Let Love Lead part 4



Suasana di dalam ruangan James benar-benar senyap. Yang terdengar hanya suara kertas dan gesekan pena. Aku tak mencoba membuka mulut, sementara James sepertinya bahkan tak sadar kalau aku masih di sini. Ini benar-benar tidak nyaman, seharusnya aku membawa ponsel tadi.


Saat sedang memerhatikan ukiran di kaki meja, tiba-tiba saja pintu di belakangku menjeblak terbuka.


“Kau mau aku melakukan apa? Cepatlah! Aku mau pergi.” Suara seorang pria terdengar mengiringi jeblakan pintu tadi. Tanpa harus berbalik, aku sudah bisa menebak siapa orang itu.


“Tutup pintunya dan duduk,” titah James tenang. Bagaimana bisa ia tidak marah diperlakukan begitu? Dia jelas terlalu lembut pada adiknya. Jika aku berada di posisi James, aku pasti akan segera berdiri dan menjewer telinga manusia kurang ajar itu.


“Tadi kami sudah memasuki jalan tol, tapi gara-gara... hei kau lagi!” Pria itu tersenyum senang saat melihatku, seolah-olah sedang bertemu teman lama. Cih, aku benar-benar tidak sudi.


“Designer Yu sudah membuatkan beberapa desain baru untuk restoran itu. Pilihlah salah satu!” James menyodorkan clear holderku padanya.


“Aku pilih yang ini. Sudah kan, Hyung? Pacarku menunggu di mobil.” Dia punya pacar? Oh, ada yang mau dengan makhluk tuna susila ini? Siapa pun gadis itu, aku benar-benar kasihan padanya.


“Heh lihat yang benar! Bagaimana aku bisa mempercayakan restoran itu padamu jika memilih logonya saja kau tidak serius?”


“Siapa yang tidak serius? Menurutku itu paling bagus.”
“Maaf ya, tapi aku benar-benar tak mengerti, bagaimana bisa kau menyimpulkan itu yang paling bagus padahal kau sendiri belum menyentuh clear holderku? Di belakang logo yang kau tunjuk itu ada empat desain logo yang lain! Aku mengerjakannya sampai tidak tidur, bisakah kau hargai sedikit usahaku? Kau tak perlu menyukainya, cukup dilihat saja,” ujarku emosional, aku bahkan sampai menggebrak meja dan menghempas clear holder itu ke dadanya. Untungnya anak ini bisa menangkapnya dengan gesit.


Setelah selesai bicara, aku baru sadar kalau sepasang kakak beradik itu tengah kompak menghakimiku dengan tatapan ‘ada apa dengan orang ini?’. Namun aku hanya menghela napas dan berpura-pura tidak melihat tatapan itu demi menjaga harkat dan martabatku.


“Kau dengar, kan? Sekarang pilihlah dengan serius.” Akhirnya, James kembali menoleh pada pria di sebelahku ini, yah... adiknya.


Sambil menghela napas jengah, ia membuka clear holder di pelukannya dan membalik semua desainku tanpa minat. Melihat sikapnya yang seperti itu, aku benar-benar ingin melempar heelsku ke wajahnya. Sebenarnya berapa umur anak ini? Dia sama sekali tak mengerti cara beretika.


“Aku sudah melihatnya dan aku tetap memilih yang pertama. Kalian puas?” Kenapa kami harus puas? Anak ini benar-benar minta ditimpuk. Aku melirik James yang tengah menarik napas dalam dengan mata memejam. Tiba-tiba saja aku teringat Hyo Jin. Apa setiap kakak selalu memiliki adik kurang ajar seperti ini? Jika iya, Tuhan pasti memberkati manusia-manusia penyabar seperti kami. Tapi tidak, bagaimana mungkin aku menyamakan adikku sendiri dengannya? Hyo Jin jelas seratus tingkat lebih baik dari manusia urakan ini.


“Pembukaan restoran tinggal seminggu lagi. Kalau mau tepat waktu, seharusnya kau sudah menyiapkan banyak hal.”


“Seminggu katamu? Ah.. benar, tentu! Aku sudah menyiapkan... banyak... hal.” Matanya yang terbelalak berubah sok santai di akhir kalimat. Omong kosong. Jelas sekali dia sedang berbohong. Aku bersedekap dan mencibir di sebelahnya.


“Dan sekarang sepertinya aku harus membereskan sisanya.” Pria pendek itu berdiri pelan-pelan, dengan tampang setengah panik yang kentara. James dan aku cuma bisa menatapnya. James itu orang pintar, ia pasti sudah mengerti arti sesungguhnya dari kata ‘sisa’ yang diucapkan sang adik barusan.


“Aku punya firasat restoran itu akan kembali ke tanganku,” ucap James tiba-tiba, aku bisa melihat sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian. Sepertinya akan terjadi perang saudara.


“Oh?” Pria itu mendengus terkejut, kontan kembali membalik badan. Tersenyum dan mendecak.
“Dan kau tahu firasatku biasanya tak pernah salah,” lanjut James. Kali ini sambil meletakkan pena dan menyatukan jemarinya. Aku yang berada di pihak James tersenyum senang. Dia benar-benar keren, aku harus menerapkan gesture penuh percaya diri itu saat berhadapan dengan Hyo Jin.


