Wedding Dress



Main Cast = Kim Jong Woon, Kim So Eun
Minor Cast = Cha Sena (OC)
Genre = Romance
Length = Oneshoot
Author = Salsa
#welcomebackYesung spesial<3 o:p="">


**********


 16:48 KST
So Eun POV



Aku tak mampu berkata-kata, ini sudah ketiga kalinya, haruskah aku memberikan jawaban yang sama untuk yang ketiga kalinya? Aku mendesah seiring dengan kepala yang kutundukkan perlahan.Tiba-tiba saja pria itu kembali menutup kotak beludrunya, sepertinya sudah paham. “Ini hari ulang tahunku, kau akan menolakku juga sekarang?”


“Jong Woon~a”
“Untuk yang kemarin-kemarin aku masih bisa bersabar saat kau terus-menerus bilang belum siap dan ingin fokus kuliah, tapi sekarang…………”


“Aku…………”
“Kau sudah lulus! Bahkan kau juga sudah punya butik sendiri. Sekarang apalagi alasanmu?”
“Aku tidak sedang beralasan. Hanya saja aku memang belum siap, aku ingin jadi designer sukses yang dikenal banyak orang. Dan bila aku menikah......." Aku menghentikan ucapanku, membiarkannya mengambang, mendadak tak punya daya lagi untuk melanjutkan. Dadaku terasa sangat sesak mendengarnya terus-menerus bicara seolah aku tak pernah serius. Padahal sungguh, bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau sekarang belum waktunya untuk menikah. Ini benar-benar bukan karena aku tidak serius.


“Aku kan sudah bilang, aku tak akan melarangmu bekerja. Kau tetap bisa mengejar impianmu. Tapi eomma sudah berulang kali menanyakan kepastian hubungan kita, dan-”


“Maaf. Aku benar-benar minta maaf, tapi sekalipun kau bicara sampai besok pagi, jawabanku akan tetap sama,” tandasku final, lantas berdiri. Membuat pria itu terdiam.


“Jadi kau menyuruhku menunggu lagi huh? Sampai kapan?” serunya frustasi.
“Tidak. Aku tidak memintamu menunggu. Jika eomonim memang sudah memintamu untuk segera menikah, kau boleh mencari gadis lain untuk diajak menikah” Darahku berdesir saat mulutku selesai bicara. Aku pasti akan sangat menyesal pernah mengatakan hal seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku juga tak mau membuatnya menunggu sesuatu yang belum pasti. Aku percaya takdir.



***********



5 bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Kehidupanku sebagai seorang designer mengalami kemajuan pesat. Kini aku sudah dikenal sebagai nona Kim So Eun, salah satu designer gaun pengantin yang paling dicari. Designer muda yang layak untuk diperhitungkan. Bagaimana dengan pria itu? Jong Woon. Mungkin ini ibarat mengambil cuti kerja, atau libur semester saat kuliah. Saat-saat dimana kau bisa menghirup udara segar tanpa beban, sejenak mengeluarkan diri dari rutinitas monoton yang membuat jenuh. Ya.. itulah yang kurasakan sekarang. Kami tak pernah bertemu lagi. Rasanya seperti mengambil jeda dalam hubungan 9 tahun yang tentu saja membuat penat. Jeda dimana semua pikiranku saat ini hanya terdiri dari kata ‘aku’ bukan ‘kita’. Tapi cih, jeda kubilang? Siapa bilang ini jeda? Sesungguhnya tak ada kata ‘jeda’ pada hubungan kami, yang ada adalah ‘akhir’.


Setelah kejadian 5 bulan yang lalu, pria itu tak pernah lagi menghubungiku. Dan aku, harga diriku masih cukup tinggi untuk menjadi orang pertama yang bertanya. Aku sama sekali tak punya alasan untuk menghubunginya duluan, maksudku… hei, aku tak sudi menjadi pihak yang terpuruk. Bukankah aku yang menyuruhnya mencari gadis lain? Hubungan 9 tahun yang kubangga-banggakan itu ternyata sama sekali tidak ada artinya. Kukira dia akan mencariku, mengejarku dan mengajak kembali, tapi ternyata tidak.



Tapi, apa benar ia mengikuti ucapanku begitu saja? Jadi sekarang dia sudah menikahi gadis lain, begitu?



Tanpa sadar kakiku melangkah mendekati lemari putih bersih di sudut butik. Karena sudah mendekati waktu tutup, butikku saat ini memang sedang dalam keadaan sepi. Aku mengeluarkan rangkaian kunci di saku baju terusan yang kukenakan dan membuka kuncinya dengan jantung berdebar. Ini pertama kalinya aku membuka lemari ini sejak 5 bulan terakhir. Dan... ternyata isinya memang masih sama. Tak ada yang berubah. Tentu saja. Aku sudah memperingatkan seluruh karyawanku agar tak menyentuhnya.


