LOVEL(mess)Y VALENTINE



Main Cast = Song Mino, Song Jin Ah
Minor cast = Kang Seungyoon
Genre = Romance, fluff
Length = Vignette (2084 W)
Author = Salsa


***



“—bayangkan, mereka ke Hongkong hanya untuk merayakan valentine. Astaga, anak itu, maksudku Kang Seungyoon, kalau kita bicara tentang hal-hal romantis, dia memang tak ada duanya” aku menghela napas panjang, lalu melirik Mino yang berbaring di hadapanku. Ia tak bereaksi sama sekali sejak tadi. Apa anak ini bahkan mendengarku?



“heh Song Mino”
“satu jam”
“apanya yang satu jam?”
“lama kau bicara” pria itu menujuk jam yang menggantung di dinding. Aku yang tengah dalam posisi duduk membelakangi jam itu pun segera menoleh.


“tadi kau mulai bicara jam 10 dan sekarang sudah hampir jam 11” Jelas Mino, lantas kembali menyelipkan tangannya ke belakang kepala.


“oke, kuakui aku memang gemar bicara jika di depanmu. Tapi, memangnya kau dengar dari tadi aku bilang apa?”


“Yah… kurasa aku menangkap sebagian”
“sudah bilang ‘kurasa’ lalu mengatakan ‘sebagian’ juga. Kau jelas tak mendengarkan aku” racauku.


“aku dengar” jawabnya santai.
“kalau dengar seharusnya kau menangkap semuanya. Bukankah dari tadi kau memerhatikanku terus?”


“caramu bicara itu aneh, walaupun aku tak tahu apa yang kau bicarakan, aku pasti akan mendengarkannya. Suaramu enak didengar”


“cara bicaraku aneh?” ulangku tinggi. Ini sudah malam, kenapa dia gemar sekali mencari masalah?


“YA! Aku juga bilang suaramu enak didengar tadi. Jangan overacting!”
“sekarang kau menyebutku overacting?”
“Ini sudah malam, kau mau mengajakku ribut lagi?” eh? Sebenarnya siapa yang mengajak ribut siapa?


Aku membuang napas keras dan kembali melayangkan tatapan enggan padanya. Pada manusia tengil yang —hebatnya— bisa membuatku mengangguk begitu saja saat dilamar.


“Diam! aku tidak punya tenaga untuk mengomel malam ini”
“baguslah, aku juga sudah tidak punya tenaga untuk meladenimu malam ini. Ayo tidur saja” pria itu menarik tanganku, namun dengan cepat aku meloloskan diri dan kembali ke posisi semula.


“tunggu dulu! Aku mau tanya”
“Tanya apa?” Mino mulai jengah.
“sebagian ucapanku yang kau dengar itu, apakah kau menangkap sesuatu? Maksudku, jadi menurutmu apa inti ucapanku tadi?” aku menunggu responnya sambil menggigit bibir. Kau harus menangkap ucapanku! Aku sudah bicara satu jam.


“huh? Jadi ucapanmu untuk malam ini ada intinya?”
“keureom”
“intinya…..” dia mengeluarkan ekspresi berpikir yang berlebihan. “semua temanmu tukang pamer?”


“Oh Tuhan! Bagaimana bisa aku menikahimu?” rasanya aku ingin meninju wajah pria ini saja. Aku memeluk kedua kakiku dan menjatuhkan diri, kelewat putus asa menghadapinya.


“wae? Wae? Lebih baik kau bilang apa maumu langsung! Kau tahu kan? aku tak suka tebak-tebakan” Mino bangkit dari posisi tidurnya dan menatapku tak kalah putus asa. Selain keajaiban, aku tak tahu apa yang membuat kami bertahan tinggal seatap selama 92 hari.


“ini malam valentine, Song Mino sayang” tekanku, sembari bangkit tiba-tiba dengan gaya dramatis.


Mino mengangkat sebelah alisnya, “lalu?”


