Little Secret - 2nd Fact








Cast : Jung Cheonsa
           Kris Wu
           Kim Seok Jin
           Han Ji Eun
           Kim Jongin
           Park Chanyeol  

Genre : Friendship, Fantasy, Family, Romance

Previous Fact : Teaser - 1st fact






“ Kalian yakin sudah memasukkan semua nama kecuali Sanghoon?” Cheonsa melirik keempat pemuda itu secara bergantian.





Wajah-wajah itu tampak yakin, mereka mengangguk tanpa rasa ragu. Namun Cheonsa mendecak, ia tak menyangka jika Seok Jin si ketua kelas yang selama ini bisa diandalkan, sekarang bekerja dengan tidak teliti.






“ Benar-benar yakin? Benar-benar tidak ada nama yang terlupa?” kali ini ia menyorot Seok Jin, menuntut jawaban sang ketua kelas.





Seok Jin mengangguk, mengerti apa yang sedang dimaksud Cheonsa.  Ia menatap ragu gadis di hadapannya kemudian melirik teman-temannya. “ Yah…sebenarnya ada satu nama yang terlupa…” Cheonsa menatap Seok Jin serius, penasaran dengan kelanjutan ucapan Seok Jin.




“ …atau lebih tepatnya sengaja dilupakan,” Tuntas Seok Jin.





“ Kenapa?” Cheonsa mengerinyit. Ia benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Seok Jin. Sengaja dilupakan?





“ Apa itu tidak terlalu kejam? Bagaimanapun ia juga bagian dari kelas ini, ia juga harus berpartisipasi untuk acara kelas.”





Shin Ho menghela pelan. “ Memang kejam. Tapi apa yang harus kami lakukan? Memintanya untuk bergabung, sementara dia hanya diam setiap kali kami tanyai? Itu melelahkan! Aku tidak ingin mengemis dan membuatnya merasa sangat hebat.” Pria bertubuh tegap itu terlihat kesal mengingat kejadian beberapa hari lalu.






Tak ada yang bisa Cheonsa sampaikan untuk merespon penuturan Shin Ho, ia mengerti apa yang dirasakan Shin Ho. Tapi mereka tidak memiliki jalan lain, hanya itu jalan satu-satunya. 







Ia kembali mengarahkan pandangannya pada Seok Jin. “ Kau kan ketua kelas, kenapa kau tidak mencoba untuk membujuknya?” Seok Jin menghela pelan, persis seperti yang dilakukan Shin Ho. Tubuhnya bergerak pelan mengubah posisi duduknya. “ Aku sudah mencobanya dengan Shin Ho tempo hari.”







“ Bagaimana kalau cantumkan namanya begitu saja, kemudian berikan pada Kim Seosangnim. Jika kertas itu sudah berada di tangan Kim Seosangnim, aku bertaruh jika ia tidak akan berani menolak,” usul Cheonsa dengan wajah super serius.





“ Memangnya boleh begitu?” Tanya Shin Ho.






“ Bagaimana kalau ia tetap tidak mau?” pertanyaan Jaebum menyambung rasa penasaran keempat orang itu. Ide Cheonsa memang cemerlang, tapi bagaimana jika ide itu justru menimbulkan masalah baru?






“ Apa yang membuatnya tidak mau? Ia anggota tim basket, salah satu bagian penyerang. Ia dan timnya pernah memenangkan beberapa kejuaraan, kenapa untuk perlombaan semacam ini saja tidak mau?”






Semuanya mengangguk setuju tanpa terkecuali.







Setelah menimbang beberapa hal, Seok Jin meminta kertas dalam genggaman Cheonsa. Ia kemudian menuliskan nama anak yang sengaja dilupakan ke dalam kolom anggota tim basket. Kris Wu.






“ Jin-aa…kau yakin?” Jaebum terlihat cemas. Matanya tak bisa lepas menatap pada deret terakhir kertas itu. Dong Min pun kelihatan tak jauh berbeda. Walau Kris Wu tidak lebih menyeramkan daripada Shin Ho yang bertubuh tinggi besar, meski Kris bukan seseorang yang senang menggunakan kekerasan, tapi ada sesuatu yang membuat mereka enggan berurusan dengan pria itu.






“ Kris Wu yang sedang kita bicarakan di sini. Apa kau pernah melihatnya berbaur dengan kita? Apa ia terlihat bersahabat? Ia bahkan hanya bicara ketika mendesak!” Dong Min berujar. Sepertinya dari keempat pemuda itu, ia-lah yang pali cemas. Pasalnya ia memiliki kenangan kurang baik tentang Kris.







Saat itu tepatnya ketika ia berusaha menghindari kejaran Shin Ho, ia tak sengaja menubruk Kris yang berjalan dari arah berlawanan. Ponsel Kris terjatuh hingga baterainya terpisah dari badannya. Dong Min benar-benar panik, ia segera memungut ponsel Kris beserta baterainya yang terlempar cukup jauh. Tangannya bergetar begitu mengembalikan benda itu pada Kris. Ia hanya bisa berharap jika Kris memaafkannya. Ia nyaris berteriak begitu Kris mengambil ponselnya, wajahnya terlihat menyeramkan. Pria itu seperti ingin meledak, tapi ditahan mati-matian.






“ Maaf Kris…aku tidak sengaja.”




“ Minggir. Jangan ganggu aku lagi.”  






Setelah itu Kris melenggang pergi. Meninggalkan Dong Min yang masih bergetar karena ketakutan. Jujur saja ucapan Kris waktu itu terdengar jauh lebih menakutkan daripada ancaman Shin Ho yang ingin membuangnya ke jurang. Aishh…mengingat hal itu membuatnya merinding.





