CRYING






Aku sudah berusaha untuk menahannya, asal kalian tahu.

~ CRIYING ~

 .

 .

 .
 
GSB presents

 .

 .

 .

 .




Kupikir aku terlalu lelah hingga air mata ini meluncur seenaknya selama beberapa hari belakangan ini. Tidak..aku tidak menangis setiap hari, setiap saat, dan setiap ada kesempatan. Akupun tak seperti sosok menyedihkan di dalam drama yang menangisi kemalangannya sambil meringkuk di samping ranjang. Aku juga tak menangis di kamar dengan lampu yang dipadamkan seolah aku sangat frustasi dengan segala hal yang terjadi dalam hidupku. 




Aku hanya menangis. Yah…mataku mengeluarkan titik-titik air yang dihasilkan kelenjar air mata yang sialnya mudah sekali meleleh belakangan ini. Awalnya aku berpikir aku terlalu lelah. Aku baru saja memulai tahap baru dalam hidupku. Menjadi seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi yang menuntut kesiapan mental dalam menjalaninya. Yah…kupikir air mata yang sering meluncur belakangan ini adalah hasil akumulasi dari rasa lelah, cemas dan ketidak siapanku. Memang itu benar, tidak ada yang salah.  




Tapi pada sebuah pagi dimana aku menangis di depan ibuku, aku menyadari bahwa air mata sialan yang belakangan ini membanjiri wajahku bukan hanya efek kelelahan, kecemasan serta ketidak siapanku. Ada hal lain yang mengganjal dalam hatiku yang membuat ritual menangis itu menimbulkan efek berat setelahnya.




Aku masih menangis sesegukan sambil meracau tak karuan. Mengatakan ini dan itu, hingga akhirnya sebuah pernyataan yang tak pernah kubayangkan akan terucap dari mulutku terlontar dengan terbata. Saat itu aku ingin mengatakannya tanpa perlu berpikir atau mempertimbangkan harga diri atau apapun yang sering kubanggakan selama ini. Tapi ternyata tidak semudah itu. Aku tak bisa melontarkannya dengan leluasa. Pengakuan itu menggetarkan seluruh sel dalam tubuhku. Bahkan suaraku ikut bergetar saat mencoba menyelesaikan semuanya.




Aku mencoba menarik napas dalam-dalam selagi sebagian kata dari pengakuan itu masih tertahan di tenggorokan. Banyak orang yang mengatakan kalau trik tarik napas-buang napas adalah cara terbaik untuk menghilangkan kegugupan atau rasa gelisah, tapi pagi itu aku tak merasa begitu. Aku tetap bergetar. Bahkan saat mataku menilik sepasang mata kecokelatan milik ibu yang memancarkan rasa iba, aku merasa sangat lemah. Seolah aku memang orang paling lemah yang pernah ada di muka bumi. 




Aku tak begitu ingat bagaimana jelasnya. Namun menurut kilasan yang tersisa dalam memoriku, pengakuan itu sukses terlontar –meski dengan terbata seolah aku tidak cukup normal dalam masalah berbicara– begitu aku menghela napas pelan-pelan.




“ Aku merindukan teman-temanku.”  





Setelah pagi itu aku masih tetap menangis. Tapi ingat! Aku tak menangis setiap saat. Perlu kalian tahu bahwa aku tak secengeng itu, walau aku juga tak setangguh yang kubayangkan. Yah…aku lebih tahu dari siapapun di muka bumi ini kalau aku memang bukan si petualang tangguh yang akan terus berdiri tegak tak peduli apapun masalah yang sedang dihadapinya, tapi aku juga bukan si cengeng yang suka mendramatisir setiap kejadian yang terjadi dalam hidupnya.




Aku hanya aku. Aku yang bisa merasakan sensasi mencengkeram di kepala dan hawa panas di sekitar mata begitu tak sengaja mendengar percakapan seru dari dua orang murid SMA yang sebenarnya tidak penting. Aku juga hanya aku yang entah kenapa langsung membeku begitu menyaksikan sekelompok anak kecil bermain bersama, tertawa seolah tak peduli dengan kasus korupsi yang sedang hangat diperbincangkan orang-orang dewasa. Dan akupun hanya aku yang diam-diam meneteskan air mata begitu membaca sederet kata yang terangkai dalam pesan singkat yang dikirimkan si sialan saat perjalanan pulang ke rumah.





Aku tak tahu apa semua itu normal atau tidak. Aku bahkan tidak ingin menanyakan hal itu pada ibuku. Cukup sekali saja aku menangisi kumpulan bocah tak penting itu di depan ibuku. Aku punya reputasi, aku punya harga diri yang perlu kujaga baik-baik –walau sebenarnya tak perlu kulakukan.




Sampai detik ini akupun belum bisa menyimpulkan apa keadaan jiwaku baik-baik saja. Aku belum bisa menarik hipotesis apapun dari semua ini. Apakah aku masih normal atau tidak? Apa mungkin salah satu saraf dalam otakku bermasalah atau bagaimana? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apakah sebuah kewajaran jika orang sepertiku menangisi orang-orang seperti mereka. Aku bahkan tak pernah menyangka bahwa jarak yang bertambah lebar serta frekuensi pertemuan yang terus berkurang membuatku merasa…..kehilangan mungkin?




Aku pernah mengerutkan alis begitu menyaksikan sebagian besar murid kelas dua belas di sekolahku menangis dalam acara perenungan yang dilakukan sebelum ujian nasional dilaksanakan. Aku tak mengerti kenapa mereka mesti menangis hingga wajah mereka memerah. Akupun sedikit mencemooh begitu menyaksikan beberapa diantara mereka berpelukan dengan syahdu. Ayolah…mereka masih bisa bertemu setelah ini. Lulus dari sekolah ini bukan akhir dari pertemanan kalian, kan?




Begitulah yang kupikirkan saat itu.




Tapi setelah semua yang terjadi belakangan ini, aku hanya bisa memaki diriku sendiri yang begitu sombong kala itu. Sekarang lihat siapa yang seperti anak bayi? Sekarang lihat siapa yang nampak seperti pemeran melodrama di televisi? Siapa yang kini tengah membisu karena menahan lelehan air mata yang memaksa keluar?




Itu aku. 


Aku yang terkadang meneteskan air mata hanya karena hal sepele yang membawaku kembali pada kenangan bersama mereka.




Dan itu aku.  


Orang yang mungkin terlalu kekanakan hingga tak bisa merelakan semua cerita bersama mereka sebagai kisah ajaib tanpa merasa kesepian saat mengingatnya.




Dan itu semua adalah aku.


Aku…yang sampai sekarang tak mengerti kenapa aku harus menangis, kenapa rasa kesepian terus menghantui relung hatiku, kenapa aku belum bisa membiarkan semua cerita-cerita konyol itu menjadi kenangan yang akan kuingat bersama senyum takjub. 




Aku tak tahu kenapa aku seperti ini. Apa aku berlebihan? Entah… mungkin aku belum cukup kuat untuk menghentikan aksi gila yang belakangan ini kulakukan tanpa kusadari. Yah…mungkin aku terlalu lama bersama mereka hingga aku tak pernah menyadari bahwa sebenarnya aku terlalu lemah untuk tak bersama mereka.




Tapi aku yakin situasi ini tak akan berlangsung terus menerus. Aku harus belajar berdiri dan berjalan untuk melalui semuanya. Aku akan tumbuh menjadi orang dewasa, yah…aku harus. Aku akan menjadi dewasa dan mewujudkan semua mimpi-mimpiku. Sungguh…aku akan mencobanya. Aku akan berhenti menangis dan menjadi kuat. Aku akan berjalan dan terus berjalan hingga akhirnya semua cerita itu bisa kukenang dengan gelak tawa.




Yah…aku akan melakukan semua itu. Percayalah. Aku memang bukan si hebat yang tangguh, tapi akupun bukan si pecundang yang akan terus menangis. Aku cukup cerdas untuk menyadari bahwa aku memiliki hidup yang harus kujalani. Dan sebelum aku bisa melakukan semua itu, tolong biarkan aku menyampaikan beberapa hal yang tak ingin kukatakan secara langsung.




Aku merindukan kalian. Maaf karena aku terus menangis belakangan ini –aku yakin kalian tak tahu hal ini dengan baik– tapi  sungguh! Aku sudah berusaha untuk menahannya. Tolong maklumi diriku, dan maafkan aku karena nyatanya aku tak pernah sekuat yang kubayangkan selama ini. Aku tak peduli apa yang akan kalian pikirkan tentangku setelah ini. Aku tak peduli jika setelah ini kalian akan menatapku dengan jijik dan tak ingin mengenalku lagi. Aku sungguh tak peduli. Aku hanya ingin menangis dan menjadi lebih baik di keesokan hari. Aku tak pernah bersikap seperti ini –asal kalian tahu– jadi tolong pahami aku. Situasi ini adalah salah satu situasi paling sulit yang pernah kumiliki. Tapi kalian tak perlu menatapku dengan iba, kalian hanya perlu memahami situasiku. Dan setelah semua pernyataan menggelikan ini, aku ingin bilang bahwa aku sangat senang bisa bertemu dan mengenal kalian. Terimakasih kawan-kawan~




END  


Ini absurd…sumpah…dan tadinya aku gak mau publish ini…. tapi sayang cinnn…. Ya udah buat siapapun yang udah terlanjur baca, maklumi aja yah…. Oke deh itu aja…dahhh


See You,

GSB


Comments

Popular Posts