Even If It's Hurt
Wu
Yifan
Rating : PG - 15
Seharian ini Cheonsa mendekam di kafe milik
ibunya ditemani setumpuk tugas kuliah yang entah kenapa tak ada habisnya.
Begitu satu terselesaikan akan datang lagi tugas-tugas lain yang membuatnya
ingin sekali mencekik semua dosen di kampusnya. Tapi biar bagaimanapun, ia
tidak memiliki pilihan lain selain mengerjakannya dengan baik āia tidak ingin
mengulang dalam mata kuliah apapun. Jadilah ia mengerjakan beberapa tugasnya di
sebuah meja yang letaknya berada di sudut ruangan. Terkesan sangat tenang, aman
dan menjamin privasinya terjaga.
Cukup tersembunyi hingga membuatnya lega
karena letak mejanya yang cukup tersembunyi membuatnya tak perlu cemas ada yang
melihat betapa urakannya seorang Jung Cheonsa saat berjibaku dengan tugas-tugas
sialannya.
Sejauh ini ia terlihat tenang, walau
kerut-kerut di keningnya semakin kentara begitu matanya menemukan beberapa hal
yang tak sesuai pada lembar kerjanya. Untungnya intensitas cahaya yang tak
terlalu mencolok membuat ketegangannya tak semakin bergejolak. Cahaya yang
menyorotnya terpancar sesuai kebutuhan. Dan itulah satu darisekian banyaknya
alasan kenapa ia begitu mencintai meja di sudut ruangan tersebut. Meja tersebut
bagai tempat paling tepat dan benar untuknya. Seolah tempat itu
dirancang khusus untuknya. Sangat tenang dan aman. Dua hal dasar yang
menurutnya dibutuhkan oleh setiap manusia.
Namun konsep tenang dan aman itu tak
bertahan lama begitu seseorang menarik kursi di depannya kemudian menghenyakkan
tubuhnya dengan kasar. Hal itu benar-benar sukses mengalihkan perhatiannya, membuyarkan
fokusnya yang sejak tadi hanya berkutat pada buku tebal dan layar laptopnya.
Spontan tubuhnya berjengit, napasnya tercekat untuk sepersekian detik tapi dengan
segera ia mengendalikan dirinya. Seolah sudah berpengalaman dalam hal tersebut, rasanya mengendalikan
ekspresi terkejut bukan perkara sulit untuknya.
Ia mencoba untuk menampilkan sosok keras
kepala yang tak bisa dikejutkan dengan apapun. Ia mencoba untuk tak terpengaruh
pada sepasang mata hitam pekat yang tengah menatapnya dengan tajam. Sepasang
mata itu berkilat dengan amarah yang menyalak. Tanpa dijelaskan pun ia sudah
mengerti kenapa pria itu berada di depannya dengan wajah super menyeramkan
seperti itu. Ia sudah tahu.
Tak ingin memberikan perhatian pada pria
itu, ia pun kembali menatap deretan kata pada buku tebalnya. Buku yang
sebenarnya tak akan bisa mengalihkan perhatiannya dari si pria bermata tajam
yang mungkin saja mampu melukainya jika ia memandanginya lebih lama lagi.
Sial.
Ia mengumpat sambil mendengus kasar.
Usahanya untuk menghiraukan pria itu tak berhasil. Pertanyaan demi pertanyaan
bermunculan dan mengganggu pikirannya. Ia pun menegakkan posisi duduknya
kemudian menatap pria itu.
Ckk..
Bagaimana bisa pria itu berada di
hadapannya padahal tak satupun media mengabarkan kedatangan pria itu? Bagaimana
mungkin Wu Yifan yang sempat mencuri banyak perhatian karena kabar hengkangnya
dari sebuah boyband yang sedang naik daun
itu duduk di hadapannya tanpa menimbulkan kehebohan? Apa popularitas
pria itu mulai memudar hingga tak seorangpun peduli dengan keberadaannya?
Detik berikutnya Cheonsa mengedarkan
pandangan ke seluruh penjuru kafe. Ia mencermati bagian-bagian kafe yang mampu
dijangkau matanya. Keadaan kafe tidak bisa dibilang sepi. Terlihat sekelompok muda-mudi dalam jumlah besar
menempati meja-meja di bagian depan, kemudian tak jauh dari sana terdapat
beberapa pegawai kantor yang sengaja berkunjung sebelum pulang ke rumah, dan
tak ketinggalan segerombolan murid perempuan sekolah menengah atas yang sedang
berbincang seru. Kalau diperhatikan baik-baik kafe ini cukup ramai. Yang bisa
dibilang sepi hanya area di sekitar tempat duduknya saja. Itupun karena
posisi meja yang berada di bagian paling ujung dan terhalang oleh sebuah
dinding penyekat yang tak begitu besar.
Jadi sebenarnyaā¦oohhā¦ia sudah kehabisan ide
untuk menjawab pertanyaannya sendiri.
ā Kapan kau tiba?ā akhirnya ia menyerah. Ia
sudah tak bisa menahan rasa ingin tahu yang terus menekannya. Jadi ia menekan
egonya untuk bertanya.
Hal itu membuat segalanya terlihat sangat
jelas jika Cheonsa merasa tak senang dengan kehadiran pria itu. Bahkan tensi
tegang yang terasa membuat keheningan di antara keduanya menjadi sangat
mencekam. Dan pria itu sama sekali tidak peduli tentang apa yang tengah Cheonsa
rasakan sekarang. Ia menggeser bokongnya kemudian menyandarkan tubuhnya pada
kepala kursi.
ā Baru saja.ā
Cheonsa nyaris memekik kaget. Bagaimana
tidak? Pria
itu baru saja tiba dan langsung menemuinya. Walaupun jarak Beijing-Seoul tidak
sejauh Kanada-Seoul, tapi menghabiskan waktu dengan duduk manis tanpa melakukan
apapun itu sangat membosankan dan membuat tubuh pegal. Namun detik selanjutnya
Cheonsa menggelengkan kepala. Ia lekas menyingkirkan rasa tidak percayanya. Bukankah
Wu Yifan memang tak pernah sama dengan orang waras di luar sana? Pria itu
abnormal. Pria itu bisa saja melakukan apapun yang tak akan dilakukan orang
normal. Dan seharusnya Cheonsa tak melupakan hal itu.
ā Sepertinya bukan itu yang ingin kau
tanyakan. Pertanyaan tadi terdengar tidak
seperti dirimu.ā Alis Cheonsa bertaut. Ia memandang
pria itu lebih lekat.
Ia berdehem pelan. ā Penerbangan mana yang
kau gunakan? Atau sekarang kau memiliki jet pribadi?ā tanyanya lagi. Kali ini terdengar
sinis dan menyudutkan.
Yifan tak menjawabnya. Pria itu terus
menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, yang sayangnya tak ingin ia jawab.
Ia hanya ingin tahu bagaimana cara Yifan mendatanginya tanpa terendus media manapun.
Rasa ingin tahunya terus bergejolak begitu sorot mata Yifan menariknya kian
jauh dalam pusaran tanpa nama yang memaksanya untuk terus berpikir.
ā Kenapa kau melakukannya?ā
Setelah lama membisu, akhirnya Yifan buka suara. Tapi bukan
untuk menjawab pertanyaan Cheonsa, bukan untuk membuat gadis itu senang dengan
jawabannya. Yifan bukan orang baik yang suka mempertimbangkan perasaan orang
lain. Pria itu egois, seperti biasanya.
Cheonsa terdiam. Ia mengalihkan pandangannya
ke arah layar laptop yang mulai meredup. ā Karena aku ingin.ā Jawabnya tanpa
minat.
Dan jawaban super menyebalkan itu berhasil
membuat Yifan mengumpat tak berkesudahan dalam diamnya. Seharusnya ia tahu jika
jawaban bodoh itu akan keluar dari mulut Cheonsa. Seharusnya ia sudah mengira
kalau aksi kaburnya dari Beijing untuk datang ke tempat ini merupakan kegiatan
paling tolol yang ia lakukan sepanjang minggu ini. Padahal bisa saja ia menggunakan
waktu liburnya dengan mendatangi tempat-tempat indah untuk beristirahat.
ā Kau bisa memberikan jawaban yang lebih
baik dari itu, Jenius.ā
Cheonsa hanya mengangkat bahunya kemudian
memundurkan tubuhnya. Huftā¦ia benar-benar tidak ingin melihat Yifan lebih lama
lagi.
ā Tolong kerja samanya Nona. Aku bisa
datang ke sini setelah melewati banyak kesulitan, tidak mudah pergi diam-diam
seperti ini. Aku bahkan merelakan hari liburku untuk datang ke sini. Jadi kumohon
jangan membuat usahaku ini terkesan sangat tidak masuk akal.ā Tutur Yifan
mulai putus asa.
Detik berikutnya Cheonsa menatap pria itu
tepat pada iris hitamnya yang penuh kepercayaan diri. Cheonsa berdecak pelan,
ia sedang mengejek pria itu dalam hati.
ā Tidak ada yang mengharapkan kehadiranmu.
Yah..kecuali jika aku memberitahu media mengenai keberadaanmu. Semua penggemarmu
pasti sangat senang bisa melihatmu di sini dan tempat ini akan berubah menjadi
tempat jumpa fans. Tapi..sungguh! Tidak ada yang mengharapkanmu di sini. Tidak
denganku, ibuku, atau Jin Goo si barista tampan di depan sana.ā Balas Cheonsa
dengan nada mengiba yang dibuat-buat.
Riak-riak kekesalan yang sedari tadi coba
ditahannya, kini Yifan biarkan bergejolak dengan semestinya. Yifan baru
ingat bahwa Jung Cheonsa bisa menjadi manusia paling brengsek kapan saja. Sesungguhnya
ia sudah mengetahui hal itu sejak lama dan biasanya ia akan mengalah dalam
situasi seperti itu. Tapi tidak hari ini. Tidak, ia sedang tidak ingin
berlapang dada dan mengalah.
ā Kau bisa kembali ke apartemen super mewah
milikmu itu Tuan Wu. Tak akan ada yang mencegahmu. Lakukanlah sebelum aku
berulah dan membuat semua orang mengerubungimu.ā Tandas Cheonsa mengancam.
Yifan kian meradang setelah mendengar pernyataan Cheonsa. Emosi
mulai mencengkeram kepalanya yang pening akibat terbatasnya waktu tidur yang ia
dapatkan belakangan ini. Sungguh...bukan sesuatu yang menyenangkan, merasakan rasa sakit yang luar
biasa di saat-saat seperti ini.
ā Apa sesulit itu memberi penjelasan
padaku? Sekali ini saja aku minta kau mengalah.ā Ujar Yifan tegas.
Ia menatap Cheonsa dengan sungguh-sungguh.
ā Beri aku penjelasan dan setelahnya aku akan pergi.ā lanjutnya. Mungkin kedengaran
menyedihkan, tapi hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar Cheonsa mau
menjawabnya.
ā Bukankah sudah kukatakan? Aku hanya ingin
melakukannya.Apa itu tidak cukup jelas?ā
Yifan berdecak sini.ā Apa menurutmu itu
jelas, Nona?ā Yifan menggeleng kemudian mempertajam sorot matanya. ā Aku ingin
mendengar alasanmu. Ckā¦bisakah kau mengatakannya tanpa membuat kepalaku bertambah sakit?ā
Setelah itu keheningan panjang berlangsung. Cheonsa
masih mempertimbangkan jawabannya. Di satu sisi ia tak ingin membicarakan
masalah ini lagi, namun di sisi lainnya ia
ingin semua masalahnya terselesaikan.
ā Aku tidak mau berurusan denganmu lagi.
Aku hanya ingin berhenti melakukan semua kegiatan ini. Entah kenapa, semua ini
membuatku muak.ā Cheonsa mengatakannya tanpa mengalihkan pandangannya dari
Yifan. Ia masih menatap pria itu. Menatapnya tanpa gentar dengan aura kelam yang
semakin kentara menyelubungi pria itu.
Ia menarik napas kemudian mengembuskannya
dengan cepat. ā Aku tidak ingin mendengar suaramu begitu menerima salah satu
panggilan masuk. Aku tidak ingin melihat pesan-pesan anehmu di layar
ponselku. Aku juga tak ingin mengaktifkan akun skype-ku hanya untuk berbincang panjang denganmu. Aku hanya ingin
berhenti melakukan semua itu.ā Cheonsa menuntaskan penjelasannya sambil
mengangkat bahu. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun
ia kehabisan kata hingga tak bisa melampiaskannya.
Di lain sisi, pernyataan Cheonsa membuat
Yifan semakin bergejolak, pria itu tengah menahan emosinya. Mati-matian ia
menahan dirinya agar tidak meledak dan lepas kendali. Tangannya terkepal kuat.
Jika saja tidak ada orang lain selain dia dan Cheonsa, Yifan pasti sudah
melayangkan kepalan tangannya pada dinding di belakang kepala Cheonsa.
