang tetap harus makan jika mau hidup. Akhirnya di minggu pagi yang cerah, Hyo Jin menyapu apartemen yang kotor dan meneriska semua baju yang baru kering. Ini sangat melelahkan, tapi sekali lagi, ini semua demi makanan.


Setelah selesai, Hyo Jin mengangkat setumpuk pakaian pria yang sudah disetrika rapi menuju kamar L.Joe. Gadis itu berdiri di depan kamar dan mengetuk-ngetuk pintunya dengan malas.


“YA! L.Joe~a! aku tahu kau di dalam. Cepat buka pintunya!” Hyo Jin menggerutu karena tak kunjung dibukakan.


“kalau kau tak buka juga aku akan masuk” Hyo Jin menghitung satu sampai tiga dengan suara lantang lalu “Aku masuk!!!! Kau tak boleh marah ya..” teriak Hyo Jin sambil mendorong pintunya.


Seketika seisi kamar L.Joe yang selalu tertutup rapat itu terhampar di mata Hyo Jin. Ia berjalan ragu menuju sebuah lemari di sudut kamar, berniat meletakkan baju-baju itu langsung di lemarinya. Namun sesuatu di nakas menarik seluruh perhatian Hyo Jin. Tanpa sadar kakinya melangkah kesana. Ia mengambil sebuah bingkai foto berisi gambar L.Joe kecil yang sedang tersenyum lebar sampai matanya menghilang. Dia benar-benar lucu, Hyo Jin tak kuasa menahan senyum. Gadis itu jadi penasaran apakah jika L.Joe yang sekarang tersenyum akan terlihat semanis ini.


Hyo Jin mendesah, selama ini yang ia lihat cuma seringaian dan senyum sinis. aku ingin lihat satu yang tulus. Semanis ini tidak ya?


Hyo Jin yang terlalu larut membayangkan ‘semanis apa senyum L.Joe’ tak sadar kalau sang pemilik kamar baru saja masuk dari beranda dan menutup pintunya. Saat Hyo Jin menoleh, L.Joe sudah menarik bajunya ke atas dan melemparnya ke ranjang. “Ya Tuhan” Hyo Jin menahan napas melihat pemandangan itu.


Telinga L.Joe yang sangat peka tentu berhasil mendeteksi keberadaan Hyo Jin. Ia menoleh dan mendapati gadis itu sedang fokus memandanginya.


“YA! Apa yang kau lakukan disitu?” L.Joe berteriak sambil berusaha menutupi tubuhnya dengan tangan.
“ini.. uhm.. bajumu” Hyo Jin benar-benar terbata. Ia berusaha mengalihkan pandang kemana-mana tapi pada akhirnya pandangan itu tetap berakhir ke arah semula.


“sudah kubilang kan? letakkan bajuku di luar kamar. Kau tidak boleh masuk ke kamarku. Sekarang keluar” Hyo Jin segera meletakkan baju-baju di tangannya di atas ranjang. Lalu ia memungut baju yang barusan di lempar L.Joe.


“yang ini mau dicuci juga?”
“Astaga kubilang keluar” L.Joe benar-benar tak tahan. Gadis ini terlihat sekali sedang mengulur-ngulur waktu. L.Joe menghentakkan kakinya seperti mengusir kucing, membuat Hyo Jin ketakutan dan buru-buru keluar.


Ia menutup pintu kamar L.Joe cepat, takut pria itu akan meneriakinya lagi. Dan saat itulah Hyo Jin mulai tersenyum seperti orang bodoh. Ia rasa mulai detik ini akan sangat sulit untuk melihat L.Joe tanpa membayangkan tubuhnya. Oke… L.Joe memang bukan tipe pria berotot, tapi siapa peduli? Hyo Jin tak pernah menyukai pria yang memiliki otot terlalu banyak. Itu menyeramkan. Bagaimana jika mereka sedang berpelukan dan tanpa sengaja membuat tulangnya remuk? Lebih dari sekedar pria berotot, Hyo Jin sungguh mengagumi kulit punggung L.Joe yang putih bersih dan lengan atasnya yang terbentuk pas. Setidaknya lengan seperti itu tidak akan membuat tulangku remuk. Dan apa ini? aku membayangkan L.Joe memelukku? Hyo Jin tersadar dan senyumnya langsung menghilang. Astaga~ dari mana pikiran ini datang?



