Even If It's Hurt




Cast : Jung Cheonsa
          Wu Yifan

Rating : PG - 15



Seharian ini Cheonsa mendekam di kafe milik ibunya ditemani setumpuk tugas kuliah yang entah kenapa tak ada habisnya. Begitu satu terselesaikan akan datang lagi tugas-tugas lain yang membuatnya ingin sekali mencekik semua dosen di kampusnya. Tapi biar bagaimanapun, ia tidak memiliki pilihan lain selain mengerjakannya dengan baik –ia tidak ingin mengulang dalam mata kuliah apapun. Jadilah ia mengerjakan beberapa tugasnya di sebuah meja yang letaknya berada di sudut ruangan. Terkesan sangat tenang, aman dan menjamin privasinya terjaga.




Cukup tersembunyi hingga membuatnya lega karena letak mejanya yang cukup tersembunyi membuatnya tak perlu cemas ada yang melihat betapa urakannya seorang Jung Cheonsa saat berjibaku dengan tugas-tugas sialannya.




Sejauh ini ia terlihat tenang, walau kerut-kerut di keningnya semakin kentara begitu matanya menemukan beberapa hal yang tak sesuai pada lembar kerjanya. Untungnya intensitas cahaya yang tak terlalu mencolok membuat ketegangannya tak semakin bergejolak. Cahaya yang menyorotnya terpancar sesuai kebutuhan. Dan itulah satu darisekian banyaknya alasan kenapa ia begitu mencintai meja di sudut ruangan tersebut. Meja tersebut bagai tempat paling tepat dan benar untuknya. Seolah tempat itu dirancang khusus untuknya. Sangat tenang dan aman. Dua hal dasar yang menurutnya dibutuhkan oleh setiap manusia.



Namun konsep tenang dan aman itu tak bertahan lama begitu seseorang menarik kursi di depannya kemudian menghenyakkan tubuhnya dengan kasar. Hal itu benar-benar sukses mengalihkan perhatiannya, membuyarkan fokusnya yang sejak tadi hanya berkutat pada buku tebal dan layar laptopnya. Spontan tubuhnya berjengit, napasnya tercekat untuk sepersekian detik tapi dengan segera ia mengendalikan dirinya. Seolah sudah berpengalaman dalam hal tersebut, rasanya mengendalikan ekspresi terkejut bukan perkara sulit untuknya.



Ia mencoba untuk menampilkan sosok keras kepala yang tak bisa dikejutkan dengan apapun. Ia mencoba untuk tak terpengaruh pada sepasang mata hitam pekat yang tengah menatapnya dengan tajam. Sepasang mata itu berkilat dengan amarah yang menyalak. Tanpa dijelaskan pun ia sudah mengerti kenapa pria itu berada di depannya dengan wajah super menyeramkan seperti itu. Ia sudah tahu.



Tak ingin memberikan perhatian pada pria itu, ia pun kembali menatap deretan kata pada buku tebalnya. Buku yang sebenarnya tak akan bisa mengalihkan perhatiannya dari si pria bermata tajam yang mungkin saja mampu melukainya jika ia memandanginya lebih lama lagi.



Sial.



Ia mengumpat sambil mendengus kasar. Usahanya untuk menghiraukan pria itu tak berhasil. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dan mengganggu pikirannya. Ia pun menegakkan posisi duduknya kemudian menatap pria itu.



Ckk..



Bagaimana bisa pria itu berada di hadapannya padahal tak satupun media mengabarkan kedatangan pria itu? Bagaimana mungkin Wu Yifan yang sempat mencuri banyak perhatian karena kabar hengkangnya dari sebuah boyband yang sedang naik daun itu duduk di hadapannya tanpa menimbulkan kehebohan? Apa popularitas pria itu mulai memudar hingga tak seorangpun peduli dengan keberadaannya?




Detik berikutnya Cheonsa mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe. Ia mencermati bagian-bagian kafe yang mampu dijangkau matanya. Keadaan kafe tidak bisa dibilang sepi. Terlihat sekelompok muda-mudi dalam jumlah besar menempati meja-meja di bagian depan, kemudian tak jauh dari sana terdapat beberapa pegawai kantor yang sengaja berkunjung sebelum pulang ke rumah, dan tak ketinggalan segerombolan murid perempuan sekolah menengah atas yang sedang berbincang seru. Kalau diperhatikan baik-baik kafe ini cukup ramai. Yang bisa dibilang sepi hanya area di sekitar tempat duduknya saja. Itupun karena posisi meja yang berada di bagian paling ujung dan terhalang oleh sebuah dinding penyekat yang tak begitu besar.



Jadi sebenarnya…oohh…ia sudah kehabisan ide untuk menjawab pertanyaannya sendiri.



“ Kapan kau tiba?” akhirnya ia menyerah. Ia sudah tak bisa menahan rasa ingin tahu yang terus menekannya. Jadi ia menekan egonya untuk bertanya. 




Hal itu membuat segalanya terlihat sangat jelas jika Cheonsa merasa tak senang dengan kehadiran pria itu. Bahkan tensi tegang yang terasa membuat keheningan di antara keduanya menjadi sangat mencekam. Dan pria itu sama sekali tidak peduli tentang apa yang tengah Cheonsa rasakan sekarang. Ia menggeser bokongnya kemudian menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi.



“ Baru saja.”




Cheonsa nyaris memekik kaget. Bagaimana tidak? Pria itu baru saja tiba dan langsung menemuinya. Walaupun jarak Beijing-Seoul tidak sejauh Kanada-Seoul, tapi menghabiskan waktu dengan duduk manis tanpa melakukan apapun itu sangat membosankan dan membuat tubuh pegal. Namun detik selanjutnya Cheonsa menggelengkan kepala. Ia lekas menyingkirkan rasa tidak percayanya. Bukankah Wu Yifan memang tak pernah sama dengan orang waras di luar sana? Pria itu abnormal. Pria itu bisa saja melakukan apapun yang tak akan dilakukan orang normal. Dan seharusnya Cheonsa tak melupakan hal itu.




“ Sepertinya bukan itu yang ingin kau tanyakan. Pertanyaan tadi terdengar tidak seperti dirimu.” Alis Cheonsa bertaut. Ia memandang pria itu lebih lekat.




Ia berdehem pelan. “ Penerbangan mana yang kau gunakan? Atau sekarang kau memiliki jet pribadi?” tanyanya lagi. Kali ini terdengar sinis dan menyudutkan.





Yifan tak menjawabnya. Pria itu terus menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, yang sayangnya tak ingin ia jawab. Ia hanya ingin tahu bagaimana cara Yifan mendatanginya tanpa terendus media manapun. Rasa ingin tahunya terus bergejolak begitu sorot mata Yifan menariknya kian jauh dalam pusaran tanpa nama yang memaksanya untuk terus berpikir.




“ Kenapa kau melakukannya?”





Setelah lama membisu, akhirnya Yifan buka suara. Tapi bukan untuk menjawab pertanyaan Cheonsa, bukan untuk membuat gadis itu senang dengan jawabannya. Yifan bukan orang baik yang suka mempertimbangkan perasaan orang lain. Pria itu egois, seperti biasanya.




Cheonsa terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop yang mulai meredup. “ Karena aku ingin.” Jawabnya tanpa minat.





Dan jawaban super menyebalkan itu berhasil membuat Yifan mengumpat tak berkesudahan dalam diamnya. Seharusnya ia tahu jika jawaban bodoh itu akan keluar dari mulut Cheonsa. Seharusnya ia sudah mengira kalau aksi kaburnya dari Beijing untuk datang ke tempat ini merupakan kegiatan paling tolol yang ia lakukan sepanjang minggu ini. Padahal bisa saja ia menggunakan waktu liburnya dengan mendatangi tempat-tempat indah untuk beristirahat.





“ Kau bisa memberikan jawaban yang lebih baik dari itu, Jenius.”





Cheonsa hanya mengangkat bahunya kemudian memundurkan tubuhnya. Huft…ia benar-benar tidak ingin melihat Yifan lebih lama lagi.




“ Tolong kerja samanya Nona. Aku bisa datang ke sini setelah melewati banyak kesulitan, tidak mudah pergi diam-diam seperti ini. Aku bahkan merelakan hari liburku untuk datang ke sini. Jadi kumohon jangan membuat usahaku ini terkesan sangat tidak masuk akal.” Tutur Yifan mulai putus asa.




Detik berikutnya Cheonsa menatap pria itu tepat pada iris hitamnya yang penuh kepercayaan diri. Cheonsa berdecak pelan, ia sedang mengejek pria itu dalam hati.




“ Tidak ada yang mengharapkan kehadiranmu. Yah..kecuali jika aku memberitahu media mengenai keberadaanmu. Semua penggemarmu pasti sangat senang bisa melihatmu di sini dan tempat ini akan berubah menjadi tempat jumpa fans. Tapi..sungguh! Tidak ada yang mengharapkanmu di sini. Tidak denganku, ibuku, atau Jin Goo si barista tampan di depan sana.” Balas Cheonsa dengan nada mengiba yang dibuat-buat.




Riak-riak kekesalan yang sedari tadi coba ditahannya, kini Yifan biarkan bergejolak dengan semestinya. Yifan baru ingat bahwa Jung Cheonsa bisa menjadi manusia paling brengsek kapan saja. Sesungguhnya ia sudah mengetahui hal itu sejak lama dan biasanya ia akan mengalah dalam situasi seperti itu. Tapi tidak hari ini. Tidak, ia sedang tidak ingin berlapang dada dan mengalah.




“ Kau bisa kembali ke apartemen super mewah milikmu itu Tuan Wu. Tak akan ada yang mencegahmu. Lakukanlah sebelum aku berulah dan membuat semua orang mengerubungimu.” Tandas Cheonsa mengancam.




Yifan kian meradang setelah mendengar pernyataan Cheonsa. Emosi mulai mencengkeram kepalanya yang pening akibat terbatasnya waktu tidur yang ia dapatkan belakangan ini. Sungguh...bukan sesuatu yang menyenangkan, merasakan rasa sakit yang luar biasa di saat-saat seperti ini.




“ Apa sesulit itu memberi penjelasan padaku? Sekali ini saja aku minta kau mengalah.” Ujar Yifan tegas.





Ia menatap Cheonsa dengan sungguh-sungguh. “ Beri aku penjelasan dan setelahnya aku akan pergi.” lanjutnya. Mungkin kedengaran menyedihkan, tapi hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar Cheonsa mau menjawabnya.




“ Bukankah sudah kukatakan? Aku hanya ingin melakukannya.Apa itu tidak cukup jelas?”




Yifan berdecak sini.“ Apa menurutmu itu jelas, Nona?” Yifan menggeleng kemudian mempertajam sorot matanya. “ Aku ingin mendengar alasanmu. Ck…bisakah kau mengatakannya tanpa membuat kepalaku bertambah sakit?”



Setelah itu keheningan panjang berlangsung. Cheonsa masih mempertimbangkan jawabannya. Di satu sisi ia tak ingin membicarakan masalah ini lagi, namun di sisi lainnya  ia ingin semua masalahnya terselesaikan.




“ Aku tidak mau berurusan denganmu lagi. Aku hanya ingin berhenti melakukan semua kegiatan ini. Entah kenapa, semua ini membuatku muak.” Cheonsa mengatakannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Yifan. Ia masih menatap pria itu. Menatapnya tanpa gentar dengan aura kelam yang semakin kentara menyelubungi pria itu.





Ia menarik napas kemudian mengembuskannya dengan cepat. “ Aku tidak ingin mendengar suaramu begitu menerima salah satu panggilan masuk. Aku tidak ingin melihat pesan-pesan anehmu di layar ponselku. Aku juga tak ingin mengaktifkan akun skype-ku hanya untuk berbincang panjang denganmu. Aku hanya ingin berhenti melakukan semua itu.” Cheonsa menuntaskan penjelasannya sambil mengangkat bahu. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun ia kehabisan kata hingga tak bisa melampiaskannya.





Di lain sisi, pernyataan Cheonsa membuat Yifan semakin bergejolak, pria itu tengah menahan emosinya. Mati-matian ia menahan dirinya agar tidak meledak dan lepas kendali. Tangannya terkepal kuat. Jika saja tidak ada orang lain selain dia dan Cheonsa, Yifan pasti sudah melayangkan kepalan tangannya pada dinding di belakang kepala Cheonsa. 



Situasi ini benar-benar seperti ujian mental yang berat untuknya. Benar-benar sukses membuatnya kewalahan menahan dirinya sendiri. Ia masih menatap Cheonsa yang kini mengabaikannya dengan memalingkan wajahnya. Memandangi gadis itu terus menerus membuatnya tak kuasa untuk menyimpan amarahnya. Ia ingin sekali beranjak dari tempatnya kemudian membawa gadis itu pergi dari sana. Ia ingin menyeret Cheonsa, ia ingin meneriaki gadis itu. Ia ingin gadis itu tahu betapa kesalnya ia saat ini. Apa salah jika ia melakukan itu semua setelah apa yang gadis itu lakukan selama sebulan belakangan? Gadis itu menghindari segala macam bentuk komunikasi dengannya.Gadis itu bahkan mengganti nomor telepon genggamnya.Apa salahnya? Kenapa gadis itu melakukan hal itu padanya?





“ Apa yang sebenarnya terjadi selama sebulan ini?” tanyanya berusaha untuk tak terpengaruh dengan emosinya. Ia tetap terdengar netral, seolah apa yang baru saja terjadi tak mampu mempengaruhinya.




Cheonsa masih belum menatap Yifan. Gadis itu tengah sibuk bersama keraguannya sendiri.




“ Bukankah kau akan pergi setelah mendengar alasanku? Aku sudah melakukan apa yang kau mau dan kuharap kau tidak mengingkari janjimu Tuan Wu.”




Lagi. Sikap Cheonsa membuat segalanya semakin buruk. Dan gadis itu terlalu keras kepala untuk memahami sikapnya yang keterlaluan. Jujur saja ia terlalu memikirkan dirinya saat ini. Ia sama sekali tidak memikirkan Yifan, tidak mempertimbangkannya barang sedikit saja. Ia mengabaikannya, malah kembali menatap buku tebal yang ingin sekali ia lempar jauh-jauh.



“ Ini tidak masuk akal Jung Cheonsa.” desis Yifan.




Cheonsa tetap diam. Ia tidak menanggapi protes dari Yifan walau sebenarnya ingin sekali menanggapi pria itu.



“ Brengsek!” umpat Yifan sambil meninjukan kepalan tangannya ke atas permukaan meja. “ Kenapa kau seperti ini, huh? Kenapa kau melakukan ini padaku?” geramnya sambil menatap kepalan tangannya yang berdenyut nyeri.




Yifan sudah lelah untuk bersabar. Ia tetap manusia yang memiliki batas kesabaran dan sayangnya Cheonsa tak menghiraukan hal itu. Ia tetap mengunci mulutnya, seolah aksi tutup mulut itu mampu menyelesaikan masalahnya. Ia tetap tak angkat bicara. Hanya saja matanya sempat mencuri pandang ke arah Yifan yang terus mengumpat sambil mendenguskan napasnya.



Pemandangan itu membuatnya merasa bersalah. Ia tahu betapa melelahkannya menjadi seorang aktor. Ia tahu jika Yifan pasti merasa sangat lelah dengan semua aktivitasnya, tapi hal itu tidak cukup membuat Cheonsa mau mengalah. Dalam masalah ini, Yifan pun memiliki andil yang lebih besar daripada dirinya. Ia tidak akan seperti ini jika saja Yifan tidak seperti itu. Bukankah begitu? Atau hanya ia yang terlalu keras kepala?





“ Aku tidak ingin terlibat apapun lagi denganmu. Aku sudah muak dengan segala hal yang berkaitan denganmu. Aku–“




“ Cukup!”





Yifan mengangkat tangannya. Mengacungkan telapak tangannya dengan tegas.“ Aku tidak ingin mendengarkan apapun lagi. Simpan saja semua omong kosong itu untuk dirimu sendiri.” cetusnya tanpa riak emosi yang sedari tadi menguasai dirinya.





Ia sudah memutuskan untuk tak memperpanjang masalah. Lama-lama ia pun merasa lelah dengan usahanya. Untuk apa ia mengusahakan seseorang yang tak ingin bersamanya? Kenapa juga ia membuang waktunya untuk melakukan semua ini? Bukankah Jung Cheonsa juga sudah muak dengannya?





Jika ia pikirkan sekali lagi, masalah antara ia dan cheonsa hanya menambah rasa sakit di kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena telah meluangkan waktunya yang berharga hanya untuk terjaga semalaman karena gadis itu. Dan lihat sekarang, bahkan gadis itu mengabaikannya.





Yifan memejamkan mata sejenak seraya menghela napas perlahan. Ia pun menemui pandangan Cheonsa yang terlihat waspada. “ Hentikan ocehanmu. Kali ini biarkan aku yang bicara.” Tegasnya pada pemilik mata yang tengah menyimpan setumpuk keresahan di dalamnya.





“ Kau pernah bilang padaku bahwa kau tak akan pergi kemanapun meski semua orang di dunia ini membenciku, melabeli diriku sebagai pengkhianat atau apapun. Bukankah kau juga mengatakan jika kau hanya akan mengutukku, mengumpat segala tindakan bodoh yang kulakukan–“





Yifan menahan  deretan kata yang telah tersusun rapi di ujung lidahnya untuk sementara waktu. Walau merasa benar dengan keputusannya, ia masih sedikit ragu. Sesuatu di dalam hatinya tak membiarkan dirinya untuk meluapkan kekesalannya begitu saja. Namun..ia tetap manusia, ok?




“ –dan kau akan tetap berada di tempatmu, dimana aku selalu bisa menggapainya walau tak setiap saat bisa kulakukan. Namun hari ini aku menyadari sesuatu.” Ia menyorot Cheonsa dengan lebih serius.





“ Aku baru menyadari bahwa aku terlalu tolol dan naif. Bagaimana bisa aku mempercayaimu begitu saja? Bukankah tidak masuk akal jika seorang gadis keras kepala yang begitu teguh dengan prinsipnya berdiri di samping seorang pria yang telah mengkhianati teman-temannya demi keinginan pribadinya?” nada suara meninggi, namun tidak menggelegar. Terdengar sangat mengancam walau kenyataannya pria itu bahkan tak berusaha melakukannya.





Pandangan mereka bertemu, bertaut hingga getaran dalam hati masing-masing mengguncang jiwa yang tak terkendali. Mereka sama-sama lelah dan bermasalah. Di satu sisi mereka hanya berharap bisa bersama seperti pasangan lainnya, namun di sisi lain mereka menyadari bahwa hubungan mereka tak lagi sehat.



“ Setelah semua yang kau katakan, aku menyadari satu hal.” Ujar Yifan. 



“ Aku menyadari bahwa nyatanya kau pun hanya penghianat seperti aku dan pengkhianat-pengkhianat lain di luar sana. Bukankah ironis? Dunia ini penuh dengan para pengkhianat!” Yifan mendecak kemudian tersenyum getir.





Begitu mendengar pernyataan Yifan, Cheonsa tak yakin apakah dirinya masih baik-baik saja. Pasalnya pernyataan itu terlalu menyudutkan, terlalu kasar hingga membuatnya merasa seperti baru saja dibenturkan ke dinding marmer yang dingin. Rasanya menyakitkan terlebih saat hinaan itu terlontar dari mulut orang yang ia cintai. Bolehkah ia menangis?





“ Tapi apa kau tahu? Aku masih sempat merasa ragu untuk mengatakan semua ini padamu. Aku masih sempat berniat meralat semua yang telah kukatakan. Aku ingin menggenggam tanganmu, mengusap punggungmu dan memastikan padamu bahwa semua ini hanya gurauan. Konyol bukan? Aku benar-benar tolol.”





Setelah itu bunyi decitan kaki kursi terdengar. Yifan baru saja memundurkan kursi yang ia tempati. Ia beranjak dari tempatnya, berdiri dengan kebanggaan yang masih tersisa dalam dirinya saat ini. Ia mengembuskan napas cepat, membetulkan letak jaketnya lantas menggunakan kacamata hitam yang dari tadi bertengger di lipatan kaus bagian leher.




“ Harusnya aku tak datang kemari, tapi terimakasih. Walau tidak menyenangkan, tapi kunjungan ini sangat bermanfaat. Setidaknya aku memiliki alasan kuat untuk berhenti memikirkanmu tiap malam.”




“ Aku pergi.”





Yifan pun memutar langkahnya, menjauh dengan langkah stabil dan teratur. Pria itu tidak terlihat berapi-api, namun tak seorangpun mampu membayangkan sehancur apa hatinya saat ini. Bahkan Cheonsa pun tidak akan mampu. Gadis itu tak mungkin mampu melakukannya kalau kenyataannya saja ia pun merasakan hal yang serupa. Ucapan pria itu atau lebih tepatnya hinaan yang pria itu lontarkan, benar-benar membuatnya terluka.



Setelah Yifan pergi, Cheonsa tak bisa menahan air mata yang terbendung sejak tadi. Semuanya tumpah, meluap membasahi wajahnya. Rasanya benar-benar menyakitkan. Bahkan sampai terasa sesak.



Ia mengulum bibirnya, menahannya untuk sekedar menekan rasa ngilu yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Kenapa ia merasakan semua ini? Kenapa ia menangis seperti ini? Kenapa ia begitu tersakiti sekarang? Bukankah ini yang ia harapkan? Bukankah ia memang ingin berhenti berurusan dengan pria itu?




Ini yang ia inginkan, jadi ini pula yang harus ia terima. Ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Yifan. Ia menginginkan hubungan paling aneh dengan pola paling tak beraturan itu usai. Ia sudah sangat muak dengan pria itu.





Ambisi dan keserakahan yang kini menguasai diri Yifan, membuat pria itu semakin jauh darinya. Pria itu terasa asing untuknya, seolah ia tak lagi mengenal Yifan yang suka menghubunginya pada malam hari hanya untuk mengeluhkan ini dan itu. Seolah Wu Yifan yang dulu ia sukai hanya bagian dari sosok Wu Yifan yang sebenarnya. Atau sejak awal memang sudah seperti itu?





Entah..Cheonsa hanya tak bisa menerima perubahan itu. Ia merasa tidak nyaman dengan semua itu. Persetan dengan ungkapan bahwa dengan cinta yang tulus, seseorang mampu menerima pasangannya tanpa syarat tertentu. Karena di sini ia sudah tak lagi nyaman untuk menerimanya. Yah..mungkin perasaannya untuk Yifan tak sebesar itu sampai ia bisa menerima segalanya dengan mudah. Atau mungkin...entahlah..





Ia tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu sebesar apa perasaannya untuk pria itu. Namun ada satu hal yang ia sadari setelah kejadian beberapa menit lalu, ia merasa sakit. Bahkan sangat. Ucapan Yifan, ekspresi wajahnya saat murka, punggungnya yang kian jauh dan kemudian menghilang, meninggalkan efek sesak dalam dadanya. Meski enggan untuk mengakuinya, tapi Cheonsa merasa bahwa ia tidak benar-benar menginginkan perpisahan ini. Namun kenyataannya ia tetap seorang gadis keras kepala yang tak akan melakukan sebuah tindakan apapun untuk memperbaiki situasi. 




Even if it’s hurt, i won’t do anything. I’m just a girl who full of her pride. Thank you...  




Thank You, 

GSB




Comments

  1. Hm.. as always.. mengharapkan sequel.. ditunggu ya cerita lainnya.. hwaiting!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. entah ini ada sequelnya ato gak, tpi..liat nanti aja ya..hehe thanks.

      Delete
  2. sad end. Feelnya dapat...mski agak kurg jelas knp cheonsa mutusin kris.
    tapi Daebak.
    d sini yg lebih egois cheonsa deh. Dia yg mutusin dia yg nangis. Nyesel yah.
    Sy bependapat dr awal perasaan kris yg lebih bsar k chonsa, tapi d akhir mulai terbalik cheonsa yg lbih besar. Soalnya si kris enteng banget gitu ninggalin cheonsa. Hahah
    Awalnya Cheonsa kliatan tegar, Di akhir malah dia yg kliatan menyedihkan.
    Trus malah kris yg akhirnya kliatan lebih lebih cool *_*.
    Keep writing ^^ j

    ReplyDelete
    Replies
    1. yah..simpel aja sih....mreka kn LDR trus cheonsa juga ngerasa kris itu brubah yg bikin dia illfeel, intiny cheonsa g siap nerima perubahan dlm diri kris.. jdi y udhlah..putus aja..aku sndiri g tau prasaan siapa yg lbh bsr, intinya mrka sama" suka tpi jga sama" tinggi gengsinya..jdinya ya gitu..ngebatin sndiri..tbh buat bls komen ini aku mkir lma bgt bhkn smpe brulang kali diapus trs aku tulis lg, wow..kmu luar biasa bikin aku mikir krs...thanks yooww..

      Delete

Post a Comment

Popular Posts