Tanganku mengulur menyentuh benda yang terpampang anggun disana. Sebuah gaun pengantin berwarna putih gading dengan bahu terbuka, desain yang sangat simpel tapi begitu elegan. Ini rancangan pertamaku. Gaun ini memang khusus kubuat untuk kupakai sendiri saat nantinya aku menikah, dan sampai sekarang pun, harapan itu belum terganti.Walaupun gaun ini sudah kubuat cukup lama, desainnya masih sangat cantik dan belum ketinggalan jaman. Dan sepertinya masih akan terlihat begitu untuk waktu yang belum ditentukan.


Triinnggg


Lonceng di pintu masuk berbunyi, menandakan seseorang baru saja membukanya. Kontan aku berbalik, seorang perempuan tengah berjalan santai sambil memperhatikan gaun-gaun yang kupajang di sepanjang sisi. “Selamat datang,” sapaku ramah.


“Ah, ya.” Gadis itu mengangguk pendek. "Aku sedang mencari gaun. Bisa rekomendasikan sesuatu yang bagus untukku?”


“Tentu.”


Aku tak berhenti bicara dan memamerkan keunggulan masing-masing gaun yang kupunya padanya. Tapi setelah sekian lama, gadis itu terlihat belum bisa menjatuhkan pilihan. Membuat gadis ini tertarik ternyata lebih sulit dari apa yang kubayangkan. Ia membiarkanku bicara sangat panjang, tapi pada akhirnya bilang ‘tak suka’ dan meminta gaun yang lain. Sudah 8 gaun aku perlihatkan padanya, dan dari semua itu tak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Hingga akhirnya aku menyerah. “Kau mau gaun seperti apa? Aku bisa mendesign yang baru, spesial untukmu.”


“Aku mau gaun yang.... ASTAGA! AKU MAU YANG ITU!” Gadis itu tiba-tiba memekik keras. Aku mengikuti arah telunjuknya, dan... “Itu tidak dijual!” seruku cepat. Gadis itu nampak tak peduli dan langsung saja menghampiri gaun yang barusan ia tunjuk. Aku langsung menarik tangannya saat gaunku hampir saja ia sentuh. “Maaf! Ini tidak dijual," ulangku, lebih tegas.


“Aku akan bayar berapapun harganya.” Gadis itu bersikeras melepas cengkramanku.
“Tidak!Walaupun kau berikan semua uangmu padaku, aku tetap tak akan menjualnya!”
“Ayolah… kumohon! Aku benar-benar menginginkannya.” Aku segera bergerak cepat dan menutup pintu lemarinya. Mengunci dan berdiri posesif di depan sana, membuat gadis itu mau tak mau mundur. “Aku berikan tiga pilihan. Kubuatkan design baru, pilih satu gaun yang ada, atau keluar dari sini.”


“Kau mengusirku?”
“Aku memberimu pilihan.”
“Ah~ lupakan! Aku tidak jadi beli disini.”
“Bagus. Kau tahu dimana pintu keluarnya kan?” Perempuan itu menggeleng tak percaya melihat sikap sang pemilik butik yang sangat arogan. Tapi tidak, aku tak peduli! Terserah dia mau menganggapku apa. Terserah jika nantinya dia bicara pada semua kenalannya untuk tidak membeli gaun disini. Aku tidak akan kehilangan pamor hanya karena satu perempuan sial itu saja! Bukannya bermaksud tidak sopan, tapi.... Siapa suruh menginginkan gaunku? Sambil mengeluarkan suara dengus kasar, gadis itu melangkah cepat menuju pintu keluar. Ya.. pergilah! Dan jangan kembali!



***********



Suara lonceng di pintu masuk berbunyi, aku langsung membungkuk dan memberikan sapaan sopan pada pengunjung yang datang. Dan tepat saat aku kembali mengangkat kepala, jantungku langsung merosot ke perut. Gadis kemarin. Mau apa dia kesini?


“Oppa! Ayo cepat sedikit!” serunya dari ambang pintu. Ia melirikku dengan sinis, lantas membuang muka dan kembali meneriaki seseorang agar cepat menghampirinya.


Seketika jantungku berhenti berdetak, seorang pria dengan wajah yang sangat kukenal muncul dan menghampiri gadis itu. Ia langsung menggandeng tangan pria itu dengan erat begitu kakinya benar-benar memasuki area butik.


“Kim Jong Woon,” desisku tak percaya. Jong Woon juga tengah melihatku, tapi hanya sesaat, karena setelah itu sang gadis menariknya ke samping hingga nyaris terjungkal. “Oppa! Di sebelah sini! Aku menginginkan gaun itu.” Aku tersadar dan langsung berlari cepat menuju objek yang sedang mereka hampiri. Ah dasar! Gadis ini! jinjja!


“Gaun apa?” ujar Jong Woon jengah.
“Gaunnya ada di dalam sini! Tapi dia tak mau menjualnya padaku.”
“Sudah berapa kali kubilang ini tidak dijual?” Aku tak lagi bisa menahan emosi dan mulai berteriak pada gadis menyebalkan itu.


“Aku tak peduli. Aku akan tetap membelinya.”
“Bagaimana bisa dibeli kalau barangnya saja jelas-jelas tidak dijual?”
“Oppa! Lakukan sesuatu” Gadis itu merengek dan menggoyang-goyangkan lengan Jong Woon.
“Kau dengar? Itu tidak dijual,” ucapnya, sama sekali tak mencoba membantu.
“Ah! Oppaaaaa……”
“Tch…” Jong Woon menarik tangannya dari gadis itu dengan ekspresi terganggu.Aku tersenyum, tentu saja dia akan membelaku. “Bagaimana kalau kubayar dua kali lipat?” Jong Woon berujar tiba-tiba. Aku yang sedang memerhatikan gadis menyebalkan itu dengan sengit langsung mengalihkan pandang padanya, takjub, tak percaya, terkejut. Beraninya kau bicara begitu! Bukankah kau tahu betapa berharganya gaun ini untukku? Aku pernah bermimpi memakai gaun ini saat berjalan berdampingan denganmu menuju altar, dan sekarang kau berniat membelikan gaun yang kita impikan untuk perempuan lain? Daebak!


“Kubilang aku tidak menjualnya,” ujarku parau. Aku menatapnya dengan lemah, seketika seluruh tenagaku terhisap ke inti bumi. Demi Tuhan aku masih benar-benar terkejut dengan ucapannya. Apa dia benar-benar sudah melupakanku sejauh itu? Apa hanya aku yang merasa sangat kehilangan disini? Jong Woon balik menatapku, dengan tatapan yang tak dapat kudeskripsikan. Hanya sakit. Tatapannya membuatku sakit.


“Begini saja, aku bisa membuatkan satu yang mirip dengan gaun itu,” ujarku perlahan-lahan. Aku masih sangat terkejut, tapi aku tak bisa diam saja di saat seperti ini. Aku tak bisa membiarkan Jong Woon melihat sisi lemahku.


“Benarkah?” Gadis yang terus menempeli Jong Woon itu terlihat mulai tertarik.
“Ya.. aku akan buatkan yang lebih baik dari itu. Kualitas terbaik.” Setelah sebelumnya mengeluarkan ekspresi berpikir, sang gadis akhirnya mengangguk juga. “Kalau begitu bisakah kau ikut denganku? aku akan mengukurmu sekarang.”


“Tentu saja.”


Selama mengukur, aku terus menahan napas, yah.. tidak benar-benar menahannya sampai tidak memasok oksigen, hanya saja.... sesuatu dalam dadaku terasa akan meledak setiap kali aku bernapas. Rasanya sesak. Pertahananku yang biasanya sangat hebat kini berada di titik terendah. Maksduku, Hei… aku akan membuatkan gaun pengantin untuk calon istri mantan pacar yang masih sangat kucintai. Aku sedang berbalik untuk mencatat ukuran bahu gadis itu saat mataku bertemu dengan Jong woon–yang masih menatapku seperti tadiCih… kenapa dia harus membawa gadisnya kesini? Mau pamer kalau sudah menemukan pengganti?


“Setelan prianya juga mau dibuatkan kan? Lebih baik kuukur sekarang,” ujarku datar. Gadis disampingku langsung melesat dan meraih lengan Jong Woon yang terlihat benar-benar enggan. “Kau bisa pelan-pelan kan, Cha Sena?”


“Tidak bisa, aku benar-benar sangat gembira. Aku mau semuanya cepat jadi.” Jong Woon mendecak, matanya berputar, tapi entah bagaimana dia tidak membantah dan tetap berdiri di hadapanku. Kim Jong Woon, bisakah kau katakan siapa yang lebih menyusahkan? Aku atau dia? Sungguh, dia terlihat tidak terlalu baik. Kau bahkan memutar mata, kau menarik napas jengah, dia tidak menyenangkan kan? Tapi kenapa kau tetap memilihnya? Pasti eomonim mendesakmu lagi ya.... Jangan bohong! Rasa untukku masih ada kan? Setidaknya sekeping dua keping, masih tersisa kan? 


“Kenapa kalian berpandangan saja? Cepat diukur!” Aku tersadar dan langsung melirik sinis gadis tengik bawel egois menyusahkan dan segala sifat buruk di muka bumi itu, lalu baru memanjangkan alat ukur yang kupegang sesuai panjang lengan Jong Woon.


“Apa yang kau lakukan?” tanyanya pelan saat aku tengah mencatat. Aku menoleh padanya, tak mengerti.
“Untuk apa mengukur lagi? Badanku tidak berubah ko.” Memang benar. Tanpa harus kuukur pun sebenarnya aku sudah hapal. Aku bahkan membuatkannya setelan putih yang sesuai dengan gaunku. Tapi tidak akan kuberikan. Dia menganggapku tidak serius dalam pernikahan? Hei... asal kau tahu aku sudah buat gaun dan jasnya. Untukmu dan untukku. Aku hanya minta sedikit waktu sampai aku bisa lebih sukses sedikit lagi. Sampai aku punya nama sebagai seorang designer gaun pengantin. Ini salahmu karena tidak sabar, bukan salahku… bukan…. bukan sal— oke ini salahku.