“Astaga! Lalu? Lalu aku ingin merayakannya! Aku iri melihat semua cokelat yang Sojin dapat, manisnya lagu buatan Donghae, atau gadis beruntung yang menikahi Kang Seungyoon itu. Kau tahu? Aku juga sangat menginginkannya” segala pikiran yang bergumul di kepalaku keluar dalam satu tarikan napas, tapi tidak, aku sama sekali tidak merasa lega. Apalagi saat melihat ekspresi pahit Mino saat ini. Sepertinya aku salah bicara.


“jadi hanya karena Seungyoon mengajak istrinya ke Hongkong, kau menyesal menikah denganku? Daebak”


“bukan begitu. Kau ini benar-benar sensitif ya.. Ini bukan masalah menyesal atau tidak. Aku hanya ingin melihat sisi manis darimu, setidaknya sekali setahun. Ya ya ya… aku tahu kita tidak pernah peduli dengan perayaan konyol seperti ini sebelumnya. Tapi entahlah, melihat semua foto Seungyoon membuatku iri hingga nyaris gila. Dia sungguh……”


“Kau mulai lagi dengan Kang Seungyoon” Mino mendecak. Aku hampir saja bilang ‘dia sungguh keren’ namun untungnya anak ini menyelaku duluan. Kalau tidak, bukan tidak mungkin dia akan mengabaikanku seharian besok. Aku langsung merapatkan kedua tanganku di depan dada. “sorry” ringisku pelan, tak lupa menyelipkan senyum.


Setelah itu, tiba-tiba saja Mino meletakkan kedua telapak tangannya di pipiku dan menekannya ke dalam, membuatku terlihat seperti ikan.


“Dengar! Jika aku punya uang, aku juga akan mengajakmu berlibur. Bukan hanya ke Hongkong, aku bisa membawamu ke Pluto. Mengerti?”


Aku mengangguk susah payah.


“lagipula kau menikahi Song Mino. Pria keren di depanmu ini cuma kau saja yang punya. Tak ada yang perlu kau iri-kan lagi. Yang ini mengerti juga?”


Aku kembali mengangguk. Dan akhirnya, pria yang mengaku keren ini melepas tangannya dari pipiku.


“Awwhhh kau benar-benar….” Aku meliriknya sambil menggosok-gosok pipi. “tapi kita harus tetap merayakannya besok”


Mendengar ucapanku, Mino langsung mengeluarkan ringisan keras, senada dengan badan besarnya yang ia jatuhkan begitu saja ke belakang. Membuat ranjang yang kami tempati berguncang pelan. Aku ikut meringis melihat responnya yang seperti itu. Apa susahnya sih menyenangkan istri?


“Song Mino, sekali setahun! Aku tak akan meminta apapun saat anniversary atau—”
“oke oke…. Apa maumu?” potongnya, jelas terpaksa. Namun terserah, aku tetap tersenyum lebar.


“sesuatu yang sederhana”
“seperti?”
“membuat cupcake bersama, mungkin?”



**********



Kami tiba di supermarket ketiga pukul 4 sore. Dan demi Tuhan, aku benar-benar putus asa. Sepertinya tidak akan ada ‘membuat cupcake bersama’ hari ini. Kami baru berangkat dari rumah jam 1 siang. Song Mino sialan menolak untuk beranjak dari ranjangnya pagi-pagi. Dan yang lebih sialan, supermarket di dekat apartemen tidak menjual bahan-bahan yang kami perlukan. Kami berputar-putar di jalanan, keluar-masuk supermarket sampai pukul 4 sore dan hanya mendapat gula pasir. Gila!


Dan aku bersumpah, jika di supermarket ini tidak ada baking powder, cokelat dan bahan-bahan lain, aku akan menghapus kata ‘valentine’ dari memoriku seumur hidup. Sungguh.