“ Memangnya kenapa? Apa yang harus kita takutkan, huh? Ia  salah satu dari kita, ia juga punya tugas yang sama untuk perlombaan ini.” Cheonsa menyetujui perkataan Shin Ho yang penuh keyakinan. Tidak seperti Jaebum yang terlihat ragu, Shin Ho nampak sangat berani dan tak peduli dengan apa yang akan Kris lakukan.






Semuapun terdiam, merenungkan masalah ini dalam hati masing-masing. Keraguan masih kentara menyelimuti diskusi mereka.






Shin Ho yang merasa sudah yakin, bertambah yakin ketika melihat Kris yang baru saja memasuki ruang kelas. Matanya mengekori Kris yang sedang berjalan menuju tempat duduknya.






“ Kris Wu!”





“ Hei! Kau!” 






Dong Min langsung merasa tegang begitu suara lantang Shin Ho terdengar. Tubuhnya kian menegang begitu Kris membalikkan badannya, memamerkan ekspresi wajahnya yang datar.






Di lain sisi Kris merasa heran begitu namanya dipanggil berulang kali oleh si raksasa Shin Ho –yah…begitulah ia menyebut Jang Shin Ho. Kedua aliasnya merapat, matanya menatap beberapa orang di sebelah Shin Ho yang terkesan menegang.






“ Kau tidak keberatan kan, kalau kami mendaftarkan dirimu dalam perlombaan basket untuk pekan olahraga bulan depan?” Kris sudah menduga apa yang akan dikatakan Shin Ho. Ia masih ingat jika si raksasa itu pernah menanyakan hal yang sama padanya beberapa hari yang lalu.






Kris tidak menjawab, ia tetap diam seperti biasanya. Hal itu tentu membuat Shin Ho geram. Sesungguhnya jika ada yang bertanya bagaimana karakter Jang Shin Ho, jawabannya mudah. Bayangkan saja tokoh Takeshi atau yang sering disebut ‘GIANT’ dalam kartun Doraemon. Ia besar, mudah marah, dan akan sangat menyeramkan jika sedang mengamuk.





“ Kau tidak mau menjawab?” sengit Shin Ho.





Lagi-lagi Kris hanya diam, ia bahkan membuang pandangannya dan lantas melengang pergi. Tak peduli di belakang sana Shin Ho sudah berencana untuk meremukkan tubuhnya.





“ Cihh…anak ini!” Shin Ho langsung berjalan cepat menghampiri Kris. Dengan sekuat tenaga, tangannya menarik kerah kemeja Kris hingga pria itu berbalik.






Shin Ho terlihat tak terkendali, deru napasnya bergemuruh dan matanya terlihat penuh amarah. Tak peduli jika setelah ini harus berakhir di ruang konseling. Ia tetap mencengkram kerah kemeja Kris, dan kali ini dengan menggunakan kedua tangannya.





“ Shin Ho-aa!” Seok Jin berusaha melerai, ia mencoba untuk menenangkan temannya dengan merangkul pundaknya. Namun Shin Ho justru menghempas tangannya. “ Biarkan aku, Jin! Aku sudah muak dengan si sombong ini!” tegas Shin Ho. Ia benar-benar sudah gelap mata, ia bahkan tak lagi mendengarkan Seok Jin, sahabatnya yang paling ia hargai.





Beberapa orang lain hanya bisa menyaksikan, terlalu takut untuk ikut campur dalam masalah ini. Baik Shin Ho dan Kris sama-sama menyeramkan. 





“ Jang Shin Ho…sudahlah! Kau akan mendapat masalah nanti,” Desis Dong Min. Pria kecil itu sesekali melirik mata Kris, mata hitam yang terlihat sangat misterius.





“ Tidak! Kali ini aku tidak akan membiarkannya!” Shin Ho mendengus. Tatapan matanya masih menyorot Kris dengan geram, ia penuh dengan amarah.






Tak ada yang bisa menghentikan Shin Ho jika sudah seperti ini. Jaebum dan Dong Min pun tak bisa melakukan sesuatu untuk membuat kawannya itu berhenti. Mereka hanya bisa berdiri di sisi kanan-kiri Shin Ho, berjaga-jaga jika nanti ia melancarkan tinjunya ke wajah Kris.





Melihat kekacauan yang terjadi, Cheonsa memutuskan untuk turun tangan. Walau kelihatan gila, ia tetap berdiri di samping Shin Ho yang terus mendengus layaknya banteng. Ia menghela pelan, matanya beralih pada Kris yang melirik sinis.






“ Berhenti Jang Shin Ho..” Cheonsa menegang begitu Shin Ho menatapnya dengan tatapannya yang menyeramkan. Beberapa orang yang lain pun ikut menegang, mereka hanya bisa berharap jika Shin Ho tidak melakukan sesuatu yang buruk pada Cheonsa.






Walau tak yakin, Cheonsa tetap memberanikan diri untuk menepuk-nepuk lengan Shin Ho. Itu bagian dari usahanya untuk menenangkan si raksasa.






“ Kau memangnya tidak tahu kalau sebenarnya Kris itu setuju?”





Semua orang langsung menatap heran ke arah Cheonsa. Tanpa terkecuali. Dan kini gadis itu menjadi pusat perhatian karena kalimat sederhananya.





Memang kalimat yang ia ucapkan sangat sederhana tapi itu sangat ajaib hingga berhasil membuat Shin Ho melepaskan cengkramannya dari kerah kemeja milik Kris. Kedua tangan pria itu sudah berada di sisi tubuhnya.





“ Bukankah diam tandanya setuju? Kris hanya diam dari tadi, itu tandanya ia setuju!” lanjutnya dengan wajah meyakinkan.






Beberapa terlihat mengangguk setuju, namun ada beberapa lagi yang terlihat ragu untuk setuju. Mereka kembali menatap Kris yang kelihatan bingung. Pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi nampaknya ia akan tetap diam.





Jinjja?” 





