Let Love Lead part 6




Mataku sejenak berpindah ke arah pintu kamar yang baru dibuka dari luar. Kepala Jin Ah menyembul.


“Kau benar tidak mau makan?” Aku menggeleng.
“Lalu masakanku siapa yang makan?”
“Kalian berdua saja yang habiskan. Aku tidak lapar.”
“Berdua dengan siapa? Hyo Jin belum pulang.”
“Belum pulang juga? Dia kan pergi dari pagi. Ampun, anak itu! Telepon sana!”
“Tak usah, nanti juga pulang sendiri. Ayo dong keluar sebentar! Ada sesuatu yang ingin kukatakan.” Aku menatap Jin Ah bosan, “Ada apa?”

“Ini berita besar. Aku tak mau membicarakannya begitu saja.” Anak ini sok misterius sekali. Aku terus menatapnya sembari menerka-nerka apa yang mau dia katakan. Saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang terbuka dan tertutup cepat. Jin Ah yang berdiri di pintu melengoskan kepalanya ke luar, “Yah! Duduk di meja makan! Aku mau bicara.”


“Siapa bilang aku mau dengar? Badanku pegal, aku habis mengecat restoran super besar. Jika kau menghalangiku untuk tidur, aku bisa mati. Bicaranya dengan Yu Jin eonnie saja sana.” Suara Hyo Jin yang lantang itu diiringi dengan suara pintu kamarnya yang tertutup. Jin Ah segera berteriak dan menghilang dari ambang pintu kamarku tanpa menutupnya terlebih dulu. Aku menghela napas, lalu pada akhirnya memutuskan keluar juga.


Aku duduk di meja makan. Dan di saat yang bersamaan, Hyo Jin digeret dari kamarnya oleh Jin Ah sampai terduduk di hadapanku. Kedua gadis itu tak berhenti meneriaki satu sama lain sebelum akhirnya Jin Ah memenangkan adu mulut ini dan duduk sambil tersenyum lebar.


“Apa yang mau kau bicarakan? Awas saja kalau tidak penting. Aku sangat lelah sampai rasanya tulang-tulangku rontok, tahu tidak rasanya seperti apa?”


“Tentu saja aku tahu. Aku juga menyetrika bajumu setiap hari sampai tulang-tulangku rontok. Lagi pula ini sangat-sangat-sangat penting. Kalian tak akan percaya,” sergah Jin Ah dramatis.


“Tadi kau bilang kau habis mengecat?” tanyaku sembari menyumpit kimchi dan memasukkannya ke mulut. Sedramatis apa pun ucapan Jin Ah, entah mengapa aku lebih tertarik dengan kegiatan yang membuat tulang Hyo Jin rontok. 


“Ya. Aku mengecat dinding restoran sampai tanganku mau putus.” Hyo Jin memukul-mukul lengan atasnya dengan ekspresi payah. Ternyata aku memang tidak salah dengar. Dia mengecat sungguhan! Seseorang tolong tampar aku, jangan bilang rubah betina ini sudah berinisiatif untuk kerja sambilan!


“Kalian mau mendengarku tidak, sih?”
“Kau pasti diterima kerja, kan?” Hyo Jin menyahut tenang, tangannya sempat bergerak untuk mengambil nasi sebelum akhirnya ia tarik kembali. Gadis itu menyandarkan punggung dengan bosan sembari menoleh pada Jin Ah yang sudah terbelalak. “Dari mana kau tahu?”


“Jadi itu benar?” sahutku terkejut. Jin Ah menganggukkan kepalanya antusias.
“Wah! Selamat padamu! Aku tahu cepat atau lambat kau pasti akan mendapat kerja. Seharusnya kau membeli minuman agar kita bisa merayakan ini.”


“Berarti mulai sekarang, karena kalian berdua bekerja, gaji kalian bisa digabung untuk membeli makanan yang lebih layak, kan? Aku mau makan daging setiap hari.” Baru selesai Hyo Jin bicara, telapak tangan Jin Ah sudah melayang di kepalanya. Terdengar bunyi ‘tak’ yang keras. Aku kontan meringis melihatnya.


“YAH EONNIE!”
“Bukannya memberi selamat malah minta yang tidak-tidak. Kau pikir aku langsung jadi presdir?”
“Itu caraku untuk menyelamatimu tahu,” sungut Hyo Jin balik. Saat itu, ponselku berdering, aku menyuruh kedua anak itu untuk diam lalu mengangkat pangilannya. Dari nomor tak dikenal.