“Sayang sekali, tapi kupastikan kali ini kau akan salah,” jawab sang adik. Respon yang lemah. Bila dihadapkan dengan situasi seperti ini, aku bisa membayangkan Hyo Jin yang bersedekap sambil tertawa sinis lalu mengatakan ‘bersiap-siaplah menjilat ludahmu sendiri. Aku ini kan Park Hyo Jin’ dengan tampang menjatuhkan. Aku sudah hapal benar dengan gayanya itu karena kami bertengkar lebih rutin dari jadwal minum obat.


“Yah, lihat saja!”
“Benar, lihatlah!” balasnya menantang. James mengangguk-angguk dengan ekspresi ‘bicaralah sepuasmu’ lalu kembali mengangkat pena-nya.


“Hei karyawan baru, terimakasih desainnya ya.. Omong-omong, apakah kakakku yang pemalu itu sudah bilang kalau dia sangat menyukaimu?” Sebelum keluar, ia menyempatkan diri untuk bertanya dengan eyesmile yang sangat manis sembari menepuk-nepuk pundakku akrab. Wajahnya bisa berubah-ubah seperti bunglon. Sepertinya dia cukup berbahaya. Tapi tunggu! Barusan dia bilang apa?


“Eh? Menyukaiku?”
“Jangan bicara sembarangan!” James berkata dengan raut penuh peringatan. Namun si pendek itu tak nampak peduli.


“Kakakku itu fans nomor satumu. Hati-hati di-stalk lagi!”
“Tutup mulutmu!”


Aku bisa melihat wajah James yang putih bersih itu memerah. Seketika membuatku tersenyum. Wajahnya yang seperti itu benar-benar lucu. Astaga~ Dan Ya Tuhan! Apakah ucapan adikknya ini bisa dipercaya? Aku benar-benar  kaget dan bingung, namun juga senang di saat yang sama. Sekarang apa yang harus kulakukan? Berkata ‘benarkah?’ dengan malu-malu atau pura-pura tak dengar dan melongok-longok seperti orang bodoh saja? Saat ini aku sama sekali tak bisa menentukan sikap.


“Tak perlu malu, Hyung! Kurestui, kok.” Pria itu mengedip jahil lalu tergelak bersamaan dengan pintu yang tertutup. James yang nyaris berdiri karena kesal itu menundukkan kepalanya dalam-dalam selama beberapa saat, sepertinya dia benar-benar malu. Aku menahan diri untuk tidak terkikik di situasi seperti ini. Entah bagaimana, aku jadi ingin memanggil anak pendek tadi dan menyuruhnya menggoda James lagi. Ini benar-benar tontonan yang menarik.


“Apa yang anak itu katakan benar?” James mengangkat wajahnya dengan kaget.
“Astaga dia?” Pria itu setengah berteriak. “Cih… dia saja membayar orang untuk menulis skripsinya. Apa menurutmu omongan orang seperti itu bisa dipercaya?”


“Termasuk bagian menstalknya?” tanyaku pelan, diam-diam berharap.
“Desainer Yu, ini jam kerja. Jika tak ada urusan lain lagi, tolong keluar dari ruangan saya.” Ia bicara dengan gaya manusia es seperti biasa, nampaknya dia hanya terdengar hangat di telepon. Mendengar perintahnya itu, aku pun berdiri dengan lemas. Jadi semua itu tidak benar? Padahal aku sudah sempat bahagia karena mengira punya pengagum rahasia. Dia benar-benar membuatku bingung. Aku harus percaya yang mana. Ucapan adiknya tadi terdengar sangat meyakinkan, namun di sisi lain ia mengingatkanku pada Hyo Jin yang 75% ucapannya diberi bumbu penyedap. Dan James,… entahlah.


Aku menyempatkan diri untuk membungkuk lesu pada James yang sudah kembali sibuk membubuhkan tanda tangan, lantas berjalan tanpa tenaga menuju pintu keluar. Namun, tiba-tiba saja sesuatu melintas di kepalaku. Aku tersenyum sambil menegakkan posisi badan.


“Tapi CEO-nim, kalau semua itu tidak benar—“ Sebelum seluruh badanku menghilang, aku menahan pintu ruangan ini. James menghentikan kegiatannya sejenak. Sepertinya hatiku sudah mantap untuk memercayai salah satu dari mereka. “—seharusnya wajah anda tidak perlu semerah tadi, kan?” sambungku. Lantas menutup pintu ruangannya cepat-cepat dan berlari sprint ke meja kerjaku.



*********



“Tapi CEO-nim, kalau semua itu tidak benar—“ Kegiatan mencoret-coret asal di kertas kosong yang kulakukan saat ini seketika terhenti. Dia mau bilang apa lagi? Belum puas melihat L.Joe mempermalukanku seperti tadi?


“—seharusnya wajah anda tidak perlu semerah tadi, kan?” BUKK!! Lewat kaca satu arah di kanan kiri pintu, aku bisa melihat gadis itu berlari secepat kilat dan menghilang di kubikel meja kerjanya. Dia yang menggodaku, lalu dia yang berlari malu. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. Ini gila! Tapi sungguh, untuk apa aku melakukan ini semua? Maksudku, kenapa aku harus pura-pura sibuk menandatangani kertas hanya untuk menghindar dari pertanyaan desainer itu? Aku CEO J’S, tidak seharusnya aku kehilangan wibawaku seperti ini, termasuk di depannya. Dan sekarang, tidak seharusnya juga aku tersenyum sambil memerhatikan mejanya! Aku segera menggelengkan kepala. James Lee, Ya Tuhan! Sepertinya mengurus J’S mulai membuatku gila.



