Regret




Main cast = Cha Sena (OC), Ahn Daniel
Minor cast = Song Mi Soon (OC)
Genre = Romance
Length = Oneshot
Author = Salsa





***





Semua mahasiswa angkatan 2012 sudah bergegas memasuki aula. Sebentar lagi, acara seminar yang digelar oleh kementerian luar negeri akan dimulai. Namun bukannya masuk seperti yang lain, aku malah berdiri gelisah di depan pintu toilet. Sepertinya aku tidak akan bisa mengikuti acara ini. Blazerku tertinggal di mobil ayah, dan sekarang ia sedang di perjalanan menuju bandara. Sial! Aku benar-benar ingin masuk.



Saat itu, sebuah jas almameter kampus berwarna hitam tiba-tiba saja menghalau pandanganku. Aku mendongak. Dia lagi.


“Pakai! Acaranya akan segera dimulai”
“aku tak membutuhkannya” ujarku sambil membuang muka.
“Ya.. benar. Kau memang selalu bilang begitu” Niel, pria di depanku ini, menyampirkan jasnya di bahuku, lantas berlalu begitu saja. Berjalan melewati aula juga tentunya. Semua mahasiswa yang tidak menggunakan jaket almamater tak diperkenankan masuk. Dan jelas ia mengetahui konsekuensi apa yang akan diterima jika tidak mengikuti seminar ini. Bodoh! Dia benar-benar bodoh!



************



Begitu aku melangkah keluar dari aula, tanpa harus melongok-longok atau mencarinya ke tempat lain, aku sudah bisa menemukan pria itu. Dia yang hanya menggunakan kemeja putih dan celana bahan hitam itu tengah menumpangkan kedua lengannya di dinding pembatas sembari sibuk bermain games di handphone, posisinya membelakangiku.  

“kalian tunggu di bawah saja. Aku ada urusan dengan…..”  
“NIEL” sambung teman-temanku kompak, diiringi dengan tawa lepas keduanya. Aku memutar mata. Ini adalah bukti betapa seringnya Ahn Daniel menggangguku.


Dengan langkah berat, aku menghampirinya.


“ini” pria itu berbalik, melepas sebelah headsetnya lalu tersenyum.
“bagaimana seminarnya?”
“kau tak perlu sok pahlawan di depanku”
“…..”
“itu tak akan merubah apapun. Mengerti?” ia mengambil jaket almameter yang kusodorkan, kemudian tertawa pendek.


“mengerti, kuanggap itu sebagai ucapan terimakasih” aku sudah berencana untuk mengucapkan sepatah kata lagi, lalu pergi meninggalkannya duluan. Tapi ia malah memasang headsetnya dan pergi begitu saja. Dia kurang ajar. Dia sialan. Dia brengsek. Dia…. Cih….



**********



Jarum jam berputar dengan sangat lambat. Di luar hujan dan dosen sosiologi di kampus ini benar-benar membosankan. Ia bicara terus-menerus tanpa menanyakan apakah kami mengerti atau tidak. Sebagian anak terlelap di kursinya, sementara sebagian yang lain bermain handphone atau bahkan terang-terangan mengobrol. Namun dosen berusia senja tersebut terlihat tak terusik dengan pemandangan kelas yang semrawut dan terus melanjutkan dongengnya.


Dan akhirnya, jarum jam yang berputar lambat itu sampai juga di angka 4. Dosen sosiologiku mengucapkan salam dengan cepat lalu pergi meninggalkan kelas. Aku yang bahkan tak mengeluarkan secarik kertas selama kuliah ini berlangsung pun segera berdiri. Namun percuma, secepat apapun aku berdiri, pada akhirnya aku akan tetap tertahan di ujung lorong.


“tolong berhenti” aku bergumam pada hujan, sembari memeluk tubuhku yang mulai menggigil.


“aku mau pulang. Aku mau tidur” lanjutku, mulai meracau tanpa henti. Harusnya hujannya ikut selesai saat kelasku selesai. Aku paling benci jika harus menunggu.