“Halo... oh kau, yah tentu saja tidak, kami sedang makan malam... Apa? Mampir? Tidak usah, memangnya mau apa?” Jin Ah dan Hyo Jin saling bertatapan selama beberapa saat sebelum akhirnya mengarahkan tatapan itu padaku.


“Baiklah Yesung, kutunggu… yeah, sampai jumpa”
“YESUNG KATAMU?” Hyo Jin bahkan tak seterkejut ini saat tahu Jin Ah diterima kerja.
“Maksudmu Yesung mantanmu?” sambung gadis di sebelahnya tak kalah antusias. Aku cuma mengangguk canggung sebagai jawaban.


“Dia bilang kebetulan sedang lewat dan mau mampir.”
“Ya ampun, aku tak percaya dia kembali. Kali ini kau tak boleh sampai kehilangan dia lagi.”
“Kau bicara apa, sih?”
“Aku mendukung hubungan kalian 100%.”
“Aku juga.” Jin Ah ikut mengangguk-angguk.
“Cih, kalian bicara begini karena dulu anak itu sering membelikan macam-macam, kan? Dasar!”
“Itu cuma nilai tambah. Intinya dia kan baik padamu,” jawab Jin Ah.
“Sudah berapa tahun dia tidak kemari? Kira-kira dia akan mengenaliku tidak, ya?” Hyo Jin memegang pipinya. “Aku tidak setirus ini saat kita terakhir bertemu. Ah eonnie, apa lebih baik aku sembunyi di kamar saja saat dia datang? Aku takut dia malah terpesona padaku.”


“Kalau kau merasa secantik itu, daftarlah jadi miss Korea, buat dirimu lebih berguna di sini.” Jin Ah melirik gadis itu dengan sinis.


“Mentang-mentang sudah dapat kerja, sekarang berani bilang berguna, ya?”
"Tutup mulutmu! Aku itu yang paling berguna di sini, tahu tidak. Kalau tidak ada aku, kalian berdua tidak makan!!"


"Kita kan bisa pesan makanan di luar."
“Astaga kalian berdua, cukup bertengkarnya! Kenapa semua hal dijadikan bahan ribut, sih? Bikin pusing saja,” omelku, menggebrak meja. Namun dua anak itu sama sekali tak terlihat kaget apalagi terintimidasi. Aku menghela napas sembari menyandarkan punggung di sandaran kursi, setidaknya mereka sudah diam sekarang.


“Yesung oppa pasti akan membawakan kita makanan, kan? Jin Ah Eonnie, bereskan saja ini! Aku tidak selera melihat masakanmu.”


“Iya, selera makanku juga hilang mendengar oppa datang. Yu Jin eonnie, apa wajahnya berubah? Lebih tampan tidak?” Benar-benar diluar dugaan, Jin Ah tidak mengomel mendengar masakannya dicela.


“Tidak tahu. Lihat saja sendiri.” Aku berdiri dan hendak berlalu ke kamar. Namun ketukan di pintu membuat kita bertiga membeku dalam posisi masing-masing.


“Oppa datang ? Wah cepat sekali.”
“Pasti dia bohong saat bilang ‘kebetulan lewat’, aku yakin dia sebenarnya sudah ada di luar saat meneleponmu,” kata Jin Ah dan Hyo Jin bergantian.


“YAH! Yu Jin eonnie, kenapa kau malah diam saja? Cepat buka!! Jangan biarkan dia menunggu lama.” Mereka mendorongku dengan keras.


“Jangan mendorongku! Kalian kan yang lebih antusias, jadi kalian saja yang buka!”



**********



Tepat setelah tanganku menjauh dari pintu, suara peralatan makan yang sempat terdengar berdenting-denting tiba-tiba saja berhenti. Tapi tidak, keheningan itu tidak berlangsung lama. Karena tepat setelah aku berpikir ‘jangan-jangan mereka berubah menjadi batu’, suara ricuh khas Yu Jin dan kedua adiknya itu kembali terdengar. Aku tersenyum kecil. Sepertinya memang tak ada yang berubah dari rumah ini.


Satu menit berlalu, namun pintu di hadapanku belum juga dibuka. Alasan kenapa aku tidak mengetuknya lagi adalah karena aku yakin gadis-gadis itu sudah tahu kalau ada orang di depan rumah mereka. Mungkin mereka sedang memperdebatkan siapa yang harus membuka pintu.


Aku menengok arlojiku. Menit kedua terlewat. Dan suara-suara heboh di dalam berhenti mendadak untuk yang kedua kali. Apa-apaan mereka? Jadi tak ada yang membukakan pintunya? Aku menghela napas tak habis pikir sembari mendekatkan tanganku ke permukaan pintu. Namun,…. Ceklek…… pintu itu terbuka sebelum sempat kuketuk.  


Tanganku yang masih mengepal di dekat pintu kutarik dan kubuka perlahan. “Hai,” sapaku senatural mungkin, tak lupa menyuguhkan senyum terbaik. Ini sudah delapan tahun sejak kami bertemu, bahkan lebih. Aku tak tahu bagaimana caranya agar tidak terlihat terlalu canggung.


“Hai,” koor ketiganya. Gadis-gadis yang membentuk formasi aneh –dengan Yu Jin yang berdiri paling depan— itu pun ikut tersenyum dengan kompak.


"Ini Hyo Jin? Dan ini Jin Ah? Aku benar, kan? Wah, kalian..." Kepalaku menggeleng takjub dengan sendirinya. "..... tumbuh dengan sangat...... baik"


"Bilang saja kita cantik," sahut Hyo Jin yang langsung menerima keplakan dari kedua kakaknya.
"Hahaha, tentu. Itu maksudku." Hyo Jin mengelus kepalanya sambil mengangguk setuju. Sementara dua gadis lain hanya meringis memaksakan senyum.


"Oppa, kau pasti lelah habis berjalan jauh! Ayo masuk" Jin Ah menarik tangan Hyo Jin dan Yu Jin agar menjauh dari pintu. 


"Oppa, bungkusan yang kau bawa itu makanan, kan?" 
"Oppa, kenapa baru datang sekarang? Ke mana saja?"
"Oppa, kudengar kau kuliah di luar negeri, ya? Apa itu benar?"


Suara Hyo Jin dan  Jin Ah yang bersahut-sahutan menemani langkahku menuju meja makan.



**********



Setelah lama bercengkrama sambil makan bibimbap yang kubawakan, aku menoleh pada Yu Jin yang sejak tadi lebih banyak diam, lantas mengajaknya keluar. Menghirup udara malam, kataku. Untungnya kedua adiknya bisa mengerti dan tidak memaksa untuk ikut menghirup-udara-malam bersama kami.


Dan di sinilah kami sekarang, duduk berdampingan di undakan teras. Ditemani dengan derikan jangkrik dan semilir angin yang segar. Juga lampu jalan yang berkedap-kedip persis di depan rumahnya.


“Saat itu kukira aku tak akan kembali ke sini lagi. Jadi kupikir pergi diam-diam adalah keputusan terbaik.”


Aku menarik napas panjang.


"Dan sekarang aku menyesal. Sangat. Aku kembali untuk memperbaiki semuanya."


Setelah mengatakan itu dengan sungguh-sungguh, aku menoleh patah-patah pada perempuan di sebelahku yang terus membisu. Yu Jin masih memandangi tanah dengan raut datar. Rasanya seperti bicara pada angin. Dia tidak meresponku sama sekali.


“Aku masih menganggapmu sebagai rumahku.” Kepalaku menengadah memandang langit. “Sebab sejauh apa pun aku pergi, pada akhirnya aku akan kembali padamu. Aku akan kembali pulang. Ke rumah.”


Percuma aku bicara seperti apa, Yu Jin tetap tak membuka mulut. Baiklah, aku menyerah. Mungkin dia memang sudah tak menginginkanku lagi. Dengan berat hati, aku pun berdiri.


“Kurasa sudah waktunya aku pulang. Kau harus tidur. Sampai jumpa besok pagi,” kataku sembari menyunggingkan senyum tipis, lantas berjalan pelan menuju pagar.


“Yesung.” Gerakan tanganku langsung tertahan, membuat suara pagar yang melengking itu sekejap berhenti. Dia memanggilku?


“Lampu di ujung jalan sedang mati, perhatikan langkahmu,” ujarnya dingin, tapi entah bagaimana malah membuatku hangat. Aku mengangguk mengerti, kemudian melambai pendek dan berlalu. Setelah itu, langkahku terasa sangat ringan. Aku setengah berlari di jalan setapak dengan lebar kurang dari dua meter itu sambil mengencangkan hoodie, dengan senyum yang terus melebar di tiap langkah. Sampai akhirnya aku mulai tak bisa mengontrol diri dan mulai berlari sambil sesekali melompat dan bersorak seperti anak kecil. Tapi demi Tuhan, aku sangat senang. Kau masih menyukaiku, Park Yu Jin. Lega mendengarnya.



**********



Apa semua karyawan baru selalu mengalami ini? Aku mengaduk secangkir kopi di atas meja pantri sambil menahan tangis. Rasanya aku bisa pingsan karena terlalu lelah. Aku harus menyelesaikan laporan yang belum tersentuh sama sekali sebelum jam tiga, tapi karyawan-karyawan di divisi sales & marketing —divisiku— terus saja memberiku perintah yang aneh-aneh. Mereka menyuruhku membeli snack-rendah-kalori-bergizi-tinggi di supermarket, minuman diet, mengisi tinta printer dan terakhir membuat kopi. Padahal kan ada office boy, tapi tetap saja mereka kekeh menyuruh-nyuruhku.


“Ini kopinya, dua sendok gula.” Aku meletakkan satu cangkir di meja Ahri eonnie. Lalu berpindah ke meja-meja di sebelahnya sambil meletakkan minuman pesanan mereka satu per satu. Ada yang berbaik hati mengucapkan terima kasih, tapi ada juga yang malah mendumel menyebutku lelet. Semua ucapan mereka, baik itu ungkapan baik atau buruk, membuat telingaku berdengung sakit. Langkahku semakin tergopoh-gopoh. Aku benar-benar lelah.


Kopi panas terakhir masih berada di atas nampan yang kubawa saat dari arah berlawanan, Ha Ni eonnie dan dua dayang-dayangnya menabrakku, entah sengaja atau tidak. Cangkir itu berguling di pinggir nampan sebelum akhirnya terpecah belah di lantai, sementara cairannya yang panas tumpah mengotori kemeja putihku.


“Ya Tuhan, kau itu! Hati-hati, dong! Hampir saja tanganku kena kopi!” Ha Ni menghardikku dengan keras. Aku meringis sambil menarik kemejaku sedikit ke depan, memeganginya seperti itu agar cairan panasnya tidak melulu menyentuh kulit perutku. Aku menatap ketiga gadis itu tak percaya. Mereka tidak lihat siapa yang lebih dirugikan? Jelas-jelas aku yang tersiram kopi, tapi kenapa malah mereka yang mengomel membabi buta? Aku mendengus dengan napas tertahan, sebelah tanganku mengepal.


“Kenapa? Kok mukamu begitu? Marah, ya? Tidak terima? Mau mengatakan sesuatu padaku?” Ha Ni mendekatkan wajahnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia boleh bersikap sok kuasa pada siapa pun, ya.. siapa pun kecuali Park Jin Ah. Aku menggeram dan menarik rambutnya, membuat gadis itu berteriak kesakitan sebelum akhirnya berlutut meminta amp— “Heh! Kenapa diam saja? Kutanya sekali lagi, kau marah?” Ha Ni mendorong dahiku dengan jari telunjuknya, bersamaan dengan lenyapnya khayalan irasional yang sempat memenuhi kepalaku. Gadis itu menarik wajahnya kembali sambil tertawa puas.


“Heh anak baru, lihat apa yang kau lakukan! Cepat bersihkan lantainya! Dan bajumu itu! Kau mau bekerja di Bank Swasta nomor satu di Korea dengan baju menjijikan itu? Benar-benar tidak sopan! Cepat buka!”


“A..apa?” Tanpa aba-aba, Ha Ni dan dua dayang-dayangnya segera menarik kemejaku ke atas. Aku segera menepis tangan mereka semua dan mundur beberapa langkah. Situasi di divisi sales & marketing siang itu menjadi sangat riuh. Semua karyawan keluar dari mejanya dan mengerubungi kami.


“Kau itu sudah berani menyentuh tanganku ya sekarang? Memangnya siapa sih kau ini? Karena Mino yang merekomendasikanmu di sini, kau pikir kau sangat istimewa? Sudah merasa superior? Bodoh, lalu sekarang mau apa? Kenapa tak membalasku? Ayo jambak aku kalau berani.”  Ha Ni memiringkan kepalanya dengan menantang.


“Kenapa tidak dijambak juga? Maumu apa sih sebenarnya? Ayo cepat menangis saja! Mungkin kalau kau menangis, Mino-mu itu akan datang. Sayang sekali yah kalian beda divisi. Kalau begini kan bos kemarin sore itu jadi tak bisa melindungi anak baru kesayangannya ini.” Gadis itu bersedekap sembari memainkan nada bicaranya. Beberapa orang tertawa. Sebagiannya lagi tak sungkan meledekku habis-habisan.


“Yah! Ada apa ini?” sentak seseorang dari arah pintu. Suara berat milik kepala bagian terdengar sangat menggelegar. Semua karyawan yang berkerubung segera melesat ke meja masing-masing, termasuk Ha Ni. Meninggalkanku di tengah-tengah kekacauan ini.


“Apa-apaan ini?” Masih dengan suaranya yang menggelegar, kepala bagian itu mengulang pertanyaannya padaku. Aku tak sengaja melirik Ha Ni yang langsung menunjukkan tinjunya sambil melotot.


“YAH! PARK JIN AH!”
“Ini salah Saya,” jawabku cepat. “Saya tidak hati-hati dan menjatuhkan cangkirnya. Saya minta maaf.”
“Kau ini! Tolong lebih serius, dong! Ini kan hari pertamamu. Lagi pula untuk apa kau membuat kopi di jam seperti ini? Laporanmu sudah selesai?” 


Aku memejamkan kedua mataku dan menggeleng lemah.


“Cih, benar-benar.” Pria itu menggeleng berlebihan. Ia memandangku dengan geli, kemudian mendecakkan lidahnya dengan ekspresi seolah kebodohanku sudah tak tertolong lagi. “Aku tahu Seunghoon sudah salah menerimamu. Tapi terserah, bukan urusanku. Kembali ke mejamu sana!”



**********



Langkahku terhenti tepat di depan pintu masuk. Restoran milik L.Joe sudah tampak luar biasa memukau hanya dalam dua hari proses finishing. Mengingat banyaknya pekerja yang datang kemarin, semua ini memang bukan hal mustahil.


L.Joe masih melangkah dengan senyum lebar sampai ke tengah ruangan, sebelum akhirnya berbalik dan merentangkan tangannya menghadapku. “Restoran ini sudah siap,” katanya setengah berteriak, dengan senyuman puas yang langsung menular padaku.


“Hebat! Selamat menelan ludahmu sendiri, James Lee.” Pria itu berseru penuh kemenangan. Matanya terus bergerilya ke seluruh penjuru ruangan, sementara senyumnya nampak begitu liar di wajahnya.


“Oh, benar! Hari ini adalah hari spesial.” L.Joe menjentikkan jarinya dan segera menghampiriku. Aku menyambut tangannya yang mengulur itu dan berjalan mengikutinya. “Mau duduk di mana?”


“Di mana saja.”
“Kalau begitu di sini saja.” L.Joe memilih meja terdekat dan menarik kursinya untukku. “Sebenarnya mau apa?”


“Apa lagi? Tentu saja mencicipi semua masakan. Kita harus memilih makanan terbaik untuk dijadikan menu.”
“Apa? Kau mau membuatku gendut, ya?” Pria itu terkekeh kecil, lantas menggeleng sembari mendudukkan diri persis di depanku.


“Kau tak perlu menghabiskannya, hanya mencicip. Kau tahu konsep mencicip, kan?”


Hyo Jin setengah hati mengangguk.


“Aku sudah menyiapkan koki-koki terbaik untuk restoranku. Mereka akan menyajikan beberapa tawaran masakan. Nah, tugas kita adalah menyeleksi mana yang pantas dijadikan menu.”


“Begitu? Tapi apa menurutmu kita tidak membutuhkan lebih banyak orang? Maksudku,…”
“Tidak,” sergah L.Joe.


Tepat setelah L.Joe bilang ‘tidak’, terdengar gemuruh dari pintu kaca restoran. L.Joe yang menghadap pintu masuk langsung terbelalak lebar, lantas menjatuhkan kepalanya di meja sampai terdengar bunyi keras. Aku menggoyangkan bahunya, nyaris bertanya ‘kau kenapa?’ pada anak itu saat tiba-tiba saja…..


“WOOHHH!”


“Seseorang tolong tinju aku! Restoran besar ini benar punya teman kita?”


“L.Joe sialan itu sengaja menyembunyikan ini dari kita, ya?”


“YAH! Jo Jonghwan! Kenapa kau memukulku?”


“Katanya minta ditinju?”



Aku tak tahu suara siapa-siapa saja yang bersahutan. Yang pasti sekumpulan pria yang kulihat saat di kafe Lafrein waktu itu berdatangan dan menyerbu meja kami dengan berisik. Mereka terus bicara, saling menyuruh satu sama lain untuk menyatukan meja —agar rombongan mereka bisa duduk bersama kami— tanpa ada yang mau bergerak. Sementara L.Joe masih belum mengangkat mukanya yang menempel di meja.


“Yah Kim Seokjin! dorong meja yang itu juga! Kita butuh satu meja lagi,” sahut seorang pria bersweter Joyrich seharga ₩156000. Aku menatapnya sembari menerka apa itu sweter original atau cuma tiruan.


“Hey, Joe, kenapa menunduk begitu? Tak senang kami datang?” Pemuda berambut hitam dengan tatapan dan senyum yang lembut menepuk pundak L.Joe sembari duduk di sebelahnya. Pesonanya sangat dahsyat sampai-sampai aku merasa silau. Seolah merasa wajahnya yang seperti anime itu belum cukup memikat, ia juga mengenakan sweter Manuel Ritz pas badan yang harga terakhirnya mencapai ₩249000. Rasanya seperti melihat peragaan busana. Mereka semua memakai knit dan sweter dengan brand fantastis. Sebagai penggila fashion aku merasa seperti mendapat serangan jantung kecil. Semua brand itu membuatku terintimidasi.


“Satu... dua… tiga… geser.”


Aku menoleh ke arah tiga orang di sebelah kanan, mereka tengah sibuk mendorong meja hingga menyatu dengan milik kami. Suara gesekan kaki meja dengan lantai terdengar dominan. Membuat percakapan pria anime di depanku dengan L.Joe —yang masih menempelkan muka di meja— jadi tak terdengar.


Salah satu dari tiga orang itu adalah pria yang dipanggil Kim Seokjin oleh pemuda Joyrich. Kim Seokjin ini ternyata memiliki postur tubuh tinggi dengan rambut cokelat berkilau. Aku nyaris memekik melihat semua rupa anak ini dari jarak dekat. Mereka tampan. Sangat.


“Noona.” Aku menoleh. Pria polos yang dulu menghampiriku saat di Lafrein sudah duduk manis di sebelahku.


“Hei.”
“Masih ingat aku? Jeon Jungkook.”
“Tentu. Aku masih ingat. Kau yang membayar tiramisu dan pancake-ku waktu itu.”
“Benar. Itu aku,” katanya sok. "Omong-omong, kalau kau bosan dengan L.Joe hyung,” pria itu menepuk dadanya sambil memainkan alis, “aku masih di sini. Kau bisa datang kapan saja, oke?” Aku meringis meratapi betapa anehnya teman L.Joe yang satu ini, sebelum akhirnya memaksakan diri untuk tertawa walau dengan napas tertahan.


“YA YA YA CUKUP! Kalian tahu dari mana alamat restoranku?” L.Joe yang sedari tadi diganggu dari berbagai sisi akhirnya menghentikan aksi menempelkan muka di meja dan mulai berteriak.


“Itu tidak penting, yang penting kan kami sudah di sini.” Pria yang menjawab itu mengibaskan tangannya dengan santai, disusul oleh anggukan enam pria yang lain. “Jadi kita mau makan apa sekarang?”


“Hebat sekali! Bagaimana mungkin kalian datang di saat aku sedang ingin menentukan menu?” L.Joe berujar sinis sembari membuka kunci layar ponselnya. Tidak lama setelah itu ia menempelkan layarnya di telinga dan menyuruh para koki di dapur untuk membawakan makanannya.


“Kau ini gadis yang tiga hari lalu bertemu L.Joe di Lafrein, kan?” Tiba-tiba saja pria di sebelah kiri L.Joe bertanya. Ia memiliki rambut hitam legam yang hampir menutupi mata, juga telinga yang ramai dengan tindikan, sekurang-kurangnya ada tiga sampai empat anting di masing-masing telinganya. Aku tersenyum pada pria itu dan mengangguk sebagai jawaban.


“Namanya Park Hyo Jin.” L.Joe memperkenalkan, “dan dia milikku.” sambung anak itu posesif.


Aku dan L.Joe beradu pandang. Dia tersenyum sangat tipis sebelum melemparkan pandangannya ke ujung meja.


“Dan Hyo, seperti yang sudah kau tahu, mereka teman-temanku. Lee Chanhee, Jo Jonghwan dan Kim Myungsoo.” Absennya sembari menunjuk pria-pria di sebelah kanannya satu per satu. Dan ini “Huang Zitao.” Ia memegang pundak pria penuh tindik tadi dengan santai.


“Lalu Baekhyun, Seokjin dan anak kecil di sebelahmu itu... yah, kau sudah kenal, kan? Dia Jungkook.”
"Aku sudah 17 tahun, hyung. Berhentilah menyebutku anak kecil!"
"Kau dengar dia bilang apa? 17 tahun. Ternyata dia bukan cuma anak kecil, dia masih bayi."


Mendengar perkataan L.Joe, semua pria di meja ini menjadi semakin bersemangat menggoda Jungkook yang masih kekeh mengatakan dia bukan anak kecil. Sementara aku cuma bisa terbengong. Barusan L.Joe memperkenalkan ketujuh temannya dengan sangat cepat. Dan yang kuingat hanyalah Jungkook, Seokjin dan Zitao. Siapa nama pria anime dengan senyum lembut itu? Muso? Myusoo? Siapa?


“Aku tak memintamu menghapal semuanya. Dan sejujurnya kau tak perlu. Kau hanya harus mengingat namaku baik-baik.” L.Joe berkata sambil tertawa pendek, seolah-olah habis membaca pikiran.


“Eii, dia takut Hyo Jin pindah haluan? Hahaha.” Pria di sebelah Seokjin tertawa. “Nona Park, dia belum memperkenalkan namaku dengan lengkap. Aku Byun Baekhyun. Margaku Byun,” sambungnya sambil mengulurkan tangan, kelewat semangat hingga menepak wajah Seokjin—entah sengaja atau tidak. Aku menyalaminya sambil menahan tawa.


“Oh? Jadi sekarang kau sudah melepas Seoryang-ku atau bagaimana?” Pria bersweter Joyrich yang duduk jauh di ujung itu bertanya dengan nada mengejek.


“Lihat itu Hyo Jin~a, pria galau di sana namanya Lee Chanhee. Jangan dekat-dekat dengannya, nanti bisa ikut galau.” Baekhyun kembali bersuara. Sebelah tangannya ia letakkan di samping mulut seolah sedang berbisik. Aku benar-benar tak bisa menahan tawa untuk kali ini. Tawa kami semua berbaur bersama-sama. Aku mulai menikmati lelucon ala mereka. Semuanya menyenangkan.


“YAH! Siapa yang kau sebut galau, huh?” seru Chanhee sambil melempar serbet yang tertata rapi ke arah Baekhyun. Baekhyun yang tak mau kalah balas melempar serbetnya ke arah muka Chanhee. Lengkap dengan cacian kekanakan yang terlontar dari masing-masing mulut. Peperangan konyol ini benar-benar intens. Dan lagi-lagi aku tertawa sampai kesulitan bernapas.


“Kalian berdua! Ah! Tidak malu ya dilihat perempuan? Sudah duduk dari ujung ke ujung masih saja ribut. Paling juga Seoryang-nya sedang berkencan dengan pria lain sekarang,” ucap pria anime bernama Myungsoo atau muso –entahlah— dengan gaya keren yang membuat paru-paruku meleleh.


“YAAH!” Chanhee dan Baekhyun berteriak kompak.


Dan saat itulah empat orang pelayan yang masih memakai kemeja bebas datang bersamaan dari masing-masing sisi. Memindahkan sekitar sepuluh lebih piring berisi aneka masakan daging dari meja dorong berwarna perak ke meja makan kami yang panjang.



**********



“Aku tak percaya kau melakukan kesalahan sefatal itu.” Aku benar-benar ingin berteriak di telinganya karena kesal. Namun tentu saja, aku tak sanggup melakukan hal seperti itu, terlebih pada perempuan.


“Maafkan saya.” Maria bersuara di belakangku sambil terus menjaga langkahnya agar tidak tertinggal. Aku berjalan tergesa-gesa dari ruang rapat ke ruanganku di lantai empat.


“Bagaimana bisa kau malah menayangkan slide yang itu? Bagaimana bisa kau seceroboh tadi?” Aku menghentikan langkah dan berbalik badan. Maria yang terus menunduk nyaris saja menabrakku. Untungnya, gadis itu memiliki refleks yang bagus dan langsung berhenti sebelum mengenaiku.


“Saya tak akan mengulanginya lagi, sungguh.”
“Meeting dua minggu yang lalu juga begini. Kau terlambat mencetak materi rapat dan membuat semua tamu penting kita menunggu. Kau tahu, kadang aku merasa kau sudah bosan bekerja untukku,” kataku kecewa. Aku sudah mengandalkannya sebagai sekertaris pribadiku selama bertahun-tahun dan entah kenapa akhir-akhir ini dia sering sekali membuatku naik pitam. Benar-benar mengecewakan.


“Saya—“
“Iya, kau memang tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tapi itu bukan berarti kau boleh bereksperimen dengan kesalahan yang baru.”


There will be no mistake again, I swear.


Aku menggeleng perlahan, “temui kepala bagian dan tanyakan di mana posisimu sekarang.”


“Wait! S-sorry?”


“Kau harus merenungi kesalahanmu dulu selama seseorang mengisi posisimu. Pergilah ke kepala bagian dan bawa barang-barangmu dari ruangan sekertaris.”


“Kau…. memecatku?”
“Kalau kau kupecat, aku tidak akan menyuruhmu menemui kepala bagian....” aku mengambil jeda, menatap tenang mata cokelatnya yang terbelalak tidak terima, “.. aku akan langsung menyuruhmu keluar dari gedung ini,” sambungku dingin.


Aku menyelipkan kedua tanganku ke saku celana dan kembali berbalik badan, melanjutkan langkah menuju pintu lift. Sementara Maria masih terpaku di tempatnya. Mungkin membeku menjadi es karena ucapanku yang terlampau dingin.


Tanganku mengulur menekan tombol lift. Tak harus menunggu lama, pintu tersebut terbuka. Baru saja kakiku maju selangkah, pemandangan tak menyenangkan terlihat dari dalam sana. Park Yu Jin. Dan seorang pria. Si karyawan baru yang menceritakan riwayat hidupnya dengan senyum lebar. Aku berdeham keras, praktis membuat drama romantis antara mereka terhenti. Yu Jin dan siapapun-nama-anak-itu tengah bertatapan intens. Pria itu mengikatkan tali berwarna ungu di tangan Yu Jin seraya menggumamkan sesuatu, entah apa, dengan wajah kelewat cerah yang membuatku gerah. Dehamanku tadi sukses membuat mereka menarik diri satu sama lain dan membungkuk penuh hormat. Aku masuk ke dalam lift dengan wajah dingin. Suasana hangat di antara mereka langsung berubah mencekam.


Tak ada yang bicara selama lift ini merangkak turun dari lantai sembilan. Tunggu, apa yang mereka lakukan di lantai atas? Dari lantai berapa mereka barusan? Rooftop? Aku menggeleng sendiri, menepis usulan itu. Tapi jika benar ke rooftop, apa yang mereka lakukan di sana? Entah bagaimana, aku merasa benar-benar tak nyaman, tegang, marah, dan semuanya. Pintu lift di hadapanku terbuka. Aku memandangi pintu itu tanpa berniat keluar. Dua manusia di belakangku pun ikut membatu melihat sikapku yang aneh ini.


“James CEO-nim? Anda…..” Aku segera melangkah keluar lift, membuat pria itu tak lagi melanjutkan ucapannya.


“Oh…” Aku berbalik tiba-tiba seperti baru teringat sesuatu. Mereka berdua segera menahan kaki dan mulutnya yang sudah kembali mengobrol.


“Yu Jin-ssi, ikut ke ruanganku!”


TBC


Hey semua~:)


Mungkin Maria sama Ha Ni bakalan sering muncul mulai part ini. Jadi, kalo ada yang butuh gambaran wajah mereka……


Maria



Ha Ni

















Well, dua foto di atas cuma gambaran dari aku aja. Kl kalian punya bayangan yang lebih pas ya silahkan... 


Makasih yang udah ngeklik, yang baca, yang komen, sampai ketemu di part selanjutnnya^^ 

Comments

Popular Posts