3 Of Us - Decision






Cast : Mark Tuan
            Lay Zhang
            Lee Hara

Author : GSB (@sadanema)






Sebelumnya aku tak pernah mengira akan mendapat teman dalam waktu lima belas menit setelah mendarat di bandara. Saat itu aku sedang mendorong trolley berisi tas dan koper milikku. Awalnya aku hanya mendorong dengan pikiran kosong, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah itu. Namun tanpa kusangka, ada seorang pemuda yang juga mendorong trolley dengan barang bawaan hampir sebanyak milikku, berjalan di sebelahku. Ia tersenyum ramah yang kubalas dengan cara yang sama –meski aku tak yakin.





Aku tak memberi pertanyaan dan juga tak berniat untuk mengajaknya bicara. Demi Tuhan, yang perlu kulakukan sekarang adalah mencari taksi dan segera sampai di asrama yang akan kutinggali selama empat tahun ke depan.





“ Bukan orang korea?”




Aku menoleh ke arahnya, kemudian melihat ke kanan dan ke kiri. Ia sedang bertanya padaku? Aku menunjuk diriku sendiri kemudian ia mengangguk antusias.




“ Ya. Aku dari Los Angeles.” Sekali lagi ia mengangguk, kali ini dengan pengulangan.




“ Aku dari Cina,” ungkapnya tanpa kuminta. Dan kali ini aku yang mengangguk. Aku tak terlalu peduli sebenarnya, tapi memberi respon dengan anggukan tak akan membuatku mati. Lagipula aku tidak ingin meninggalkan kesan tidak baik atau bagaimana.





Setelah melewati pintu keluar, mataku bertualang mencari taksi kosong. Rasanya sulit menemukan taksi kosong, entah karena memang taksinya tidak banyak atau jumlah penumpangnya yang terlalu banyak. Aku menghela pelan. Sabar, ucapku pada diriku sendiri. Aku kembali mendorong trolley-ku tanpa mempedulikan si pemuda Cina yang terlihat bingung. Sekedar informasi, ia masih berjalan di sebelahku.





“ Ngomong-ngomong kau mau kemana?”





Hampir saja aku mendapatkan taksi. Namun begitu aku ingin meraih pintunya, seorang ibu muda mendekat bersama dua orang putra kembar yang nampak rewel. Ia tersenyum ramah, membuatku iba dan akhirnya mengalah. Aku pemuda baik-baik, aku dibesarkan untuk menghargai orang lain, dan aku tahu betul apa yang harus kulakukan. Jadi aku membiarkan ibu itu dan kedua anak kembarnya menaiki taksiku. 





Karena belum ada taksi yang kosong aku menoleh kepada pemuda cina yang pertanyaannya belum sempat kujawab. Ia sedang menatap layar ponselnya dan tak lama setelah itu ia mendesah kemudian berkacak pinggang.





“ Aku mau ke asrama Yonsei. Kau sendiri mau kemana?” jawabku kemudian melontarkan pertanyaan yang sama.





Ia mengangguk –lagi. Matanya yang menyiratkan kesan polos itu menatapku lekat dan tak lama setelahnya ia terkekeh.




“ Wah..ini ajaib! Aku bertemu orang dengan tujuan yang sama denganku!”





“ Benarkah?” lagi-lagi ia mengangguk.





****






Sebelumnya aku tak begitu mempercayai yang namanya kebetulan, namun aku langsung mempercayainya begitu tahu pemuda cina yang dari tadi mengajakku bicara dan bersikap seolah aku temannya dari lahir itu juga akan pergi ke asrama Yonsei dan yang lebih hebatnya lagi adalah ia penghuni kamar nomor 78. Nomor yang sama dengan nomor kamarku.   





“ Peta ini benar-benar tidak membantu,” keluhnya sambil mendengus.






Benar. Peta panduan yang masing-masing kami pegang, benar-benar tidak membantu. Sudah satu jam kami berkeliling mengikuti arah yang ditunjukkan peta, mamun kami tak juga menemukan gedung asrama putra. Entah petanya yang tidak berguna atau kemampuan membaca peta kami yang payah. Aku benar-benar tak tahu.





