3 Of Us - Decision
Cast : Mark Tuan
Lay Zhang
Lee Hara
Author : GSB (@sadanema)
Sebelumnya aku
tak pernah mengira akan mendapat teman dalam waktu lima belas menit setelah
mendarat di bandara. Saat itu aku sedang mendorong trolley berisi tas dan koper milikku. Awalnya aku hanya mendorong
dengan pikiran kosong, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan
setelah itu. Namun tanpa kusangka, ada seorang pemuda yang juga mendorong trolley dengan barang bawaan hampir
sebanyak milikku, berjalan di sebelahku. Ia tersenyum ramah yang kubalas dengan
cara yang sama āmeski aku tak yakin.
Aku tak memberi
pertanyaan dan juga tak berniat untuk mengajaknya bicara. Demi Tuhan, yang
perlu kulakukan sekarang adalah mencari taksi dan segera sampai di asrama yang
akan kutinggali selama empat tahun ke depan.
ā Bukan orang
korea?ā
Aku menoleh ke
arahnya, kemudian melihat ke kanan dan ke kiri. Ia sedang bertanya padaku? Aku menunjuk
diriku sendiri kemudian ia mengangguk antusias.
ā Ya. Aku dari Los Angeles.ā Sekali lagi ia mengangguk, kali ini dengan pengulangan.
ā Aku dari
Cina,ā ungkapnya tanpa kuminta. Dan kali ini aku yang mengangguk. Aku tak
terlalu peduli sebenarnya, tapi memberi respon dengan anggukan tak akan
membuatku mati. Lagipula aku tidak ingin meninggalkan kesan tidak baik atau
bagaimana.
Setelah melewati
pintu keluar, mataku bertualang mencari taksi kosong. Rasanya sulit menemukan
taksi kosong, entah karena memang taksinya tidak banyak atau jumlah penumpangnya
yang terlalu banyak. Aku menghela pelan. Sabar, ucapku pada diriku sendiri. Aku
kembali mendorong trolley-ku tanpa
mempedulikan si pemuda Cina yang terlihat bingung. Sekedar informasi, ia masih
berjalan di sebelahku.
ā
Ngomong-ngomong kau mau kemana?ā
Hampir saja aku
mendapatkan taksi. Namun begitu aku ingin meraih pintunya, seorang ibu muda
mendekat bersama dua orang putra kembar yang nampak rewel. Ia tersenyum ramah,
membuatku iba dan akhirnya mengalah. Aku pemuda baik-baik, aku dibesarkan untuk
menghargai orang lain, dan aku tahu betul apa yang harus kulakukan. Jadi aku
membiarkan ibu itu dan kedua anak kembarnya menaiki taksiku.
Karena belum ada
taksi yang kosong aku menoleh kepada pemuda cina yang pertanyaannya belum
sempat kujawab. Ia sedang menatap layar ponselnya dan tak lama setelah itu ia
mendesah kemudian berkacak pinggang.
ā Aku mau ke asrama
Yonsei. Kau sendiri mau kemana?ā jawabku kemudian melontarkan pertanyaan yang
sama.
Ia mengangguk
ālagi. Matanya yang menyiratkan kesan polos itu menatapku lekat dan tak lama
setelahnya ia terkekeh.
ā Wah..ini
ajaib! Aku bertemu orang dengan tujuan yang sama denganku!ā
ā Benarkah?ā
lagi-lagi ia mengangguk.
****
Sebelumnya aku
tak begitu mempercayai yang namanya kebetulan, namun aku langsung
mempercayainya begitu tahu pemuda cina yang dari tadi mengajakku bicara dan
bersikap seolah aku temannya dari lahir itu juga akan pergi ke asrama Yonsei
dan yang lebih hebatnya lagi adalah ia penghuni kamar nomor 78. Nomor yang sama
dengan nomor kamarku.
ā Peta ini
benar-benar tidak membantu,ā keluhnya sambil mendengus.
Benar. Peta panduan
yang masing-masing kami pegang, benar-benar tidak membantu. Sudah satu jam kami
berkeliling mengikuti arah yang ditunjukkan peta, mamun kami tak juga menemukan
gedung asrama putra. Entah petanya yang tidak berguna atau kemampuan membaca
peta kami yang payah. Aku benar-benar tak tahu.
ā Aku lelah.
Bisa istirahat sebentar?ā
Untung ia setuju
dengan gagasanku dan akhirnya berteduh di bawah pohon besar terdekat. Aku tak
tahu apa yang akan kulakukan setelah ini, aku lelah dan yang ingin kulakukan
sekarang hanya duduk. Berhubung tidak ada kursi atau apapun, akupun duduk di
atas tanah tanpa mempedulikan celanaku kotor.
Sementara aku
duduk, Lay masih belum bosan mengamati petanya. Aku perlu memberinya pujian
atas sikap pantang menyerahnya.
ā Petugas di
depan tadi bilang, asrama tidak jauh dari pos jaga. Tapi kita tak berhasil
menemukannya setelah mencari selama sejam. Kurasa ia mempermainkan kita,ā
keluhku sambil mengorek tanah dengan ranting yang kuambil asal.
Lay hanya
menggumam sambil menganggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak berniat untuk menanggapiku.
Akhirnya kami
tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Aku dengan kegiatan mengorek tanah
yang sebenarnya tak berguna, sementara Lay yang masih serius dengan peta dan
tak lama setelahnya terdengar antusias. Aku bisa mendengar gumaman bercampur
kekehan dari arahnya. Mungkin ia sudah menemukan jalan menuju asrama.
ā Mark, ada
orang! Lihat! Ia mendekat!ā
Aku melirik ke
arahnya, bersitatap dengan matanya yang berbinar. Akhirnya aku berdiri,
kemudian menepuk-nepukkan celanaku yang ditempeli tanah.
Lay kembali
melongokkan kepalanya ke jalan kemudian melambaikan tangannya. Sementara Lay
sedang berusaha untuk mendapat bantuan, aku berjongkok meraih tasku.
ā Nona, bisa
bantu kami sebentar?ā
ā Baiklah, apa
yang kau butuhkan?ā
Setelah
mendengar penuturan Lay, gadis itu meminta kami untuk mengikutinya. Aku sama
sekali tidak mengajukan protes, hanya mengikutinya tanpa memberi pertanyaan.
Berbeda dengan Lay yang terlihat sudah akrab dengan gadis itu. Sepanjang
perjalanan mereka berbincang, dimulai dengan obrolan canggung yang dilanjutkan
dengan perbincangan santai. Kurasa Lay punya keahlian khusus dalam hal
mengakrabkan diri pada orang asing.
ā Ini dia asrama
kalian,ā ucap gadis itu begitu berhenti di depan sebuah gedung bertingkat enam
di depan kami.
āAkhirnya.ā
Itulah satu-satunya kata yang terlontar dari mulutku setelah perjalanan
melelahkan sampai ke asrama ini.
ā Terimakasih
banyak Hara. Kalau kau tidak ada, aku dan Mark pasti masih berdiri di bawah
pohon tadi.ā
Gadis itu
mengangguk, kali ini diikuti senyum ramah yang menurutku lumayan menarik untuk dipandangi
lama-lama. Tapi nyatanya aku tak seberani itu. Saat matanya bersitatap
denganku, aku langsung mengalihkan pandanganku. Sekedar informasi saja, gadis
itu bukan tipe gadis manis. Menurutku dia cantik, tapi tidak manis.
Lay dan Hara
kembali berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak terlalu
mendengarkan, lagipula aku bukan tipe orang yang bisa berbasa-basi. Dan kurasa
mereka berdua tidak mengharapkan aku bergabung dalam perbincangan mereka.
ā Mungkin aku
akan sering menghubungimu untuk menanyakan
banyak hal.ā
Setelah itu
terdengar suara kekehan Hara. Mataku beralih menatapnya, mengamati tawa
canggung yang sedang ia perlihatkan. Nampaknya ia juga bukan orang yang mampu
berbasa-basi. Lihat saja ekspresi ramah yang terlihat dipaksakan miliknya itu.
ā Tidak masalah.
Kau bisa menghubungiku kapan saja.ā Ia kembali menyimpulkan senyum terpaksanya.
Aku terus
mengamatinya dan menyadari bahwa gadis itu benar-benar menarik. Ia bukan orang
yang sangat ramah, tapi ia juga bukan gadis menyebalkan yang suka jual mahal.
Seperti halnya ia tidak terlihat manis, namun ia cantik.
ā Baiklah kami
masuk dulu.ā Lay menoleh ke arahku.
ā Ayo Mark,ā
serunya.
Sebelum
benar-benar pergi, Lay menoleh ke arah Hara kemudian tersenyum. ā Sekali lagi
terimakasih.ā Pemuda itu pun berlalu, menyeret kopernya dengan susah payah melewati
undakan menuju pintu utama.
Aku melangkah
lambat, tiba-tiba tak ingin masuk ke dalam. Aku menoleh ke belakang, menatap
Hara yang mulai menjauh. Aku hendak berbalik kembali dan segera masuk ke kamar,
karena sepertinya aku tak begitu yakin dengan ide yang tiba-tiba terlintas di
kepalaku. Namun kuurungkan. Sepertinya aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika
tidak menjalankan ide ini.
ā Hara!ā
Suaraku cukup
kencang untuk membuatnya berbalik dan menatapku dengan heran. Ia terlihat
berbeda sekarang, wajahnya kelihatan serius tanpa senyum dipaksakan untuk
menciptakan kesan ramah. Sudah kubilang, gadis ini menarik.
ā Aku akan
meminta nomormu dari Lay, kau tidak keberatankan?ā ia menatapku dengan penuh
pertimbangan, seolah tengah mempertimbangkan apakah aku pantas atau tidak untuk
memiliki nomor ponselnya.
ā Kalau kau
keberatan aku tidak akan melakukannnya,ā ucapku lagi.
ā Terserah saja.
Jangan menelepon malam hari, kemungkinan besar tidak akan kujawab.ā
Saat kubilang ia
menarik, itu tandanya ia memang menarik. Intuisiku tidak pernah salah. Lihat
saja. Kukira ia akan menolak dan pergi begitu saja, namun tidak. Ia masih
berdiri di tempatnya. Masih menatapku, mempertimbangkan sesuatu yang tidak akan
kutahu karena kurasa ia tidak akan mengatakan apapun.
ā Namaku Mark.ā
Kedua alisnya
yang cukup tebal bertemu di tengah. Ia nampak bingung. Ia menatapku cukup lama
sebelum memutar bola matanya. Kurasa ia tidak melakukan hal seperti itu selama
bicara dengan Lay.
ā Aku sudah
tahu.ā
****
Sudah satu
setengah tahun berlalu dan hal-hal tak terduga terus terjadi. Hidup itu penuh
kejutan dan hal-hal tak terduga tidak akan pernah berhenti berdatangan. Dan
beberapa hal tak terduga yang sampai sekarang tak kulupakan adalah aku berteman
baik dengan Lay, menjadi karibnya, menjadi teman susah dan senangnya. Aku
benar-benar tak menyangka hal itu bisa terjadi.
Aku sekamar
dengannya. Mulai hafal semua sifat dan kebiasaannya, begitupun ia terhadapku.
Kami menghabiskan waktu bersama, bahkan saat hari libur kamipun sering
menghabiskannya bersama. Terlalu sering bersama dengannya membuat beberapa
orang berpikir kami pasangan kekasih. Namun itu salah besar. Aku menyukai
perempuan, begitupun dengan Lay. Bahkan aku sudah memiliki kekasih, jadi
tuduhan itu tidaklah benar. Sungguh.
ā Kau
benar-benar tidak akan pergi?ā
ā Tidak. Ah Yeon
pasti akan sangat kesal jika aku membatalkan acara hari ini. Dan aku tidak
ingin mendengarnya marah-marah. Aku masih ingin telingaku berfungsi sebagaimana
mestinya,ā jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
Aku sedang
berkirim pesan dengan Ah Yeon. Bahkan tanpa mendengar suaranya, aku sudah
merasa sangat pusing. Ia memintaku untuk tidak terlambat menjemputnya.
ā Baiklah. Aku
akan pergi, dan kau urusi pacar bawelmu itu. Pastikan semuanya berjalan lancar
dan tidak menimbulkan kekacauan sedikitpun.ā
Aku hanya
menggumam sambil lalu. Begitupun dengan Lay. Ia kembali mematut dirinya,
memastikan penampilannya untuk yang kesekian kali.
ā Aku pergi dulu
sobat.ā
Sebelum ia
sampai di ujung ruangan, aku menoleh. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. ā
Hei..katakan padanya aku sangat menyesal!ā teriakku kencang.
Lay itu pelupa,
jadi aku perlu memastikan ia tidak melupakan pesanku. Aku menatapnya, menunggu
reaksinya.
ā Jangan lupa
itu! Katakan padanya aku sangat menyesal!ā
ā Ya. Aku tahu,
aku tidak sepikun itu,ā tanggapnya kesal.
Ia meraih knop
pintu, menariknya tanpa ragu kemudian menghilang di baliknya. Dan aku masih
memandangi kepergiannya sambil menyesali sesuatu. Kurasa seharusnya aku ikut
pergi dengan Lay, tapi aku tidak ingin Ah Yeon kesal padaku. Menangani gadis
yang marah tidaklah mudah. Itu sangat amat merepotkan.
*****
Sebenarnya aku
tidak bisa mengendarai mobil, tapi sekarang ini aku berharap aku mempunyai
mobil hingga tak perlu repot-repot berlari ke sana dan kemari. Masalah
bagaimana cara mengendarai mobilnya aku tidak peduli. Aku bisa menyewa seorang
supir untuk itu. Setidaknya aku tidak akan merasakan dadaku sesak dan pasokan
udara yang masuk seperti tak mencukupi kebutuhanku. Aku bukan seseorang yang
gila olahraga, dan berlari dari rumah Ah Yeon menuju halte itu sangat
melelahkan.
Belum selesai
sampai di situ kegiatan āolahraga malamkuā. Begitu turun dari bus, aku kembali
berlari. Benar-benar berlari dan sempat membuat beberapa orang kesal karena tak
sengaja bertubrukan denganku. Mereka juga semakin kesal karena aku tak
menyempatkan diri untuk meminta maaf atau terlihat menyesal. Aku tahu itu
benar-benar tidak sopan, tapi aku benar-benar tidak sempat. Aku harus cepat.
Napasku memburu
begitu sampai di depan sebuah rumah yang pagarnya sudah terkunci. Rumah itu
kelihatan sangat sepi. Biar bagaimanapun ini sudah jam sembilan lewat tiga
puluh tujuh menit, aku mengerti jika penghuni di dalamnya sedang bersiap-siap
untuk tidur.
Tiba-tiba
kepalaku terasa gatal, namun sialnya aku tak bisa melakukan apapun. Aku tak
bisa menggaruknya. Tangan kananku sedang menggenggam ponselku dan tangan kiriku
sedang memegang kotak kado berukuran 10x10cm.
Setelah napasku
kembali teratur, aku melirik ponselku. Dengan susah payah mengoperasikannya,
membuka layanan buku telepon, lalu menekan sebuah nama di sana. Aku pun
mendekatkan benda tipis itu ke telinga.
Tidak dijawab. Aku mendecak
pelan. Menatap layar ponselku dengan kesal. Baiklah, akan kucoba lagi. Aku
mencoba lagi, kemudian mencobanya lagi dan seterusnya. Namun sama seperti
sebelumnya, tidak mendapat jawaban. Ini benar-benar mengesalkan. Aku sudah
berlari, naik-turun bus, menabrak orang tanpa meminta maaf untuk bisa datang ke
tempat ini. Dan apa yang sekarang kudapatkan?
Napasku berembus
panjang. Baik. Aku sudah memutuskan. Aku akan menghubunginya sekali lagi, jika
ia tidak menjawab, persetan dengan niat baikku. Aku bahkan tidak akan
mengajaknya bicara selama beberapa hari ke depan.
Begitu nada
sambung terdengar tak bisa kuelakkan rasa cemas yang menggelayuti tanpa
permisi. Harusnya aku pasrah saja, tapi tidak. Aku mau ia menjawabku. Aku tidak
siap memenuhi sumpahku untuk tidak mengajaknya bicara selama beberapa hari.
Aku nyaris
mengubur harapan, tapi untungnya suara di seberang sana menyapa tanpa
basa-basi. Ia tidak kedengaran bawel seperti Ah Yeon saat marah. Tapi aku tahu
ia marah padaku, makanya aku datang ke rumahnya.
ā Berhenti
membicarakan jam malammu, aku tahu kau belum tidur dan tidak akan bisa tidur,ā
sahutku menanggapi ocehannya tentang jam malam. Aku tak mengerti kenapa para
gadis suka berbohong dengan mengatakan: Ada apa menelepon malam-malam begini?
Aku kan sudah bilang jangan menelepon saat malam, kau mengganggu tidurku tahu!
Cihh..aku tahu
ia belum tidur dan seperti yang kukatakan tadi, ia tidak akan bisa tidur. Ia akan
merasa gelisah sepanjang malam, percaya padaku.
ā Temui aku di
luar, sekarang!ā
Ia hanya
melenguh pelan. Berusaha terdengar jengkel dengan sikapku. Baiklah, aku akui
aku memang sangat menjengkelkan, tapi kurasa ia tidak jengkel dengan
kedatanganku.
ā Di luar
rumahmu, jenius! Keluar sekarang atau kau akan menyesal!ā ucapku mengakhiri
percakapan.
Ia terus
berkelakar dan mengatakan tidak ingin menemuiku. Ia bilang ia tidak peduli
dengan apa yang akan kulakukan, tapi aku yakin ia tetap akan menemuiku. Aku
tahu itu. Jadi aku tidak terkejut begitu
mendengar pintu utama berderit dan sosoknya dengan balutan piyama warna biru
pudar muncul dari sana.
Ia
menghampiriku, membuka pagar rumahnya lalu berdiri tepat di hadapanku. Wajahnya
memajang ekspresi kesal, kedua tangannya terlipat di depan dada, dan matanya
tetap menyimpan misteri yang sama seperti pertama kali aku mengenalnya.
ā Jadi..ā
ā Bagaimanaā¦ā
Ia mendengus
kesal begitu suara kami berbenturan. Dan ia pasti akan lebih kesal lagi karena
aku tak pernah mau mengalah dengan membiarkannya bicara lebih dulu. Aku
tersenyum menang.
ā Bagaimana
acaramu dengan Lay? Kalian pergi ke bioskop, makan malam, lalu apa lagi yang kalian
lakukan?ā
ā Sangat
menyenangkan. Seperti biasa, ia selalu bisa diandalkan. Ia membawaku ke
restoran jepang yang makanannya sangat enak. Kemudian kami nonton film action, sesuai yang kuinginkan. Dan
selanjutnya kami pergi ke sungai Han, menyaksikan aktraksi lampu dan air yang
romantis. Sudah puas?ā
Satu fakta
tentang perempuan yang tak bisa kutampik, mereka sangat suka berpura-pura dan membuat
keadaan semakin rumit. Kukira gadis di hadapanku tidak akan seperti itu, namun
ternyata sama saja. Ia ingin menunjukkan padaku bahwa ada atau tidaknya aku di
acara jalan-jalan untuk merayakan ulang tahunnya sama sekali tidak penting.
Tapi melihatnya yang seperti ini, kurasa sebaliknya. Sepertinya kehadiranku
terlalu penting, kalau tidak ia pasti tidak akan menekankan kata-kata tertentu
saat bicara padaku.
ā Sayang sekali
aku tidak bisa ikut,ā ucapku dengan nada menyesal.
ā Kurasa lebih
baik kau tidak ikut,ā ia menyahut cepat.
Baiklah Lee
hara. Gadis tukang bohong sepertimu nampaknya tak akan mengalah, jadi biar aku
saja yang mengalah.
ā Aku minta maaf Hara. Aku melewatkan ulang tahunmu padahal sudah berjanji untuk merayakannya bersama. Akuā"
ā Mark, kau
tidak perlu minta maaf atau apapun. Baiklah aku lelah, seharian ini aku melakukan
banyak hal jadi aku ingin istirahat.ā Ia berbalik, hendak meraih pintu pagar
dan masuk ke dalam rumah.
ā Aku tahu kau
marah padaku, tapi setidaknya terima hadiah dariku. Kumohon.ā
Akhirnya ia
berbalik, matanya menatapku jengkel. Aku tak bisa melakukan apapun selain
mengulas senyum sambil menggedikkan bahu.
ā Aku tidak
marah. Sok tahu!ā
Tidak marah
katanya? Aku cukup pintar untuk membedakan orang yang sedang marah dengan orang
yang baik-baik saja. Ia pikir aku itu idiot apa? Ckkā¦dasar tukang bohong.
ā Baiklah, aku
tak peduli.ā Aku mengalah. Satu-satunya hal yang perlu dan harus kulakukan,
karena sampai kapanpun ia tetap akan berbohong dan membuat semua usahaku jadi
sia-sia.
Aku menghela
panjang sebelum menatapnya kembali. ā Ini. Hadiah dariku.ā Tak peduli dengan
desisan tidak sukanya, aku menarik tangannya, memaksanya untuk menerima hadiah
dariku.
Ia menatap kotak
itu selama beberapa saat sebelum kembali menatapku. Tanpa melontarkan
pertanyaan ia membuka tutup kotak tersebut.
ā Kau bercanda?ā
Ia menatapku, kali ini benar-benar kesal.
ā Kertas post-it dengan tanda tanganmu? Kau
memintaku keluar hanya untuk memberikan ini padaku?ā
Ia kelihatan
sangat kesal kali ini, ia benar-benar kecewa dengan hadiah yang kuberikan.
Memang terlihat konyol dan kekanakan, tapi ia tidak bertanya apa maksud dari
sepuluh lembar kertas warna-warni yang dibubuhi tanda tanganku itu. Dan jujur
saja akupun kecewa dengan sikapnya.
ā Baiklah Mark.
Biar bagaimanapun terimakasih, kau sudah datang ke sini dan memberiku hadiah
yang sangat menarik ini.ā
ā Selamat
malam.ā Ia berbalik badan. Kali ini tak main-main dengan tindakannya. Ia
melewati pagar rumahnya, lalu mengunci sebelum berjalan menuju pintu masuk.
Sumpah demi
apapun aku sangat kesal. Aku sudah sangat lelah, ia pikir aku sengaja
melewatkan ulang tahunnya? Ia pikir aku senang sementara ia menghabiskan
waktunya bersama Lay? Dan ia pikir aku datang ke rumahnya malam-malam begini
hanya untuk memberikan hadiah yang tak lebih dari sebuah lelucon. Memangnya aku
setolol itu?
ā Selamat ulang
tahun Lee Hara. Maaf baru mengucapkan sekarang.ā
Ia berhenti,
namun tidak berbalik dan menatapku. Mungkin kekesalannya padaku terlalu besar
hingga ia tidak mau menatapku.
ā Aku bisa saja
mengucapkannya melalui sambungan telepon atau pesan, tapi aku memilih untuk
mengucapkannya secara langsung. Makanya aku datang kesini, tapi nampaknya kau
tidak senang dengan itu,ā lanjutku.
Ini tidak
seperti yang kubayangkan. Ini benar-benar melenceng dari yang sudah
kurencanakan. Dan aku merasa sangat kesal karenanya.
ā Sepuluh lembar
kertas itu tak sekonyol yang kau bayangkan. Aku tidak akan berlari ke sini
hanya untuk memberi benda konyol,ā tandasku tanpa menahan amarah yang membuncah
di dalam dadaku. Aku harap ia bisa merasakan rasa kecewaku padanya, aku
benar-benar kecewa padanya.
ā Dengan
lembaran itu kau bisa meminta apapun dariku. Kau hanya perlu menuliskan
keinginanmu kemudian memberikannya padaku. Itu semacam sepuluh kupon istimewa
dariku. Tapi kurasa itu terlalu konyol untukmu, karena sepatu cantik dari Lay
lebih bagus dari hadiahku. Ya, kan?ā
Aku meluapkan
semuanya, bahkan rasa iriku pada Lay. Yah..pemuda itu memang tahu cara
menyenangkan hati orang, tidak sepertiku yang sangat konyol.
ā Baiklah, kurasa
kau perlu beristirahat. Maaf telah membuang waktumu hanya untuk sepuluh lembar
kertas konyol. Selamat malam.ā
Aku langsung
berbalik dan melangkah pergi. Aku benar-benar kesal. Aku tak pernah merasa
benar-benar kecewa seperti saat ini.
Seharusnya malam
ini menjadi malam yang menyenangkan jika saja ia mau memberiku kesempatan untuk
menjelaskan. Tapi apa yang ia lakukan? Ia hanya mengatakan kebohongan, marah
padaku, berbohong lagi, dan akhirnya aku merasa benar-benar konyol.
Masih ingat saat
kubilang banyak hal tak terduga terjadi selama satu setengah tahun belakangan
ini? Ya..salah satu diantaranya adalah aku berteman dengan Lee Hara. Tidak.
Maksudku, aku, Hara, dan Lay. Kami bertiga. Berteman.
Dan hal tak
terduga lainnya adalah aku pacaran dengan Baek Ah Yeon, seorang gadis yang di
awal perkuliahan memperlakukanku dengan sangat ramah, ia mengikutiku kemanapun
aku pergi, dan tak lama setelahnya memintaku untuk jadi pacarnya. Menurutku itu
gila, tapi aku yang lebih gila. Aku mengiyakan permintaannya. Aku kira dengan
begitu aku bisa mengetahui sesuatu yang selama ini tak bisa kuketahui, tapi
nyatanya tidak.
Tak ada sesuatu
yang membuatku senang, atau membuatku merasa keputusanku berpacaran dengan Ah
Yeon tidak sia-sia. Walau terkadang aku merasa Hara tidak senang dengan
hubunganku dan Ah Yeon, tapi kemudian ia akan bertingkah seolah ia sangat
mendukung. Kadang pula aku merasa ia memandangku sebagai seorang laki-laki yang
patut dipertimbangkan, tapi di lain waktu aku merasa ia tidak peduli padaku.
Dan sialnya aku sempat berpikir ia menyukaiku, sempat aku merasa sebenarnya ia
menyukaiku. Namun setelahnya aku dibuat kecewa karena melihatnya bersama Lay.
Aku tidak bisa
melakukan apapun. Aku merasa ia berada di dekatku, tapi saat aku ingin
meraihnya ia menghilang begitu saja. Aku pikir ia menyukaiku, tapi setelah
kupikir sekali lagi, ia juga menyukai Lay. Situasi seperti itu benar-benar
mengesalkan. Seperti kau ingin melangkah, tapi tiba-tiba saja kau kehilangan
alasan untuk melangkah. Ia selalu membuatku bingung.
Ingat ini, aku
tidak akan melakukan apapun selama ia tidak menentukan sikap. Maksudku selama
ia masih bersikap seolah mendekat kemudian menjauh. Ia memang menarik, tapi aku
tidak tertarik untuk menariknya dan membuat pertemananku dengan Lay berantakan.
Aku bisa memastikan Lay menyukai Hara, aku jamin itu. Dan aku tidak ingin bertengkar dengan Lay
karena seseorang yang bahkan tak menunjukkan perasaannya dengan jelas.
Dan selama Hara
tidak menetapkan sikapnya, selama itu juga aku akan tetap berada di tempatku.
Aku akan tetap menjadi sahabatnya, dan akan tetap menjadi pacar Baek Ah Yeon.
~Fin~
Huhuhuā¦Mark murka!! Ayoloā¦.Hara sih,
makanya ditanya dulu jangan marah doang bisanya. Oke..sebelumnya apa kabar
semua?? Kalau aku baik-baik aja.. baiklah.. mungkin buat yang baca ini bertanya-tanya,
sebenernya ff ini ff series atau bukan.
FF ini oneshoot, tpi oneshoot series jadi
bisa lanjut bisa enggak. Ini konsep terbaru yang aku usung. Ini gak kayak
cerita dongeng yah, yang nuntut ending bahagia, sedih dan sebagainya. Ini kaya
curhatan dari Mark, Hara, sama Lay. Rencananya sih ff ini bakal diambil dari
sudut pandang ketiga tokohnya. Jadi kaya yg ini 3 of us ā decision bagiannya
Mark. Mungkin kalau aku mood, aku bakal ngetik yang bagian Hara atau Lay. Tapi kaya
yg aku bilang, ff ini bebas tuntutan. Karena ini oneshoot.
Pokoknya konsep buat 3 of us itu kayak buku
hariannya si 3 tokoh yang kejebak friendzone. Yahā¦pokoknya gitu. Oh ya, dan ff
ini aku persembahin buat Kim Dhira. LayHaraMark, sesuai kemauan dia. Aku gak
tahu ini sesuai harapan dia atau gak, tapi dia terhibur ya*amin*. Oke deh
kawan-kawan sebangsa dan setanah air, makasih yang udah baca.
Thanks,
GSB
Comments
Post a Comment