Jinjja! Ia itu hebat! Untuk alasan apa ia menolak? Bukankah percuma saja memiliki kemampuan tapi tidak digunakan?” Cheonsa beralih menatap Kris yang kelihatan terkejut.





“ Jadi sekarang semua sudah tahu jika Kris Wu akan menjadi anggota tim basket kelas kita!”






What the hell!!! Kris membulatkan matanya. Ia benar-benar ingin melempar gadis bawel itu ke sungai amazon dan membiarkannya lenyap dilahap piranha ganas. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tak bisa dan pada akhirnya ia harus menerima keputusan yang telah ditetapkan. 







**** 








Keesokan harinya, tepatnya ketika pelajaran terakhir, semua anak terlihat sudah siap menunggu bel berbunyi. Mereka benar-benar ingin segera keluar dari kelasnya.






Bel pulang masih sekitar lima belas menit lagi. Waktu singkat sebelum pulang itu digunakan Kim seosangnim untuk memastikan hasil kerja ketua kelas. Baru saja Seok Jin menyerahkan daftar nama peserta lomba pekan olahraga sekolah. Ia masih hanyut dalam memindai nama-nama yang tertulis berurut.






Suara dehamannya mengintrupsi kekacauan kelas. Tak lama semuanya mulai mengendalikan suara masing-masing, walau desis-desis pelan masih terdengar di sela ketenangan. Setelah itu Kim seosangnim membaca keras-keras nama daftar peserta hingga semua penghuni kelas mendengar.





Beberapa terlihat memamerkan wajah bangganya begitu namanya terselip dalam daftar ksatria untuk membela kelasnya di acara pekan olahraga. Sementara yang sudah biasa terlihat keren, atau memang sudah angkuh sejak lahir, hanya memasang wajah sok elegan.





“ Kris..Wu.” nama itu terucap ragu dari mulut seorang wanita tegas bernama Kim Moon Hee. Ia merasa cukup terkejut begitu melihat nama Kris tercantum dalam urutan terakhir anggota tim basket. Pasalnya nama itu tak pernah mengisi daftar peserta untuk kegiatan kelas, pria muda itu lebih suka menyembunyikan dirinya.






Keterkejutan itu juga dirasakan oleh semua penghuni kelas. Walau sudah mendengar kabar bergabungnya Kris dalam tim basket kelas, beberapa orang tetap tak bisa menahan kepala mereka yang menoleh ke meja pria muda itu. Menghentikan percakapan sejenak untuk memperhatikan sosok muda yang tak peduli jika namanya sedang menjadi perbincangan.






“ Kau benar-benar membuatnya bergabung?” desis Ji Eun.






Cheonsa hanya mengangkat bahunya. “ Lebih tepatnya semua anak yang kemarin berada di kelas membuatnya bergabung.” Benar yang Cheonsa katakan, jika saja kemarin tak banyak orang, mungkin hari ini nama Kris tidak tercantum dalam kertas itu.





Nama-nama peserta tenis meja perempuan telah selesai dibacakan. Kim Seosangnim beralih membaca deretan nama peserta tari. Diantara banyaknya jenis perlombaan, jenis ini satu-satunya yang bukan termasuk olahraga. Tapi menari tetap dimasukkan ke dalam daftar perlombaan, dan akan ditampilkan sebelum pertandingan basket berlangsung. Sesungguhnya ini mirip regu pemandu sorak yang biasa membuka pertandingan basket, tapi menurut Cheonsa tim tari jauh lebih menarik daripada menyorakkan semangat dengan wajah sok cantik.





“ Moon Hyemi.” Setelah nama keempat dibacakan, nama Hyemi keluar sebagai si nomor lima. Yah…nama Hyemi memang sudah menjadi langganan dalam daftar tersebut. Cheonsa ingat nama itu juga tercantum dalam dua perlombaan, tahun lalu dan dua tahun yang lalu.





Beberapa nama remaja putri masih disebutkan, dan sebenarnya delapan puluh persen peserta merupakan komplotan Hyemi dan komplotan Sera. Yah…di dalam kelas ada dua kubu anak perempuan populer. Moon Hyemi dan Baek Sera.





“ Jung….Cheon..sa?”





Kali ini Kim seosangnim merasa ia berada di tempat lain. Ia merasa, ia sekarang berada di tempat dimana semua kenyataan berbanding terbalik dengan yang biasa ia dapatkan. Kelas yang tengah ia tinggali, bukanlah kelas yang biasa berada di bawah pengasuhannya. Atau mungkin kemarin malam ada pesawat luar angkasa yang mendarat di sekitar sekolah, dan semua alien di dalamnya menyamar menjadi murid-muridnya?





Kenyataan bahwa nama Cheonsa masuk dalam daftar peserta tari, jauh lebih mengejutkan daripada berita bergabungnya Kris dalam tim basket kelas. Setidaknya mereka tahu kalau Kris salah satu anggota tim basket sekolah yang sering membela sekolahnya di perlombaan antar sekolah. Tapi Cheonsa? baiklah…gadis itu memang tidak semisterius Kris, gadis itu membaur dengan yang lainnya, dan gadis itu kelihatan normal. Tapi menelan kenyataan bahwa Cheonsa masuk tim tari, kelihatan sangat sulit.






Masalahnya membayangkan Cheonsa bergabung bersama kelompok Hyemi dan Sera itu terkesan konyol dan menyeramkan secara bersamaan. Hyemi dan Sera sama-sama orang yang dominan dalam kelompoknya, kerjaan mereka adalah mengatur orang lain dan membiarkan diri menjadi yang paling menonjol. Jelas hal itu sangat kontras dengan Cheonsa yang cuek dan tidak suka dikendalikan. Semua anak pasti setuju jika Cheonsa adalah anak yang manis, tapi mereka lebih setuju jika Cheonsa adalah anak manis yang suka memberontak. Dan itu tidak cocok dengan Hyemi ataupun Sera.






MWO?” Cheonsa tak bisa menutupi keterkejutannya. Mendengar namanya barusan, membuatnya lemas. Ia tidak pernah mendaftarkan namanya atau mungkin memberi isyarat mengenai ketertarikannya untuk mengikuti perlombaan tersebut.





Ia langsung beralih menatap ke arah meja Seok Jin di pojok depan. Anak laki-laki itu tidak sedang menghadap ke belakang.





Semua orang bahkan Cheonsa sendiri merasa terkejut, bagaimana mungkin namanya bisa berada dalam daftar itu? Cheonsa mendengus kemudian membenamkan wajahnya di atas meja. Oke…setelah ini ia harus bicara dengan Seok Jin.







****






Ia meninggalkan kelas dengan cepat, melesat pergi tanpa menanggapi pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya. Ia juga mengabaikan pertanyaan Ji Eun, ia langsung keluar kelas mengikuti Seok Jin. Ia mengekori pemuda yang sedang berjalan bersama Shin Ho.





Langkahnya dipercepat hingga ketukan alas sepatunya terdengar berisik. “ Kim Seok Jin!” sekali panggil saja anak itu langsung menoleh ke belakang. Setelah yakin jika namanya dipanggil, Seok Jin memamerkan senyumnya. Tentu itu tidak berguna ketika Cheonsa bersiap menyerangnya, mencabik-cabik tubuhnya.






“ Kenapa namaku bisa ada di dalam sana?”






Pertanyaan itu langsung keluar tanpa basa-basi. Cheonsa menatap sadis Seok Jin yang sudah mengerti arah pembicaraanya, sementara Shin Ho hanya terlihat waspada.





“ Aku bahkan tidak pernah menawarkan diriku. Jadi bisa jelaskan kenapa namaku bisa ada di sana?”





Seok Jin membuang napasnya, bahunya turun dengan serentak. “ Aku hanya ingin memadukan sesuatu yang tak pernah terjadi,” jawabnya. 






Tentu itu bukan jawaban yang membuat Cheonsa puas. Astaga…ia tidak pernah mengira jika ia bisa membenci Kim Seok Jin, selama ini ia menganggap Seok Jin orang yang cukup baik. Tapi…ternyata tidak ada manusia yang sempurna. Kim Seok Jin pun begitu, ia juga terlahir dengan membawa sifat-sifat menyebalkan.






Tak tahan dengan tatapan yang mengancamnya, Seok Jin berusaha mengutarakan alasannya. “ Kudengar kau pernah berada dalam tim tari di SMP, kau bahkan pernah memenangkan perlombaan. Bukankah itu bagus? Regu tari kelas kita selalu berakhir dengan dua kubu, dan kuharap tahun ini tidak begitu. Kau mengerti kan?” jelas Seok Jin.






Hentakan dahsyat meluluh lantakan keinginan Cheonsa untuk menenggelamkan Seok Jin ke laut lepas, ia justru terkejut dengan kenyataan lainnya. Seok Jin tahu ia pernah mengikuti kegiatan menari. Tapi…dari mana anak itu mengetahuinya? Tidak mungkin Ji Eun kan? Hanya ada dua orang yang mengetahuinya, jika itu bukan Ji Eun, berarti itu Kim Jongin.  





Tanpa membuang waktunya ia langsung berlari mencari Jongin, sementara Seok Jin terlihat bingung dengan gerakan gesit dan menggebu Cheonsa barusan.





Dengusan kasar berhembus sebelum Cheonsa berjalan cepat menghampiri Jongin yang tengah bergurau bersama beberapa temannya. Tak peduli tatapan aneh menyambutnya yang kelihatan seperti banteng mengamuk, ia tetap berteriak sambil menunjuk Jongin.





“ KIM JONGIN SIALAN! BERHENTI KAU!” 





Benar saja, Jongin langsung berhenti. Ia cukup terkejut begitu mendapati Cheonsa meneriaki namanya dengan kata ‘sialan’ yang mengekor di belakangnya. Astaga…apa gadis itu berusaha untuk membuat namanya semakin panjang dengan menambahkan kata ‘sialan’ di belakangnya?





Semua orang tak terkecuali Jongin merasa aneh mendapati Cheonsa dengan wajah seram. Bahkan teman-teman Jongin terlihat meringis.





“ Tidak sopan! Aku ini lebih tua darimu!” protes Jongin sambil menunjuk Cheonsa dengan jarinya.





Tak peduli jika Jongin lahir delapan bulan lebih awal darinya, tak peduli jika Jongin merupakan anak dari kakak perempuan ayahnya. Ia tak akan bersikap sopan kepada Jongin.





“ Kau yang lebih tidak sopan!” geram Cheonsa tertahan, kali ini ia tak ingin menimbulkan lebih banyak perhatian.






Ia berjalan mendekati Jongin yang terlihat kesal. Matanya memancarkan aura gelap pada setiap anak yang memperhatikannya. Secara tidak langsung ia meminta mereka untuk tidak menatap ke arahnya.





Sebagian dari mereka langsung mengalihkan perhatiannya dan sebagiannya masih mencoba untuk melihat lebih banyak. Teman-teman Jongin pergi lebih dulu, meninggalkan Jongin bersama Cheonsa yang sudah siap membuat kepala pria itu botak.





“ Kau kan yang memberitahu Seok Jin kalau aku pernah ikut kelompok tari?” kali ini Cheonsa memelankan suaranya. Ia tidak ingin orang-orang mendengar perbincangannya.






“ Apa aku kelihatan akrab dengannya? Aku bahkan bicara dengannya hanya untuk mencarimu.”






Cheonsa menjauhkan dirinya, berpikir sejenak kemudian mengangguk. Tapi detik berikutnya ia kembali menghakimi Jongin. “ Tsk…kau kan suka berbohong!”





“ Memangnya hanya aku yang berpotensi untuk menjadi tersangka? Bagaimana dengan Han Ji Eun? Dia memiliki potensi bersalah lebih besar daripada aku!” tukas Jongin yakin. Ia sama sekali tidak bersalah.





Pernyataan Jongin langsung terbantah dengan gelengan kepala Cheonsa.  Gadis itu benar-benar yakin dengan temannya. Sekalipun Ji Eun memiliki potensi untuk memberitahu Seok Jin, tapi jelas Ji Eun tidak akan melakukannya. Ia yakin itu.





“ Itu tidak adil! Kau lebih mempercayainya daripada kakak sepupumu sendiri!”





“ Terakhir kali aku percaya padamu, kau justru menghilangkan kotak musikku.” 





Oke…masalah kotak musik berbeda, pikir Jongin. Saat itu mereka berdua masih sangat kecil dan Jongin memang suka ceroboh. Ia cenderung berantakan dan sering meletakkan barang-barangnya di sembarang tempat.





“ Tapi ini bukan ulahku. Sekalipun aku melakukannya, aku tidak akan mendapat apapun. Dan kau tahu, kalau aku tidak suka melakukan sesuatu yang tidak mendatangkan keuntungan untukku. Jadi jelas bukan aku tersangkanya.” Urai Jongin membela diri.





“ Lalu siapa? Aishhh…apa kau pernah menceritakan hal ini pada orang lain? Yah.. mungkin kau tidak sengaja.” Cheonsa tidak berhenti mencoba. Jika Jongin bukan pelakunya, jelas pelakunya masih memiliki hubungan dengan Jongin.






Pria itu terlihat berpikir, mengingat-ngingat apa ia pernah membeberkan hal itu pada orang lain. Ia terus mendatangkan ingatan-ingatannya. Apa ia pernah menceritakannya pada Kyungsoo? Atau justru ia pernah menceritakannya di depan kelas saat membacakan laporan liburannya bersama Cheonsa saat libur musim dingin?





“ Mungkin kau pernah tak sengaja berbagi cerita pada Soo Jung, si cantik yang mengira aku ini pacarmu?” Jongin menggeleng. Kali ini ia mengingat sesuatu walau belum sepenuhnya jelas. Sepertinya ia pernah mengatakan hal itu pada seseorang, tapi bukan pada Soojung, Kyungsoo atau guru konseling yang menghukumnya saat datang terlambat kemarin.







Begitu ingatan itu kembali, Jongin merasakan napasnya tercekat. “ Astaga!!” jelas itu membuat Cheona ikut waspada. Gadis itu memajukan tubuhnya, ingin tahu apa yang sedang dipikirkan Jongin.




“ Kau…ingat sesuatu?” tebaknya takut-takut.





Perlahan Jongin menemui mata Cheonsa, ia menelan ludahnya dengan susah payah. Ia hanya berharap jika setelah ini ia bisa melenyap sebelum Cheonsa bisa menyentuhnya.





 Pandangan keduanya terkesan horor, dan terasa semakin menegangkan ketika Jongin mengangguk. “ Sepertinya aku pernah mengatakan hal itu pada seseorang.” Aku Jongin dengan ragu.






Cheonsa menahan napasnya, mengumpulkan kekuatan untuk mendengar sebuah nama dari mulut Jongin. Pandangannya tak kunjung lepas mengamati Jongin.




“ Siapa?” desis Cheonsa.





Sebelum benar-benar mengatakannya, Jongin menarik napas panjang. Ia menatap Cheonsa dengan waspada.



“ Ku rasa……Kris.”




“ APA??!!!”





****






Rasanya ingin meledak setelah mendengar cerita Jongin kemarin. Jongin bilang saat itu ia tidak sengaja mengatakan rahasianya pada Kris. Itu terjadi saat mereka berdua sedang mendekatkan diri satu sama lain, tepatnya saat mereka memutuskan untuk menjadi rekan yang baik demi kemajuan tim basket. Waktu itu Jongin bilang jika ia dan sepupunya pernah memenangkan kontes menari antar sekolah. Secara spontan Kris bertanya apakah sepupu yang Jongin maksud adalah Cheonsa, dan itu diangguki Jongin. Jelas Jongin tak pernah berpikir jika hal itu akan mendatangkan masalah, lagipula selama mengenal Kris, pria muda itu memang tidak suka membuat masalah.





Cheonsa merasa tak sabar menantikan bel istirahat berbunyi. Ia akan segera berdiri di depan meja Kris dan meminta penjelasannya. Oke…ia tahu alasan Kris melakukannya. Pasti karena ulahnya yang membuat Kris terpaksa bergabung dengan tim basket kelas. Pria itu pasti ingin balas dendam padanya.




Bel pun berbunyi. Semua anak terlihat senang menutup bukunya dan beranjak dari kursinya.





“ Kau ingin ke kantin?” Cheonsa menggeleng, menolak usulan Ji Eun. Kali ini ia tidak merasa lapar, ia hanya merasa murka.





Ji Eun menghela napasnya, benar-benar frustasi melihat tingkah Cheonsa yang sejak tadi seperti orang kesetanan. Langkahnya terhenti begitu matanya menemukan Cheonsa yang tengah berjalan menghampiri meja Kris. Yah…ia tahu apa yang akan Cheonsa lakukan. Pasti ia ingin membuat keributan, mengganggu hidup Kris karena pria itu baru saja menenggelamkannya bersama Hyemi dan Sera. Itu benar-benar bukan ide yang bagus.





“ Heh…kau benar-benar! Kenapa kau melakukan itu?” murka Cheonsa dengan nada tak terlalu tinggi.






Kris yang baru saja ingin melenggang keluar, menatap Cheonsa kemudian melebarkan seringaiannya begitu mengerti apa yang dimaksud gadis itu. Ia tak bicara, ia justru pergi tanpa menggubris si bawel yang terus berteriak di belakangnya.





Masih belum putus asa, Cheonsa mengekori Kris. Ia terus berteriak, entah mengatakan hal-hal aneh yang membuat orang-orang yang berpapasan dengannya mengerinyit heran atau menyuruh Kris berhenti.





“ Kau takut? Kenapa diam saja, hah? Kenapa kau melakukan ini padaku?” desak Cheonsa sepanjang jalan.





Sebenarnya Kris ingin pergi ke kantin, tapi ia tidak suka mendapat banyak perhatian terlebih jika di belakangnya ada gadis gila yang belum juga berhenti mengikutinya. Ia memutuskan untuk terus berjalan, berjalan hingga berada di sebuah koridor yang tak begitu ramai, hanya ada beberapa loker dan ruangan musik serta seni lukis yang kosong.






“ Setidaknya kau berada di tempat yang tepat! Kau berada di tim basket, kau menyukainya-“






“ Dan kau mau bilang kau tidak suka berada dalam tim tari? Bukankah itu hobimu? Mungkin kegilaanmu pada tarian lebih besar daripada kegilaanku pada basket. Lalu apa masalahmu?” Kris akhirnya berbalik. Akhirnya dia bicara, dan itu mengejutkan. Sayangnya Cheonsa sedang sangat kesal, hingga ia tak lagi peduli dengan keterkejutannya.





“ Aku hanya tidak mau! Menyukai bukan berarti harus menunjukkannya pada orang lain!”






Sepercik kekesalan lambat laun menjalar hingga menjadi sesuatu yang lebih besar. Kris merasa benar-benar muak. Dia muak berada di tempatnya sekarang, dia muak bicara, dan dia muak dengan gadis di depannya.






“ Kau tahu? Aku bisa mengatakan hal yang sama saat kau mendesakku.” Kris mengarahkan tatapannya yang tajam, menghujam hingga Cheonsa hanya bisa menelan kekesalannya.





“ Jujur saja… kau hanya takut berada dalam lingkungan yang sama dengan Hyemi dan Sera. Kau takut mereka mendominasi, bukankah begitu?” Tandas Kris lagi.






Entah harus dibantah atau disetujui. Cheonsa benar-benar tak menyangka jika Kris akan mengatakan hal semacam itu padanya.





Ia diam, mungkin itu cara dirinya mengakui jika pendapat Kris tentangnya benar. Namun di sisi lain, ia memilih diam karena ia tidak ingin Kris menemukan sisi pengecut dalam dirinya.






“ Kau sulit dikendalikan karena kau tahu bahwa kau lebih hebat dari mereka semua. Kau takkan membiarkan dirimu dikendalikan oleh orang seperti mereka.”






Adu pandang antara Kris dan Cheonsa semakin sengit begitu Kris terlihat tak sungkan untuk mengeluarkan suaranya lebih banyak lagi.






“ Atau kau memang takut orang-orang tidak akan melihatmu karena kau sama sekali tidak bersinar diantara mereka?”






Cheonsa merasa tangannya bergetar, ia ingin sekali meninjukan kepalan tangannya ke wajah Kris. Ia ingin membuat pemuda itu terjatuh dengan tubuh tidak berdaya.






“ Kau takut kalau orang-orang hanya menganggapmu sebagai batu hitam yang terdampar di antara permata seperti gadis-gadis itu?” Kris merasa puas melihat gurat amarah yang kian jelas di wajah Cheonsa. Ia berani bertaruh jika tak lama lagi Cheonsa akan meledak.






Aura kelam menyelimuti Cheonsa yang tak lagi bisa mentolerir ucapan Kris. Sekarang ia berharap jika Kris itu bisu, ia berharap jika ia tak satu kelas dengan pemuda itu. Kini, detik ini, ia rasa lebih baik Kris diam daripada membuka mulutnya yang sial.






Cheonsa menghirup udara sebanyak mungkin. Ia butuh pasokan udara bersih agar tak gelap mata dan berkelahi dengan Kris. Kalau mau jujur ia bisa saja memecahkan bibir pria muda itu dengan tinjunya, ia juga bisa membuat pelipis si jangkung itu lecet atau lebih parahnya ia bisa mematahkan kaki dan tangan Kris jika ia mau.






Ia melepas kontak mata dengan Kris yang tak jengah meladeni pertarungan itu. Ia menghentakkan kakinya diiringi dengan embusan napas kasar, ia pun berbalik memunggungi Kris. Lebih baik ia segera pergi.






“ Seharusnya kau tidak berada di sini dan mendengarku bicara, walau sepertinya kau sangat senang mendengar suaraku,” ucap Kris dengan nada angkuh.






Tak peduli jika ia ingin sekali berbalik, kemudian memukul wajah Kris, Cheonsa terus berjalan. Ia tidak ingin mendapat masalah hanya karena si brengsek Kris Wu. Oke…mulai saat ini ia akan menamai Kris dengan sebutan itu.






“ Apa mungkin kau menyukaiku dan menginginkan perhatianku seperti rombongan Sera si gila itu? Kalau memang begitu, kau sudah mendapatkannya sekarang. Jadi berhenti dan jangan ganggu aku lagi, atau jangan-jangan kau memang ingin kuperhatikan setiap hari?”






Kali ini Cheonsa berhenti, ia langsung berbalik badan tanpa berpikir dua kali. Ia tidak pernah bersitegang sehebat ini dengan siapapun. Seingatnya ia hanya pernah bertengkar dengan Jongin, itupun karena masalah sepele. Ini pertama kalinya ia membenci orang sampai ingin melenyapkannya dari muka bumi.






“ Asal kau tahu jika itu terjadi, hidupmu akan lebih buruk daripada neraka.”






Kalimat itu mengiang dan harusnya menjadi sebuah peringatan bagi Cheonsa. Tapi nyatanya gadis itu tak mempedulikannya. Ia menganggap ucapan Kris sebagai omong kosong. Kalimat seperti itu sering dikatakan orang-orang brengsek untuk mengusir orang lain dari hidupnya. Sayangnya Cheonsa juga tak berminat terlibat apapun dengan Kris. Sejak awal ia tak pernah berpikir untuk menarik perhatian Kris, dan untuk kejadian waktu itu, ia melakukan itu untuk kelasnya. Bukan untuk menarik perhatian Kris atau apapun.





Kris menanggapi sorot tajam dalam iris mata Cheonsa yang penuh dengan amarah dan kebencian.





“ Jadi pergilah sebelum kau kehilangan kehidupanmu yang menyenangkan dan berharap bisa pindah ke neraka.” 





“ Jika kau tak memenuhinya. Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi mengacaukan hidupmu. Aku sudah mengingatkanmu.”







**** 







Jongin berlari ke arah Ji Eun begitu mendapati sosok itu keluar dari kelasnya dengan tumpukan buku di atas kedua tangannya. Ia tersenyum tipis begitu gadis itu menatapnya dengan datar kemudian tak mengindahkannya lagi. Gadis itu terus berjalan seperti biasa, seperti manusia bernama Kim Jongin tidak pernah ada di bumi.





Walau tak mendapat respon yang baik, ia tak putus asa. Ia terus menyamai langkah Ji Eun, berusaha agar tak mendahului gadis itu karena langkahnya yang lebar. Ia lelaki dengan kaki jenjang, jelas ia bisa berjalan lebih cepat dari Ji Eun, sekalipun tidak berusaha untuk mendahului.






“ Kau mau ke ruang guru?” Jongin mengarahkan pandangannya pada Ji Eun, meski dari tadi ia tidak pernah berpaling.





Ji Eun tak menjawab. Ia bertingkah seolah Jongin tidak berada di sampingnya, seolah Kim Jongin itu makhluk tak kasat mata. Gadis itu tetap diam, walau sebenarnya ia merupakan pembicara yang aktif. Semenjak berhubungan dengan Chanyeol, ia lebih berjaga jarak dengan Jongin. Mungkin akan lebih baik seperti itu.







Tak peduli jika keberadaannya tak diindahkan, Jongin terus mengikuti Ji Eun. Ini kelihatan bodoh, tapi setelah berpikir selama beberapa hari, ia harus melakukannya untuk mendapat perhatian Ji Eun.







Di lain sisi Ji Eun merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Itu selalu terjadi semenjak Jongin mengusap airmatanya saat ia gagal masuk tim cheer leader sekolah, tepatnya dua tahun yang lalu, saat mereka masih di tingkat sepuluh. Ia tidak menolak perasaannya, karena ia tahu, semakin kuat ia menolak semakin banyak juga perasaan itu datang.






Namun ia tak bisa mengatakan apapun, walau sempat membicarakan hal itu pada Cheonsa. Dan pada akhirnya ia terus bersikap seolah perasaan itu tak pernah ada. Tapi sayangnya keberadaan Jongin dan apapun yang pria itu lakukan menyulitkannya. Ia tak pernah berharap apapun dari Jongin, karena yang ia tahu pria itu berada di tempat yang sangat jauh, terlalu jauh untuk seorang Han Ji Eun.






Ji Eun terbangun dari lamunannya, matanya beralih begitu sosok Chanyeol tertangkap matanya. Pria itu sedang berjalan ke arahnya sambil melambaikan tangannya. Kini Ji Eun sadar, ia memiliki seseorang yang lebih baik. Ada Chanyeol untuknya, ada Chanyeol yang selalu setia di sisinya, lalu kenapa ia masih memikirkan Jongin?






“ Yo…” senyum kecil Ji Eun memercikkan sebuah keceriaan bagi Chanyeol. Bahagia itu mudah saat bersama Chanyeol, dan Ji Eun menyadari hal itu.







Kedua orang itu tenggelam dalam perbincangan sederhananya, sementara di sisi kanan Ji Eun, berdiri Jongin yang sedang menggerutu kesal. Keberadaannya dilupakan, diabaikan seolah ia makhluk halus. Ia tak bisa mengendalikan tatapan cemburunya ketika Chanyeol membuat Ji Eun tertawa. Ciih…bahkan gadis itu tidak mau bicara dengannya tadi.





“ Hei..dia Jongin, kan?” Chanyeol mengalihkan perhatiannya pada Jongin. Pria bermata bulat itu melebarkan senyumnya begitu Jongin menghadap ke arahnya.





Perhatiannya kembali pada Ji Eun yang tak berkomentar, gadis itu hanya mencuri pandang ke arah Jongin. Rasanya sangat aneh untuk Chanyeol. Tingkah dua orang di depannya benar-benar tidak biasa.






“ Dia itu sepupunya Cheonsa, kan?” mata besar Chanyeol melebar penuh tanya. Sebenarnya ia sudah tahu semuanya. Ia tahu siapa Kim Jongin. Kim Jongin itu salah satu anggota tim basket sekolah, Jongin itu sepupu dari Cheonsa, dan kalau tidak salah Soo Jung –teman sekelasnya– sering menyebut-nyebut nama Jongin. Ia hanya ingin menetralisir keadaan yang terasa sangat aneh.






“Ya.”






Ji Eun mengangguk, namun setelahnya kembali pada sikap diamnya. Tanpa melihat Jongin lagi, Ji Eun langsung berlalu. “ Yeol…mau temani aku ke ruang guru?” tanya Ji Eun yang sudah menjauh.