“Dia akan curiga. Aku tak mau merusak hubunganmu,” bisikku dingin, kali ini sembari merentangkan tangan di sekitar dadanya.


“Kau tak merindukanku?” Pertanyaan macam apa itu? Kalau aku merindukanmu pun, memangnya aku bisa apa?


“Tidak.”
“Bohong.”
“Aku bisa mengerjakannya dalam sebulan,” ucapku sambil berbalik pada sang gadis. Aku sama sekali tak bisa menanggapi ocehan pria ini. Tak tahukah dia itu menyakitkan? Ini sama sekali bukan waktu yang tepat untuk bergurau. Kau mencoba menggodaku di depan calon istrimu? Ternyata baru ditinggal lima bulan saja kau sudah semakin brengsek ya.. Aku menatap pria itu dengan tajam. Jong Woon berjalan dan berhenti di samping gadisnya. Tunggu! Apa kataku? Gadisnya?


“Aku menikah tanggal 4 bulan depan. Itu artinya 3 minggu lagi. Kau harus bisa mengerjakannya lebih cepat.”
“Ah.. aku mengerti.” Lagi-lagi mataku tanpa kontrol melirik pria di sebelahnya. Kau jahat sekali! Kenapa melakukan ini padaku? Kau mau balas dendam huh? Atau sedang bercanda? Ini tidak lucu. Saat kalian keluar nanti, aku akan menangis sampai mataku bengkak. Pasti.


“Kalau begitu, Jong Woon oppa akan mengambilnya tanggal 30.”
“Aku yang ambil?”
“Ya. Itu sudah sangat dekat dengan hari pernikahan.”


Aku menghela napas sembari menatap keduanya bergantian. Mau dilihat dari segi manapun, mereka itu tidak cocok. Sama sekali tidak cocok. Jika mereka menikah, hari-harinya tidak akan bahagia dan akan dipenuhi dengan percekcokan. Aku jamin itu.


“Heh… kau dengar aku tidak?”
“A...apa?”
“Kubilang kerjakan dengan benar! Aku mau gaunku persis seperti gaun yang kau sembunyikan di lemari itu.”
“Tidak persis sama. Tapi aku jamin gaunmu juga akan sangat cantik.” Gadis itu mendengus, lalu menoleh ke arah Jong Woon seakan minta bantuan.


“Aku janji! Kalau kau tak suka, aku akan mengembalikan semua uangmu.”
“Cih, kau pikir semudah itu? Kalau gaunnya tidak sesuai dengan harapanku, lalu aku pakai apa? Pakai uang yang kau kembalikan itu huh? Pokoknya harus persis sama!”


“Sena, berhentilah marah-marah di tempat orang! Kalau dia bilang gaunmu akan cantik ya berarti akan cantik.”


“Tch… oppa membelanya karena dia mantan oppa kan? Sudahlah aku muak berada disini!” Bagus nona, aku juga muak melihatmu disini. Gadis itu berlari keluar, diiringi dengan bunyi lonceng yang berdenting. Aku memutar mata, bagaimana mungkin selera Jong Woon turun sejauh ini?


Pria itu masih di depanku, aku melepas scarf yang melilit leherku dan menatapnya tajam. “Kenapa masih berdiri disini? Kau harus mengejarnya.”


“Kau….” Jong Woon tersenyum. “Kau lucu sekali jika sedang cemburu.”
“Apa?”
“Ah, itu, uhm tidak, hanya....." Jong Woon memegang tengkuknya dan berdehem. “Ternyata butikmu semakin sukses. Selamat ya..”


“Terima kasih.” Aku memaksakan senyum, memaksakan diri menjatuhkan fokusku pada matanya. Demi Tuhan aku merindukan matanya.


“Aku senang melihatmu begini.”


Benarkah? Jujur saja kau tak senang kan? Aku menyesal Jong Woon~a. Ayo kembali!


“Aku juga senang bisa seperti ini.”



************



2 minggu berlalu dan aku sudah nyaris gila. Demi Tuhan, bagaimana bisa aku menyanggupi permintaan gadis tengik itu? Normalnya aku butuh waktu satu-dua bulan untuk membuat sepasang gaun. Namun sekarang, aku harus menyelesaikannya dalam waktu 3 minggu, dan tolong jangan lupakan rasa sakit yang mendera-dera di sekujur tubuh ini. Aku harus meminta bayaran semahal-mahalnya. Ini sungguh menyiksa.


Apa aku harus menyalahkan setengah akal sehatku yang hilang kala itu?


Aku nyaris menangis melihat sejuntai kain setengah jadi di hadapanku ini. Aku berusaha tak membayangkannya, tetapi tetap saja, gambaran pesta pernikahan mewah di mana Jong Woon dan calon pengantinnya tersenyum bahagia selalu terbersit. Kalian tahu sehancur apa aku setiap kali semua itu muncul? Padahal ini baru imajinasiku saja.


“Nona, biar aku yang menambahkan payet dan mawarnya, lebih baik anda beristirahat.” Salah satu pekerjaku tiba-tiba datang.


“Tidak. Ini gaun spesial. Aku akan mengerjakannya sendiri.”


Ini gaun spesial. Walau bukan aku yang akan memakainya, tapi tetap saja, aku tak mau mengecewakan Jong Woon di hari bahagianya. Tolong digarisbawahi, aku sama sekali tak memikirkan gadis itu.


“Tapi anda tidak tidur semalaman dan mata anda…..”
“Aku baik-baik saja,” potongku sambil membungkuk membenahi bagian bawah gaun yang mengembung.
“Apa anda mau dibelikan makanan atau…”
“Tidak… tidak… Ya Tuhan tidak… BISAKAH KAU BERHEN—astaga maaf! Aku benar-benar sedang pusing, bisakah kau tinggalkan aku sendiri?” Aku berdiri dan segera memperlembut nada bicaraku di akhir. Pekerjaku itu terlihat cukup syok, ia mengangguk kaku sebelum akhirnya pergi. Aku tak pernah berteriak seperti itu sebelumnya.


Tepat setelah pintu tertutup, aku terhuyung ke belakang sampai punggungku menyentuh tembok. Aku ingin menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin dan pergi sejauh-jauhnya, setidaknya sampai euphoria pernikahan Jong Woon dan gadisnya berakhir. Aku ingin menenangkan diri. Setiap kali tanganku bersentuhan dengan bahan gaun tersebut, aku merasa seperti ada sengatan listrik yang menyambar, tidak hanya ke kulit, melainkan lurus menembus tulang. Sejujurnya aku merasa cukup hebat karena belum dilarikan ke rumah sakit sampai detik ini.



**********



“Ini gaun tercepat yang anda buat, sajangnim.” Cheon Mi, pekerjaku yang sedang melapisi gaun dengan plastik tebal itu berkomentar. Aku cuma tersenyum tipis dan kembali menyesap teh panas di dalam cangkir. Tubuhku terasa benar-benar remuk. Gara-gara gaun ini, aku tidak pulang ke rumah sejak 2 hari yang lalu. Aku ingin menyelesaikan gaun itu secepatnya agar bisa mengenyahkannya dari butikku segera. Aku muak.


Jika tak ada aral melintang, aku akan mengantarkan gaun itu besok sore. Ralat, tentu saja bukan aku yang akan mengantarnya. Cari mati saja. Aku akan menyerahkannya pada kurir butik dan segera melarikan diri ke tempat yang jauh—seperti yang pernah kubilang sebelumnya. Aku akan menenangkan pikiranku yang kacau balau. Projek gaun pernikahan kali ini adalah yang terberat. Bukan hanya menyita waktu dan tenaga, emosiku pun ikut terkoyak. Gaun sial itu. Seharusnya aku minta bayaran sepuluh kali lipat.


Saat itu, lonceng butik berdenting.


Aku dan Cheon Mi kontan mengambil posisi tegap dan membungkuk sopan.


“Ada yang bisa dibantu?” tanyaku ramah, sembari meletakkan cangkir tehku di konter.
“Anda nona Kim So Eun? Saya mengantarkan ini.” Pria itu menyodorkan sesuatu. Undangan pernikahan berwarna biru muda. Aku bersyukur sudah meletakkan cangkirku di meja, kalau tidak benda itu pasti sudah terpecah belah di lantai.


Pria itu menggerakkan tangannya karena tak kunjung mendapat respon. Aku benar-benar membeku.


“Aku akan letakkan disini.” Dia akhirnya meletakkan undangan tipis berpita emas itu di meja. Lantas membungkuk kikuk dan segera berlalu.


Sesaat kemudian, aku sudah terpekur di lantai. Di saat seperti ini, rasanya menangis pun sudah tidak ada gunanya.


“Apa yang ada di pikirannya?”


“Dia mau aku datang dan melihatnya menikahi perempuan lain?”


“Dia mau aku datang, tersenyum dan memberinya selamat?”


“Apa menyiksaku menjadi salah satu hobinya sekarang?”


“Kenapa anak itu semakin jahat saja?”


Aku menimpali gumamanku sendiri dengan lirih. Sesuatu dalam perut dan dadaku terus menciut, bergejolak membuat sesak. Dan demi Tuhan aku benar-benar kesakitan. Rasanya ingin sekali berlari menemui Jong Woon dan menamparnya dengan undangan itu, tapi.... tidak mungkin. Aku bukan siapa-siapanya lagi. Apa saat ini Jong Woon tengah tertawa membayangkan ekspresiku? Perlahan-lahan, air mata yang kukira sudah mengering itu pun menetes.


Saat sedang dalam kondisi menyedihkan begitu, tiba-tiba saja ponsel dalam saku cardiganku berbunyi pendek. Aku menghapus air mataku dengan cepat dan segera melihat pesan yang masuk.



Kau sudah dapat undangannya? Berkenan menemuiku di kafe biasa?


-JW-



Aku tak bisa menahan tawa pahit yang melengos dari celah bibirku. Dia mau apa lagi sekarang? Mau menatapku rendah sembari tersenyum dan bilang ‘bagaimana rasanya dicampakkan?’ begitu? Dia pikir aku tidak cukup kuat untuk meladeni permainannya? Aku berbalik pada Cheon Mi yang lekas mengalihkan pandang dan kembali membenahi pembungkus jas. Aku menghampirinya dan merebut sepasang busana pengantin itu dengan cepat.


“Akan kuantar sekarang.”



**********



Aku berjalan terburu-buru dari area parkir menuju ke dalam kafe, sambil memanggul hanger sepasang busana pengantin di bahu kanan.


“Selamat datang.” seorang pelayan dengan ramah membukakan pintu. Aku berjalan cepat melewatinya tanpa repot-repot tersenyum. Persetan dengan ramah tamah dan tetek bengeknya, aku harus menemukan Kim Jong Woon dan menghajar pria itu sekarang juga.


Segera setelah posisinya terdeteksi, kakiku dengan sigap melangkah.


BRAKK! Aku melempar gaun dan jas itu tepat di mejanya. Semua mantra penahan tangis yang kurapal sejak di perjalanan langsung tak berfungsi saat mataku bertemu dengan matanya. Ia terlihat terkejut, tapi tetap menahan mulutnya untuk berkata-kata.


“Maumu apa sebenarnya?” Aku tak ingin terlihat menyedihkan. Tapi nada suaraku yang lirih keluar tanpa bisa kukendalikan. Jong Woon malah mengeluarkan ekspresi heran. Kenapa anak ini masih pura-pura bodoh saja?


“Duduklah.”
“Aku tanya kau mau apa! Kau merasa hebat karena sudah mendapat penggantiku?”
“So Eun, Demi Tuhan! Duduklah, dan pelankan suaramu.” Pria itu menoleh ke kanan kiri sambil meringis malu. Lalu mendesah frustasi di detik setelahnya.


“Kau belum mendapat undangannya?” tanya Jong Woon lagi.


Ia masih menampilkan ekspresi sok suci yang membuaku muak. Aku segera mengeluarkan undangan yang dia maksud dari balik mantelku. Hard Covernya sudah kutekuk sedemikian rupa sehingga bisa masuk ke dalam saku mantelku yang tidak terlalu besar. Aku mengacungkan gumpalan undangan dengan bentuk yang sudah tak beraturan itu dengan ekspresi murka. Sebelum akhirnya kulempar ke dadanya sekuat tenaga, seolah sedang bermain baseball.


Pria itu tak mencoba melindungi diri, ia membiarkan undangan itu mengenai dadanya dan terjatuh di lantai. Matanya masih menatapku lurus-lurus, terlihat kesal.


“Kau sedang menabuh genderang perang denganku huh?” Aku menyesal sudah menggumamkan kalimat 'jangan menangis' sampai mulutku sakit. Sementara nyatanya, saat ini sekujur tubuhku tetap saja gemetaran. Air mata menetes cepat di bawah bayang rambut cokelatku yang sudah kusut serampangan—efek 80km/jam dengan sepeda motor.


“Kau mau aku memberimu selamat atau bagaimana?” Napasku menderu keras.Walaupun aku hanya menatap Jong Woon saja, tapi tak bisa dipungkiri, aku tetap bisa merasakan semua tatapan mata yang terarah padaku. Tapi sekali lagi, aku tak peduli. “BENAR-BENAR TAK PUNYA PERASAAN!” Aku berteriak sampai urat-urat leherku terlihat.


“Setelah menyuruhku membuatkan busana pengantin, sekarang memintaku datang juga? Kau itu sudah gila ya? Memangnya aku sudah sebegitu tak ada artinya ya? Memangnya.... hmmmphhh” Jong Woon yang tak tahan itu tiba-tiba berdiri dan membekap mulutku dengan telapak tangannya. “Kau bisa diam tidak?” bisiknya, “membuat malu saja.”


Pria itu menarik gaun di atas meja dan memanggulnya di bahu, sementara tangannya yang lain masih membekap mulutku dengan kasar. “Dasar ceroboh! Kau mengacaukan rencanaku! Ayo cari tempat lain saja!”


Jong Woon melepas tangannya dari mulutku, namun tak serta merta membuatku terbebas. Kali ini tangan itu berpindah, dari mulut ke tangan, ia menggenggam tanganku –dan sejujurnya aku sangat bahagia saat merasakan tangan hangat itu menggenggam tanganku lagi setelah lima bulan lamanya— ia membawaku keluar dari kafe. Kim Jong Woon, dengan sangat kasar, mendorongku masuk ke mobilnya tanpa memberi kesempatan protes. Ia melirikku setiap kali aku membuka mulut, dengan tatapan tajam yang mengoyak-ngoyak keberanianku.


Ia tak mengajakku bicara sama sekali selama di mobil.


“Sepeda motorku bagaimana?” tanyaku setelah 10 menit diam.
“Bawahanmu kan banyak, suruhlah mereka mengambil motornya.”
“Kau ini menyusahkan saja! Lalu sekarang kita mau kemana?”
“Ke rumah”
“Untuk apa aku kesana?”
“Eomma menanyakanmu, ‘kenapa tidak ke rumah’ katanya.”
“Bukankah alasannya sudah jelas?”
“Kau tak mau bertemu eomma?”
“Bukan begitu.” Aku menghela napas gusar. “Aku kan sudah bukan siapa-siapamu lagi”


Jong Woon tersenyum mendengus.


“Kau harus belajar mengendalikan emosimu, Kim So Eun.” Aku menoleh padanya, dan di saat yang bersamaan pria itu juga melirikku. Jong Woon berdehem. “Seandainya kau lebih teliti dan tidak langsung terbawa perasaan, kita bisa duduk-duduk lebih lama di kafe tadi.”


“Berhenti bicara omong kosong.”


Dan pria itu benar-benar berhenti bicara sampai kami tiba di halaman rumahnya. Rumah yang dulu selalu kukunjungi tiap minggu ini jadi terasa asing. Aku berjalan sangat pelan di belakang Jong Woon, dan aku tak mengerti kenapa bisa-bisanya aku tidak berlari kabur begitu bebas dari mobilnya tadi.


“Omo! So Eun?” Dari arah teras, seorang wanita setengah baya melambai-lambai dengan semangat. Aku tersenyum, segera membungkuk sopan.


“Kau kemana saja? Kenapa tidak datang ke rumah?” Wanita itu, ibu Jong Woon, meraih kedua tanganku dan mendekapnya sambil terus tersenyum lebar. Aku melirik sang anak dengan cemas, tak tahu harus merespon seperti apa. Namun pria itu malah pura-pura tak melihatku dan bersiul sambil berpaling ke arah lain.


“Eh? Itu gaun Sena?” Di saat aku sudah membuka mulut untuk menjawab, ia malah melepasku begitu saja dan merebut sepasang gaun pengantin di bahu Jong Woon. Matanya berbinar-binar seperti melihat tambang emas.


Benar! Nama gadis tengik itu adalah Sena.


Aku membuang napas serampangan. Serius, kenapa aku harus dibawa kesini? Dan kenapa juga eomonim masih bertanya ‘kenapa tidak datang ke rumah’ dengan ekspresi seperti tadi? Bukankah jawabannya sudah jelas? Bukankah Sena sudah menggantikan posisiku?


“Ini cantik sekali. Kau yang membuatnya So Eun~aa?”
“Iya, eommonim.”
“Kau benar-benar berbakat. Aku tak sabar melihat giliranmu yang memakai gaun pernikahan.” Ibu Jong Woon tersenyum sedih, aku menunduk dan ikut tersenyum sedih.


“Kau ini benar-benar payah! Kapan kau akan melamarnya? Setiap ditanya malah bilang belum siap terus! Lihat kan? Jongjin jadi mendahuluimu!” Wanita itu mengomel sambil memukul bahu Jong Woon. Aku mengangkat wajah dengan cepat.


“J..Jong....Jin mendahuluinya?” ulangku gelagapan.
“Harusnya kalian dulu yang menikah, iya kan? Kau juga kecewa kan So Eun~a? Aish… anak ini benar-benar penakut. Dia tak berani melamarmu.”


Dia sudah melamarku tiga kali eomonim, tapi aku selalu menolaknya.


“Jika sudah waktunya aku akan melamarnya eomma, tenang saja! Dia tak akan menikah dengan orang lain kecuali denganku,” ucap Jong Woon sambil menangkis tangan sang ibu. “Oh iya. Eomma, apa kau masih menyimpan undangan Jong Jin dan Sena?”


“Tentu… masih ada beberapa di meja. Kenapa?”


Jong Woon segera meraih tanganku dan berjalan cepat memasuki rumah. Aku membungkuk pamit pada eomonim yang terlihat bingung.


“Bagaimana bisa kau meninggalkan ibumu seperti itu? dan mau apa lagi kau sekarang?”


Jong Woon tak menjawab. Kami berhenti di meja kayu panjang persis di depan tangga rumahnya. “Kau mau apa?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.


Tiba-tiba saja ia menyodorkan undangan tepat di depan wajahku dan menunjuk nama pengantinnya.


“Kim Jong-Jin dan Cha Se-Na,” ejanya pelan-pelan.
“Aku tahu.”
“Kau baru tahu sekarang karena eomma mengatakannya kan? Makanya dibaca dulu! Aku tahu kau sedih karena mengira itu aku, tapi ya dibaca dulu jagi.”


“Satu pertanyaan, kenapa malah kau yang fitting baju? Wajar kalau aku salah paham.”
“Jong Jin sedang ada urusan. Lagipula ukuran badan kami kan sama.”
“Tapi kau tahu kan kalau aku mengira gadis itu tunanganmu? Kenapa malah diam saja?”
“Aku cuma mau tahu bagaimana reaksimu. Dan ternyata sesuai perkiraan.” Pria itu tertawa. Aku memalingkan wajah darinya sambil menggerutu. Benar-benar bodoh. Harusnya dia bilang dulu padaku kalau gadis itu adalah tunangan Jong Jin. Demi Tuhan, ini memalukan. Aku tak berani melihat wajah Jong Woon untuk sekarang, dia akan mengejekku habis-habisan.


“Tadinya kukira kau akan datang ke restoran setelah mengetahui bukan aku yang akan menikah, jadi aku bisa melamarmu lagi disana. Tapi kau malah…… hahaha”


“Tidak lucu.”
“Itu lucu.”
“Tidak.”
“Baik… tidak lucu! Sekarang, karena kau sudah mengacaukan rencana lamaranku, aku akan melamarmu disini saja.”


“Apa?” Jong Woon membuka kotak beludru yang sama seperti yang dulu.
“Untuk kali ini kau tak bisa menolakku lagi. Pertama, kau tak punya alasan tentang karir karena karirmu sudah luar biasa. Kedua, ada eomma di luar dan aku akan mengadu padanya kalau kau sudah menolakku tiga kali.” Jong Woon tersenyum puas setelah mengatakan itu, seolah tahu aku tak punya pilihan lain. Dan yah... aku memang tak punya pilihan lain. Sekalipun ada, aku tetap tak akan memilihnya.


“Hmm… sebelum kujawab, apa kau yakin dengan Cha Sena? Jongjin terlalu baik untuknya. Aku tak menyukai anak itu sama sekali.” 


“Kau mau bermain-main dengan kesabaranku ya? Aish! Tak ada yang menyuruhmu menyukai Sena, toh bukan kau yang akan menikahinya. Seburuk apapun sikapnya kalau Jongjin suka ya biar saja. Memangnya kau pikir Sena menyukaimu?”


“YAH! Kau sedang melamarku! Kenapa malah mengomel?”
“Ya sudah makanya jawab saja! Aku sudah menunggu 5 bulan, masih mau diulur-ulur juga? Cepat terima saja cincinnya.” Jong Woon menyodorkan kotak cincinnya lebih dekat.


“Kalian berdua kenapa teriak-teria…OMO! Jong Woon, kau melamarnya?”
“Iya eomma, tapi anak ini tak mau menerimanya juga.” Jong Woon menudingkan jarinya ke hidungku dengan geram.


“Ah? Kenapa? Ayo diterima saja!” Suasana macam apa ini? Jong Woon tersenyum menang, miring, licik, entahlah sementara ibunya terus bicara mempromosikan anaknya itu. Ya Tuhan!


“Oke, aku mengerti eomonim! Aku mengerti.” Ucapanku berhasil membuat ibu Jong Woon menghentikan celotehannya dan tersenyum tak sabar.


“Kim Jong Woon-ssi.” Aku menatap pria di depanku lekat-lekat,


“Ayo kita dahului Jongjin!”


END


Yeye baru update Twitter





‘Good night Zzz’  katanya…  seneng deh ngeliat dia rajin update sosmed, pake bahasa Inggris pula.... hihi makasih ganteng, kl gini kan jadi yang ga ngerti bakor (kaya aku) g usah repot-repot buka google translate… andai bias aku kaya kamu semua 


oke… makasih yang udah baca...


good night Zzz

Comments

  1. Wah ayeaaaaaaaaaah slalu rindu ma tuliasan author salsa klo dh bikin story jongeun couple ,puas bingit rsnya nuansa kocak.imut lucu mengemaskan d kemas jd satu segat bgt enak d lihat d rs dan d makan hhe...rsnyà kek jd mau nambah lg dan lg aye makan ff jong-eun nyà salsa :* entr2 klo ade inspirasi bikin ĺg yak hhe :*

    Wah lamaran jongwoon dah d tolak soeun 3 kali dan yg ke empat kalipun lamaran jongwon d tolak karna soeun bukan mau d lamar ternyata tp langsung mau minta d nikahi hhhi, jongjinn sena bklan sbr krna sang kk ipar tak mau d dahului hhhhi , aye suka ma laki2 kek jongwon cis dia setia nungu soeun sebegitu lamanya td setelah sso blg nyuruh nikah ma gds lain yeye bklan nyerah tp tp dia setia nunggu sso ampe siap . Melelh aye jdinya ..hàti mereka kuat krna udeh d lem pake perekat cinta kkje jdnya lengket walopun rg sempat memisahkan mereka slama 5 bulan hihii aku suka banged mà story2 jong-eun couple punya auhtor salsa ♡♡♡♡♡ dr awal ampe akhir fav aye smuaaa thankyu thor kissue 100000 x... 100000000000 jempol gajah buatmu dek (y) koleksi yak hhii ..bkeep spirit n cmingith .. keep writing jg n always sukses for u salsa cantik :* ... thumbs up (y) ♡♡¤¤¤♡♡¤♡

    ReplyDelete
    Replies
    1. tck tck komentar jam setengah 4 pagi. thumbs up buat ka shane jugaa... b(~_^)d hahaha aww.... Amin makasih ya ka^^ semoga ketemu sm yang sesetia Jong Woon di real life >///<

      Delete

Post a Comment

Popular Posts