Let Love Lead part 3



Matahari pagi bersinar dengan sangat cerah. Aku merasa seperti sedang diberi semangat. Sesuai nasihat Hyo Jin, aku menggerai rambutku yang ikal dan mengenakan blus pastel. Pertemuan kedua dijadwalkan hari ini, kami akan bertemu di halte lalu menentukan tempat kencannya bersama-sama. Untungnya jarak dari rumah ke halte lumayan dekat, jadi aku bisa berjalan kaki. Beberapa kali aku menunduk, memerhatikan langkahku sendiri. Flat shoes biru dengan aksen bunga pink di bagian depan yang kupakai hari ini terlihat cantik, sangat sesuai dengan suasana pagi.  


Selama berjalan, ucapan Hyo Jin di ambang pintu tadi terngiang. Ia yang mencap dirinya sebagai seorang pro menyuruhku untuk tidak tersenyum sering-sering dan menjadi agak misterius agar membuat pria itu penasaran. Kalau boleh jujur, sebenarnya walaupun tadi aku mengangguk-angguk, aku tetap tak mengerti dan tak yakin bisa mempraktikkannya. Kenapa tidak boleh senyum? Kenapa harus membuat orang lain penasaran? Entah apa Hyo Jin yang terlalu pro atau akunya yang terlalu lugu, semua nasihatnya terdengar sama sekali tidak masuk akal. Biarlah, aku tak peduli. Aku akan tersenyum saat aku ingin, aku tak mau bersikap misterius dan tetap menjadi Park Jin Ah yang seperti ini. Kalau dia tidak bisa menerimaku, itu berarti memang belum waktunya aku bertemu dengan jodohku. Sesederhana itu.



Tak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di tempat pertemuan kami. Aku duduk sendirian di bangku panjang yang terbuat dari pipa besi khas halte itu sembari terus menoleh gelisah ke kanan dan kiri. Dia tidak terlambat. Justru aku yang terlalu pagi. Kami janji bertemu pukul 9 dan sekarang deretan angka 8.47 masih tertera jelas di layar ponselku. Aku mengayun dan mengetuk-ngetuk flat shoes-ku dengan resah, aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Aku tak sabar menunggu waktu hingga kami bisa sangat dekat dan menjalin hubungan yang serius, dengan begitu aku bisa mengajaknya menikah dan tak perlu repot-repot lagi memikirkan kerja. Mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi aku benar-benar memikirkan hal itu semalaman.


‘Jin Ah~aa… jadi kau belum diterima kerja juga?’


Ucapan itu semakin rutin saja kudengar. Walaupun aku menjawabnya sambil tersenyum, bukan berarti aku baik-baik saja. Memangnya mereka kira aku tidak muak? Memangnya mereka kira aku senang tidak punya pekerjaan? Aku juga berusaha ke mana-kemana, aku mengerahkan seluruh kemampuan yang kupunya, aku memikirkannya setiap saat sampai stres. Hampir seluruh temanku sudah mendapat kerja, Yu Jin juga terus mendesakku untuk membantunya mencari uang, aku benar-benar bisa gila. Bisakah kalian semua diam? Tolong mengerti sedikit! Tidak mendapat kerja bukanlah keinginanku. Aku juga terluka. Semua pikiran itu seketika membuat mataku memanas.


Dari kejauhan, aku bisa melihat seseorang tengah berlari-lari ke arahku. Aku segera menekan dan mengusap mataku yang hampir meneteskan air. Itu pasti orangnya. Walaupun aku memicingkan mata, aku tetap belum bisa melihat wajahnya. Dalam hati, aku benar-benar berharap dia adalah pria yang duduk di pojok saat pertemuan pertama. Dia memang tidak tampan, tapi tidak bisa dikatakan jelek juga. Orang itu terlihat paling tenang, ia cuma menatap kami bertiga sesekali dan tersenyum manis. Dia juga masih muda. Pria jaket kulit waktu itu juga sebenarnya lumayan. Tapi ia terus menatap Hyo Jin seakan sudah menentukan pilihan. Aku tak mungkin menerima pria yang sudah menaruh hati pada adikku.


Pria itu berjalan semakin dekat dan membuatku mulai gugup.


“Kau sudah datang? Maaf ya membuatmu menunggu. Apa aku terlambat?” Ternyata dia adalah si pria jaket kulit. Aku cuma bisa tersenyum getir menanggapinya. Semua rasa antusiasku menghilang.


“Kau sendirian?” Ia menoleh ke sekitar halte. Biar kutebak, pria ini pasti sedang mencari adikku, kan?


“Hyo Jin dan Yu Jin eonnie tidak ikut.”
“Oh begitu.”
“Kau pasti kecewa ya karena hanya aku yang datang.”
“Kenapa harus kecewa? Justru kalau berdua saja kita jadi bisa mengenal satu sama lain lebih baik, kan?” Sesuatu dalam dadaku terasa sangat lega. Tapi bisakah aku mempercayai ucapannya?


Tak lama setelah itu, bus pun datang. Karena penumpangnya tidak banyak, kami bisa memilih tempat duduk dengan leluasa sebelum akhirnya berkenalan sekali lagi. Ternyata namanya Song Mino, dia seorang karyawan di Bank swasta dan mengaku baru saja naik jabatan. Ya, Song Mino. Aku mengingatnya sekarang. Dia memperkenalkan diri dengan tatapan lembut yang hanya tertuju pada Hyo Jin. Harusnya aku tidak mengingat-ingat ini, tapi semuanya berkelebat begitu saja. Walaupun ia bilang tidak kecewa, aku yakin dia pasti kecewa. Toh alasan dia repot-repot log in ke situs perjodohan itu lagi pasti karena berharap bisa bertemu Hyo Jin. Aku tersenyum pahit dan tidak membalas perkataannya lagi. Pemandangan di luar jendela tiba-tiba saja menjadi sangat menarik hingga tanpa sadar kami sudah sampai di halte selanjutnya.