Butuh beberapa detik untuk Chanyeol menyahuti Ji Eun. Kedua matanya sibuk beradu pandang dengan Jongin yang tak takut menatapnya dengan kesal. Ia mendehem pelan begitu sebuah jawaban terpapar dalam benaknya. Ia tak yakin, namun  harus meyakini apa yang sudah jelas terlihat. Jongin menyukai Ji Eun, itu tak bisa dielakkan lagi.






“ Aku duluan,” Ucapnya sebelum pergi menyusul Ji Eun.






Dari kejauhan Jongin hanya bisa meringis, mengutuk, atau mungkin menyumpahi Chanyeol. Jika saja ia tidak melakukan hal bodoh itu, mungkin yang sekarang berada di sebelah Ji Eun adalah dirinya. Jika saja ia bisa memutar waktu, mungkin si raksasa bermata besar itu tidak akan bersama Ji Eun.





****





Semilir angin sore menerpa wajahnya, menelusup masuk melalui celah-celah baju kebesarannya. Matahari mulai merangkak turun dari tempatnya, menyisakan cahaya yang tak lagi cerah. Hari mulai gelap dan ia belum bisa kembali ke rumah karena latihannya belum usai.






Sejak bel pulang berbunyi hingga kini langit mulai gelap, latihan belum juga dimulai. Sesungguhnya latihan telah dimulai sejak semua anggota tim tari berkumpul di lapangan, tapi latihan itu tak berjalan sesuai rencana. Hyemi dan Sera, dua orang gadis yang menyatakan dirinya sebagai ketua tim beradu mulut tanpa ujung.







Perdebatan kian heboh saat masing-masing dari pendukung mereka ikut bicara dan menambah keributan. Hanya tersisa dua orang yang terduduk di hamparan aspal lapangan sekolah dalam diam. Cheonsa dan Taeri. Mereka tak ingin menjadi pendukung siapapun, mereka hanya ingin segera pulang.





Embusan napasnya terdengar kian menyedihkan. Ia semakin bosan, ia muak mendengar keributan yang dibuat Hyemi dan Sera. Masing-masing ingin membuat peraturan, keduanya ingin dipatuhi, dan itu benar-benar memusingkan. Semuanya menjadi lebih rumit, dan sepertinya ia sudah lelah. Ia pun bangkit dari duduknya, menghentak kaki kanannya sebelum meninggalkan lapangan.





Cheonsa pergi untuk mengambil tasnya. Besok ia akan menemui Kim seosangnim untuk mengundurkan diri dari kelompok itu. Waktunya akan terbuang sia-sia jika Hyemi dan Sera terus bertengkar.





****





Sambil menendang kerikil di sepanjang jalan, ia melanjutkan perjalanan pulang yang terkesan sangat panjang. Seolah jalanan yang tengah ia lalui tak berujung.





Ia kelihatan malang, ia sendirian dan terlihat tidak baik. Lihat saja ekspresi wajahnya yang begitu muram. Auranya gelap bagai langit sore yang terlihat kelabu. Cheonsa terus berjalan tak peduli dengan rasa takut yang menyergap sekujur tubuhnya.





Jalan menuju rumahnya sangat lenggang, sepi dan terkesan aneh. Hanya ada seorang kakek tua dan beberapa anak kecil yang melintas kemudian menjauh. Kini di tengah pepohonan yang menjulang, ia melangkah seorang diri, tersiksa dalam rasa takut yang melahap kekuatannya.






Walau kelihatan seperti gadis petualang yang haus akan tantangan, sesungguhnya Cheonsa hanya gadis kecil yang ketakutan. Suasana di sekitarnya sangat aneh dan jujur saja itu membuatnya cemas. Tubuhnya mendingin, tapi bukan karena embusan angin yang lambat laun semakin kencang. Kedua tangannya mencengkram erat tali tasnya begitu angin menerbangkan beberapa daun, dahan-dahan pohon terlihat bergoyang riuh seolah menertawakan dirinya.






Cheonsa memejamkan matanya sejenak, berharap jika ia bisa mengabaikan rasa takutnya. Embusan napasnya bergetar begitu bulu kuduknya berdiri. Entah karena rasa takutnya yang berlebihan, tapi Cheonsa bisa merasakan embusan hangat di telinganya. Embusan itu berulang kali datang, dan kini Cheonsa yakin jika embusan itu bukan imajinasinya semata.






Walau begitu Cheonsa tak berani membalikkan badannya untuk memastikan sesuatu, ia terus berjalan seolah ia seorang Robin Hood. Namun begitu langkahnya semakin jauh, ia semakin sulit bernapas. Ia semakin takut begitu bunyi dahan yang saling bergesekan semakin mencekam, mengiang bagai lonceng jam tua di film horor.






Embusan hangat itu kembali menerpa kulit tengkuknya. Ia menggigit bibir bawahnya sementara napasnya mulai terengah. Ia bisa merasakan hembusan itu sekali lagi.






“ Selamat bersenang-senang gadis manis.” sebuah suara asing mengalun, seolah ada seseorang yang membisikkannya.

****  


TBC




Selamat datang readers unyu!! Ohoho….oke gimana sama part yg ini? krisnya udah mulai improve yah…walau dialognya masih dikit..Cheonsa ama krisnya juga udah mulai konflik…*tunjuk adegan yg bwa-bawa neraka* dan kai-jieun-chanyeol…mereka masih ngambang, belum begitu jelas konfliknya…


Hmm…apa yah…mungkin byk yg mau ngeluh kenapa sih kris ngomongnya dikit bgt, yah anggep aja dia lgi sariawan makanya males ngomong. Dan buat jin, dia teratur bgt yah…aku baru engeh lhoo… Dan cheonsa..humm..dia emg ngeselin bgt di part ini..


Oke…terimakasih buat yg baca…itu aja yah…aku lagi bingung mau nulis apa..dah..



Thx,

GSB

Comments

Popular Posts