Let Love Lead part 2



Aku tak mengerti. Apa gadis itu sebegitu sibuknya sampai tak sempat datang? Bahkan ia juga tak menelepon atau mengirimi pesan. Setidaknya berikanlah kabar dulu jika benar-benar tidak bisa. Aku sedang membicarakan karyawan hasil ganti rugi itu, Designer Yu. Seperti yang sudah kusebutkan, ia tidak datang kemarin. Aku mencoba menghubungi nomor perusahaan lamanya beberapa kali, tapi sambungannya selalu sibuk. Sepertinya perusahaan itu bahkan lebih sibuk dari J’S.


Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi demi Tuhan aku gerah dengan sikapnya yang tidak disiplin. Aku sudah hapal benar dengan karyawan yang seperti itu. Belum bekerja saja sudah tidak tahu aturan, mana bisa dipertahankan? Belum apa-apa, aku sudah menyesal karena tidak menerima uang ganti rugi mereka. Jika sudah begini, pada akhirnya aku akan lebih rugi lagi. Tapi di sisi lain, dia adalah graphic designer favoritku. Mana mungkin kulepas begitu saja?


Aku menengok jam dinding dan menghela napas. Ini sudah jam 11 siang dan tak ada tanda-tanda gadis itu akan datang. Sepertinya memang aku yang harus mengambil tindakan. Sambil mengendurkan dasi, aku memencet tombol putih di meja.


“Tolong hubungi perusahaan design itu lagi. Kalau terhubung, segera minta nomor handphone Designer...Yu.” Suaraku mengecil di akhir kalimat, sebuah note bertuliskan ‘Park Yu Jin’ terlihat menempel pada papan di atas meja.


“Baik.” Setelah sekretarisku mengiakan, aku segera menekan tombolnya lagi sampai terdengar bunyi ‘beep’ tanda sambungan terputus, lantas mencopot note di papan itu.


“Bukankah ini nama asli designer Yu?” Aku menggumamkan nama yang tertulis di sana dan berspekulasi dalam hati. Kalau namanya saja sudah tertempel di mejaku, maka bisa dipastikan ia sudah datang dan masuk ke dalam ruangan ini. Tapi bersama siapa? Dan kapan? Semua pertanyaan itu menuntun akal sehatku hingga menjurus ke satu nama. Sepertinya aku mengenal tulisan ini. Tidak… tentu saja aku tahu tulisan siapa ini.


“L.Joe.”



**********



“Onnie… kau tidak boleh begini! Kalau kau tidak bekerja kita mau makan apa? Siapa yang akan membayar listrik? Kau tahu kan harga-harga sudah naik?” Jin Ah bicara sambil terus mengguncang badanku. Walaupun sejujurnya aku merasa terganggu bukan main, tapi sekeras mungkin aku tetap bertahan dan pura-pura masih sanggup tertidur nyeyak.


“Cih, kenapa tidak kau saja yang kerja? Hyo Jin kan sebenarnya bisa kerja sambilan juga. Kuliahnya tidak terlalu sibuk, ani… malah tidak sibuk sama sekali. Kau yakin setiap hari dia pergi kuliah?”


“Kenapa bertanya padaku? Aku kan tidak mengantarnya.”
“Hfft... kalian berdua sama saja. Sama-sama tak bisa diandalkan.”
“YAH! Kau tidak bisa menyamakan aku dengannya! Aku ini sudah melamar kerja di mana-mana, kalau tidak diterima seharusnya bukan salahku lagi. Yang penting kan usaha.” Jin Ah mengomel. Tangannya melayang memukul lenganku beberapa kali. Walaupun aku ingin sekali berbalik dan mencakarnya, aku tetap menahan diri.


“Onnie… lalu bagaimana sekarang?” Setelah puas, ia baru mengeluarkan nada merengeknya lagi.
“Kalau bos lamaku tidak mau menerimaku lagi, aku akan mencari kerja di perusahan lain. Untuk hari ini, izinkan aku bermalas-malasan di rumah.”


“ANDWAE! Kau itu tidak mau mencicipi rasanya jadi orang kaya, ya? Buka matamu! Kau bekerja di J’S! Siapa tahu setiap bulan selalu dibagikan bonus barang-barang gratis. Asal kau tahu, J’S menjual 21 jenis produk.”


“Aku ini cuma karyawan biasa. Jangan gila, ya! Lagi pula kalau kau jadi aku, kau pasti akan melakukan hal yang sama.”


“Tidak juga. Walaupun dari ceritamu CEO-nya terdengar tidak terurus sama sekali, aku akan tetap menghargainya sepenuh hati. Bagaimanapun dia lah yang sudah mempunyai pemikiran hebat dan mengembangkan J’S.”


Badanku yang mulai pegal membuatku mau tak mau berbalik posisi menjadi telentang. Aku meliriknya sebentar sebelum kemudian menghela napas memerhatikan langit-langit. “Iya sih tapi...”


“Dan soal menabrak tiang dua kali. Sejujurnya mau dilihat dari sisi manapun, itu adalah salahmu. Aku tak bisa berkomentar apa-apa. Yah… anggap saja itu ritual bagi karyawan baru. Turunkan gengsimu, Onnie. Aku tahu kau ingin keluar karena itu.”


“Gengsi? Gengsi karena apa? Aku mau keluar karena semuanya terasa tidak pas. Sudahlah, otakmu tidak akan sampai dengan pemikiranku.”


Jin Ah sudah membuka mulut untuk mendebat, namun kalah cepat dengan ponselku yang tiba-tiba berdering. Seperti besi yang tertarik magnet, suara dering ponsel itu membuatku meloncat dari kasur dan buru-buru mengambilnya.


“Astaga~ dari tadi kau pasti pura-pura mengantuk, kan? Kau itu persis sekali seperti anak kecil yang susah disuruh sekolah.”


“Nomor siapa ini?” Jin Ah yang merasa diabaikan mendecak dan keluar kamar sambil mengentakkan kaki. Aku mendengus, namun fokusku kembali mengarah penuh ke layar ponsel. Setelah beberapa saat, aku pun memutuskan untuk mengangkatnya.


“Halo.”
[Halo, Park Yu Jin-Ssi?]
“Ya, saya Park Yu Jin.”
[Selamat siang, saya James dari J’S. Saya hanya ingin memastikan, apa Anda tahu bahwa Anda sudah diterima bekerja di perusahaan kami?] James? Kenapa suaranya berubah begini? Dia mau sok baik padaku, ya?


“Omong kosong macam apa ini? Kita sudah bertemu kemarin dan sekarang sesuai tawaranmu aku akan menulis surat pembatalan kerja.”


“Bertemu dengan saya? Surat pembatalan kerja?” ulangnya, terdengar tak mengerti. Aku mendecak jengkel. Sebenarnya dia sedang mempermainkanku atau benar-benar tidak tahu? Mendengar nada herannya yang sangat alami, keyakinanku mulai goyah. Jangan-jangan yang kemarin itu bukan CEO-nya.


“Kau memakai celana jins saat itu.” Sesaat setelah aku mengucapkannya, orang di ujung telepon itu langsung menghela napas berat.


“Sepertinya Anda bertemu dengan adik saya. Begini, saya minta maaf atas apa pun yang sudah ia perbuat atau katakan pada Anda. Bagaimana jika kita atur ulang waktu pertemuannya?” Mendengar tutur katanya yang sopan dan berwibawa, hatiku bergetar begitu saja.


“Baiklah.” Kata itu pun keluar begitu saja pula. Ya Tuhan! Aku benar-benar merasa malu karena mudah sekali dibujuk. Tapi mau bagaimana lagi? Karena fakta bahwa CEO mereka yang sopan ini meneleponku duluan, aku jadi menaruh simpati yang besar terhadap perusahaan itu.


“Kalau begitu kapan Anda bisa?”
“Hari ini juga saya bisa.”
“Tapi sekarang sudah terlalu siang, saya juga ada meeting sampai sore. Bagaimana kalau besok pagi saja? Jam 8.”


“Baiklah.” Hanya dengan mendengar suara yang lembut seperti ini, hatiku langsung terasa sejuk seperti ditiup angin musim semi. Tolong jangan menghujatku dulu, aku sudah lama sekali tidak bergaul dengan pria muda, jadi mendapat telepon dari orang seperti ini membuatku merasa baru keluar dari pemanggang. Aku merasa hangat. Menyedihkan bukan? Aku selalu khawatir karena belum menemukan seorang pria di penghujung 20-an, dan sekarang aku baru sadar apa penyebabnya. Bagaimana mau mendapat pacar jika kerjaku hanya melakukan meeting dengan bos lamaku yang sudah memiliki cucu? Aku hampir tidak pernah jalan-jalan ke mall karena terlalu sibuk membuat design di depan komputer.


“Oke saya harap kita bisa membicarakan semuanya baik-baik. Maaf sudah mengganggu Anda. Saya tutup teleponnya.” Jangan.


“Baiklah.”



**********



Lafrein café. Design luar kafe ini sangat minimalis. Jika saja mobil-mobil sport itu tidak berjejer di depannya, mungkin aku akan langsung menelepon Jill dan menyuruhnya menemaniku masuk. Ya, di parkiran kafe mungil bertuliskan ‘Lafrein’ itu beberapa mobil mewah terparkir, seakan meyakinkanku bahwa putra bungsu pendiri J’S itu memang biasa menyesap kopi di sini.


Begitu aku masuk, tiba-tiba saja lagu ‘wolf’ milik Exo terputar. Seketika itu juga aku mendengus, entah bagaimana aku merasa seperti sedang disindir oleh kafe ini. Wolf artinya serigala. Dan serigala itu berasal dari keluarga canidae, yang berarti satu keluarga dengan rubah. Mungkin karena terlalu sering diomeli dengan sebutan ‘rubah betina’ oleh Yu Jin, aku jadi sangat sensitif tiap mendengar seseorang menyebutkan spesies apa pun dari keluarga canidae itu. Ditambah lagi tujuan utama kedatanganku ke sini adalah menjerat playboy kelas atas demi 300.000 won.


Tunggu dulu. 300.00 won? Kenapa aku menyetujui bayaran sekecil itu? Kalau dihitung-hitung, harganya sangat tidak sesuai. Aku pasti akan membutuhkan beberapa hari untuk menjalankan misi ini. Jadi aku harus memikirkan biaya akomodasi tiap ingin bertemu dengan L.Joe. Lalu agar tetap terlihat cantik di hadapannya, aku jelas tak bisa menaiki bus umum apalagi berjakan kaki, dengan kata lain aku harus menaiki taksi setiap hari sementara bayaranku yang 300.000 won itu hanya cukup untuk membeli satu buah tas keluaran Chanel. Apa sebaiknya aku meminta tambahan bayaran pada Jill dan mengancam mogok kerja saja?


Aku melangkah santai memasuki kafe. Selain lagu wolf itu, suara tawa sekumpulan pria muda yang menyabotase sekitar 3 deret meja di sisi kanan terdengar menggelegar. Salah satu dari mereka berdiri memperagakan sesuatu, lalu tiba-tiba semuanya tertawa lagi —kali ini lebih keras. Melihat dari pakaian bermerek dan wajah mereka yang bersih mulus, sudah bisa dipastikan mereka ini adalah sekumpulan anak pengusaha yang membentuk geng. Dan aku yakin sekali anak bungsu J’S itu tersempil di antara mereka.


Aku berjalan lurus tanpa menghiraukan sisi kanan yang berisik, lantas duduk di meja yang terletak persis di tengah ruangan. Lampu café yang terpasang tepat di atas mejaku membuat meja yang kutempati ini menjadi lebih bercahaya ketimbang meja yang lain. Tempat yang sempurna untuk menjadi pusat perhatian. Kata Jill, aku hanya perlu duduk dengan gelisah tanpa perlu melakukan apa-apa dan 100% L.Joe akan datang menghampiriku. Benar-benar playboy sejati.


Setelah beberapa saat melihat menu, aku memesan kopi dan tiramisu yang enggan kulihat harganya. Pelayan itu pun berlalu dari mejaku sambil membawa buku menunya. Detik itu juga aku merasa benar-benar mati gaya. Kalau ada buku menu kan aku bisa pura-pura sibuk melihat menu, kalau begini apa yang harus kulakukan? Ini sudah dua puluh menit, dan aku benar-benar tak bisa menunggu lebih lama lagi. Apa aku saja yang menghampiri manusia-manusia itu dan menanyakan ‘mana yang namanya L.Joe?’


Saat sedang berpikir begitu, pesananku tiba. Ini benar-benar kelewatan. Sepertinya L.Joe baru akan menghampiriku saat tiramisu ini habis. Atau malah tak menghampiriku sama sekali. Sial! Lalu siapa yang akan membayar ini semua? Demi Tuhan, rasanya aku harus berlari ke rumah Jill dan menjambaknya. Dia harus membayar waktu dan pesananku jika sampai benar L.Joe tidak menghampiriku. Aku menghela napas dan menyendok tiramisuku tanpa selera saat...


“Kau sendirian?” Aku mengangkat wajahku dari piring dan menatapnya penuh penilaian. Dia manis, saking manisnya aku sampai mual dengan rasa cream tiramisu di mulutku yang menjadi semakin manis. Dia juga terlihat sangat muda dan dari wajahnya yang polos aku jadi ragu kalau pria ini pernah mencium perempuan.


Aku menarik napas diam-diam dan menatapnya dengan tatapan menyalahkan. Semanis apa pun wajah pria ini, dia tetap saja sudah membuatku menunggu lama. Heh… kau L.Joe? Kau terlambat menghampiriku hampir 30 menit. Aku harus berhasil membuatmu membayar tiramisu ini dan mengantarku pulang sekalian.


“Kelihatannya bagaimana?” balasku cuek, lalu memasukkan tiramisu yang sudah kusendok ke dalam mulut.


“Aku boleh duduk di sini?”
“Kalau mau duduk di situ, kau harus membayar pesananku, bagaimana?” Aku bicara dengan galak untuk membuatnya bersemangat. Dia tertawa kecil dan duduk seakan menegaskan itu bukan masalah. Aku tak mau bertingkah sok manis apalagi terlihat kikuk di depan seorang playboy. Itu akan mengurangi daya tarikku.


“Hanya itu syaratnya?”
“Jadi kau mau syarat lain?”
“Kau cuma membeli tiramisu dan kopi. Kurasa harganya sangat tidak sebanding dengan duduk berhadapan dengan gadis secantik dirimu.”


“Kalau begitu aku boleh minta tambahan sirup cokelat?”
“Tambahkan sesuka hatimu, Cantik.” Aku langsung memanggil pelayan terdekat, sementara L.Joe terus memerhatikanku dengan ekspresi memuja yang berlebihan. Dia benar-benar seperti seorang psiko yang siap menelanku. Apa-apaan sih anak ini? Dia playboy paling aneh yang pernah kutemui.


“Aku minta tambahan tiga panekuk, lalu sirup maple-nya diganti sirup cokelat saja. Aku tidak akan memakannya di sini jadi tolong dibungkus yang rapi, ya. Pria ini yang akan bayar.” Aku menunjuk pria di depanku yang langsung mengerutkan kening.


“Kau bilang tambahan sirup cokelat?”
“Sirup cokelatnya ditambah panekuk. Kenapa? Kau keberatan, ya?”
“Tidak, tidak, itu bukan masalah.”
“Baguslah, aku pesan tiga karena aku punya dua kakak perempuan di rumah. Kau tak mau pesan apa-apa?”


“Tidak. Omong-omong, kau sudah punya pacar?” Yang benar saja! Secepat ini? Kalau begini caranya, misi dari Jill bisa kutuntaskan dalam waktu 1 jam. Aku memerhatikannya sembari memikirkan sesuatu. Dia terlihat sangat tidak professional, aku jadi ragu jangan-jangan aku salah orang.


“Kau L.Joe?”
“Apa?”
“Kau bukan L.Joe?”
“Memangnya kenapa kalau aku bukan L.Joe? Aku juga temannya, kok.” Sudah kuduga.
“Astaga~ kalau begitu pergilah dari mejaku!”
“Kenapa harus L.Joe? Aku tak kalah cakep darinya, Noona.” Dan sekarang pria ini memanggilku Noona. Tahu dari mana dia kalau aku lebih tua darinya? Ke mana sih L.Joe itu? Ya Tuhan!


“Namaku Jeon Jungkook. Kalau kau tidak mengenalku, keluargaku adalah pemilik perusahaan...”
“Apa L.Joe ada di antara orang-orang itu?” Aku mengabaikan ucapannya.
“Ya, dia ada di…YAH NOONA! Dengarkan aku dulu!”
“Kau mau bicara apa, sih? Langsung saja, aku banyak urusan.”
“Begini, apa Noona mau jadi pacarku?” Dia benar-benar sakit jiwa. Cowok waras mana yang mengajak mangsanya berpacaran setelah 2 menit bertemu.


“Kita jadi teman saja, ya,” jawabku baik-baik. Aku mengarahkan mataku pada sekumpulan pria yang masih berbincang seru di deretan kanan. Kalau L.Joe ada di sana, kenapa bukan dia yang menghampiriku? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa pesonaku terlalu kuat?


“Tidak mau. Temanku sudah banyak.”
“Dasar anak ini! Pacarku juga sudah banyak,” balasku kesal.
“A-apa katamu?” Ia terbelalak kaget dengan tampang polos. Aku mendengus, bisakah kagetnya di tempat lain saja? Bagaimana L.Joe mau menghampiriku jika di depanku ada pria lain? Ayolah...


“Tidak apa-apa deh aku jadi pacar ketiga atau keempat, aku benar-benar harus punya pacar sekarang. Noona adalah yang tercantik, aku mencintaimu.”


“Aku tahu, memangnya siapa yang tidak mencintaiku? Aku juga mencintaiku, kok. Tapi tunggu dulu. Kenapa kau terlihat memaksa? Kau pasti sedang taruhan dengan teman-temanmu, ya? Bayarannya berapa? Aku akan bilang iya asal bayarannya dibagi dua.” Aku melipat tangan di atas meja dan menatapnya penuh minat. Ia mengusap wajahnya frustasi.


“Noona, aku ini tidak sedang…” Saat tengah mencoba menjelaskan, tiba-tiba kausnya ditarik dari belakang. Pria itu nyaris terjungkal dari kursinya, namun belum sempat aku mengalihkan tatapanku ke mana-mana, seorang pria lain sudah duduk menggantikannya.


“Mencariku?”



**********



Sepertinya karena cerita Baekhyun yang terlalu sayang untuk dilewatkan, seluruh temanku tak ada yang sadar kalau seorang perempuan cantik —yah lumayan— baru saja masuk melalui pintu kafe. Aku menyalakan korek dan menyulut batang rokok keduaku untuk hari ini, kemudian mengepulkan asap dengan gerakan teratur. Aku enggan menolehkan wajah dan hanya memerhatikannya dari ekor mataku, tak mau terlihat terlalu peduli. Lagi pula dia juga bukan jatahku hari ini. Tapi sial! Dia cantik. Setidaknya dua kali lipat lebih cantik dari gadis bernama Jill yang kudapat minggu lalu.


“Yah karena wajahnya sangat mendukung, kukira dia tukang kebun di sana. Jadi bukan salahku, kan?”


Saat kesadaranku kembali ke forum kecil ini, Baekhyun sudah berhasil membuat seisi meja kami tertawa untuk yang kesekian kalinya.


“Dan dia benar-benar membersihkan ban mobilmu?” Aku bisa mendengar suara samar Tao yang bertanya sampai ingin menangis.


“Tunggu, tunggu... jadi kau menyuruh ayah Seoryang membersihkan ban mobilmu!” pekik Chanhee. Seketika mendapat sambutan tak bersahabat dari berbagai sisi. Tapi tidak dariku tentunya, sebab karena ucapannya, aku jadi paham apa yang mereka tertawakan sejak tadi.


“Ke mana saja kau? Lee Chanhee Astaga!” 
“Aku yakin pikirannya sedang tidak di sini.”
“Seoryang? Kim Seoryang yang...” Chanhee mengabaikan serangan dari Jonghwan dan Myungsoo yang tertuju padanya dan menatap Baekhyun dengan serius.


“Ya. Seoryang mantanmu itu,” jawabnya santai.
“YAAA! JADI KAU MENGENCANI SEORYANGKU? KAU TAK BOLEH MENYENTUHNYA!”


Tawa teman-temanku langsung menyembur lagi. Dan kali ini aku juga tak bisa menahan diri dan terkekeh pelan memerhatikan pria bermarga Lee itu marah-marah tak terima. Jika kalian mendengar guru, dosen, profesor atau siapapun yang merumuskan bahwa kekayaan orangtua berbanding lurus dengan IQ seseorang, maka jangan ragu-ragu sodorkanlah Lee Chanhee sebagai bahan bukti kepada mereka. Dia ikut tertawa dan menanggapi ocehan Baekhyun tentang Seoryang sejak sepuluh menit yang lalu, kukira dia bersikap begitu karena sudah bisa melirik gadis baru dan melupakan sang mantan, tapi ternyata dia belum sadar bahwa Seoryang yang dibicarakan Baekhyun merupakan Seoryang yang sama dengan ‘milik’-nya. Dasar sinting!


“Ehem... Sebenarnya aku tak ingin mengganggu waktu tertawa kalian, tapi...” Aku menghentikan ucapanku dan menoleh pada sebuah meja. Semua orang di meja ini serentak menoleh ke arah yang sama.


“Sejak kapan dia di situ?” seru Chanhee.
“Aku tak melihatnya masuk.” Jonghwan menambahkan.
“Langsung saja! Giliran siapa sekarang?” Begitu Myungsoo bertanya, seisi meja langsung saling melempar pandang. Demi Tuhan aku berteman dengan orang-orang bodoh.


“Jin,” ucapku sambil menghela napas. Daya ingat mereka benar-benar membuatku muak. Kenapa selalu aku yang menjadi alarm pengingat setiap minggunya? Sepertinya jika aku bilang hari ini adalah giliranku, mereka semua juga tak akan protes. Jin yang masih memerhatikan gadis itu tanpa berkedip langsung tersenyum semringah saat mendengar namanya kusebut.


“Oh! Lihat putri dari kerajaan mana yang kudapat.” Pria itu sudah hampir berdiri, namun Jungkook menahan pundaknya.


“Apa lagi? Tidak baik membiarkan seorang gadis menunggu terlalu lama.”
“Hyung, kapan giliranku?”
“Heh! kau kan anggota baru,” balas Chanhee sewot.
“Anggota baru bagaimana? Aku sudah 4 bulan di sini masih saja disebut anggota baru.”
“Kau belum cukup pengalaman Jungkook~aa. Kau mau berakhir menjadi pria cengeng seperti Chanhee?” Myungsoo yang duduk dihadapannya bertanya dengan serius.


“Sial! Apa maksudmu, huh?”
“Hyung, aku sudah menjadi penonton selama 2 putaran. Untuk dapat satu perempuan saja aku pasti bisa.” Jungkook setengah merajuk, sementara Jin terus memerhatikan gadis itu tak sabar.


“Begini saja, berhubung ini sudah 4 bulan, kita berikan perempuan yang ini pada Jungkook.”


Jin langsung melotot. “TIDAK BOLEH! JANGAN MEMUTUSKAN SEENAKNYA YA!” jeritnya tak terima. Bahkan ia hampir menarik kerah bajuku jika saja Jungkook tak langsung menahannya.


“Tenang dulu. Kalau Jungkook tak berhasil, kau yang akan maju!” Aku menepuk pundaknya. Semua tampak setuju, termasuk Jin yang barusan melotot berapi-api. Mungkin karena apa pun yang ada pada Jungkook terlihat tidak meyakinkan, Jin pun akhirnya memilih tenang dan dengan lapang dada menunggu mendekati gadis itu sedikit lebih lama.


Aksi anggota baru kami pun dimulai. Aku hanya melirik ke meja itu sebentar lalu kembali memandang ke depan, mengisap dan mengembuskan asap rokok tanpa mendengarkan teman-temanku yang langsung kembali berceloteh. Byun Baekhyun masih belum puas menceritakan Seoryang yang berhasil ia ajak berkencan setelah putus dari Chanhee. Dan yang lain pun mendengarkan cerita konyol itu dengan penasaran, termasuk temanku yang paling idiot, Lee Chanhee. Lupakan soal kisah Baekhyun Seoryang dan Chanhee, sejujurnya itu tidak penting. Aku memejamkan mata dan berkonsentrasi mendengarkan obrolan mereka. Anak baru itu harus diawasi. Bagaimanapun dia sudah bagian dari kelompok ini, dan aku tak mau kehadirannya di sini justru malah menurunkan reputasi kami.


“Kau cuma membeli tiramisu dan kopi. Kurasa harganya sangat tidak sebanding dengan duduk berhadapan dengan gadis secantik dirimu”


Aku dan Jin yang mendengar kalimat bodoh itu sontak tertawa. Semua orang di meja kami menoleh ke meja eksekusi Jungkook dengan penasaran, Baekhyun terpaksa menghentikan ceritanya.


“Dia bilang apa?”
“Dia sedang menggombal. Dengarkan saja!” Jin menjawab pertanyaan Tao dengan nada mengejek. Meja kami mendadak sangat hening. Semua orang menajamkan pendengarannya.


“Kau tak mau pesan apa-apa?”
“Tidak. Omong-omong, kau sudah punya pacar?”
“Kau L.Joe?”


Aku terdiam sebentar dan tersenyum. Sebenarnya ketenaranku sudah sejauh mana, sih? Apa namaku sudah tercantum di Wikipedia?


Saat aku memandang ke depan, seisi meja sudah menatapku menuntut penjelasan.


“Kau mengenalnya?”
“Dia yang mengenalku. Kalian tuli?”
“Anak itu jelas ditolak mentah-mentah, kubilang apa?” Chanhee kembali bicara dengan sewot.
“Kalau begitu berarti sekarang giliranku.” Jin membenarkan letak bandul kalungnya yang miring dan bersiap untuk berdiri, namun aku menahan pundaknya dan berdiri lebih dulu.


“Kau tak dengar dia menyebut namaku? Dia menginginkanku,” ucapku sembari menancapkan batang rokok yang masih tersisa setengah ke dalam asbak.


“YAA JOE! MANA BISA BEGITU HEH?” Aku mengabaikan teriakannya dan berjalan santai ke meja itu. Jungkook yang berusaha terlalu keras terlihat sangat menyedihkan. Aku menarik kausnya dari belakang dan berhasil membuat anak itu enyah dari kursi, lalu...


“Mencariku?”


Ternyata dia jauh lebih cantik jika dilihat dari jarak dekat. Dari tatapan matanya, aku bisa menjamin gadis ini tengah berteriak ‘wah’ dalam hati. Aku yang sudah mengambil posisi duduk langsung memangku daguku dengan tangan dan membalas tatapan matanya yang intens. Dia tak kunjung menjawabku, dan aku bahkan tak bisa menerka apa tatapannya yang seseduktif ini dilakukan secara sadar atau tidak. Jika iya, berarti ia sedang menggodaku dengan terang-terangan. Hei…


“Jadi? Kita akan bertatapan seperti ini terus sampai sore?” Bola matanya yang berwarna turquoise langsung berjengit. Aku tersenyum menang. Dia membuatku sadar bahwa aku adalah L.Joe yang bisa membuat hormon estrogen lawan jenisku terproduksi berlebihan hanya dengan tatapan mata.


Untaian poni coklatnya jatuh hingga menutupi seluruh dahi, hidungnya mancung dan dagunya lancip seperti habis diserut. Gadis ini terlihat seperti boneka yang diberi nyawa, sayang sekali jika sampai jatuh ke tangan Jin. Tatapan mataku beralih teratur mengamati setiap bagian wajahnya yang sempurna itu, terlebih bibir mungil merah jambunya yang terlihat kesepian. Tidak. Jangan dulu. Aku tak mau mengacaukan pertemuan ini dan memaksakan pandanganku kembali pada bola matanya yang besar karena kontak lens. Dia masih memerhatikanku. 


"Kau masih memerhatikanku." Tertangkap basah lagi, dia benar-benar kehilangan kendali. Bola mata turquoise itu langsung memejam, bibir mungilnya mengeluarkan decakan, seolah tak suka kegiatannya diinterupsi. Aku memerhatikan betapa menggemaskannya boneka bernyawa ini dan tersenyum.


“Well… it’s a total fine...”


Aku mengambil jeda sebentar, memaksa mempertemukan bola mata kami sembari melempar seringaian.


“...but than just staring at each other....there are more things you can do with me.. anyway.”


Matanya langsung terbelalak dengan hati-hati. Jelas pengakuan tersiratku dapat dipahaminya dengan baik. Gadis pintar.


“Just sayin’.”


Ia hanya tersenyum hambar setelahnya, terlihat tengah berusaha menatapku dengan lebih tenang. Aku tahu aliran darahmu sedang berlomba di pembuluh, hei.. maksudku semua wanita juga begitu. Tenang saja. Tenangkan dirimu. Aku tidak akan menggig... belum. Aku belum akan menggigit. Untuk sekarang, lebih baik jangan khawatir dulu. Semua akan berjalan menyenangkan, kujamin.


Matanya memejam kuat-kuat, ia menggigit bibir dan melempar muka ke arah lain sesaat sebelum....


“Well, Fuck”


Ia menyibak rambutnya ke belakang dan menghela napas dengan keras. Aku sedikit terkejut dengan reaksinya yang begitu tiba-tiba. Terlebih ‘well fuck’ nya terdengar sangat ambigu di telingaku. Dia sedang menyumpahiku karena berkata tidak sopan? Atau sedang mengajakku melakukannya sekarang juga?


“Jadi kau L.Joe?” Ia mengembuskan napas lagi dan menatapku dengan serius.
“Ya. Dan kau tak perlu bertingkah seperti tak mengenalku seharusnya, tapi aku tak akan mempermasalahkan itu. Soal dari siapa kau mengenalku pun tak akan kutanyakan. Yang ingin kutanyakan sekarang adalah, apa kau sedang ingin kutemani melakukan sesuatu?”


“Menemani melakukan sesuatu apa?”
“Kau datang ke sini sendirian, kan? Yah, anggap saja aku sedang menawarkan sebuah hubungan pertemanan.”


Gadis itu tersenyum mencela, kemudian memutar bola mata yang detik lalu kutetapkan sebagai bola mata favoritku itu. Tunggu, reaksi macam apa itu? Apa perlu kuingatkan betapa terpesonanya kau padaku beberapa detik lalu? Sial!


“Maaf tapi kita tidak saling kenal. Aku tahu namamu dari teman perempuanku, itu saja.”
“Jadi ajakan pertemananku ditolak?”
“Aku tak menerima ajakan seperti itu. Mungkin kalau kau mengutarakannya dengan lebih jelas, tanpa kata-kata pemanis yang membuat ajakan kotor itu terdengar lebih berkelas, akan kupertimbangkan.”


Aku terdiam cukup lama. Dia bicara apa, sih?


“Aku tak tahu harus menanggapimu seperti apa. Jika ajakan pertemananku kau bilang kotor, lalu ajakan seperti apa yang tergolong tulus menurutmu?” Aku memerhatikan ekspresi wajahnya yang terus berganti. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu selama beberapa kali, tapi pada akhirnya ia hanya menggigit bibir dan kembali terlihat berpikir. Ini pertama kalinya aku kebingungan menghadapi perempuan. Tapi sungguh, aku sama sekali tak bisa menebak jalan pikirannya yang rumit. Ia ingin aku mengucapkan apa?


“Kenapa sulit sekali mengatakannya? Kau mau bilang apa?” tanyaku. Gadis ini terlihat begitu kosong. Sepertinya ia memang tak tahu harus bicara apa. Atau... tak tahu cara mengatakannya?


“One night stand?” tanyaku. "Kau mau kita melakukan one night stand?"


Kepalanya terangkat cepat saat aku menanyakan itu.


“A-apa katamu?”
“Kau sedang memikirkan kata yang tepat untuk menawarkan diri sebagai one night st—“ Bibirku bahkan belum sempat terkatup saat tiba-tiba saja cairan kopi dalam cangkirnya melayang dan tumpah di jaketku. Apa yang salah dengan gadis ini? Berengsek, aku baru membelinya kemarin! Aku menahan diri untuk tidak berteriak menyumpahi gadis itu dan mengambil tisu di meja. Dengan gerakan tenang aku mengelap daguku yang ikut terkena cipratan kopi. Dirinya sendiri yang membuatku memiliki pemikiran seperti itu. Ia sudah mengerti arah pembicaraan ini sejak awal, lalu terus-menerus diam seakan memancingku untuk menawarkan hal ini duluan. Sejujurnya aku tak merasa telah mengatakan hal yang salah.  


“Tolong jaga bicaramu! Aku bilang ajakan pertemananmu itu kotor karena aku sudah tahu reputasimu. Siapa yang sudi menerima ajakan ‘pertemanan’ yang kau berikan jika pada akhirnya aku akan bernasib sama seperti gadis-gadis yang lain.” Aku melepas jaket denimku yang habis ia hujani dengan kopi dan meletakkannya di lantai.


“Dan kau pikir siapa aku sampai bisa menentukan apakah nasibmu akan sama atau tidak dengan gadis-gadis lain? Seperti yang kau bilang barusan, kita tidak saling kenal. Tapi untuk ukuran tidak saling kenal, sepertinya kau mengenalku cukup banyak, ya.” Aku berujar sambil menahan kesal. Dia tak kunjung menjawab dan lagi-lagi malah terlihat berpikir. Kukira gadis ini akan berdiri tiba-tiba dan keluar dari kafe setelah aku berkata begitu. Tapi ternyata tidak. Ia tetap bertahan, dan aku mulai merasa ada motivasi lain yang membuatnya mencariku. 


“Baiklah, lupakan bagian ‘one night stand’ yang kubilang. Aku minta maaf karena sudah menuduhmu yang tidak-tidak.”


“Maaf juga karena sudah mengotori jaketmu,” balasnya lemah. Gadis itu menunduk. Tiramisunya sudah terlihat tidak layak makan karena terus ia acak-acak dengan sendok.


“Kau bosan di sini?”
“Aku mau pulang saja.” Gadis itu langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Aku mengulurkan tanganku dan membuat aktivitas beres-beresnya berhenti.


“Kita sudah satu meja begini, kurasa itu bukan ide yang baik untuk bertemu dalam situasi yang tidak mendukung dan berpisah begitu saja. Aku bisa memberimu tumpangan pulang. Dan soal kopimu, karena pada akhirnya jaketku yang meminumnya, jadi biar aku yang bayar.”


“Kau tak perlu. Pria tadi sudah berjanji membayarnya untukku.”
“Tapi dia tidak menawarkanmu tumpangan pulang, kan?” Gadis itu menggeleng.
“Kalau begitu ayo.”



*********



Padahal baru kemarin lusa aku datang, tapi entah kenapa rasanya seperti sudah lama sekali. Gedung J’S yang megah seperti istana ini kembali terasa asing. Bahkan perasaan gugupku sama sekali tak berkurang dari hari pertama menginjakkan kaki di sini. Aku menarik napas dari hidung dan membuangnya pelan-pelan lewat mulut sembari terus memandangi pintu lift yang belum kunjung terbuka. Perutku terasa mual karena terlalu gugup. Walaupun pakaian dan tatanan rambutku sudah sangat rapi, tanganku tetap saja bergerak ke sana kemari untuk merapikannya lagi dan lagi. Kepercayaan diriku yang memang pada dasarnya kecil ini terus mengecil. Terutama jika mengingat tiang-tiang yang tertancap sembarangan di lantai 4. Aku tak mau menabrak tiang itu untuk yang ketiga kalinya. Aku harus fokus. Jika sampai tertabrak lagi, demi Tuhan aku akan berlari mengambil gergaji mesin dan memotong benda-benda laknat itu seperti menebang pohon. Lihat saja!


Begitu pintu lift terbuka, aku yang tadi menunggu sendirian ini melangkah anggun ke dalamnya, namun tiba-tiba saja sekelompok karyawan masuk dengan tergesa-gesa hingga membuatku terdorong dan terdesak di pojok. Sepertinya mereka semua adalah karyawan dari satu divisi di lantai 10, setelah salah satu dari mereka memencet tombol lantai 10, mereka langsung asik mengobrol tanpa mengacuhkanku yang terhimpit dan berbisik ‘tolong lantai 4 ya’ dengan susah payah. Lantai 4 pun terlewat. Akhirnya aku hanya bisa menunggu dengan pasrah dalam keadaan seperti itu.


Suara ‘ting’ terdengar dari pintu lift yang terbuka. Satu per satu mereka pun keluar. Aku menghela napas lega dan hendak berjalan ke depan, namun belum sempat kakiku melangkah ke mana-mana, sekumpulan orang yang lain memasuki lift dan melakukan hal yang sama persis seperti rombongan sebelumnya. Aku terhimpit di antara dinding lift yang dingin dan juga pria tambun yang tertawa keras dan menguyah donat dengan berisik. Dadaku terasa dililit tambang, aku tak bisa menarik napas dan tak bisa melihat apa-apa selain punggung pria itu. Sudah di lantai berapa ini? Astaga!


Saat pintu lift terbuka, aku baru melihat bahwa kami sudah berada di lantai 1 lagi. Seketika kepalaku bergetar menahan marah, aku merasa sedang dipermainkan oleh semua orang di dalam gedung ini. Kemejaku jadi agak kusut dan sebagian rambutku keluar dari ikatan, aku memburu napas dan menunggu mereka semua keluar dari lift ini dengan tidak sabar.


Begitu semua penghuni dari lantai 10 itu keluar, satu orang melangkah masuk. Belajar dari pengalaman, aku segera berlari sekuat tenaga dan menyerobot memencet tombol lantai 4 di pintu lift. Pria itu terkejut. Tangannya yang sudah terulur ia tarik kembali perlahan-lahan.


“Aku hanya ingin memencet lantai 4.” Aku menggeram dan bicara sambil menahan kesal.
“Ya, silahkan, saya juga mau ke lantai 4.” Detik itu juga aku terdiam. Dia sama sekali tak tahu apa yang baru saja kualami, pasti aku benar-benar terlihat seperti orang aneh yang terobsesi memencet tombol lift. Aku melirik pria tadi dengan menyesal. Tunggu...aku mengingat pria ini. Dia adalah pria yang bilang make-up ku sudah menodai tiang. Karena teringat akan kejadian itu, aku langsung memalingkan wajah darinya.  


Kami keluar bersamaan, bahkan berjalan beriringan cukup lama selama di lantai 4. Aku menoleh padanya dengan heran. Kami sudah hampir tiba di ruangan CEO, dia mau mengikutiku sampai mana? Akhirnya karena tak tahan aku menarik tangannya. Ia berbalik padaku dengan ekspresi terganggu.


“Tolong jangan mengikutiku. Aku janji aku tak akan menabrak tiang dan meninggalkan make up ku di sana.”


Pria itu menaikkan alisnya, “Saya tak mengerti, tolong lepas—”


“Sudahlah, jangan pura-pura bodoh! Aku ingin ke ruang CEO. Kau mau mengikutiku masuk ke sana juga?”


“Ya.”
“Ya?”


Saat itulah ia berbalik dan memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. Pintu ruang CEO itu pun terbuka lebar. 


"Saya memang mau ke ruang CEO, tapi saya tidak mengikuti Anda."


Aku hanya bisa terbelalak, saat itu tiba-tiba saja suara menenangkan yang kudengar lewat telepon kemarin menggema di kepala. Suaranya sama. Tubuhku seketika lemas, kakiku terasa melayang dan tulang-tulangku rontok satu per satu. Tolong siapapun jangan ada yang bilang kalau dia...


“Saya James, CEO baru Anda, Park Yu Jin-Ssi!”



**********



Lamborghini  Huracan berwarna kuning keemasan milik L.Joe sudah hampir tak terlihat, tapi aku masih tak bisa mengalihkan tatapanku ini. Kami baru bisa mengobrol dengan lebih santai ketika berada di dalam mobil, kemampuan basa-basinya yang luar biasa membuat semua kegugupanku mencair seperti es. Aku menjawab pertanyaannya dengan lumayan santai, setidaknya jauh lebih santai daripada di kafe tadi. Ini gila, tapi semua kesadaranku rasanya seperti disedot habis saat dia menatapku untuk yang pertama kalinya. Aku tak bisa memikirkan kata lain selain kata-kata umpatan. Lidahku bahkan terasa lumer di mulut karena auranya yang kelewat sensual. Aku harus berhasil membuatnya jatuh cinta padaku? Yang benar saja! Kalau begini caranya justru akulah yang akan menjadi mangsanya.


Lalu soal pertemuan kami di kafe, rasanya aku harus menampar diriku sendiri karena sudah bersikap bodoh. Aku yang mengaku sudah berpengalaman ini ternyata tidak ada apa-apanya. Aku bahkan tak bisa mengimbangi cara bicaranya yang luwes dan malah berkata omong kosong. Sebenarnya aku hanya ingin terlihat berani di hadapannya, tapi pada akhirnya senjataku itu malah berbalik. Dia malah berpikir aku menawarkan one night stand. Sinting! Sebenarnya dia sudah cukup beruntung, aku nyaris saja melepas cangkir itu hingga ikut melayang ke wajahnya. Bagaimana bisa dia menganggapku serendah itu? Oke, aku juga sebenarnya ikut andil dalam masalah ini, aku yang bicara tanpa berpikir inilah mungkin yang membuatnya mengatakan hal itu. Tapi disisi lain tak bisakah dia menjaga omongannya sedikit? Dituduh seperti itu terasa sangat menyakitkan. Aku baru berciuman dua kali seumur hidup dan aku bersumpah tak akan menyerahkan tubuhku walau dibayar 1 milyar sekalipun. Meski semua orang memandangku seperti player sejati, sebenarnya aku tidak sepenuhnya begitu. Aku berpacaran hanya untuk diajak belanja barang branded dan makan gratis. Semua itu hanya untuk bermain-main, bukan kepuasan seksual seperti yang mereka pikir. One night stand? Aku tak menyesal sudah refleks menyiramnya dengan kopi. Setidaknya dia pantas untuk yang satu itu.


Baiklah, lupakan soal pertemuan di kafe yang kacau. Di luar itu, ia benar-benar sangat tak terdeskripsikan. Aku menunduk, tersenyum menyindir diriku sendiri. Lihat siapa yang senang bukan kepalang karena bertemu L.Joe! Lihat betapa bodohnya aku sekarang! Aku memutar langkah dan berjalan masuk ke dalam rumah. Kakiku terasa melayang karena terlalu senang.


“Siapa lagi sekarang?” Suara sambutan yang ketus dari Jin Ah tak lantas membuat senyumku pudar.
“Kau tak akan percaya.”
“Siapa? Pacarmu yang lain? Aku percaya, kok.”
“Dia bukan manusia. Dia salah satu putra zeus yang tertinggal di bumi.”
“Sinting.”
“Aku bercanda, dia lebih hebat dari itu." Aku tak bisa menahan senyumku dan terus melempar senyum ke mana-mana seperti orang gila. 


"Memangnya apa yang lebih hebart dari putra Zeus?"
"Dia putra bungsu pemilik J’S.”
“Bohong!" Jin Ah berteriak kencang hingga telingaku sakit. "Hyo Jin astaga bagaimana bisa?”
“Yah karena aku Park Hyo Jin.”
“Yu Jin Onnie bekerja di J’S saja aku sudah bangga setengah mati, dan sekarang kau mengencani anak pemiliknya. Kau benar-benar orang sinting yang beruntung.”


“Dia bekerja di J’S? Sejak kapan?” Kali ini aku yang melempar tatapan penasaran padanya.
“Ya Tuhan, kau update soal berita One Direction di Inggris, tapi tidak tahu berita apa yang sedang hangat di dalam rumahmu sendiri! Benar-benar keterlaluan.”


“Jadi sejak kapan?”
“Sebenarnya dari kemarin lusa, tapi karena ada beberapa masalah dia baru mulai lagi hari ini.”
“Baru masuk saja sudah membuat masalah.” Aku menghela napas dan meletakkan bungkusan panekuk yang dibayar Jungkook—L.Joe menceritakan soal anak itu juga selama di mobil—di meja makan. Lalu Jin Ah duduk di sebelahku dan berdeham pelan.


“Kenapa lagi?”
“Aku mendapat telepon hari ini.”
“Kau diterima kerja?” tanyaku sambil mencari-cari ponsel.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Kau ingat acara perjodohan yang kita ikuti itu?” Aku mengeluarkan handphone yang berhasil kutemukan dan menoleh penasaran pada Jin Ah.


“Ternyata salah satu dari mereka ada yang memberikan tanda yes.” Kami bertiga memutuskan untuk tidak log in kembali ke situs perjodohan itu karena mengira pertemuan pertama kami sudah gagal. Jadi tak ada satu pun dari aku, Jin Ah atau pun Yu Jin yang tahu mengenai perkembangan hubungan aneh itu. Aku cuma mengangguk, tak tahu harus merespon apa. Lalu? Meskipun dia berkata yes dan langsung melamarku sekarang, aku jelas tak akan mau. Aku sedang menjalankan misi yang menyenangkan dengan si playboy Lamborghini itu. Memangnya ada yang lebih baik?


”Pria ini mengajak untuk pertemuan kedua. Kau mau datang?”
“Tidak,” ujarku tanpa berpikir.
“Yu Jin Onnie juga tidak mau. Masa aku sendiri?”
“Masa kencan minta ditemani?”
“Siapa bilang ini kencan?” Saat aku baru membuka mulut untuk menjawab, layar ponselku berkedip. Satu pesan masuk diterima. L.Joe.


'Kau ada acara besok? Jalan-jalan denganku, ya?'


Entah sudah berapa kali aku tersenyum dalam satu jam ini, yang pasti sudut bibirku mulai terasa nyeri. Aku membaca pesan itu sampai tiga kali karena takut berhalusinasi.


“Aku pasti sudah gila jika bilang tidak mau, Joe.” Aku menggumam pada layar ponsel.
“Tidak mau apa?”
“Bukan apa-apa.” Aku menjauhkan ponselku dari Jin Ah, lalu menyambar tasku dan segera berlari ke dalam kamar.


TBC



Ahoyy!! oke ini udah part 2 tapi selain HyoJoe, couple lain masih gak jelas masa depannya. Sebenernya cerita mereka masing-masing udah ada kok di kepala, cuma aku bingung ngetiknya. Trus buat yang heran ini pasangannya Jin Ah kemana? Ada ko sama aku, part 3 aku keluarin anaknya suwer. 


Buat yang udah baca, Makasih banyak banget banget yaaaahhhh!!! :* fix kalian kurang kerjaan

Comments

  1. Aaaaa hyojin jangan sampai kau jatuh hati dengan joe,. >.< wkwkwkwk buat dulu dia jatuh cinta dengan mu,. :D
    ohya kluarga park unik ya,. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts