Little Secret - 3rd Fact







Cast : Jung Cheonsa
           Kris Wu
           Kim Seok Jin
           Han Ji Eun
           Kim Jongin
           Park Chanyeol  

Genre : Friendship, Fantasy, Family, Romance

Previous Fact : Teaser - 1st fact - 2nd fact





Cheonsa merasakan seluruh anggota tubuhnya menegang diterjang sensasi mengerikan. Ia ingin menjerit, tapi takut jika jeritannya justru mendatangkan sesuatu yang lebih buruk. Tanpa peduli jika embusan angin terus mempermainkannya, Cheonsa tetap menjejakkan kakinya, menyusuri jalanan yang sepi, tak peduli jika yang ia lalui adalah sebuah hutan.





GRABB





Ia merapatkan bibirnya, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia pun berbalik cepat sambil menepis sebuah tangan yang bertengger di bahunya.




“ Pergi kau!!!” jeritnya masih dengan mata terpejam.




“ Lepaskan aku! Kumohon!”





Alih-alih ingin menyingkirkan tangan itu, Cheonsa justru meringis. Ia menghentakkan kakinya, menyalurkan rasa takutnya begitu tangan itu merangkak turun hingga mencengkram lengannnya.




“ Sedang apa kau di sini?” suara berat dan dalam itu terdengar, membangunkan Cheonsa dari serangkaian kejadian mencekam yang dialaminya beberapa menit yang lalu.





Ia membuka matanya perlahan, memasang sikap waspada jika orang yang barusan bicara adalah penjahat. Celah kecil membuat sekelebat cahaya masuk ke dalam matanya, begitu matanya terbuka lebar, Cheonsa nyaris berteriak kembali. Ia menatap orang di depannya dengan tidak percaya. Bagaimana bisa orang itu di sini? Seingatnya tidak ada siapapun di belakangnya tadi.




Kebisuan Cheonsa membakar kesabaran orang itu. Jelas orang itu terlihat menyeramkan dan cukup tegang. Entah untuk alasan apa ia terengah. Tapi ia benar-benar terengah dengan napas yang memburu seolah baru saja berlari mengitari bumi. Ia menatap waspada ke arah Cheonsa yang masih berusaha untuk mengumpulkan kesadarannya. Matanya menyorot gurat lelah bercampur rasa takut pada gadis yang nyaris pingsan di tempat.





“ Sedang apa kau di sini?” ia mengulang pertanyaanya. Cheonsa beralih menatapnya dengan ragu, takut jika sesuatu terjadi.





“ Aku dalam perjalanan pulang.”





Orang itu bisa merasakan luapan ketakutan dalam getaran pada lengan Cheonsa. Itu membuatnya semakin kesal dan menajamkan sorot matanya.





“ Kau tidak bisa lewat sini.” Suaranya terdengar tegas dan terkesan memerintah.





Sekejap Cheonsa merasa kesal, rasa takutnya pergi jauh begitu rasa benci pada orang itu terasa mendominasi. Ia langsung menyentak tangan itu dan berbalik, namun dengan cepat lengannya kembali disambar hingga ia berhadapan dengan orang itu lagi.





“ Turuti saja, jika…”





Cheonsa kembali menyentak tangan itu. “ Jika apa? Sesuatu yang buruk terjadi padaku hingga hidupku akan lebih buruk dari hidup di neraka?” gadis itu meledak. Tatapannya terarah tepat menantang iris hitam dengan kobaran amarah di dalamnya.






Ia berbalik dan pergi. Tak peduli jika orang di belakangnya menggeram, ia tak peduli. Bukankah orang itu sendiri yang bilang jika ia harus pergi dan menjauhinya? Bukankah begitu?






Tapi setelah itu ia merasakan guncangan hebat pada tanah yang ia pijaki dan setelahnya angin kencang mendorong tubuhnya. Ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terpelanting jauh hingga punggungnya menabrak batang pohon besar. Cheonsa melenguh kesakitan begitu rasa nyeri dan perih menyerangnya. Ia masih belum menyadari apa yang sedang terjadi.






Seseorang dengan seringaian licik tiba-tiba muncul dari butiran debu, ialah makhluk yang baru saja menggunakan kekuatannya untuk menghentakkan tanah hingga guncangan hebat memporak-porandakan tempat sekitar.





Mata tuanya menyiratkan keserakahan dan ambisi yang besar. Ia berjalan dengan aura licik yang terus menguar dari hembusan napasnya. Kedua tangannya berada di belakang tubuh, ia berjalan anggun bagai seorang kaisar. Matanya masih tertambat pada sosok pria muda yang menatapnya penuh amarah.





“ Kita bertemu lagi keponakanku.” Ia tertawa pelan, mengumbar aura dingin dari dalamnya.






Ia terus bergerak maju hingga berhenti beberapa langkah di depan pria muda yang nyaris meludahi wajahnya. Lagi-lagi sudut bibirnya tertarik.






“ Jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu!” tekan pria muda yang tak lain adalah Kris.






Pria tua yang ternyata adalah kakak dari ayahnya, atau singkatnya pamannya, mengalihkan pandangannya pada Cheonsa yang telah menatapnya dengan bingung. Pria itu mengumbar senyum misteriusnya hingga Cheonsa memilih untuk membuang wajahnya.






Kekehan itu terdengar sebelum kepalanya berbalik dan menatap Kris. Matanya terus menatap sepasang mata Kris yang tak segan untuk menanggapinya. Pria itu mengangkat tangannya, menggerakkannya kemudian menghentakkannya bersamaan dengan dahan pohon yang jatuh tepat di depan Cheonsa. Dahan itu nyaris menimpa kaki Cheonsa.





“ Akhhh!!”Jerit Cheonsa terkejut.





Kris semakin geram terlebih melihat betapa lemahnya Cheonsa saat ini, gadis itu terduduk lemah dengan tubuh yang terus bergetar. Ia mengutuk pria di depannya.





Ia mengempaskan tangannya ke udara hingga si pria tua terdorong jauh. Tapi dengan cepat pria itu mengendalikan dirinya sebelum kekuatan Kris mengempas tubuhnya ke bebatuan besar yang bisa saja meremukkan tubuhnya.





Ia tersenyum licik begitu mendapati wajah angkuh Kris. Ia hanya tertawa konyol menanggapi keangkuhan sang keponakan. Kekuatan yang ia miliki memang tidak sebanding dengan Kris, tapi sayangnya Kris belum bisa mengendalikan kekuatannya dengan baik. Jelas pria tua itu percaya diri dengan kekuatannya.





“ Pergi! Ia tidak ada hubungannya dengan masalahku!”





Kris terlihat menyeramkan, jika ia mau ia bisa saja menanggapi orang itu dengan pertarungan besar hingga menumbangkan semua pohon di tempat itu, tapi ia tidak bisa melakukannya. Ada Cheonsa di sana, gadis itu tak boleh melihatnya.





“ Ku pikir sebaliknya.” Senyuman licik itu kembali tercetak jelas.





Kris merasa tak bisa menekan amarahnya lagi. Urat-urat tangannya menegang begitu tangannya terangkat, mengarah pada dahan pohon yang tadi hampir menimpa Cheonsa. Ia mengangkat dahan itu, membuatnya melayang cepat ke arah Feng. Tapi belum sempat dahan itu mengenai  tubuh Feng, orang itu langsung menghilang tanpa jejak seolah tubuhnya tersusun dari kumpulan debu yang lenyap terhempas angin.






****  






Setelah kejadian itu, semua terasa berubah. Kris bisa merasakan bahwa ada luapan ketakutan yang tersimpan dalam aliran darah Cheonsa. Ia bisa memastikan jika gadis itu tak bisa tidur nyenyak setiap malamnya karena ia pun begitu. Setelah kemunculan Feng atau Wu Feng Long, Kris merasa jika tubuhnya semakin waspada.






Selepas pulang sekolah, diam-diam ia mengikuti Cheonsa dari kejauhan. Ia tak ingin keberadaannya membahayakan siapapun. Hal itu terus ia lakukan, tak peduli jika kemarin sore Cheonsa mengetahui keberadaanya. Kini di saat semuanya sudah terlanjur terjadi, ia tak bisa melakukan apapun selain mengawasi gadis itu.





Matanya menatap jengah deretan huruf yang berbaris rapi di buku sejarah miliknya. Hari ini Heo seosangnim tidak datang, tapi ia meninggalkan tugas merangkum. Sebenarnya merangkum bukanlah sebuah pekerjaan sulit untuknya, terlebih dengan kekuatan yang ia miliki. Ia bisa saja menyelesaikan buku itu dalam hitungan detik, tapi tidak dengan sekarang. Ia sedang tidak ingin memainkan kekuatannya untuk apapun. Pikirannya melayang jauh pada kejadian beberapa hari yang lalu. Ia terus memikirkan alasan kemunculan Feng.





