The Calling
Cast : Jung Cheonsa
Wu Yifan
Genre : Romance, Fluff
Rating ; PG ā 16
Length : >3000 words
Setelah menghilang
seperti dimakan waktu, ia malah menghubungiku sekarang? Aisshh...kenapa tidak
berhenti juga?
ā Jung
Cheonsa ā
Pacarnya menghilang tanpa kabar lebih dari
sebulan. Menghilang begitu saja tanpa kabar dan tak bisa dihubungi. Apa lagi
yang bisa Cheonsa lakukan selain menunggu. Ia sudah bosan menghubungi nomor
yang sama, mengirimi pesan dari yang panjangnya sampai dua bait puisi hingga
yang pendek sakali. Ia sudah malas.
Tapi kalau boleh jujur ia hanya terlalu takut jika semua usahanya tak membuahkan hasil apapun. Apapun yang
terjadi, siap atau tidak, ia sudah memikirkannya.
Orang itu pergi tanpa memberitahunya. Apa yang
bisa ia pikirkan selain panik dan membuat sangkaan-sangkaan aneh tentang pria
itu? Sebenarnya ia sempat berpikir mengenai keberadaan orang itu selama ini, tapi dimanapun
pria itu berada, ia tetap tak bisa menerima alasan kepergiannya yang begitu
misterius.
Dan di saat Cheonsa mulai menyisihkan pikiran
tentang pria itu secara perlahan dari otaknya, ponselnya berdering dan tebak
siapa yang menghubunginya!
Yifan
Napasnya berembus beriringan dengan gerak
tubuhnya yang menegang. Entah kenapa ia merasa tak bisa mengendalikan dirinya.
Ia terus memandangi layar ponselnya sementara benda tipis itu terus berdering
dan menyisakan getaran kecil dalam genggamannya. Setelah menghilang seperti
dimakan waktu, ia malah menghubungiku sekarang? Aisshh...kenapa tidak
berhenti juga?. Ia menggerutu sambil
terus menghentakkan kakinya seolah bunyi dering itu akan berhenti.
ā Oke...kau pernah berperan dalam drama
perpisahan sekolah dan kau sangat pandai bersandiwara. Jadi sekarang waktunya
beraksi, jenius!ā gumamnya. Matanya terpejam, mulutnya berkomat-kamit dan tak lama
kepalanya mengangguk yakin.
Ia membuka matanya setelah mengembuskan napas.
Matanya menyorot layar ponsel dan telunjuknya langsung menggeser icon hijau. Ia berdeham pelan sebelum
mendekatkan ponselnya ke telinga.
Tak terdengar suara orang bicara, yang ada
hanya sebuah kebisuan yang terbungkus dalam suasana tenang dan mendebarkan.
Yah...entah kenapa dua hal itu bisa menyatu pada saat yang bersamaan, tapi
Cheonsa tak begitu memusingkan hal itu. Semenjak bersama Yifan suasana di
sekitarnya bisa menjadi seperti apa saja.
Barulah setelah beberapa detik sama-sama
terdiam, orang di ujung telepon sana terdengar bicara. Namun hanya menggumamkan
sebuah kalimat yang tak terdengar jelas untuk Cheonsa. Dan itu membuat Cheonsa
semakin berdebar, ia merasa semakin penasaran dengan apa yang akan pria itu katakan
setelah sebulan lebih menghilang tanpa kabar.
Suara napas pria itu terdengar, bahkan terasa
berhembus dan menembus layar ponsel lalu membelai kulit pipinya.
Astaga...imajinasinya menjadi sangat liar.
ā Apa yang sedang kau lakukan?ā suara itu
mengalun datar, bahkan terlalu datar hingga membuat siapa saja yang mendengar
akan mengira kalau orang itu sudah bosan hidup.
Rasanya seperti orang tolol. Ia sudah
menggantungkan harapannya begitu tinggi. Ia berharap Yifan akan mengucapkan I miss you atau maaf aku tak menghubungimu belakangan ini. Ia tahu Yifan sedikit
bermasalah dalam mengungkapkan perasaannya, ia juga sangat memakluminya karena ia
sendiri bukan seseorang yang bisa mengumbar perasaannya dengan mudah. Tapi
untuk kali ini, ia merasa sangat kesal. Ia merasa benar-benar idiot karena
sempat merindukan pria itu.
ā Mengerjakan tugas kuliah.ā Jawabnya berbohong.
Sebenarnya Cheonsa tak merasa harus
menjawab pertanyaan itu, tapi ia ingin
tahu reaksi apa yang akan Yifan berikan setelahnya. Namun setelahnya ia hanya
mendengar suara dengungan ooohhhh yang begitu panjang.
Astaga!! Ia benar-benar ingin meledak sekarang juga!!.
ā Kau terdengar baik-baik saja. Yeah.. I think so. Anyway, you donāt miss
me?ā suara itu terdengar santai dan
masih dengan nada datar yang entah kenapa sangat dibenci Cheonsa saat ini.
Entah ia yang terlalu idiot sampai merindukan
pria itu atau pria itu yang terlalu brengsek hingga tak mengerti perasaannya?.
Cheonsa mendenguskan napasnya kasar, genggamanya semakin kuat dan jika saja
tangannya kuat mungkit ponsel putih itu akan hancur.
ā How
should I? Aku memiliki banyak tugas dan pekerjaan, melakukan hal yang kau
tanyakan itu hanya akan menambah kesibukanku. Sayangnya aku sudah sangat sibuk
dengan kuliahku. Iām sorry, Iām
not.ā Runtutnya panjang dan yakin. Merasa rindu yang begitu dalam ditambah
rasa kesal yang begitu besar, menuntunnya menjadi tidak berperasaan.
Ia sudah lelah merindukan pria itu āmeski ia
mengakui tidak memiliki waktu untuk melakukannyaā dan yang ingin ia lakukan
sekarang adalah mengakhiri percakapan di sore yang entah kenapa tak indah lagi
setelah pria itu menyerukan suaranya.
ā Wow..youāre
just as great as I expected. Good. But.. why didāā
ā Bisa kita lanjutkan percakapan ini lain
hari? Aku sedang sibuk membaca buku untuk esai-ku.ā Selak Cheonsa cepat. Gadis
itu sudah tak ingin mendengar apapun, tidak sekarang. Ia tahu benar jika yang
ia butuhkan sekarang adalah waktu untuk merenung, untuk menenangkan dirinya
dari gejolak panas yang menguasai dirinya. Ia berani bertaruh, jika percakapan
ini terus berlanjut, mereka hanya akan berakhir dengan pertengkaran bodoh.
Yifan terdengar menahan napasnya sejenak
sebelum akhirnya terdengar suara embusan napas pelan. ā Baiklah.. see you.ā Ucap Yifan dengan nada pasrah.
Cheonsa langsung mematikan ponselnya dan
memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya dalam satu
sentakan cepat. Ia kembali melanjutkan
langkahnya yang sempat tertunda karena panggilan bodoh itu. Ia
sudah tak peduli dengan pemandangan asri taman tempatnya berada sekarang,
karena detik ini ia merasa sangat kesal.
Entah kenapa rasanya sangat kecewa. Ia merasa
sangat bodoh, seperti yang ia pikirkan sebelumnya, merindukan Yifan hanya akan
berakhir menjadi kebodohan terbesar yang pernah ia lakukan. Dan sekarang ia
menyesalinya. Menyesal karena nyatanya ia malah semakin merindukan pria itu,
rasanya ingin tahu bagaimana keadaan manusia aneh itu saat ini. Ia benar-benar
tolol, kan?.
Sepanjang jalan bertumpuk daun-daun kering
yang telah menggugurkan dirinya, Cheonsa terus menundukkan wajahnya, berjalan seolah
tak memiliki harapan hidup lagi. Tak peduli dengan rencana awalnya datang ke
tempat ini. Tadinya ia ingin menenangkan diri dengan melihat daun-daun yang
mulai menguning dan berjatuhan. Ia pikir suasana hatinya akan membaik setelah
itu, tapi nyatanya ia malah merasa sangat kesepian sekarang. Ia merasa
benar-benar menyesal, dan anehnya ia menyesali dua alasan yang begitu berbeda
dalam waktu bersama. Pertama, ia menyesal karena tak
sempat memaki pria itu sebelum percakapan mereka berakhir. Dan yang kedua
adalah ia merasa sangat menyesal telah mengakhiri perbincangan itu,
sementara dirinya masih sangat merindukan pria itu.
ā Aku masih belum mengerti esai macam apa yang
sedang kau kerjakan di sini.ā Sebuah suara
tiba-tiba terdengar begitu jelas dan dekat.
Cheonsa menghentikan langkahnya sejenak,
sebelum akhirnya menggeleng dan melanjutkan langkahnya kembali. Ia berjalan
dalam keheningan dan tak mau diepotkan dengan suara tadi. Ia merasa semakin
kasihan pada dirinya sendiri. Ia tak mengerti kenapa pria itu mempengaruhi
hidupnya begitu besar. Sebelumnya ia juga pernah mendengar suara pria itu di
perpustakaan kampusnya, namun saat ia menoleh, itu hanya suara petugas
perputakaan yang menyapanya.
ā Mungkinkah kau sedang menulis esai berjudul
āBagaimana Rasanya Menginjak Daun Keringā? cihh..itu kedengaran tidak masuk
akal.ā Suara monolog itu kembali terdengar. Dan kali ini terdengar begitu
meyakinkan. Tapi Cheonsa memutuskan untuk tak menghiraukannya. Ia hanya ingin
pergi dari tempat itu dan segera sampai di kamarnya.
ā Oohh...aku tak bisa menebaknya dengan lebih
baik.ā Kini suara itu terdengar frustasi. Mungkin sudah kehabisan stok ide
untuk ia lontarkan.
ā Heh..kau tuli ya? Sejak tadi aku bicara
denganmu dan kau terus mengabaikanku?ā
Kali ini Cheonsa tak bisa menahan tubuhnya
untuk berbalik dan bertemu pandang dengan sosok jangkung yang selama ini
membuat dunianya terasa aneh dengan cara yang menyenangkan. Entah bagaimana
caranya pria itu ada di sana, tapi begitulah kenyataannya. Pria itu ada di
hadapannya dengan wajah kesal dan sungutan kecil. Apa tingkat imajinasiku sudah
semenyedihkan ini?.
ā Bagaimana bisa kau berada di sini?ā gumam Cheonsa. Ia tak berani melontarkan pertanyaannya dengan suara lebih lantang, tapi untungnya Yifan bisa mendengarnya.
Pria itu hanya mengangkut bahu, berjalan ke
arahnya dengan langkah santai. ā Berjalan.ā Jawabnya singkat.
Oke...seharusnya Cheonsa tak melupakan jika pria di
hadapannya adalah salah satu makhluk langka yang mampu membuatnya kesal kapan saja. Huft...akhirnya
Cheonsa memikirkan pertanyaan lain yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya tanpa
membuatnya ingin menggantung diri.
ā Oke...tapi sejak kapan kau ada di
belakangku?ā
Yifan memasukkan kedua tangannya ke saku
celana, terlihat mempertimbangkan jawaban seperti apa yang akan ia berikan.
ā Mungkin kau tidak akan mempercayainya.ā Pria
itu berhenti sejenak, matanya bertemu dengan mata Cheonsa yang terlalu penuh
dengan resah yang membuatnya tak tega.
ā Aku mengikutimu sejak kau keluar dari gedung
kampus hingga akhirnya sampai di sini. Aku tahu ini sangat tidak aku, tapi ternyata kegiatan seperti ini
sangat menyenangkan, asal kau tahu.ā Ungkap Yifan . Wajahnya sedikit merona
begitu mengingat perjalanannya tadi. Itu
perjalanan yang cukup melelahkan tapi sangat menyenangkan.
Dalam diamnya Cheonsa terkejut, ia berusaha
untuk tak memperlihatkannya. Bagaimana mungkin aku tidak merasakan
apapun?.
ā Ya..aku pun heran kenapa kau tidak menyadari
keberadaanku. Biasanya kau akan segera menoleh ke belakang atau menyuruhku
berhenti setiap kali aku mengekorimu
untuk menempelkan kertas di punggungmu. ā tandas Yifan
entah bagaimana.
Namun hal itu sudah tak mengejutkan Cheonsa
lagi. Karena mereka sudah terlalu sering melakukan hal tersebut. Menjawab
pertanyaan yang bahkan tak pernah terucap dari bibir masing-masing.
Setelah itu Cheonsa hanya bisa mengangguk dan
mengutuk kelalaiannya. Ia yakin Yifan sudah mendengar semuanya, mendengar
gerutuannya sebelum menerima panggilan pria itu. Ohh...hancur sudah harga dirinya.
Ia pun memutuskan untuk tak menyinggung hal
itu. Ia tak mau berakhir sebagau lelucon.
ā Menghilang tanpa kabar dan muncul seperti
hantu. Kau pikir itu keren?ā Cheonsa menghakimi sepasang mata hitam yang tak
segan menatapnya balik.
ā Sangat. Tidakkah kau juga berpikir seperti
itu?ā tanggap Yifan.
Cheonsa mendengus pelan. Harusnya ia sudah
menduga jawaban ajaib itu akan terucap. Ia memutar bola matanya. Tak ada
gunanya ia berdiri di tempatnya dan
mengharapkan sesuatu yang menyenangkan terjadi. Lebih baik
ia segera pergi.
ā Tiba-tiba ibuku menelepon. Dia menangisāā
Cheonsa tak jadi melangkah, ia tetap di
tempatnya begitu Yifan berjalan menghampirinya, lalu terus melangkah.
ā Tangisannya sangat menyeramkan, membuatku
sangat khawatir.ā Tuntas pria itu.
Akhirnya Cheonsa menyamakan langkah, ia berada
di tepat di sebelah pria itu. Ternyata benar dugaannya, Yifan pergi ke Kanada
selama ini. Sebelumnya pria itu memang pernah beberapa kali bolak-balik ke sana
karena urusan keluarga. Entah itu apa. Cheonsa tak begitu tahu detilnya, yang
ia tahu hanya hubungan ibu Yifan dengan mantan ayah tiri Yifan sangat buruk.
ā Anak-anak pria itu mendatangi ibuku,
memintanya, ah tidak! Mengancamnya untuk tidak meributkan masalah harta, mereka ingin ibuku tak mengambil harta ayahnya sepeserpun. Karena setahuku, ibu akan mendapat
cukup banyak setelah bercerai.ā Sambung pria itu tanpa mengalihkan pandangannya
pada jalan panjang di depan.
Sementara itu Cheonsa kembali tenggelam dalam
rasa menyesalnya. Ia tak tahu kalau selama ini Yifan menghadapi hal yang berat.
Ia merasa sangat bersalah karena semua yang telah ia ucapkan.
ā Lalu bagaimana keadaannya sekarang?ā
Yifan mengembuskan napasnya. ā Sudah membaik.
Ia sudah tidak separanoid sebelumnya. Aku meminta salah satu bibiku untuk menemaninya untuk sementara waktu.ā
Dan akhirnya Cheonsa memilih untuk memelankan
langkahnya, membiarkan dirinya tertinggal di belakang. ā Kenapa tidak
memberitahuku? Setidaknya kau bisa membalas pesanku atau menerima panggilanku.ā
Ia tak yakin apa ia masih berhak menanyakan hal itu atau tidak, tapi ia ingin
tahu kenapa Yifan pergi tanpa memberitahunya.
ā Saat itu aku kalut. Bayangkan. Seseorang
yang sangat kau sayangi menelponmu di tengah malam sambil menangis. Aku
langsung berangkat keesokan paginya.ā
ā Dan untuk pesan dan panggilanmu, aku memang
sengaja. Aku mengurus banyak hal di sana sampai aku merasa sangat lelah dan
kesal. Aku hanya bingung bagaimana
caranya menghubungimu, aku tak ingin kau mendengar suara
anehku atau balasan pesan yang terkesan menyebalkan. Pokoknya kemarin itu
sangat menyebalkan.ā Tuntasnya dengan sangat jelas.
Setelah itu Cheonsa terdiam. Ia menjadi sangat
bingung dengan perasaannya. Ia merasa begitu ...entahlah! Yang jelas ia merasa
semakin menyesal, tapi kali ini ia menyesal karena tak mau bersabar sedikit
dengan Yifan.
Ia mengembuskan napasnya. Kepalanya menengadah
mengamati punggung Yifan yang terus bergerak. Setelah perbincangan tadi, pria
itu tak mengatakan apapun lagi. Dan itu membuat dadanya semakin bergemuruh.
ā Yifan.ā Panggilnya tak begitu yakin.
Pria itu memutar tubuhnya, menjawab
panggilannya dengan wajah penuh tanda tanya. Dengan cepat Cheonsa mengambil
langkah hingga akhirnya berhambur ke dalam pelukan pria itu. Ia melingkarkan
tangannya di pinggang pria itu, sementara kepalanya bersandar di dada Yifan dan
matanya terpejam untuk beberapa saat.
ā Aku tahu ini egois, tapi aku ingin kau
mengabariku. Kau pergi begitu saja. Apa yang harus ku katakan pada diriku
sendiri? Aku sempat memberitahu diriku sendiri kalau kau hanya pergi sebentar
bersama Do Min Joon untuk mengunjungi galaksi yang begitu kau gilai. Tapi itu
tak memudarkan pikiran buruk yang muncul, dan itu membuatku semakin pusing.ā Keluh Cheonsa
tanpa mengubah posisinya.
Yifan mendengarkan gadis itu sambil
menggerakkan tangannya naik turun mengusap punggung Cheonsa. Mendapati nada
lelah pada suara gadis itu, membuat Yifan menarik senyumnya. Entah kenapa ia
merasa senang Cheonsa menderita karenanya.
Cheonsa melonggarkan kaitan tangannya namun
tak melepasnya. Ia menatap Yifan, kemudian menjatuhkan pandangannya ke arah
kancing-kancing mantel hitam di depannya. Tangan kanannya bergerak memainkan
benda bulat itu. Entah kenapa ia merasa sangat senang hanya karena memelintir
kancing.
ā Aku tidak
mau mengakuinya, tapi aku merasa sangat terganggu. Aku merasa bersalah
telah memikirkan hal buruk tentangmu, sementara kau di sana tengah bersama
ibumu. Rasanya seperti ingin terjun dari menara Eiffel saja.ā Racau Cheonsa tak
berkesudahan. Dan Yifan yakin setelah ini Cheonsa akan kembali bicara.
Dan persis seperti yang Yifan perkirakan, Cheonsa kembali bicara.
Akan tetapi Yifan benar-benar tak menyangka, ia dan Cheonsa bisa berada dalam
posisi seperti ini, sedekat ini, dan senormal ini. Ia mungkin tidak pernah lupa
dengan cara mereka berinteraksi yang sedikit tidak wajar untuk sepasang
kekasih.
Namun kali ini pengecualian. Mereka berada di sebuah taman, ia merengkuh gadis itu dengan kedua tangannya yang
berada di punggung dan pinggang gadis itu, sementara Cheonsa bertingkah seperti
gadis manis lainnya. Memainkan kancing mantelnya, mengeluhkan banyak hal sambil
membuat ekspresi-ekspresi lucu yang membuatnya sedikit tidak tenang.
Yifan sadar jika Cheonsa adalah salah satu hal paling berbahaya yang pernah ia temukan
di dunia ini. Sekali kau memutuskan untuk bersamanya, kau harus waspada jika gadis
itu mengacaukan sistem berpikirmu. Begitulah yang Cheonsa lakukan padanya,
persis seperti alkohol.
ā Kau tahu aku sempat menyangka suara petugas
perpustakaan itu suaramu. Mengerikan bukan?ā gerutu Cheonsa.
ā Separah itu?ā Yifan menundukkan kepalanya,
mencoba untuk menemui pandangan gadis itu. Namun gadis itu terlalu sibuk dengan
kancing mantelnya.
ā Ku rasa kau bisa menyimpulkannya sendiri.ā
Tak berapa lama setelah itu Cheonsa mendongak,
menatap Yifan yang entah sejak kapan menatapnya begitu dalam. Membuatnya
sedikit terkejut dan cemas.
ā Kenapa melihatku seperti itu? Ingin
menertawaiku?ā sungut Cheonsa begitu menyadari tatapan Yifan yang sedikit
berbeda. Sejujurnya ia sangat gugup, Yifan pernah menatapnya sedalam itu dan
akhirnya pria itu menyudutkannya ke dinding lalu menciumnya seperti orang
kesetanan. Huft...tapi beruntung ia sedang tidak berada di dalam ruangan.
Yifan menggeleng. ā Aku juga mengalami hal
semacam itu. Waktu itu aku sedang membuang sampah, tiba-tiba terdengar suara
orang yang memanggil namaku. Aku terkejut dan langsung berbalik, ku kira itu
kau, tapi ternyata hanya nenek Jane.ā
Urai Yifan.
Cheonsa mendengus kesal. Entah cerita itu
benar atau hanya karangan, ia merasa tidak peduli. Bagaimana mungkin suaranya
sama dengan suara seorang lansia?.
ā Kau ingat nenek Jane, kan? Seorang nenek
yang suaminya meninggal dan tinggal sendirian di sebelah rumahku.ā Mungkin
menurut Yifan perbincangan ini akan menyenangkan, tapi tidak dengan Cheonsa.
ā Bagaimana mungkin aku lupa. Kalau tidak
salah ingat, kau bilang nenek itu memiliki suara yang sangat cempreng tapi
sangat suka menyanyikan lagu lawas setiap kali menyirami tanamannya. Ya kan?ā
Yifan mengangguk. ā Benar. Aku tak menyangka
kau mengingatnya sebanyak itu!ā Ia
terlihat begitu kagum, rasanya benar-benar takjub dengan
daya ingat Cheonsa yang begitu
hebat.
ā Dan kau senang? Astaga!!! Bagaimana bisa kau
menyamakanku dengan seorang nenek-nenek?ā racau Cheonsa sudah tak tahan menahan
kekesalannya.
Bahkan tangannya yang tadi memainkan kancing,
kini menarik mantel itu dengan ganas.
ā Memangnya tidak ada orang lain lagi? Jadi menurutmu
suaraku secempreng itu? Asal kau tahu! Suaraku itu benar-benar merdu!ā
ā Benar-benar tidak adil!! Aku mengira suara
petugas perpustakaan itu suaramu, sedangkan kauā"
Suara racauan Cheonsa teredam, tenggelam
begitu bibir Yifan bergerak di atas bibirnya. Melumatnya semau dan selama yang
pria itu inginkan. Yifan menarik Cheonsa agar lebih dekat dengannya, memegangi
pinggang gadis itu sementara tangan lainnya menahan kepala Cheonsa.
Ini gila. Terlalu gila begitu Yifan terasa
semakin dalam dan hangat. Rasanya terlalu lembut hingga ia merasa lututnya
lemas dan kakinya tak lagi mampu menahan bobot tubuhnya. Ini terlalu tiba-tiba dan ia hanya bisa berpegang erat pada Yifan. Mempercayakan keselamatannya
pada pria itu, sementara Yifan membuatnya semakin bingung begitu sentuhan
lembut itu terus bergerak menguasai bibirnya.
Mereka memang bukan pasangan paling romantis
di dunia, malah mereka cenderung aneh. Merekapun jarang berpelukan, berpegangan tangan
atau berciuman seperti pasangan lainnya. Namun entah bagaimana caranya, semua
itu bisa terjadi. Yifan yang merupakan tipikal pria yang melakukan beberapa hal
dengan spontan kerap kali mengejutkannya. Pria itu suka memeluknya dari
belakang begitu saja, bahkan pernah menciumnya di perpustakaan secara mengejutkan.
Yifan mengelus pipi Cheonsa, memperlambat
tempo gerakannya sebelum lambat-lambat meninggalkan bibir Cheonsa. Meski
sedikit keberatan, tapi inilah yang harus ia lakukan. Ia harus menyudahi
semuanya sebelum ia melangkah terlalu jauh. Dia tak segila itu untuk
melakukannya.
Dengan napas yang masih terengah keduanya
terdiam dan hanya saling menatap. Cheonsa mengulum bibirnya dengan tidak nyaman
karena Yifan terus menatapnya sambil tersenyum.
ā I miss
you that bad and you told me that you donāt miss me. Hah...how wonderful!ā ucap
Yifan persis bisikan.
Cheonsa menundukkan kepalanya. ā Maaf..aku
sangat kesal padamu tadi. Kau memahaminya kan?ā suara Cheonsa terdengar begitu
lembut, rupanya setelah apa yang terjadi tadi, membuat Cheonsa lemas.
Bukannya menjawab, Yifan malah terkekeh.
Tangannya menyentuh dagu Cheonsa dan menuntun gadis itu untuk menatapnya. ā How should I punish you, miss Jung?ā
Yifan masih tersenyum dan itu membuat Cheonsa merinding. Entah kenapa senyum
itu terlihat sangat menyeramkan untuknya.
Cheonsa memundurkan wajahnya begitu wajah
Yifan bergerak semakin dekat. Tangannya mencengkram kuat mantel Yifan, berharap
pria itu mau berhenti.
ā I miss
you too!! Miss you sooooo muuucchhhh...ā
ā I
think itās too late.ā Yifan tersenyum menang begitu mendapati ekspresi ketakutan di wajah
Cheonsa.
Ia tahu betapa gemetarnya gadis itu. Ia bisa
merasakan cengkraman kuat di mantelnya, ia hanya ingin bermain sebentar. Kapan
lagi ia bisa membuat
Cheonsa tak berulah?.
Yifan semakin tak bisa menahan tawanya saat
Cheonsa memejamkan matanya dengan erat dan mengulum bibirnya hingga tak
kelihatan. Gadis itu kelihatan semakin panik begitu wajahnya hanya berjarak
beberapa sentimeter.
Krriiuuukkk
Cheonsa langsung membuka matanya, menatap ke
arah perutnya kemudian menatap Yifan. Cengiran bodoh tercetak jelas di
bibirnya. Ia tak tahu harus berterimakasih pada bunyi perutnya atau tidak.
Yah...mungkin ia harus berterimakasih.
Ia tak bisa berhenti tersenyum aneh begitu
Yifan terus memandanginya seperti makhluk dunia lain yang baru saja buang gas.
ā Aku belum makan siang.ā Akunya sambil
terkekeh canggung.
Setelah itu Yifan melepaskan dirinya,
membiarkannya bebas. Pria itu masih terus menatapnya seperti baru saja menemukan sebuah spesies baru.
ā Ayo..kita cari makanan.ā Pria itu memimpin.
Cheonsa tak banyak bicara, ia hanya mengikuti
pria itu tanpa bertanya. Namun langkahnya berhenti spontan begitu Yifan
berbalik secara tiba-tiba.
ā Tunggu! Apa selama aku pergi kau tidak
mengisi perutmu?ā tuduh Yifan dengan mata serius.
ā A-a-anio! Mana mungkin! Aku tidak
semenyedihkan itu!ā bantah Cheonsa cepat. Namun Yifan jauh lebih tahu dari
siapapun kalau gadis itu berbohong.
ā Baiklah, aku memang tidak makan. Tapi hanya tiga hari.
Aku kembali makan setelah sadar, kalau aksi mogok makanku tidak akan membuatmu
kembali.ā Jujurnya sambil meringis.
ā Lagipula kau pergi lebih dari sebulan!
Bayangkan! Kalau selama itu aku tidak makan, aku bisa mati kelaparan!ā kali ini
berteriak, seolah tak terima terus ditatap setajam itu oleh pria di depannya.
Memangnya siapa yang membuatnya tak ingin makan?.
ā Aku tidak tahu kau bisa seperti itu.ā
Desis Yifan tanpa meninggalkan matanya. Pria itu langsung menyambar tangannya.
Menelusupkan jemarinya diantara jemari Cheonsa yang lebih kecil dari miliknya.
Pria itu terus menggerutu dan pada akhirnya
menemukan sebuah jawaban. Aku harus menghubunginya kalau lain kali
pergi lagi, atau aku bawa saja dia bersamaku. Sepertinya pilihan kedua terdengar lebih baik. Sementara pria itu masih sibuk dengan pikirannya, Cheonsa sedang
memandangi tautan tangannya dan Yifan. Seingatnya mereka tak pernah menggenggam
tangan seperti ini, biasanya ia akan menarik baju Yifan. Dan ia baru tahu kalau
ternyata tangannya menjadi sangat hangat
saat tangan Yifan menggenggamnya. Rasanya tangan mengecil, mirip ukuran tangan
bayi sementara tangan Yifan terasa seperti tangan raksasa.
Mengingat apa yang
terjadi saat ini, membuat Cheonsa tak habis pikir. Ia kira setelah panggilan
menyebalkan tadi berakhir, ia akan segera sampai di rumah, merebahkan tubuhnya
di ranjang selama beberapa jam. Namun ternyata tak semudah itu, kini ia malah
bersama Yifan, berada dalam genggaman pria itu. Dan ia yakin, ia tak akan bisa
pergi sebelum menghabiskan makan siangnya.
END
Okā¦aku balik lagi
saudara-saudara!!!! Rasanya aneh krna publish ff fluff secara berturut-turut. Aku
juga g tau, pdhal aku pling susah bikin yg kaya gni. Sumpah! Tapi gak tau
gimana, aku dapet ide gitu dan ya udh aku ketik aja. Sayang bgt klo dibiarin
ilang gitu aja.
Aku ngerasa kaya org pling aneh
sedunia krna bikin ff dengan genre ginian, krna jujur aku jrg bikin dan baca ff
smcm ini. yahā¦anggep aja ini efek lelah+frustasi setelah beberapa waktu lalu ngerasa
g tenang krna masalah kuliah. Walaupun skrg juga blum sepenuhnya tenang. Okeā¦semoga
yg abis baca ini gak muntah yahā¦ klo emg darurat bgt, langsung lari ke toilet
ya!! Alrightā¦aku pamit yahā¦ dadahhhhā¦
Feeling well,
GSB
Ceritanya so sweet banget... Cheonsa nya cuek-cuek butuh yah. Hahah
ReplyDeleteiya tuh cheonsany gak cool bgt~ppfft
DeleteGood story...seharusnya cinta bikin jd makin jujur, mlh jd g cool..d tgg next story
ReplyDelete