**********



Selamat malam sayang. Jangan tidur terlalu larut. Jaga kesehatanmu, ara? Bogoshipo.



Hyo Jin membaca pesan itu sekilas, lalu meletakkan ponselnya kembali. Ia menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dan meringis.


Sebenarnya gadis itu sudah menahan diri untuk tidak keluar kamar. Tapi ia benar-benar tak tahan saat aroma daging asap yang menggiurkan tercium dari dalam kamarnya. Dan disinilah Hyo Jin sekarang. Duduk kaku di meja makan berseberangan dengan L.Joe. Hyo Jin mengambil alat makan dan memotong daging di piringnya tanpa bicara.


L.Joe menyeringai. “kenapa menunduk terus? Takut melihatku ya?” Hyo Jin langsung tersedak-sedak dan segera meminum airnya. Suara tawa kecil terdengar dari mulut L.Joe.


“makanya jangan mesum. Kalau sudah begini aku khawatir kau jadi terus-menerus membayangkan tubuhku” L.Joe berdiri dan berlalu sambil membawa bekas piringnya menuju dapur.


Hyo Jin menggebrak meja dan menoleh mengikuti pergerakan L.Joe.
“Kau pikir tubuhmu sebagus apa sih? Tidak ada yang menarik. Ototmu seperti lelucon. Apa yang sebenarnya kau banggakan? Kulit tubuhmu sangat pucat seperti mayat. Lalu tanda lahir di punggung sebelah kananmu juga membuat semuanya makin tidak bagus” L.Joe berbalik dengan kaget.


“kau bahkan hapal letak tanda lahirku? Padahal ukurannya tak sampai dua centi. Bagaimana bisa kau melihatnya? Kau benar-benar fokus memandangi badanku ya?” dan Hyo Jin pun tersedak lagi.


“a..aku tidak…” Gadis itu kehilangan kata. Kalau begini ia jadi benar-benar terlihat seperti gadis mesum yang terus mengingat-ingat betapa sempurnanya tubuh sang rekan satu apartemen. Akhirnya Hyo Jin pura-pura bersikap tenang dan melanjutkan makan. L.Joe menggeleng-gelengkan kepalanya. Rekan satu apartemennya benar-benar unik , tapi juga berbahaya.


Drrt… drrt…
Tiba-tiba saja ponsel Hyo Jin yang terletak di meja makan bergetar. Gadis itu segera meraihnya. Dan dalam sekejap, senyuman manis pun terbentuk.


“astaga~ pria Prancis itu manis-manis ya..” ucap Hyo Jin dengan suara dikeras-keraskan. Ia melirik L.Joe yang masih sibuk menuangkan air dari botol di kulkas. Berharap mendapat perhatian.


“Nathan mengirimkan ucapan selamat tidur dan emoticon kiss! Ah~~~” Hyo Jin memeluk ponselnya dan melirik L.Joe lagi. Bertepatan dengan itu, L.Joe keluar dari dapur dan menatapnya dengan datar. Hyo Jin segera memalingkan wajahnya ke layar ponsel lagi.  


“astaga~ kurasa ada kupu-kupu di perutku”
“coba ke dokter! Mungkin sebelumnya kau tak sengaja makan ulat bulu” dan Buk! L.Joe menutup pintu kamarnya. Hyo Jin membuka mulut tak percaya sembari menatap pintu yang sudah tertutup itu. L.Joe benar-benar mengabaikannya. Bahkan meledeknya juga.


"Babo ya" dengus Hyo Jin.



**********



Langkah L.Joe terhenti. Tepat sepuluh meter di depan, seorang pria tengah menatapnya sambil tersenyum. Tapi L.Joe hanya memberikan tatapan datar, lalu menoleh kearah lain sambil menyelipkan kedua tangannya di saku. Ia tak tahu harus berekspresi seperti apa saat melihat anggota keluarganya ada disini. Jangan-jangan ia akan dipaksa pulang. L.Joe menarik napas, ia tak bisa menghindar. Akhirnya kedua pria itu pun mengayun langkah saling mendekat.


