LOVEL(mess)Y VALENTINE
Main Cast = Song
Mino, Song Jin Ah
Minor cast = Kang
Seungyoon
Genre = Romance,
fluff
Length = Vignette
(2084 W)
Author = Salsa
“—bayangkan, mereka ke Hongkong hanya untuk merayakan
valentine. Astaga, anak itu, maksudku Kang Seungyoon, kalau kita bicara tentang
hal-hal romantis, dia memang tak ada duanya” aku menghela napas panjang, lalu
melirik Mino yang berbaring di hadapanku. Ia tak bereaksi sama sekali sejak
tadi. Apa anak ini bahkan mendengarku?
“heh Song Mino”
“satu jam”
“apanya yang satu jam?”
“lama kau bicara” pria itu menujuk jam yang menggantung di
dinding. Aku yang tengah dalam posisi duduk membelakangi jam itu pun segera
menoleh.
“tadi kau mulai bicara jam 10 dan sekarang sudah hampir jam
11” Jelas Mino, lantas kembali menyelipkan tangannya ke belakang kepala.
“oke, kuakui aku memang gemar bicara jika di depanmu. Tapi,
memangnya kau dengar dari tadi aku bilang apa?”
“Yah… kurasa aku menangkap sebagian”
“sudah bilang ‘kurasa’ lalu mengatakan ‘sebagian’ juga. Kau
jelas tak mendengarkan aku” racauku.
“aku dengar” jawabnya santai.
“kalau dengar seharusnya kau menangkap semuanya. Bukankah
dari tadi kau memerhatikanku terus?”
“caramu bicara itu aneh, walaupun aku tak tahu apa yang kau
bicarakan, aku pasti akan mendengarkannya. Suaramu enak didengar”
“cara bicaraku aneh?” ulangku tinggi. Ini sudah malam,
kenapa dia gemar sekali mencari masalah?
“YA! Aku juga bilang suaramu enak didengar tadi. Jangan overacting!”
“sekarang kau menyebutku overacting?”
“Ini sudah malam, kau mau mengajakku ribut lagi?” eh?
Sebenarnya siapa yang mengajak ribut siapa?
Aku membuang napas keras dan kembali melayangkan tatapan enggan
padanya. Pada manusia tengil yang —hebatnya— bisa membuatku mengangguk begitu
saja saat dilamar.
“Diam! aku tidak punya tenaga untuk mengomel malam ini”
“baguslah, aku juga
sudah tidak punya tenaga untuk meladenimu malam ini. Ayo tidur saja” pria itu menarik
tanganku, namun dengan cepat aku meloloskan diri dan kembali ke posisi semula.
“tunggu dulu! Aku mau tanya”
“Tanya apa?” Mino mulai jengah.
“sebagian ucapanku yang kau dengar itu, apakah kau menangkap
sesuatu? Maksudku, jadi menurutmu apa inti ucapanku tadi?” aku menunggu
responnya sambil menggigit bibir. Kau harus menangkap ucapanku! Aku sudah
bicara satu jam.
“huh? Jadi ucapanmu untuk malam ini ada intinya?”
“keureom”
“intinya…..” dia mengeluarkan ekspresi berpikir yang
berlebihan. “semua temanmu tukang pamer?”
“Oh Tuhan! Bagaimana bisa aku menikahimu?” rasanya aku ingin
meninju wajah pria ini saja. Aku memeluk kedua kakiku dan menjatuhkan diri,
kelewat putus asa menghadapinya.
“wae? Wae? Lebih baik kau bilang apa maumu langsung! Kau tahu
kan? aku tak suka tebak-tebakan” Mino bangkit dari posisi tidurnya dan
menatapku tak kalah putus asa. Selain keajaiban, aku tak tahu apa yang membuat
kami bertahan tinggal seatap selama 92 hari.
“ini malam valentine, Song Mino sayang” tekanku, sembari bangkit
tiba-tiba dengan gaya dramatis.
Mino mengangkat sebelah alisnya, “lalu?”
“Astaga! Lalu? Lalu aku ingin merayakannya! Aku iri melihat
semua cokelat yang Sojin dapat, manisnya lagu buatan Donghae, atau gadis
beruntung yang menikahi Kang Seungyoon itu. Kau tahu? Aku juga sangat
menginginkannya” segala pikiran yang bergumul di kepalaku keluar dalam satu
tarikan napas, tapi tidak, aku sama sekali tidak merasa lega. Apalagi saat
melihat ekspresi pahit Mino saat ini. Sepertinya aku salah bicara.
“jadi hanya karena Seungyoon mengajak istrinya ke Hongkong,
kau menyesal menikah denganku? Daebak”
“bukan begitu. Kau ini benar-benar sensitif ya.. Ini bukan
masalah menyesal atau tidak. Aku hanya ingin melihat sisi manis darimu,
setidaknya sekali setahun. Ya ya ya… aku tahu kita tidak pernah peduli dengan
perayaan konyol seperti ini sebelumnya. Tapi entahlah, melihat semua foto
Seungyoon membuatku iri hingga nyaris gila. Dia sungguh……”
“Kau mulai lagi dengan Kang Seungyoon” Mino mendecak. Aku
hampir saja bilang ‘dia sungguh keren’ namun untungnya anak ini menyelaku
duluan. Kalau tidak, bukan tidak mungkin dia akan mengabaikanku seharian besok.
Aku langsung merapatkan kedua tanganku di depan dada. “sorry” ringisku pelan,
tak lupa menyelipkan senyum.
Setelah itu, tiba-tiba saja Mino meletakkan kedua telapak tangannya di pipiku
dan menekannya ke dalam, membuatku terlihat seperti ikan.
“Dengar! Jika aku punya uang, aku juga akan mengajakmu berlibur.
Bukan hanya ke Hongkong, aku bisa membawamu ke Pluto. Mengerti?”
Aku mengangguk susah payah.
“lagipula kau menikahi Song Mino. Pria keren di depanmu ini
cuma kau saja yang punya. Tak ada yang perlu kau iri-kan lagi. Yang ini
mengerti juga?”
Aku kembali mengangguk. Dan akhirnya, pria yang mengaku
keren ini melepas tangannya dari pipiku.
“Awwhhh kau benar-benar….” Aku meliriknya sambil
menggosok-gosok pipi. “tapi kita harus tetap merayakannya besok”
Mendengar ucapanku, Mino langsung mengeluarkan ringisan keras, senada dengan
badan besarnya yang ia jatuhkan begitu saja ke belakang. Membuat ranjang yang
kami tempati berguncang pelan. Aku ikut meringis melihat responnya yang seperti
itu. Apa susahnya sih menyenangkan istri?
“Song Mino, sekali setahun! Aku tak akan meminta apapun saat
anniversary atau—”
“oke oke…. Apa maumu?” potongnya, jelas terpaksa. Namun
terserah, aku tetap tersenyum lebar.
“sesuatu yang sederhana”
“seperti?”
“membuat cupcake bersama, mungkin?”
**********
Kami tiba di supermarket ketiga pukul 4 sore. Dan demi
Tuhan, aku benar-benar putus asa. Sepertinya tidak akan ada ‘membuat cupcake
bersama’ hari ini. Kami baru berangkat dari rumah jam 1 siang. Song Mino sialan
menolak untuk beranjak dari ranjangnya pagi-pagi. Dan yang lebih sialan,
supermarket di dekat apartemen tidak menjual bahan-bahan yang kami perlukan.
Kami berputar-putar di jalanan, keluar-masuk supermarket sampai pukul 4 sore
dan hanya mendapat gula pasir. Gila!
Dan aku bersumpah, jika di supermarket ini tidak ada baking
powder, cokelat dan bahan-bahan lain, aku akan menghapus kata ‘valentine’ dari
memoriku seumur hidup. Sungguh.
“apa kita butuh tepung terigu?” Mino mengangkat sebungkus
tepung terigu. Aku mendorong troliku mendekat padanya sambil mengangguk
antusias. Baru lima menit dan dia sudah mendapatkan sesuatu. Ini pertanda baik.
“lalu apa lagi?” Tanya Mino setelah memasukkan bungkus itu
ke troli. Aku segera mengecek note di ponsel. Namun belum sempat kubaca, Mino
sudah terlebih dulu merebutnya.
“apa itu cake emulsifier? Kalau tidak penting tidak usah
dibeli” komentarnya. Aku segera merebut ponselku kembali.
“itu pelembut adonan, tentu saja penting! kau cari telur
saja sana, sisanya biar aku yang cari”
“cari dalam sepuluh menit! Lalu bertemu disini lagi.
Mengerti?”
“10 menit? Kau pikir aku bisa melayang ya? aku harus mencari
baking powder, margarine, susu dan yang lain, sedangkan kau cuma harus mencari
te—astaga! Lihat anak itu” Mino mengikuti arah telunjukku.
“anak berisik itu?”
“dia bukan orang Korea ya?”
“Thān tæng mo kạn mạ́y
kĥāb”
Samar-samar, kami bisa mendengar suara lucu anak laki-laki
itu. Dia bersama kedua orang tuanya tengah mencicipi buah semangka yang
dipajang di depan konter buah.
“dia orang Thailand, jelas sekali. Itu bahasa Thai”
“dia lucu sekali” aku benar-benar tak bisa melepaskan pandanganku
darinya. Apalagi setelah Mino bilang dia orang Thailand, aku langsung membayangkan
rupanya saat dewasa nanti. Pasti tidak akan kalah dari Mario Maurer.
“ya.. dan bisakah kita meneruskan mencari bahan cupcake-nya
sekarang?”
“Song Mino” aku mengaitkan sebelah tanganku di leher pria
setinggi 178cm itu sampai badannya sedikit merendah. “kita harus punya anak
yang seperti itu”
“aish… kau mulai lagi!” ia melengoskan kepalanya dari
rangkulanku begitu saja. Memandangku frustasi. Namun aku cuma meliriknya
sekilas dan kembali tersenyum memerhatikan anak tadi.
“kau ingat anak kembar yang kita lihat saat menunggu
laundry?”
“ah, maksudmu Seoeon dan Seojun?”
“ya.. kau langsung bilang ‘Mino, ayo punya anak seperti
mereka’ sampai membuat orang-orang di sekitar kita tertawa. Saat itu kau juga
hampir membawa anak itu pulang. Astaga, kau benar-benar membuatku malu”
“Mino, apa menurutmu aku harus mengajak anak ini berkenalan
juga?”
“YAH! Kau pasti tak mendengarkan aku”
“aku mendengarnya setengah”
“oh.. kau mau balas
dendam karena semalam? Sudahlah, aku mau cari telur”
“kita benar-benar harus punya anak seperti itu, Demi Tuhan”
"Tck… " Mino yang sempat berbalik itu kembali menoleh padaku. Tatapannya terlihat semakin frustasi. "begini ya Song Jin Ah, wajahku seperti ini dan wajahmu
seperti itu lalu bagaimana kita bisa menghasilkan anak dengan wajah begitu?”
Mino menggerakkan tangannya ke wajahnya, wajahku dan ke arah anak itu secara
bergantian.
“tak ada yang tak mungkin di dunia ini”
“ya.. dan jika kau benar-benar melahirkan anak seperti itu,
aku yakin semua orang akan menyuruh kita bertiga tes DNA” tandas Mino. Dia
benar-benar tak bisa diajak berimajinasi. Aku hanya gemas karena mereka lucu.
Jika aku punya anak dan wajahnya terlihat seperti Mino, aku yakin aku tak akan
bisa mengalihkan perhatian kemana-mana. Dia pasti akan jauh lebih lucu.
Membayangkannya saja membuatku tersenyum.
“berhentilah tersenyum selebar itu! kau terlihat seperti
orang bodoh” dan reaksi itulah yang kudapat. Jika saja ia tahu aku sedang tersenyum karena
membayangkan anak kami, heol!
**********
BRAAKKK!
Pintu mobil tertutup bersamaan. Dengan napas tersengal, aku
dan Mino kompak menyandarkan punggung. Seluruh persendianku terasa lemas,
kukira sebentar lagi aku akan pingsan.
Pukul 8 malam dan kami belum juga sampai di apartemen. Dalam
perjalanan pulang setelah membeli bahan-bahan, tiba-tiba saja mobil kami
berhenti. Mogok? Tidak. Kehabisan bensin. Aku sudah berteriak menyuruhnya
mengisi tangki saat jalan, tapi pria yang kunikahi ini berkepala batu.
DEMI TUHAN BENSINMU
TINGGAL 2 STRIP
DEMI TUHAN JUGA SEMUA
POM BENSIN PENUH, KAU TAK PERLU BERTERIAK! INI CUKUP
Jadi, akibat kecerobohan Mino itu, kami harus mendorongnya
sampai menemukan pom bensin. Dan yah…. saat pom bensin tersebut sudah terlihat,
hujan datang tiba-tiba. What a Valentine!
Jika memikirkan apa yang sudah kami lalui sejak kemarin
malam, ini semua benar-benar membuatku ingin tertawa. Sepertinya Mino dan aku
sama sekali tidak ditakdirkan untuk merayakan valentine. Kami tidak bisa
menjadi pasangan manis seperti Seungyoon dan istrinya, kami hanya bisa menjadi
pasangan seperti ini.
Tiba-tiba saja, aku tertawa .
“kau kenapa?”
Dan entah kenapa, melihat Mino yang masih terengah-engah itu
bertanya malah membuatku semakin ingin tertawa. Terbahak.
“aku tahu kau kecewa karena valentine-mu tidak berjalan
sesuai rencana, tapi tolong jangan gila seperti ini! Kau membuatku takut”
“anio anio!” aku berusaha meredakan tawa. “anio Song Mino!
Terima kasih”
“untuk?”
“untuk hari ini” aku tersenyum “valentine kita tidak gagal.
Valentine kita ya seperti ini… mau bagaimana lagi?”
“maksudmu valentine kita itu artinya saling berteriak sambil
mendorong-dorong mobil, begitu?” Mino setengah tertawa. “aku tak akan pernah
mengerti apa maumu”
“aku juga tak mengerti. Yang pasti detik ini aku merasa
senang” suara hujan yang mengetuk-ngetuk atap mobil dengan berisik ini bahkan
membuatku senang juga. Sepertinya ini adalah mood terbaikku seumur hidup. Semua
hal yang tertangkap mataku membuatku senang, termasuk Song Mino yang masih
tersenyum tak habis pikir menatap wiper yang bergerak-gerak menyapu air.
Sejujurnya dialah yang membuatku paling senang.
“yah… walaupun kau melakukan ini semua dengan terpaksa, tapi
aku menghargai usahamu itu. Terima kasih. Ini hadiah valentine paling berkesan
di muka bumi” lanjutku lagi. Dan Mino masih tak bereaksi banyak.
Aku bergeser, menumpangkan daguku di bahunya. Entah
bagaimana, perasaanku terasa benar-benar damai. Harusnya aku marah-marah kan?
Harusnya aku menyalahkan Mino karena bangun siang dan tidak mengisi bensin. Walaupun
sejak mendorong mobil aku sudah marah-marah, tetap saja seharusnya itu belum
cukup.
Tadinya aku berpikir untuk mengambil foto dari cupcake yang akan
kami buat bersama, lalu menguploadnya dan membuat orang lain iri. Aku ingin
mendengar komentar-komentar ‘wah… kau benar-benar beruntung’ atau ‘kalian adalah
pasangan serasi’ atau apalah. Sejujurnya aku hanya ingin menunjukkan pada
teman-temanku bahwa bukan mereka saja yang bahagia. Bodoh memang. Kenapa aku
harus memberitahu orang lain bahwa aku bahagia? Kenapa aku harus membuat mereka
iri? Aku tidak menyesal sudah berpikir konyol, setidaknya sekarang aku sadar,
esensi dari hari valentine bukanlah itu… yah… tentu saja kebahagiaan. Tapi kebahagiaan
semua orang berbeda. Dan tanpa harus dibelikan bunga, cokelat, dibuatkan lagu
atau diajak ke Hongkong, aku sudah bahagia. Asalkan pria tengil ini bersamaku,
setiap hari adalah hari kasih sayang.
“kau senang? Ini hadiah valentine yang kau inginkan?”
“yah… hampir”
“kalau begitu aku minta hadiahku” aku langsung menarik
kepalaku dari bahunya. Dia mau hadiah juga?
“tenang saja. Aku tidak akan merepotkanmu. Aku akan
mengambil hadiahku sendiri” Mino mengeluarkan senyum nakal andalannya, lalu menarik
pinggangku dengan keras sampai badanku
terjegut penyangga tangan.
“bisakah kau pelan-pelan? Selain merusak mobilmu, kau bisa
merusak pinggangku juga” aku mengomel, namun Mino malah tersenyum, sesaat sebelum mencondongkan wajah dan meraih
bibirku. Dengan suasana semendukung ini, memangnya apa lagi yang bisa
kulakukan? Tentu saja aku tak punya pilihan lain selain merespon ciumannya. Aku
menyapukan jemariku di rambutnya yang pendek –dengan gerakan perlahan dari atas
ke bawah— sebelum memeluk lehernya dan memperdalam ciuman ini, melumatnya seperti tak ada hari esok.
“wow….” Mino menahan daguku tiba-tiba. “aku tak tahu kau
bisa jadi seagresif ini” Aku melenguh keberatan. Dia benar-benar perusak momen
yang handal.
“kau tak suka?”
“bukan begitu” pria itu berdehem. “tiba-tiba saja aku memikirkan
ini,… kau, kau masih menginginkan bocah
Thailand tadi?” wajahku seketika memerah. Tidakkah kita harus mendorong mobil
ini sampai pom bensin dulu, menyetir pulang dan baru membicarakan ini di apartemen?
Jangan bilang dia….
“Mino! Kita masih di pinggir jalan, jangan stress!“
Tawanya meledak. Sudah kubilang dia perusak momen yang
handal, aku segera menarik diri, namun Mino dengan lihai menahannya “ Aku juga tahu
kita masih di pinggir jalan, sayang. Kau tak perlu segugup ini. Apa 92 hari bersamaku belum
cukup untuk membuatmu terbiasa?” Mino mengedipkan sebelah matanya. Setengah
tertawa sebelum mengecup ujung hidungku—yang memerah, karena udara yang dingin, sepertinya—.
“Aku akan menagihnya di rumah kalau begitu”
END
Selamat malam sabtu^o^
Thanks to Kim Dhira, kalau ga ada dia aku ga bakal bikin ini.
Jadi ceritanya ini fluff gagal,
harusnya cuma 5 sampe 6 lembar, eh aku keterusan sampe 9 lembar. Dan sebenernya
bukan cuma karena panjangnya aja yang bikin gagal, tapi isinya juga. Hohoho. Ini
akibat aku panik sendiri karena valentine tinggal sebentar lagi dan otak aku bersih
dari ide unyu. Secara fluff itu harus bikin gemes, iya ga sih?
Well, walau ceritanya rada maksa, walau aku sendiri juga ga begitu puas,
ga papalah ya aku tinggal disini fluff yang ga begitu fluffnya. G tega ama mino
kalau g dipublish.
TERAKHIR!! Tolong dimaklumin judulnya yang maksa parah muahahaa. Awalnya g mikirin judul, jadi yah begini… greget kan? itu tumpang tindih ama tulisan laen jadi rada miring-miring cantik di posternya. kece kan ya? *todongin pistol*
Well, anyyeong^_^
Comments
Post a Comment