Let Love Lead part 5



“Jika, jika aku gagal dalam interview nanti. Kau masih mau bertemu denganku?” Langkah kakinya terhenti. Dan saat itu juga, detak jantungku pun ikut berhenti. Aku menahan napas dan menanti jawaban darinya sampai telapak tanganku berkeringat. Tolong, hentikan! Mungkin pertanyaan barusan terdengar konyol di telinganya, tapi—


“Tidak.”


 Aku tercekat.


“A..apa?”


“Tidak mungkin aku menjauhimu hanya karena itu. Lagi pula ini cuma interview, kau pasti bisa.” Ia menyelipkan senyum tipis di akhir kalimatnya. Aku menghela napas lega. Jantungku yang sempat berhenti pun mulai berdetak lagi. Dia benar-benar membuatku kaget


“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Kami pun kembali melangkah beriringan. Aku meliriknya berat hati.


“Jaga-jaga saja.”
“Untuk?”
“Yah… siapa tahu aku tidak bisa? Kalau kau melihat riwayat kegagalan interview-ku, kau pasti mengerti.”


“Riwayat kegagalan interview? Memangnya sudah sebanyak apa kau gagal?” Mino bertanya sambil tertawa.


“Sangat banyak. Sampai rasanya aku sudah tahu hasil interview nanti.” Tiba-tiba saja Mino berhenti (lagi),  membuatku mau tak mau melakukan hal yang sama. Kepalaku tertunduk dalam, malu padanya. Saking malunya, untuk sekadar menghela napas saja aku tidak bisa.


“Kenapa sih kau begini?”
“Aku memang begini.”
“Park Jin Ah, kau tahu? Ucapan itu doa. Harusnya kau bersikap lebih optimis, katakanlah ‘aku pasti bisa’. Bukannya seperti ini.” Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan menatap matanya yang berpendar kecewa. Ia memejam sebentar sebelum membalas tatapanku. “Cobalah berpikir positif  sesekali.”


“Aku selalu mencoba berpikir positif, kok, tapi—“
“Kali ini, berpikir positif saja lagi, siapa tahu Tuhan sengaja membuatmu gagal terus agar bisa bertemu denganku,” potongnya.



**********



Ya.. itu yang Mino katakan. Awalnya aku hanya terkekeh dalam hati, menganggap itu sebagai lelucon. Tapi setelah berada di ruang interview ini, aku mulai berpikir bahwa perkataannya tadi –bisa jadi— benar.


“Jadi dia bilang begitu?” Setengah dari akal sehatku masih menolak untuk percaya.
“Hahaha. Memangnya dia tidak bilang apa-apa padamu?”
“Tidak. Dia cuma menyuruhku berpikir positif,” jawabku sembari menoleh ke arah kaca persegi di tengah pintu. Sejak tadi kepala Mino terus terlihat dari sana, mondar-mandir seperti sedang menunggu operasi. Apa aku semengkhawatirkan itu?


“Kemarin sore dia datang ke rumahku, lalu tanpa mengucapkan salam langsung bilang ‘gadis yang akan kau interview besok adalah kenalan dekatku, jangan bertanya yang aneh-aneh. Dia akan bekerja dengan baik, diriku sendiri jaminannya’, Aku bahkan belum sempat menjawab dan dia langsung pergi.”


“Benarkah?”
“Kau tak percaya padaku?”
“Bukan begitu, tapi aneh saja. Kami itu baru kenal sebentar, mana mungkin dia—“
“Aku juga sampai kaget, kami sudah berteman sejak SMA dan ini pertama kalinya dia mengancamku begitu. Kau pasti spesial sekali, ya?”


“Spesial?”
“Jadi kapan rencananya?”
“Rencana apa?”
“Memangnya apa lagi? Tentu saja menikah!”
“Meni— ya ampun, apa katamu?”
“Aduh, masih saja malu-malu! Heh, aku ini pandai menafsirkan situasi. Kalau Mino sampai berbuat seperti ini pada perempuan, maka sudah pasti kau itu lebih dari sekadar kenalan dekatnya. Ayolah, aku ini teman Mino nomor satu, kau mau main rahasia-rahasia denganku juga?”


“Tidak, kok. Kami baru bertemu dua kal—oke… tiga dengan hari ini.”
“Bertemu di mana? Kenapa baru tiga kali bertemu sudah sedekat ini? Ayo cerita sedikit.” Pria itu memajukan wajahnya dengan semangat. Dan secara alami, kepalaku mundur menjauhinya.


“Apa ini bagian dari interview?”
“Ya..”
“Tapi itu urusan pribadiku.” Akan sangat memalukan jika aku bilang kami kenal dari situs perjodohan online. Dan sepertinya Mino pun sepemikiran denganku. Buktinya, teman nomor satunya saja tidak tahu hal itu. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan hubungan pertemanan mereka bertepuk sebelah tangan? Hanya dengan membayangkan itu, tiba-tiba saja aku merasa iba saat menatap wajah pria ini.


“Tapi aku mau tahu.”
“Kami cuma makan es krim, lalu dia bilang di kantornya ada lowongan kerja. Begitu saja.”
“Lalu apa yang membuat kalian jadi kenalan dekat?”
“Aku hanya menganggapnya sebagai teman. Mungkin teman dan kenalan dekat memiliki arti yang sama,” ujarku tak yakin. Aku mengangkat bahu. Ini situasi interview paling tak biasa yang pernah kualami. Pria di depanku ini, Seunghoon, mengangguk-anggukkan kepalanya tidak puas.


“Sebagai teman sejak SMA, aku ini sangat mengenal Mino. Apa jangan-jangan dia menyukaimu?”
“Iya kah? Secepat ini?”
“Tunggu, apa katamu? Secepat ini? Oh, jadi kalian berdua sudah ada rencana untuk saling suka?” Ia tersenyum penuh arti sambil mengedip-ngedipkan sebelah mata. Dia aneh sekali, demi Tuhan.


“Kapan aku boleh keluar?”
“Kau pikir kau pasti diterima, ya?”
“Mino kan atasanmu dan dia sudah bilang begitu. Jadi harusnya aku memang diterima, kan?”
“Cih…”
“Aku suda menghabiskan waktu hampir satu jam di sini, dan kau tidak menggunakan kesempatan itu untuk menginterviewku sesuai prosedur. Tapi sudahlah, kalau kau tidak menerimaku juga tidak apa-apa. Aku sudah biasa.” Setelah mengatakan itu, aku mengibaskan tangan dan segera berdiri. Pria itu pun ikut berdiri dengan cepat.


“Iya, iya, ampun deh, jangan marah dong! Kau mau Mino mematahkan leherku, ya?”


Seunghoon mengeluarkan lembaran dari laci, lalu membubuhkan stampel dan tanda tangan.


“Ingat ya, bilang saja pada Mino aku menginterviewmu dengan serius.”
“Kau takut padanya? Bukankah tadi kau bilang kau temannya nomor satu?”
“Teman tidak ada artinya jika sudah menyangkut pekerjaan, pria sinting itu tak akan ragu menurunkan jabatanku.” Perkataan yang diucapkan takut-takut itu sukses membuatku tertawa. Aku menerima map darinya dengan senyum lebar.


“Seunghoon-ssi, walaupun menyebalkan ternyata kau lucu juga ya.”
“Hahaha, banyak kok yang bilang begitu. Jadi aku tidak terlalu buruk kan untuk dijadikan teman? Berhubung kau temannya Mino, kau mau jadi temanku juga?”


“Kenapa ‘berhubung kau temannya Mino’? Jadi kalau aku bukan temannya Mino kau tak mau berteman denganku? Entahlah Seunghoon-ssi, lebih baik pertemanan itu terbentuk dengan sendirinya. Kita kan akan bekerja di kantor yang sama, mungkin jika terus-menerus bertemu kita bisa berteman.”


“Sekarang aku mengerti apa yang membuatmu sembilan kali gagal interview.” Seunghoon meletakkan tangannya di dagu. Alisku berjingkat sebelah, sangsi. Tapi mengingat dia lulusan magister sains psikologi Universitas Seoul  dan bidang pekerjaannya ini, kurasa tidak aneh jika dia tahu.


“Kau itu menjadikan semua hal sebagai masalah, belum lagi jawabanmu yang selalu ambigu. Kau terlihat sangat pesimis. Kenapa kau harus menyelipkan kata ‘mungkin’ di hampir seluruh kalimatmu? Perusahaan-perusahaan membutuhkan karyawan yang percaya diri.” Seunghoon menghela napas, memberi sedikit jeda pada kalimatnya yang panjang, lantas kembali menatapku. “Selebihnya kau sempurna Park Jin Ah, aku tak mengerti apa yang membuatmu setakut itu saat bicara. Ini cuma interview kerja, kau tidak salah apa-apa, kau tidak sedang ditangkap di kantor polisi, kau tak perlu menunduk dan terlihat habis mencuri.”


Selama Seunghoon bicara, bayangan interview sebelumnya bermunculan di kepala. Kurasa dia memang benar. Bukan hanya soal interview, lebih dari itu, dia baru saja mendikte hidupku secara keseluruhan. Aku benar-benar memiliki krisis kepercayaan diri. Aku bahkan mengikuti perjodohan online itu pun karena alasan ini. Karena aku tak pernah merasa cukup baik dalam segala hal. Karena aku merasa tak mungkin ada pria yang bisa jatuh cinta padaku dengan sendirinya.


“Semoga rasa percaya dirimu bisa meningkat selama bekerja di sini,” tutup Seunghoon. Ia tidak tersenyum bodoh atau bertingkah hiperaktif seperti yang sudah-sudah. Akhirnya, sisi serius dari Seunghoon terlihat juga. Perlahan aku mengangguk, membalas senyum ramah Seunghoon dengan senyum simpul.


“Terima kasih banyak Seunghoon~a.”
“Itu bukan apa-apa.”
“Itu sangat apa-apa, rasanya seperti mendapat tamparan manis. Kita mungkin sebaiknya berte—“
“Kau mulai lagi dengan ‘mungkin’.”
“Ah, benar, maksudku, kita sebaiknya berteman.”
“Nah, begitu lebih baik.”



**********



Setetes cat berwarna biru marine jatuh tepat di keningku. Aku melenguh pelan, namun tetap tak menghentikan pergerakan tuas kayu yang kubuat naik turun di dinding.


“Sebenarnya kenapa, huh?” aku menoleh tanpa menurunkan tempo naik-turun tuas itu. L.Joe tengah bersedekap, menyenderkan sisi kanan tubuhnya di tembok yang belum tersentuh cat sambil menatapku tak senang.


“Kenapa apa?”
“Ada banyak pekerja di sini, kau tak harus melakukannya. Kau tak lihat dinding restoranku jadi berantakan?”


“Yakin kau hanya memedulikan dindingnya?” Aku tertawa kecil dan melemparkan senyum penuh arti padanya. Dia mengkhawatirkanku. Itu fakta. Walaupun sejak tadi ia mengaku sibuk mengawasi pekerja di lantai dua, aku tahu sebenarnya pria itu malah mengamatiku dari sana, dari balik tralis besi di lantai dua. Cih, dia pikir aku tak sadar, ya? Semua bayangannya terpantul pada kaca di sebelahku. Semuanya. Termasuk bagian di mana dia tersenyum bodoh dan tak bergerak hampir sepuluh menit penuh. Jujur saja, melihatnya begitu aku jadi terharu. Aku sememukau itu, ya? Karena dia memerhatikanku terus, aku jadi menunda-nunda waktu istirahat dan semakin semangat bekerja.


“Yah, oke, aku memedulikanmu juga. Lihat keningmu, rambutmu. Cih, aku masih tak mengerti apa yang motivasimu bekerja sekeras ini.”


“Ampun, kau masih tanya? Tentu saja karena ingin dekat denganmu,” balasku tak tahu malu, lengkap dengan ekspresi manja dibuat-buat. L.Joe langsung mendengus.


“Kalau ingin dekat denganku, bukankah seharusnya kau berada di sisiku terus? Temani aku mengawasi pekerja-pekerja di sini, bukan malah ikut mengecat, bodoh!”


“Aku bertaruh seumur hidup kau pasti belum pernah mengecat. Aku selalu mengecat kamarku sendiri.”
“Lalu? Kenapa kau berpikir aku harus mengetahu hal itu? Apa hubungan kita sudah ditahap ‘aku harus tahu siapa yang mengecat kamarmu’?” Aku benar-benar kehabisan akal. Rasanya aku ingin mengecat mukanya saja. Playboy sial itu menghela napas sambil memutar matanya, “kalau begitu, aku harus memberitahumu juga, kan? Well, maaf saja, aku tak menggunakan cat. Kamarku menggunakan wallpaper, dan tak penting bagiku untuk tahu siapa yang menempelnya.”


“TUKANG PAMER!”
“Pamer? Bagian mananya yang bisa dipamerkan?”
“Kau sedang pamer karena menggunakan wallpaper.”
“Apa wallpaper kamar saja sudah membuatmu tertekan? Aku tak percaya standar hidup kita ternyata berbeda sekali.” Terdengar suara cekikikan dari beberapa pekerja yang mendengar obrolan kami. Ini memalukan. Dan topik pembicaraan kami sungguh konyol.


“Ini pegang!” Aku menyodorkan tuas kayu milikku.
“Kau mau menyuruhku mengecat? Tidak, terima kasih.”
“Aku jamin ini seru, kau akan ketagihan.” Aku semakin mendekatkan tuas itu, membuatnya tersudut di dinding dengan ekspresi ngeri dan jijik yang melebur. Astaga~


“Heh, Park Hyo Jin! Jangan main-main dengan itu! Bagaimana kalau rambutku, atau wajahku, atau bajuku terken…… YAH PARK HYO JIN!” Tawaku langsung menyembur. Aku cuma mencolek hidungnya dengan cat basah di dinding, dan dia berteriak sekencang itu dengan ekspresi seterkejut itu. Semua pekerja di dua lantai ini sampai terkejut dan berhenti bekerja karena teriakan sang bos. Ya Tuhan! Aku tertawa terhuyung-huyung melihat playboy yang tengah kelabakan karena setitik cat ini. Hei, kalau kau mau tahu, noda marine itu tak mengurangi pesonamu kok, kau masih tampan, yah… hanya terlihat idiot sedikit, tapi hanya sedikit, sungguh.


“Itu namanya tanda sayang.”


Kukira setelah ini dia akan berlari ke dapur dan menggosok-gosok wajahnya dengan air, lalu menggunakan facial foam, toner, pelembap, krim pagi, krim malam, atau bahkan langsung berlari ke salon untuk facial. Tapi tanpa disangka ia malah mencelupkan sejumput jarinya ke wadah cat.


“Kau mau apa?” tanyaku awas. L.Joe tersenyum, menatapku dengan tatapan manis dibuat-buat.
“Kau cantik sekali, sih. Sini, aku juga mau memberimu tanda sayang.” Cat marine yang kental menetes-netes dari ujung jarinya. Apa tadi aku bilang tatapannya manis? Tidak! Itu mengerikan. Ia melangkah mendekat, dan tentu saja aku mengambil langkah mundur, terus begitu. Sampai punggungku menyentuh tembok dan akhirnya...


“MENJAUH DARIKU!” Aku berlari tanpa kontrol, dan L.Joe sialnya mengejarku sampai tertangkap. Lalu detik selanjutnya, seluruh keningku sudah tertutup cat marine.



**********



Suara heels yang kupukul-pukul di balok pembatas jalan ini mungkin terdengar mengganggu. Pasalnya, semua pasang mata yang lewat selalu memberikan tatapan tak bersahabat ke arahku. Tapi masa bodo, jangan bicara padaku untuk sekarang! Kalau ada yang berani mendekat, demi Tuhan aku akan memukulkan heels-ku kepalanya.


Aku benar-benar kesal. Aku salah melihat jam dan kukira aku sudah terlambat. Tadi, setelah turun dari bus, agar bisa tiba lebih cepat aku berbelok melewati jalan alternatif. Sebuah jalan blok tanpa aspal. Heelsku merekat pada tanah basah. Ya, tanah basah. Saking banyaknya yang menempel, semua tanah-tanah itu sampai menutupi heels bahkan melumuti jemariku juga. Aku berencana membersihkannya di toilet kantor, tapi satpam J’S keparat itu malah melarangku masuk.


Maka di sinilah aku sekarang, berusaha mencongkel tanah dengan ranting dan mengetuk-ngetuknya di pembatas jalan. Aku tak mungkin pulang, rumahku terlalu jauh. Lagi pula aku juga tak memegang kunci.  Jadi sekalipun aku pulang, aku tak akan bisa masuk untuk mengganti heels. Jin Ah sedang interview dan aku tak mau mengganggunya. Lalu Hyo Jin? Rubah betina itu sama sekali tak bisa diandalkan. Menjawab teleponku saja tak mau, apalagi membelikanku heels baru dan mengantarnya ke sini.


“Satpam sial! Sudah kubilang aku akan melepas heelsku di toilet. Kalau seperti ini bagaimana cara membersihkannya?” Aku mengetuk heels berwarna merah itu lebih keras ke pembatas jalan, hingga Krreeekk!


Heelsku patah.


Aku merasa seluruh darahku naik ke kepala. Sebenarnya tanggal berapa ini? Tanggal 13, eh?


Aku menggigit lenganku agar tidak berteriak. Jika aku tidak sedang berada di depan gedung J’S, bukan hanya berteriak, aku pasti sudah melempar heels konyol ini ke siapa pun yang lewat. Tapi sekali lagi aku sedang berada di depan J’S. Aku sudah terlalu sering mempermalukan diri di sini. Dan sebenarnya, duduk di pinggir jalan sambil mengetuk-ngetuk heels di balok pembatas juga bagian dari mempermalukan diri. Ah ya Tuhan. Sekarang bagaimana?



**********



Designer Yu? Apa yang dia lakukan di sana? Aku nyaris menghentikan mobil jika saja akal sehatku tidak datang menampar. Ini gila. Mana mungkin aku sempat berpikir untuk berhenti dan menghampirinya? Memangnya kalau sudah berhenti, aku mau melakukan apa? Mau bilang apa? Aku tak mau dia berpikir macam-macam.


Jadi aku menyimpan rasa penasaranku hingga berhenti di lobi dan menyerahkan kunci pada valet.


“Selamat pagi, Tuan James”
“Ya, pagi,” balasku tanpa bisa tersenyum. Percaya atau tidak, tapi wanita di pinggir jalan tadi benar-benar mengganggu pikiranku, sebenarnya apa yang dia lakukan di sana? Kenapa dia kelihatan mau bunuh diri? Apa yang terjadi?


“Kenapa designer Yu tidak masuk?”
“Sepatunya kotor jadi saya tidak perbolehkan masuk. Sesuai perintah Anda, kebersihan adalah yang paling utama,” ucap satpam di hadapanku bangga.


“APA? YAH! GEDUNG INI MILIKKU! KENAPA JADI KAU YANG MEMUTUSKAN APA SESEORANG BOLEH MASUK ATAU— cih, sudahlah, sekarang lepas sepatumu.” Aku berusaha mengabaikan karyawan lain yang berlalu lalang dengan heran. Sepertinya ini kali pertama seorang James Lee marah-marah di lobi. Tapi sungguh, aku tak bisa menahan diri. Untuk kali ini saja, tolong izinkan aku bersikap seperti ini.


“A-apa? Tapi salah saya... apa?”
“Masih bertanya salah apa?” Aku mendecak takjub. Saat itu, Maria, sekertaris pribadiku berjalan sembari membungkuk.


“Tunggu, Maria.”
“Ya? Ada yang bisa saya bantu James CEO-nim?”
“Suruh semua karyawan melepas sepatunya.”
“Apa?”
“Kau tak baca berita? Sedang ada banjir bandang di Mongolia.” Maria tak berkutik, benar-benar tidak peka.


“Khusus hari ini, selama berada di gedung J’S, aku mau semua karyawanku bekerja tanpa alas kaki sebagai bentuk empati. Mengerti?” Dan Maria masih tak berkutik.


Goodness! Do you understand what I said?” Maria yang terlihat syok itu menganggukkan kepalanya dengan cepat.


Rid off of your heels then!”
“My heels? I have to take off mine too?”


Mata cokelatnya terbelalak tidak terima. Kenapa Maria tidak langsung mengiyakan apa yang kuperintahkan? Aku yakin gadis blasteran Inggris ini mengerti arti ‘rid off’ dengan baik, lalu kenapa dia harus bertanya lagi? Melihat ketidakgesitannya ini, aku jadi berpikir untuk mencari sekertaris baru. Dalam sekejap, bayangan designer Yu pun muncul. Gosh, Seriously James? Park Yu Jin lagi?


“Maria sungguh, lepas heelsmu sekarang dan suruh bagian informasi mengumumkannya! Aku mau saat aku sampai di lantai empat, semua karyawan di sana sudah tanpa alas kaki” ujarku pada Maria yang langsung terlihat pucat.


“Termasuk kau.” Aku berbalik ke arah satpam tadi. “Sekarang lepas sepatumu dan beri tahu orang itu untuk masuk. Katakan dia tak perlu pakai alas kaki,” ujarku sembari menunjuk Yu Jin. Untuk beberapa saat, Maria dan satpam itu hanya bergeming memandangiku. 


“Apa yang kalian tunggu? Astaga! Pergi! Kerjakan apa yang kubilang!”
“Sekarang?” ujar keduanya berbarengan. Aku menghela napas keras.
“Baik, sekarang,” ujar keduanya lagi, kompak melangkah ke arah berlawanan.



**********



“—dan pada tahun 2010 saya lulus dari perguruan tinggi di Jerman, lalu melanjutkan bisnis keluarga selama beberapa tahun. Saya juga sempat bekerja di bank nasional dan—“ pria di depanku masih terus bicara. Menceritakan semua riwayat pendidikan dan pekerjaannya dengan bangga. Aku mencoba memerhatikan, namun pada akhirnya tatapanku akan jatuh pada seseorang jauh di kubikel sana. Dia lucu. Dia menarik. Entahlah, aku mulai gila.


Aku menoleh ke sebelah kanan, ruangan Maria berada tepat di sampingku, hanya dibatasi oleh kaca satu arah. Aku bisa melihatnya sedang sibuk menerima telepon sambil menggosok-gosok kuku jarinya dengan nail buffer.


“—saya selalu menjadi juara kelas sejak masih sekolah dasar. IPK untuk S1 maupun S2 tak pernah kurang dari 3.7. Setelah lulus, sebenarnya banyak perusahaan besar asing yang direkomendasikan, tapi rasa nasonalisme saya—“ Aku menghela napas, pria ini benar-benar senang bicara sepertinya. Harusnya dia jadi orator saja. Aku bahkan tak bisa menangkap apa pun dari dongeng panjangnya itu. Pikiranku bercabang. Apa berkas untuk meeting nanti sore sudah diketik oleh Maria? Apa restoran daging yang kuberikan pada L.Joe bisa dibuka tepat waktu? Apa perusahaan Amerika itu mau dijadikan mitra? Apa Yu Jin diberikan pekerjaan yang berat oleh kepala bagian? Apa Yu Jin bisa menggunakan heels-nya yang kotor itu untuk pulang? Apa Yu Jin akan baik-baik saja? Apa Yu Jin—tunggu! Kenapa semua jadi ‘apa Yu Jin?’


Aku segera memencet tombol putih di meja. Pria di depanku sesaat berhenti bicara, suara Maria yang mengucapkan ‘ada yang bisa saya bantu’ dengan monoton terdengar.


“Kau tahu nomor sepatu desainer Yu?”
“Apa?”
“Kalau tidak tahu segera cari tahu, lalu belikan sepatu baru untuknya?”
“Apa?”
“Kau punya dua puluh menit, Maria.” Aku segera menekan tombol putih itu lagi. Maria jelas sedang mendumel, ia bahkan membanting teleponnya dengan keras. Aku menggelengkan kepala melihat sikap barbarnya itu dari balik kaca dan kembali memerhatikan seorang pria –calon karyawan baruku— yang diam layaknya sedang dipause.


“Oke, saya sudah mendengar semua pengalaman kerja Anda. Seleksi berkas dan interview di sini sangat ketat, Anda pasti memiliki nilai lebih hingga bisa duduk di hadapan saya seperti ini.” Pria itu mengangguk dengan senyum tipis penuh kebanggaan yang terus ia pamerkan.


“Kami memang sedang membutuhkan tambahan karyawan di divisi empat, jadi tentu saja Anda diterima.”


“Terima kasih banyak.” Aku menjabat tangannya sambil tersenyum kecil.
“Oh, Tuan James, saya sangat terpukau dengan kepedulian Anda terhadap bencana banjir bandang Mongolia. Sepertinya J’S adalah satu-satunya perusahaan yang menunjukkan empati sebesar ini.”


“Ya, khusus hari ini, semua karyawan akan bekerja tanpa alas kaki. Selain itu seluruh pemasukan hari ini akan kuberikan sebagai donasi.”


“Itu benar-benar mulia. Saya benar-benar senang bisa diterima di sini.”
“Tentu. Anda hanya perlu mematuhi peraturan di sini, dan pekerjaan Anda akan aman.” Aku mengeluarkan secarik kertas dan membubuhkan tanda tanganku di sana. Lalu memberikan lembar itu padanya.


“Stampel perusahaan dipegang sekertarisku dan dia sedang tidak ada. Tolong tunggu sebentar lagi~”
“Gadis berambut pirang yang tadi duduk di situ?” Ia menoleh ke ruangan kosong milik Maria.
“Ya.”
“Ruangan Anda keren sekali, Anda bisa melihat semuanya sementara orang-orang di luar tidak.”
“Ya, terima kasih.” Aku mulai mengabaikan pria cerewet ini dan fokus memeriksa agenda meeting di layar tablet. Dia berisik sekali. Ya Tuhan.



10 menit kemudian…..



Tok Tok Tok…



Maria membungkuk, lalu berjalan mendekat ke mejaku. Wajahnya yang tertekuk itu jelas menyatakan bahwa ia tidak senang. Gadis ini bahkan sama sekali tak mau repot-repot tersenyum di hadapanku.


“Saya sudah membelikan heels yang Anda minta. Apa saya juga yang harus memberikannya kepada Yu Jin?” ujarnya dengan nada sopan yang dipaksakan.


“Ya,” balasku singkat.
“Apa saya harus memberitahu bahwa ini dari Anda?”
“Kalau kau yang membawakannya, bukankah dia sudah pasti tahu kalau itu dariku?” Gadis itu mengangguk sedikit, tak sepenuhnya berkenan untuk mengiyakan.


“Sebelum memberikan itu pada Yu Jin, tolong stampel surat milik pria ini. Dia resmi diterima di J’S, dan beri tahu di mana mejanya.”


“Baik.” Maria mengangguk. Pria di hadapanku segera berdiri dan membungkuk, lantas mengikuti Maria keluar ruangan.



**********



Suara dengusan keras langsung terdengar begitu mereka keluar dari ruangan James.


“Ikut aku,” ujar Maria. Pria itu mengedikan bahunya dan mengikuti sekertaris CEO tersebut dari belakang.


“Apa yang desainer itu lakukan sampai James—ah!” Maria menekan stampel J’S di atas kertas milik sang pemuda dengan keras, sampai-sampai mejanya bergetar. Sang pemilik kertas berjengit pelan. Ia mengambil kertas di atas meja dengan hati-hati, menghindari Maria yang tak berhenti meracau tentang ‘Park Yu Jin sial’.


“Nama gadis itu Park Yu Jin?” Ia akhirnya bertanya.
“Ya, dan kau duduk persis di sebelah kubikel penyihir itu.”
“Namanya familiar sekali di telingaku. Aku juga kenal seseorang dengan nama yang sama.”
“Apa peduliku? Heh, dengar ya! James sepertinya sedang jatuh cinta dan gara-gara gadis sial itu kita jadi harus berkeliaran tanpa alas kaki seharian. Dasar gila. Kalau kakiku jadi kapalan, memangnya dia mau tanggung jawab?”


“Bukankah ini karena banjir bandang di Mongo—“
“Kau percaya? Berapa umurmu, hah? 18? Aku tak tahu apa kau ini sebenarnya kelewat polos, pura-pura naif atau memang bodoh? “


“Tidakkah kau berpikir James sedang memerhatikan kita sekarang?” Pria itu melirik kaca besar yang memantulkan bayangan mereka.


“Persetan.”



NIT!



Telepon hitam di meja Maria tiba-tiba saja mengeluarkan bunyi panjang. Gadis itu berjengit, ia segera mengangkatnya sambil membelalakkan mata pada pemuda di depan. Jangan-jangan kau benar!


“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
“Setelah memberikan sepatu itu pada Desainer Yu, segera temui aku di ruang rapat. Jangan lupa bawa semua berkasnya. Sudah diprint semua, kan?”


“Sudah. Saya mengerti.”


Gadis itu segera menghela napas sembari meletakkan gagang teleponnya kembali, sementara pria di hadapannya menaikkan alis seolah bertanya ‘ada apa?’.


“Aku yakin dia sudah keluar ruangan. Jadi dia tak akan melihat kita.”
“Lalu?”
“Kau saja yang berikan ini pada Yu Jin!”
“Aku tidak tahu orangnya.”
“Dia di samping mejamu, meja ketiga dari kiri lift. Gadis itu ada di sebelah kanan, kau tanya saja namanya. Berkas rapat untuk sore ini belum aku print.”


“Jadi aku yang...”
“Iya, kau yang berikan! Dan jangan lupa bilang kalau itu dari CEO. Nah, keluar dari ruanganku sana!”





**********



Bentuk empati akibat banjir bandang yang terjadi di Mongolia? Aku cuma bisa terbengong menatap satpam yang menyuruhku masuk tadi. Hari macam apa ini? Kesialan beruntun lalu diakhiri dengan keberuntungan aneh seperti ini? Melihat semua orang bekerja tanpa alas kaki membuatku ingin tertawa. Terutama para karyawati cantik yang berjalan tanpa heels kebanggaan mereka. Kepercayaan diri yang kulihat kemarin-kemarin menghilang begitu saja. Mereka berjalan jinjit atau bahkan menunduk untuk menyamarkan tinggi badan mereka yang sebenarnya. Demi Tuhan ini sungguh menghibur.


Sementara yang lain sebisa mungkin berdiam diri di meja masing-masing, aku malah sengaja berjalan ke sana kemari memamerkan betapa jenjangnya kakiku. Maksudku, *uhuk* 171 cm. Ini momen yang bagus untuk menghapus titel ‘anak baru yang menabrak tiang dua kali’ dari kepala para karyawan di sini. Bagaimana kalau mereka mengubah titelku menjadi ‘desainer grafis berkaki jenjang’? atau ‘desainer yang memukau walau tanpa heels’?.


Aku mengetikkan ‘J’S memiliki cara terkreatif dalam menunjukkan empati’ di jejaring sosial kantor sambil terkikik melihat status karyawan yang lain. Separo dari mereka mengaku tersiksa dengan mengatakan lantainya dingin atau kakinya tertusuk sesuatu. Sementara sisanya memilih mencari muka dengan menyuarakan dukungan dan pujiannya-termasuk aku.


Oh, apa aku belum bilang? J’S memiliki jejaring sosial sendiri. Jejaring sosial ini dibuat khusus untuk karyawan J’S agar kami bisa bersosialisasi satu sama lain. Mengingat betapa luasnya gedung ini, tidak mungkin rasanya jika kami berkenalan satu per satu secara konvensional. Jejaring sosial ini hanya terinstall di komputer milik J’S dan semua meja memiliki satu akun. Ini adalah perusahaan terkeren yang pernah kumasuki. 


Tok tok


Saat itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk kubikku, membuatku refleks mendongak.


“Hai.”


Satu kata sederhana dan jantungku serasa dihantam oleh tiga truk sekaligus. Dia?


“K-kau?”


Kenapa tiba-tiba tenggorokanku tercekat? Kenapa tiba-tiba udara di sekelilingku menghilang? Kenapa mataku tak bisa berkedip? Kenapa Yesung ada di sini? KENAPA DIA TIBA-TIBA ADA DI SINI?


“Kau masih mengingatku?” Pria itu tersenyum, matanya menyipit, tulang pipinya naik dan segalanya masih sama seperti dulu. Masih sesempurna waktu itu. Dia masih hidup? Dia di sini? Dia di depanku? 



**********



Seharian penuh ia mengajakku bicara, mengajakku kembali ke masa-masa indah kami sewaktu SMA. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana, aku masih tak bisa tertawa lepas atau berucap lebih dari tiga kata. Aku masih tak tahu bagaimana caranya bersikap di depan Yesung Kim, mantan pacarku.


Bisakah kusebut mantan? Kami bahkan tak pernah mengucapkan kata perpisahan. Dia hanya tiba-tiba menghilang. Tiba-tiba tak bisa ditelepon, tiba-tiba rumahnya kosong. Dia, tiba-tiba tak ada di mana-mana.


“Kuantar ya,” ucapnya di depan gedung. Ini sudah pukul lima sore dan waktu kerja kami memang sudah habis. Aku menoleh padanya dan tersenyum tipis, lantas menggeleng.


“Memangnya kau masih ingat rumahku?”Lima kata. Ini kemajuan. Walaupun aku mengucapkannya dengan intonasi super pelan, artikulasi tidak jelas dan kepala tertunduk, bicara sepanjang itu padanya tetaplah sebuah kemajuan.


“55F Yeouido-dong, Yeongdeungpo-gu. Rumah ketiga dari lampu jalan, warna dindingnya cokelat muda.” Aku tertegun. Dia masih hapal? Tapi ini sudah lebih dari delapan tahun. Seharusnya ia tidak mengingatnya sedetail itu.


“Yah, kalau kau tak mengganti catnya, seharusnya aku benar.” Aku menggeleng dan tersenyum.
“Kau benar.” Yesung balas tersenyum. Oh tidak, tolong jangan tersenyum. Aku merasa pipi, tangan, kepala, hingga jari kakiku memanas. Bukan hanya memanas, kurasa sebentar lagi tubuhku akan kebakaran. Ya Tuhan, Yesung di sini. Dia kembali. Dia… di sini…. di sampingku….


“Jadi aku boleh mengantarmu pulang, kan?” Aku mengeluarkan heels merah —yang sudah sangat kotor, yang bahkan haknya sendiri sudah patah— dari kantong plastik dan meletakkannya di jalan. Berpikir setidaknya lebih baik begini dari pada pulang tanpa alas kaki.


“Heelsmu kenapa?”
“Ini.. tadi…“
“Jangan pakai itu! Mau kugendong?”
“Hah? Tidak usah.”
“Kalau tidak mau kugendong, kau harus menerima ini.” Tiba-tiba saja Yesung mengambil sebuah kotak dari tasnya. Ia memposisikan diri di hadapanku dan bersimpuh tanpa aba-aba.


“Apa yang kau lakukan?” Aku mencoba menarik tangannya agar pria ini cepat berdiri. Sikapnya membuatku malu dan salah tingkah.


“Ini sepatu baru. Untukmu” Ia mengeluarkan heels hitam dalam kotak itu dan meletakkannya tepat di hadapanku.


“Pakailah!”
“Bagaimana kau bisa membelikan heels untukku? Bagaimana kau tahu kalau heelsku rusak?”
“Memang kakimu tidak dingin, ya? Ayo cepat pakai.”
“Yesung, tapi….”
“Dari mana aku tahu heelsmu rusak? Pentingkah? Intinya aku membelikan ini untukmu. Intinya perasaan kita masih menyatu.” Dia berkata ‘perasaan kita masih menyatu’ sambil berlutut di hadapanku, dengan tatapan serius di sore hari yang indah. Maksudku, yah anggap aku gadis hiperbol tapi ini semua membuatku ingin meledak.


 “…..”


“Yu Jin~a, setelah delapan tahun tidak bertemu, tidakkah menurutmu ini takdir?”



TBC



Ini masih bulan januari kan ya? Aku udah bilang dengan pedenya di part kemaren ‘sampai ketemu di januari 2015’ dan sampe minggu terakhir bulan ini aku belom ngetik apa-apa. T_T ga ngerti ya kenapa gampang bgt ngobral janji sana sini, dan sekarang ujung-ujungnya aku sendiri yang heboh gimana nepatinnya. Hfftt….


Okey… ngomongin part ini! OMO ADA ENCUNG! Hahaha…. Udah aku bilang kan? Ini ajang reunian bias-bias aku, jadi ofc bang jongwoon aka president of salsa’s heart should be here. Dan ya ampun saaaal, Mino-nya mana? Mau ganti kopel jadi jinah-hoon? Nope, itu ada ko Mino lg nungguin interview!! Mereka g begitu complicated jadi scene mereka di ff ini g banyak-banyak….


Terus apa? Hyo Joe? Yah.. yaudah intinya begitu! Besok aku banyakin….


Trus apa lagi? Konflik? Ini lagi baru mau masuk konflik, beberapa part ke depan isinya konflik semua mungkin huhu


Mau bikin series lain tapi g tenang kl Let Love Lead belom kelar, berasa dosa dosa gimana gitu. *alay*


btw udah jam 8 lewat nih, aku ada jadwal ngedate ama Tao, salsanya terpaksa undur diri dulu yah^^



wassalam

Comments

  1. Wah selalu nunggu next part dri lead love.. suka sama ide ceritanya.. tetep semangatt

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih yaw... semangat selalu(ง ^_^)ง

      Delete

Post a Comment

Popular Posts