“ hyung”
“mau minum kopi sebentar?”
Dan disinilah mereka berakhir, di bagian teras sebuah kedai kopi. L.Joe menyesap Americano-nya yang pahit lalu mengangkat wajah menatap si pria, Kyunghun, kakak laki-laki L.Joe.


“bagaimana kau menemukanku?” Kyunghun tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya.
“sebut saja kebetulan” mana mungkin? pikir L.Joe dibalik wajah datarnya.
“oke.. aku memang sengaja ke Paris untuk mencarimu. Tapi kau tahu sendiri kan, tak ada satu pun anggota keluarga yang tahu tempat tinggalmu disini. Jadi, pertemuan kita saat ini….” Kyunghun mengambil jeda seraya mengangkat cangkir caramel macchiato-nya. “itu kebetulan” sambung pria itu sebelum menempelkan bibirnya di bibir cangkir.


“kalau begitu katakanlah. Jadi kau termasuk kaki tangan eomma juga? Kau ingin memaksaku pulang?” Kyunghun, masih dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampannya, segera menggeleng. Alis L.Joe tertaut. Ia tak bisa begitu saja percaya.


“lalu apa? kenapa kau mencariku?” Kyunghun menyodorkan sebuah kotak handphone.
“kau sudah merusak ponselmu kan? Ini! aku tak ingin putus komunikasi dengan adikku”
“sebenarnya kau berada di pihak siapa, hyung? Apa eomma sudah menyerah denganku? Apa sekarang ia memberikan perusahaan padamu?” Kyunghun menggeleng.


“tidak mungkin byung” ucap pria itu pelan.
“tidak mungkin? Wae?”
“karena aku bukanlah anak kandung mereka” L.Joe merasa seperti tersambar petir di tengah langit yang cerah. Ucapan pria itu membuatnya seperti tak bisa merasakan gravitasi.


“a..apa?”
“aku juga kaget. Tapi mau bagaimana lagi? itulah kenyataannya”
“b..bagaimana bisa?”
“mereka mengambilku dari panti asuhan” L.Joe kehilangan kata. Ia terus menatap Kyunghun dengan bola mata yang bergetar. Dalam hati namja itu terus berharap agar Kyunghun tiba-tiba saja bilang ‘aku hanya bercanda’ sambil tertawa-tawa. Kalau itu terjadi, ia janji tak akan marah seperti kemarin-kemarin.


“Eomma sempat divonis tak bisa punya anak dan… yah… mereka mengadopsiku. Namun 5 tahun setelahnya kau malah muncul, byung” Kyunghun tertawa sedih. Tapi sebenarnya L.Joe lebih sedih lagi. Ia ingin bangkit dan memeluk kakak yang selalu melindunginya ini, tapi di sisi lain mereka tak pernah melakukan hal itu. Dan sepertinya memang tidak akan pernah.


“walaupun begitu, kau tetap harus menghormatiku ya..” kedua namja itu saling bertingkah kuat. Mereka menahan tangis dan tersenyum seperti tak terjadi apa-apa.


“tolong jangan beritahu eomma aku disini”
“tidak akan. Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah!” L.Joe mengangguk. Ia memeriksa arlojinya dan menatap Kyunghun lagi. “masih ada yang ingin kau bicarakan hyung? Aku~ kurasa aku harus pulang”


“wae? ada yang menunggumu di rumah?” L.Joe tersenyum. Kyunghun ikut tersenyum seolah mengerti.
“perempuan Prancis?”
“apa? Aish~” Kyunghun terkekeh.
“memangnya kau pikir aku tak tahu hah?”
 “tapi ini tak seperti yang kau pikirkan. Kami hanya~”
“oke.. oke.. itu urusanmu”
“benar. Itu urusanku. Aku pulang, hyung” pria itu menahan L.Joe yang hampir berdiri. “tunggu” ekspresi Kyunghun nampak serius.