**********



“30 menit.” Gadis ini bahkan tak memberiku waktu untuk bernapas. Aku mendecakkan lidah sambil menggeleng pelan saat memasuki mobil.


“Aku berlari dari lantai 4 karena liftnya penuh," kataku. "Aku berlari karenamu.”
“Aku tak menyuruhmu berlari.”
“Heh, aku ini….”
“Diamlah! Aku tak mau mendengar keluhanmu.”
“Woah.” Aku tersenyum takjub, otomatis memutar kepala menghadap gadis di sebelahku ini. “Kebetulan sekali. Aku juga tak mau mendengar keluhanmu.” Untuk kesekian kalinya, aku kembali menggelengkan kepala, sifatnya yang kekanakan seperti ini membuat kepalaku bergetar. Aku segera memakai seatbelt dan menyalakan mesin mobil. Walaupun air conditioner-nya  berfungsi dengan baik, hawa panas akibat emosi menyergap kami berdua.


“Aku sudah menyuruhmu ikut denganku tapi kau sendiri yang tidak mau. Lalu sekarang kau malah menyalahkanku begini.”


“L.Joe, 10 menit. Kau berjanji padaku hanya 10 menit, tidak lebih.” Tidakkah ini terlalu sepele untuk dijadikan bahan pertengkaran? Biasanya hal-hal remeh menjadi masalah besar bagi pasangan yang mulai bosan. Tapi masalahnya kami baru bertemu kemarin, aku tak percaya kami sudah memasuki fase jenuh itu.


“Kubilang liftnya penuh. Dengar tidak, sih?” teriakku, dengan mudahnya terpancing. Hawa di mobil sekejap berubah seperti di neraka. Hyo Jin mengatupkan mulutnya karena terkejut. Aku berusaha mengabaikan ekspresi menyedihkan gadis itu dan fokus mengarahkan kemudi. Tapi, selama lamborghiniku ini berbelok keluar dari area parkir, hawa panas yang kubilang tadi perlahan-perlahan melilit dadaku seperti tambang. Ini semua benar-benar tidak nyaman.


Ciiiiiittt….


Aku menginjak habis pedal rem secara tiba-tiba. Hyo Jin terdorong ke depan dan hampir-hampir menubruk dashboard. Beruntung aku memakaikannya seatbelt.


“APA-APAAN, SIH? AKU TAHU KAU MARAH TAPI—“
“Maafkan aku,” potongku tanpa mengalihkan pandang dari jalanan. Mobil di depan kami sudah sangat jauh, suara klakson bersahut-sahutan di belakang. Kami baru saja keluar dari gedung J’S dan saat ini tengah berada di jalan raya yang padat. Tapi memangnya aku peduli?


“Joe~” Suaranya memelan.
“Seharusnya aku tidak bilang 10 menit jika aku tidak bisa menepatinya.”
“Ah, Joe~” Hyo Jin menggigit bibirnya dengan raut bersalah. Kurasa setelah ini dia akan bilang ‘aku yang harusnya minta ma— TIIIIINNNNN!' Suara klakson laknat membuyarkan semua momen ini, Hyo Jin yang matanya sempat berbinar kontan mengecek spion, “Kau tak dengar semua klakson itu? Cepat jalan! Kau melumpuhkan lalu lintas.” Ia berseru. Kepalanya berputar panik ke belakang.


“Aku tidak mau.”
“Heh! Jangan bercanda, ya. Mobilmu bisa habis diamuk massa.”
“Aku tidak peduli. Memangnya siapa yang berani menyentuh mobilku?”
“Kau ini benar-benar keras kepala, ya! Jalankan mobilnya!”
“Tidak.”
“L.Joe!”
“Tidak sebelum kita baikan.” Aku meraih dagunya, memaksa gadis itu untuk berhenti bergerak heboh dan menatap bola mataku. Hyo Jin seketika tak berkutik. Aku mengangkat jari kelingkingku di antara wajah kami yang sangat dekat dan tersenyum. Demi Tuhan! Siapa yang tidak luluh saat berhadapan dengan pesonaku? Yang jelas bukan gadis ini, karena selang beberapa detik saja ia ikut tersenyum, lalu mengangguk pelan dan mengaitkan kelingking kami.


TIIIIIIINNNN


Berisik. Sebelum seseorang menggedor kaca mobilku, aku segera menginjak gas dan melajukannya dengan kecepatan penuh. Lamborghiniku pun melaju membelah jalan tol yang cukup lengang pagi -menjelang siang- itu, yah.. dengan suasana yang jauh lebih baik pastinya. Dan sejujurnya hal ini membuatku lega.


“Oh iya, aku lupa bilang.”
“Ada apa?”
“Ke Kkotji-nya lain kali saja, ya.”
“Kenapa?”
“Aku ada urusan lain. Sekarang kau kuantar pulang.”
“TUNGGU! PULANG? AKU TAK MAU PULANG.”
“Ei, jangan teriak-teriak lagi. Kau tak ingat kita baru baikan?” 
“Jujur saja padaku! Kau pasti mau menjemput pacarmu yang lain, kan?” Hyo Jin berkata dengan dingin. Astaga dia mulai lagi!


“Ya Tuhan, bisakah kau berhenti menuduhku sembarangan? Tch, Oke.”
“Oke apa?”
“Kau ikut denganku sekarang! Lihat ke mana aku pergi dan lihat apa yang kulakukan! Setelah itu kau bebas menuduhku apa saja.” 


Roda mobilku pun berputar menuju daerah Gangnam, ke restoran milikku, belum, calon restoran milikku tepatnya. Selama perjalanan, tak ada satu pun dari kami yang membuka mulut. Tapi biarlah, itu lebih baik dibanding berbincang dan malah menambah masalah.


“Ini di mana?” tanya Hyo Jin, tepat begitu mobilku berhenti.
“Tempat kerjaku.”
“Apa? Kau ternyata bekerja juga?” Aku mendengus. Sebegitu anehnya?
“Tentu saja. Ayo turun!” Aku membuka pintu mobil. Sebelum turun, aku mengambil clear holder di dashboard dan menggulungnya. Hyo Jin yang terlihat benar-benar kagum ikut turun dari mobil dengan mulut setengah terbuka. Restoran ini memang sangat luas, namun sayang, proses pengecatannya dihentikan karena beberapa masalah. Tidak. Sebenarnya hanya ada satu masalah. Logo.


Saat pintu restoran yang terbuat dari kaca tebal itu kubuka, pemandangan yang membuat sakit kepala pun terlihat. Seperti yang sudah kubilang, proses pengecatan –yang merupakan tahap terakhir pembuatan gedung ini— dihentikan, jadi ada beberapa bagian yang belum tersentuh cat. Kursi-kursi dan meja ditumpuk asal di kanan kiri, beberapa tertutup kain putih sementara yang lain dibiarkan begitu saja. Semua benda yang ada di sini tergeletak asal tak keruan. Papan nama seukuran meja billiard yang sempat terpasang di depan restoran ini juga sudah teronggok menyedihkan di depan pantri. Aku menghela napas. Bagaimana caranya membereskan ini semua? Sepertinya aku harus menelepon James dan meminta beberapa pekerjanya untuk membantuku.


Krriiiiiiit…..


Kontan aku menoleh begitu mendengar suara deritan itu, Hyo Jin yang tertinggal jauh di belakangku ternyata tengah mendorong meja.


“YA! Hyo! Apa yang kau lakukan? Jangan sentuh! Itu kotor.”
“Kau cowok bukan, sih? Masa takut kotor?” cemoohnya, memutar mata. “Lebih baik kau cepat ke sini! Ayo kita bereskan semuanya! Aku benar-benar penasaran akan sekeren apa restoran ini jika sudah rapi.”


Krriiiiiiit…..


Ia mulai mendorongnya lagi. “YAA!” teriakku, segera menghampiri gadis itu dan menariknya dari sela-sela meja. Dia benar-benar keras kepala.


“Kubilang jangan! Lihat! Tanganmu jadi kotor, kan? Semuanya berdebu, Park Hyo Jin. Kalau sampai terhirup kau bisa sesak napas.” semua perkataan itu terlontar begitu saja. Hyo Jin terpaku. Ia cuma menatapku dengan kaget tanpa bereaksi apa-apa.


“Airnya bahkan belum menyala. Itu artinya kau tak bisa cuci tangan. Makanya jangan sok tahu! Sikapmu seperti anak kecil,” sambungku, dengan nada mengomel yang sama. Gadis itu masih tak bereaksi. Aku mengambil ujung bawah kaos yang sedang kupakai dan membersihkan telapak tangannya dengan itu. Tak ada tisu atau kain bersih di sini.



***********



Matanya berkedut marah saat membersihkan telapak tanganku. Kalian tahu dia membersihkannya dengan apa? Dengan bajunya. Baju yang sedang ia pakai. Wow. Aku tak tahu harus tersentuh atau memukul kepalanya. Dia benar-benar aneh. Kenapa dia sekhawatir ini hanya karena debu? Ayolah, aku tak mungkin mati karena menyentuh atau menghirup sedikit debu, kan? Tapi, jujur aku benar-benar kehilangan kata. Hanya bisa terdiam dan memandanginya dengan syok. Maksudku, Tuhan, kenapa playboy yang satu ini lucu sekali? Tanpa sadar, ekspresi kaget di wajahku sudah berganti dengan senyuman, aku tersenyum sembari memerhatikan tampang kesalnya.


“Kau perhatian sekali,” ledekku sambil terkikik. L.Joe menghentikan gerakan tangannya dan mengangkat kepala.


“Apa?”
“Terima kasih sudah mengkawatirkanku seberlebihan ini. Kau lucu sekali.”
“Heh, aku tidak sedang….”
“Tapi aku tidak alergi debu, Joe. Kulitku juga tidak sesensitif itu. Jadi, kau tak perlu khawatir,” potongku, mengabaikan racauan protes yang hendak ia lontarkan. Aku mengerti dia tidak suka kusebut perhatian, apalagi lucu. Tapi aku benar-benar ingin mengatakannya sekarang.


“Aku... bukannya khawatir.”  Ia melepaskan tanganku begitu saja. Mungkin malu dengan perkataanku barusan. Bagi playboy sekelas L.Joe, kata ‘lucu’ dan ‘perhatian’ agaknya membuat harga dirinya terjatuh. Tapi siapa peduli? Toh cuma aku yang lihat. Aku benar-benar senang melihat pria ini bertingkah manusiawi dan tidak sok keren setiap saat. 