Situasi ini benar-benar seperti ujian
mental yang berat untuknya. Benar-benar sukses membuatnya kewalahan menahan
dirinya sendiri. Ia masih menatap Cheonsa yang kini mengabaikannya dengan memalingkan
wajahnya. Memandangi gadis itu terus menerus membuatnya tak kuasa untuk
menyimpan amarahnya. Ia ingin sekali beranjak dari tempatnya kemudian membawa gadis itu
pergi dari sana. Ia ingin menyeret Cheonsa, ia ingin meneriaki gadis itu. Ia
ingin gadis itu tahu betapa kesalnya ia saat ini. Apa salah jika ia melakukan
itu semua setelah apa yang gadis itu lakukan selama sebulan belakangan? Gadis
itu menghindari segala macam bentuk komunikasi dengannya.Gadis itu bahkan
mengganti nomor telepon genggamnya.Apa salahnya? Kenapa gadis itu melakukan hal
itu padanya?
ā Apa yang sebenarnya terjadi selama
sebulan ini?ā tanyanya berusaha untuk tak terpengaruh dengan emosinya. Ia tetap
terdengar netral, seolah apa yang baru saja terjadi tak mampu mempengaruhinya.
Cheonsa masih belum menatap Yifan. Gadis itu
tengah sibuk bersama keraguannya sendiri.
ā Bukankah kau akan pergi setelah mendengar
alasanku? Aku sudah melakukan apa yang kau mau dan kuharap kau tidak
mengingkari janjimu Tuan Wu.ā
Lagi. Sikap Cheonsa membuat
segalanya semakin buruk. Dan gadis itu terlalu keras kepala untuk memahami sikapnya yang
keterlaluan. Jujur saja ia terlalu memikirkan dirinya saat ini. Ia sama sekali
tidak memikirkan Yifan, tidak mempertimbangkannya barang sedikit saja. Ia
mengabaikannya, malah kembali menatap buku tebal yang ingin sekali ia lempar jauh-jauh.
ā Ini tidak masuk akal Jung Cheonsa.ā desis
Yifan.
Cheonsa tetap diam. Ia tidak menanggapi
protes dari Yifan walau sebenarnya ingin sekali menanggapi pria itu.
ā Brengsek!ā umpat Yifan sambil meninjukan
kepalan tangannya ke atas permukaan meja. ā Kenapa kau seperti ini, huh? Kenapa
kau melakukan ini padaku?ā geramnya sambil menatap kepalan tangannya yang
berdenyut nyeri.
Yifan sudah lelah untuk bersabar. Ia tetap
manusia yang memiliki batas kesabaran dan sayangnya Cheonsa tak menghiraukan
hal itu. Ia tetap mengunci mulutnya, seolah aksi tutup mulut itu mampu menyelesaikan
masalahnya. Ia tetap tak angkat bicara. Hanya saja matanya sempat mencuri
pandang ke arah Yifan yang terus mengumpat sambil mendenguskan napasnya.
Pemandangan itu membuatnya merasa bersalah. Ia tahu betapa
melelahkannya menjadi seorang aktor. Ia tahu jika Yifan pasti merasa sangat lelah dengan
semua aktivitasnya, tapi hal itu tidak cukup membuat Cheonsa mau mengalah.
Dalam masalah ini, Yifan pun memiliki andil yang lebih besar daripada dirinya. Ia tidak akan
seperti ini jika saja Yifan tidak seperti itu. Bukankah begitu? Atau hanya ia
yang terlalu keras kepala?
ā Aku tidak ingin terlibat apapun lagi
denganmu. Aku sudah muak dengan segala hal yang berkaitan denganmu. Akuāā
ā Cukup!ā
Yifan mengangkat tangannya. Mengacungkan
telapak tangannya dengan tegas.ā Aku tidak ingin mendengarkan apapun lagi.
Simpan saja semua omong kosong itu untuk dirimu sendiri.ā cetusnya tanpa riak emosi yang sedari
tadi menguasai dirinya.
Ia sudah memutuskan untuk tak memperpanjang
masalah. Lama-lama ia pun merasa lelah dengan usahanya. Untuk apa ia
mengusahakan seseorang yang tak ingin bersamanya? Kenapa juga ia membuang waktunya
untuk melakukan semua ini? Bukankah Jung Cheonsa juga sudah muak dengannya?
Jika ia pikirkan sekali lagi, masalah
antara ia dan cheonsa hanya menambah rasa sakit di kepalanya. Ia merasa sangat bodoh
karena telah meluangkan waktunya yang berharga hanya untuk terjaga semalaman
karena gadis itu. Dan lihat sekarang, bahkan gadis itu mengabaikannya.