Dari halte itu, kami berjalan kaki selama 5 menit. Walaupun berjalan bersebelahan, jarak di antara kami cukup lebar. Kira-kira satu orang lagi bisa menyempil di tengah-tengah tanpa menyenggol siapapun.


“Kita harus menyeberang,” ucap Mino, bersamaan dengan tangannya yang cepat meraih tanganku. Seketika itu juga jantungku jatuh ke perut. Yah, terserah, tapi aku benar-benar merasa mual karena terlalu gugup. Telapak tangannya yang besar membuat tanganku yang tak bisa dibilang kecil ini tenggelam di dalamnya. Aku pernah mendengar kutipan dalam drama roman yang menyatakan ‘tangan pria seharusnya terasa lembab tapi tidak basah’ aku tak pernah mengerti apa maksudnya itu hingga detik ini. Ya, itulah yang kurasakan sekarang.


Jalanan ini terasa memanjang saat kami lewati, aku berusaha melemaskan tanganku agar berhenti bergetar. Padahal ia cuma menggenggam tanganku untuk menyeberang, tapi reaksi tubuhku melebih-lebihkan segalanya. Benar-benar memalukan. Setelah sekian lama, akhirnya kami sampai di ujung jalan dan akhirnya pula ia melepas tanganku. Aku memelankan langkah agar bisa mencuri waktu untuk menarik napas.


“Aku jalan terlalu cepat, ya?” Mino yang berjalan beberapa langkah di depanku berhenti saat tersadar aku tertinggal. Aku langsung menggeleng dan menyamakan langkah dengannya.


“Di ujung sana ada bangku taman, kalau kau lelah duduklah di sana. Aku akan belikan es krim. Kau suka rasa apa?”


“Aku ikut denganmu saja.” Sesaat setelah aku mengucapkan itu, Mino tertawa.


Secara otomatis keningku berkerut, “Apanya yang lucu?”


“Kau tak mau pisah dariku, ya?”
“Eh? Bukan begitu! Kalau kau tak mau kutemani ya sudah aku menunggu di bangku taman saja”
“Eiii…” Dia menarik tanganku, membuat kakiku yang sudah melangkah ini kontan berputar lagi ke arahnya.


“Jangan marah. Aku kan cuma bercanda.”
“Aku tidak marah. Hanya tiba-tiba saja aku kelelahan dan ingin duduk.”
“Kalau kau duduk, aku yang akan marah. Tiba-tiba juga aku ingin kau temani,” ucapnya, meniru gaya bicaraku.


“Kau tak boleh jauh-jauh dariku. Nanti kalau ada pria lain yang mengajakmu kenalan, bagaimana nasibku nanti?” Aku menghela napas, lantas tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. Dia benar-benar aneh. Bagaimana mungkin sudah membicarakan nasib di saat seperti ini?


“Kau suka rasa apa?” Kaki kami yang melangkah teratur menuju truk es krim di bagian timur taman terlihat serasi. Ternyata Mino juga menggunakan sepatu kets warna biru. Tolol memang, tapi melihat kebetulan kecil seperti ini membuatku merasa bahagia.


“Aku suka semua rasa, kok. Samakan saja denganmu.”
“Sungguh? Aku juga tak punya rasa kesukaan. Menurutku semua rasa sama saja.”
“Benar. Aku tak mengerti dengan orang-orang yang terlalu addict dengan rasa. Hyo Jin contohnya, dia tak mau makan es krim atau susu rasa apa pun selain cokelat.”


“Itu pasti merepotkan. Bagaimana kalau rasa cokelatnya tidak ada!”
“Dia memang sangat merepotkan. Kau tak akan percaya! Saat masih kecil, Yu Jin sampai tidak kuliah gara-gara Hyo Jin tiba-tiba ingin makan es krim cokelat, padahal umurnya sudah 12 tahun saat itu.”


“Adikmu benar-benar manja.”
“Sangat!” aku mengangguk membayangkan perempuan berumur 21 tahun yang masih suka marah-marah jika persediaan cokelat panas di rumah habis. Mino yang berjalan disampingku menggelengkan kepalanya dengan ekspresi lelah, “Aku tak akan kuat menghadapi perempuan yang manja.”


“Walaupun manja tapi Hyo Jin itu punya sesuatu yang membuat orang-orang di sekitarnya tak bisa berkata tidak. Seaneh apa pun keinginannya, tetap saja kami...”


“Bagaimana denganmu?” sela Mino, memutar badannya tiba-tiba. Dia mengambil alih posisi di depanku dan berjalan mundur sembari memamerkan senyumnya.


“Aku?”
“Ya. Bagaimana dengan Park Jin Ah?”
“Hmm....”
“Oke, tidak perlu dijawab. Aku akan mencari tahu sendiri.” Mencari tahu bagaimana? Aku sendiri saja tak tahu, apalagi kau. Sungguh tak ada yang spesial dariku, aku bersumpah.


Truk es krim yang kami tuju sudah berada persis di belakangnya, Mino memutar badan kembali dan langsung berhadapan dengan daftar menu. Aku berdiri di sebelahnya, memerhatikan objek yang sama.


“Jadi kita pesan apa?” tanyaku tanpa mengalihkan pandang.
“Begini saja, kau pilihkan es krim untukku dan sebaliknya aku akan pilihkan untukmu. Kau bilang semua rasa tak masalah, kan?”


“Begitu? Ide bagus. Aku akan pilihkan rasa yang paling aneh untukmu.”
“Kau sedang mengajakku perang, ya?” Mino memicing sekilas padaku yang langsung tergelak, “Percuma Park Jin Ah! Aku suka semua rasa. Tolong Royal Choco sundae untuknya.” Tawaku langsung lenyap. Mino memesan begitu saja tanpa basa-basi apa pun. Apa dia sempat berpikir sebelum memilihkan rasa itu?


“Ternyata kau bukan lawan yang kuat.” Aku berbisik padanya. Royal Choco Sundae? Intinya es krim cokelat saja, kan? Namun setelah aku mengatakan itu Mino malah tertawa pendek, cengiran licik menguasai wajahnya. “Menyimpulkan terlalu cepat itu tidak baik, Nona.” Mataku berputar otomatis mendengar ancaman kosong itu. Cokelat tetaplah cokelat.


Pandangan kami sama-sama beralih dari daftar menu ke sang penjual yang mulai sibuk, ia memasukkan setumpuk scoop es krim berwarna cokelat gelap hingga menjulang. Rasanya seperti menjilat ludah sendiri. Lewat ekor mata, aku bisa melihat Mino yang tersenyum bahagia. Belum dimakan saja, es krim itu sudah membuatku mual. Aku tak mampu membayangkan semanis apa rasanya.


“Tambahkan toppingnya yang paling manis ya, krim vanilla dan oreo itu juga boleh. Tambahkan saja semuanya.” Aku nyaris membekap mulut Mino yang berkata seenak jidat, namun sayang sekali tanganku berhenti di tengah jalan, belum cukup berani untuk menyentuhnya. Mino menoleh padaku dengan senyum yang dibuat-buat. Ini sudah terlalu jelas, dia pasti sengaja! Dia pasti ingin membuat rasa es krimku menjadi semakin manis. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menahannya.


Akhirnya tanganku cuma bisa bergerak abstrak di belakang kepala saat melihat pria bertopi putih di belakang konter menambahkan krim vanilla, potongan cokelat dan juga astor ke dalam es krimku yang sudah menggunung. Mungkin jika Hyo Jin yang melihatnya, anak itu akan langsung berteriak girang sampai air liurnya menetes. Tapi tidak denganku. Semua macam cokelat yang tumpang tindih di cup berukuran kecil itu justru membuatku mual. Aku ketakutan untuk memakannya.


“Jangan lupa siram dengan sirup cokelat!”
“Kurasa ini sudah cukup manis,” ucap sang penjual es sambil memegangi tengkuknya sungkan.
“Tidak apa-apa, tambahkan saja.” Padahal penjual esnya sudah memberi peringatan untuk berhenti, tapi pria di sebelahku ini tetap saja menyuruhnya menambahkan ini itu. Ya ampun, dia benar-benar kelewatan. Bagaimana cara aku memakannya? Aku menelan ludah saat pria di belakang konter itu mengguyur es krim milikku dengan limpahan cokelat cair. Selain penggila cokelat yang sangat gila, aku yakin tak ada lagi orang yang bersedia memakannya.


“Coba kalahkan itu.” Mino mendekatkan wajahnya dan berbisik tepat di telingaku. Nada bicaranya benar-benar puas, aku merasa seperti sedang diajak perang sungguhan.  


“Yang warna hijau itu rasa apa?” Aku langsung merangsek ke depan, menumpangkan kedua lengan di atas kotak bening berisi bermacam warna es.


“Yang warnanya lebih tua itu rasa teh hijau dan yang hijau muda rasa jeruk limau.” Aku menjulurkan lidahku membayangkan rasanya. Sementara Mino masih berdiri tenang. Sepertinya lawanku ini cukup kuat, aku harus mengerahkan seluruh kreativitasku untuk mengalahkannya.


“Bisakah kau campur?”
“APA?” Mino dan penjual es itu berseru kompak. Aku menahan tawa dan mengangguk seperti tak terjadi apa-apa. Reaksi mereka membuatku tambah mantap memilih rasa itu. Pasti aku orang pertama kan? Si penjual es mengembuskan napas berat saat membuka kotak pendingin, mengerti bahwa kami berdua sedang mempermainkan barang dagangannya.


“Yang itu mint, kan? Aku mau tiga rasa itu diaduk rata lalu ditambahkan perasan lemon. Kau punya lemon?” Mino yang berada di sebelahku menggelengkan kepalanya sebagai isyarat. Tapi isyarat itu tak dapat dimengerti oleh si penjual es yang langsung mengangguk putus asa. “Kami punya.”


“Terima kasih,” gumam Mino pelan. Dan kali ini aku tak bisa menahan diri lagi untuk tidak tergelak.


Es krimnya mulai diracik, aku memerhatikan Mino dan penjual es itu bergantian. Ekspresi mereka benar-benar membuatku terhibur. Penjualnya sendiri bahkan terlihat tidak tahan. Kalau begitu, maka sudah jelas bukan siapa pemenang dari peperangan ini?


“Balas dendammu benar-benar kelewatan,”  ucap Mino yang belum kunjung menjilat es krimnya. Kami berjalan beriringan menuju bangku taman dengan ekspresi yang sangat bertolak belakang. Ternyata Royal Choco Sundae yang ia pilihkan untukku benar-benar enak. 


“Maaf, ya.” Kami duduk di bangku taman. “Tapi kan kau bilang suka semua rasa,” lanjutku tanpa dosa. Aku bisa mendengar Mino yang mendesah.


“Bagaimana cara memakan ini?”
“Begini.” Aku memasukkan suapan besar ke mulutku, dan melebih-lebihkan ekspresi saat menikmatinya.


“Aku tahu. Tapi bagaimana bisa dimakan jika membayangkannya saja sudah membuatku mual?” Sekadar mengingatkan, es krim milik Mino berwarna hijau abstrak dengan bau mint yang menyengat.


“Kalau kau memakannya setengah, aku akan membagi punyaku.”
“Tapi kau juga harus mencoba es krim beracun ini. Bagaimanapun green tea lime mint ini adalah hasil perbuatanmu.”


“Beracun? Memangnya seburuk itu, ya? Kau bahkan belum mencobanya,” dengusku. “Habiskan setengah! Setelah itu kita bertukar es krim.”


“Kau serius?”
“Tentu saja. Royal choconya sangat enak. Tapi kurasa porsinya terlalu banyak untukku. Rasa manisnya jadi berlebihan. Aku mual.”


“Manisnya berlebihan?”
“Ya.”
“Sebenarnya es krim itu tidak semanis yang kau bilang. Aku pernah mencobanya.”
“Oh ya? Apa lidahku yang...”
“Bukan lidahmu. Kalau mau tidak terlalu manis, harusnya kau makan es krim itu sendirian.”
“Eii, aku mengerti maksudmu. Cih.” Mino langsung tertawa terbahak-bahak. “Oh ya? Kau mengerti? Memangnya apa?”


“Kau mau bilang es krimku menjadi manis karena aku memakannya sambil duduk di sebelahmu, iya kan?” Tawa Mino kembali menggema, “Ternyata kau narsis juga ya.”


“Siapa yang narsis? Kau mengucapkannya sendiri!”
“Sudahlah, es krimmu mencair.” Mino menghela napas sebentar sebelum memasukkan seujung es ke dalam mulut.


“Bagaimana?” Aku memerhatikan ekspresi wajahnya.
“Tidak seburuk yang kupikir.”
“Sungguh?”
“Ya.” Mino menyendok es krim hijau itu dan menyodorkannya padaku. “Coba ini! Buka mulutmu! Aaaa.” Secara otomatis aku langsung membuka mulutku dan menerima suapannya.


“Lumayan, kan?”
“Ini asam yang menyegarkan,” komentarku sembari mengernyit sedikit.
Green tea nya seperti penetralisir.“


Aku mengangguk-angguk mendengar ucapannya. Namun tiba-tiba saja sesuatu membuatku tersadar, “TIDAK!!” Aku berteriak dan terbelalak dramatis seperti dalam drama. Ya Tuhan ini benar-benar tidak bisa dibiarkan, kami baru saja...


“Ada apa?” Mino menoleh padaku sambil mengelap bibirnya.
Indirect kiss.”
Indirect—oh ya Tuhan yang benar saja! Kau berteriak karena itu? Kau benar-benar mengkhawatirkan hal konyol itu?”


“Bagaimana bisa hal seperti itu kau sebut konyol? Aku kan belum pernah berc—“ Aku berhasil menahan lidah. Sejak kapan aku menjadi seterbuka ini? Astaga!


“Sungguh? Kau belum...”
“Diam! Aku tak mau membahasnya.” Wajahku seketika memerah.
“Kau unik sekali.”
“Hentikan.”
“Sudah jarang aku menemukan perempuan umur dua puluh tahunan yang belum pernah ciuman.”
“Bisakah kita berhenti membicarakan ini?” tukasku tak nyaman.
“Oke, aku tak akan bicara lagi. Ini… sudah setengah. Kita bertukar sekarang.” Aku menyerahkan cup es krim milikku. Begitu pun Mino. Dan ya, rasa es krim hijau itu ternyata tidak seabstrak warnanya. Mungkin jika aku ke sini lagi aku akan memesan rasa ini.


“Penggila cokelat pasti bisa menangis bahagia memakan ini,” komentar Mino dengan wajah datar. Ia kembali memasukkan sesendok es krim ke mulutnya dan mengangguk-angguk. Jika dia memakan es krim bersama Hyo Jin, pasti suasananya akan jauh lebih seru daripada denganku, bukan tidak mungkin Hyo Jin benar-benar akan menangis bahagia seperti yang dia ucapkan. Untuk kesekian kalinya, aku merasa sangat membosankan.


“Mino...”
“Ya?”
“Bolehkah kita ke tempat tadi? Aku ingin membelikan es untuk Hyo Jin dan Yu Jin Onnie juga”
“Pasti akan mencair saat di jalan pulang.”
“Setelah beli, kita langsung naik bus saja. Dari halte aku akan langsung berlari ke rumah dan memasukkannya ke freezer.” Mino terkekeh pelan. Kepalanya menggeleng beberapa kali seakan takjub dengan jawabanku. Apa aku salah bicara?


“Ini baru jam 10. Kau mau berpisah denganku secepat ini? Aku membosankan, ya?”
“Apa? Justru aku yang merasa sangat membosankan.”
“Kau merasa begitu? Kenapa? Padahal aku sangat menikmatinya. Aku tak bosan sama sekali.”
"Sungguh?"
"Ya! Ayo!” Ia tiba-tiba berdiri. Aku menggigit sendok es krimku dan mendongak padanya.
“Ke mana?” Bersamaan dengan pertanyaanku itu, cup es krim royal choco sundae yang dilempar Mino berhasil masuk ke dalam tong sampah yang berjarak tiga meter dari bangku taman tempat kami duduk. Aku nyaris berdiri dan mengucapkan selamat padanya. Dia pasti jago basket.


Setelah itu, Mino baru menoleh heran padaku. “Katanya mau beli es krim untuk kedua saudaramu?”


“Oh, sekarang?” kataku, lantas berdiri.


Belum sempat kami melangkah, Mino tiba-tiba menadahkan tangannya di depanku. Aku yang sama sekali tak mengerti menatap telapak tangan dan wajahnya bergantian, kemudian dengan bingung meletakkan cup es krim yang kupegang di telapak tangannya yang terbuka itu. Dia mau aku mengembalikan es krimnya?


“Haha... Apa ini? Aku mau tanganmu.”
“Tanganku?”
“Ayo gandengan tangan”
“Untuk apa? Kita kan tidak harus menyeberang.”
“Memangnya gandengan cuma dilakukan saat menyeberang?”
“Ya tapi kan kalau begini jadi tidak ada esensinya...”
“Kau lupa, ya? Kita itu sudah melakukan indirect kiss, kalau gandengan tangan saja seharusnya tidak masalah, kan?”


Mino bicara enteng sekali hingga membuatku langsung tersipu. "Kau benar-benar ya!"



**********



Sejauh ini, hari keduaku berlangsung normal. Aku belum menabrak tiang atau mempermalukan diri di depan CEO itu. Tapi untuk berjaga-jaga, aku tetap berdoa sungguh-sunguh dalam hati agar semua kelancaran ini bertahan sampai nanti sore. Aku tidak mau melakukan hal konyol setiap berada di gedung mewah yang sekarang sudah menjadi kantorku ini, maksudku J’S.


Setelah mengecek isi clear holder biru yang kubawa dari rumah, aku berdiri dari meja kerjaku dan berjalan menuju ruangan James. Entah ini kabar baik atau buruk, tapi meja kerjaku berada di lantai yang sama dengan ruangannya. Lantai 4. Walaupun awalnya lantai ini membuatku sangat tertekan, namun lama-lama aku mulai terbiasa dengan uniknya penempatan tiang di sini. Aku menganggap keterbiasaan itu sebagai kemajuan. Bagaimana tidak? Sejujurnya aku mulai ragu antara harus kagum atau marah pada arsitek gedung ini. Aku yakin dia sedang ada masalah pribadi saat membangun J’S.


Tok Tok Tok


Setelah terdengar teriakan ‘masuk’ dari James, aku baru mendorong pintunya perlahan.


“Aku membawa desain logo yang kau minta,” ucapku.
“Duduklah!” Aku menutup pintunya kembali dan duduk di hadapan James. Pria itu menyingkirkan semua dokumennya ke pinggir, lantas menerima clear holder yang kusodorkan dengan wajah takjub.


“Semuanya sudah selesai? Ini dua hari lebih awal dari kesepakatan kita.”
“Bahkan sebelum kita membuat kesepakatan itu, aku sudah menyelesaikan semuanya.” James melirikku sekilas kemudian kembali memerhatikan beberapa macam logo restoran daging yang kubuat ulang. Semuanya baru dan orisinil.


“Bagaimana pun itu salahku, dan aku harus tanggung jawab,” lanjutku. James tersenyum tipis tanpa mengalihkan objek pandangnya. Ini benar-benar konyol, tapi melihat senyum tipis itu, seketika aku merasa seperti sedang menonton CEO muda yang hanya ada dalam drama. Aku baru sadar kalau ternyata ia bisa lebih tampan dari James yang biasa. Dan hei… kenapa dia harus tersenyum pada desainku? Kenapa tidak padaku saja?  Aku benar-benar penasaran bagaimana rasanya.


“Saya menyukai semuanya.”
“Termasuk pembuatnya?” Aku mendesis sangat pelan dan terkikik geli, berpikir dia tak mungkin bisa mendengarku. 


“Saya menyukai semua desain Anda” James mengangkat kepala dan berucap dengan nada menegaskan. Sekejap senyumku menghilang. Ya Tuhan dia tidak mendengar ucapanku, kan? Aku merasa seperti sedang ditangkap basah. Aku bersumpah akan membenturkan kepalaku ke semua tiang di lantai empat jika dia sungguh mendengarku.


“Oh, terima kasih.” Aku setengah meringis.
“Dari dulu kau memang tak pernah mengecewakanku.” Kali ini dia yang bicara sangat pelan.
“Apa?” Ini pertama kalinya aku mendengar ia bicara banmal, dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah dia bilang sejak dulu aku tak pernah mengecewakannya. Sejak dulu kapan? Memangnya kita pernah kenal?


“Tidak. Bukan apa-apa.”
“Tadi kau bilang...”
“Saya tak bisa memilih satu dari ini,” selanya cepat.
“Kenapa? Katanya kau suka semua?”
“Bukan masalah itu. Adik saya yang akan mengerjakan proyek restoran ini. Jadi dia yang akan memilih logonya,” jelas James sembari membuka flip case ponselnya dengan jempol. "Sebentar." Detik berikutnya layar sentuh ponsel itu sudah menempel di telinganya.


Kau di mana?...... kalau masih menginginkan restoran daging itu datanglah ke kantor sekarang...... Kau pikir aku peduli? Ha! Jika dalam 15 menit kau tak datang, lupakan saja restoran dagingnya.” Aku benar-benar terkejut mendengarnya bicara sesantai itu, ternyata James yang kaku seperti triplek ini adalah manusia juga.


“Kau tunggu di sini dulu. Dia datang sebentar lagi.”
“Aku kaget kau ternyata bisa bicara banmal.
“Aku juga kaget melihat seorang karyawan baru terus-terusan bicara banmal pada atasannya.” Ia membalik ucapanku dengan sangat tenang dan eskpresi datar. “Ini pertama kalinya saya mendapat karyawan seberani Anda,” tambah pria itu masih dengan nada yang sama. Ia menyempatkan diri untuk melirikku sekilas sebelum akhirnya tenggelam lagi dalam dokumen yang memenuhi mejanya. Demi Tuhan aku kehilangan kata, ternyata selain kaku dia juga benar-benar dingin. Aku mendecak pelan. Sepertinya dia adalah hasil reinkarnasi dari es balok. Sekarang bagaimana? Apa kami harus terus diam? Atau aku minta maaf saja? Oke oke, bagaimana pun dia adalah bosku.


“Maaf, tapi di kantor lamaku...”
“Apa saya harus mengingatkan Anda setiap saat? Anda bekerja di J’S sekarang.”
“Ah, benar,” ujarku dibuat-buat. Bisakah orang ini berhenti menyela ucapanku? Dasar! “Sekarang saya mengerti, James CEO-nim,” lanjutku penuh penekanan. Manusia ini! Sensitif sekali, sih? Sedang datang bulan, ya!



*********



Biasanya, jika pergi berkencan dengan seseorang, aku akan diperlakukan seperti seorang putri raja dan dibukakan pintu. Tapi pria yang satu ini. Aish! Aku membuka pintu Lamborghini-nya dan merendahkan kepala untuk melihat manusia di belakang kemudi, pria itu sama sekali tak menoleh, dengan kacamata hitam dan kepala yang mengangguk-angguk mengikuti beat, pria itu terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Dasar playboy sial!


“Heh!”
“Cepat masuknya! Jangan biarkan pintunya terbuka terlalu lama. Di musim panas itu banyak nyamuk, tahu tidak.” Mataku melebar, lantas masuk ke dalam mobilnya dengan kesal.


“Kalau aku bisa memberimu nilai, aku akan memberikan nilai 4.” Aku bersedekap dengan badan yang menyerong padanya. “Ini baru pertemuan kedua dan kau sama sekali tak ada manis-manisnya.” L.Joe mengecilkan volume tape-nya lalu menoleh padaku sambil tertawa.


”Jadi kau suka cowok manis?”
“Apa hal seperti itu harus ditanyakan? Siapa yang tidak suka cowok manis?”
“Masalahnya aku L.Joe, siapa yang tidak suka L.Joe?” Cih, apa-apaan itu? Karena dia L.Joe dia boleh tidak bersikap manis padaku? Satu-satunya hal yang membuat emosiku belum meledak sampai saat ini adalah fakta bahwa dia menjemputku dengan sebuah Lamborghini Huracan seharga 74 Juta Won.


“Kau kira semua orang menyukaimu, ya? Besar kepala sekali.” L.Joe menyeringai mendengar nada sinis yang kugunakan. Lantas menyerongkan badan menghadapku. Sikunya bertengger di kemudi.


“Intinya kau ingin aku bersikap manis?”
“Tak perlu. Aku tahu kau tak bisa.”
“Aku hanya takut kau diabetes. Aku bisa lebih manis dari permen kapas.”


Aku menjulurkan lidah dengan jijik.


“Hei, aku tak suka melihat perempuanku marah.” L.Joe mengulurkan tangan dan menyentuh daguku sambil terus memainkan ekspresi wajahnya. Sebagai gadis yang berpengalaman, seharusnya aku bisa mengatasi wajah ‘tolong maafkan aku’-nya yang sangat menggemaskan, tapi entah kenapa semuanya menjadi 100 kali lipat lebih sulit saat ini. Dia melewati batas normal. Ini benar-benar keterlaluan. Jangan memainkan emosiku seperti ini. Sialan!


“Heh! Itu menggelikan! Kau kelihatan konyol sekali, hentikan! Kau tak punya bakat bersikap manis.” Aku mati-matian menahan diri untuk tidak luluh.


“Oke, aku juga tak berencana melanjutkannya! Aku takut kau pingsan.”
“TENTU SAJA TIDAK!” L.Joe langsung tergelak sampai matanya menghilang. Ya Tuhan bisakah Kau hentikan pria ini? Dia terlihat seperti kucing kecil yang kulihat di acara cats 101 kemarin sore. Tidak tidak, dia bahkan lebih manis lagi. Dia benar-benar lebih manis dari permen kapas.


“Kenapa pipimu merah begitu?” Kontan aku memegangi kedua pipiku.
“Kau bohong!” L.Joe yang tawanya baru reda kembali tertawa lagi. Sepertinya kebahagiaan pria ini sedang berada di titik puncak. Aku jadi curiga dia habis mengisap kokain.


“Bisakah kita jalan sekarang?”
“Kita mau ke mana?”
“Memangnya rencananya ke mana? Kau kan bilang minta ditemani jalan-jalan.”
“Aku tak punya ide.”
“Aku juga.”
“Bagaimana kalau ke apartemenku? Atau Villa? Benar... aku habis beli villa baru di Yongin. Tapi tidak, itu terlalu jauh. Kurasa asal bersamaku, mengobrol di mobil saja juga tidak apa-apa. Iya kan?”


“Apa kau selalu terburu-buru seperti ini? Biar kuingatkan, kita baru bertemu kemarin. Tenanglah sedikit.” Aku menanggapinya dengan santai. Dia mengajakku ke apartemen? Ke villa? Benar-benar sinting.


“Woah, apa yang sedang kau pikirkan? Apa aku sedang bicara dengan master?” L.Joe menggelengkan kepalanya dan terkekeh.


“Padahal aku berharap banyak loh pada putra bungsu pemilik J’S tapi ternyata kau hanya mengajakku ke apartemen!”


“Aku bisa membawamu keliling Eropa jika kau mau.”
“Oh ya? Ke Eropa sekalipun ujung-ujungnya playboy sepertimu pasti akan tetap membawaku ke Ho... YA! KAU MAU APA?” Tanpa aba-aba, L.Joe merapatkan badannya, tangannya terulur menarik seatbelt di sebelahku.


“Lihat, kan? Aku belum melakukan apa-apa saja kau sudah setegang ini, apalagi jika aku melakukan apa-apa?”


L.Joe memasukkan ujung seatbelt-nya ke dalam pengait, lantas memakai punyanya sendiri. “Ternyata aku salah. Kau bukan master,” ucapnya, lantas terkekeh menyindir.


“Jika kau tak berhenti bicara, aku bersumpah akan merobek mulutmu!”


L.Joe memutar matanya. Sial! Dia pikir aku tidak berani merobek mulutnya? Dia pikir ucapanku itu hanya gertakan saja?


“Oke, aku berhenti bicara, sekarang bagaimana? Kita mau ke mana?"
“Aku mau ke pantai.” Tiba-tiba saja pikiran itu melintas. Entah karena aku yang sudah terlalu kesal, atau AC Lamborghini ini memang sedang rusak, aku merasa benar-benar kepanasan dan ingin mencelupkan kakiku ke air. Tadinya aku hampir saja berkata ‘aku mau ke sauna’ tapi mengingat pria mesum ini senang sekali memikirkan hal yang tidak-tidak, maka ajakanku yang tulus itu sudah pasti akan ditanggapi lain lagi olehnya.


“Benar! Kita bisa melihat matahari terbenam.”
“Ini masih jam 10 pagi, genius.”
“Kalau kita ke Pantai Kkotji  sekarang, mungkin kita akan sampai saat matahari terbenam.” Aku terdiam. Kalau melihat matahari tenggelam di sana, jam berapa aku akan sampai di rumah? Yu Jin bisa mengusirku jika pulang pagi.


“Bagaimana?” L.Joe menyalakan mobil. Suara mesinnya membuatku tersadar.
“Oke, ayo ke Kkotji!” putusku akhirnya. 


Baru saja L.Joe menginjak gas, ponselnya berbunyi. Alisnya segera tertaut heran begitu melihat nama di layar ponsel. Si Pelit James. Ya, mataku masih cukup jernih untuk bisa melihatnya. Nama kontak yang aneh. Kalau ia menamainya dengan panggilan seakrab itu, sepertinya James ini adalah seseorang yang sangat dekat, seperti sahabat atau saudara kandungnya. Aku menolehkan wajahku sepenuhnya pada L.Joe. “Siapa?” tanyaku basa-basi, dan sepertinya pria itu tahu aku sedang berbasa-basi. Ia cuma melirikku sebentar lalu mengangkat teleponnya. “Halo.”


Aku kembali melihat ke depan, kami baru saja memasuki jalan tol.


Aku? memangnya ada apa?...... Ahh, Hyung! Tidak bisa! Aku mau ke Kkotji dengan pacarku.”


“Permisi? Pacar kau bilang?” ujarku dengan ekspresi ‘tolong ralat itu!'. Memangnya sejak kapan kita pacaran? Namun L.Joe sama sekali tak menanggapi, ia sibuk mendengarkan ucapan ‘si pelit James’ itu dengan ekspresi seolah sedang menanggung beban berat.


“15 menit? Kau stres ya? Memangnya Seoul itu... HEH! SIAL!” L.Joe langsung mengecek layar ponselnya yang sudah tidak menunjukkan aktivitas sambungan. Kemudian mendecak lebih keras.


“Ada apa?”
“Aku harus menemui kakakku dulu di J’S. Tenang saja aku janji akan membawamu ke Kkotji setelah itu.”


"Yah, oke."



*********



“Sini es krimnya!”
“Sudah sampai?”
“Sudah.” Mino menoleh mengikuti arah mataku, lantas menyodorkan cup es krim vanilla berukuran jumbo yang sejak tadi berada dalam kuasanya. Saat sedang membelikan es krim untuk Yu Jin da Hyo Jin, tiba-tiba dia menawarkanku untuk membeli es krim yang lain. Kali ini kami cuma membeli satu, tapi dengan porsi yang lebih besar. Ada dua sendok di dalamnya.


“Sendok mana yang kau pakai?” tanyaku curiga.
“Bukan punyamu.”
“Awas kalau bohong!” Mino langsung membuat tanda silang di dadanya. Seharian ini, apa pun yang dia lakukan selalu kubalas dengan senyuman. Jika Hyo Jin melihatku tersenyum sebanyak ini, ia pasti akan mengomel panjang. Tapi mau bagaimana lagi? Semua tingkah Mino terlihat konyol tapi juga lucu, entah kenapa sudut bibirku pun selalu tertarik begitu saja. Hari ini aku jelas tersenyum lebih banyak dari hari biasa. Aku kembali memerhatikan pria di depanku ini, lantas menarik napas. “Terima kasih sudah mengantarku, ya. Aku masuk dulu.” Saat tengah mendorong pagar, Mino menangkap tanganku.