“Aku harus mengurus logo ini. Ada percetakan di ujung jalan, aku akan ke sana dulu. Baru setelah itu kau kubantu,” ujarnya cepat, kikuk. Membuatku makin puas melebarkan senyum. Ia lalu berjalan melewatiku.


“Heh, Park Hyojin, pintunya kukunci dari luar! Jangan biarkan orang lain masuk! Aku akan segera kembali.”


“Siap, Bos.” Aku melakukan sikap hormat. Sukses membuat L.Joe tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya sebentar sebelum benar-benar pergi. Dia man—cukup! Aku harus berhenti memujinya. Dia tidak manis. Tidak.


Selama L.Joe pergi ke percetakan, aku mendorong beberapa meja ke tengah dan mengatur kursinya. Di menit-menit awal, aku sudah yakin bisa menyelesaikan ini semua sebelum L.Joe pulang. Tapi sepuluh menit kemudian, tenagaku justru tersedot habis, aku bahkan tak bisa mengangkat tanganku dan berjalan terseok-seok ke kursi.


Saat sedang duduk beristirahat, tangga kayu menuju lantai dua terlihat memanggil-manggil. Akhirnya, walaupun masih cukup lelah, aku menuruti rasa penasaranku dan berjalan melihat-lihat. Restoran ini teramat luas. Hanya dengan membayangkan para pengunjung yang berdatangan dan memenuhi restoran ini saja sudah membuatku sangat senang.


Di lantai dua, suasananya dua kali lipat lebih semrawut. Kursi dan mejanya tidak ditumpuk seperti di bawah, justru dibiarkan terhampar asal di seluruh penjuru lantai. Ada kardus-kardus berisi peralatan-peralatan kecil yang sudah berlogo dan… tunggu! Seketika hatiku mencelos. Aku terhenyak. Itu adalah logo Yu Jin yang kupakai untuk ikut lomba. Berarti yang membeli logo dari perusahaan lama Yu Jin adalah... L.Joe.


Aku memungut salah satu piring dan mengusap logo bergambar koki berwajah sapi itu dengan perasaan bersalah. Apa L.Joe rugi besar karenaku? Apa restoran super luas ini jadi terbengkalai begini karenaku?


“Hyo!”


Prraaang!


Piring itu terjatuh, seketika pecah tepat di depan kakiku. Aku benar-benar terkejut.


“Hyo, ada apa?” teriak L.Joe lagi dari bawah.
“Aku…. aku tidak apa-apa. Aku turun sekarang juga,” jawabku setengah berteriak, panik, lantas segera berjalan menuruni tangga.


“Ada yang pecah?” tanya L.Joe, langsung begitu wujudku muncul dari sekat tangga.
“Maaf.” Aku memperlambat langkah turunku dan menggigit bibir. “Aku tidak hati-hati.”
“Kemarilah! Aku bawa minuman dingin.” L.Joe sudah mengeluarkan semua minuman dan makanan ringan dari  paper bag-nya ke meja bar di samping pantri. Aku duduk di salah satu kursi putar, berhadapan dengannya yang dengan telaten membukakanku sekaleng minuman. Apa aku harus menanyakan soal logo itu? Aku benar-benar penasaran, apa perusahaan lama Yu Jin memberikan ganti rugi? Apa Yu Jin pindah ke J’S gara-gara ini? Apa semua kekacauan ini sungguh akibat kesalahanku? Saat sedang berpikir seperti itu, sebuah papan nama lengkap dengan logo milik Yu Jin tertangkap mataku. Benda itu teronggok begitu saja di depan pintu pantri. Mereka bahkan sudah membuat papan nama restorannya. Biayanya tentu tidak murah. Mereka sudah menyiapkan segalanya dengan logo itu. Aku menelan ludah.


“Hei.“ Tangan L.Joe bergerak-gerak di depan wajahku.
“Kau melamun?” Ia bertanya dengan senyum heran, lalu menyodorkan sekaleng soda dingin yang sudah dibuka.


“Joe, logo itu...” Aku menggigit bibir, tak tahu harus bertanya seperti apa. L.Joe mengikuti arah mataku dan tersenyum pahit.


“Oh itu! Logo itu nyaris saja menjadi logo restoran ini.”
“Lalu kenapa diganti?”
“Hyung-ku salah memilih perusahaan untuk bermitra. Mereka membatalkan kerja sama secara sepihak. Logo yang sudah dibayar lunas itu ditarik kembali tanpa alasan yang jelas,” ucap L.Joe jengkel. Wajahku semakin pucat. Alasannya ada di hadapanmu, Joe. Apa yang harus kulakukan? “Sebenarnya kami bisa saja menuntutnya, tapi hyungku itu orang baik.” L.Joe menggeleng, “tidak.. dia bodoh.”


“Jika aku yang punya wewenang, aku pasti sudah mendatangi perusahaan tak berkompeten itu dan menuntutnya. Kami rugi banyak sekali, dan jika aku tak berhasil mengadakan pembukaan restoran ini tepat waktu, kerugiannya akan bertambah,” sambungnya sebelum menenggak cairan dalam kaleng, lantas mengernyit. Derasnya soda yang mengalir tiba-tiba mungkin membuat tenggorokannya tak nyaman.


“Kenapa kau pucat sekali? Kau tak perlu memikirkannya. Itu urusan Hyungku. Dibanding pemasukan J’S, kurasa kerugian ini tak ada apa-apanya. Lagi pula desainernya sudah membuat logo baru.”


“Jadi desain yang kau bawa tadi adalah buatan...”
“Desainer grafis yang membuat logo sebelumnya. Desainer Yu.” Kakakku. L.Joe tiba-tiba meletakkan kaleng sodanya dan berdiri. Aku mendongak memerhatikannya sembari meneguk sodaku pelan-pelan.


“Lihat apa yang kubeli!” L.Joe mengeluarkan sepasang sarung tangan. Ia menyodorkan satu yang berwarna merah muda padaku, lalu memakai yang berwarna biru di tangannya.


“Aku sudah menelepon James, tapi sayangnya para pekerja baru bisa datang besok pagi.” L.Joe yang sudah selesai memasang sarung tangannya membantu memakaikan milikku. “Untuk hari ini, karena kita cuma berdua, lakukan apa yang bisa dilakukan saja. Soal bersih-bersih dan mengecat, besok ada yang mengerjakannya.”


Aku melamun, menatap L.Joe yang tengah merapikan sarung tangan di tanganku dengan tatapan kosong. Dalam hati sudah bertekad kuat untuk menyukseskan acara pembukaan ini. Aku harus membantu L.Joe. Aku harus berhasil membuat acara pembukaan restoran ini terhelat tepat waktu. Aku tak mau L.Joe mendapat kerugian lagi. Tidak barang sesen pun.


Jadi siang itu, kami berdua menyusun meja dan kursi baik di lantai satu maupun dua. Entah karena aku yang pelupa atau memang L.Joe lah yang sangat hebat menghangatkan suasana, semua rasa bersalah yang memenuhi dadaku pun hilang sejenak. Kami tertawa lepas, bercanda dan saling menggoda tanpa henti. Kami bahkan sempat bermain ping pong dengan piring dan meja bar. Mungkin, karena terlalu banyak bersenang-senang inilah, seluruh meja dan kursi baru berhasil kami susun setelah tujuh jam. Mataharinya sudah permisi dari langit entah sejak kapan. Saat kami berdua tersadar, keadaan di luar sudah gelap. Kami benar-benar terkejut.


“Apa besok kau akan ke sini lagi?” tanyaku saat L.Joe mengunci pintu restoran.
“Ya, aku minta maaf. Kita ke Kkotji minggu depan saja, ya. Setelah peresmian. Aku janji.”
“Tidak, tidak, bukan itu. Aku bertanya karena—” Aku menghela napas pelan, L.Joe yang masih sibuk memutar-mutar kunci di dalam lubang itu tak melihatku, “—aku ingin ikut. Aku mau membantumu sampai peresmian.” Tepat setelah aku bicara, tawa L.Joe menyembur. Ia sampai menghapus air di sudut matanya dan menatapku lucu. Aku balik menatapnya tak mengerti. Apa yang membuatnya tertawa? Apa yang salah dari kalimatku?


“Sebegitu menyenangkannya, ya?”
“Apa?”
“Memindah-mindahkan kursi. Memangnya semenyenangkan itu ya sampai kau mau ikut aku lagi?”
“L.Joe! Aku serius.”
“Apa kau tak pernah memindahkan kursi sebelumnya?”
“L.Joe!”
“Tidak Hyo, tidak. Lagi pula besok akan banyak pekerja, aku ke sini hanya untuk mengawasi mereka saja,” ucap L.Joe sembari menghela napas dan menarik kunci yang tertancap di pintu dengan kesal. Ia memegang serenceng kunci (yang jumlahnya lebih dari sepuluh buah), dan sepertinya ia lupa yang mana kunci restoran ini.


“Kalau begitu jadikan aku pekerjamu saja. Aku tidak apa-apa kok jika kau menyuruhku mengecat dinding.”


“Astaga kau ini kenapa? Cepat sekarang masuklah ke mobil, di sini dingin!”
“Kalau besok kau tak menjemputku, aku akan datang ke sini sendiri.” Tiba-tiba saja tangan L.Joe bergerak merangkulku. Bersamaan dengan itu, kakinya melangkah cepat, membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk.


“Iya, Cantik. Baiklah, kau menang. Besok kujemput. Diamlah di sini. Di luar dingin,” ucapnya sok lembut sembari mengacak rambutku, lantas menutup pintu mobilnya dan kembali ke pintu restoran. Berkutat dengan serenceng kunci itu lagi. Ini tak bisa dibiarkan. Aku segera menurunkan kaca dan menyembulkan kepala, “Joe, kau benar-benar harus menjemputku.”


“Cerewet!”
“Biar saja. Omong-omong, kuncinya belum bisa juga? Mau kubantu?”
“Tidak.” L.Joe menggeleng dan menarik pintu restoran itu dengan kuat. Tidak terbuka. Pintunya sudah berhasil terkunci. Ia pun berjalan menuju mobil dengan wajah lega seperti habis memenangkan Oscar. Aku ikut tersenyum melihatnya yang berlebihan seperti itu.


“Masih jam segini, kita mau ke mana dulu? Atau mau ke Kkotji sekarang?”
“Kau gila, ya? Kalau sampai tidak pulang, aku bisa dibunuh eonnieku.”
“Ini masih jam 10.”
“Masih katamu? Aku pulang jam 9 saja mereka sudah heboh mau telepon 911.”
“Kalau begitu sama saja, kan? Pulang sekarang atau tidak pulang kau tetap akan kena marah,” rayunya.