“kurasa kau butuh ini” suara itu. Kontan mataku memejam, mulutku mendecak. Niel membuka payung cokelat miliknya dan menyodorkannya padaku.


“kau bisa mengembalikannya besok”


“tidak. Aku tidak butuh payungmu. Niel, Demi Tuhan ya, kenapa kau senang sekali muncul tiba-tiba? Kau pikir kau keren karena selalu membantuku? TIDAK! Aku justru merasa terganggu! Aku tidak suka kau bersikap sok perha— YAH! AKU BELUM SELESAI BICARA”


Pria sial itu meletakkan payung cokelatnya di hadapanku, lantas berlari menembus hujan sambil mengencangkan hoodie. Dia….  Apa maunya? Dia pikir aku akan memakai payungnya? Tidak! tidak akan.


Namun lain cerita jika hujan itu tak berhenti sampai pukul 6.


Yah… pada akhirnya gagang payung itu berada di genggamanku, mengantarku pulang.


Tapi, tentu saja aku tak membiarkan Niel tahu. Keesokan harinya –seperti biasa— aku datang lebih pagi dan meletakkan payung itu persis seperti dia meletakkannya kemarin. Membuat kesan seperti aku tidak menyentuhnya.



**********



“dia tidak seburuk itu”
“dia sangat buruk”
“apanya? Oke, dia memang berbeda dari orang Korea kebanyakan, matanya besar dan bibirnya tebal. Tapi… hei,…. Menurutku dia lumayan. Suaranya bagus, postur tubuhnya keren dan…..”


“DIAM! Pacari dia kalau kau mau!”


Kedua temanku langsung tergelak kencang. Mereka sibuk menggodaku dengan Niel sambil terus mengeluarkan kesimpulan tak logis. Sakit jiwa.


“tapi dia benar-benar aneh. Dia pikir dia punya harapan denganku? Kalau aku bilang tidak mau ya artinya aku tidak mau. Harusnya dia melihat kaca, lihat siapa aku dan siapa dia? Lalu pikirkan, apakah menurutnya kita cocok?”


“benar. Kalian memang tidak cocok”
“nah..” aku menjentikkan jariku pada Ji Ra. Akhirnya salah satu dari temanku itu mengerti. Aku adalah salah satu gadis populer di kampus, sedangkan dia? Oh halo….. siapa yang kenal Ahn Daniel? Lebih baik dia benahi dulu penampilannya, baru bermimpi menjadi kekasihku.


“dia terlalu baik untukmu, Sena” Ji Ra berkata sambil menyikut Tae Mi yang langsung tertawa dan mengangguk setuju.


“oh Tuhan, apa aku salah dengar?”
“kurasa tidak. Kau tahu Sena? Aku benar-benar menunggu saat dimana Niel berhenti melakukan ini semua. Aku penasaran apa yang akan terjadi padamu jika dia tidak ada”


“benar. Coba bayangkan siapa yang akan repot-repot turun ke Bursa untuk membelikan gadis ceroboh ini pulpen?”


“Atau yang meletakkan payung di hadapannya tiap hujan. Kapan gadis keras kepala ini akan sadar? Ada seorang ‘malaikat berjalan’ yang………….”


“oke cukup! Aku dengar semua komentar berlebihan kalian tentang Niel, tapi itu tidak akan merubah apapun. Jadi tidak ada gunanya memuji dia di depanku”


“kau takut image-mu rusak kan? Please, kau bahkan belum punya pacar, kurasa image-mu akan baik-baik saja, Cha Sena. Kau hanya perlu bersikap baik pada Niel”


“aku setuju. Kurasa tersenyum sambil bilang terima kasih itu bukan hal yang sulit”


“kalian sadar tidak sih? Penyebab terbesar aku belum punya pacar sampai sekarang adalah karena pria itu terus berada di sekelilingku. Dan apa barusan katamu? senyum padanya? Bilang terima kasih? Kalian mau dia mengira aku sedang memberinya harapan, begitu?”


“kami hanya memberimu saran, kau benar-benar keras kepala!”



**********



“YAH! Ahn Daniel! Bisakah kau berhenti?”
“berhenti untuk?” Niel meletakkan seluruh buku yang ia ambil dari rak ke atas meja, kemudian menarik kursi terdekat dan duduk di hadapanku dengan bingung.


Suasana di perpustakaan siang ini benar-benar sepi. Sejak tadi, yang terlihat hanyalah seorang pria berkaca mata yang tengah khidmat membaca buku dan dua penjaga perpustakaan yang sedang asik mengobrol.


“Daniel Ahn” aku menghembuskan napas.
“wae?”
“kau harus berhenti mendekatiku. Aku tak mau sampai muncul gosip antara kau dan aku”
“gosip tentang kita? Aku tak pernah mendengarnya”
“ya memang belum ada. Tapi kalau kau terus-terusan mendekatiku begini, gosip itu pasti akan muncul. Apalagi aku kan Cha Sena” Niel menganggukkan kepalanya sambil mencebikkan bibir.


“Niel, sepertinya kau tidak mengerti. Biar kupermudah, intinya kau harus berhenti menggangguku”


“mengganggu? Selama ini kau menganggap bantuanku itu sebagai gangguan?”
“aku mengucapkannya seratus kali dan kau baru mengerti sekarang? Daebak”
“kukira kau tidak sungguh-sungguh dengan itu, kukira kau hanya tak tahu bagaimana caranya bilang terima kasih, maksudku….. aku tak pernah merasa sudah mengganggumu! Mengganggu di bagian mana yang kau maksud?”


“eh? Apa? Di bagian mana? Tentu saja di semua bagian” alisnya naik sebelah.
“Ya Tuhan” aku bergumam pelan sembari mengusap wajah. Anak ini membuatku tak tahan.


“kau berusaha mendapat simpatiku setiap saat, kau sok perhatian, sok pahlawan. Kau ada tiba-tiba setiap aku membutuhkan sesuatu. Apa kau punya alarm yang terhubung denganku atau semacamnya? Bagaimana bisa kau melakukan itu? Tapi tidak! tidak aku tidak mau tahu bagaimana bisa kau melakukan itu. Yang pasti kau itu menggangguku!”


“jadi, apakah aku mengganggumu juga sekarang?”
“tentu saja”
“Tapi bukankah jika aku tidak keluar kelas, kau akan membuat makalah sendiri? Kau kan paling benci membuat makalah” lihatlah! Bahkan hal sedetail itu pun dia tahu, kalau bukan stalker lalu apa lagi?


Mengenai makalah yang dia bilang, ya.. sebenarnya itu adalah hukuman. Aku tertangkap memakai headset saat kuliah, dosenku marah lalu mengusirku keluar, tentu saja lengkap dengan tugas makalah yang tidak manusiawi itu. Lalu tidak lama kemudian, entah dengan cara apa, Niel ikut keluar. Ia mengajakku untuk ikut dengannya ke perpustakaan, dan disinilah kami sekarang.


“Ya sudah begini saja, supaya tidak lama-lama denganku, ayo selesaikan ini secepatnya” Niel berkata sembari membuka buku. Aku mendengus, menyeret tasku dari meja dan berdiri.


“apa lagi sekarang?” Tanya pria itu jengah.
“kerjakan saja sendiri!” ujarku ketus, lantas segera berlalu dari meja itu sebelum Niel melontarkan protes. Walau nyatanya, aku tahu aku tak akan pernah mendengar anak ini protes. Dia tergila-gila padaku. Itu fakta.


Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba saja tanganku ditarik dari belakang. Ahn Daniel menarikku. Aku benar-benar tidak percaya, sejak kapan dia lancang begini?


“YAA AHN DA—“


“aku mau bertanya padamu” potongnya cepat, dengan sorot mata serius yang tak pernah kulihat.


“Apa?” balasku sengit.


“jadi apa maumu sekarang?”


“mauku? Aku mau kau menyelesaikan makalah itu lalu berhenti sok pahlawan di depanku” Niel menghela napas. Kepalanya menggeleng, berbarengan dengan sudut bibirnya yang tertarik.


“tapi bagaimana jika kau memang butuh bantuan seperti……”


“walau aku sedang dikejar singa atau jatuh dari tangga atau apapun……. Jangan dekati aku! Aku tak butuh bantuanmu. Tidak akan pernah butuh”


“kau yakin?” pegangannya di tanganku mengendur. Justru pria itu yang terlihat tidak yakin. Apakah dia bisa menahan diri untuk tidak mendekatiku?


“Ya. Aku tak pernah seyakin ini seumur hidup. Dengar ya, sekalipun aku memohon, menangis darah atau berlutut mencium kakimu, jangan bantu aku. Janji?”


“Sena…. Tidakkah itu…”


“Kau tak perlu khawatir, menurutmu apa yang kubilang itu mungkin huh? Mustahil. Sekarang katakan saja padaku, kau berjanji!”


“tapi…..”


“Niel, cepat!”


“oke, aku janji” kali ini Niel benar-benar melepaskan tangannya dariku lalu mengangkatnya beberapa centi ke udara, tanda menyerah atau ‘terserah’.  Entahlah.


“Aku berjanji apapun yang terjadi, aku tak akan membantumu”



*********



Dan Niel tak lagi memperlihatkan batang hidungnya di depanku. Ini keren. Aku nyaris berjingkrak saat anak itu tidak datang tiba-tiba dengan segenggam bolpoin saat aku lupa membawa tempat pensil. Wow, aku benar-benar sangat bersyukur telah mengatakan itu padanya. Ternyata ia benar-benar memegang janjinya. Hanya seminggu semenjak ia mengambil jarak, sudah ada saja pria yang mulai mendekat. Sudah kubilang kan? dia itu parasit. Demi Tuhan, hidupku menjadi jauh lebih tenang tanpanya.


“siapa yang hobi berkhayal disini?” dosen favoritku di kampus ini bertanya dengan senyum cerah sembari berjalan mengitari ruang kelas yang tak begitu luas. Hanya ada 25 mahasiswa.


“orang-orang yang suka berkhayal itu adalah orang kreatif. Iya kan?” hampir dari seluruh mahasiswa disini mengangguk. Aku memerhatikan dosen itu dengan penasaran.


“oh? Kalian setuju? Kalau begitu mau kuajarkan menjadi orang kreatif?” semua orang mulai bicara bersamaan, terdengar beragam respon dari segala sisi, tak terkecuali dari mulutku. Dia pasti mau bertanya hal-hal aneh lagi. Dia mau mengajak kami berkhayal, begitu?


“bayangkan dunia ini benar-benar tanpa batas dan apapun yang kau ingin akan terwujud” ucap sang dosen menerawang.


“apa yang akan kalian lakukan?” ia mengedarkan pandangan, mencari mangsa untuk menjawab pertanyaan itu.


“Yoo Changhyun” panggilnya.


Changhyun segera menegakkan badan, selama beberapa saat ia hanya diam. Matanya berputar sekian detik sebelum akhirnya berbinar. “sebentar lagi aku ulang tahun, aku ingin membuat pesta besar-besaran di luar angkasa” ucapnya, diakhiri dengan senyum kekanakan khas Yoo Changhyun.


“Wah… itu bagus! Jangan lupa undang aku”
“tapi pak, apa anda masih kuat pergi kesana? Luar angkasa itu jauh” aku tak mengerti apa anak ini sedang bergurau atau tidak. Wajahnya terlihat cukup serius, seperti benar-benar memikirkan ‘bagaimana cara membawa dosen berumur lebih dari setengah abad ini ke angkasa’. Dia terlalu jauh mendalami permainan ini.


“eits… tentu saja aku masih kuat”


“aku akan mengencani 9 member SNSD” Chanhee tiba-tiba mengangkat tangan, menyuarakan keinginannya dengan senyum bangga. Aku tahu jawaban semacam itu akan keluar dari mulutnya.


“Aku belum bertanya padamu, kau itu bersemangat sekali ya”
“tentu saja, pak”
“tapi bukankah SNSD tinggal 8?”
“oh jinjjayo?”
“ya. Jessica sudah bukan member SNSD lagi”
“wah… bapak ini update sekali ya.. teman-teman, sepertinya dosen kita seorang sone” mendengar komentar Chanhee, semua orang di kelas langsung berbalik menggoda dosen kami dengan riuh.


“yah yah kalian semua! Berhenti! Aku sedang mengajari kalian menjadi muda mudi kreatif, ingat?”


“ngomong-ngomong soal kencan, aku akan mengganti pertanyananku menjadi lebih spesifik. Anggap kau diinginkan oleh semua orang di dunia, siapa yang akan kau pilih untuk dijadikan kencan?”


Chanhee langsung mengangkat tangannya lagi.


“seluruh member SNSD kan? Aku sudah mendengar jawabanmu, Chanhee-ssi! Turunkan tanganmu”


“tidak, yang ini beda, pak”
“aku tak mau dengar. Bagaimana denganmu, Yong Song Mi?” Chanhee menurunkan tangan, namun tetap bicara pelan pada orang-orang di sekitarnya. “kim so eun. Aku akan mengencani Kim So Eun”


“eoh… aku?” Yong Mi yang barusan sedang berkaca sambil membenarkan bulu mata itu menunjuk dirinya sendiri dengan kaget. Tuan Kim –si dosen— mengangguk. Yong Mi menutup flip kacanya sebelum berdehem pendek “hmmm…..  ini mudah. Walaupun semua orang menginginkanku, aku akan tetap memilih pacarku”


“eii gotjimal”
“sungguh”
“Dia pasti berkata begitu hanya karena Eun Chul ada disini, pak” sahut Chanhee, manusia paling aktif di kelas ini. Tuan Kim mengangguk setuju sembari menjentikkan jarinya, lantas berpindah haluan ke meja pria yang disebut namanya itu. Semua mata pun tertuju pada Eun Chul yang terlihat sumringah.


“bagaimana denganmu, Eun Chul?”
“tentu saja Yong Song Mi, pak”
“eeeeiiiiiiiii” kompak penghuni kelas.


“oke oke cukup! Lupakan pasangan tidak kreatif itu, sekarang bagaimana denganmu Mi Soon?”  aku membalik badanku agar bisa melihat wajah gadis tersebut. Song Mi Soon. Sebenarnya aku tergolong jarang memuji orang, tapi yang satu ini, dia benar-benar cantik. Kulitnya putih pucat dan tubuhnya tinggi ramping. Sayangnya gadis ini terlalu pendiam, ia tak pernah terlihat menonjol di mata kuliah apapun. Jika saja kemampuan bersosialisasinya sedikit lebih baik, kurasa ia bisa sepopuler aku.


“yang ingin kukencani?”


“ya”


Aku berani jamin jantung seluruh pria di kelas ini tengah tertahan.


“Daniel”


“Daniel? Daniel siapa? Daniel Radcliffe pemeran Harry Potter itu atau……”


“Anio… Ahn Daniel”



**********



Sejak pengakuan Mi Soon yang mengejutkan itu, aku mulai sering melihat Niel bersamanya. Dasar playboy. Dulu dia mengejarku, sekarang lihat tangan siapa yang dia genggam.


“Oh lihat Cha Sena sedang panas” sekaleng soda dingin tiba-tiba saja menempel di pipiku.


“YAAH!” Aku segera menepisnya. Ji Ra dan Tae Mi baru saja kembali ke meja kantin sembari membawa mangkuk Jajangmyeon. Mereka mengambil posisi duduk di kanan kiriku lalu ikut-ikut memandangi Niel.


“Mi Soon terlihat seperti bidadari jika sedang tertawa seperti itu. Niel hebat sekali bisa membuat seorang gadis sekaku Mi Soon tertawa selepas itu”


“Justru menurutku yang hebat itu Mi Soon. Dia berani sekali mengungkapkan perasaanya di tengah-tengah kuliah. Kau tahu? Dia itu seperti air yang tenang, diam tapi mematikan.”


“benar juga ya… dan sebenarnya kalau dilihat-lihat mereka serasi”


“kalian berdua puas?” aku menggebrak meja, menoleh sinis pada mereka berdua secara bergantian. “terus saja puji mereka di depan aku”


“memangnya apa yang salah? Jangan bilang Cha Sena cemburu”
“woah… ternyata karmamu sudah dimulai. Jujur saja, kau menyukai Niel kan?”


“bicara apa kalian? Aku menyukai Niel? Jangan gila!” jangan gila Cha Sena. Jangan gila! Aku tak suka dia. Ini hanya perasaan aneh ketika kau melihat orang yang biasa berada di belakangmu tiba-tiba saja berada di depan.



***********



Mataku langsung memejam kuat. Aku sudah mengaduk isi tas berulang kali, tapi tetap saja benda tebal itu tak kutemukan. Sial! Aku lupa bawa kamus—lagi. Mrs. In Hyun pasti tak akan mengabsenku. Aku segera keluar kelas sebelum dosen itu datang, sepertinya aku harus ke toko buku depan kampus dulu untuk membelinya.


“Sena, kau mau kemana?” sial! Aku berpapasan dengan si pasangan serasi tepat di depan pintu kelas.


“aku lupa bawa kamus. Aku mau membelinya di toko buku dulu” mataku melirik Niel yang tak bereaksi apa-apa. Ia tak membuka tas dan memberikan miliknya padaku seperti yang biasa. Dan sikapnya yang dingin seperti itu membuat sesuatu dalam dadaku terluka. Aku tak berhenti menatapnya, sampai akhirnya pria itu mengalihkan tatapannya padaku. Apa pria ini akan bicara? Apa ia akan melarangku pergi dan membelikan kamus itu untukku? Apakah……


“minggu depan jangan lupa bawa kamusmu Sena. Mi Soon~aa… kajja”


Ekpektasiku terlalu tinggi. Rasanya seperti mendapat tamparan di kedua pipi secara bersamaan.


Mi Soon tersenyum meringis padaku, lalu berlalu bersama Niel, memasuki kelas. Meninggalkanku yang mendadak lemas. Aku tidak boleh menyesal. Ini mauku. Inilah yang seharusnya terjadi.



**********



Hari semakin sore, dan hujan yang mengguyur Seoul belum juga reda. Aku mengeratkan jaket sambil menggerutu. Dimana Niel? Kenapa ia tak memberikan payungnya padaku? Seharusnya jam segini kelasnya sudah berakhir. Aku mengedarkan pandangan pada lorong-lorong yang sepi. Demi Tuhan, aku mau pulang. Aku mendecak saat….


“itu dia” aku tersenyum. Dari kejauhan, aku melihat Niel mengeluarkan payung dari lokernya, lantas berjalan ke arahku. Aku segera berbalik penuh menghadap lapangan, tidak ingin terlihat sedang menunggu.


“Mi Soon!” Namun, suara Niel yang nyaring terdengar menyerukan nama itu. Astaga bodoh! Aku benar-benar lupa kalau keadaan sudah berbeda sekarang. Aku lupa sudah ada Mi Soon di sisinya. Apa aku masih berhak berharap? Senyumku perlahan memudar.


“Sena, kau belum pulang?” Tanya Mi Soon. Gadis ini basa-basi sekali, kalau aku masih disini berarti aku memang belum pulang kan? Aku menatapnya dengan sengit, tak berniat menjawab.


“dia tidak bawa payung” ucap Niel pada Mi Soon.
“mau ikut kami?” Mi Soon menawarkan, sementara Niel membuka payungnya. Lalu, tanpa menunggu jawabanku, pria itu menarik tangan Mi Soon dan berlalu begitu saja.


“kami duluan yaa…” teriak Mi Soon beberapa langkah di depan. Aku tak bereaksi. Ini sudah keterlaluan. Padahal hawanya sedang dingin karena hujan, tapi kenapa sekujur tubuhku terasa panas? Kenapa rasanya sakit saat melihat payung yang biasa tergeletak di depanku kini menjauh? Terlebih dipakai oleh wanita lain. Kenapa aku tak senang melihat mereka bersama? Kenapa kakiku mendadak ingin berlari? Kenapa tanganku mendadak ingin mendorong Mi Soon dari sisi Niel? Kenapa aku baru menyadari perasaanku sekarang?


Air mataku berjatuhan tanpa bisa kutahan. Aku menyesal. Aku sungguh menyesal.



**********



Tok Tok Tok


Tak lama, pintu yang kuketuk dengan tangan bergetar itu terbuka. Wajah Niel terlihat dari balik sana.


“Sena? Kenapa kau basah kuyup begini?”
“kau bertanya? Kau memedulikanku huh?” Niel membuka pintunya lebih lebar, memandangiku penampilanku dengan kaget.


“aku ambilkan handuk du—“
“jangan sok pahlawan!” teriakku. Pria itu langsung menahan kakinya yang nyaris berbalik. Aku mulai terisak-isak lagi.


“ini sudah malam, kalau kau hanya ingin mengatakan itu, lebih baik pulang saja”


“kau benar-benar jahat”


Niel menghela napas, menyibak rambut yang menutupi keningnya ke belakang. Dan untuk pertama kali dalam hidup, aku mengakui kalau pria ini lumay— Tidak. Dia keren. Dan aku nyaris gila karena menyesal.


“kapan aku bisa terlihat benar di matamu? Kau menyuruhku menjauh kan? Ya.. kulakukan! Sebisa mungkin aku menghindari—“


“kenapa kau tak memberiku payung sore ini? Kau tak lihat hujannya lebat? Aku basah begini karenamu!” selaku.


“untuk apa? Aku tahu kau tak pernah memakai payungku. Dari pada payung itu tak terpakai lebih baik aku mengantar Mi Soon pu—“


“AKU MEMAKAINYA AHN DANIEL! AKU MEMAKAINYA! LALU AKU DATANG PAGI-PAGI DAN MELETAKKAN PAYUNG ITU DI TEMPAT KAU MENINGGALKANNYA AGAR KAU TAK TAHU”


Mimik wajahnya langsung berubah lemas. Seperti berkata ‘kenapa kau melakukan hal itu?’. Niel tak bicara apa-apa, hanya memalingkan wajah, entah menatap apa.


“Dan malam ini, aku kesini untuk menarik kata-kataku kembali. Aku….. hiks” bahuku sudah bergetar tak karuan, isakanku mengeras. Nyaring. Rasanya aku ingin memberitahu semua penghuni blok ini bahwa Ahn Daniel telah membuatku menangis.


“—aku butuh bantuanmu”


“apa kau sedang mengujiku sekarang? Demi Tuhan aku tak mengerti. Aku masih ingat betul ucapanmu saat itu, kau bilang walaupun kau menangis darah atau berlutut di hadapanku, aku tetap tak boleh— Cha Sena berdirilah!” aku langsung bersimpuh begitu Niel mengulang kata-kataku waktu itu. Tolol. Aku benar-benar tolol.


“Sena, pulanglah kumohon”
“Niel aku suka padamu”
“suka?”
“bukan, jatuh cinta”


“tidak mungkin. Sepertinya air hujan membuatmu sakit, pulanglah” Niel meraih bahuku, mengajakku berdiri. Namun aku menepis tangannya itu mentah-mentah, kekeh dengan posisiku sekarang. Mataku yang sudah merah ini tak lepas dari matanya yang balik menatapku serba salah. Bukan tatapan itu yang kumau. Tolong jangan tatap aku seperti itu. Aku merasa benar-benar menyedihkan.


“kembalilah seperti dulu, aku tahu kau menyukaiku Niel, maaf karena….”


“tunggu tunggu, apa kau bilang? Ei, sebelum kau lebih jauh, aku harus meluruskan sesuatu”


“apa? Kau mau bilang kau mulai menyukai Mi Soon?”


“itu benar. Tapi bukan itu yang ingin kukatakan”


“it.. itu benar katamu?”


Sejujurnya aku sempat mengira kalau dia dekat dengan Mi Soon hanya untuk membuatku panas, tapi ternyata tidak seperti itu.


Aku masih syok dengan kalimatnya barusan, namun Niel belum puas untuk membuatku terkejut.


“aku tak pernah menyukaimu”


“t.. tak pernah?”


“Iya, sama sekali”


“Kau bercanda! Apa maksudmu tak pernah? Jangan bohong! Kau selalu membantuku”


“Apa jika aku membantumu artinya aku suka? Sejujurnya aku membantumu karena kau benar-benar ceroboh, Sena. Kau sering sekali meninggalkan jas kampus, tempat pensil, payung, kamus dan semuanya”


“jadi kau kasihan? Kau melakukan semuanya karena kasihan?” aku benar-benar tidak percaya. Aku tak tahu harus menangis lebih keras atau malah berhenti. Jadi selama ini, aku saja yang terlalu percaya diri? Niel tak pernah menyukaiku?


“apa semua bantuanku itu berlebihan? Aku membantumu karena kau terlihat membutuhkannya. Itu saja”


“lalu bagaimana dengan perasaanku sekarang? Kau harus tanggung jawab! Kau membuatku gila seperti ini. Aku berlari dari kampus ke rumahmu, menembus hujan, membiarkan bajuku basah kuyup, itu semua karena kau!”


“bagaimana aku harus bertanggung jawab atas perasaanmu sementara aku juga perasaan sendiri? aku menyukai Mi Soon”


“kau brengsek!”


“aku brengsek karena tak suka padamu?”


“seorang Cha Sena tidak seharusnya ditolak”


“kalau ucapanku melukai harga dirimu sedalam itu, anggap saja kau tak pernah mengatakan ini semua. Aku berjanji tak akan mengungkitnya. Aku akan membantumu seperti dulu. Aku akan –”


“diam kau! jangan sok pahlawan” pekikku. Pria itu segera menahan ucapannya. Saat itu, aku tertawa terbahak-bahak sambil kembali berdiri. Aku benar-benar lepas kendali.


“Janji adalah janji. Kau terkena jebakanku. Aku tak suka padamu. Aku benci padamu. Sangat. Aku sedang menjebakmu sekarang! Aku ingin menguji sekuat apa kau mempertahankan janjimu dan ternyata kau tidak bisa! Hanya karena air mata palsu saja kau sudah bilang akan membantuku? Bagaimana jika aku menangis darah? Kau brengsek, Niel”


“Cha Sena” aku berjalan mundur sembari menghapus air mataku. Sebisa mungkin memasang ekspresi meremehkan yang dibuat-buat. Apakah  ekspresiku ini bekerja? Sejujurnya aku tak yakin kalau dia percaya. Tatapan matanya untukku terlihat seperti sedang mengasihani. Dan sumpah mati, aku tak suka.


“kau lemah! Kau benar-benar lemah!” lanjutku, diselingi dengan tawa, lebih keras. Aku benar-benar lelah, aku merasa sebagian otakku sudah tak berfungsi. Apa yang kulakukan disini? apa yang barusan kukatakan padanya?


“hati-hati di jalan” Niel berujar pendek. Aku mendengus sebagai jawaban, lantas berlari, secepat mungkin enyah dari hadapannya. Aku tak tahu setelah ini apa yang akan kulakukan saat bertemu Niel, aku benar-benar malu.


Kalimat ‘hati-hati di jalan’-nya pun sudah pasti bukan karena ia perhatian, perasaannya padaku hanya sebatas kasihan.



END

Comments

Popular Posts