 “dan satu lagi…” pria itu mengeluarkan amplop cokelat besar dan menyodorkannya pada L.Joe.
“rahasia lain di keluarga ini”


**********



Hyo Jin berjalan memasuki sebuah restoran. Langkahnya terlihat ringan meski dengan high heels, dan siapapun yang meihat wajahnya pasti bisa menebak kalau gadis itu sedang sangat bahagia. Ia duduk di salah satu kursi dan langsung sibuk merapikan rambutnya yang bahkan sudah sangat rapi. Hyo Jin yang biasanya tak begitu peduli penampilan kini terlihat sangat manis dengan pita di rambutnya. Gadis itu tersenyum sembari mengalihkan pandang ke jendela kaca. Ini adalah kencan pertamanya dengan si pemuda Prancis. Hyo Jin merasa sangat gugup tapi juga tidak sabar. Kata orang, pria Prancis itu romantis kan?


Walaupun Hyo Jin mengkategorikan dirinya sebagai ‘gadis yang tak sabar’, tapi sebenarnya tanpa ia sadari ia adalah seorang yang sangat penyabar. Bagaimana tidak? dua jam sudah ia menunggu, tapi Nathan tak juga datang. Perlahan namun pasti senyum Hyo Jin kian menipis menipis hingga akirnya menghilang. Seorang pelayan yang sudah mendatanginya tiga kali kini datang lagi,


“I’m sorry but you have to order something”
“I told you already, I’m waiting my boyfriend. I’d order when he comes”
“am sorry but…”
“okay give me juice. Whatever juice. I don’t care. Up to you”
“w..what? okay”


Saat pelayan itu pergi, Hyo Jin yang semakin depresi langsung meraih ponsel dan menarik napas bimbang. Ia ingin sekali menelfonnya, tapi di sisi lain gadis itu takut Nathan marah dan menuduhnya tidak sabar. Bagaimanapun ini kencan pertama mereka, jadi Hyo Jin sungguh menahan diri. Ia menimbang-nimbang selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk benar-benar menelfonnya.


hello..........uhm No, I just want to ask, where are you?..........uh? what? Don’t we have a date today?..........all right, I see……….” Kepala Hyo Jin langsung tertunduk. Aura kekecewaan terpancar dahsyat dari tubuhnya. Kalau ia bisa meledak, maka ia pasti sudah meledak. Hyo Jin mengangguk-angguk tak peduli mendengarkan ucapan Nathan.


It’s fine. I’m not in restaurant anyway” Hyo Jin tertawa miris sambil memerhatikan segelas jus mangga diletakkan di mejanya.


bye”


“I’m not in restaurant anyway” tiba-tiba saja terdengar suara dari belakangnya. Hyo Jin menoleh.


“then where the hell are you, brainless?”



**********



L.Joe melihat-lihat hasil fotonya dengan tidak puas. Seharusnya ia bisa memotret jauh lebih baik dari ini. Tapi entah kenapa mood-nya kacau seharian dan semua jepretannya terlihat tidak bernyawa.


“I’d order when my boyfriend came” L.Joe tersentak mendengar suara itu. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum menoleh pelan-pelan ke belakang. Dan L.Joe pun makin tersentak. Ternyata Hyo Jin persis berada di belakangnya. Mereka duduk saling membelakangi dengan bangku yang bahkan bersentuhan.


‘boyfriend’ L.Joe bergumam sambil mengerutkan alisnya. Entah kenapa, ia merasa sedikit penasaran dengan sosok ‘boyfriend’ yang Hyo Jin maksud.


Dua jam berlalu. L.Joe sudah menghabiskan secangkir vanilla latte dan es krim untuk dua orang. Sebenarnya ia sudah tak tahan, tapi entah kenapa ia juga tak mau meninggalkan Hyo Jin begitu saja. Setidaknya sampai ‘boyfriend’ itu datang.


Tak lama kemudian, Hyo Jin akhirnya menelfon pria yang ditunggu-tunggu. Selama mendengar percakapan sepihaknya, L.Joe tak berhenti tertawa sinis sambil menggeleng-geleng.


“I’m not in restaurant anyway” dan saat mendengar kalimat itu, ekspresi takjubnya semakin menjadi-jadi. Ia baru tahu ternyata sang rekan seapartemen adalah gadis super bodoh dengan otak yang lebih dangkal dari taman air untuk bayi.


L.Joe langsung berbalik saat Hyo Jin sudah mengakhiri telfonnya dan “I’m not in restaurant anyway” pria itu menirukan nada bicara Hyo Jin. Sang gadis pun refleks berbalik dengan kaget.


“then where the hell are you, brainless?” lanjut pria itu dengan nada super sinis.
“kau? sejak kapan disitu? Kau menguping ya? Apa yang kau lakukan dari tadi? Astaga bagaimana bisa aku tidak menyadari keberadaanmu?”


“harusnya kau bilang padanya kau sudah menunggu dua jam disini” L.Joe melirik arlojinya, “tidak. Lebih sepuluh menit malah. Kau benar-benar bodoh. Demi Tuhan apa yang kau pikirkan?”


Hyo Jin menatap L.Joe geram lalu berdiri tiba-tiba dan berlalu pergi dengan langkah cepat. “miss, you haven’t paid the juice”


“I’m not drinking it yet. Why should I pay?” Pekik Hyo Jin tepat sebelum pintu keluar, lantas benar-benar meninggalkan restoran. Salah satu pelayan hendak mengejar, tapi L.Joe dengan sigap menahannya.


she is with me” ucap L.Joe sambil memberikan sejumlah Franc.


Setelahnya namja itu langsung berlari menyusul Hyo Jin yang berjalan sangat cepat. Dan walaupun terengah, ia akhirnya berhasil.


“kenapa kau begini? Kau harusnya marah dengan pacarmu itu! Bukan denganku” Hyo Jin tak merespon. Ia melirik L.Joe dengan tajam lalu membuat suara ‘huh’ sambil mempercepat jalannya. L.Joe mendecak, lantas ikut mempercepat jalan.


“jadi kau sudah punya pacar ya? Oh.. aku baru tahu, padahal kita belum sampai sebulan disi…”
“diamlah. Aku tak mau membicarakannya”
“okay… tapi aku penasaran bagaimana wajahnya. Dia orang asli Pran…….”
“KUBILANG DIAM!” Hyo Jin berhenti menghadap pria itu dan berteriak. L.Joe langsung mengatupkan mulutnya dan refleks mengangkat kedua tangan seolah bilang ‘oke! Aku tak akan bicara lagi’. Lalu keduanya melanjutkan langkah dengan lebih tenang.


“jangan berteriak seperti itu. Padahal hari ini kau terlihat sedikit lebih cantik dari Hyo Jin yang kutemui di apartemen” gadis itu luar biasa terkejut. Namun ia menahan ekspresi senangnya dalam-dalam.


Entah kenapa, mendengar seorang L.Joe memujinya begitu, Hyo Jin jadi merasa pusing. Ia berjalan lebih pelan sambil menahan senyum. Lalu kakinya pun mulai terasa sakit. Ia menunduk dan melihat high heels yang ia kenakan. Dia pakai high heels dan membuat kakinya sakit demi Nathan, tapi namja itu malah lupa. Oh.. bukan… katanya ia tidak lupa, tapi sedang sibuk dengan tugas kuliah. Baiklah. Apapun itu, Hyo Jin berusaha percaya.


Hyo Jin berhenti lagi. Ia berpegangan di pundak L.Joe yang ikut berhenti dan KREEG! Mematahkan heels itu dan membuangnya begitu saja.


“padahal aku baru memujimu, tapi sepertinya sifat preman-mu sudah kembali”
“jangan komentar. Kau tak tahu semelelahkan apa heels itu”
“lalu kenapa kau memakainya?” Hyo Jin hanya melirik L.Joe tanpa berniat menjawab. Ia juga tak tahu kenapa tiba-tiba ingin pakai pita dan heels begini. Bahkan make up-nya sedikt lebih tebal dari yang biasa. Sepertinya ia kelewat antusias untuk agenda kencan pertama dengan pemuda prancis.


“mau langsung ke apartemen?”
“memangnya kemana lagi?”
“jalan-jalan di sekitar Eiffel…………….. mungkin” jawab L.Joe ragu. Ia bahkan tak menoleh pada Hyo Jin dan memegangi tengkuknya sambil pura-pura melihat etalase tas branded.
“okay. Lagipula aku sudah dandan secantik ini kan?” balas Hyo Jin dengan tawa ringan.



**********






Perlahan-lahan langit yang biru mulai berubah gelap. Lampu di menara Eiffel menyala, memamerkan keindahannya yang memukau. Dalam sekejap, kawasan Eiffel yang tadi lebih dipenuhi oleh para pekerja kini berubah menjadi surganya para pasangan. Tak terkecuali dua muda mudi asal Korea yang satu ini, walaupun bukan pasangan, setidaknya mereka juga ikut menyumbang keramaian.


“kau berdiri di sana! benar. Sebelah sana” ujar L.Joe mengarahkan. Hyo Jin mengikuti arahan itu dan tersenyum menghadap kamera. Mungkin ini seperti naluri seorang fotografer, tiap melihat pemandangan bagus, L.Joe selalu menyuruh Hyo Jin bergaya. Dan untungnya gadis itu termasuk perempuan yang senang berada di depan kamera, jadi semuanya tidak terlalu sulit.


Hyo Jin sangat menikmati waktu-waktunya sebagai model dadakan. Dan walaupun L.Joe belum menjadi fotografer ternama, Hyo Jin sungguh mengagumi hasil jepretan kameranya yang sangat indah. Semuanya terlihat sempurna dan L.Joe benar-benar mampu mengabadikan pemandangan itu sama indahnya dengan yang asli.


Setelah lelah berjalan-jalan, L.Joe dan Hyo Jin memutuskan untuk pulang. Mereka berjalan bersebelahan dan sibuk beradu argumen tentang pelayan di restoran tadi. L.Joe membela pelayan itu sementara Hyo Jin mencelanya habis-habisan. Hingga tiba-tiba saja langkah Hyo Jin terhenti, senada dengan mulutnya yang langsung terkatup. L.Joe ikut berhenti dengan bingung, lalu mengikuti arah mata sayu gadis di sebelahnya.


“ada apa?”
“Nathan”
“pacarmu? Yang mana? Yang sedang merokok atau yang sedang minum bir atau yang sedang merangkul wanita itu?” ini seperti skak mat dalam catur.


“mungkin aku salah lihat. Nathan bilang dia sedang sibuk mengerjakan tugas” Hyo Jin memutar pandangannya ke depan dan kembali melangkah. Begitu pula dengan pria di sampingnya.


“dan kau percaya?” tanya pria itu pelan. L.Joe menyeringai kecil sambil merunduk memperhatikan langkahnya sendiri.


“aku percaya. Nathan tidak akan berbohong”
“kenapa kita tidak mendekat dan memastikan? kau bisa menampar pacarmu di depan teman-temannya mungkin”


“tidak usah. Ini sudah malam, aku pasti salah lihat”
“katakan saja kau takut menghadapi kenyataan. Pacarmu itu brengsek”
“kita belum pacaran, L.Joe~ssi. Berhentilah memanggilnya pacarku”
“itu bagus. Setidaknya kau bisa berpikir ulang untuk menyukainya” kali ini Hyo Jin benar-benar mengabaikannya. Ia berjalan dengan langkah gamang dan wajah yang menyiratkan kekecewaan.



*********


Langit-langit kamar yang hampa tak luput dari pandangan L.Joe selama hampir sejam terakhir. Walau matanya tertuju kesana, pikirannya sudah melayang-layang sampai ke Seoul. Apa ia akan terus menjalani hidup seperti ini? L.Joe mulai meragukan keputusannya meninggalkan rumah. Ia bahkan merusak ponsel dan membuangnya ke sungai Seine. Takut terlacak di GPS oleh ibunya yang luar biasa canggih. Tapi setelah melakukan itu semua, entah kenapa perasaannya sekarang malah terasa hambar. Ia tak merasa senang ataupun sedih. Dan ia tak tahu kenapa. Salah memilih tujuan hidup kah? Walaupun nantinya ia menjadi fotografer terkenal sekalipun, ia tak bisa membuat bahagia siapa-siapa. Orang tuanya pasti akan tetap kecewa.


 L.Joe yang sedang berbaring dengan tangan yang menyilang di belakang kepala itu menoleh melihat kameranya. Atau mari kita sebut ‘senjata’-nya sebagai seorang fotografer. L.Joe meraih benda itu dan mengecek apa-apa saja yang sudah ia foto hari ini. Tatapannya terlihat datar di sepanjang foto-foto awal. Namun begitu kawasan Eiffel terlihat, senyum tipis mulai terbentuk. Keanggunan Eiffel bukan satu-satunya alasan, justru ekspresi seorang gadislah yang memiliki andil lebih besar. Park Hyo Jin.


Hyo Jin bisa membuat ekspresi yang sangat manis hingga membuat L.Joe tersenyum dan bisa juga membuat ekspresi super konyol hingga L.Joe tertawa. Pria itu benar-benar menikmati isi kameranya malam ini. Ia sudah memotret lama sekali dan baru sekarang ia merasa luar biasa puas dengan hasilnya. Selain foto-foto itu, L.Joe juga memotret tanpa sepengetahuan Hyo Jin. Seperti ketika gadis itu membeli permen kapas, atau tertawa kagum menunjuk cahaya Eiffel. Entah bagaimana, Park Hyo Jin menjelma menjadi gadis yang sangat menarik.



**********


Dua minggu yang lain berlalu di Paris. Banyak perubahan yang terjadi. Terutama pada Hyo Jin, ia menjadi semakin dekat dengan Nathan. Atau dengan kata lain mereka berpacaran. Bahkan malam ini gadis itu pergi ke sebuah bar bersama Nathan, tentu saja L.Joe khawatir. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegah seorang Park Hyo Jin yang keras kepala? Terlebih ia juga punya kehidupan sendiri yang tak kalah melelahkan. Tugas fotografi dan masalah pribadinya.


“karena aku bukanlah anak kandung mereka”


L.Joe teringat kata-kata Kyunghun tiga minggu yang lalu. Perkataan itu terus berputar di benaknya seperti candu. Seharusnya ia fokus mengedit hasil jepretan kameranya malam ini, tapi tiba-tiba saja ingatan itu terbersit lagi dan sukses membuat konsentrasinya buyar.


Sejak pertemuan tiba-tiba di kafe itu, L.Joe tak bisa lagi memerintah akalnya untuk berpikir tenang. Ia mulai merasa bersalah. L.Joe merasa seperti pecundang yang lari dari tanggung jawab. Karena sebenci apapun L.Joe pada hidupnya, perusahaan di Seoul itu –suka tidak suka- sudah jatuh ke tangannya. Dan yang L.Joe lakukan malah pergi menuju Paris. Mengabaikan tanggung jawab.


Aku seharusnya tidak egois dan menjalankan perusahaan itu dengan baik. Tapi, aku masih tak terima jika Kyunghun yang jelas-jelas pantas mendapat jabatan itu malah diabaikan. Dia lebih berhak dariku. Tapi kenapa eomma harus menentangnya? Jika hanya karena masalah ‘anak kandung’, Tidakkah itu terlalu berlebihan? Maksudku, hei… Kyunghun sudah tinggal bersama kami sejak kecil. Lantas apa bedanya denganku?


Napasnya terhembus gusar. Di sisi lain, L.Joe sungguh belum mampu mengubur cita-citanya sekarang. Fotografi adalah sesuatu yang ingin ia capai sejak dulu, dan sekarang…. saat kesempatan mulai terbuka, L.Joe tak mungkin melepasnya begitu saja. Ia tak akan rela. Pria itu menatap lemah layar laptopnya. Jari L.Joe bergerak pelan menggiring kursor mendekati tombol close. Ia tak bisa menyelesaikan ini sekarang. Pikirannya terlalu kalut untuk diajak bekerjasama. Mungkin dini hari nanti ia akan terbangun dan melanjutkan. Bagaimanapun ia harus mengumpulkan pekerjaan ini besok siang.


TRAAANGG!


L.Joe refleks menoleh. Suara pecah terdengar dari luar. Tanpa membuang waktu ia membuka pintu dan menyembulkan kepalanya ke arah pintu masuk apartemen dan… “Hyo Jin?” Gadis yang sedang dalam posisi jatuh terduduk itu melambaikan tangannya pada L.Joe sambil tersenyum lebar. Di sekeliling kakinya terdapat pecahan vas bunga, namun ia tampak tak peduli dan malah dengan sengaja menggenggamnya. Darah segar segera saja mengalir.


Hyo Jin nampak terkejut selama beberapa saat, namun di detik berikutnya ia malah tertawa senang dan memamerkan tangannya yang berdarah pada L.Joe. Namja itu menatap Hyo Jin heran.