“L.Joe, aku tetap mau pulang! Aku tahu kau ingin bersamaku 24 jam tapi...”
“Aku yang ingin bersamamu atau kau yang ingin bersamaku?”
“KAU.” Aku dengan cepat menjawab. L.Joe terkekeh pelan dan melirikku dengan ekspresi mencibir, sebelah tangannya memutar setir.


“Kenapa menatapku begitu? Aku tidak salah, kan?”
“Tidak. Hanya kurang jujur,” balasnya, lantas memindah persneling. Dia mau aku berkata jujur? Kalau begitu siap-siaplah gigit jari! Karena alasanku ingin ikut membantu peresmian ini adalah murni rasa bersalah. Yah, mungkin setali tiga uang dengan bisa menghabiskan waktu bersamanya. Oke, berarti dia tidak perlu gigit jari.



**********



Saat aku membuka pintu rumah, suara Yu Jin yang tertawa terbahak-bahak menyambutku. Ia tengah menonton talk show tengah malam sambil memangku seember kecil es krim. Aku berjalan menghampirinya dengan berat hati. Rasanya seperti memikul bobot ikan paus. Apa tidak usah saja? Dia juga sudah tidak mengungkit masalah ini lagi. Tapi tetap saja, sesuatu mengganjal di hatiku. Perasaan bersalah. Aku pun duduk di sebelahnya dengan kaku.


“Biasanya kau akan berjinjit di belakangku dan masuk kamar diam-diam. Ada apa?” Gadis ini bahkan tak melirikku. Aku menghela napas dan menghempaskan punggungku ke sandaran sofa.


“Maaf,” ujarku, nyaris tak terdengar. Namun melihat reaksi syok Yu Jin, aku tahu dia mendengarku.
“Dari mana kau mempelajari kata itu? Wah~” Dasar brengsek. Tak tahukah dia aku sedang berusaha?
“Terserah kau mau bilang apa, yang penting aku sudah mengatakannya.” Yu Jin mencekal tanganku, tubuhku yang nyaris berdiri pun terpaksa kembali ke posisi semula.


“Apa?”
“Minta maaf untuk kesalahan yang mana? Kau punya segunung kesalahan padaku.”
“Logo yang kujual.”
“Oh.” Ia melepas tanganku, matanya kembali tertuju pada layar bercahaya di depan kami.
“Eonnie?”
“Sudah kumaafkan.”
“Ya, bukan itu, aku tahu kau pasti memaafkanku. Aku mau tanya sesuatu.” Mata Yu Jin langsung melirikku awas.


“Tanya apa?”
“Logo itu sebelumnya dibeli J’S, kan? Apa mereka dapat ganti rugi?”
“Kenapa kau tiba-tiba penasaran soal ini?”
“Tidak apa-apa, cuma...” Aku mengusap leherku salah tingkah. Apa yang harus kukatakan? Saat ini aku sama sekali tak bisa memikirkan apa-apa. Aku pun menoleh pada Yu Jin dan menatapnya seolah berkata ‘jawab saja!’


“Mereka memintaku bekerja di sana sebagai ganti rugi.”
“Astaga! Jadi itu yang menyebabkanmu diterima di sana? Sudah kuduga!”
“Heh! Sudah kuduga apa? Apa yang kau duga, huh?”
“Yang mau melamar kerja di J’S itu ribuan orang eonnie, dengan kemampuan mendesain sepayah itu kau tak akan lolos tesnya. Kau! Ya ampun! Aku menyesal sudah minta maaf padamu! Harusnya kau yang berterima kasih padaku.”


“YAA! PARK HYO JIN! Harus ada yang menggunting lidahmu itu!”
“Jujur saja, kau pasti diam-diam setuju dengan ucapanku, kan?” Aku mendecakkan lidah, sementara muka Yu Jin yang kehabisan kata terlihat memerah.


“Jadi intinya, J’S tak mendapat ganti rugi uang dan hanya mendapatkanmu?”
“Benar! Otak itu lebih berharga dari uang! Mereka pasti memikirkan hal ini masak-masak.”
“Kalau begitu artinya mereka benar-benar rugi! Ya Tuhan, kenapa perusahaan itu bodoh sekali?”
“YAK Park Hyo Jin masuk ke kamarmu sana!” Yu Jin membanting sendok es krim yang ia pegang dan berdiri, aku segera menjauh darinya.


“Tenang eonnie, tenang. Aku tak bermaksud menghinamu, tapi kau harus tahu, restoran daging itu sudah mencetak logomu di mana-mana. Mereka rugi sangat besar dan...”


“KAU PIKIR ITU SALAH SIAPA HAHH?”
“Seharusnya kau menolak gajimu untuk membiayai kerugiannya”
“KALAU KAU TIDAK MASUK KE KAMAR DALAM 3 DETIK, DEMI TUHAN MEJA INI AKAN MELAYANG KE KEPALAMU”



*********



High heels hitam yang sudah kumasukkan ke dalam kardus terpaksa harus kubuka lagi. Walau pada akhirnya aku tahu, aku pasti akan memasukkannya kembali ke dalam sana. Oh ayolah, ini interview ke sembilan dalam bulan ini, dan semuanya gagal. Lalu apa yang membuat seseorang berpikir kali ini akan berhasil?