“Ada apa? Kau tak ingat perjanjiannya, ya? Jika sudah sampai rumah, es krim ini menjadi hak milikku”


“Bukan itu.”
“Lalu?”
“Apa jawabannya? Yes atau No?”


Aku mengerutkan kening. “Kau ingin aku menjawabnya sekarang?”


“Kurasa akan lebih baik jika kita mengatakannya langsung seperti ini. Aku bosan jika harus log in ke situs perjodohan itu lagi.”


“Ah, begitu ya?” kataku mengambang. Untuk sesaat fokusku benar-benar buyar. Pertanyaannya terlalu tiba-tiba. Jika dia menanyakan langsung seperti ini, maka jelas jawabannya cuma ada satu. Entah aku harus menyebut pria ini adalah orang yang pintar atau licik. Logisnya, seseorang tak mungkin bilang ‘no’ di depan muka pasangan kencannya yang sedang tersenyum semringah seperti ini. Jika ada, maka orang itu pasti tak punya hati.


“Jadi apa jawabanmu?”
“Eung, jawabanku—”
“Jawabanku...yes,” potong Mino sambil menggerakkan telunjuknya seolah sedang menekan tombol.
“Uh, aku...”
“Kalau kau berani bilang ‘No’ aku akan berdiri terus di sini sampai jawabanmu berubah.”
“Itu namanya pemaksaan.” Sebenarnya aku bukan memikirkan jawabannya, melainkan cara menjawabnya. Aku tak ingin terlihat terlalu bersemangat, walaupun nyatanya aku memang bersemangat. Mendengar jawaban ‘yes’ darinya barusan membuat seluruh sel dalam tubuhku bersorak.


“Biar saja.”


Sepertinya Song Mino adalah tipe pria yang sangat peka. Tahukah dia bahwa ancaman konyolnya tadi justru membuatku lega? Dengan begini aku bisa menjawab pertanyaan ‘yes atau no’ itu dengan prestise, tanpa terlihat sangat kehausan.


“Yu Jin Onnie bisa marah kalau melihatmu berdiri di depan pagar rumah kami. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain.” Mino tersenyum. Aku bisa mendengarnya mendesiskan girang dengan tangan yang tergenggam. Dan asal kau tahu Mino-ssi, sejujurnya aku bahkan lebih senang lagi.


“Aku pastikan itu bukan jawaban yang salah, Nona Park. Jadi kapan kita bisa bertemu lagi?”
“Besok?” Aku nyaris menampar wajahku sendiri. Aku baru saja menyahuti ucapannya secepat Shinkansen di Jepang. Sekarang siapa yang terlihat bodoh karena terlalu bersemangat? Ya, aku! Aku mau bertemu dengannya lagi secepat mungkin. Bagaimana kalau nanti malam? Atau satu jam lagi? 


“Sayang sekali besok aku kerja.” Tapi dia menanggapiku dengan santai. Lihat siapa yang sangat bodoh karena sudah mengira dirinya sendiri terlihat bodoh! “Kau bisa hari apa selain besok, Jin Ah~ya?”


“Kapan saja. Aku akan menyesuaikan jadwal kerjamu.”
“Memangnya kau belum bekerja juga?” Mendengar kalimat itu, semua rasa menggebu di tubuhku lenyap. Bisakah kita tidak membahas ini?


Sepertinya dia masih mengingat pembicaraan kami saat di restoran, saat itu aku mengatakan sedang mencari kerja.


“Kebetulan ada lowongan kerja di kantorku. Besok jam 7 aku ke sini, ya. Bersiap-bersiaplah untuk interview! Siapkan juga semua dokumen lamarannya!”


“Apa? Mino aku tidak siap, aku...” Mino mengacak rambutku dan tersenyum, lalu detik berikutnya ia sudah berlari menjauh melewati jalur pedestrian, sama sekali tak memberiku kesempatan untuk menolak.


“MINO AKU TIDAK MAU.”
“OKE SAMPAI JUMPA BESOK JUGA”
“Heh! Aku tidak bilang sampai jumpa!”



TBC



Ayo semuanya say hi sama pasangannya aku Jin Ah yang baru nongol di part 3. HAIIII KETJEEEE!


Kalau boleh curhat, sebenernya part ini udah jadi dari hari kamis kemaren tapi gara-gara aku males bikin poster makanya baru dipublish sekarang. Yep… itu yang diatas bakal jadi poster resminya let love lead buat ke depan. Intermezzo sedikit, sebenernya tadinya aku mau make Kevin UKiss loh…, waktu itu kan aku udah pernah pake Nana di ff dan aku masangin dia sama Kevin. Tapi semenjak Negara api menyerang, saya pun berubah pikiran. Huhu…. Padahal biasanya aku setia loh, aku termasuk jarang ngotak-ngatik couple-couple di GIGSent. Tapi... ku lagi suka bgt bgt bgt sm mino :( Rasanya pengen mikirin dia terus agdgg


Oke intinya, selamat bergabung di let love lead ya Mino aka rappernya winner. 



Makasih buat kalian yang udah baca, sampai jumpa di part selanjutnya. Anyyeong^^

Comments

  1. jin ah kakak yang baik ya,. :D
    selalu memikirkan adiknya,. :)
    jin ah jangan kau merendah diri,. :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts