That Cashier



Main Cast = Kim Jong Woon, Kim So Eun
Minor Cast = Kim Jong Jin
Genre = Romance
Length = Oneshoot
Author = Salsa
#welcomebackYesung spesial<3 nbsp="">


**********


‘jadi namanya Kim Jong Woon’



Aku menuliskan kalimat itu di buku catatan kecil bergaya vintage, mengawali cerita absurd tentangku dan si kasir disana.


Ini semua bermula di malam selasa, saat guru bahasa Inggris kami –yang kecewa karena semua murid remedial— mengadakan kelas tambahan sampai jam 10 malam. Tepat setelah aku turun dari bus, rintik hujan ikut turun dari langit. Aku lekas berlari menuju gang rumah, tetapi barikade kayu penuh paku menghalau, papan besar bertulis ‘Ada perbaikan pipa. Harap tidak melewati jalan’ membuatku mau tak mau harus berbalik lagi melewati jalan lain. Hujan turun semakin deras. Saat sedang berlari, aku melihat palang putih bertulis ‘mouse rabbit’ di kejauhan. Sejujurnya aku tak tahu tempat apa itu, tetapi demi kesehatanku aku tetap masuk.



Triingg


“Kami tutup."


Sambut seseorang dengan sangat ramah, hah yang benar saja.... maksudku kebalikannya. Seorang pria di belakang kasir berkata dengan dingin sambil terus menghitung lembaran uang kertas dari dalam mesin. Rambutnya yang berwarna blonde terang itu tertutup beanie cream, kacamata berbingkai hitam dengan ujung merah dan sweatshirt Lacoste berwarna senada dengan beanie-nya. Warna krem mendominasi penampilan si kasir yang sama sekali tak terlihat seperti kasir itu. Membuatku langsung berpikir bahwa warna cokelat dan putih yang berpadu tidak jelas itu adalah warna favoritnya.


“Maaf, aku tidak akan memesan. Cuma berteduh sebentar saja.” Aku menghampirinya sambil menggosok tangan. Pria itu sama sekali tak menghiraukan.


“Kalau kau punya payung mungkin aku akan….” Dia memasukkan uang yang sudah dihitung kembali ke dalam kasir dan pergi begitu saja. Aku mendengus, benar-benar tidak sopan. Aku belum selesai bicara.


30 menit berlalu, alih-alih berhenti, hujan di luar malah semakin deras. Aku duduk meringkuk di samping pintu masuk, merapat pada dinding. Suara benturan air hujan dengan aspal terdengar redam, aku memejamkan mata sembari memeluk lutut, mendekap tubuhku dalam-dalam. Tiba-tiba saja terdengar suara saklar dimatikan. Aku mengerjap pusing sembari mengangkat kepala setengah. Ada langkah tenang yang mendekat.


Di ruangan gelap seperti ini, walaupun aku berusaha untuk fokus, yang bisa kutangkap hanyalah siluetnya saja. Tetapi jika boleh menebak, dia pasti pria di belakang kasir tadi, aku bisa melihat beanie di kepalanya. Pria itu sedikit membungkuk, meletakkan sesuatu tepat di hadapanku. Aku yang masih dalam kondisi setengah sadar cuma bisa memperhatikannya dalam diam. Satu hal yang kuingat sampai detik ini adalah mata sipit segarisnya yang menatapku, tajam tapi lembut. Seketika aku terpekur. Aku bahkan tak sadar kalau pria ini sudah berlalu dan menghilang di balik pintu tadi.


Demi Tuhan matanya! Terbuat dari apa mata itu?


**********



Cardigan dan payung. Ia memberikanku cardigan dengan 3 buah kancing berwarna senada dengan sweatshirt yang ia kenakan, juga payung berpola army. Aku memakai cardigan itu untuk menghalau tampias hujan saat pulang, lalu memakainya lagi keesokan harinya, hanya melepasnya saat kelas dimulai.


Ini memang tidak masuk akal, tapi sepertinya aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada pria semalam. Aku jatuh cinta dengan sosoknya yang terkesan dingin namun tenang dan perhatian di saat yang bersamaan. Aku jatuh cinta karena tatap matanya yang terlihat bersinar di celah gelap. Aku jatuh cinta karena payung army yang besar itu melindungiku sepenuhnya dari hujan. Aku jatuh cinta karena aroma maskulin dan lembut yang menguar dari cardigan ini. Aku jatuh cinta karena warna cardigan dan sweathshirt kami sama. Aku jatuh cinta karena hal-hal sesederhana, bukan, tepatnya sekonyol ini, pada pria yang sama sekali tak kukenal. Aku pasti sudah gila.


Sepulang sekolah, sambil tersenyum antusias, aku setengah berlari menuruni bus, setengah berlari memasuki bangunan berpalang ‘mouse rabbit’ itu.



Tringg



Aku terpaku di depan pintu, lalu meringis kecil sambil melepaskan tanganku dari kenopnya. Kafe sempit ini ternyata sangat ramai, semua meja terisi penuh dan ada lima orang perempuan yang berbaris di belakang kasir. Aku ikut berdiri di belakang antrean itu. Kepalaku menjulur ke samping untuk melihat wajah si kasir, dia melayani seorang gadis asing dengan senyum ramah, tidak seperti kemarin. Aku ikut tersenyum. Dia manis sekali ternyata.


Tak butuh waktu lama, giliranku pun tiba.


“Hai.”
“Mau pesan apa?”
“Kau tak mengingatku?”
“Mau pesan apa?” Dia mengulangi pertanyaannya sambil tersenyum paksa. Serius dia tidak mengenaliku? Padahal aku memakai cardigannya.


“Aku ingin mengembalikan payungmu.” Aku meletakkan payung berpola army itu di meja. Ia menghela napas dan mengambilnya, meletakkanya di balik meja dan menatapku dengan senyum yang sama. “Mau pesan—“


“Terima kasih. Jika tidak ada kau, aku pasti—“
“Aku harus melayani pembeli yang lain. Mau pesan apa?” Ia berusaha sopan.
“Apa saja.”


Ia langsung mengambil gelas tinggi dan meracik pesananku –pesanan yang ia pilihkan untukku, tepatnya. Aku memperhatikan tangannya bergerak lihai menambahkan ini itu ke dalam gelas. Mulai dari bubuk kopi, air, sirup vanili, whipped cream dan apalah-apalah lalu dikocok dalam tabung besi. Ia terlihat sangat fokus. Caranya menggunakan mesin kopi atau memegang gelas atau bernapas juga sangat keren. Aku benar-benar terkesima.


“Nona, 7000 won.”


Aku terkejut dan tersadar, satu cup kopi telah tersedia di hadapanku. Dan wajah si kasir yang merangkap sebagai barista ini terlihat mulai kesal.


“Oh, ini.” Aku mengeluarkan uangku cepat-cepat.
“Aku akan kembali lagi besok,” ucapku saat ia mengulurkan uang kembalian. Pria itu tak terlihat peduli.



**********



Dan sesuai janji, aku kembali. Kali ini aku berhasil mendapat meja kosong. Awalnya aku hanya memesan espresso, tapi karena mejaku terlihat terlalu lengang, aku memutuskan untuk memesan cake juga. Cuma kue cokelat biasa, tapi aku memakannya nyaris dua jam. Tentu saja ada alasan kuat di balik hal itu. Yap, si kasir blonde dengan mata sipit yang bercahaya. Tadi sebelum berangkat, aku mengambil kamera Polaroid ayah dan menggantungnya di leher. Mulai hari ini aku akan memotretnya diam-diam, satu foto tiap hari. Sepertinya dia memang tidak terlalu suka tersenyum, senyumnya selalu terlihat terpaksa, tapi walaupun begitu ia tetap terlihat manis. Aku selalu berdebar sendiri tiap mengingat matanya yang menatapku di hari itu. Aku benar-benar menyukai matanya. Dan hari ini aku baru sadar kalau ternyata aku juga menyukai senyumnya. Dan aku penasaran bagaimana rupanya jika ia tersenyum tulus? Untukku…



‘ternyata senyumnya juga sangat indah. Suatu hari aku akan memotret satu yang tulus’



Aku membeli buku catatan lucu hari ini. Berwarna cokelat tua dengan gaya vintage yang keren. Buku ini kudedikasikan khusus untuknya, hanya untuk si kasir itu. Di bawah tulisan itu, aku menempelkan selembar foto dari kamera Polaroid ayah.




**********


Cinta itu butuh pengorbanan. Aku mati-matian menahan diri agar tidak membeli apapun di sekolah. Harga makanan dan minuman di mouse rabbit cukup mahal, dan demi melihatnya aku harus memesan sesuatu. Walaupun hubunganku sama sekali tidak mengalami kemajuan—bagaimana mau maju jika dia terus-menerus mengabaikanku?— tapi aku masih semangat berkunjung kesana sepulang sekolah. Ini sudah 7 hari setelah pertemuan pertama kami. Aku mulai mengeluarkan jurus baru.


“Ini cardiganmu… maaf baru mengembalikannya sekarang.” Cardigan kremnya sudah kucuci bersih lalu kusemprotkan parfumku banyak-banyak, aku tak tahu kenapa, aku hanya ingin ia mengingatku saat memakai cardigan itu lagi.


Sama seperti ketika aku mengembalikan payungnya, ia cuma mengambil cardigan itu dan meletakkannya di bawah meja.


“Mau pesan apa?” tanyanya monoton, kali ini tanpa senyum sama sekali.
“Seperti biasa.” Ia langsung mengambil termos besi yang sama dan meracik pesananku. Tak ada yang berubah. Jurusku kali ini sepertinya tidak akan berhasil.


“Sejak kapan kau menjadi barista?” tanyaku. Ia membuka tutup termosnya sambil melirikku, aku menahan napas. Mata sekecil itu ternyata bisa membuatku merasa begitu terintimidasi.


“Satu tahun” jawabnya singkat, tidak terlihat tertarik.
“Jadi kafe ini milik keluargamu?”
“Ya.”
“Sudah kuduga. Pantas saja kau tidak memakai nametag.” Aku sedang berancang-ancang untuk menanyakan namanya saat…. “15000 won.” Pria itu mengulurkan nampan kecil berisi makanan dan minuman padaku. Ah sial! kenapa cepat sekali sih?



***********




Aku menempelkan foto di buku catatanku sambil tersenyum. Lantas menekan bolpoinku dan mulai menuliskan sepotong kalimat.



Barusan dia bicara padaku, duluan.



“Kau tidak pernah menghabiskan espresso-mu.”


Aku benar-benar terkejut saat ia bicara duluan. Maksudku, biasanya pria itu hanya akan berkata ‘mau pesan apa?’ dengan senyum paksa. Tapi kali ini, ia bicara duluan, tepat setelah gadis di depanku pergi.


“Sebenarnya aku tak begitu suka kopi.” Aku menyingkirkan rasa syokku dan menjawab tanpa kedip. Heol, aku tak perlu segugup ini, ia bahkan tak menatapku.


“Kenapa tak bilang dari awal?”
“Aku……”
“Mau coba smoothie?”
“Ya.”



**********



Kukira ia akan mulai melunak sejak hari itu, kukira kami akan lebih sering berbincang santai, kukira dia akan mulai lebih dermawan dan berkenan memberiku seulas senyum tulus. Tapi tidak. Setelah menawarkan smoothie, ia kembali ke kepribadian awalnya yang super dingin. Aku menoleh ke arah kasir sambil menyedot kiwi smoothie. Antrean di kasir sedang kosong. Sama sepertiku, pria blonde dengan mata sipit bercahaya itu juga tengah menyedot minumannya. Matanya berpindah dari satu meja ke meja lain, memperhatikan pelanggannya yang sibuk sendiri-sendiri. Hingga,…..


“Uhuk…” Aku langsung terbatuk begitu melihat matanya sampai di mejaku, menatapku. Aku mengelap mulut dan menoleh padanya lagi, dan pria itu ternyata sudah melayani pelanggan baru yang sudah mengantre.


Aku mendengus. Lantas beranjak dari tempatku dan menghampirinya.


“Kau punya tisu?” tanyaku, langsung begitu perempuan di hadapannya pergi. Pria blonde itu mengambil kotak tisu di sampingnya dan mengulurkannya padaku. Tetapi ia menariknya lagi saat tanganku sudah mengulur. Ia baru sadar kalau kotak itu ternyata sudah kosong. Ia mengangkat tangannya menyuruhku menunggu, lalu menghilang di balik pintu.


“Kenapa tidak bilang ‘tunggu sebentar’? Kenapa malah menggunakan bahasa isyarat begitu? Pelit sekali sih, memangnya suaranya akan habis jika dibagi-bagi?” Mungkin kalau malam itu ia tidak memberiku sweater dan payung serta tatapan lembut, aku tak akan jatuh cinta padanya seperti ini.


Aku bersedekap dan mendengus menunggunya. Dan saat itulah, cup kopinya yang ditinggal di meja bagian dalam tertangkap mataku. Aku tersenyum penuh makna dan menggerakkan jemariku mendekati benda itu.


Tepat saat itu, ia muncul dari balik pintu, aku menarik sedotan dalam cup-nya dengan cepat dan menyembunyikannya di belakang badan. Pria itu kembali ke depan kasir, memberikan beberapa lembar tisu padaku. Aku mengucapkan terima kasih dengan cepat dan segera berlalu. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat pria itu mengambil minumannya dan mendekatkannya ke mulut, lantas mengernyit karena tak bisa menjangkau apa-apa dan baru menoleh bingung melihat sedotannya hilang.


Aku tertawa cekikikan di mejaku.



Aku lupa bawa Polaroid, tapi tidak apa-apa, aku mendapatkan barang yang lebih bagus dari sekedar foto. Kkkk



Aku menempel sedotan-nya di bawah tulisan itu, seraya menoleh waspada pada pria di ujung sana. Jika dia tahu, habislah riwayatku.



**********



Malam selasa lagi. Dan guru bahasa Inggrisku mengadakan kelas tambahan lagi. Aku melirik jam tangan dengan muka masam. Jam 10.14, aku masih di bus dan jam segini mouse rabbit jelas sudah tutup, itu artinya tidak ada kasir lucu untuk hari ini. Benar-benar menyebalkan! Aku sudah melewati 30 hari penuh tanpa cacat. Aku selalu datang ke kafe itu dan bertatap muka dengannya. Karena kepribadiannya yang sangat susah ditebak, aku jadi takut kalau hari ini aku tidak datang, ia akan seratus persen lupa padaku. Aku mengerang dan menggerutu sepanjang jalan.


Setibanya di halte, aku yang biasanya melewati jalan memutar kini berjalan lurus dan berhenti di depan gang rumah—yang sudah selesai diperbaiki sejak 3 minggu lalu, menimbang apa sebaiknya aku lewat jalan ini atau jalan memutar seperti empat minggu belakangan. Aku yakin mouse rabbit sudah tutup, jalan memutar tiga kali lipat lebih jauh dari gang ini. Berbekal keyakinan itu, aku melangkah memasuki gang. Tetapi belum sampai langkah ke-tujuh, apa salahnya dicek dulu? Kau akan menyesal jika ternyata masih buka. Sebagian dari diriku justru berpikir demikian. Aku mendecak dan memutar langkah, baiklah aku akan kesana.



Tringg



Seorang pria sedang duduk meringkuk di salah satu meja kafe. Pria berjaket abu-abu dengan rambut hitam cepak yang ditutupi topi. Siapa dia? Aku menoleh ke arah kasir, tak ada siapa pun disana. Lampu di bagian kasir sudah mati, hanya lampu di atas meja itu saja yang masih menyala. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Kalau masih ada pelanggan, berarti si kasir itu seharusnya juga masih ada kan? Aku tak mau datang kesini sia-sia. Jika tidak bisa memesan, setidaknya aku harus bisa melihat wajahnya dan mengucapkan selamat malam, atau apalah.


Mungkin bunyi sepatu pantofelku terlalu nyaring hingga mengusik tidurnya. Kepala pria itu bergerak dan terangkat perlahan, sebelum akhirnya menoleh padaku dengan mata menyipit. Aku menghentikan langkah.


“Kau datang?” Ia tersenyum. Aku terheran-heran memandanginya. Ia berdiri dan aku baru sadar kalau dialah si kasir blonde.


“Kau mengecat rambutmu? Memotongnya juga? Wah.. aku sampai tidak mengenalimu.” Aku segera menghampirinya, melihatnya dari dekat dan mengitarinya seolah sedang mengecek.


“Ya.” Seperti biasa ia menjawab dengan singkat, tapi kali ini disertai senyum.
“Kukira kau tak akan datang.”
“Jadi kau menungguku?” Rasanya benar-benar tidak masuk akal. Aku merasa seperti sedang bermimpi, sejak kapan pria dingin ini jadi gemar bicara dan murah senyum? Sepertinya bahan kimia dari cat rambut itu mempengaruhi otaknya.


“Kau mau pesan sesuatu atau….” Ia menoleh ke luar jendela dan tersenyum miring, tidak ada setetes hujan pun malam ini, “…. hanya ingin bertemu denganku?”


“Dua-duanya.” Pria itu tertawa pendek. Kalau boleh jujur, sebenarnya tujuanku kesini hanya untuk melihatmu saja.


“Kiwi smoothie?”
“Ya.”
"Oke, tunggu sebentar."
“Tunggu!” Aku menarik tangannya, darahku berdesir hebat hingga tak bisa berkata-kata. Pria itu menatapku dengan heran.


“Ada apa?”
“Ini sudah sebulan lebih, bolehkah aku tahu namamu?” Walau berat, perlahan-lahan aku melepaskan tangannya. Telapak tangannya ternyata lebih kecil dari yang kubayangkan.


“Untuk apa tahu namaku?”
“Tidak, hanya…. supaya kita lebih akrab saja… Aku akan sering datang kesini.”
“Kim Jong Woon.”


Setelah memberitahukan namanya, ia melangkah melewati pintu dorong setinggi pinggang dan masuk ke dalam area kasir. Rasanya aku ingin berlari berputar-putar dan melompat ke atas meja karena terlalu senang. Aku benar-benar beruntung karena sudah datang. Ini kemajuan yang sangat pesat. Aku segera duduk dan mengeluarkan buku catatan, lantas menekan ujung bolpoin.


‘jadi namanya Kim Jong Woon’



Aku mengambil Polaroid yang tergantung di leherku, lalu bersiap memotretnya saat….


“Kenapa kau senang sekali memotretku?” Aku menoleh ke depan dan mendapati Jong Woon sedang meletakkan satu cup smoothie di meja. Sial! Jadi selama ini aku tertangkap basah.


“A..aku tidak memotetmu. Aku butuh gambar meja kasir untuk presentasi.”
“Presentasi apa?”
“Presentasi… bahasa inggris.”
“Oh ya?” Ia terlihat tidak percaya. Tentu saja, orang bodoh mana yang akan percaya?
“Ya. Jadi kami harus membuat dialog dalam bahasa Inggris antara pelanggan dan kasir kafe, makanya aku harus memotret meja kasir, begitu.” Alasan paling bodoh yang pernah ada. Tapi aku sama sekali tak bisa memikirkan hal lain.


“Lalu ini buku apa?” Ia menunjuk buku catatanku yang tergeletak di meja. Dengan sigap aku menutup buku itu dan menyelipkannya di bawah tas.


“Buku PR. Tumben kafenya belum tutup.” Aku segera mengalihkan topik pembicaraan.
“Ya, hari ini kita buka sampai jam 11.”
“Kenapa?”
“Karena hari ini hari spesial.”
“Spesial? Memangnya ada apa?” Bukannya menjawab, ia malah tersenyum paksa seperti dulu-dulu, lantas berlalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa.


“Anniversary kafe ya?”
“Atau malah hari ulang tahunmu?”


Tanyaku antusias, sayangnya dia hanya menatapku sambil menggeleng dan tertawa kecil. Aku benar-benar senang bisa melihat dia tertawa dan tersenyum dan semuanya, tapi perubahan sikapnya yang tiba-tiba begini membuatku sedikit ketakutan. Perasaanku menjadi tidak tenang. Apa yang terjadi?


“Lalu acara spesial apa?”
“Tidak begitu spesial sebenarnya, sudahlah.” Ia meletakkan nampannya di atas meja, lalu menghilang di balik pintu belakang dan tidak kembali lagi sampai aku pulang. 



**********



Tringgg



Aku yang terengah langsung berhenti saat memasuki kafe, semua orang menoleh. Napasku masih menderu. Aku balik menatap mereka semua sambil menenangkan diri. Jam 7 malam, aku baru saja berlari dari halte. Buku catatanku hilang, buku catatan tentang kasir blonde lucu itu hilang. Entah terjatuh atau tertinggal disini. Kepalaku kontan menoleh ke arah meja semalam, ada tiga orang gadis muda yang sedang bercengkrama disana. Aku meringis. Kalaupun tertinggal, pasti sudah ada yang membersihkan. Dan setahuku, satu-satunya orang yang berjaga disini hanyalah…. Tunggu! Orang di kasir bukan Kim Jong Woon.


Aku segera merangsek ke antrean. Dadaku bertalu-talu. Aku belum mendengar apapun, tapi aku sudah ketakutan bukan main. Jangan bilang dia sakit, tolong…. Jangan! Aku mau melihatnya hari ini. Aku…


“Selamat malam, mau pesan—“
“Dimana Kim Jong Woon?” selaku. Pria itu sedikit menarik kepalanya karena terkejut, namun tetap berupaya tersenyum ramah.


“Dia masuk militer hari ini.”
“Apa?”
“Kau mau pesan apa?”
“Maksudmu, aku tak akan bertemu dengannya selama 2 tahun?” Mataku langsung berkaca-kaca, aku menggebrak meja kasir baru itu dengan napas tersengal.


“Y..ya”
“Maksudmu, aku tak akan bertemu dengannya selama 2 tahun?” Kali ini aku mengucapkannya sambil menangis tersedu-sedu.


“Nona, duduklah disitu dulu. Nanti kita bicara lagi ya,” ucapnya serba salah. Ia menyentuh tangan dan pundakku dengan sopan sembari menunjuk salah satu meja kosong.



**********



“Namaku Jong Jin, adik Jong Woon.” Aku menyambut uluran tangannya dengan lemas. Setelah menunggu 30 menit, akhirnya antrean di depan kasir habis juga, pria yang mengaku adik Jong Woon ini duduk di hadapanku.


“Kenapa dia pergi tiba-tiba?”
“Tidak. Dia tidak pergi tiba-tiba. Dia sudah merencanakannya berbulan-bulan.” Aku menoleh ke luar jendela. Hujan turun dengan lebat. Aku mengamati butir air yang tertarik gravitasi, mengalir turun di kaca jendela yang semakin buram. 


“Geunde, kau ini siapanya hyung?”


Aku juga bingung aku siapanya.


“Penggemar berat,” jawabku akhirnya.
“Penggemar berat?” Ia mengulang jawabanku sambil memandangku dari atas ke bawah. Aku pasti terlihat benar-benar aneh di matanya.


“Oh iya, Jong Jin-ssi, apa kau melihat buku catatan? Kira-kira ukurannya segini.” Aku membuat celah di antara kedua tanganku seukuran buku itu. Jong Jin langsung menggeleng. “Aku tak melihat apa-apa.”


“Apa mungkin Jong Woon yang—“
“Dia pergi pagi-pagi sekali, tidak mungkin. Aku yang membersihkan ruangan ini.”
“Bagus. Jangan sampai dia melihat,” gumamku.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.”
“Kau mau pulang sekarang?”
“Ya. Tapi bagaimana? Hujannya deras.”
“Sebentar.” Pria itu bangkit dan berlalu ke pintu belakang. Aku menghela napas berat, padahal baru kemarin aku tahu namanya, sekarang sudah pergi saja. Jika boleh memilih, aku lebih memilih mengamati diam-diam tanpa tahu nama daripada tahu nama tapi tidak melihat orangnya begini.


“Hey!” Jong Jin memanggilku dari kasir, ternyata sudah ada pelanggan yang ingin memesan. Aku segera berdiri dan menghampirinya. Setelah menyalakan mesin kopi, pria itu mengambil sesuatu di bawah meja dan mengulurkannya padaku.


“Aku selalu melihat benda ini di meja hyung. Pakai ini saja!”


Cardigan cream dan payung army.



***********



Motivasiku untuk datang ke mouse rabbit sudah menghilang. Aku hanya pergi sesekali, awalnya seminggu sekali lalu berubah jadi sebulan sekali, dua bulan sekali, hingga akhirnya tidak datang sama sekali. Bukan apa-apa, tapi tahun ini aku benar-benar dibuat stress dengan kegiatan belajar, banyak ujian yang harus kuhadapi, ujian kelulusan, ujian masuk universitas, ujian hidup dan ujian-ujian lain. Aku hanya datang saat libur, meminum smoothie sambil berbincang dengan Jong Jin. Umur kami ternyata tak terlampau jauh, dan dia menyenangkan untuk diajak bicara, tidak dingin seperti kakaknya.


“Jangan lupa! 5 Mei dia pulang.”
“5 Mei? Kenapa bisa kebetulan sekali? Besoknya aku kuis perpajakan.” Aku menggigit ikat rambut di pergelangan tangan sambil menarik rambutku tinggi-tinggi ke atas, mencepolnya asal.


“Tapi tenang saja, aku akan datang.” Jong Jin memerhatikanku sambil tertawa kecil. “Kau harus! Atau fansnya yang lain mungkin akan mencari muka duluan.”


“Dia punya fans lain?”
“Entahlah. Tapi melihatmu seperti ini, bukan tidak mungkin kalau dia punya fans lain, iya kan?”
“Semoga tidak. Aku benci punya saingan,” komentarku singkat, seraya memakai kacamata dan membuka buku kuliah yang super tebal. Jika dulu tujuanku kesini adalah untuk memata-matai si kasir lucu, sekarang aku lebih sering kesini untuk belajar. Aku datang pagi-pagi atau larut malam, pokoknya saat kafe sedang sepi-sepinya. Kemudian membuka laptop atau buku kuliah. Begitu seterusnya.


“Apa menurutmu dia masih mengenaliku?” tanyaku, masih sambil membalik-balik lembar buku.
“Entahlah…”
“Dia bahkan tak tahu siapa namaku.”
“Tidak tahu?”
“Ya, aku juga tahu namanya di saat-saat terakhir. Di malam sebelum ia pergi.”



************



“Aduh eomma, aku tidak bisa.” Aku menutup koper pink terang yang setengahnya sudah terisi baju-bajuku.
“Ya Tuhan, nenekmu sedang sakit! Dia mau melihat semua keluarga, termasuk cucunya yang sombong ini.” Eomma mencubit pinggangku dengan kesal, lalu kembali membuka koper itu dan mengisinya dengan baju yang lain.


“Aku akan menyusul tanggal 6.”
“Tidak.”
“Oke oke.. tanggal 5.”
“Kim So Eun, besok.”
“Tidak bisa.”
“Memangnya kenapa kalau tanggal 4?”
“Bukan masalah tanggal 4-nya. Tapi tanggal 5, pagi. Aku harus menemui seseorang. Lagipula aku ada ujian tanggal 6.”


“Menemui siapa?” tanya eomma menyelidik. Ia menghentikan semua gerakan tangannya yang sangat sibuk dan bersedekap menghadapku.


“Oke, lupakan bagian menemui seseorangnya. Bagaimana dengan uasku?”
“Ei, jangan berbohong!” Eomma berbalik dan mengambil kertas post-it hijau yang tertempel di kanan kiri rak, lalu menempelkannya di dahiku. “Itu cuma kuis, bukan UAS.”


“Aish.” Aku mencopot kertas bertuls 'kuis perpajakan tanggal 6' itu dari dahiku dan menempelnya kembali ke rak. “Tapi kan tetap saja ujian.”


“Kau bisa meminta kuis lebih dulu, atau susulan saja. Kita cuma akan pergi selama 2 minggu.”
“Oh ya? Seperti tidak tahu nenek, dia senang sekali menahan-nahanku disana.”
“Itu karena kau sangat sombong. Sudah berapa tahun kau tidak bertemu dengan nenekmu sendiri? Sekalinya bertemu malah merengek-rengek minta pulang. Kau sudah 19 tahun ya ampun! Kapan dewasanya?”


“Tch, tapi sungguh! Kalau tanggal segitu aku tidak bisa.”
“Pesawat kita berangkat jam 11 malam, tiketnya ada pada eomma.” Ia menarik zipper koperku sampai tertutup dan menepuk-nepuk tangannya, lantas berlalu setelah sebelumnya menatapku dengan ekspresi ‘jangan berani-berani kabur, atau aku akan mencincangmu menjadi 10 bagian’. Aku menghela napas memandangi punggung wanita setengah baya itu sampai sosoknya benar-benar menghilang di balik pintu.


“Tch, tapi Kim Jong Woon pulang tanggal 5! Bagaimana ini?”



**********



Akhirnya, karena tidak punya pilihan lain, aku meminta dosenku untuk mengerjakan kuis lebih awal dibanding yang lain. Untungnya, ia memahami kondisiku dan mengizinkan. Kami sepakat bertemu di salah satu ruangan kampus di hari senin, jam 8 malam. Walaupun pikiranku bercabang kemana-mana, aku tetap berusaha fokus mengerjakan setiap soal di kertas itu. Tidak bertemu Jong Woon di hari pertamanya keluar militer memang bukan akhir dunia, toh aku bisa menemuinya lagi begitu pulang. Tapi… ini membuatku benar-benar tidak tenang, dan gelisah, dan ingin menangis meraung-raung sambil mencakar tanah.


Dulu, saat tahu kalau Jong Woon pergi militer, umurku masih 17 tahun, aku masih suka menguncir rambutku di kanan atau di kiri, menggunakan pita, bando dan jepitan-jepitan aneh seperti anak kecil. Aku bahkan menangis keras sampai jadi pusat perhatian di kafe. Tapi Kim So Eun yang sekarang sudah tidak kekanakan seperti itu. Aku sudah lebih dewasa dan bisa menahan diri. Jika diingat-ingat, aku benar-benar memalukan. Mengambil sedotan bekas mulutnya, memotretnya diam-diam, menghabiskan 15.000 won tiap hari. Aku benar-benar kelewatan.


Aku keluar dari ruang ujian sambil melirik arloji, Kim Jong Woon baru keluar besok pagi, dan pesawatku akan lepas landas satu jam lagi. Dua panggilan tak terjawab dari eomma. Dia pasti panik sekali karena aku belum datang. Dia pasti mengira aku akan kabur.


Aku baru menghubungi eomma setelah menemukan taksi.


“Dimana kau?” tanya wanita itu langsung, dengan nada keras seolah sedang menuduh. Apa susahnya sih mengucapkan halo dulu?


“Di taksi. Aku baru dari kampus. Tenang saja, 30 menit lagi aku sampai di bandara.”
“Awas ya, kalau berani-berani tak datang.”
“Iya.”


Setelah itu, aku langsung mencari kontak lain, Jong Jin. Ia tak mengangkat panggilanku dari kemarin dan begitu pun dengan hari ini, sebenarnya dia kemana? Apa handphone-nya rusak? Atau ganti nomor? Kenapa tak memberitahuku? Aku terus menghubunginya sampai sepuluh kali, tapi tetap tak ada jawaban. Aku sempat berpikir untuk berkunjung ke Mouse Rabbit dan meletakkan surat cinta yang kubuat semalam di meja kasir. Tapi jika aku datang sekarang, aku takut surat itu tak sampai ke tangan yang tepat. Lagipula ini sudah jam 10 lewat, kalau mengikuti jadwal, Mouse Rabbit seharusnya sudah tutup.


Aku mengeluarkan surat yang kumaksud dari dalam tas, lalu memperhatikan amplop putih polos itu dengan perasaan terganjal. Aku tak bisa bilang dia cinta pertamaku, tapi cintaku kali ini lebih gila dari cinta pertama. Jika kalian bertanya-tanya apa isi surat ini, tidak banyak… aku hanya mengungkapkan perasaanku, aku mengatakan semuanya dari awal, aku menceritakan bagaimana ajaibnya mata sipit bercahaya itu memantraiku. Dia menatapku kurang dari satu detik, dan tatapannya bertahan dalam hati dan ingatanku selama dua tahun lebih. Aku menceritakan bagaimana tergila-gilanya aku dengan senyumnya—yang jarang sekali ia perlihatkan. Dan sebesar apa aku menyukai payung army dan cardigan yang kupakai sekarang. Jong Jin memberikannya kembali padaku setelah kau pergi, dan aku menganggapnya sebagai hak milik setelah itu. Aku…. cih, aku tak tahan lagi…


“Pak, kita putar arah ya.”



**********



Aku turun persis di depan kafe itu, semua lampunya masih menyala terang.


“Tunggu sebentar.” Aku membungkuk dan berucap pada sang sopir taksi. Lantas melangkah pelan-pelan, menaiki undakan tangga. Dari pintu kaca yang buram ini, aku bisa melihat seorang pria dengan kemeja kuning dan topi hijau di belakang kasir. Itu Jong Jin? sejak kapan dia suka memakai topi? Akal sehatku mulai buyar kemana-mana. Jangan-jangan....... Aku buru-buru menghilangkan pikiran itu dan menarik napas panjang. Aku cuma akan menitipkan surat ini pada Jong Jin dan pergi. Atau eomma benar-benar akan mencincangku menjadi sepuluh bagian.



Tringg!



“Jong Jin? ponselmu rus— Jong Woon?”


Sadar dengan siapa aku bicara, sistem kerja tubuhku langsung berhenti semua. Aku berdiri di depan pintu dan membatu sepenuhnya. Pria di belakang kasir itu mengangkat kepala, lalu memperhatikanku tanpa mengubah ekpresinya—yang datar.


“Kami tutup,” ucapnya sesaat kemudian, sambil melangkah tenang menghampiriku.


Aku benar-benar gelagapan, sama sekali tak tahu harus mengatakan apa. Rasanya seperti kembali ke 2 tahun yang lalu, aku merasa seperti Kim So Eun berumur 17 tahun yang bodoh. Ia berhenti persis di hadapanku.


“Y..ya, aku tidak mau memesan apa-apa ko. Aku mau bertemu dengan Jong Jin”


Aku tak tahu kenapa aku mengatakan itu.


“Kalau begitu lebih baik kau pulang, mulai hari ini aku yang akan berjaga.”


Benarkah? Aku menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan. Aku pasti akan merindukan Jong Jin, tapi… jika pria ini penggantinya, aku yakin bisa mengatasi kerinduan itu.


“Baiklah, salam untuk Jong Jin.” Aku langsung berbalik. Namun tiba-tiba saja Jong Woon menarik surat di tanganku.


“Hei, kembalikan!” teriakku.
“Ini? Apa ini untuk Jong Jin? Aku akan memberikannya.”
“Tidak tidak.. bukan untuk dia.”
“Lalu? Untukku?”
“Iya, eh.. tidak tidak maksudku tidak.” Pria itu tertawa lepas. Saking lepasnya ia tertawa, aku sampai ikut tersenyum tanpa sadar. Aku tahu tingkahku yang bodoh ini adalah bahan tertawaannya, tapi aku rela berpakaian seperti badut atau bertingkah konyol demi melihat tawanya yang seperti ini.


“Kalau begitu buat siapa?” tanyanya lagi, masih sambil tersenyum, ia terlihat begitu terhibur dengan kehadiranku disini. Dan fakta itu sudah lebih dari cukup untuk membuat sekujur tubuhku bergetar. Tolong digarisbawahi, aku membuat Kim Jong Woon tersenyum, tidak, tertawa malah. Aku merasa benar-benar bahagia. Demi Tuhan dia… benar-benar kurang ajar, mempermainkan emosiku seperti ini. Dasar!


“Bukan untuk kalian berdua! Sudah berikan padaku sini!” Ia malah sengaja meletakkan kedua tangan beserta suratku itu di belakang punggungnya.


“Kalau begitu jawab dulu, mau apa mencari Jong Jin?”
“Aku mau pergi ke luar kota selama dua minggu dan ingin pamit padanya. Aku tak mau membuatnya menunggu dan khawatir kalau aku tidak datang. Aku bukan tipe orang yang suka hilang tiba-tiba tanpa pemberitahuan.”


“Kau sedang meledekku?”
“Oh? Jadi kau merasa sedang diledek? Daya tanggapmu hebat juga ya.. bagus kalau begitu!” Pria itu kembali tertawa, tapi kali ini tidak seantusias yang sebelumnya. Intinya dia tertawa, dan penghuni kebun bunga milik nenek langsung migrasi ke perutku. Tunggu, sepertinya aku melupakan sesuatu. Nenek! Pesawatnya! Eomma! Aduh, Eomma pasti sudah menelfonku seratus kali. Ponselku ada di tas, dan tasnya kutinggal di dalam taksi. Heol, bagaimana mungkin aku meninggalkan tas berisi dompet, handphone dan barang berharga lain di dalam taksi begitu saja? Benar-benar gadis bodoh. Aku segera mengecek arloji. 10:32 PM. Aku membekap mulutku sendiri.


“Aku harus pergi.” Aku mundur selangkah seperti Cinderella yang mendengar lonceng. Jong Woon menatapku dengan heran, namun lantas mengangguk begitu saja. Tidak ada tahan-menahan seperti di film Cinderella. Oke, lupakan, aku bukan Cinderella.


“Sampai jumpa.” Aku mendorong pintu sampai terbuka dan bergegas keluar. Untungnya, taksi itu masih menungguku dengan setia. Jika diibaratkan seperti film Cinderella, taksi disana adalah kereta kencananya. Mouse rabbit ini adalah istananya, dan… uh… haruskah aku melepaskan salah satu sepatuku disini supaya dramatis?


“So Eun!” panggilnya dari ambang pintu.
“Ya?”
“Aku—“
“Tunggu! Darimana kau tahu namaku?”
“Dari… dari… ng nanti kalau kau kesini kuberitahu.”
“Kenapa harus menunggu selama itu sih? Tck, tadi kau mau bilang apa?”
“Tidak jadi.” Aku mendecak.


Aku masuk ke dalam taksi dan menurunkan kacanya sampai bawah. Benar-benar sulit dipercaya. Tuhan jelas tengah memihakku. Aku menatapnya sambil tersenyum sedih. Dua tahun saja bisa kulalui, masa dua minggu tidak? Semangat Kim So Eun, kau pasti bisa! Hubunganmu sudah mengalami kemajuan pesat. Kim Jong Woon tahu namamu, dan kalian berbincang banyak barusan, dan jangan lupakan bagian tertawa dan tersenyumnya. Menakjubkan! Aku akan mencatatnya di museum rekor setelah ini.


“Sampai jumpa,” ucapku sambil melambai. Pria itu tersenyum tipis, lalu saat roda taksi ini mulai melaju, ia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.


ASTAGA SURATKU!


Aku terbelalak dan langsung menoleh ke belakang. Walaupun pandanganku sudah kabur, aku tetap bisa melihat senyum di wajahnya yang perlahan-lahan melebar. Sebelah tangannya yang masih bersembunyi di belakang mengeluarkan benda yang lain.


BUKU CATATANKU!!!


Aku segera melengoskan kepalaku di jendela dan berteriak-teriak padanya. Pria itu tertawa lebih lepas dari yang sebelumnya.


“KAU HARUS KEMBALI LAGI. BANYAK YANG INGIN AKU KOMENTARI DARI TULISANMU”



END



Oke, aku telat. Ga sih, dianya aja yang pulang lebih awal dari jadwal.


Jadi gini kawan-kawan, tanggal 5 Mei itu hari libur nasional di korea (hari anak), jadi dia dipulangin lebih cepet. Jadi kalo ngikutin jadwal ya harusnya dia pulang besok… tapi g papalah, lebih cepat lebih baik, iya g cung?


Barusan ngeliat foto dia di Mouse Rabbit pake baju belang-belang zebra sama blazer, rambut item, ganteng banget... rasanya mau ngela napaass terus … udah lama ga fangirlingin dia, lamaaaaaaa… kangen sendiri hft. 


Okelah, malem semua, makasih yang udah baca bye bye


Comments

  1. Berawal dr soeun yg tersesat d mouse rabbit berujung ke sbuah kisah unik cieee jong_eun :* , soeun langsung jatuh hati stelah yesung membrikan pinjaman cardigan ma payung army ntu bagaikan sihir pelet ketika sso dh menggunakannya ilmu pellet jongwon bkerja kkkke dr situ soeun jd terus dtg k kafe demi melihat calon suami masa depannya hhhhe, dg sikap jognwon yg dtr jd soen kesulitan dlm berkomunikasi ternyata hanya sikap luarnya aje jongwon yg dtr tp sikap d dalam diri nya dia jg melirik soeun dg tingkahnya , lambat laun dg kehadiran sso mampu ikut menyihir jongwon jg jdi sama2 kena pelet masing2 yak hhhe hinggal hal mengejutkan ketika jongwon terlihat kek menunggu soeun ketika dia dh merubah rambut n warnanya yg d kira sso gr2 ntu jongwoon manis pdnya pdhll jongwoon berubah rambut kek gitu krna ingin wamil yak dan malam itu dia sengja menunggu soeun karna mau pamiiit aaaa romantis bgt euy walopun soeun ga thu krna jongwon melihat soeun dg crnya sendiri , ciee soeun udeh memenangkan hatinya jongwon ,stelah jongwon wwamil sso jd dekat ma adek iparnya hhii jongjin jg welcome ma calon kk iparnya hhha ,eee untunglah buku catatan sso jatuh ke orngnya langsung hhh jd jongwon iso berbunga2 jg kkke ataw mungkin krna buku ntu ideh ada ma jongwon ..sii jongwoon ikut2an nulis d buku diary soeun ntu hhi cieee romantisnyo iso berbagi hhhhi, aye suka bgt thor ampe mau minta lanjtan stelah soeun kembali dr rumah nenek nya ... dan bertemu ma jongwon dg nuansa yg lebh indah cos bunga2 nenek sso dh migrasi ntu ..hmmm bakalan nangis kejang g t nenek bunganya hilang smua kkkke XD


    Klo iso ada SP nya gitu say * special part * ni story ;;) kedip2 cacingan k salsaa ;;) hihiii ...Aaaa authorr minta sequel dong ¨Ä¦iii¨¨Ä¦iii¨¨Ä¦iii ƪ(˘⌣˘)ʃ•´¯`• ♥ penasaran ini jongwon baklan berkomentr apa tentang buku catatan ma surat soeun ntu hhhe ;;) klo ngeliat dr gelagat yesung kek nya dia terciprat air got hhhha dia senang keknya ngeliat soeun ayeaaaaaaaaah cinta soeun ga bertepuk sbelah tangan yak (?) Apalgi jongwoon jd iso tersenyum karna soeun apalgi stelah dpt bukunya soeun senyumnya bahkan tambah lebaar cieeee jongwoon happy setelah thu soeun ada rs pdnya ..trus mungkin kesenangan juga krna d dalam buku catatan sso ntu soeun slalu memujinya dr segala segi jd bunga2 nenek soeun tak hanya bermigrasi k perut soeun tp juga ikut bermigrasi k perut jongwoon cieee jong_eun <3 aaaa romantisnyo :* aye suka bgt d setiap linenya ..keep writing n cmingit thor always sukses for you salsa cantix !! 100000000 jempol gajah buat salsa koleksi ya sa :* hihiii mau d masak jg bisa hhhhe *eoh*

    ReplyDelete
    Replies
    1. kayanya setiap komen aku dikasih jempol gajah mulu, udah bnyk ka.. sampe bingung mau diapain.Haha tapi syukur deh kl suka, penghuni kebun bunga neneknya soeun juga ikutan migrasi ke perut aku (?) Dan jujur aku ga kepikiran bakal kaya gimana kl mereka ketemu lagi trus jongwoon ngomenin buku catetannya so eun, pasti awkward banget hoho... pokoknya makasiiiihhhh^^

      Delete

Post a Comment

Popular Posts