“ Aku lelah. Bisa istirahat sebentar?”





Untung ia setuju dengan gagasanku dan akhirnya berteduh di bawah pohon besar terdekat. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan setelah ini, aku lelah dan yang ingin kulakukan sekarang hanya duduk. Berhubung tidak ada kursi atau apapun, akupun duduk di atas tanah tanpa mempedulikan celanaku kotor. 




Sementara aku duduk, Lay masih belum bosan mengamati petanya. Aku perlu memberinya pujian atas sikap pantang menyerahnya.





“ Petugas di depan tadi bilang, asrama tidak jauh dari pos jaga. Tapi kita tak berhasil menemukannya setelah mencari selama sejam. Kurasa ia mempermainkan kita,” keluhku sambil mengorek tanah dengan ranting yang kuambil asal.





Lay hanya menggumam sambil menganggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak berniat untuk menanggapiku.





Akhirnya kami tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Aku dengan kegiatan mengorek tanah yang sebenarnya tak berguna, sementara Lay yang masih serius dengan peta dan tak lama setelahnya terdengar antusias. Aku bisa mendengar gumaman bercampur kekehan dari arahnya. Mungkin ia sudah menemukan jalan menuju asrama.




“ Mark, ada orang! Lihat! Ia mendekat!” 




Aku melirik ke arahnya, bersitatap dengan matanya yang berbinar. Akhirnya aku berdiri, kemudian menepuk-nepukkan celanaku yang ditempeli tanah.





Lay kembali melongokkan kepalanya ke jalan kemudian melambaikan tangannya. Sementara Lay sedang berusaha untuk mendapat bantuan, aku berjongkok meraih tasku.




“ Nona, bisa bantu kami sebentar?”




“ Baiklah, apa yang kau butuhkan?”





Setelah mendengar penuturan Lay, gadis itu meminta kami untuk mengikutinya. Aku sama sekali tidak mengajukan protes, hanya mengikutinya tanpa memberi pertanyaan. Berbeda dengan Lay yang terlihat sudah akrab dengan gadis itu. Sepanjang perjalanan mereka berbincang, dimulai dengan obrolan canggung yang dilanjutkan dengan perbincangan santai. Kurasa Lay punya keahlian khusus dalam hal mengakrabkan diri pada orang asing.





“ Ini dia asrama kalian,” ucap gadis itu begitu berhenti di depan sebuah gedung bertingkat enam di depan kami.




“Akhirnya.” Itulah satu-satunya kata yang terlontar dari mulutku setelah perjalanan melelahkan sampai ke asrama ini.



“ Terimakasih banyak Hara. Kalau kau tidak ada, aku dan Mark pasti masih berdiri di bawah pohon tadi.”





Gadis itu mengangguk, kali ini diikuti senyum ramah yang menurutku lumayan menarik untuk dipandangi lama-lama. Tapi nyatanya aku tak seberani itu. Saat matanya bersitatap denganku, aku langsung mengalihkan pandanganku. Sekedar informasi saja, gadis itu bukan tipe gadis manis. Menurutku dia cantik, tapi tidak manis.





Lay dan Hara kembali berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak terlalu mendengarkan, lagipula aku bukan tipe orang yang bisa berbasa-basi. Dan kurasa mereka berdua tidak mengharapkan aku bergabung dalam perbincangan mereka.




“ Mungkin aku akan sering menghubungimu untuk menanyakan  banyak hal.”





Setelah itu terdengar suara kekehan Hara. Mataku beralih menatapnya, mengamati tawa canggung yang sedang ia perlihatkan. Nampaknya ia juga bukan orang yang mampu berbasa-basi. Lihat saja ekspresi ramah yang terlihat dipaksakan miliknya itu.





“ Tidak masalah. Kau bisa menghubungiku kapan saja.” Ia kembali menyimpulkan senyum terpaksanya.





Aku terus mengamatinya dan menyadari bahwa gadis itu benar-benar menarik. Ia bukan orang yang sangat ramah, tapi ia juga bukan gadis menyebalkan yang suka jual mahal. Seperti halnya ia tidak terlihat manis, namun ia cantik.





“ Baiklah kami masuk dulu.” Lay menoleh ke arahku.




“ Ayo Mark,” serunya.




Sebelum benar-benar pergi, Lay menoleh ke arah Hara kemudian tersenyum. “ Sekali lagi terimakasih.” Pemuda itu pun berlalu, menyeret kopernya dengan susah payah melewati undakan menuju pintu utama.





Aku melangkah lambat, tiba-tiba tak ingin masuk ke dalam. Aku menoleh ke belakang, menatap Hara yang mulai menjauh. Aku hendak berbalik kembali dan segera masuk ke kamar, karena sepertinya aku tak begitu yakin dengan ide yang tiba-tiba terlintas di kepalaku. Namun kuurungkan. Sepertinya aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika tidak menjalankan ide ini.




“ Hara!” 





Suaraku cukup kencang untuk membuatnya berbalik dan menatapku dengan heran. Ia terlihat berbeda sekarang, wajahnya kelihatan serius tanpa senyum dipaksakan untuk menciptakan kesan ramah. Sudah kubilang, gadis ini menarik.





“ Aku akan meminta nomormu dari Lay, kau tidak keberatankan?” ia menatapku dengan penuh pertimbangan, seolah tengah mempertimbangkan apakah aku pantas atau tidak untuk memiliki nomor ponselnya.




“ Kalau kau keberatan aku tidak akan melakukannnya,” ucapku lagi.




“ Terserah saja. Jangan menelepon malam hari, kemungkinan besar tidak akan kujawab.”





Saat kubilang ia menarik, itu tandanya ia memang menarik. Intuisiku tidak pernah salah. Lihat saja. Kukira ia akan menolak dan pergi begitu saja, namun tidak. Ia masih berdiri di tempatnya. Masih menatapku, mempertimbangkan sesuatu yang tidak akan kutahu karena kurasa ia tidak akan mengatakan apapun.




“ Namaku Mark.”





Kedua alisnya yang cukup tebal bertemu di tengah. Ia nampak bingung. Ia menatapku cukup lama sebelum memutar bola matanya. Kurasa ia tidak melakukan hal seperti itu selama bicara dengan Lay.




“ Aku sudah tahu.”




**** 






Sudah satu setengah tahun berlalu dan hal-hal tak terduga terus terjadi. Hidup itu penuh kejutan dan hal-hal tak terduga tidak akan pernah berhenti berdatangan. Dan beberapa hal tak terduga yang sampai sekarang tak kulupakan adalah aku berteman baik dengan Lay, menjadi karibnya, menjadi teman susah dan senangnya. Aku benar-benar tak menyangka hal itu bisa terjadi.





Aku sekamar dengannya. Mulai hafal semua sifat dan kebiasaannya, begitupun ia terhadapku. Kami menghabiskan waktu bersama, bahkan saat hari libur kamipun sering menghabiskannya bersama. Terlalu sering bersama dengannya membuat beberapa orang berpikir kami pasangan kekasih. Namun itu salah besar. Aku menyukai perempuan, begitupun dengan Lay. Bahkan aku sudah memiliki kekasih, jadi tuduhan itu tidaklah benar. Sungguh. 




“ Kau benar-benar tidak akan pergi?”  




“ Tidak. Ah Yeon pasti akan sangat kesal jika aku membatalkan acara hari ini. Dan aku tidak ingin mendengarnya marah-marah. Aku masih ingin telingaku berfungsi sebagaimana mestinya,” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.




Aku sedang berkirim pesan dengan Ah Yeon. Bahkan tanpa mendengar suaranya, aku sudah merasa sangat pusing. Ia memintaku untuk tidak terlambat menjemputnya. 




“ Baiklah. Aku akan pergi, dan kau urusi pacar bawelmu itu. Pastikan semuanya berjalan lancar dan tidak menimbulkan kekacauan sedikitpun.”




Aku hanya menggumam sambil lalu. Begitupun dengan Lay. Ia kembali mematut dirinya, memastikan penampilannya untuk yang kesekian kali. 




“ Aku pergi dulu sobat.” 




Sebelum ia sampai di ujung ruangan, aku menoleh. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “ Hei..katakan padanya aku sangat menyesal!” teriakku kencang.




Lay itu pelupa, jadi aku perlu memastikan ia tidak melupakan pesanku. Aku menatapnya, menunggu reaksinya.





“ Jangan lupa itu! Katakan padanya aku sangat menyesal!”




“ Ya. Aku tahu, aku tidak sepikun itu,” tanggapnya kesal.





Ia meraih knop pintu, menariknya tanpa ragu kemudian menghilang di baliknya. Dan aku masih memandangi kepergiannya sambil menyesali sesuatu. Kurasa seharusnya aku ikut pergi dengan Lay, tapi aku tidak ingin Ah Yeon kesal padaku. Menangani gadis yang marah tidaklah mudah. Itu sangat amat merepotkan.  





*****





Sebenarnya aku tidak bisa mengendarai mobil, tapi sekarang ini aku berharap aku mempunyai mobil hingga tak perlu repot-repot berlari ke sana dan kemari. Masalah bagaimana cara mengendarai mobilnya aku tidak peduli. Aku bisa menyewa seorang supir untuk itu. Setidaknya aku tidak akan merasakan dadaku sesak dan pasokan udara yang masuk seperti tak mencukupi kebutuhanku. Aku bukan seseorang yang gila olahraga, dan berlari dari rumah Ah Yeon menuju halte itu sangat melelahkan.





Belum selesai sampai di situ kegiatan ‘olahraga malamku’. Begitu turun dari bus, aku kembali berlari. Benar-benar berlari dan sempat membuat beberapa orang kesal karena tak sengaja bertubrukan denganku. Mereka juga semakin kesal karena aku tak menyempatkan diri untuk meminta maaf atau terlihat menyesal. Aku tahu itu benar-benar tidak sopan, tapi aku benar-benar tidak sempat. Aku harus cepat.





Napasku memburu begitu sampai di depan sebuah rumah yang pagarnya sudah terkunci. Rumah itu kelihatan sangat sepi. Biar bagaimanapun ini sudah jam sembilan lewat tiga puluh tujuh menit, aku mengerti jika penghuni di dalamnya sedang bersiap-siap untuk tidur.





Tiba-tiba kepalaku terasa gatal, namun sialnya aku tak bisa melakukan apapun. Aku tak bisa menggaruknya. Tangan kananku sedang menggenggam ponselku dan tangan kiriku sedang memegang kotak kado berukuran 10x10cm. 





Setelah napasku kembali teratur, aku melirik ponselku. Dengan susah payah mengoperasikannya, membuka layanan buku telepon, lalu menekan sebuah nama di sana. Aku pun mendekatkan benda tipis itu ke telinga.





Tidak dijawab. Aku mendecak pelan. Menatap layar ponselku dengan kesal. Baiklah, akan kucoba lagi. Aku mencoba lagi, kemudian mencobanya lagi dan seterusnya. Namun sama seperti sebelumnya, tidak mendapat jawaban. Ini benar-benar mengesalkan. Aku sudah berlari, naik-turun bus, menabrak orang tanpa meminta maaf untuk bisa datang ke tempat ini. Dan apa yang sekarang kudapatkan? 





Napasku berembus panjang. Baik. Aku sudah memutuskan. Aku akan menghubunginya sekali lagi, jika ia tidak menjawab, persetan dengan niat baikku. Aku bahkan tidak akan mengajaknya bicara selama beberapa hari ke depan.





Begitu nada sambung terdengar tak bisa kuelakkan rasa cemas yang menggelayuti tanpa permisi. Harusnya aku pasrah saja, tapi tidak. Aku mau ia menjawabku. Aku tidak siap memenuhi sumpahku untuk tidak mengajaknya bicara selama beberapa hari.





Aku nyaris mengubur harapan, tapi untungnya suara di seberang sana menyapa tanpa basa-basi. Ia tidak kedengaran bawel seperti Ah Yeon saat marah. Tapi aku tahu ia marah padaku, makanya aku datang ke rumahnya.





“ Berhenti membicarakan jam malammu, aku tahu kau belum tidur dan tidak akan bisa tidur,” sahutku menanggapi ocehannya tentang jam malam. Aku tak mengerti kenapa para gadis suka berbohong dengan mengatakan: Ada apa menelepon malam-malam begini? Aku kan sudah bilang jangan menelepon saat malam, kau mengganggu tidurku tahu!





Cihh..aku tahu ia belum tidur dan seperti yang kukatakan tadi, ia tidak akan bisa tidur. Ia akan merasa gelisah sepanjang malam, percaya padaku.





“ Temui aku di luar, sekarang!”





Ia hanya melenguh pelan. Berusaha terdengar jengkel dengan sikapku. Baiklah, aku akui aku memang sangat menjengkelkan, tapi kurasa ia tidak jengkel dengan kedatanganku.




“ Di luar rumahmu, jenius! Keluar sekarang atau kau akan menyesal!” ucapku mengakhiri percakapan.





Ia terus berkelakar dan mengatakan tidak ingin menemuiku. Ia bilang ia tidak peduli dengan apa yang akan kulakukan, tapi aku yakin ia tetap akan menemuiku. Aku tahu itu.  Jadi aku tidak terkejut begitu mendengar pintu utama berderit dan sosoknya dengan balutan piyama warna biru pudar muncul dari sana.





Ia menghampiriku, membuka pagar rumahnya lalu berdiri tepat di hadapanku. Wajahnya memajang ekspresi kesal, kedua tangannya terlipat di depan dada, dan matanya tetap menyimpan misteri yang sama seperti pertama kali aku mengenalnya. 





“ Jadi..”





“ Bagaimana…”





Ia mendengus kesal begitu suara kami berbenturan. Dan ia pasti akan lebih kesal lagi karena aku tak pernah mau mengalah dengan membiarkannya bicara lebih dulu. Aku tersenyum menang.





“ Bagaimana acaramu dengan Lay? Kalian pergi ke bioskop, makan malam, lalu apa lagi yang kalian lakukan?” 





“ Sangat menyenangkan. Seperti biasa, ia selalu bisa diandalkan. Ia membawaku ke restoran jepang yang makanannya sangat enak. Kemudian kami nonton film action, sesuai yang kuinginkan. Dan selanjutnya kami pergi ke sungai Han, menyaksikan aktraksi lampu dan air yang romantis. Sudah puas?”





Satu fakta tentang perempuan yang tak bisa kutampik,  mereka sangat suka berpura-pura dan membuat keadaan semakin rumit. Kukira gadis di hadapanku tidak akan seperti itu, namun ternyata sama saja. Ia ingin menunjukkan padaku bahwa ada atau tidaknya aku di acara jalan-jalan untuk merayakan ulang tahunnya sama sekali tidak penting. Tapi melihatnya yang seperti ini, kurasa sebaliknya. Sepertinya kehadiranku terlalu penting, kalau tidak ia pasti tidak akan menekankan kata-kata tertentu saat bicara padaku.





“ Sayang sekali aku tidak bisa ikut,” ucapku dengan nada menyesal.





“ Kurasa lebih baik kau tidak ikut,” ia menyahut cepat. 





Baiklah Lee hara. Gadis tukang bohong sepertimu nampaknya tak akan mengalah, jadi biar aku saja yang mengalah. 




“ Aku minta maaf Hara. Aku melewatkan ulang tahunmu padahal sudah berjanji untuk merayakannya bersama. Aku–"




“ Mark, kau tidak perlu minta maaf atau apapun. Baiklah aku lelah, seharian ini aku melakukan banyak hal jadi aku ingin istirahat.” Ia berbalik, hendak meraih pintu pagar dan masuk ke dalam rumah.





“ Aku tahu kau marah padaku, tapi setidaknya terima hadiah dariku. Kumohon.”





Akhirnya ia berbalik, matanya menatapku jengkel. Aku tak bisa melakukan apapun selain mengulas senyum sambil menggedikkan bahu.





“ Aku tidak marah. Sok tahu!”





Tidak marah katanya? Aku cukup pintar untuk membedakan orang yang sedang marah dengan orang yang baik-baik saja. Ia pikir aku itu idiot apa? Ckk…dasar tukang bohong.





“ Baiklah, aku tak peduli.” Aku mengalah. Satu-satunya hal yang perlu dan harus kulakukan, karena sampai kapanpun ia tetap akan berbohong dan membuat semua usahaku jadi sia-sia.





Aku menghela panjang sebelum menatapnya kembali. “ Ini. Hadiah dariku.” Tak peduli dengan desisan tidak sukanya, aku menarik tangannya, memaksanya untuk menerima hadiah dariku.





Ia menatap kotak itu selama beberapa saat sebelum kembali menatapku. Tanpa melontarkan pertanyaan ia membuka tutup kotak tersebut.




“ Kau bercanda?” Ia menatapku, kali ini benar-benar kesal.




“ Kertas post-it dengan tanda tanganmu? Kau memintaku keluar hanya untuk memberikan ini padaku?”





Ia kelihatan sangat kesal kali ini, ia benar-benar kecewa dengan hadiah yang kuberikan. Memang terlihat konyol dan kekanakan, tapi ia tidak bertanya apa maksud dari sepuluh lembar kertas warna-warni yang dibubuhi tanda tanganku itu. Dan jujur saja akupun kecewa dengan sikapnya.




“ Baiklah Mark. Biar bagaimanapun terimakasih, kau sudah datang ke sini dan memberiku hadiah yang sangat menarik ini.”





“ Selamat malam.” Ia berbalik badan. Kali ini tak main-main dengan tindakannya. Ia melewati pagar rumahnya, lalu mengunci sebelum berjalan menuju pintu masuk.





Sumpah demi apapun aku sangat kesal. Aku sudah sangat lelah, ia pikir aku sengaja melewatkan ulang tahunnya? Ia pikir aku senang sementara ia menghabiskan waktunya bersama Lay? Dan ia pikir aku datang ke rumahnya malam-malam begini hanya untuk memberikan hadiah yang tak lebih dari sebuah lelucon. Memangnya aku setolol itu?





“ Selamat ulang tahun Lee Hara. Maaf baru mengucapkan sekarang.”





Ia berhenti, namun tidak berbalik dan menatapku. Mungkin kekesalannya padaku terlalu besar hingga ia tidak mau menatapku.





“ Aku bisa saja mengucapkannya melalui sambungan telepon atau pesan, tapi aku memilih untuk mengucapkannya secara langsung. Makanya aku datang kesini, tapi nampaknya kau tidak senang dengan itu,” lanjutku.





Ini tidak seperti yang kubayangkan. Ini benar-benar melenceng dari yang sudah kurencanakan. Dan aku merasa sangat kesal karenanya. 





“ Sepuluh lembar kertas itu tak sekonyol yang kau bayangkan. Aku tidak akan berlari ke sini hanya untuk memberi benda konyol,” tandasku tanpa menahan amarah yang membuncah di dalam dadaku. Aku harap ia bisa merasakan rasa kecewaku padanya, aku benar-benar kecewa padanya.






“ Dengan lembaran itu kau bisa meminta apapun dariku. Kau hanya perlu menuliskan keinginanmu kemudian memberikannya padaku. Itu semacam sepuluh kupon istimewa dariku. Tapi kurasa itu terlalu konyol untukmu, karena sepatu cantik dari Lay lebih bagus dari hadiahku. Ya, kan?”





Aku meluapkan semuanya, bahkan rasa iriku pada Lay. Yah..pemuda itu memang tahu cara menyenangkan hati orang, tidak sepertiku yang sangat konyol.





“ Baiklah, kurasa kau perlu beristirahat. Maaf telah membuang waktumu hanya untuk sepuluh lembar kertas konyol. Selamat malam.”





Aku langsung berbalik dan melangkah pergi. Aku benar-benar kesal. Aku tak pernah merasa benar-benar kecewa seperti saat ini. 





Seharusnya malam ini menjadi malam yang menyenangkan jika saja ia mau memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Tapi apa yang ia lakukan? Ia hanya mengatakan kebohongan, marah padaku, berbohong lagi, dan akhirnya aku merasa benar-benar konyol.





Masih ingat saat kubilang banyak hal tak terduga terjadi selama satu setengah tahun belakangan ini? Ya..salah satu diantaranya adalah aku berteman dengan Lee Hara. Tidak. Maksudku, aku, Hara, dan Lay. Kami bertiga. Berteman.





Dan hal tak terduga lainnya adalah aku pacaran dengan Baek Ah Yeon, seorang gadis yang di awal perkuliahan memperlakukanku dengan sangat ramah, ia mengikutiku kemanapun aku pergi, dan tak lama setelahnya memintaku untuk jadi pacarnya. Menurutku itu gila, tapi aku yang lebih gila. Aku mengiyakan permintaannya. Aku kira dengan begitu aku bisa mengetahui sesuatu yang selama ini tak bisa kuketahui, tapi nyatanya tidak.





Tak ada sesuatu yang membuatku senang, atau membuatku merasa keputusanku berpacaran dengan Ah Yeon tidak sia-sia. Walau terkadang aku merasa Hara tidak senang dengan hubunganku dan Ah Yeon, tapi kemudian ia akan bertingkah seolah ia sangat mendukung. Kadang pula aku merasa ia memandangku sebagai seorang laki-laki yang patut dipertimbangkan, tapi di lain waktu aku merasa ia tidak peduli padaku. Dan sialnya aku sempat berpikir ia menyukaiku, sempat aku merasa sebenarnya ia menyukaiku. Namun setelahnya aku dibuat kecewa karena melihatnya bersama Lay.





Aku tidak bisa melakukan apapun. Aku merasa ia berada di dekatku, tapi saat aku ingin meraihnya ia menghilang begitu saja. Aku pikir ia menyukaiku, tapi setelah kupikir sekali lagi, ia juga menyukai Lay. Situasi seperti itu benar-benar mengesalkan. Seperti kau ingin melangkah, tapi tiba-tiba saja kau kehilangan alasan untuk melangkah. Ia selalu membuatku bingung.





Ingat ini, aku tidak akan melakukan apapun selama ia tidak menentukan sikap. Maksudku selama ia masih bersikap seolah mendekat kemudian menjauh. Ia memang menarik, tapi aku tidak tertarik untuk menariknya dan membuat pertemananku dengan Lay berantakan. Aku bisa memastikan Lay menyukai Hara, aku jamin itu.  Dan aku tidak ingin bertengkar dengan Lay karena seseorang yang bahkan tak menunjukkan perasaannya dengan jelas.





Dan selama Hara tidak menetapkan sikapnya, selama itu juga aku akan tetap berada di tempatku. Aku akan tetap menjadi sahabatnya, dan akan tetap menjadi pacar Baek Ah Yeon.




~Fin~

Huhuhu…Mark murka!! Ayolo….Hara sih, makanya ditanya dulu jangan marah doang bisanya. Oke..sebelumnya apa kabar semua?? Kalau aku baik-baik aja.. baiklah.. mungkin buat yang baca ini bertanya-tanya, sebenernya ff ini ff series atau bukan.

FF ini oneshoot, tpi oneshoot series jadi bisa lanjut bisa enggak. Ini konsep terbaru yang aku usung. Ini gak kayak cerita dongeng yah, yang nuntut ending bahagia, sedih dan sebagainya. Ini kaya curhatan dari Mark, Hara, sama Lay. Rencananya sih ff ini bakal diambil dari sudut pandang ketiga tokohnya. Jadi kaya yg ini 3 of us – decision bagiannya Mark. Mungkin kalau aku mood, aku bakal ngetik yang bagian Hara atau Lay. Tapi kaya yg aku bilang, ff ini bebas tuntutan. Karena ini oneshoot.  

Pokoknya konsep buat 3 of us itu kayak buku hariannya si 3 tokoh yang kejebak friendzone. Yah…pokoknya gitu. Oh ya, dan ff ini aku persembahin buat Kim Dhira. LayHaraMark, sesuai kemauan dia. Aku gak tahu ini sesuai harapan dia atau gak, tapi dia terhibur ya*amin*. Oke deh kawan-kawan sebangsa dan setanah air, makasih yang udah baca.


Thanks,

GSB

Comments

Popular Posts