Yifan memejamkan mata sejenak seraya
menghela napas perlahan. Ia pun menemui pandangan Cheonsa yang terlihat waspada. ā Hentikan
ocehanmu. Kali ini biarkan aku yang bicara.ā Tegasnya pada pemilik mata yang
tengah menyimpan setumpuk keresahan di
dalamnya.
ā Kau pernah bilang padaku bahwa kau tak
akan pergi kemanapun meski semua orang di dunia ini membenciku, melabeli diriku
sebagai pengkhianat atau apapun. Bukankah kau juga mengatakan jika kau hanya akan mengutukku,
mengumpat segala tindakan bodoh yang kulakukanāā
Yifan menahan deretan kata yang telah tersusun rapi di
ujung lidahnya untuk sementara waktu. Walau merasa benar dengan keputusannya,
ia masih sedikit ragu. Sesuatu di dalam hatinya tak membiarkan dirinya untuk
meluapkan kekesalannya begitu saja. Namun..ia tetap manusia, ok?
ā ādan kau akan tetap berada di tempatmu,
dimana aku selalu bisa menggapainya walau tak setiap saat bisa kulakukan. Namun
hari ini aku menyadari sesuatu.ā Ia menyorot Cheonsa dengan lebih serius.
ā Aku baru menyadari bahwa aku terlalu
tolol dan naif. Bagaimana bisa aku mempercayaimu begitu saja? Bukankah tidak masuk akal
jika seorang
gadis keras kepala yang begitu teguh dengan prinsipnya berdiri di samping
seorang pria yang telah mengkhianati teman-temannya demi keinginan pribadinya?ā
nada suara meninggi, namun tidak menggelegar. Terdengar sangat mengancam walau
kenyataannya pria itu bahkan tak berusaha melakukannya.
Pandangan mereka bertemu, bertaut hingga
getaran dalam hati masing-masing mengguncang jiwa yang tak terkendali. Mereka
sama-sama lelah dan bermasalah. Di satu sisi mereka hanya berharap bisa bersama
seperti pasangan lainnya, namun di sisi lain mereka menyadari bahwa hubungan
mereka tak lagi sehat.
ā Setelah semua yang kau katakan, aku
menyadari satu hal.ā Ujar Yifan.
ā Aku menyadari bahwa nyatanya kau pun
hanya penghianat seperti aku dan pengkhianat-pengkhianat lain di luar sana.
Bukankah ironis? Dunia ini penuh dengan para pengkhianat!ā Yifan mendecak kemudian
tersenyum getir.
Begitu mendengar pernyataan Yifan, Cheonsa
tak yakin apakah dirinya masih baik-baik saja. Pasalnya pernyataan itu terlalu menyudutkan,
terlalu kasar hingga membuatnya merasa seperti baru saja dibenturkan ke dinding
marmer yang dingin. Rasanya menyakitkan terlebih saat hinaan itu terlontar dari
mulut orang yang ia cintai. Bolehkah ia menangis?
ā Tapi apa kau tahu? Aku masih sempat
merasa ragu
untuk mengatakan semua ini padamu. Aku masih sempat berniat meralat semua yang telah
kukatakan. Aku ingin menggenggam tanganmu, mengusap punggungmu dan memastikan
padamu bahwa semua ini hanya gurauan. Konyol bukan? Aku benar-benar tolol.ā
Setelah itu bunyi decitan kaki kursi
terdengar. Yifan baru saja memundurkan kursi yang ia tempati. Ia beranjak dari
tempatnya, berdiri dengan kebanggaan yang masih tersisa dalam dirinya saat ini.
Ia
mengembuskan napas cepat, membetulkan letak jaketnya lantas menggunakan
kacamata hitam yang dari tadi bertengger di lipatan kaus bagian leher.
ā Harusnya aku tak datang kemari, tapi terimakasih.
Walau tidak menyenangkan, tapi kunjungan ini sangat bermanfaat. Setidaknya aku
memiliki alasan kuat untuk berhenti memikirkanmu tiap malam.ā
ā Aku pergi.ā
Yifan pun memutar langkahnya, menjauh
dengan langkah stabil dan teratur. Pria itu tidak terlihat berapi-api, namun
tak seorangpun mampu membayangkan sehancur apa hatinya saat ini. Bahkan Cheonsa
pun tidak akan mampu. Gadis itu tak mungkin mampu melakukannya kalau
kenyataannya saja ia pun merasakan hal yang serupa. Ucapan pria itu atau lebih
tepatnya hinaan yang pria itu lontarkan, benar-benar membuatnya terluka.
Setelah Yifan pergi, Cheonsa tak bisa menahan air mata yang
terbendung sejak tadi. Semuanya tumpah, meluap membasahi wajahnya. Rasanya benar-benar
menyakitkan. Bahkan sampai terasa sesak.
Ia mengulum bibirnya, menahannya untuk
sekedar menekan rasa ngilu yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Kenapa ia
merasakan semua ini? Kenapa ia menangis seperti ini? Kenapa ia begitu tersakiti sekarang?
Bukankah ini yang ia harapkan? Bukankah ia memang ingin berhenti berurusan
dengan pria itu?
Ini yang ia inginkan, jadi ini pula yang
harus ia terima. Ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Yifan. Ia menginginkan
hubungan paling aneh dengan pola paling tak beraturan itu usai. Ia sudah sangat
muak dengan pria itu.
Ambisi dan keserakahan yang kini menguasai
diri Yifan, membuat pria itu semakin jauh darinya. Pria itu terasa asing
untuknya, seolah ia tak lagi mengenal Yifan yang suka menghubunginya pada malam
hari hanya untuk mengeluhkan ini dan itu. Seolah Wu Yifan yang dulu ia sukai
hanya bagian dari sosok Wu Yifan yang sebenarnya. Atau sejak awal memang sudah seperti itu?
Entah..Cheonsa hanya tak bisa menerima
perubahan itu. Ia merasa tidak nyaman dengan semua itu. Persetan dengan ungkapan bahwa dengan cinta yang
tulus, seseorang mampu menerima pasangannya tanpa syarat tertentu. Karena di
sini ia sudah tak lagi nyaman untuk menerimanya. Yah..mungkin perasaannya untuk
Yifan tak sebesar itu sampai ia bisa menerima segalanya dengan mudah. Atau mungkin...entahlah..
Ia tidak tahu dan tidak
ingin mencari tahu sebesar apa perasaannya untuk pria itu. Namun ada satu
hal yang ia sadari setelah kejadian beberapa menit lalu, ia merasa sakit. Bahkan
sangat. Ucapan Yifan, ekspresi wajahnya saat murka, punggungnya yang kian jauh
dan kemudian menghilang, meninggalkan efek sesak dalam dadanya. Meski enggan
untuk mengakuinya, tapi Cheonsa merasa bahwa ia tidak benar-benar menginginkan
perpisahan ini. Namun kenyataannya ia tetap seorang gadis keras kepala yang tak
akan melakukan sebuah tindakan apapun untuk memperbaiki situasi.
Even if itās hurt, i wonāt do
anything. Iām just a girl who full of her pride. Thank you...
Thank You,
GSB
Hm.. as always.. mengharapkan sequel.. ditunggu ya cerita lainnya.. hwaiting!!
ReplyDeleteentah ini ada sequelnya ato gak, tpi..liat nanti aja ya..hehe thanks.
Deletesad end. Feelnya dapat...mski agak kurg jelas knp cheonsa mutusin kris.
ReplyDeletetapi Daebak.
d sini yg lebih egois cheonsa deh. Dia yg mutusin dia yg nangis. Nyesel yah.
Sy bependapat dr awal perasaan kris yg lebih bsar k chonsa, tapi d akhir mulai terbalik cheonsa yg lbih besar. Soalnya si kris enteng banget gitu ninggalin cheonsa. Hahah
Awalnya Cheonsa kliatan tegar, Di akhir malah dia yg kliatan menyedihkan.
Trus malah kris yg akhirnya kliatan lebih lebih cool *_*.
Keep writing ^^ j
yah..simpel aja sih....mreka kn LDR trus cheonsa juga ngerasa kris itu brubah yg bikin dia illfeel, intiny cheonsa g siap nerima perubahan dlm diri kris.. jdi y udhlah..putus aja..aku sndiri g tau prasaan siapa yg lbh bsr, intinya mrka sama" suka tpi jga sama" tinggi gengsinya..jdinya ya gitu..ngebatin sndiri..tbh buat bls komen ini aku mkir lma bgt bhkn smpe brulang kali diapus trs aku tulis lg, wow..kmu luar biasa bikin aku mikir krs...thanks yooww..
Delete