“Kau… mabuk?” seharusnya ia tak perlu bertanya lagi. Walau Hyo Jin sering bertingkah konyol, ia tak mungkin melakukan hal sebodoh ‘melukai diri sendiri’. Dan dengan alasan itu, L.Joe terpaksa mendekati Hyo Jin dan mengangkat tubuhnya.


“ei.. kau menyentuhku! Ini menyalahi kesepakatan” teriak Hyo Jin. Namun, saat L.Joe sudah berhasil berdiri sambil menggendongnya, ia malah bersandar di dada L.Joe dan memeluk lehernya. Pria itu mendecak tak suka seraya menjauhkan wajah, bau alkohol yang tajam menguar menusuk indra penciumannya.


Karena pintu kamar L.Joe sedang dalam keadaan terbuka, ia memasukkan Hyo Jin ke dalam dan membaringkannya disana.


“cih… apa yang kau pakai huh? Ini terlihat seperti t-shirt! Gaun seharusnya tidak sependek ini”
“Nathan yang membelikannya, bagus kan?” Hyo Jin yang setengah sadar itu tersenyum.
“dia hanya mau membuatmu tampak seperti gadis Asia murahan”
L.Joe mengambil kain dan obat antiseptik, lalu duduk di samping Hyo Jin yang setengah memejam. Gadis itu terlihat sangat bodoh karena terus tersenyum. Pengaruh alkoholnya sangat kuat.


“kau kesini dengan siapa? Nathan?” L.Joe membersihkan luka Hyo Jin dengan kain basah.
“ne..”
“apa saja yang sudah dia lakukan padamu?” Hyo Jin tiba-tiba bertepuk tangan sambil tertawa keras.
“dia sangat manis, Joe~ aku mau menikahinya!”
“menggelikan!”
“dia menciumku”
“hanya itu?” sang gadis mengangguk. L.Joe membalut luka di tangan Hyo Jin dengan kain kasa dan menggunting ujungnya.


“dia menciumku, Joe”
“iya aku dengar! Kau tak perlu mengulangnya lagi. Aku tak mau dengar” Pria itu berdiri, namun Hyo Jin menangkap tangannya.


“dia menciumku seperti ini” Hyo Jin menangkupkan kedua tangannya di pipi L.Joe dan menempelkan bibir mereka dengan kuat. L.Joe terbelalak syok dan menatap Hyo Jin yang berada di depan wajahnya.


“dia menciumku seperti itu di depan teman-temannya, lalu mencium gadis lain dan mencium gadis lain lagi dan mencium semua orang. Aku tak mengerti, Joe~.. aku tak mengerti” dan Hyo Jin yang sejak tadi tertawa-tawa kini mulai menangis. L.Joe yang masih syok setengah mati tak bergerak dan hanya menatapnya.


“tapi aku mencintainya. Aku sangat mencintainya”
“k..kau baru dua bulan disini. Kau tidak mencintainya” sahut L.Joe terbata. Ia masih tak percaya Hyo Jin melakukan itu padanya. Walaupun dalam keadaan mabuk, walau mereka tak saling suka, tapi tetap saja…..


“aku ambilkan selimut di kamarmu. Diam disini, tidurlah” Hyo Jin menurunkan posisi kepalanya dan tidur meringkuk menghadap beranda.


Saat L.Joe kembali, Hyo Jin sudah terlelap. Namja itu menutup tubuh Hyo Jin dengan selimut dan berdiri diam di samping ranjang. Memperhatikannya.


L.Joe menggigit bibirnya yang terasa aneh. Namja itu masih belum benar-benar percaya. Ia tak pernah berciuman sebelumnya, dan benar-benar konyol rasanya jika ciuman pertama yang harusnya menjadi sesuatu yang spesial malah berakhir dengan kejadian seperti tadi.


“tck~ gadis bodoh”

L.Joe memijit keningnya dan kembali ke meja kerja, lantas membuka laptopnya lagi. Ia tak akan bisa tidur jika gadis itu berada di ranjangnya, jadi inilah saat yang tepat untuk bekerja.


TBC 

Comments

Post a Comment

Popular Posts