Kenapa pria itu datang? Untuk apa pria itu menemuinya? Bukankah…





“ ARGHH!!”






Setumpuk pikirannya lenyap begitu suara jeritan memecah keheningan kelas. Terlihat Cheonsa yang kelihatan cemas dan ketakutan. Gadis itu baru saja terbangun dari tidurnya, ia bermimpi buruk, bahkan terlalu buruk.






Sekujur tubuhnya melemas, rasanya kebas. Tangannya bergetar begitu mengusap wajahnya yang dipenuhi peluh. Seisi kelas menatapnya dengan heran, melihatnya seolah gadis itu tidak waras. Begitupun dengan Kris.





“ Kau baik-baik saja?” Ji Eun terlihat cemas.






Terlihat jelas jika Cheonsa merasa sangat ketakutan, helaan napasnya terdengar berat dan bergemuruh.





Tanpa mengalihkan pandangannya Cheonsa mengangguk. Tangannya menyentuh permukaan meja, menekannya kuat untuk menopang keseimbangan tubuhnya. Ia berdiri kemudian pergi meninggalkan kelas hingga banyak bisikan penuh rasa ingin tahu menyertai kepergiannya. 







****








Mimpi buruk yang sama terus menghantui waktu malamnya. Cheonsa tak bisa menahan tubuhnya yang bergetar atau tetesan keringat dingin yang selalu muncul tiap kali ia terbangun di tengah malam. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia bisa memastikan kalau mimpi buruk yang belakangan ini menjadi putaran film dalam tidurnya berhubungan dengan apa yang terjadi seminggu yang lalu. Ia yakin jika semua mimpi itu berhubungan dengan Kris, si pendiam yang selalu ia hindari belakangan ini. 






Sesuatu dalam benaknya ingin mengeluh, ia ingin marah. Kenapa dirinya? Kenapa ia mengalami semua ini? Kenapa? Apa salahnya? Ini tidak adil! Bahkan ia tidak pernah sekalipun mendekati Kris.  Kenapa bukan Sera? Kenapa bukan gadis-gadis yang sering bertingkah aneh untuk mendapat perhatian dari Kris?






“ Kau itu tuli ya? Aku sudah bilang kalau kita akan menggunakan formasi milikku!”





Lagi-lagi pertengkaran Hyemi dan Sera menyita waktu latihan. Sebenarnya mereka hanya memiliki waktu dua minggu dan kini hanya tersisa waktu satu minggu lagi. Cheonsa muak tiap kali pertengkaran terjadi, hingga akhirnya masing-masing kubu berlatih dengan tariannya sendiri. Benar yang dikatakan Seok Jin, tim tari terpecah menjadi dua kubu.





“ Ciihh…kau pikir kita bisa menang dengan tarianmu? Itu benar-benar kampungan. Asal kau tahu!” ketus Hyemi. Matanya menatap nanar Sera yang sudah berancang untuk mendorongnya.






Pada akhirnya mereka pun saling mendorong, berusaha menyingkirkan keberadaan satu sama lain. Ricuh. Itulah yang Cheonsa rasakan. Kepalanya pening dan pikirannya benar-benar kacau saat ini. Ia tidak mendapat waktu tidur yang cukup dan kini dua orang di hadapannya terus bertengkar. Teriakan, makian dan keributan semakin parah begitu pendukung dua kubu itu ikut berdiri dan menambah rumit keadaan.





Ia memejamkan matanya sebelum berdiri dan menghentakkan kakinya keras-keras.





“ BERHENTI!!!”






Semua mata mengarah pada Cheonsa yang telah berdiri dengan emosi membeludak, tapi mereka tak mengindahkan gertakan gadis itu. Mereka kembali melanjutkan keributan itu. Menjambak, mendorong dan mengejek satu sama lain.






“ KU BILANG BERHENTI!! BERHENTI SEMUANYA!”





Kali ini Cheonsa tak ingin dibantah, ia tak ingin diabaikan. Sudah cukup ia bersabar, sekarang mereka semua harus mendengarnya.





Perlahan mereka menghentikan keributan, semua menghadap ke arah Cheonsa sambil menggerutu mengutuknya. Sementara itu Hyemi mendecakkan lidahnya sambil menatap konyol sosok Cheonsa yang kelihatan sok berkuasa. Pikirnya gadis itu terlalu sok jagoan dengan tatapan matanya yang penuh dengan aura kekejaman.





“ Siapa kau berani memberi perintah?”





Sepasang mata Cheonsa langsung mengarah tepat pada Hyemi. Ia tak segan menyerang gadis itu dengan tatapan tajamnya. Jelas Cheonsa tak main-main kali ini. Ia sudah lelah dengan semua omong kosong yang dilakukan Hyemi maupun Sera.


Selepas itu hanya suara bisik-bisik yang terdengar menyampaikan setiap opini yang tak berani tersampaikan secara langsung. Mereka terlalu takut jika nantinya Cheonsa akan bersikap lebih garang kalau mereka menyuarakan pendapatnya.




“ Kalian semua benar-benar idiot!”







****







Embusan napas kasar terdengar dari jiwa-jiwa lelah yang membiarkan tubuhnya tergeletak di lapangan. Mereka baru saja selesai latihan. Kali ini benar-benar latihan. Mereka melakukan pemanasan, pengaturan posisi, mendiskusikan gerakan dan akhirnya mulai mencoba untuk menyamakan gerakan.






Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, suasana tim tari kelas 12-2 semakin baik, walau tak sepenuhnya. Keributan antara Hyemi dan Sera sesekali terjadi di tengah latihan, namun dengan cepat keributan itu bisa ditangani Cheonsa dengan baik. Setelah hari itu, ia melaporkan Hyemi dan Sera pada Kim seosangnim hingga kedua gadis itu sepakat untuk bersikap kooperatif. Mereka setuju untuk bekerja sama dan akan menerima hukuman jika melanggar.





Hal itu tentu digunakan Cheonsa sebagai alasan tiap kali indikasi keributan mulai terlihat. Sampai sejauh ini mereka bisa dikendalikan, terlebih beberapa hari belakangan saat Seok Jin sering mengawasi latihan mereka.




“ Kalian sudah bekerja keras.” Seok Jin melebarkan senyumnya. Ia baru selesai latihan  bersama tim basketnya.





Sontak semua tubuh langsung bangkit dari posisinya, merapikan penampilan masing-masing. Mereka membalas senyuman Seok Jin, berusaha menampilkan senyum terbaik yang mereka miliki.




Pria itu diikuti beberapa anggota tim basket lainnya berjalan mendekat. Semakin mereka mendekat, semakin kencang juga urat-urat pada tubuh para gadis yang menatapnya. Bagaimana mereka tidak tegang? Gerombolan pria keren di kelas tengah berkumpul.





“ Ahh…ini kan untuk kelas, kami pasti akan melakukan yang terbaik.” Hyemi menunduk malu. Ia tidak ingin kelihatan berlebihan.






Sementara beberapa orang terlihat berbincang, menanyakan perkembangan tim masing-masing, Seok Jin mengarahkan perhatiannya pada Cheonsa. Gadis itu tengah bicara dengan Taeri. Tak lama setelahnya Cheonsa menyadari keberadaannya, gadis itu mengulas senyum, seolah mengatakan ‘hai..aku duluan’.






“ Jin-aa…menurutmu bagaimana kalau warna seragam untuk tim tari disamakan dengan tim basket?” tanya Hyemi memecah lamunan Seok Jin.





“ Hmmm…aku tidak masalah dengan usulanmu. Tapi bagaimana dengan yang lain? Kau harus bicarakan dengan yang lain dulu.”






Hyemi mengangguk, bibirnya merapat hingga terlihat sangat tipis. Ia sedang menahan gejolak aneh yang sebentar lagi akan meledak. Astaga….ternyata pesona Seok Jin bekerja terlalu kuat terhadap tubuhnya.





Namun sensasi menyenangkan itu semakin menggila manakala Seok Jin menatap tepat di bola matanya, seolah hanya dirinya pusat perhatian pria itu.






“ Tapi jangan sampai bermasalah. Diskusikan dengan baik, mengerti?” Seok Jin mengulas senyum mautnya lagi sebelum meninggalkan Hyemi yang mematung di tempat.





Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya nyaris hilang begitu mata indah Seok Jin memancarkan ketulusan. Pria itu benar-benar memesona.





“ Kau sangat beruntung. Setidaknya pangeranmu mau bicara denganmu, sedangkan Kris…” keluh Sera.





Walau sering menjadi rival tapi sejak menghabiskan waktu latihan bersama, membuat mereka menyadari bahwa mereka memiliki beberapa persamaan. Mereka sama-sama menaruh hati pada dua pangeran di kelas. Setidaknya ada satu hal yang membuat mereka merasa satu nasib.





Hyemi tersadar dari khayalan indahnya, ia menoleh ke arah Sera. Gadis itu tengah menatap jauh dimana Kris berjalan tanpa mengatakan apapun. Seperti biasa, pria itu nyaris tak bersuara. Ia memandang Sera dengan kasihan.





“ Jangan begitu! Kau hanya perlu mengajaknya bicara,” Ucap Hyemi. Ia kelihatan sangat tulus, seolah Hyemi dan Sera bukanlah dua orang yang sering bertengkar, seolah mereka sahabat yang sangat dekat.






****







Cheonsa melambaikan tangannya sambil mengatakan sampai jumpa pada Taeri begitu mereka harus berpisah di persimpangan jalan. Ia memegangi kedua tali tas yang tersandang di bahunya. Kakinya terus melangkah, membelah hutan yang kali ini tak sesepi biasanya. Ada beberapa pasang ibu dan anak terlihat melintas di sana, ada juga beberapa pengendara sepeda melewatinya.





Ia masih takut melewati jalan ini, terlebih mengingat kejadian super aneh yang ia saksikan waktu itu. Seorang pria tua yang bisa terbang, kemudian memiliki kekuatan super hingga mampu menghentak tanah. Belum lagi kenyataan bahwa Kris memiliki kekuatan yang tak kalah aneh dengan pria itu. Sebenarnya siapa pria itu, atau haruskah ia bertanya, siapakah mereka berdua?






Sebelumnya ia sudah pernah menonton beberapa film fantasi buatan tangan dingin sutradara Hollywood, ia pernah melihat Bella Swan dibawa terbang hingga puncak pohon oleh Edward Cullens. Ia tak pernah merasa hal itu aneh. Tapi…begitu melihat seorang pria tua dan salah seorang teman sekelasnya waktu itu, ia merasa hidupnya seperti lelucon. Sebenarnya apa yang salah? Apa ia terlalu obsesif pada film-film fantasi hingga kini ia membayangkan hidupnya seperti itu? Atau mungkin kenyataannya memang begitu?






Ia tak tahu. Ia masih terlalu bingung dengan semuanya. Ia masih bingung kenapa ada manusia bisa terbang. Pertanyaan pun mulai membanjiri pikirannya, menuntut untuk mendapat jawaban konkret. Tapi apa yang bisa ia jawab? Apa ia harus bilang kalau Kris adalah bagian dari imajinasinya atau mungkin pria itu memang makhluk super seperti Edward Cullens?





“ Kau berpikir terlalu keras sampai meninggalkan bukumu di kelas.”







Sebuah tangan mengulurkan buku miliknya. Ia sudah tak asing lagi dengan pemilik tangan itu, karena belakangan ini orang itu selalu mengikutinya. Entah untuk menjaganya atau hanya memastikan jika pria tua aneh itu tidak muncul kembali.






Tak ada obrolan, tak ada ucapan terimakasih, atau sebut saja orang itu tidak memberi kesempatan pada Cheonsa untuk mengucapkannya. Ia berlalu begitu saja setelah mengembalikan buku Cheonsa.





Sementara Cheonsa yang tertinggal beberapa langkah di belakang orang itu, terus menahan luapan pertanyaan dalam benaknya. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan, tapi ia tak yakin akan berani mengatakannya pada orang itu, Kris.





Biar bagaimanapun mereka bukan rekan bicara yang baik, Kris pun bukan pembicara yang hangat dan terbuka, malah sebaliknya.  Tapi menahan mulutnya untuk bicara membuat Cheonsa semakin tak bisa mengendalikan rasa penasarannya. Ayolah, ini semua tidak masuk akal! Terlalu aneh untuk dipendam seorang gadis tujuh belas tahun yang mengharapkan sebuah alasan.





Akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka mulutnya. Ia takkan pernah tahu jawabannya jika bertanyapun tidak pernah. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya merasa yakin untuk menatap punggung gagah di depan.






“ Aku sering bermimpi buruk.” Mulainya dengan ragu. Ia mengawasi punggung Kris yang berhenti sejenak, pria itu terdiam kemudian mulai melangkah lagi dengan pelan. Walau tak memberi tanggapan, sebenarnya Kris sedang memikirkan apa yang Cheonsa katakan. Dan Cheonsa tahu itu.






Ia menelan ludahnya sebelum menyambung ceritanya. “ Dalam mimpi, aku dibawa pergi oleh seorang pria tua dengan jubah hitam, kemudian ia meninggalkanku di sebuah menara tanpa penghuni.” Cheonsa terlihat serius, ia tak ingin melewatkan setiap kejadian dalam mimpinya.






“ Kemudian kau bertarung dengan beberapa orang  berkekuatan super, begitu kau mengalahkan mereka semua, pria tua itu datang. Pria tua yang sama seperti waktu itu. Dia datang dengan mahkota di kepalanya-“





Kris berbalik menghadap Cheonsa, membuat gadis itu berhenti bercerita. Mereka saling berpandangan, meluapkan segala pertanyaan yang semakin lama semakin banyak.





“ Mahkota?” ulang Kris memastikan. Cheonsa mengangguk dan mendapati rahang Kris yang mulai mengeras, pria itu terlihat marah, kesal dan tenggelam dalam pikiran buruknya.






“ Dia hanya tertawa ketika menghampirimu yang berdiri lemah dengan tubuh penuh luka dan darah. Dia tertawa beriringan dengan petir yang menyambar, kemudian ia mengeluarkan pedangnya. Pedang itu sangat besar dan memiliki cahaya terang yang menyilaukan mata. Ia pun menyerangmu dengan pedang itu, hingga akhirnya menghunuskannya tepat di dadamu, dimana jantungmu berada.” Cheonsa kembali menatap Kris yang tengah menegang. Pria itu tenggelam semakin dalam hingga tanpa ia sadari sekujur tubuhnya melemas.






“ Sebelum kau terkulai, dia mengatakan sesuatu,” Ungkap Cheonsa.





“ Apa?”






“ Kau akan mati Kris Wu, entah dengan tanganku atau melalui gadis itu.”






Tak mudah untuk mengatakan hal semacam itu. Cheonsa merasa sangat buruk begitu melihat Kris kehilangan keseimbangannya, pria itu terhuyung hingga mundur dua langkah. Ia merasa benar-benar terkejut.





Dalam keraguannya Cheonsa kembali menatap Kris. “ Sebenarnya siapa kau ini?” tanyanya ragu.






Kris tak menjawab, pria itu menatap Cheonsa sejenak sebelum akhirnya berbalik. Ia melangkah, melanjutkan perjalanannya dengan rasa takut yang menyergap sekujur tubuhnya. Ia sudah berusaha untuk tak terpengaruh, namun tubuhnya tak mematuhi perintahnya. Tetap gemetar dan menegang hingga pikirannya kacau tak karuan.






Bunyi gemuruh halilintar menyambar, menyentak jiwa lemah Kris. Dilihatnya langit yang mulai gelap, terlihat mendung. Pria itu hanya berharap ia bisa sampai di rumah sebelum hujan turun. Namun belum sempat ia menghela napasnya, rintik-rintik hujan mulai membasahi kulitnya. Ia memejamkan matanya, mengembuskan napasnya dengan dalam sebelum berlari mencari tempat berteduh.






Cheonsa melenguh pelan begitu air mulai membasahi seragamnya, ia pun berjalan cepat. Sesungguhnya ia tak kecewa hujan turun, ia hanya kecewa karena Kris tidak menjawab pertanyaannya.






Ia berjalan cepat mengabaikan Kris yang tengah berteduh di bawah pohon besar dengan kanopi di atasnya, itu merupakan fasilitas yang dibuat warga setempat.





“ Sepertinya hujan akan semakin deras.” Ucapan Kris terdengar saat ia melewati pria itu tanpa berminat untuk ikut berteduh.




Bagus…setelah tadi mengabaikan pertanyaannya, kini pemuda itu justru menyuruhnya untuk berteduh. Sebenarnya pria muda itu tidak benar-benar menyuruhnya berteduh, tapi…ya anggap saja begitu.





Tanpa berpikir dua kali, ia pun bergabung dengan Kris. Berteduh di bawah kanopi sambil menunggu hujan yang entah kapan akan berhenti. Waktu berjalan begitu lambat dan terkesan membosankan tanpa adanya perbincangan. Keduanya sama-sama bungkam, sibuk menghangatkan tubuh masing-masing.





Cheonsa terlihat sibuk menggosok-gosok telapak tangannya, walau terkadang mencuri pandang ke arah Kris yang terus menatap langit kelam yang tak lelah menangis. Ia pun ikut memandangi langit, mencoba memahami kegiatan yang sedang Kris lakukan. Tapi itu tak berlangsung lama, karena setelah beberapa detik Cheonsa merasa lehernya pegal dan matanya sayup. Embusan dingin yang langsung mengenai matanya, membuatnya ingin tidur.





“ Aku tidak seperti yang orang-orang pikirkan,” Ucap Kris diantara gemuruh suara hujan. Setelah terdiam lama, ia akhirnya mengucapkan sesuatu, menarik rasa bosan yang menguasai keadaan di bawah kanopi. Helaan berat Kris terdengar bersama dengan percikan air hujan yang menyentuh tanah.





Mata kantuk Cheonsa kembali terjaga, menatap serius pria di sebelahnya.


 


“ Aku bukan manusia seperti yang kau pikirkan,” Ungkap Kris.



“ Lalu…manusia seperti apa kau ini?”






Terdengar gemericik hujan yang semakin lebat begitu Kris terdiam. Berpikir ulang mengenai keputusannya untuk membongkar jati dirinya pada Cheonsa. Tapi tak ada gunanya lagi terus merahasiakannya, Cheonsa mungkin lebih mengerti jika ia bukan manusia biasa.





“ Manusia langit.” 






Setelah itu Cheonsa terdiam. Benar-benar terdiam. Ia merasa…terkejut? Atau mungkin sedikit kecewa karena tebakannya tentang Kris salah. Ia kira Kris itu manusia serigala atau vampir. Tapi nyatanya pria itu adalah manusia langit. Manusia langit! Ia tak tahu harus bagaimana lagi sekarang, pasti ibunya akan menganggapnya gila jika ia mengaku memiliki teman seorang manusia langit.






Diamnya Cheonsa membuktikan prediksi Kris. Pria itu yakin jika Cheonsa akan membisu setelah mendengar kenyataan tentang dirinya yang terkesan konyol dan imajinatif, setidaknya untuk bocah bumi. Ia memaklumi itu.





“ Jadi karena ini kau selalu diam?” Cheonsa kembali bersuara setelah lama tenggelam dalam keraguannya.






Ia menatap lurus ke depan, mengawasi jatuhnya rintikan air yang tak kunjung usai. Tangannya bergerak menyelipkan rambutnya yang berterbangan ke belakang telinga.





“ Yah.. Aku khawatir jika mereka tidak mengerti dengan apa yang kukatakan, dan pada akhirnya mereka hanya akan menganggapku aneh. Lagipula itu bukan sesuatu yang harus kuceritakan.”







****







Masih seperti hari-hari sebelumnya. Ia pikir setelah perbincangan mereka di bawah hujan sore itu, situasi antara dirinya dan Kris akan berubah, setidaknya sedikit, tapi tidak. Semua berlangsung seperti biasanya, seperti sebelum Jung Cheonsa tahu rahasia ‘kecil’ milik Kris Wu.





Kris masih seorang anak laki-laki yang pendiam , ia hanya akan bicara saat mendesak atau mungkin menjawab pertanyaan dari para guru. Pria itu tidak bersikap aneh atau mungkin merasa akrab dengan Cheonsa, begitu juga dengan Cheonsa. Walau sebenarnya gadis itu ingin sekali bertanya lebih banyak hal pada Kris. Seperti: di langit bagian mana Kris tinggal? Apa Kris pernah melihat malaikat di sana? Dan pertanyaan paling penting yang ingin ia tanyakan adalah untuk apa Kris datang ke bumi? Semuanya ingin ia tanyakan, tapi menyadari bahwa itu tak mungkin, Cheonsa menahan dirinya.





Seperti saat ini misalnya. Ia berusaha untuk tidak berteriak heboh begitu Kris berlari sambil menguasai bola oranye. Jika saja Cheonsa tak bisa menahan, mungkin ia akan berteriak ‘terbang Kris! Terbang dan kau pasti akan menang!’, tapi ia tidak sebodoh itu. Walau tidak pernah memintanya, ia yakin Kris ingin ia merahasiakan hal itu dari yang lain.






Hari ini selepas pulang sekolah, Kim Seosangnim meminta tim basket dan tim tari untuk mengadakan latihan akhir sebelum pertandingan besok. Yah, tanpa terasa pertandingan yang telah dinanti banyak orang hanya tinggal beberapa jam saja.





Bertempat di lapangan utama sekolah, tim basket terlihat menunjukkan hasil latihan mereka. Sebelumnya tim tari telah lebih dulu tampil dan kini mereka terlihat duduk di pinggir lapangan bersama Moon Hee seosangnim.




Begitu bola masuk ke dalam keranjang semua orang bersorak heboh, terlebih Sera. Orang hebat yang baru saja memasukkan bola ke dalam keranjang adalah Kris, pangerannya. Ia berdiri sambil menepukkan tangannya dengan wajah super bahagia, seolah ia bangga memiliki pacar seperti Kris. Oke…itu harapan terbesarnya sekarang, menjadi pacar seorang Kris Wu.





Pertandingan pun usai. Kim seosangnim bangkit dan menghampiri tim basket yang telah berkumpul di tengah lapangan. Mereka penuh peluh dan napasnya terengah, untung usaha mereka tak sia-sia karena Kim Seosangnim terlihat bangga. 




“ Kalian hebat. Pertahankan itu!” ucapnya diikuti dengan senyum tulus.






Mereka mengangguk, puas dengan hasil kerja mereka. Rasanya senang sekali begitu Kim seosangnim menepuk punggung mereka kemudian menyuruh mereka pulang dan istirahat.






Setelah Kim seosangnim meninggalkan lapangan, anak-anak itu merayakan kesenangan dengan  meloncat atau sekedar berputar mengitari lapangan. Anggota tim basket maupun tim tari kelihatan siap untuk perlombaan besok.




“ Kau hebat!”





Cheonsa mengalihkan pandangannya pada Seok Jin yang telah duduk bersamanya. Pria muda itu duduk dengan jarak lebar diantara kedua kakinya. Ia menenggak air minumnya kemudian menatap Cheonsa lagi.





“ Kau juga hebat! Kita harus lebih hebat untuk perlombaan besok!” Cheonsa menutup resleting tasnya. Ia sudah siap untuk pulang.





“ Bukan itu maksudku, kau berhasil membuat dua kelompok yang tak akur menjadi satu,” Tutur Seok Jin. Pria itu menatap lurus ke depan, mengamati Sera dan Hyemi terlihat berbincang kemudian tertawa.





Cheonsa mengikuti pandangan Seok Jin, kemudian berdecak.” Mereka hanya baru sadar kalau mereka memiliki nasib yang hampir sama,” Ujarnya merujuk pada rasa suka kedua gadis itu pada Seok Jin dan Kris.





Meski tak mengerti maksud ucapan Cheonsa, SeokJjin menganggukkan kepalanya. Ia juga tak terlalu tertarik dengan apa yang membuat Hyemi dan Sera terlihat akur. Tanpa harus ia elak, ia jauh lebih tertarik dengan orang di sebelahnya. Harus ia akui ia merasa senang bisa bicara dengan Cheonsa, gadis itu rekan bicara yang menyenangkan untuknya.





“ Kau mau pulang?” tanyanya begitu Cheonsa berdiri dan menyampirkan tali ranselnya ke bahu.





Gadis itu mengangguk sambil menaikkan kedua alisnya. “ Semoga berhasil untuk besok!” Cheonsa mengepalkan tangannya ke udara.





Sebuah senyum terukir membalas ucapan Cheonsa. “ Hati-hati di jalan!” Seok Jin melambaikan tangannya singkat sebelum akhirnya ikut bangkit dan pergi mengambil tasnya.





Di sisi lain lapangan sekolah, Kris tengah memegangi Sera yang hampir terjatuh. Tadi saat Kris ingin mengambil tasnya, Sera berjalan semangat menghampirinya hingga tak sadar menginjak bola basket. Singkatnya gadis itu tergelincir, hampir saja wajahnya menghantam kerasnya aspal.





Beruntung Kris memegangi kedua sisi tubuh Sera, sementara kepala gadis itu tertunduk menyentuh perutnya. Perlahan Kris membantu gadis itu berdiri. Menguak wajah memerah Sera yang mengerut malu, ia tak berhenti mengulum bibirnya begitu tatapan dingin Kris menyerbunya.






“ Hati-hati.” Hanya itu yang Kris katakan sebelum berlalu. Ia melenggang tak peduli pada sosok kaku di belakangnya. Sosok gadis yang tubuhnya tak berhenti bergetar dan terus memegangi pipinya yang panas.






END


Manusia langit!!! Si tiang listrik ternyata manusia langit saudara-saudara!!!! Uhhh…oke..mungkin ini absurd bgt, konyol parah dan ga ada keren-kerennya… but…it’s my imagination, and it’s my story, jadi apapun yang terjadi di sini suka-suka aku*authornya batu*… kekekekkkk…tapitapi…ini ga seancur itu kok…sumpah deh…aku udh berusaha sebisa mungkin untuk ngarang cerita yg seenggaknya cukup enk dibaca….siplah..itu aja dariku, terimakasih buat siapapun yg udh baca…


Thanks,

GSB

Comments

Popular Posts