“apa kita butuh tepung terigu?” Mino mengangkat sebungkus tepung terigu. Aku mendorong troliku mendekat padanya sambil mengangguk antusias. Baru lima menit dan dia sudah mendapatkan sesuatu. Ini pertanda baik.


“lalu apa lagi?” Tanya Mino setelah memasukkan bungkus itu ke troli. Aku segera mengecek note di ponsel. Namun belum sempat kubaca, Mino sudah terlebih dulu merebutnya.


“apa itu cake emulsifier? Kalau tidak penting tidak usah dibeli” komentarnya. Aku segera merebut ponselku kembali.


“itu pelembut adonan, tentu saja penting! kau cari telur saja sana, sisanya biar aku yang cari”


“cari dalam sepuluh menit! Lalu bertemu disini lagi. Mengerti?”
“10 menit? Kau pikir aku bisa melayang ya? aku harus mencari baking powder, margarine, susu dan yang lain, sedangkan kau cuma harus mencari te—astaga! Lihat anak itu” Mino mengikuti arah telunjukku.


“anak berisik itu?”
“dia bukan orang Korea ya?”


“Thān tæng mo kạn mạ́y kĥāb”


Samar-samar, kami bisa mendengar suara lucu anak laki-laki itu. Dia bersama kedua orang tuanya tengah mencicipi buah semangka yang dipajang di depan konter buah.


“dia orang Thailand, jelas sekali. Itu bahasa Thai”
“dia lucu sekali” aku benar-benar tak bisa melepaskan pandanganku darinya. Apalagi setelah Mino bilang dia orang Thailand, aku langsung membayangkan rupanya saat dewasa nanti. Pasti tidak akan kalah dari Mario Maurer.


“ya.. dan bisakah kita meneruskan mencari bahan cupcake-nya sekarang?”


“Song Mino” aku mengaitkan sebelah tanganku di leher pria setinggi 178cm itu sampai badannya sedikit merendah. “kita harus punya anak yang seperti itu”


“aish… kau mulai lagi!” ia melengoskan kepalanya dari rangkulanku begitu saja. Memandangku frustasi. Namun aku cuma meliriknya sekilas dan kembali tersenyum memerhatikan anak tadi.


“kau ingat anak kembar yang kita lihat saat menunggu laundry?”
“ah, maksudmu Seoeon dan Seojun?” 
“ya.. kau langsung bilang ‘Mino, ayo punya anak seperti mereka’ sampai membuat orang-orang di sekitar kita tertawa. Saat itu kau juga hampir membawa anak itu pulang. Astaga, kau benar-benar membuatku malu”


“Mino, apa menurutmu aku harus mengajak anak ini berkenalan juga?”
“YAH! Kau pasti tak mendengarkan aku”
“aku mendengarnya setengah”
“oh.. kau mau balas dendam karena semalam? Sudahlah, aku mau cari telur”
“kita benar-benar harus punya anak seperti itu, Demi Tuhan”


"Tck… " Mino yang sempat berbalik itu kembali menoleh padaku. Tatapannya terlihat semakin frustasi. "begini ya Song Jin Ah, wajahku seperti ini dan wajahmu seperti itu lalu bagaimana kita bisa menghasilkan anak dengan wajah begitu?” Mino menggerakkan tangannya ke wajahnya, wajahku dan ke arah anak itu secara bergantian.


“tak ada yang tak mungkin di dunia ini”


“ya.. dan jika kau benar-benar melahirkan anak seperti itu, aku yakin semua orang akan menyuruh kita bertiga tes DNA” tandas Mino. Dia benar-benar tak bisa diajak berimajinasi. Aku hanya gemas karena mereka lucu. Jika aku punya anak dan wajahnya terlihat seperti Mino, aku yakin aku tak akan bisa mengalihkan perhatian kemana-mana. Dia pasti akan jauh lebih lucu. Membayangkannya saja membuatku tersenyum.


“berhentilah tersenyum selebar itu! kau terlihat seperti orang bodoh” dan reaksi itulah yang kudapat. Jika  saja ia tahu aku sedang tersenyum karena membayangkan anak kami, heol!



**********



BRAAKKK!


Pintu mobil tertutup bersamaan. Dengan napas tersengal, aku dan Mino kompak menyandarkan punggung. Seluruh persendianku terasa lemas, kukira sebentar lagi aku akan pingsan.


Pukul 8 malam dan kami belum juga sampai di apartemen. Dalam perjalanan pulang setelah membeli bahan-bahan, tiba-tiba saja mobil kami berhenti. Mogok? Tidak. Kehabisan bensin. Aku sudah berteriak menyuruhnya mengisi tangki saat jalan, tapi pria yang kunikahi ini berkepala batu.


DEMI TUHAN BENSINMU TINGGAL 2 STRIP
DEMI TUHAN JUGA SEMUA POM BENSIN PENUH, KAU TAK PERLU BERTERIAK! INI CUKUP


Jadi, akibat kecerobohan Mino itu, kami harus mendorongnya sampai menemukan pom bensin. Dan yah…. saat pom bensin tersebut sudah terlihat, hujan datang tiba-tiba. What a Valentine!


Jika memikirkan apa yang sudah kami lalui sejak kemarin malam, ini semua benar-benar membuatku ingin tertawa. Sepertinya Mino dan aku sama sekali tidak ditakdirkan untuk merayakan valentine. Kami tidak bisa menjadi pasangan manis seperti Seungyoon dan istrinya, kami hanya bisa menjadi pasangan seperti ini.


Tiba-tiba saja, aku tertawa .


“kau kenapa?”


Dan entah kenapa, melihat Mino yang masih terengah-engah itu bertanya malah membuatku semakin ingin tertawa. Terbahak.


“aku tahu kau kecewa karena valentine-mu tidak berjalan sesuai rencana, tapi tolong jangan gila seperti ini! Kau membuatku takut”


“anio anio!” aku berusaha meredakan tawa. “anio Song Mino! Terima kasih”
“untuk?”
“untuk hari ini” aku tersenyum “valentine kita tidak gagal. Valentine kita ya seperti ini… mau bagaimana lagi?”


“maksudmu valentine kita itu artinya saling berteriak sambil mendorong-dorong mobil, begitu?” Mino setengah tertawa. “aku tak akan pernah mengerti apa maumu”


“aku juga tak mengerti. Yang pasti detik ini aku merasa senang” suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap mobil dengan berisik ini bahkan membuatku senang juga. Sepertinya ini adalah mood terbaikku seumur hidup. Semua hal yang tertangkap mataku membuatku senang, termasuk Song Mino yang masih tersenyum tak habis pikir menatap wiper yang bergerak-gerak menyapu air. Sejujurnya dialah yang membuatku paling senang.


“yah… walaupun kau melakukan ini semua dengan terpaksa, tapi aku menghargai usahamu itu. Terima kasih. Ini hadiah valentine paling berkesan di muka bumi” lanjutku lagi. Dan Mino masih tak bereaksi banyak.


Aku bergeser, menumpangkan daguku di bahunya. Entah bagaimana, perasaanku terasa benar-benar damai. Harusnya aku marah-marah kan? Harusnya aku menyalahkan Mino karena bangun siang dan tidak mengisi bensin. Walaupun sejak mendorong mobil aku sudah marah-marah, tetap saja seharusnya itu belum cukup.


Tadinya aku berpikir untuk mengambil foto dari cupcake yang akan kami buat bersama, lalu menguploadnya dan membuat orang lain iri. Aku ingin mendengar komentar-komentar ‘wah… kau  benar-benar beruntung’ atau ‘kalian adalah pasangan serasi’ atau apalah. Sejujurnya aku hanya ingin menunjukkan pada teman-temanku bahwa bukan mereka saja yang bahagia. Bodoh memang. Kenapa aku harus memberitahu orang lain bahwa aku bahagia? Kenapa aku harus membuat mereka iri? Aku tidak menyesal sudah berpikir konyol, setidaknya sekarang aku sadar, esensi dari hari valentine bukanlah itu… yah… tentu saja kebahagiaan. Tapi kebahagiaan semua orang berbeda. Dan tanpa harus dibelikan bunga, cokelat, dibuatkan lagu atau diajak ke Hongkong, aku sudah bahagia. Asalkan pria tengil ini bersamaku, setiap hari adalah hari kasih sayang.


“kau senang? Ini hadiah valentine yang kau inginkan?”


“yah… hampir”


“kalau begitu aku minta hadiahku” aku langsung menarik kepalaku dari bahunya. Dia mau hadiah juga?


“tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu. Aku akan mengambil hadiahku sendiri” Mino mengeluarkan senyum nakal andalannya, lalu menarik pinggangku dengan keras sampai badanku terjegut penyangga tangan.


“bisakah kau pelan-pelan? Selain merusak mobilmu, kau bisa merusak pinggangku juga” aku mengomel, namun Mino malah tersenyum, sesaat sebelum mencondongkan wajah dan meraih bibirku. Dengan suasana semendukung ini, memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Tentu saja aku tak punya pilihan lain selain merespon ciumannya. Aku menyapukan jemariku di rambutnya yang pendek –dengan gerakan perlahan dari atas ke bawah— sebelum memeluk lehernya dan memperdalam ciuman ini, melumatnya seperti tak ada hari esok.


“wow….” Mino menahan daguku tiba-tiba. “aku tak tahu kau bisa jadi seagresif ini” Aku melenguh keberatan. Dia benar-benar perusak momen yang handal.


“kau tak suka?”


“bukan begitu” pria itu berdehem. “tiba-tiba saja aku memikirkan ini,…  kau, kau masih menginginkan bocah Thailand tadi?” wajahku seketika memerah. Tidakkah kita harus mendorong mobil ini sampai pom bensin dulu, menyetir pulang dan baru membicarakan ini di apartemen? Jangan bilang dia….


“Mino! Kita masih di pinggir jalan, jangan stress!“


Tawanya meledak. Sudah kubilang dia perusak momen yang handal, aku segera menarik diri, namun Mino dengan lihai menahannya “ Aku juga tahu kita masih di pinggir jalan, sayang. Kau tak perlu segugup ini. Apa 92 hari bersamaku belum cukup untuk membuatmu terbiasa?” Mino mengedipkan sebelah matanya. Setengah tertawa sebelum mengecup ujung hidungku—yang memerah, karena udara yang dingin, sepertinya—.


“Aku akan menagihnya di rumah kalau begitu”



END


Selamat malam sabtu^o^


Thanks to Kim Dhira, kalau ga ada dia aku ga bakal bikin ini.


 Jadi ceritanya ini fluff gagal, harusnya cuma 5 sampe 6 lembar, eh aku keterusan sampe 9 lembar. Dan sebenernya bukan cuma karena panjangnya aja yang bikin gagal, tapi isinya juga. Hohoho. Ini akibat aku panik sendiri karena valentine tinggal sebentar lagi dan otak aku bersih dari ide unyu. Secara fluff itu harus bikin gemes, iya ga sih?


Well, walau ceritanya rada maksa, walau aku sendiri juga ga begitu puas, ga papalah ya aku tinggal disini fluff yang ga begitu fluffnya. G tega ama mino kalau g dipublish.


TERAKHIR!! Tolong dimaklumin judulnya yang maksa parah muahahaa. Awalnya g mikirin judul, jadi yah begini… greget kan? itu tumpang tindih ama tulisan laen jadi rada miring-miring cantik di posternya. kece kan ya? *todongin pistol*



Well, anyyeong^_^

Comments

Popular Posts