“Fighting!” Tiba-tiba saja Yu Jin yang masih mengenakan piama duduk di sebelahku.
“Ah, ya.”
“Kenapa lesu sekali? Kau sakit?”
“Tidak.”
“Kalau begitu senyum, dong. Hari ini interview, kau harus semangat.”
“Tch, senyum? Bagaimana bisa? Semua orang juga tahu! Aku, kau, meja ini, high heels ini bahkan Hyo Jin yang masih tidur itu, semuanya juga sudah tahu hasilnya akan bagaimana. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri di depan Mino,” ucapku lantang, emosional, tapi juga serak dan bergetar di saat yang sama. Aku benar-benar tak siap. Aku stres memikiran interview ini sampai tak bisa tidur semalaman. Terlebih karena Mino. Pria itu juga terlibat. Bagaimana jika ia melihat sepayah apa aku saat sedang diinterview? Bagaimana jika ia menolak untuk bertemu denganku lagi setelah ini? Aku masih ingin bersamanya.


“Jin Ah! Jangan bilang begitu. Tak ada yang tahu. Bisa jadi kau akan diterima di sana.”
“Yeah, maaf tiba-tiba mengomel padamu. Aku hanya benar-benar stres.” Aku mengusap wajahku.
“Sepertinya sifat pesimisku menurun padamu. Maaf, ya. Aku tahu itu menyusahkan.”
“Tidak, kok. Kenapa minta maaf? Ini tak ada hubungannya denganmu.”
“Pokoknya lawan sifat itu, kau lebih hebat dari yang kau pikir.” Setelah mengucapkan itu, Yu Jin menepuk-nepuk pundakku dan pergi begitu saja. Tolong jangan memberiku nasihat seperti itu. Aku tidak tahu. Aku sama sekali tak paham. Bagaimana cara melawannya?


Tak lama kemudian, terdengar suara berisik dari arah gerbang. Mino tentu saja. Aku segera menarik map dan tasku.


“Hei.”
“Hei.” Aku tersenyum tipis. Pria itu terlihat jauh lebih keren dengan kemeja dan dasi. Maksudku, wah.


“Kau sudah menyiapkan semua dokumennya?”
“Tentu!”
“Bagus. Ayo!”
“Ayo? Memangnya kita naik...”
“Bus!” sambung Mino. “Motorku masih di bengkel.”


Aku mengangguk, lantas mengambil posisi persis di sebelahnya. Berjalan beriringan.


“Kalau kau diterima, aku akan menjemputmu dengan motor.”
“Haha. Tentu.” Kalau aku diterima, kan? Tidak Mino, simpan saja motormu di garasi.
“Kenapa? Kau terlihat tidak senang. Memangnya mau dijemput dengan apa?” tanyanya dengan nada bercanda.


“Aku punya sepeda. Aku bisa naik sepeda ke sana.” Namun aku menjawabnya dengan serius. Aku sedang tidak mau bercanda sekarang. Aku benar-benar tegang.


“Sepeda, eh? Yah, boleh juga.”


Selama berjalan menuju halte, aku bisa merasakan kepalaku bedenyut. Ini semakin tidak benar. Rasanya aku ingin berlari pulang. Ya Tuhan aku takut kepalaku meledak. Aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkan ini. 


“Kau mau mengatakan sesuatu?”
“Ah? apa?”
“Kau menoleh padaku tiap dua detik sekali. Pasti ada sesuatu yang mau dikatakan, kan?” Aku menelan ludah. Dia terus menatapku, menunggu sepatah kata yang sejujurnya tak ingin kukeluarkan.


 “Mino.” Tapi sepertinya lebih baik dikatakan.
“Jika... jika aku gagal dalam interview nanti. Apa... apa kau masih mau bertemu denganku?” Langkah kakinya terhenti. Dan saat itu juga, detak jantungku pun ikut berhenti. Aku menahan napas dan menanti jawaban darinya sampai telapak tanganku mengeluarkan keringat. Tolong! Hentikan! Mungkin pertanyaan barusan terdengar konyol di telinganya, tapi—


“Tidak.”


TBC


*sigh* aku g tau ini bisa sampe berapa part. Dan kl boleh jujur, sebenernya aku bingung Yu Jin-Jamesnya mau diapain. Keliatan banget kan ya? kesannya aku pilih kasih sama HyoJoe, tapi berhubung yang paling jelas jalan ceritanya di otak aku mereka doang, makanya aku tulis bagian mereka dulu supaya g lupa.


Sampai ketemu sama Park Jin bersaudara di Januari 2015^^ Semoga ceritanya bisa membaik, hfft annyeong~

Comments

  1. Suka sekali dengan cerita ini.. terutama dengan pasangan james-yujin.. ditunggu ya next partnya.. hwaiting!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. wooohoo ada yang suka, hehe makasih ya komennya.. yep hwaiting(ง^_^)ง

      Delete
  2. thor boleh tanya bukannnya james adalah kakaknya joe,. kalau james jadi dengan yu jin bagaimana dengan joe dan hyojin??? :O

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setau aku sih boleh-boleh aja kalo hubungan begini, kan antara cewe sama cowonya g ada hubungan sedarahnya sama sekali. Kecuali kalo misalnya si James nikah sama Yu Jin trus dia nikah lagi sama hyo jin, itu mau pake hukum agama atau hukum adat dua-duanya ngelarang.... begitu Tia~ kl kamu ada referensi yang bilang g bisa, boleh kasih tau kesini..... mumpung endingnya belom diketik jadi kl salah bisa cari alternatif ending lain.. :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts