Fight For The Light
Cast: Kim
Jongin, Kim Minhee (OC), Han Jieun(OC)
Genre: Angst,
Family
Length :
Oneshoot - 3027 words
Selama kebencian itu masih ada, ia akan tetap
tinggal dalam kegelapan
~ Fight For The
Light ~
****
Banyak orang bilang batupun akan hancur jika terus
disirami air, tapi kenapa mengubah persepsi seorang Kim Jongin terasa mustahil?
Nyatanya memang begitu, memang tak semudah
menghancurkan sebuah batu yang disirami air setiap hari. Pemuda berusia
dua puluh lima tahun itu begitu keras kepala. Bukan perkara mudah mempengaruhi
pikirannya.
ā ātapi ia tetap ibumu. Kau masih ingat itu, kan?
Kau bisa ada di dunia ini karena wanita itu telah bersusah payah melahirkanmu.ā
Memang tak mudah mengubah keputusan Jongin, namun
bukan berarti Jieun akan menyerah begitu saja. Ia sudah mengenal Jongin sejak kecil,
ia memahami dengan baik bagaimana Jongin dan egonya, serta bagaimana Jongin
dengan kekerasan hatinya ketika itu berkaitan dengan masalah ibunya. Ia sudah
paham betul bahwa mengubah apa yang ada di dalam kepala Jongin tidaklah mudah,
ia dan Jongin bahkan sering bertengkar karena hal tersebut. Namun mencoba
bukanlah sebuah kesalahan.
****
Kamis minggu lalu dua orang pria bertubuh besar
dengan penampilan garang mendatangi rumahnya. Ia sama sekali tak tahu apa
tujuan mereka. Ia memandang keduanya dengan santai, tak terpengaruh dengan
ekspresi bengis yang diperlihatkan oleh keduanya.
ā Kau yang bernama Kim Jongin?ā
Saat itu ia mengangguk sambil menjawab pelan. Tak
tahu bahwa jawaban sederhana itu membawanya pada pertanyaan lain yang
membuatnya agak kesal.
ā Jadi benar kau Kim Jongin, putra dari Kim Minhee?ā
Ia tak menjawabnya, namun tidak juga menunjukkan
indikasi pembantahan. Ada sesuatu di dalam dadanya yang membuatnya enggan
memberi tanggapan.
ā Katakan saja apa tujuan kalian datang kemari.ā
Kedua orang itu menatapnya serius, kemudian salah
salah satu dari mereka mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat kecil dari saku
celananya. Pria itu mengangsurkan kertas itu padanya. Jongin langsung menerimanya
tanpa banyak berpikir. Semakin cepat ia menerimanya, semakin cepat pula kedua
orang itu enyah dari hadapannya.
ā Ibumu terlilit utang dalam jumlah besar. Ia sudah
kehilangan banyak hartanya untuk menutupi utang yang ia miliki. Kini ia sudah
tidak memiliki apapun lagi, tak ada yang bisa ia berikan kepada bos kami untuk
membayar utangnya,ā ungkap pria yang tadi memberinya kertas.
Lagi. Untuk kesekian kalinya wanita itu membuat
masalah. Apa waktu tak membuatnya berubah? Apa yang wanita itu lakukan selama delapan
tahun belakangan? Berjudi? Menginvestasikan uangnya pada bisnis ilegal,
kemudian menjadi korban penipuan karena semua uangnya dibawa kabur? Ia mendesah
begitu berbagai ingatan yang satu persatu muncul dan memenuhi pikirannya.
ā Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain
menyerahkan dirinya. Membiarkan kami menjualnya dalam pasar perdagangan manusia
di Eropa.ā
Jongin mendengus. Ia tak peduli sebesar apa utang wanita
itu kali ini, yang membuatnya terganggu adalah kenapa wanita itu menyeretnya
dalam masalah ini? Setelah semuanya berakhir, setelah apa yang wanita itu
lakukan padanya. Wanita itu benar-benar menakjubkan.
Dipandanginya kertas dalam genggamannya. Kertas yang
nampak lusuh dan berwarna kecokelatan. Perlahan ada perasaan ngilu yang
mencengkeram dadanya. Ini tidak adil. Ia merasakan sesuatu yang harusnya tak ia
rasakan. Wanita itu telah mencampakkannya. Wanita itu telah membuangnya seperti
barang rongsokan yang tak lagi diinginkan, ralat, wanita itu memang tak pernah
menginginkannya.
****
Delapan tahun
yang lalu..
Anak
haram, begitulah orang-orang menyebutnya. Dalam lingkungan yang begitu
menjunjung tinggi nilai dan norma, keberadaannya dianggap sebagai kutukan.
Semua orang memandangnya dengan mata memicing, mencemooh keberadaannya. Semua
orang membencinya, mereka menjauhinya sebisa mungkin. Kalau bisa mereka pasti
tidak akan menghirup udara yang sama dengannya.
Ia
tak mengerti kenapa orang-orang membencinya hanya karena ia tidak memiliki
seorang ayah. Bukan maunya ia terlahir tanpa ayah. Tidak ada seorangpun di muka
bumi ini yang menginginkan hal tersebut. Pernahkah mereka berpikir bahwa ibunya
juga tak bersalah dalam hal ini? Pernahkah mereka memikirkan perasaan ibunya setiap
kali mereka mencibir sambil memutar bola matanya? Bukan mau ibunya semua ini
terjadi. Bukan mau ibunya jika ia menjadi seorang korban pemerkosaan. Tak ada
yang menginginkan semua ini terjadi. Tak ada, bahkan nenek dan kakeknya yang
memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan menanggung malupun tak
menginginkannya.
Ia
membenci hidupnya karena catatan kelam yang merusak masa lalu, masa sekarang,
dan masa depannya. Ia mencoba untuk tak menghiraukan cibiran dari orang-orang
di sekitarnya, ia menjalani hidupnya seolah matanya buta, telinganya tuli, dan
perasaannya beku. Seiring berjalannya waktu ia mulai terbiasa dengan hal itu,
namun sayangnya semua itu membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang memandang
rendah dirinya.
ā
Kudengar ibunya pulang dengan pria yang berbeda malam ini.ā
ā
Yahā¦ibuku bilang wanita itu pulang bersama seorang pria kaya bermobil mewah.ā
Obrolan
semacam itu sudah menjadi hal lumrah untuk Jongin dengar. Ia sudah terbiasa
mendengar hal-hal buruk mengenai ibunya. Ia dimusuhi semua orang karena tingkah
laku ibunya. Lucu sekali bukan? Karena hal itu ia pun membenci ibunya sama
seperti ia membenci hidupnya.
Ia
tak mengerti kenapa ibunya membiarkannya hidup. Padahal wanita itu bisa saja
membunuhnya saat ia masih berada dalam kandungan. Bukankah itu akan jauh lebih
baik?
Namun
pikiran-pikiran itu sirna setiap kali ia menemukan ibunya yang tergeletak di
ruang tamu. Wanita itu kelihatan lelah dan tak sadarkan diri. Dari tubuhnya
menguar bau alkohol yang menyengat. Kebencian itu juga memudar saat ia tak
sengaja menemukan ibunya menangis melalui pintu kamarnya yang tak tertutup
rapat. Ia pikir ia hanya akan memperburuk segalanya jika ia terus menghakimi
ibunya, menyalahkan semua yang telah terjadi pada wanita itu.
ā
Kau akan pergi lagi?ā
Itulah
yang akan ia tanyakan setiap kali wanita itu keluar dari kamarnya lengkap
dengan baju pesta serta riasan wajah yang mencolok.
ā
Urus saja urusanmu sendiri. Jangan pedulikan aku seolah aku akan peduli
padamu.ā
Dan
itulah yang akan ibunya katakan. Selalu hal yang sama, dan sialnya masih
menyisakan efek menyesakkan yang sama. Ia tak mengerti kenapa ia harus merasa
demikian. Bukankah sudah jelas bahwa kehadirannya hanya menjadi momok memalukan
bagi ibunya? Lalu kenapa ia terus berharap ibunya akan berubah?
Kenapa?
Bahkan ibunya bukanlah manusia yang baik. Wanita itu benar-benar pembuat
masalah. Tak jarang orang-orang asing mendatangi rumahnya hanya untuk memaki,
menjambak rambut ibunya, dan menagih utang. Kasusnya berbagai macam, mulai dari
seorang istri yang murka karena suaminya ābermainā dengan ibunya sampai penagih
utang yang mengamuk karena ibunya tak juga melunasi utangnya.
Ibunya
bukanlah orang baik-baik dan Jongin mengetahui hal itu. Namun entah apa yang
mendorongnya untuk menarik lengan ibunya pada malam itu. Wanita itu ingin
pergi, kabur bersama seorang pria kaya yang istrinya sempat datang ke rumah.
ā
Pria itu sudah memiliki istri. Apa kau gila?ā
Suaranya
menggema, membangkitkan kemarahan ibunya. Wanita itu menatapnya. Tak lama
berselang suara decakkan terdengar. Wanita itu mendengus kemudian memiringkan
kepala.
ā
Ya, aku memang sudah gila! Aku sudah gila semenjak aku membiarkanmu hidup!ā
Cengkeraman
Jongin mengendur setelah itu. Kekuatannya menguap begitu suara tajam itu
terlontar.
ā
Kau adalah kesalahan terbesar dalam hidupku! Aku tak bisa menikah dengan pria
manapun karena dirimu! Aku dihina, diasingkan, dan diperlakukan seperti sampah!
Kau tahu kenapa? Itu semua karenamu!ā
Malam
pada musim gugur delapan tahun yang lalu itu menyisakan luka yang hingga
kapanpun tak dapat mengering. Luka itu terlalu dalam hingga Jongin tak yakin waktu
mampu menyembuhkannya.
ā
Kenapa? Kenapa harus aku? Aku tak bisa menikmati hidupku, aku tak bisa
menjalani hidupku dengan layak hanya karena anak sepertimu! Seharusnya aku
langsung menghilang saat tahu aku tengah mengandung. Seharusnya aku
mengasingkan diri dan membunuhmu! Tapi sial! Han Jinwoo si pendeta sok suci itu
malah membawaku ke panti! Orang-orang di sana membuaiku, membuatku lupa akan
tujuanku untuk membunuhmu!ā
Jongin
mundur beberapa langkah. Ia menggeleng beberapa kali, menyadarkan dirinya yang
hampir tenggelam bersama kenyataan pahit yang didengarnya. Saat itu ia hanya
seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Tidakkah pernyataan ibunya terlalu
menyakitkan? Pandangannya memburam, mulai tak jelas begitu cairan hangat
mendesak keluar.
ā
Kalau bukan karena Han Jinwoo yang bolak-balik memastikan keadaanmu setiap
bulan, aku pasti sudah membunuhmu.ā
Setelah
beberapa saat menundukkan kepalanya, Jongin akhirnya memberanikan diri untuk
menatap ibunya. Menatap wanita yang begitu membenci keberadaannya.
ā
Aku tak pernah meminta apapun darimu, tapi kali ini aku mohon padamu untuk
membiarkanku pergi. Biarkan aku bahagia. Hidupku tidak akan bahagia selama ada
kau di dalamnya.ā
****
Setelah penampilannya usai, Jongin memasukkan
gitarnya ke dalam tas. Ia lantas melambaikan tangan pada rekan-rekannya yang
masih sibuk berbincang. Sudah tiga tahun ia bekerja di kafe itu. Ia bekerja
sebagai salah satu personil band yang
tiap malamnya menghibur para pengunjung di kafe tersebut.
Setelah sampai di luar, Jieun menghalangi jalannya.
Ia mendesah lelah, kemudian meninggalkan gadis itu di belakang. Ia terus
berjalan, melangkah seolah ia tak menginginkan gadis itu. Yah..seolah, karena
sesungguhnya ia amat menginginkannya. Gadis itu, seseorang yang membuatnya
berpikir bahwa Tuhan tidak sejahat itu padanya. Gadis yang membuatnya mau
tersenyum dan sedikit melihat kebaikan dalam hidup. Gadis itu tak sempurna,
namun tetap saja terlalu baik untuknya. Tidak..orang seperti dirinya tidak
pantas bersanding dengan siapapun.
ā Jadi kau masih berkeras tak mau menolong ibumu?ā
Jieun mendesah sambil membenarkan letak tas
selempangnya. Jongin tak menjawab, entah karena suara bising dari kesibukan
lalu lintas atau karena pria itu tak mau menjawabnya. Iapun memutuskan untuk
menyimpan pertanyaannya.
Begitu mereka sampai di depan rumah Jongin, Jieun
menarik napas dalam. Bersiap untuk melontarkan pertanyaannya. Namun belum
sempat semuanya terucap, Jongin berbalik menghadapnya.
ā Pulanglah, sudah malam.ā
Jongin menatap ke jalanan lengang di samping
kanannya. Jalan menuju rumah Jieun. Setelahnya ia beranjak, mengabaikan Jieun
dan membuka pagar rumahnya.
ā Pengecut! Apa yang delapan tahun ini kau dapatkan?
Apa waktu selama itu tidak mengajarkanmu sesuatu?ā
Langkah Jongin terhenti. Sekejap segalanya menjadi
sulit, bahkan menelan ludahnya saja sulit. Ia mencengkeram pegangan pada
pagarnya. Ia hanya berharap Jieun tak mengungkit sesuatu yang membuatnya tidak
tenang.
ā Hatimu penuh kebencian. Lalu apa bedanya kau
dengan ibumu? Kalian hidup dalam kebencian! Kalian hanya bisa menyalahkan tanpa
berpikir untuk menyudahi omong kosong ini!ā ujar Jieun dengan emosi
meluap-luap.
Spontan Jongin membalikkan tubuhnya, menatap Jieun
yang juga menatapnya. Ia merasa kepalanya pening, seluruh anggota tubuhnya
bergetar. Ia merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan pada malam itu,
malam saat sang ibu meninggalkannya.
ā Tutup mulutmu dan pergilah!ā
Ia berdecak kemudian mengulas senyum mengejek. ā
Omong kosong? Seseorang yang tumbuh dengan gelimangan kasih sayang tidak akan
mengerti betapa omong kosong ini menyiksaku bahkan sejak hari pertama aku
bernapas.ā
ā Putri seorang Han Jinwoo tidak akan mengerti bahwa
kebencian ini terlalu besar. Bahkan membuatku malu untuk menatap pantulan diriku
sendiri. Bisa kau bayangkan betapa mengerikannya itu?ā tutur Jongin.
Ia menggelengkan kepala. ā Kau pasti tidak bisa.ā
ā Aku memang tidak bisa dan kaupun tak pernah membiarkanku
untuk bisa melakukannya. Namun aku tahu bahwa semua ini melukaimu, dan kau
harus menyudahi semua ini. Kau pernah mengatakan padaku, bahwa ibumu kerap kali
hadir dalam mimpimu. Ia bahkan bisa mengusikmu dalam kesunyian malam. Kau tidak
akan bahagia selama kebencian itu mengikatmu. Kebencianmu seperti belenggu yang
akan terus menghantuimu jika kau tak berusaha untuk melepasnya.ā
****
Aku membutuhkan
uang. Hanya itu yang ingin kukatakan padamu. Aku jahat? Ya..itulah aku. Aku
masih wanita yang sama, kuharap kau tidak berharap berlebihan. Aku membutuhkan
uang sebanyak lima juta won. Aku tahu kau pasti terkejut, tapi memang sebesar
itu yang kubutuhkan. Meski kecil kemungkinannya kau akan memberikan uang
sebanyak itu, tapi aku sedikit berharap kau mau melakukannya. Biar bagaimanapun
aku tidak ingin dijual dan menjadi barang koleksi orang-orang putih. Aku tahu
kau pasti enggan, tapi pertimbangkanlah. Pertimbangkan penderitaanku selama ini
karena dirimu, pertimbangkan rasa sakitnya diriku saat melahirkanmu. Meski kau
membenciku, aku tetaplah wanita yang melahirkanmu. Jika kau tidak mau
melakukannya karena merasa jijik, lakukanlah untuk membayar utangmu. Rasa sakit
saat melahirkanmu, penderitaanku selama ini, anggaplah kau membayar semuanya
dengan uang itu.
~Kim Minhee
Ia meremukkan kertas dalam genggamannya hingga
menjadi gumpalan kecil yang kemudian ia lempar ke sudut ruangan. Air mata
mengalir deras tak tertahankan. Detik itu juga Jongin merasa kepalanya pening
bukan main. Kedua tangannya mencengkeram rambutnya erat. Berusaha mengeyahkan
rasa pening di kepalanya.
Napasnya terhela berat, menyiratkan kepiluan yang
terlalu besar untuk ia tangani seorang diri. Ditengadahkan kepalanya, menatap
langit-langit kamarnya. Kemudian dilihatnya gumpalan kecil di sudut ruangan. Cih..apa
yang harus ia lakukan?
****
Beragam pertanyaan terus menyesaki pikirannya. Apa ia
sudah gila? Apa ia benar-benar sadar dengan apa yang ia lakukan? Ia baru saja
mengambil hampir seluruh uang di tabungannya. Apa ia benar-benar akan membantu
wanita itu? Bahkan setelah tahu wanita itu hanya memandangnya tak lebih dari
seseorang yang berutang nyawa?
Meski berulang kali berniat untuk menghentikan ide
gilanya, namun ia tak benar-benar berhenti. Kakinya terus melangkah seolah
lebih tahu kemana ia harus pergi. Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Apa ia benar-benar
berpikir dengan melakukan semua itu kehidupannya akan terlepas dari belenggu
seperti yang Jieun katakan? Ia sendiri tidak yakin, tapi ada hal lain yang
mendorongnya untuk melakukan semua itu. Ia ingin membuktikan bahwa ia berbeda
dengan wanita itu. Ia ingin membuktikan bahwa tidak seburuk itu menjadi anak
haram.
Ia menegaskan pandangannya begitu menemukan sosok
Jieun berada di depan kafe tempatnya bekerja. Ia memang sudah meminta Jieun
untuk menunggunya di sana. Mungkin setelah ini ia tidak akan mampu menemui
gadis itu. Memang pria mana yang masih sanggup menemui gadis yang meminjamkan
uang dengan jumlah besar padanya?
ā Kau sudah siap?ā
Ia hanya mengangguk. Kemudian mengikuti Jieun yang
sudah masuk ke dalam taksi yang sudah dipesannya. Ia masih tidak sepenuhnya
yakin dengan keputusannya, namun sekali lagi, ia tak ingin menghentikannya.
****
Dadanya sesak manakala mobil berhenti, ia telah
sampai di depan sebuah rumah berpagar tinggi yang di depannya dijaga oleh dua
orang penjaga bertubuh besar. Jongin bergeming, tak tahu apakah ia harus keluar
dari mobil atau tidak. Namun sentuhan hangat di tangannya menyadarkannya.
ā Pergilah, selesaikan semuanya.ā
Pandangannya merangkak turun ke arah tangan Jieun
yang tengah mengenggam tangannya. Kemudian ia beralih menatap tas berisi uang
sebesar lima juta won di pangkuannya.
ā Aku akan kembali.ā
Itulah janjinya sebelum meninggalkan Jieun dan
berjalan mendekat ke arah pagar tinggi di depan sana. Kedatangannya disambut
dengan tatapan waspada kedua penjaga.
ā Aku datang untuk melunasi utang Kim Minhee. Aku
putranya.ā
Kedua penjaga itu masih menyimpan kecurigaan
padanya. Jongin tahu dari tatapan mata mereka yang menyangsikan ucapannya.
ā Namaku Kim Jongin, aku membawa uang sebesar lima
juta won. Bolehkah aku masuk?ā
Tepat setelah pernyataannya, kedua penjaga itu membukakan
pagar tinggi di hadapannya. Pemandangan luar biasa menyambutnya. Sebuah rumah
megah lengkap dengan taman luas yang ditumbuhi banyak tanaman cantik. Beberapa
penjaga terlihat mondar-mandir di beberapa lokasi.
ā Aku akan menunjukkanmu jalannya,ā ucap salah satu
dari penjaga yang tadi ia temui di luar.
Ia tak mengatakan apapun saat pria bertubuh besar
itu menuntun jalannya. Ia hanya mengikuti kemana pria itu pergi, dan sesekali
menaruh rasa ingin tahu begitu pria itu berhenti untuk sekedar membisikkan
sesuatu pada temannya yang ia temui di sepanjang perjalanan.
Ia telah memasuki bagian dalam rumah. Benar-benar
rumah yang megah dengan perabotan mahal yang menghiasi tiap sudutnya. Ia
mengalihkan pandangannya begitu penjaga menunjuk pintu jati di depannya.
ā Kebetulan Tuan Shin ada di dalam sana. Kau bisa
langsung menemuinya.ā
Ia melangkah masuk setelah penjaga mendorong pintu
itu. Ia melangkah tak yakin. Ia mempertaruhkan banyak hal untuk sampai di
tempat ini, tak ada yang tahu apakah ia bisa keluar dari sini dalam keadaan
hidup.
ā Lihat siapa yang datang Kim Minhee,ā ucap seorang
pria berjas yang kini menatapnya dengan mengejek. Pria itu duduk di kursi putar
tak jauh dari tempat Jongin berdiri.
Tak jauh dari pria itu, ia melihat ibunya yang kedua
tangannya diikat ke belakang kursi. Wanita itu memandangnya dengan cara yang
sama seperti dulu, benar-benar tidak ada yang berubah.
ā Duduklah anak muda. Jangan setegang itu, aku punya
banyak hal yang ingin dibicarakan denganmu,ā ungkap pria berjas tadi.
Jongin tak menghiraukannya, ia menatap tas dalam
genggamannya. ā Aku datang ke sini hanya untuk menyerahkan uang. Setidaknya aku
harus membalas kebaikan seseorang karena telah melahirkanku.ā Ia maju ke depan,
meletakkan tas itu di atas meja.
ā Kau memberikan uang sebanyak ini untuk seorang
wanita yang telah menelantarkanmu?ā
ā Aku harus melunasi utangku pada wanita itu.ā
Pria berjas itu beranjak dari kursinya, menatap Jongin
dengan heran. ā Kau yakin dengan keputusanmu?ā pria itu bertanya selagi
memeriksa isi tasnya.
ā Aku tidak akan datang jika tak merasa begitu.
Bisakah aku pergi sekarang?ā
Pria itu menatapnya kemudian berpaling menatap
ibunya yang nampak tidak bahagia. ā Baiklah, kau bisa pergi dengan membawa
ibumu.ā
ā Lagipula tak ada gunanya juga aku menyimpannya di
sini,ā tambah pria berjas itu.
****
Jongin tak mengerti apa yang tengah ia rasakan,
segalanya terasa membingungkan hingga ia memutuskan untuk mengunci mulutnya
rapat-rapat. Ia dan ibunya telah keluar dari rumah besar tadi. Sepanjang perjalanan
menuju Gerang, keduanya tak terlibat percakapan, bahkan ibunya tak mengatakan
apapun. Bahkan ucapan terima kasih pun tak terlontar dari bibir tipisnya yang
nampak kering.
Begitu mereka keluar dari pagar rumah itu, Jieun
menyambutnya dengan wajah cemas yang meluntur begitu melihat ibunya.
ā Kau memang manusia yang tahu diri.ā
Jongin memundurkan tubuhnya, mengurungkan niatnya
untuk masuk ke dalam taksi.
ā Setidaknya kau cukup mengerti bagaimana harus
bersikap setelah apa yang kau lakukan pada hidupku. Tapi tenang saja, setelah
ini aku tidak akan mengusik hidupmu lagi.ā
Jongin tak menanggapi. Ia terus menatap ibunya
sebelum akhirnya merogoh saku celananya, mengambil sebuah amplop berisi uang
yang ia ambil dari tabungannya. Ia menarik tangan ibunya, meletakkan amplop itu
di telapak tangannya.
ā Aku sudah melakukan banyak hal untukmu hari ini,
jadi biarkan aku melakukan sesuatu yang kuinginkan. Aku tahu kau pasti akan
sangat membencinya, tapi sekali ini saja.ā
Jongin melangkah maju, memangkas jarak yang
memisahkan ia dengan ibunya. Tanpa ragu ia menarik wanita itu, merengkuhnya
dengan perasaan rindu tak tertahankan.
Tak lama setelah itu ia menjauhkan tubuhnya. ā
Hiduplah dengan baik. Aku tidak akan muncul dan merusak kebahagianmu,ā tuturnya
singkat.
Ia mengalihkan pandangannya begitu air mata mendesak
keluar. Tangannya meraih pintu di depannya, mempersilahkan wanita itu masuk.
Sebelum masuk, wanita itu menatapnya.
ā Pergilah kemanapun yang kau mau,ā ucapnya sebelum
menutup pintunya. Ia kemudian berbicara sebentar kepada pak supir yang nampak
sabar mendengarkanya. Ia memberikan beberapa lembar uang pada pria tua itu,
sebelum akhirnya mobil berjalan menjauh.
Setelah mobil menjauh dan menghilang perlahan,
Jongin sadar ada sesuatu yang terangkat dari hatinya. Belenggu yang selama ini
mengikatnya telah hancur, membebaskan dirinya dari kecemasan tak beralasan yang
selama ini menghantuinya. Kini, ia mulai bisa mencintai dirinya. Kini ia tak
lagi malu dengan siapa dirinya, karena kini ia tahu ia tidaklah seburuk itu. Ia
berhak bermimpi, ia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Ia mengalihkan pandangannya begitu merasakan usapan
di wajahnya. Jieun baru saja menyeka air matanya. ā Terimakasih.ā
Jieun hanya mengangguk sambil mengulas senyum. Gadis
itu benar. Jika ia tak mengakhiri kebencian ini maka selamanya ia tak akan
bahagia, ia akan hidup dalam kegelapan. Dan jika itu terjadi, lalu apa bedanya
ia dengan ibunya?
END
Hmm..sebenernya
aku bingung mau ngisi segmen cuap-cuap kali ini apa.. Ya udah deh itu aja
yah..aku lagi bingung mau ngomongin apaan jdi sekian aja yah.. Makasih yg udah
baca..
Thanks,
GSB
Suka dengan tema story ini.. ditunggu ya story lainnya..hwaiting
ReplyDeletewihh..makasih ya udh suka..
Deleteoke..semangat terus!!^^
Hebat chingu.., cerita nya bagus dan feel nya dapet...
ReplyDeleteDoa jempol deh. ;)
wooahh...makasih jempolnya..
Deletemkasih juga udh baca^^